• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Gambaran Foto Toraks pada _..Penderita Bekas Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Gambaran Foto Toraks pada _..Penderita Bekas Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

Foto Toraks pada Penderita Bekas Tuberkulosis di

RSUP H. Adam Malik Medan

OLEH :

MARULI SETIAWAN

110100356

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Gambaran Foto Toraks pada _..Penderita Bekas Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan

NAMA :. Maruli Setiawan

NIM : .110100356

Pembimbing Penguji I

(dr. Syamsul Bihar, M.Ked (Paru), Sp.P) (dr. Winra Pratita, M.Ked (Ped), Sp.A)

NIP : 198212192008121004 NIP : 198310082008122002

Penguji II

(dr. M. Surya Husada, Sp. KJ)

NIP : 198002032008011011

Medan, Januari 2015

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH)

(3)

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman menyerang paru lewat saluran pernafasan, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Proses infeksi yang terjadi pada tuberkulosis meninggalkan jaringan parut pada tempat yang terjadi peradangan. Akibat perubahan struktur jaringan paru tersebut dapat terjadi berbagai kelainan fungsi paru, yaitu obstruktif, restriktif, dan kombinasi obstruktif dan restriktif, yang dapat dididagnosis secara mudah dengan pemeriksaan uji faal paru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif-analitik dengan desain penelitian studi potong lintang (cross sectional study) pada 32 orang sampel. Sampel merupakan penderita bekas tuberkulosis paru yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB mulai dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Pada sampel dilakukan uji spirometri dan foto toraks diinterpretasikan oleh dokter yang bertugas. Hasil akhir yang dilihat adalah hubungan antara hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis. Data kemudian disajikan dan dianalisis dalam bentuk tabel.

Sebanyak 32 orang sampel dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis Fisher dan didapatkan hasil p = 0,001. Dari hasil uji faal paru didapatkan bahwa 10 orang (31,3%) normal, 11 orang (34,4%) dengan kelainan restriksi, 5 orang (15,6%) kelainan obstruksi, dan 6 orang (18,8%) dengan kelainan campuran.

Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang sangat bermakna antara hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis

(4)

ABSTRACT

Tuberculosis is a contangious disease that is caused by Mycobacterium tuberculosis infection. Most of this bacteria attack lungs through respiratory tract but also capable of attacking different organs in the body. The processes that occurred in tuberculosis infection left scarred tissue at the site of inflammation. Due to changes of the lung structure, various pulmonary function abnormalities can be occurred, such as obstructive, restrictive, and the combination of obstructive and restrictive abnormalities, that can be diagnosed with lung function test.

This study was performed to determine the correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan.

This study is a descriptive-analytic study with cross sectional design implemented on 32 subjects. Subjects were post-tuberculosis patients who had medical check-up at Pulmonary Clinic from August to October 2014 that met the inclusion criteria. The subjects’ pulmonary functions were tested and chest x-ray were interpreted by the doctor on-duty. The final result shows the correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients. The data are then presented and analyzed in tabular form.

The 32 subjects in this study were analyzed with Fisher test and the result obtained showed p value = 0,001. The pulmonary function test’s result showed 10 people (31,3%) with normal lung function, 11 people (34,4%) with restriction disorder , 5 people (15,6%) with obstruction disorder, and 6 people (18,8%) with combined disorder.

There was a very strong correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan kesehatan yang telah Ia berikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah “Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Foto Toraks pada Penderita Bekas Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan”, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pembelajaran semester VII di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini, peneliti telah mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr.Syamsul Bihar,Sp.P selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada peneliti, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. M. Surya Husada,Sp.KJ dan dr. Winra Pratita,Sp.A selaku dosen penguji I dan II yang sudah meluangkan waktu dan pemikiran untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

4. Orang tua peneliti, Drs. Renward Sitorus,S.E. dan Dra. Mida Siregar yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material dan keluarga besar yang telah banyak memberikan motivasi kepada peneliti. 5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(6)

6. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2011 yang telah memberi saran, kritik, dan dukungan dalam proses penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan akibat keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang berarti guna menyempurnakan penelitian ini.

Akhirnya peneliti mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara, serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2014

Peneliti,

MARULI SETIAWAN

(7)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Singkatan ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Definisi Tuberkulosis ... 5

2.2Etiologi dan Faktor Risiko Tuberkulosis ... 5

2.3Patogenesis Tuberkulosis Paru ... 7

2.4Klasifikasi Tuberkulosis Paru ... 8

2.5Gejala Klinis Tuberkulosis Paru ... 11

2.6Diagnosis ... 12

2.7Pengobatan Tuberkulosis Paru ... 15

2.8Faal Paru ... 19

(8)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 24

3.1Kerangka Konsep Penelitian ... 24

3.2Variabel Penelitian ... 24

3.3Definisi Operasional ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1Jenis Penelitian ... 30

4.2Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

4.3Populasi dan Sampel ... 30

4.4Teknik Pengumpulan Data ... 32

4.5Pengolahan dan Analisis Data ... 32

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1Hasil Penelitian ... 33

5.2Pembahasan ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1Kesimpulan ... 42

6.2Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(9)

DAFTAR GAMBAR

NOMOR JUDUL HALAMAN

Gambar 2.1. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru ... 6

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru ... 15

Gambar 2.3. Pola Ekspirasi Paksa pada Faal Paru Normal,

Obstruktif, dan Restriksi ... 23

(10)

DAFTAR TABEL

NOMOR JUDUL HALAMAN

Tabel 2.1. Rekomendasi Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama

Untuk Dewasa ... 17

Tabel 2.2. Indikasi Spirometri ... 22

Tabel 2.3. Klasifikasi Abnormalitas Faal Paru pada Uji Spirometri ... 22

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 34

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Usia ... 34

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan .... 35

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kategori Pengobatan .. 35

Tabel 5.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Gambaran Foto Toraks ... 36

