DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL DAN PEMEKARAN
WILAYAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI
KABUPATEN BOGOR DAN KOTA DEPOK
EVIN PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA ILMU EKONOMI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam tesis “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan
Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok”
merupakan hasil penelitian saya
sendiri dengan arahan dan bimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber
data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan disebutkan dalam
Daftar Pustaka.
Bogor, Januari 2011
Evin Pratiwi
ABSTRACT
EVIN PRATIWI.
The Impact of Fiscal Decentralization and Regional
Proliferation on the Economy and Social Welfare in Bogor Regency and Depok
Municipality
. Under direction of BAMBANG JUANDA and M. PARULIAN
HUTAGAOL.
Regional autonomy is the government's efforts to provide more leverage for the
community, so that society obtain services directly from local governments. One of
the forms of regional autonomy is fiscal decentralization. One of very important
aspects of the implementation of regional autonomy and decentralization are
associated with regional proliferation.
Regional proliferation are also part of an effort to improve the ability of local
governments to shorten the span of government control thus increasing the
effectiveness of government administration and development management. Bogor
Regency has experienced regional proliferation, and become Bogor Regency and
Depok Municipality. This study aims to assess the impact of fiscal decentralization,
regional proliferation and other factors on GDP per capita, capital expenditure,
unemployment, and poverty rates in Bogor Regency and Depok Municipality. In
additions, this study aims to assess the management and budgeting by local
government in Bogor Regency and Depok Municipality.
The implementation of fiscal decentralization and regional proliferation has not
been fully able to improve the economy and social welfare in Bogor Regency and
Depok Municipality. Of the four variables used as economy indicators in this study,
only the level of poverty that looked better after the implementation of fiscal
decentralization. Regional proliferation of Depok Municipality can increase capital
expenditure and decrease poverty rate.
RINGKASAN
EVIN PRATIWI Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan M. PARULIAN HUTAGAOL
Otonomi daerah merupakan upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang lebih maksimal bagi masyarakat, sehingga dengan adanya otonomi daerah diharapkan masyarakat memperoleh pelayanan langsung dari pemerintah daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah bermakna adanya desentralisasi yang salah satu diantaranya adalah desentralisasi fiskal. Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terkait dengan pemekaran wilayah. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Kabupaten Bogor yang telah mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Bogor dan Kota Depok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah serta faktor-faktor lainnya terhadap PDRB per Kapita, belanja modal, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan dan penetapan anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan daerah di Kabupaten Bogor dan Kota. Analisis dalam penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan metode analisis yaitu analisis deskriptif, analisis ekonometrika sistem persamaan simultan, dan analisis statistika non parametrik uji Exact Fisher.
Sumber penerimaan daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok sebelum dan setelah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan. Peran PAD semakin menurun setelah desentralisasi fiskal diberlakukan sehingga perlu ditingkatkan karena PAD memiliki pengaruh positif dan sangat signifikan terhadap belanja modal pemerintah daerah. Peningkatan peran PAD akan mengakibatkan belanja modal meningkat dan peningkatan belanja modal akan meningkatkan PDRB per kapita.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh terhadap porsi belanja modal, namun pemekaran wilayah berpengaruh sangat signifikan terhadap porsi belanja modal, dan Pemerintah Kota Depok lebih tinggi dalam persentase alokasi belanja modal dalam APBD.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal sangat berpengaruh terhadap PDRB per kapita namun peningkatannya belum mampu menurunkan tingkat kemiskinan, Penurunan tingkat kemiskinan lebih disebabkan oleh peningkatan upah minimum. Pemekaran wilayah juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan PDRB per kapita.
pertumbuhan upah minimum kabupaten/kota. Pemekaran wilayah tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat pengangguran.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Pemekaran wilayah juga berdampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan, hal ini terbukti bahwa tingkat kemiskinan Kota Depok lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Bogor.
Pengelolaan dan penetapan anggaran di Kabupaten Bogor dan Kota Depok belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat diketahui melalui disiplin anggaran dan efisiensi anggaran yang belum dilaksanakan dengan baik karena masih ditemui kendala dalam pelaksanaan APBD serta penerbitan Perda APBD yang selalu terlambat. Dari sisi disiplin dan prioritas anggaran, Kabupaten Bogor lebih baik dibandingkan Kota Depok, sedangkan dari aspek efektifitas anggaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran, Kota Depok lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Bogor.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah belum sepenuhnya mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Dari empat variabel yang dijadikan indikator dalam penelitian ini, hanya tingkat kemiskinan yang terlihat lebih baik setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pemekaran wilayah berdampak positif terhadap peningkatan belanja modal dan penurunan tingkat kemiskinan, terbukti bahwa alokasi belanja modal dan penurunan tingkat kemiskinan di Kota Depok lebih baik dibandingkan Kabupaten Bogor sehingga pemekaran wilayah Kabupaten Bogor menjadi Kabupaten Bogor dan Kota Depok sudah tepat dilakukan karena Kota Depok mampu menunjukkan kinerja perekonomian yang lebih baik dan membuat masyarakatnya lebih sejahtera
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL DAN PEMEKARAN
WILAYAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI
KABUPATEN BOGOR DAN KOTA DEPOK
EVIN PRATIWI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA ILMU EKONOMI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Nama Mahasiswa : Evin Pratiwi
Nomor Pokok : H151064184
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang
berjudul “Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian
dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok”. Tesis ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selesainya tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Dr. M. Parulian Hutagaol, M.Sc selaku
komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingannya selama proses penulisan
tesis ini.
2.
Dr. Wiwiek Rindayati dan Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen penguji, atas
koreksi dan masukannya sehingga penulisan tesis ini lebih sempurna.
3.
Seluruh dosen dan teman-teman angkatan 1 (penyelenggaraan khusus) IE-IPB,
khususnya Sdr. Indra dan Sdr. Meison yang telah bersedia menjadi teman diskusi.
4.
Pimpinan dan teman-teman penulis di BPS Pusat, BPS Kabupaten Bogor, dan BPS
Kota Depok atas dukungan, bantuan, dan kerjasamanya selama proses penulisan tesis
ini.
5.
Ibunda tercinta Hj Suwarti yang telah memberikan dukungan dan doa serta kasih
sayangnya.
6.
Suami tercinta Dody Rudyanto dan putra-putri tersayang Vindy Widyanti, Fatin
Febriyanti, dan Rifki Tri Nurasa atas dukungan, motivasi, dan doanya.
7.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu
kelancaran penyelesaian tesis ini.
Bogor, Januari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 10 April 1963 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan bapak R. Soejono (Alm) dan ibu Hj. Suwarti. Penulis menempuh pendidikan SD, SMP, SMA, dan Akademi di Jakarta. Lulus SDN Menteng Dalam Petang tahun 1975, lulus SMPN 43 tahun 1979, dan lulus SMAN 12 tahun 1982.