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Faal Paru ... 36

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Hasil Uji Faal Paru pada Tiap Jenis Gambaran Foto Toraks ... 37

(11)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome

BTA Bakteri Tahan Asam

Depkes Departemen Kesehatan

ERV Expiratory Reserve Volume

FEV Forced Expiratory Volume

FRC Funtional Residual Capacity

FVC Forced Vital Capacity

GOLD Global Initiative for Chronic Obstructive. Lung Disease

HIV Human Immunodeficiency Virus

IUATLD International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease

MDR TB Multi-drug Resistant Tuberculosis

OAT Obat Antituberkulosis

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PEF Peak Expiratory Flow

QEA Quality External Assurance

RHZES Rifampisin, Isoniazid, Pyrazinamid, Etambutol,

Streptomycin

RV Residual Volume

SVC Slow Vital Capacity

TB Tuberkulosis

TLC Total Lung Capacity

(12)

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman menyerang paru lewat saluran pernafasan, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Proses infeksi yang terjadi pada tuberkulosis meninggalkan jaringan parut pada tempat yang terjadi peradangan. Akibat perubahan struktur jaringan paru tersebut dapat terjadi berbagai kelainan fungsi paru, yaitu obstruktif, restriktif, dan kombinasi obstruktif dan restriktif, yang dapat dididagnosis secara mudah dengan pemeriksaan uji faal paru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif-analitik dengan desain penelitian studi potong lintang (cross sectional study) pada 32 orang sampel. Sampel merupakan penderita bekas tuberkulosis paru yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB mulai dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Pada sampel dilakukan uji spirometri dan foto toraks diinterpretasikan oleh dokter yang bertugas. Hasil akhir yang dilihat adalah hubungan antara hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis. Data kemudian disajikan dan dianalisis dalam bentuk tabel.

Sebanyak 32 orang sampel dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis Fisher dan didapatkan hasil p = 0,001. Dari hasil uji faal paru didapatkan bahwa 10 orang (31,3%) normal, 11 orang (34,4%) dengan kelainan restriksi, 5 orang (15,6%) kelainan obstruksi, dan 6 orang (18,8%) dengan kelainan campuran.

Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang sangat bermakna antara hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis

(13)

ABSTRACT

Tuberculosis is a contangious disease that is caused by Mycobacterium tuberculosis infection. Most of this bacteria attack lungs through respiratory tract but also capable of attacking different organs in the body. The processes that occurred in tuberculosis infection left scarred tissue at the site of inflammation. Due to changes of the lung structure, various pulmonary function abnormalities can be occurred, such as obstructive, restrictive, and the combination of obstructive and restrictive abnormalities, that can be diagnosed with lung function test.

This study was performed to determine the correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan.

This study is a descriptive-analytic study with cross sectional design implemented on 32 subjects. Subjects were post-tuberculosis patients who had medical check-up at Pulmonary Clinic from August to October 2014 that met the inclusion criteria. The subjects’ pulmonary functions were tested and chest x-ray were interpreted by the doctor on-duty. The final result shows the correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients. The data are then presented and analyzed in tabular form.

The 32 subjects in this study were analyzed with Fisher test and the result obtained showed p value = 0,001. The pulmonary function test’s result showed 10 people (31,3%) with normal lung function, 11 people (34,4%) with restriction disorder , 5 people (15,6%) with obstruction disorder, and 6 people (18,8%) with combined disorder.

There was a very strong correlation between lung function and the chest x-ray of post-tuberculosis patients.

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Sebagian besar kuman menyerang paru lewat saluran pernafasan, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Pasien dapat dikatakan suspek TB jika terdapat gejala atau tanda TB yang meliputi batuk produktif lebih dari 2 minggu dan disertai dengan gejala pernapasan (sesak napas, nyeri dada, hemoptisis dan/atau gejala tambahan meliputi tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam, dan mudah lelah). Sedangkan yang dimaksud dengan kasus TB pasti adalah pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis yang diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

Pada tahun 2011, diperkirakan ada 8,7 juta insiden tuberkulosis. Kasus TB baru paling banyak terjadi di Asia (59%) dan Afrika (26%). Jumlah yang lebih kecil berada di wilayah Mediterania Timur (7,7%), Eropa (4,3%), dan Amerika (3%). Berdasarkan data WHO pada tahun 2011, lima negara dengan insiden kasus TB terbanyak yaitu, India (2,0-2,5 juta), China (0,9-1,0 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6 juta), Indonesia (0,4-0,5 juta), dan Pakistan (0,3-0,5 juta) (WHO, 2012).

(15)

berdasarkan jumlah penduduk tahun 2012, diperhitungkan sasaran penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 21.145 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) yaitu 17.459 kasus atau 82,57%. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2011 yaitu 76,57% dan 2010 yaitu 68,86% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Proses infeksi yang terjadi pada tuberkulosis meninggalkan jaringan parut pada tempat yang terjadi peradangan (Price, 2006). Proses ini akan membentuk daerah fibrosis di paru yang mengalami peradangan sehingga dapat mengurangi jumlah total jaringan paru fungsional (Guyton dan Hall, 2008). Selain itu, terjadi reaksi radang nonspesifik yang luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif sehingga beban proteolitik meningkat yang akhirnya akan merusak matriks alveoli (Banaiee et all, 2006).

Akibat perubahan struktur jaringan paru tersebut dapat terjadi berbagai kelainan fungsi paru, yaitu obstruktif, restriktif, dan kombinasi obstruktif dan restriktif, yang dapat dididagnosis secara mudah dengan pemeriksaan uji faal paru, dimana tes ini lebih sensitif untuk menentukan kelainan fungsi paru dibanding anamnesis, pemeriksaan fisis, dan radiologis (Syamsuri, 2000).

(16)

kelainan restriktif, 48,6% dengan kelainan obstruktif, dan 9,3% dengan kelainan campuran.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena penelitian mengenai hubungan hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis belum pernah dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui adakah hubungan hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan hasil uji faal paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita bekas tuberkulosis yang meliputi : jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan kategori pengobatan.

2. Untuk mengetahui gambaran faal paru pada penderita bekas tuberkulosis paru.

3. Untuk mengetahui gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis paru.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Masyarakat

(17)

1.4.2. Bagi Institusi

Sebagai karya tulis ilmiah terbaru yang dapat diterbitkan di website

institusi yang bersangkutan, dalam hal ini yaitu FK USU.

1.4.3. Bagi Peneliti

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru (O’Brien dan Raviglione, 2005).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus

Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium

tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis

berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan

ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler (Herchline, 2013).

Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan

(19)

mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).

Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten terhadap faktor

kimia daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang berkelompok. Bahan celup (misalnya, malakit hijau) atau zat antibakteri (misalnya penisilin) yang bersifat bakteriostatik terhadap bakteri lain dapat dimasukkan dalam medium pertumbuhan tanpa menghambat pertumbuhan basil tuberkulosis. Selain itu, basil tuberkel juga mampu bertahan dari pengeringan dan dapat hidup untuk waktu yang lama pada sputum yang dikeringkan (Brooks, et al., 2010).

Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko yaitu faktor kependudukkan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan meliputi: jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, dan kondisi sosial ekonomi. Adapun faktor risiko lingkungan meliputi: kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian. Selain itu, kondisi imunitas seseorang juga sangat berpengaruh pada kemungkinan terkena tuberkulosis paru, salah satunya adalah HIV/AIDS. Pada penderita AIDS, sistem kekebalannya akan rusak sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Jadi, semakin banyak orang yang mengidap AIDS, maka semakin banyak pula penderita tuberkulosis paru (Ruswanto, 2010).

(20)

2.3 Patogenesis Tuberkulosis Paru

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena droplet yang terdapat di udara akibat dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita. Pada penderita tuberkulosis paru aktif, 3000 partikel droplet, dengan paling sedikit 10 basil yang dapat memulai infeksi. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bakteri ini dapat bertahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan pada suasana lembab (Amin dan Bahar, 2009 ; Herchline, 2013).

Bila partikel ini terhirup, maka partikel ini akan menempel pada saluran napas dan jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya < 5 mikrometer. Organisme ini akan tumbuh dalam 2-12 minggu hingga mencapai jumlah 1000-10.000 basil. Jumlah ini akan cukup untuk memunculkan respon imun selular yang bisa terdeteksi dengan tuberculin skin test . Bakteri ini pertama kali akan dihadapi oleh netrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin dan Bahar, 2009 ; Herchline, 2013).

Bakteri yang bertahan hidup dalam jaringan paru akan membentuk suatu sarang tuberkulosis yang disebut sarang primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat muncul di setiap bagian paru, namun paling sering pada bagian basal (Brooks, et al, 2010) . Dari sarang primer akan muncul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

1. Sembuh tanpa meninggalkan kecacatan.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat teraktivasi kembali akibat adanya bakteri yang dorman.

(21)

kelanjutan ataupun reaktivasi dari sarang primer maupun superinfeksi dari basil tuberkulosis (Crofton dan Douglas, 1975). Bentuk ini dimulai dengan sarang dini yang biasanya terletak pada bagian atas lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil, dan kemudian dapat mengalami :

1. Reabsorbsi tanpa meninggalkan cacat

2. Menyisakan serbukan jaringan fibrosis, mengeras dan menyebabkan pengapuran, dapat juga meluas sebagai granuloma lalu berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2009).

2.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

1. Berdasarkan patologis : a. Tuberkulosi primer b. Tuberkulosis post-primer 2. Berdasarkan aktivitas radiologis :

a. Tuberkulosis paru aktif (Koch Pulmonum) b. Tuberkulosis non-aktif

c. Tuberkulosis quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh) (Amin dan Bahar, 2009).

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum : a. TB Paru BTA positif

(22)

Pada laboratorium yang belum memenuhi standar QEA : a.2.Dua atau lebih pemeriksaan dahak positif BTA.

a.3.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan foto toraks menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

a.4.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. TB Paru BTA Negatif

b.1.Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA negatif tetapi biakan menunjukkan tuberkulosis positif pada laboratorium yang memenuhi standar QEA.

Pada laboratorium yang tidak mempunyai fasilitas kultur : b.2.Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA

negatif ditambah hasil foto toraks menunjukkan gambaran TB aktif disertai salah satu : dari hasil pemeriksaan HIV positif atau hasil pemeriksaan HIV negatif namun tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas atau gambaran foto toraksnya tidak berubah pada foto serial.

c. Kasus Bekas TB

c.1.Hasil pemeriksaan sputum dan biakan negatif dan gambaran foto toraks menunjukkan lesi yang tidak aktif (PDPI, 2011). 4. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (Relaps)

(23)

c. Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus pindahan (Transfer in)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes, 2011).

5. Berdasarkan gambaran radiologis (luas lesi) menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association :

a. Lesi Minimal

Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau kedua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis ke-4 atau korpus vertebra torakalis ke-5 dan tidak dijumpai kavitas.

b. Lesi Sedang

(24)

c. Lesi Luas

Bila proses tuberkulosis paru lebih luas dari lesi sedang (Alasgaff dan Mukty, 2005).