Setelah lulus Akademi Ilmu Statistik Jakarta tahun 1985, penulis ditempatkan pada Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta. Pendidikan sarjana pada jurusan Statistika FMIPA IPB diselesaikan penulis pada tahun 1992 melalui tugas belajar program STAID Angkatan I.
Tahun 1999 – 2006 penulis mengikuti suami bertugas di BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat dan sejak tahun 2006 sampai sekarang kembali bertugas di BPS Jakarta dan saat ini sebagai Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Utama. Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……….. i
DAFTAR TABEL …...……….……….…. v
DAFTAR GAMBAR ………...……… vii
DAFTAR LAMPIRAN …………...……… ix
I. PENDAHULUAN …..……….………... 1
1.1. Latar Belakang………...…… 1
1.2. Perumusan Masalah ……….. 6
1.3. Tujuan Penelitian ….………..………... 8
1.4. Manfaat Penelitian …….………. 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……….………...……….. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 11
2.1. Desentralisasi Fiskal di Indonesia ……… 11
2.2. Anggaran ……….. 12
2.2.1. Penyusunan Anggaran ………....…… 14
2.2.2. Perilaku Pemerintah Daerah ………..…………. 15
2.2.2.1. Disiplin Anggaran ………. 16
2.2.2.2. Prioritas Anggaran ………….……… 17
2.2.2.3. Efisiensi Anggaran ……… 18
2.2.2.4. Siklus APBD ……….……… 18
2.2.2.5. Efektifitas Pengelolaan Anggaran …….………… 18
2.2.2.6. Partisipasi Masyarakat ………...……… 19
2.2.2.7. Transparansi dan Akuntabilitas ………. 20
2.3. Sumber Pembiayaan Desentralisasi ……… 20
2.4. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah ……….…...…...……….. 21
2.5. Kinerja Keuangan Daerah ...………. 23
2.6. Rasio Keuangan Daerah ..……….. 24
ii
2.8. Pengangguran ………. 26
2.8.1. Kurva Phillips ………... 26
2.8.2. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips ……… 27
2.8.3. Teori Upah Efisiensi ..……… 28
2.9. Permodelan Ekonometrika ……….……….. 31
2.9.1. Sistem Persamaan Simultan ……….. 32
2.9.2. Identifikasi Sistem Persamaan Simultan ………. 33
2.9.3. Metode Estimasi Sistem Persamaan Simultan ………. 34
2.9.3.1. Metode Rekursif dan Metode OLS ……….. 34
2.9.3.2. Metode Indirect Least Square (ILS) …….……… 34
2.9.3.3. Metode Two-Stage Least Square (2SLS) ………. 35
2.9.4. Uji Kriteria Statistik (uji F, uji t, dan R2) …….……… 36
2.9.4.1. Uji F ……… 36
2.9.4.2. Uji t ………. 37
2.9.4.3. Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Adjusted R2 . 38 2.9.4.4. Uji Kriteria Ekonometrika ……….. 39
2.9.4.4.1. Uji Autokorelasi ………... 39
2.9.4.4.2. Uji Heteroskedastisitas ….………… 40
2.9.4.4.3. Uji Multikolinieritas ………. 40
2.10. Pemekaran Wilayah ……… 41
2.11. Penelitian Terdahulu ……….……….. 43
III. KERANGKA PEMIKIRAN ………..……… 45
IV. METODE PENELITIAN ……….. 49
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ….…..……… 49
4.2.Jenis dan Sumber Data ….…….……….. 49
4.2.1. Data Sekunder ..……… 49
4.2.2. Data Primer ..……… 50
4.3.Metode Analisis ……… 51
4.3.1. Analisis Deskriptif ……….……… 53
4.3.1.1. Derajat Kewenangan (authority power) ………….. 53
iii
4.3.1.3. Rasio Keuangan Daerah ……….. 55
4.3.2. Analisis Model Ekonometrika Persamaan Simultan ... 58
4.3.2.1. Model Dugaan PDRB per Kapita (PDRBK) ... 59
4.3.2.2. Model Dugaan Porsi Pengeluaran Pemerintah untuk Belanja Modal (BM) ... 61
4.3.2.3. Model Dugaan Persamaan Tingkat Pengangguran (PENGG) ... 62
4.3.2.4. Model Dugaan Persamaan Tingkat Kemiskinan (MSKN) ………. 64
4.3.3. Identifikasi Model Persamaan Simultan ... 66
4.3.4. Analisis Statistik Non Parametrik Uji Exact Fisher ... 68
4.4. Definisi Operasional …………...……….. 70
V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ………. 73
5.1. Kabupaten Bogor ……….. 73
5.2. Kota Depok ……….. 77
VI. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 79
6.1. Kinerja Penerimaan Daerah ………..……….. 79
6.2. Kinerja Pengeluaran/Belanja Daerah …………..……….………… 82
6.3. Derajat Kewenangan Pemerintah Daerah ……… 84
6.4. Derajat Kemandirian Pemerintah Daerah ……… 85
6.5. Rasio Keuangan Daerah ……….……….. 86
6.5.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) ……… 86
6.5.2. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah (EKD) .……… 88
6.6. Model Ekonometrika Persamaan Simultan ... 89
6.6.1. Persamaan Dugaan PDRB per Kapita ….……… 90
6.6.2. Persamaan Dugaan Porsi Belanja Modal Pemerintah (PBM) ………..………. 93
6.6.3. Persamaan Dugaan Tingkat Pengangguran (PENGG) ....… 97
6.6.4. Persamaan Dugaan Tingkat Kemiskinan (MSKN) ……... 102
6.7. Pengelolaan dan Penetapan Anggaran …………...……… 104
iv
6.7.2. Prioritas Anggaran ... 107
6.7.3. Efisiensi Anggaran ... 108
6.7.4. Siklus APBD ... 109
6.7.5. Efektifitas Anggaran ... 110
VII.KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI ... 113
7.1. Kesimpulan ... 113
7.2. Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ……… 117
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Menurut Jenisnya Tahun 2008 ...……….……… 4
2. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... 50
3. Kemampuan Keuangan Daerah, Rasio KKD, dan Pola Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah ……… 56
4. Kemampuan dan Rasio EKD ………... 57
5. Identifikasi Model Persamaan Simultan ……….. 68
6. Tabel Kontingensi 2 x 2 ……….. 68
7. Struktur Penerimaan Kabupaten Bogor dan Kota Depok Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal ……… 80
8. Rata-rata Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok Menurut Jenis Pengeluaran Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal ……...……… 83
9. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) Kabupaten Bogor dan Kota Depok Tahun 1994 – 2008 ………. 88
10. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah (EKD) Kabupaten Bogor dan Kota Depok Tahun 2003 – 2007 ………. 89
11. Persamaan Dugaan PDRB per Kapita ………. 91
12. Banyaknya Responden Menurut Jawaban Pertanyaan Mengenai Duplikasi Anggaran di Kabupaten Bogor dan Kota Depok ……… 93
13. Persamaan Dugaan Pengeluaran Pemerintah untuk Belanja Modal ……… 96
14. Pendapat Masyarakat Kabupaten Bogor dan Kota Depok dalam Penetapan Alokasi Anggaran ……….………….. 97
15. Persamaan Dugaan Tingkat Pengangguran …………..……… 98
16. Kesesuaian Anggaran di Kabupaten Bogor dan Kota Depok ……..……. 101
vi
18. Persamaan Dugaan Tingkat Kemiskinan ..…...……… 103
19. Hasil Uji Exact Fisher Praktek Penyusunan/Pengelolaan APBD
di Kabupaten Bogor dan Kota Depok ………. 105
20. Pelaksanaan Prinsip Disiplin Anggaran dalam Penentuan Alokasi
Belanja Daerah, 2010 ... 106
21. Pelaksanaan Prinsip Prioritas Anggaran dalam Penentuan
Alokasi Belanja Daerah, 2010 ... 108
22. Pelaksanaan Prinsip Efisiensi Anggaran dalam Penentuan
Alokasi Belanja Daerah, 2010 ... 109
23. Siklus APBD dalam Pelaksanaan Anggaran Daerah, 2010 ... 110
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor 1994 – 2008 dan Kota Depok
Tahun 2000 – 2008 ... 2
2. Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok Tahun 2008 Menurut Sumbernya ... 3
3a. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2003 – 2008 ……… 5
3b. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah Kota Depok untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2003 – 2008 ……….……….. 5
4. Proses Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD ...……… 15
5. Kurva Phillips ... 27
6. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips Jangka Pendek .……… 28
7. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja ... 29
8. Pergeseran Penyerapan Tenaga Kerja ... 30
9. Tahapan Model Empiris untuk Memperoleh Model yang Terspesifikasi dengan Benar ...……….……….. 31
10. Kerangka Pemikiran Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok ... 46
11. Tahapan dalam Membangun Model Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok ... 52
12. Bagan Alir Model Persamaan Simultan Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Depok ... 59
13. Peta Kabupaten Bogor ………...…. 74
14. Peta Kota Depok ………. 76
viii
15b. Perkembangan Persentase PAD dan Dana Perimbangan Kota Depok
Tahun 2000 – 2008 ……….… 81
16a. Indikator Penerimaan, Indikator Pengeluaran, dan Indikator Penerimaan-Pengeluaran Kabupaten Bogor Tahun 1994 – 2008 …………..…….…… 84
16b. Indikator Penerimaan, Indikator Pengeluaran, dan Indikator Penerimaan-Pengeluaran Kota Depok Tahun 2000 – 2008 ……….... 85
17. Derajat Kemandirian Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Tahun 1994 – 2008 ………. 86
18. Perkembangan PDRB per Kapita Kabupaten Bogor
dan Kota Depok Tahun 1994 – 2008 ……….……… 92
19. Rasio Jumlah Penduduk dan Fassilitas Tempat Berobat di Kabupaten
Bogor 1995 - 2008 dan Kota Depok 2000 - 2008 ..……….…….. 95
20. Rasio Murid dan Jumlah Sekolah SD dan SMP di Kabupaten Bogor 1994 – 2008 dan Kota Depok 2000 – 2008 ……… 96
21. Perkembangan Tingkat Pengangguran Kabupaten Bogor 1995 – 2008
dan Kota Depok 2000 - 2008 ……….……...……….... 99
22. LPE Kabupaten Bogor 1995 – 2008 dan Kota Depok 2001 – 2008 ……. 99
23. Perkembangan Tingkat Inflasi Kabupaten Bogor 1995 – 2008 dan
Kota Depok 2000 – 2008 ..………..…………. 100
24. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Bogor 1994 – 2000
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 123
2. Hasil Pendugaan dan Pengujian Persamaan Simultan ……….... 129
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangOtonomi daerah merupakan upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang lebih maksimal bagi masyarakat, sehingga dengan adanya otonomi daerah diharapkan masyarakat memperoleh pelayanan langsung dari pemerintah daerah. Otonomi daerah diatur dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 60) yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 125). Selain Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang-undang nomor 32 tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah dilengkapi pula dengan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 72), yang memungkinkan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat mengembangkan sumber daya lokal dan mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Undang-undang nomor 25 tahun 1999 kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya Undang-undang nomor 33 tahun 2004 (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 126). Dengan diberlakukannya kedua Undang-undang tersebut bermakna adanya desentralisasi, yang salah satu diantaranya adalah desentralisasi fiskal.
Pengertian desentralisasi adalah adanya pendelegasian atau pemberian wewenang dalam pembuatan keputusan dan kebijakan kepada pemerintah daerah yang sebelumnya segala keputusan dan kebijakan dilakukan oleh pemerintah pusat (sentralisasi). Desentralisasi fiskal merupakan pemberian kewenangan penerimaan (revenue assignment) dan kewenangan pengeluaran (expenditure assignment) yang memungkinkan daerah dapat mengelola sumber-sumber penerimaan dan meningkatkan kapasitas keuangannya dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan daerah.
2
Bogor merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Bogor dan Kota Depok1. Dalam penelitian ini ingin dikaji apakah pemekaran wilayah yang terjadi akibat pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berdampak pada perbaikan kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor sebagai daerah induk dan Kota Depok sebagai daerah pemekaran.
Salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian suatu daerah adalah nilai PDRB atau laju pertumbuhan PDRB2. Nilai PDRB Kabupaten Bogor tahun 2008 hampir tiga kali lipat dari nilai PDRB tahun 2000, sedangkan nilai PDRB Kota Depok tahun 2008 lebih dari tiga kali nilai PDRB tahun 2000 (PDRB Kabupaten Bogor dan PDRB Kota Depok Tahun 2000 dan 2008, BPS). Begitu juga dengan nilai PDRB per Kapita, PDRB per Kapita Kabupaten Bogor maupun Kota Depok selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Sumber: PDRB Kabupaten Bogor 1994 – 2008 dan PDRB Kota Depok 2000 - 2008, BPS (data diolah)
Gambar 1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor 1994 – 2008 dan Kota Depok 2000 - 2008
1
Pembentukan Kotamadya Dati II Depok ditetapkan dengan Undang-undang No 15 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 No. 49) dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Dati II Bogor.
2
3
Jika dilihat dari laju pertumbuhannya, laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor tahun 1994 sampai dengan 2008 secara umum selalu mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 1998 laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan negatif akibat terjadinya krisis ekonomi yang dialami oleh seluruh wilayah di Indonesia, bahkan dialami juga oleh beberapa negara lain di Asia.