2.5 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori.

1. Gejala respiratori

a. Batuk produktif ≥ 2 minggu b. Batuk darah

c. Sesak nafas

d. Nyeri dada (PDPI, 2011)

Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi (PDPI, 2011). Gejala respiratori juga menunjukkan adanya sesak napas yang dapat diakibatkan kelainan faal paru berupa kelainan restriktif dan obstruktif. Kelainan restriktif terjadi karena adanya fibrosis pada jaringan paru, sedangkan kelainan obstruktif dapat terjadi karena emfisema dan juga stenosis dari bronkus (Crofton dan Douglas, 1975).

2. Gejala Sistemik

a. Demam

b. Keringat malam c. Anoreksia

d. Berat badan menurun (PDPI, 2011) 3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

(25)

sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2011)

2.6 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan : 1. Gejala Klinis

a. Gejala respiratori

a.1.Batuk produktif ≥ 2 minggu a.2.Batuk darah

a.3.Sesak nafas

a.4.Nyeri dada (PDPI, 2011)

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

b. Gejala sistemik b.1.Demam

b.2.Keringat malam b.3.Anoreksia

b.4.Berat badan menurun (PDPI, 2011) 2. Pemeriksaan fisik

a. Konjungtiva palpebra atau kulit pucat karena anemia b. Badan kurus dan berat badan menurun

c. Hasil perkusi toraks redup dan auskultasi suara napas bronkial, dicurigai adanya infiltrate yang agak luas

(26)

e. Atrofi dan retraksi otot-otot interkostal pada tuberkulosis paru lanjut

f. Terlihat adanya paru-paru yang tertinggal saat bernapas apabila terjadi efusi pleura (Amin dan Bahar, 2009)

3. Pemeriksaan bakteriologi

Dengan cara pemeriksaan sputum penderita yang diambil 3 kali (SPS): sewaktu, pagi, sewaktu atau setiap pagi selama 3 hari berturut-turut. Sputum ini nantinya akan diuji dengan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA). Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pewarnaan Ziehl-Nielsen ataupun pewarnaan Kinyoun-Gabbett (PDPI, 2011) . Dapat juga dilakukan pewarnaan auramindho-damin untuk pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet, namun jarang dilakukan karena dicurigai bersifat karsinogenik (Amin dan Bahar, 2009).

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

a. 2 kali (+), 1 kali (-) → Mikroskopik (+)

b. 1 kali (+), 2 kali (-) → ulang BTA 3 kali , kemudian : b.1.bila 1 kali (+), 2 kali (-) → Mikroskopik (+) b.2.bila 3 kali (-) → Mikroskopik (-)

Interprestasi hasil pemeriksaan mikroskopik berdasarkan skala

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

(IUATLD) :

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang → (-). b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang → laporkan

jumlah pasti dari basil yang ditemukan.

c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang → 1+.

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang, periksa 50 .lapangan pandang → 2+.

(27)

Selain pemeriksaan mikroskopik, BTA juga dapat diperiksa dengan melakukan kultur pada media. Media kultur yang dipakai dengan metode konvensional adalah egg base media seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh dan agar base media seperti Middle brook. Koloni kuman akan tampak setelah 4-6 minggu setelah penanaman sputum dalam medium biakan. Apabila sampai 8 minggu sejak penanaman sputum koloni tidak juga nampak, maka kultur dinyatakan negatif (Amin dan Bahar, 2009). 4. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah) tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya tuberkulosis endobrakial) (Amin dan Bahar, 2009).

Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi tuberkulosis aktif : a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan dan posterior

lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau noduler.

c. Bayangan bercak milier.

d. Efusi pleura unilateral atau bilateral (PDPI, 2011). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif : a. Fibrotik

b. Kalsifikasi

c. penebalan pleura (PDPI, 2011)

Luas lesi yang tampak pada pemeriksaan foto toraks dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Lesi minimal ( Minimal tuberculosis)

b. Lesi sedang ( Moderately advanced tuberculosis)

(28)

gambaran yang didapat banyak yang menyerupai gambaran penyakit lain. Selain itu, faktor kesalahan dalam pembacaan foto dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu, untuk diagnostik radiologi sering juga dilakukan foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi, dan foto dengan proyeksi densitas keras (Amin dan Bahar, 2009).

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru Sumber : Depkes, 2011

2.7 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB bertujuan untuk ;

1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.

(29)

4. Mengurangi penularan.

5. Mencegah terjadinya resistensi obat (PDPI, 2011).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2011).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2011).

2. Tahap Lanjutan

(30)

Tabel 2.1. Rekomendasi dosis obat antituberkulosis lini pertama untuk

Pasien dengan umur lebih dari 60 tahun mungkin tidak menoleransi terhadap dosis 500-750 mg

per hari, jadi disarankan untuk menurunkan dosisnya sebesar 10 mg/kgBB/hari. Pasien dengan

berat badan kurang dari 50 kg mungkin tidak sesuai dengan dosis di atas 500-750 mg.

Sumber : (WHO, 2010)

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu : 1. Kategori I

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.

b. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3.

2. Kategori II

a. TB paru kasus kambuh.

a.1.Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. b. TB paru kasus gagal pengobatan

(31)

etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).

b.2.Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE.

b.3.Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

b.4.Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5RHE.

c. TB Paru kasus putus berobat. c.1.Berobat ≥ 4 bulan

c.1.1. BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).

c.1.2.BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

c.2.Berobat ≤ 4 bulan

c.2.1.Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3)

(32)

2. Kategori III

a. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal

b. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3

3. Kategori IV

a. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).

b. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2006).

2.8 Faal Paru

Paru adalah satu-satunya ogan tubuh yang berhubungan dengan lingkungan luar tubuh, yaitu melalui sistem pernapasan (Antaruddin, 2000). Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida (Guyton dan Hall, 1997). Tes fungsi paru merupakan metode objektif untuk menilai perubahan fungsional pada pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit paru. Data dari tes fungsi paru memperlihatkan hubungan pola fungsional dengan pola penyakit paru obstruksi atau restriksi (Wilson, 2006). Fungsi paru diukur dalam kondisi statis untuk menentukan volume paru dan diukur dalam kondisi dinamis untuk menentukan kecepatan aliran napas paksa. Empat volume paru yang penting antara lain :

1. Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali bernapas normal. Besarnya kira-kira 500 ml pada laki-laki dewasa. 2. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat

(33)

3. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidal normal. Jumlah normalnya adalah sekitar 1100 ml.

4. Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Besarnya kira-kira 1200 ml (Guyton dan Hall, 1997).

Kadang-kadang perlu menyatukan dua atau lebih volume paru untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru. Kombinasi ini disebut kapasitas paru. Kapasitas paru yang penting antara lain :

1. Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai dengan ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai dengan jumlah maksimum. Besarnya sama dengan volume tidal ditambah volume cadangan inspirasi yang jumlahnya sekitar 3500 ml.

2. Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimum yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Besarnya sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal dan volume cadangan ekspirasi yang jumlahnya sekitar 4600 ml.

3. Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal. Besarnya sama dengan volume cadangan ekspirasi ditambah volume residu yang jumlahnya sekitar 2300 ml.

4. Kapsitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin. Besarnya sama dengan kapsitas vital ditambah volume residu yang jumlahnya sekitar 5800 ml. (Guyton dan Hall, 1997)

2.9 Uji Spirometri

(34)

dapat dihembuskan pasien setelah inspirasi maksimal (GOLD, 2010). Pemeriksaan spirometri ditujukan untuk mengetahui fungsi ventilasi dan komplians paru. Nilai-nilai berikut ini biasa diukur dengan menggunakan spirometer :

1. Forced vital capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa setelah inspirasi sedalam mungkin.

2. Forced expiratory volume (FEV) adalah jumlah udara yang dapat

dihembuskan secara paksa dalam sekali napas. Jumlah udara yang dihembuskan biasanya dihitung selama satu detik (FEV1), dua detik (FEV2), atau tiga detik (FEV3).

3. Peak expiratory flow (PEF) adalah kecepatan udara yang dapat

dihembuskan dengan paksa. Biasanya dihitung bersamaan dengan FVC. 4. Maximum voluntary ventilation adalah jumlah udara terbanyak yang dapat

dihirup dan dihembuskan dalam 1 menit.

5. Slow vital capacity (SVC) adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan

secara perlahan setelah inspirasi sedalam mungkin.

6. Total lung capacity (TLC) adalah jumlah udara yang berada dalam

paru-paru setelah inspirasi sedalam mungkin.

7. Funtional residual capacity (FRC) adalah jumlah udara dalam paru-paru

pada akhir ekspirasi normal.

8. Residual volume (RV) adalah jumlah udara dalam paru-paru setelah

ekspirasi penuh. Volume ini dapat diukur dengan menghirup gas helium atau nitrogen dan hitung berapa jumlahnya yang dihembuskan.

9. Expiratory reserve volume (ERV) adalah perbedaan antara jumlah udara

(35)

Tabel 2.2. Indikasi spirometri Diagnostik

Evaluasi keluhan dan gejala (deformitas rongga dada, sianosis, penurunan suara napas, perlambatan udara ekspirasi, overinflasi, ronki yang tidak dapat dijelaskan) Evaluasi hasil laboratoriun abnormal (foto torals abnormal, hiperkapnia, hipokalsemia, polisitemia)

Menilai pengaruh penyakit pada fungsi paru

Deteksi dini seseorang yang memiliki risiko menderita penyakit paru (perokok, pekerja yang terpajan substansi tertentu)

Pemeriksaan rutin (risiko pra-pembedahan, menilai prognosis, menilai status kesehatan)

Monitoring

Menilai efek terapi (terapi bronkodilator, terapi steroid)

Menggambarkan perjalanan penyakit (penyakit paru, interstitial lung disease

(ILD), gagal jantung kronik, penyakit neuromuskuler, sindrom Guillain-Barre) Efek samping obat pada paru

Evaluasi kecacatan

Kesehatan masyarakat

Sumber : Harahap, 2012

Tabel 2.3. Klasifikasi Abnormalitas Faal Paru pada Uji Spirometri

OBSTRUKTIF RESTRIKTIF CAMPURAN

FEV1 Menurun

Menurun atau

normal Menurun

FVC

Menurun atau

normal Menurun Menurun

FEV1/FVC Menurun

Menurun atau

normal Menurun

(36)

Gambar 2.3. Pola Ekspirasi Paksa pada Faal Paru Normal, Obstruktif, dan Restriktif

Sumber : West, 2003

(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah luas lesi penderita bekas tuberkulosis yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah faal paru penderita bekas tuberkulosis paru yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB

Penderita Bekas Tuberkulosis

Uji Faal Paru

Foto Toraks

Luas Lesi :

(38)

di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3 Definisi Operasional

1. Bekas tuberkulosis paru adalah penyakit tuberkulosis yang telah mendapat pengobatan OAT secara lengkap selama 6 bulan dan menunjukkan hasil BTA negatif pada pemeriksaan sputum.