Untuk Kota Depok, laju pertumbuhan PDRB sejak terbentuk tahun 2000 hingga tahun 2008 selalu mengalami peningkatan. Sejak mandiri, Kota Depok tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif karena pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 Kota Depok belum terbentuk.
Sumber penerimaan daerah kabupaten/kota berasal dari PAD, dana perimbangan (DAU, DBH pajak dan bukan pajak, dan DAK)3, serta penerimaan lain-lain. Sampai dengan tahun 2008 penerimaan daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok sebagian besar didominasi oleh dana perimbangan. Kabupaten Bogor memperoleh dana perimbangan sebesar 62,84 persen dari total pendapatannya sedangkan PAD yang dihasilkan hanya 23,18 persen (Gambar 2).
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Pemerintahan Kabupaten/ Kota Tahun 2008 – 2009, BPS (data diolah)
Gambar 2. Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok Tahun 2008 Menurut Sumbernya
3
4
Dana perimbangan yang diperoleh Pemerintah Daerah Kota Depok sedikit lebih rendah, yaitu 62,60 persen terhadap total pendapatan daerahnya dan PAD yang dihasilkan Kota Depok hanya 28,49 persen.
Dari sisi pengeluaran/belanja, porsi belanja modal Kabupaten Bogor dan Kota Depok tahun 2008 hampir sama yaitu Kabupaten Bogor 24,60 persen dan Kota Depok 24,23 persen dari total belanja (Tabel 1).
Tabel 1. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Depok Menurut Jenisnya Tahun 2008
No. Jenis Pengeluaran/Belanja Kabupaten Bogor Kota Depok
(1) (2) (3) (4)
A Belanja Tidak Langsung 52,39 50,94
1 Belanja Pegawai 41,10 36,65
2 Belanja Bunga 0,00 0,00
3 Belanja Subsidi 0,21 0,00
4 Belanja Hibah 4,26 3,48
5 Belanja Bantuan Sosial 2,42 8,69
6 Belanja Bagi Hasil 1,48 0,00
7 Belanja Bantuan Keuangan 2,42 0,00
8 Pengeluaran Tidak Terduga 0,49 2,11
B Belanja Langsung 45,52 47,62
1 Belanja Pegawai 7,09 8,03
2 Belanja Barang dan Jasa 13,82 15,36
3 Belanja Modal 24,60 24,23
C Pembiayaan Daerah 2,09 1,44
Jumlah/Total 100,00 100,00
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota Tahun 2008 - 2009, BPS (data diolah)
5
sampai dengan tahun 2008 menunjukkan sedikit peningkatan meskipun tahun 2005 sempat mengalami penurunan, sedangkan porsi belanja kesehatan menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu cenderung mengalami penurunan (Gambar 3a dan Gambar 3b).
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota Tahun 2003 - 2008, BPS (data diolah)
Gambar 3a. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2003 – 2008
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota Tahun 2003 - 2008, BPS (data diolah)
6 1.2. Perumusan Masalah
Terjadinya pemekaran wilayah dan diberlakukannya Undang-undang tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, mengamanatkan beberapa hal antara lain :
• Mempercepat pertumbuhan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
• Peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan memperhatikan potensi daerah, demokrasi, pemerataan, dan keadilan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
• Kewenangan menggunakan anggaran untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal.
Sebagai wujud keseriusan pemerintah daerah dalam menyejahterakan masyarakatnya, khususnya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat miskin, pemerintah daerah perlu fokus pada belanja untuk keperluan layanan publik yang terdiri dari terpenuhinya fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur agar masyarakat dapat mudah akses terhadap fasilitas tersebut.
Dengan diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang direvisi dengan UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang direvisi dengan UU nomor 33 tahun 2004 serta dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal diharapkan perekonomian daerah akan meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
7
Kota Depok dapat meningkatkan perekonomian dan menyejahterakan masyarakat di daerah baru (Kota Depok) maupun daerah induknya (Kabupaten Bogor)?
Indikator kinerja perekonomian dapat digambarkan melalui PDRB per Kapita dan pengeluaran pemerintah untuk belanja modal. Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan ibukota Negara selayaknya Kabupaten Bogor dan Kota Depok memiliki PDRB per Kapita yang hampir sama dengan Provinsi DKI Jakarta dan lebih tinggi dari PDRB per Kapita kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Namun kenyataannya PDRB per Kapita Kabupaten Bogor dan Kota Depok tahun 2007 masih jauh dibawah angka PDRB per Kapita Provinsi DKI Jakarta dan rata-rata PDRB per Kapita nasional. PDRB per Kapita Kabupaten Bogor tahun 2007 sebesar 12,9 juta rupiah dan Kota Depok hanya 7,4 juta rupiah, jauh dibawah angka PDRB per Kapita Provinsi DKI Jakarta (62,5 juta rupiah) dan nasional (15,6 juta rupiah) pada tahun yang sama. Bahkan rata-rata PDRB per Kapita Provinsi Jawa Barat juga diatas angka PDRB per Kapita Kabupaten Bogor dan Kota Depok, yaitu sekitar 13,0 juta rupiah pada tahun 2007.
Pengeluaran pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Depok untuk belanja modal setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal mendapatkan porsi yang lebih rendah dibandingkan pada saat desentralisasi fiskal belum dilaksanakan. Rata-rata porsi belanja modal pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Depok sebesar 43,64 persen dan 52,58 persen, sedangkan setelah desentralisasi fiskal menurun menjadi 21,54 persen dan 30,86 persen. Perlu dikaji penyebab penurunan porsi belanja modal karena porsi belanja modal ini dapat dijadikan indikator kualitas pengeluaran pemerintah.
Demikian juga untuk angka pengangguran, rata-rata pesentase pengangguran setelah desentralisasi fiskal lebih tinggi dibandingkan dengan saat sebelum desentralisasi fiskal diberlakukan. Sebelum desentralisasi fiskal, tingkat pengangguran di Kabupaten Bogor dan Kota Depok adalah sebesar 5,11 persen dan 5,08 persen, sementara setelah desentralisasi fiskal rata-rata tingkat pengangguran di kedua daerah tersebut justeru mengalami peningkatan menjadi 8,37 persen (Kabupaten Bogor) dan 7,62 persen (Kota Depok).
8
Jakarta hanya memiliki tingkat kemiskinan 4,61 persen. Tingkat kemiskinan Kota Depok hanya 2,42 persen, jauh lebih baik dibandingkan Kabupaten Bogor dan Provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan pengeluaran pemerintah untuk belanja modal serta menurunkan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor (daerah induk) dan Kota Depok (daerah pemekaran)?
2. Bagaimana pengelolaan dan penetapan anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan daerah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengkaji dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji dampak desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah serta faktor-faktor lainnya terhadap PDRB per Kapita, pengeluaran pemerintah untuk belanja modal, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor dan Kota Depok.