Cara ukur : survei rekam medis Alat ukur : rekam medis

Hasil ukur : ya tidak

Skala ukur : skala nominal

2. Luas lesi tuberkulosis adalah luasnya kerusakan jaringan paru yang dideteksi melalui foto toraks.

Cara ukur : interpretasi foto toraks Alat ukur : foto toraks

Hasil ukur :

a. lesi minimal (minimal lesion): Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau kedua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis ke-4 atau korpus vertebra torakalis ke-5 dan tidak dijumpai kavitas

b. lesi lanjut (advanced) :

(39)

b.2. lesi luas (far-advance lesion): Bila proses tuberkulosis paru lebih luas dari lesi sedang

Skala ukur : skala ordinal

3. Faal paru adalah fungsi paru dalam melakukan proses respirasi. Cara ukur : interpretasi hasil uji spirometri

Alat ukur : spirometer

Hasil ukur : normal (%FVC ≥ 80% dan %FEV1≥ 70%) gangguan faal paru :

Restriksi (%FVC < 80% dan %FEV1≥ 70%) Obstruksi (%FVC ≥ 80% dan %FEV1 <70%)

Campuran (obstruksi-restriksi) (%FVC < 80% dan %FEV1 < 70%)

Skala ukur : skala nominal

4. Usia adalah lama hidup penderita bekas tuberkulosis yang dihitung berdasarkan tahun sejak penderita lahir.

Cara ukur : wawancara

5. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita bekas tuberkulosis. Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner Hasil ukur : laki-laki

(40)

6. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang diikuti oleh penderita bekas tuberkulosis dan dinyatakan lulus.

Cara ukur : wawancara

7. Kategori pengobatan adalah pengelompokan penderita sesuai dengan kasus TB yang pernah dideritanya dan paduan pengobatannya.

Cara ukur : survei rekam medis

Alat ukur : rekam medis

Hasil ukur :

b. Kategori I

a.1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.

a.2. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3.

b. Kategori II

b.1. TB paru kasus kambuh.

Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi.

b.2. TB paru kasus gagal pengobatan

(41)

kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).

b.2.2. Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE.

b.2.3. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

b.2.4. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

b.3. TB Paru kasus putus berobat.

b.3.1. Berobat ≥ 4 bulan

b.3.1.1.BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).

b.3.1.2. BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

b.3.2. Berobat ≤ 4 bulan

b.3.2.1. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3)

(42)

b. Kategori III

c.1. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal

c.2. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3

d. Kategori IV

d.1. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).

d.2. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup.

Skala ukur : skala nominal

3.4 Hipotesis

(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitik dengan desain penelitian studi potong lintang (cross sectional study).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama kurun waktu mulai dari bulan Agustus 2014 sampai dengan Oktober 2014 kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan TB di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah penderita bekas tuberkulosis paru yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB mulai dari bulan Agustus 2014 sampai dengan Oktober 2014.

4.3.2. Sampel

Sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penderita bekas tuberkulosis.

Kriteria inklusi :

1. Penderita bekas tuberkulosis yang melakukan check-up di Poliklinik Rawat Jalan TB di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.

(44)

3. Penderita bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan

informed consent.

Kriteria eksklusi :

5.1.Penderita didiagnosis mengidap penyakit pernapasan kronik lain, misalnya : PPOK, asma, kanker paru, dan pneumotoraks.

Untuk menentukan minimal besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini, maka digunakan rumus sebagai berikut, yaitu :

Keterangan :

n = jumlah minimal besar sampel

d = tingkat signifikasi atau limit error (0,1)

α= derajat kepercayaan, dengan nilai ketetapan 0,05 maka Zα = 1,96

P = proporsi kasus bekas TB = 0,09

Jadi, besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 32 orang.

Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Notoatmodjo, 2012). Sampel dipilih dari penderita bekas tuberkulosis yang melakukan check-up di

=

2

��

(45)

Poliklinik Rawat Jalan TB yang ditemui selama masa penelitian dan memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer dan sekunder. Pengambilan data primer yaitu melalui wawancara dan hasil pemeriksaan foto toraks dan uji spirometri. Sedangkan data sekunder diambil dengan menggunakan rekam medis.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS. Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut : data yang telah terkumpul diperiksa ketepatan dan kelengkapannya (editing), dikoreksi dan diberi kode secara manual sebelum diolah dengan computer

(coding), dimasukkan atau diketikkan ke dalam program statistic (entry), data yang diketikkan kembali diperiksa ketepatan dan kelengkapannya (cleaning), dan disimpan setelah semua data dipastikan ketepatannya (saving).

(46)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan TB di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan Kategori Kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 2233/Menkes/SK/XI/2011. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

(47)

Berikut ini diuraikan mengenai distribusi frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini :

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 20 62,5

Perempuan 12 37,5

Total 32 100

Berdasarkan uraian tabel 5.1. di atas, dapat diketahui bahwa sampel yang didapatkan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 20 orang (62,5%) sedangkan perempuan didapatkan sebanyak 12 orang (37,5%). Berikutnya distribusi frekuensi sampel berdasarkan usia, dapat dilihat di tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Usia

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

20-29 tahun 3 9,4

30-39 tahun 11 34,4

40-49 tahun 6 18,7

50-59 tahun 5 15,6

≥ 60 tahun 7 21,9

Total 32 100

(48)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Tidak Sekolah 0 0

Berdasarkan tabel 5.3. di atas, diketahui bahwa tingkat pendidikan dari sampel yang diambil adalah SMA sebanyak 14 orang (43,8%), diikuti oleh SMP sebanyak 8 orang (25%), Sarjana sebanyak 6 orang (18,8%), dan SD sebanyak 4 orang (12,5%). Sedangkan untuk sampel dengan tingkat pendidikan Diploma dan yang tidak sekolah tidak didapati dalam penelitian ini. Berikutnya diteliti juga mengenai distribusi frekuensi sampel berdasarkan kategori pengobatan.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kategori Pengobatan

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Kategori I 19 59,4

Kategori II 11 34,4

Kategori III 2 6,3

Kategori IV 0 0

Total 32 100

(49)

Tabel 5.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Gambaran Foto Toraks

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Minimal 11 34,4

Moderate-advanced 11 34,4

Far-advanced 10 31,3

Total 32 100

Berdasarkan tabel 5.5. di atas, diketahui dari penelitian ini didapatkan sampel dengan luas lesi minimal dan moderate-advanced masing-masing sebanyak 11 orang (34,4%) dan untuk lesi far-advanced didapati sebanyak 10 orang (31,3%). Berikutnya dipaparkan mengenai distribusi frekuensi sampel berdasarkan hasil uji faal paru.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Faal Paru

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Normal 10 31,3

Restriksi 11 34,4

Obstruksi 5 15,6

Campuran 6 18,8

Total 32 100

(50)

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Hasil Uji Faal Paru pada Tiap Jenis Gambaran Foto Toraks

Variabel Hasil Uji Faal Paru

Total Gambaran Foto

Toraks

Normal Restriksi Obstruksi Campuran

Minimal 8 (73%) 2 (18%) 1 (9%) 0 (0%) 11 (100%)

Moderate-advanced

2 (18%) 5 (46%) 2 (18%) 2 (18%) 11 (100%)

Far-advanced 0 (0%) 4 (40%) 2 (20%) 4 (40%) 10 (100%)

Total 10 11 5 6 32

(51)

5.1.3. Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Gambaran Foto Toraks pada

Penderita Bekas Tuberkulosis

Tabel 5.8.Distribusi Hasil Uji Faal Paru terhadap Gambaran Foto Toraks pada Penderita Bekas Tuberkulosis

Variabel Hasil Uji Faal Paru

Total p value

Gambaran Foto Toraks Normal Kelainan Faal

Paru*

Lesi Minimal 8 (25%) 3 (9,4%) 11(34,4%)

0,001

Lesi Lanjut** 2 (6,2%) 19 (59,4%) 21(65,6%)

Total 10 (31,2%) 22 (68,8%) 32 (100%)

Keterangan :

Kelainan Faal Paru*= restriksi + obstruksi + campuran

Lesi Lanjut **= moderate-advanced + far-advanced

Berdasarkan tabel 5.8. di atas dikemukakan bahwa hasil uji faal paru dari 11 orang sampel dengan lesi minimal, didapatkan sebanyak 8 orang (25%) hasilnya normal dan 3 orang (9,4%) mengalami kelainan faal paru. Sedangkan pada sampel dengan lesi lanjut, didapatkan sebanyak 2 orang (6,2%) hasilnya normal dan 19 orang (59,4%) mengalami kelainan faal paru.

Uji statistik dilakukan dengan menggunakan metode uji alternatif, yaitu uji

(52)

5.2. Pembahasan

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin sampel pada penelitian ini, penderita bekas tuberkulosis paling banyak dijumpai pada laki-laki (62,5%) dibandingkan pada perempuan (37,5%). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Pasipanodya dkk. (2007) di Tarrant County Public Health Department (TCPHD), Texas, dengan jumlah sampel sebanyak 107 orang yang menunjukkan di mana penderita bekas tuberkulosis paling banyak ditemukan pada laki-laki (69%) dibandingkan dengan kejadian pada perempuan (31%). Hal ini juga didapati oleh Aisyah, P. (2011) dalam penelitiannya di RSU. Arifin Achmad Pekanbaru dengan jumlah sampel 32 orang, di mana didapatkan bahwa penderita bekas tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada laki-laki (62,5%) dibandingkan pada perempuan (37,5%). Menurut Karim, F., dkk (2007) beban pekerjaan yang berat pada perempuan, mobilitas perempuan yang terbatas, kurang mandiri, kurang mampu untuk membuat kepututsan dan sulitnya akses untuk memperoleh keuangan sendiri menjadi alasan perempuan jarang datang berobat ke unit pelayanan kesehatan. Hal tersebut kemungkinan adalah penyebab jumlah perempuan lebih sedikit tercatat dalam penelitian ini.

Karakteristik usia sampel terbanyak dalam penelitian ini adalah rentang usia 30-39 tahun (34,4%), kemudian 40-49 tahun (18,7%), ≥60 tahun (21,9%), 50-59 tahun (15,6%), dan 20-29 tahun (9,4%). Hasil ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Syamsuri (2000) di Poliklinik Paru RSUP. Dr. M. Djamil Padang, di mana proporsi terbesar sampelnya adalah kelompok usia di bawah 40 tahun (64%). Namun dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel didapati dalam usia yang produktif, hal ini mungkin terjadi karena kelompok usia ini mempunyai tingkat mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi sehingga memudahkan penularan melalui kontak dengan lingkungan yang mengandung kuman tuberkulosis (Aisyah, P., 2011).

(53)

melibatkan 96 orang sampel, di mana didapatkan bahwa tingkat pendidikan sampel terbanyak adalah SMA/SMK (47,2%).

Kategori pengobatan TB yang paling banyak didapat oleh sampel dalam penelitian ini adalah kategori I (59,4%). Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Masniari (2004) dalam penelitiannya di RS Persahabatan Jakarta, dimana paling banyak sampelnya mendapatkan pengobatan TB kategori I (77.3%).