2. Mengkaji pengelolaan dan penetapan anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan daerah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok dalam hal disiplin anggaran, prioritas anggaran, efisiensi anggaran, efektifitas anggaran, transparansi dan akuntabilitas anggaran serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran.
1.4. Manfaat Penelitian
9
anggaran, sehingga dapat mengambil keputusan/kebijakan keuangan dengan tepat. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi peneliti dan mahasiswa yang berminat di bidang keuangan daerah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah dapat ditinjau dalam banyak aspek, baik dari sisi ekonomi maupun sosial yang dapat menggambarkan kinerja pemerintah daerah. Dalam penelitian ini ruang lingkup dibatasi pada beberapa aspek sebagai berikut:
a. Penelitian ini hanya mengkaji dan mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah pada Kabupaten Bogor dan Kota Depok.
b. Dampak desentraliasasi fiskal dan pemekaran wilayah terhadap
perekonomian dibatasi pada pembahasan tentang kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran daerah, derajat kewenangan dan derajat kemandirian pemerintah daerah, rasio kemandirian dan rasio efektifitas keuangan daerah serta PDRB per Kapita.
c. Dampak desentraliasasi fiskal dan pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini terbatas pada pengkajian terhadap tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
d. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu analisis deskriptif, analisis ekonometrika persamaan simultan, dan analisis statistika non parametrik uji
Exact Fisher.
11
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Menurut Sidik (2002) secara umum konsep desentralisasi terdiri atas 3 jenis yaitu desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga):
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat keleluasaan (discretion) yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat.
3. Pendelegasian (delegation atau institutional pluralism), yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada orang yang berada diluar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang diberi wewenang memiliki discretion dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun wewenang terakhir tetap berada pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Undang-12
undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut mengatur tentang desentralisasi administrasi dan politik pada tingkat kabupaten/kota. Dengan munculnya UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah serta UU No. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, selayaknya pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengembangkan sumber daya lokal dan mengurangi ketergantungannya dari pemerintah pusat. Akan tetapi, berbagai pengamatan empiris menyatakan bahwa pemberlakuan otonomi daerah menimbulkan distorsi dan high cost economy (Landiyanto, 2005).
Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya yang berada di tangan pemerintah kota dan kabupaten. Desentralisasi fiskal merupakan aspek finansial pembangunan wilayah dan pemerintah daerah yang menyangkut dua hal yang saling berkaitan. Pertama, sumber penerimaan antara pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan tingkat wilayah dibawahnya. Kedua, desentralisasi fiskal dapat tercermin dari pengeluaran dan penerimaan wilayah dan pemerintah daerah. Ketidakseimbangan antara fungsi penerimaan dan pengeluaran pada pemerintah daerah dapat memiliki implikasi fiskal yang serius. Menurut Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor (IMF Working Paper, 2002) desentralisasi menyebabkan peningkatan transfer ke pemerintah daerah sebesar 50 persen.
2.2. Anggaran
13
menyusun anggaran, perusahaan dapat memilih kebijakan anggaran partisipatif atau top down (Hansen dan Mowen, 1995; Zimmerman, 1995 dalam Alim, 2008).
Anggaran melibatkan hubungan antar manusia, maka terdapat perilaku-perilaku manusia yang mungkin timbul sebagai akibat dari anggaran, baik perilaku yang bersifat positif maupun perilaku yang negatif. Menurut Siegel dan
Marconi (1989) bahwa aspek perilaku dalam penganggaran menggambarkan perilaku manusia yang terlibat dalam proses penyiapan anggaran dan perilaku manusia yang mencoba hidup dengan anggaran. Perilaku yang positif dapat berupa peningkatan kinerja manajer karena termotivasi oleh anggaran yang digunakan sebagai dasar penilaian kinerja mereka. Perilaku negatif yang mungkin timbul sebagai akibat dari penganggaran, antara lain konflik internal (internal conflict) dan senjangan anggaran (budgetary slack). Sebagian penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran akan mempunyai dampak positif bagi manajerial (Argyris, 1952; Kennis, 1979; Merchant, 1981; Brownell & Mc Innes, 1986). Akan tetapi sebagian lagi menyatakan bahwa partisipasi penganggaran mempunyai dampak negatif (Milani, 1975; Cherrington and Cherrington, 1973).
Dalam suatu organisasi maupun perusahaan pasti memiliki anggaran, baik operasional ataupun modal/investasi. Pada sektor publik, anggaran harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan, dan diberi masukan. Konsekuensi bagi pemerintah daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan (Sardjito dan Muthaher, 2007).
14
perubahan yang positif di berbagai bidang secara terus-menerus. Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan penggunaan dana yang tersedia dengan seoptimal mungkin untuk menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat.
2.2.1. Penyusunan Anggaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yaitu suatu daftar yang memuat rincian pendapatan dan pengeluran negara untuk waktu tertentu, biasanya dengan jangka waktu selama satu tahun dan disetujui oleh dewan perwakilan rakyat (DPR). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu daftar sistematis yang dirinci tentang penerimaan dan pengeluaran atau pembelanjaan daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). APBD disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Penyusunan APBD dilakukan dengan 3 (tiga) tahap: (1) Pemda mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada DPRD. Pengambilan keputusan oleh DPRD selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. (2) Setelah disetujui oleh DPRD, RAPBD ditetapkan menjadi APBD melalui Peraturan Daerah. Jika tidak disetujui, untuk membiayai keperluan setiap bulan, Pemda dapat melaksanakan pengeluaran setingi-tingginya sebesar angka APBD tahun sebelumnya, (3) Setelah APBD ditetapkan, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan gubernur/bupati/ walikota. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, APBD merupakan pintu yang paling mungkin bagi setiap daerah untuk mengelola kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.
15
yang diwakili oleh Panitia ad hoc sebagai konfirmasi apakah strategi dan prioritas APBD tersebut telah sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD yang telah disepakati. Strategi dan prioritas APBD yang telah dikonfirmasikan kepada DPRD selanjutnya menjadi masukan bagi Tim Anggaran Eksekutif dan Panitia Anggaran Legislatif dalam proses penganggaran berikutnya.
[image:33.612.111.516.196.423.2]Sumber: Buletin Studi Ekonomi Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006 Gambar 4. Proses Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD
2.2.2. Perilaku Pemerintah Daerah
Kebijakan desentralisasi memberikan peran pemerintah daerah secara signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu dalam sistem desentralisasi ini diperlukan perubahan-perubahan mendasar dalam hal fungsi publik dan para pelaku yang terkait dengan sistem tersebut. Dengan otonomi yang diperbesar secara bertahap dan selektif sangat memungkinkan keberhasilan staf pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan daerahnya (Smoke dan Lewis, 1996 dalam Yuliyati, 2001). Bird, Ebel dan Wallich (1995) menyatakan bahwa pemerintah daerah harus merubah perilaku dengan memperkecil aktifitas sektor publik dibarengi dengan pembangunan kapasitas staf
! "#
$ "#
# #
%& & # ' (
%& & %)) % *)& &+ * #
& %)) % * * ! &+
, ,
16
dan kelembagaan dengan maksud agar mereka lebih akuntabel dalam mengambil keputusan-keputusan fiskal.
Menurut Slamet (2000) desentralisasi ekonomi mendorong pemerintah untuk berkinerja seperti bisnis dan memperlakukan masyarakat sebagai nasabah, namun pemerintah harus teliti dalam melaksanakan usaha secara bisnis. Sebagai nasabah, masyarakat harus mendapatkan pelayanan yang lebih baik karena masyarakat telah membayar pajak dan retribusi, sehingga pemerintah daerah harus melayani masyarakat secara efisien dan berkualitas. Perilaku pemerintah daerah secara deskriptif dapat diamati melalui proses penyusunan dan pengelolaan anggaran yang mencakup aspek disiplin anggaran, strategi prioritas anggaran, efisiensi, dan efektifitas anggaran dilihat dari sisi pengeluaran/belanja pemerintah daerah . Selain itu siklus dalam penetapan APBD, akuntabilitas dan transparansi yang dikaitkan dengan partisipasi masyarakat juga dapat dijadikan gambaran untuk melihat perilaku pemerintah daerah dalam menjalankan/mengelola pembangunan daerahnya.
2.2.2.1. Disiplin Anggaran
Disiplin anggaran harus tertuju kepada arah dan kebijakan anggaran yang ditetapkan. Kebijakan anggaran adalah garis kebijakan pemerintah dalam penetapan pengeluaran dan penerimaan Negara dalam rangka mencapai tujuan ekonomi nasional. Anggaran harus disusun berdasarkan kebutuhan riil dan prioritas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja masing-masing. Kebijakan anggaran bertujuan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi agar efisien, mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi dan kegiatan ekonomi/pembangunaan agar seimbang menuju ke arah keadilan dalam pembagian pendapatan masyarakat dan tercapainya kemakmuran yang merata, menstabilkan perekonomian dan mengurangi pengaruh guncangan ekonomi menuju kearah terciptanya kesempatan kerja yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang mantap.
17
riil dan prioritas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit-unit kerja di lingkungan pemerintah daerah, (2) dalam penyusunan anggaran harus dihindari terjadinya tumpang tindih (duplikasi), (3) anggaran yang tersedia pada setiap pos merupakan batas maksimum pengeluaran dan tidak dibenarkan melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan
2.2.2.2. Prioritas Anggaran
Prioritas merupakan proses mengartikulasikan preferensi masyarakat dan memetakan preferensi tersebut ke dalam alokasi belanja (Yuliyati, 2001). Implementasinya sangat kompleks karena penentuan prioritas pada dasarnya merupakan proses politik, beban transaksi yang harus ditanggung dalam menyusun prioritas sangat tinggi dari proses perencanaan sampai dengan menjadi daftar skala prioritas.
Dalam prakteknya, pemerintah daerah harus memiliki perencanaan jangka menengah (3 -5 tahunan) dan perencanaan jangka pendek (tahunan). Perencanaan jangka menengah bersifat rangkaian kebijakan (policy) untuk menjamin kesinambungan program dan konsistensi, sedangkan perencanaan tahunan merupakan operasionalisasinya yang berfungsi untuk menjaga fleksibilitas agar perencanaan tidak kaku dan dapat mengakomodir perubahan-perubahan lingkungan strategis sehingga penyusunan skala prioritas dapat menampung aspirasi dan memetakan prefrensi masyarakat terhadap kebutuhan barang/jasa publik. Dengan disusunnya daftar skala prioritas, maka alokasi anggaran harus mengacu/taat pada daftar skala prioritas yang telah dibuat.
Beberapa hal disarankan oleh Campos dan Pradhan (1996) yang dapat mempermudah dalam menyusun strategi prioritas sebagai berikut:
a. Proses perencanaan belanja harus berkaitan erat dengan keluaran yang ingin dicapai.
b. Fleksibilitas unit-unit kerja dalam menyusun belanja lintas sektor. c. Comprehensiveness dari anggaran.
18 2.2.2.3. Efisiensi Anggaran
Prinsip efisiensi dalam kebijakan penyusunan anggaran belanja menurut kriteria investasi adalah membuat pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi setiap tujuan pembangunan per satuan rupiahnya memberikan manfaat (benefit) lebih besar atau paling tidak sama dengan satu rupiah pengeluarannya (cost). Dengan perkataan lain, marginal benefit (MB) sama dengan marginal cost-nya (MC). Dengan perkataan lain marginal benefit dari suatu proyek sama dengan marginal costnya (MB = MC) (Yuliyati, 2001)
2.2.2.4. Siklus APBD
Prisip-prinsip pokok dalam siklus anggaran mencakup tahap persiapan anggaran, tahap ratifikasi, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi. Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Sebelum melakukan taksiran pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Tahap ratifikasi merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill
namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship, dan coalition building
yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini karena dalam tahap ratifikasi ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif. Pada tahap implementasi/pelaksanaan anggaran. harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen.
19
Efektifitas anggaran dapat diukur melalui evaluasi kinerja anggaran. Dalam hal penilaian kinerja anggaran, idealnya pemerintah daerah telah melakukan evaluasi secara berkala setiap tahun (jangka pendek) maupun setiap tiga atau lima tahunan (jangka menengah). Evaluasi jangka pendek terhadap kegiatan-kegiatan dilakukan oleh tim monitoring maupun badan pengawasan daerah (Inspektorat Wilayah). Selain itu evaluasi juga dapat dilakukan oleh DPRD pada saat kunjungan kerja ke daerah. Namun untuk mengetahui optimalisasi kinerja Pemda dalam mengalokasikan pengeluaran untuk penyediaan dan pelayanan jasa publik secara lebih obyektif, Pemda dapat melakukan survei langsung terhadap opini masyarakat tentang penyediaan dan pelayanan jasa publik apakah sudah sesuai dengan preferensi masyarakat atau belum. Evaluasi jangka menengah biasanya dilakukan dalam bentuk kerjasama antara Pemda dengan perguruan tinggi setempat.
2.2.2.6. Partisipasi Masyarakat
Pada era otonomi daerah diperlukan partisipasi masyarakat agar Pemda lebih responsif, efisien, efektif, dan akuntabel dalam melayani kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, Pemda berkewajiban untuk menciptakan suasana yang dapat mendorong masyarakat umum maupun swasta untuk berpartisipasi. Sebagai pendidikan politik kepada masyarakat umum, maka Pemda perlu membuka aliran informasi dan dialog.
20
a. Orang yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tidak saja menjadi
task involved namun juga ego involved dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
b. Keikutsertaan seseorang akan meningkatkan rasa kebersamaan dalam kelompok karena dapat meningkatkan kerjasama antar anggota kelompok di dalam penetapan sasaran mereka, selain itu dapat mengurangi rasa tertekan akibat adanya anggaran.
c. Mengurangi rasa ketidaksamaan dalam mengalokasikan sumber daya yang ada di antara divisi-divisi yang ada dalam organisasi.
2.2.2.7. Transparansi dan Akuntabilitas
Akuntabilitas instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban instansi bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan, baik keberhasilan maupun kegagalan dalam melaksanakan misi instansi meraih tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan. Sistem pengelolaan keuangan daerah yang baru menunjukkan adanya kewajiban Pemda memberikan pertanggungjawaban yang meliputi menyajikan, melaporkan, mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada yang berhak dan berwenang meminta pertanggungjawaban (DPRD dan masyarakat luas).
2.3. Sumber Pembiayaan Desentralisasi
Untuk menjalankan fungsi sebagai pemerintah daerah dalam era desentralisasi, diperlukan kemampuan pembiayaan yang memadai. Secara umum penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan Musgrave, 1991: 225). Menurut UU No. 25 tahun 1999, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 (tiga) komponen besar, yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumber-sumber PAD terdiri dari: a. Hasil pajak daerah
21
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah 2. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan terdiri dari: a. Bagi hasil pajak
b. Bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam
c. Dana Alokasi Umum (DAU)
d. Dana Alokasi Khusus (DAK) 3. Lain-lain pendapatan yang sah
Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari dana perimbangan merupakan indikasi ketergantungan pembiayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut:
• Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
• Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
• Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan (Kuncoro, 2004).
2.4. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah
Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah daerah dari hasil pajak maupun bukan pajak, transfer dari pemerintah atasnya, dan pinjaman yang diterima oleh pemerintah daerah4. Kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai oleh pemerintah daerah diantaranya kegiatan-kegiatan administrasi
4
22
pemerintahan dan pembangunan infrastruktur. Jenis-jenis pengeluaran/belanja pemerintah daerah secara rinci dapat dibedakan menjadi:
1. Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan pelaksanaan pogram dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan pengeluaran tidak terduga.
a. Belanja pegawai tidak langsung adalah belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai perundang-undangan.
b. Belanja bunga adalah belanja yang digunakan untuk pembayaran bunga hutang yang dihitung berdasarkan kewajiban pokok hutang berdasarkan perjanjian jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjag. c. Belanja subsidi adalah belanja untuk bantuan biaya produksi kepada
perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi barang/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak.
d. Belanja hibah adalah belanja yang dianggarkan untuk diberikan kepada pihak lain sebagai hibah dalam bentuk uang, barang dan atau jasa.
e. Belanja bantuan sosial adalah belanja untuk memberikan bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan lainnya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
f. Belanja bagi hasil adalah belanja yang dianggarkan sebagai dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota maupun kepada desa, atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya. Belanja bagi hasil terdiri dari belanja bagi hasil pajak dan belanja bagi hasil retribusi.
23
2. Belanja langsung, yaitu belanja yang terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja lansung terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.
a. Belanja pegawai langsung adalah pengeluaran untuk honorarium/upah, lembur, dan pengeluaran lain untuk meningkatkan motivasi dan kualitas pegawai dalam melaksanakan program kegiatan pemerintah daerah. b. Belanja barang dan jasa adalah belanja untuk pembelian/pengadaan
barang yang nilai manfaatnya kurang dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. c. Belanja modal adalah belanja untuk pembelian/pengadaan atau
pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
Selain menurut jenisnya, pengeluaran pemerintah daerah dapat juga dibedakan menurut fungsinya5, yaitu:
1. Fungsi pelayanan umum 2. Fungsi pendidikan
3. Fungsi perlindungan Sosial 4. Fungsi ketertiban dan ketentraman 5. Fungsi ekonomi
6. Fungsi lingkungan hidup
7. Fungsi perumahan dan fasilitas umum 8. Fungsi kesehatan
9. Fungsi pariwisata dan budaya
2.5. Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Halim dalam Landiyanto (2005), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (i) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai
5
24
penyelenggaraan pemerintahan; (ii) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, artinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijkan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Atas dasar alasan tersebut, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi dapat digambarkan melalui kinerja keuangan daerah.
Kinerja keuangan daerah dapat diukur dengan derajat desentralisasi fiskal (Musgrave dan Musgrave, 1991). Akai dan Sakata (2005) membagi ukuran desentralisasi fiskal menjadi dua, yaitu derajat kewenangan (authority power) dan derajat kemandirian (autonomy power). Derajat kewenangan pemerintah daerah diukur menggunakan tiga indikator, yaitu Revenue Indicator (RI), Production Indicator (PI), dan Production-Revenue Indicator (PRI). Sedangkan derajat kemandirian diukur dengan Autonomy Indicator (AI) yang merupakan rasio penerimaan sendiri pemerintah daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah.
2.6. Rasio Keuangan Daerah
25
kaidah pengakuntansiannya dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo, 2002).
2.7.Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita
Secara normatif diharapkan bahwa desentralisasi merupakan keputusan yang efisien terhadap pelayanan publik yang akan menghasilkan pembangunan ekonomi secara cepat. Namun secara empiris beberapa literatur mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara desentralisasi dan pertumbuhan. Studi terhadap 46 negara tahun 1970 – 1989, Davoodi and Zou (1997) menemukan hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan tidak ada hubungannya di negara maju.
Atsushi Iimi, 2004 menemukan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara rata-rata pertumbuhan per kapita dan desentralisasi fiskal yang diukur oleh andil pengeluaran lokal terhadap total pengeluaran pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dari satu tahun ke tahun berikutnya (Blanchard, 2000). PDB adalah nilai barang dan jasa final (untuk tujuan konsumsi) yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi pada suatu periode waktu tertentu. PDB dapat diperoleh dengan dua cara yakni PDB atas dasar harga berlaku dan PDB atas dasar harga konstan. Pada umumnya pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan PDB atas dasar harga konstan, seperti halnya Zang and Zou (1998) dalam penelitiannya yang mengukur pertumbuhan ekonomi menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi pada periode tertentu disebut Produk Domestik Regional Buto (PDRB).
26
( ( ), ( ), ( ))
Y
=
F K t L t A t
………..….... (1)t adalah variabel waktu yang menentukan fungsi produksi melalui variabel input
L,K, dan A. Output akan berubah selama variabel input juga berubah dalam kurun waktu tertentu.
2.8. Pengangguran
2.8.1. Kurva Phillips
Kurva Phillips menunjukkan hubungan terbalik antara pengangguran dan tingkat kenaikan upah nominal. Semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah tingkat inflasi upah atau terdapat tradeoff antara inflasi upah dan pengangguran (Dornbush, 2001). Jika Wt adalah upah periode sekarang dan Wt+1
adalah upah periode berikutnya, maka tingkat inflasi upah (gw)didefinisikan
sebagai:
t t t w
W W W
g = +1− ……… (2)
Jika u* menggambarkan tingkat pengangguran alamiah, dapat disusun kurva Phillips sederhana sebagai berikut:
*) (u u
gw =−ε − ……….…….. (3)
dimana ε merupakan tingkat resposifitas dari upah terhadap pengangguran. Upah turun ketika tingkat pengangguran melebihi tingkat pengangguran alamiah (u > u*) dan naik ketika tingkat pengangguran berada dibawah tingkat pengang-guran alamiah (u > u*).
Kurva Phillips berimplikasi bahwa upah dan harga menyesuaikan diri terhadap permintaan agregat. Dengan naiknya upah tingkat pengangguran akan turun. Upah akan bergerak naik, termasuk harga dan akhirnya perekonomian akan kembali ke tingkat full employment dari output dan pengangguran sehingga diperoleh persamaan berikut:
(
)
[
1 *]
1 W u u
Wt+ = t −⊥ − ….………. (4)
27 Sumber: Dornbush (2004)
Gambar 5. Kurva Phillips
2.8.2. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips
Kurva Phillips sederhana tidak lagi cocok dengan data tahun 1970 an dan 1980 an, perlu diperhatikan ekspektasi atau antisipasi inflasi sehingga persamaan (3) menjadi:
*) ( )
(gw−πe =−ε u−u ……… (5)
dimana πe merupakan tingkat ekspektasi inflasi harga. Dengan asumsi upah riil konstan, inflasi aktual (π) akan sama dengan inflasi upah, maka persamaan untuk
Kurva Phillips versi modern the (inflation)-expectation-augmented Phillips curve
adalah:
*) (u u e
e − − =π
π ……… (6)
- Ekspektasi inflasi dimasukkan ke dalam inflasi aktual secara proporsional. - Pengangguran berada pada tingkat alamiah ketika inflasi aktual sama dengan
28 Sumber: Dornbush (2004)
Gambar 6. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips Jangka Pendek
2.8.3. Teori Upah Efisiensi
Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja, permintaan tenaga kerja merupakan hubungan antara upah dan jumlah tenaga kerja. Permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung pada permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi oleh suatu perusahaan, sehingga permintaan terhadap tenaga kerja dapat diturunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K), sebagai berikut:
Y = f(L, K) ……… (7) dimana: Y = Total Produksi (output)
L = Tenaga kerja
K = Modal
Kurva Phillips akhir 90
Tingkat Pengangguran
Kurva Phillips awal 80
πe akhir 90 an = 2%
πe awal 80 an = 7%
T i n g k a t
I n f l a s i (%) 2
7
29
Dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition), tingkat penyerapan tenaga kerja dan harga (tingkat upah) ditentukan oleh harga-harga sejumlah output dan faktor-faktor produksi lainnya selain tenaga kerja (Todaro, 2000).
[image:47.612.177.463.156.335.2]Sumber : Nicholson (1998)
Gambar 7. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa keseimbangan di pasar tenaga kerja tercapai pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan di pasar tenagakerja (SL)
sama dengan yang diminta oleh perusahaan (DL), yaitu pada tingkat upah
ekuilibrium (W0). Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenaga
kerja melebihi permintaan tenaga kerja, sehingga persaingan dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik W0. Sebaliknya, pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah
tenaga kerja yang diminta oleh para produsen melebihi jumlah penawaran yang ada, sehingga terjadi persaingan di antara perusahaan dalam memperebutkan tenaga kerja sehingga akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik W0. Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja adalah L0, pada titik L0
30
Perusahaan akan beroperasi lebih efisien jika upah berada diatas titik
ekuilibrium, jadi akan lebih menguntungkan perusahaan untuk tetap
mempertahankan upah tetap tinggi meskipun penawaran tenaga kerja berlebih.
Menurut teori upah efisiensi yang dikembangkan oleh Cafferty, 1990 dalam
Mankiw, 2003, apabila pekerja mendapatkan upah yang tinggi maka dia dapat
memenuhi kebutuhan fisik minimum hidupnya, sehingga dengan demikian
apabila kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi maka pekerja akan berangkat
ketempat pekerjaannya dengan tenang dan akan memberikan konsentrasi penuh
serta mencurahkan pemikiran dan tenaganya secara maksimal selama dia berada
di tempat pekerjaannya. Dampak secara ekonomi bagi perusahaan adalah
produktivitas tenaga kerja akan meningkat yang pada akhirnya akan memacu
tingkat pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
[image:48.612.151.428.338.496.2]menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga pengangguran akan menurun.
Gambar 8. Pergeseran Penyerapan Tenaga Kerja
Berapa banyaknya tenaga kerja yang akan dipakai oleh pengusaha sangat
ditentukan oleh upah tenaga kerja serta harga dari outputnya. Nilai tambahan
output sebagai akibat tambahan satu unit tenaga kerja disebut dengan nilai produk
marginal, yaitu produk marginal dikalikan dengan harga out put dengan anggapan
pengusaha menghadapi pasar persaingan sempurna. Pengusaha akan menambah
tenaga kerja selama nilai produk marginal masih lebih tinggi dari upah tenaga
kerja yang dibayarkan, penambahan tenaga kerja akan berhenti jika nilai produk
marginal sama dengan upah Elfindri dan Bachtiar (2004). Dalam bentuk
31
MPL x P = W ………... (8)
Dimana :
MPL = Produk Marginal Tenaga Kerja
P = Harga Output
W = Upah Tenaga Kerja
2.9. Pemodelan Ekonometrika
Main Hypotheses
(H)
Auxiliary Hypotheses
(Ai)
Deduction
Prediction Data on Salient Variables
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Testable form of the theory Y = XB + error
Residuals Consistent White White Noise
Errors
Residuals not Consistent with White Noise Errors
Test Main Hypotheses
Main Hypotheses
Rejected
Main Hypotheses Not
Rejected
32 Sumber: Juanda (2007)
Gambar 9. Tahapan Model Empiris untuk Memperoleh Model yang Terspesifikasi dengan Benar
Model ekonometrika terdiri dari dua golongan variabel, yaitu variabel terikat (dependent variables) dan variabel bebas (independent variables). Jumlah variabel bebas bisa lebih dari satu variabel. Untuk model dengan satu variabel bebas disebut dengan regresi tunggal (single regression), sedangkan untuk model yang mempunyai lebih dari satu variabel bebas disebut regresi berganda (multiple regression). Model ekonometrika merupakan gambaran hubungan antara variabel penjelas (explanatory variables) dengan peubah endogen (dependent variables).
Metode ekonometrika merupakan serangkaian taha