Berdasarkan karakteristik gambaran foto toraks, didapatkan luas lesi minimal 34.4%, lesi moderate-advanced 34.4%, dan lesi far-advanced 31.3%. Hasil ini cukup sesuai dengan hasil penelitian Syamsuri (2000) yang mendapatkan lesi minimal 38%, lesi moderate-advanced 34%, dan lesi far-advanced 28%.

Berdasarkan karakteristik hasil uji faal paru dalam penelitian ini, diketahui bahwa jenis kelainan faal paru terbesar adalah kelainan restriksi (34,4%) kemudian, kelainan campuran (18,8%) dan kelainan obstruksi (15,6%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Pasipanodya, dkk. (2007) yang juga mendapati bahwa jenis kelainan terbanyak adalah kelainan restriktif (31%). Gangguan kelainan faal paru ini dapat terjadi karena kerusakan jaringan paru yang terjadi berupa fibrotisasi dari jaringan paru sehingga bermanifestasi sebagai gangguan ventilasi yang disebut obstruksi dan gangguan komplians dari paru yang disebut restriksi. Gangguan obstruksi adalah perlambatan aliran udara ekspirasi karena adanya proses fibrotisasi pada saluran napas sehingga terjadi hambatan dari saluran napas tersebut. Gangguan restriksi adalah gangguan pengembangan paru sehingga udara yang masuk ke dalam paru kurang dari normal. Gangguan ini disebabkan karena adanya proses fibrotisasi pada parenkim paru (Antaruddin, 2003).

(54)
(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Jenis kelamin penderita bekas tuberkulosis dalam penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 20 orang (62,5%) dan perempuan sebanyak 12 orang (37,5%).

2. Gambaran faal paru penderita bekas tuberkulosis dalam penelitian ini adalah normal sebanyak 10 orang (31,3%), kelainan restriksi sebanyak 11 orang (34,4%), kelainan obstruksi sebanyak 5 orang (15,6%), dan kelainan campuran sebanyak 6 orang (18,8%).

3. Gambaran foto toraks penderita bekas tuberkulosis dalam penelitian ini adalah lesi minimal sebanyak 11 orang (34,4%), lesi moderate-advanced

sebanyak 11 orang (34,4%), dan lesi far-advanced sebanyak 10 orang (31,3%).

4.

Hasil uji analisis statistik terhadap hasil uji faal paru dengan gambaran

foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis didapatkan nilai p = 0,001 yang menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna antara variabel-variabel tersebut.

6.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, yaitu :

(56)
(57)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, P., 2011. Hubungan Faal Paru dengan Foto Toraks Pasien Bekas TB Paru Dewasa yang Berobat Jalan di Poli Paru RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru. [Abstrak]. Available from :

16th April 2014].

Alasgaff, H., Mukty, H.A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press, 90.

Amin, Z., Bahar, A., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam

Antaruddin, 2000. Pengaruh Debu Padi pada Faal Paru Pekerja Kilang Padi

yang Merokok dan Tidak Merokok. Available from :

: Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI, 2232-2236.

[Accessed 24 April].

Banaiee, N., Jacobs, W.R., Ernst, J.D., 2006. Regulation of Mycobacterium Tuberculosis whiB3 in the Mouse Lung and Macrophages. Infection and Immunity. 74 (11): 6449-6457

Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A., dan Mietzner, T., 2010.

Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. Ed 25. USA :

McGraw-Hill Companies, 327-328.

Chung, K.P., et al, 2010. Trends and Predictors of Changes in Pulmonary Function After Treatment for Pulmonary Tuberculosis. CLINICS, 66 (4): 549-556

Crofton, J. dan Douglas, A., 1975. Respiratory Diseases. Ed 2. USA : J. B. Lippincot Company; 232-236.

Depkes, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from :

(58)

Guyton, A.C., Hall, E.H., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 9. Jakarta: EGC, 597, 604, 676

Herchline, T.E., 2013. Tuberculosis. Available from:

Harahap, A. dan Aryastuti, E., 2012. Uji Fungsi Paru. CDK-192. 39 (4): 305-307. [Accessed 20th April 2014].

Johns, D.P. dan Pierce, R., 2008. Spirometry : The Measurement and Interpretation of Ventilatory Function in Clinical Practice. Australia : McGraw-Hill, 11.

Karim, F., Islam, M.A., Chowdhury, A.M.R., Johansson, E., Diwan, V.K., 2007. Gender Differences in Delays in Diagnosis and Treatment of Tuberculosis.

Oxford journals. 22 (5) : 329-334.

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI, 70.

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

2012. Available from :

th April 2014].

Kusuma, D.A., 2011. Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) Penderita

Tuberkulosis Paru Berdasarkan Gambaran Radiologi Foto Polos Dada.

Available from :

Lumb, R., Deun, A.V., Bastian, I., Fitz-Gerald, M., 2013. Laboratory Diagnosis of Tuberculosis by Sputum Microscopy. Adelaide : SA Pathology; 31.

[Accessed 24th April 2014].

Masniari, L., 2004. Penilaian Hasil Pengobatan TB Paru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya serta Alasan Putus Berobat di RS Persahabatan Jakarta.

(Tesis). Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI; 2004.

(59)

O’Brien, R.J. dan Raviglione, M.C., 2005. Tuberculosis. Dalam

Pasipanodya, J.G., et al, 2007. Pulmonary Impairment After Tuberculosis.

CHEST; 2007; 131: 1817-1824.

: Kasper, D.L., et al., Harrison Principles of Internal Medicine. Ed 16. USA : McGraw-Hill Companies, 953.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 3-10, 16-17, 20.

[Accessed 14th May 2014].

Price, S.A. dan Standrige, M.P., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam

Putra, A.K., 2010. Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal

Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Available from:

: Price, S.A. dan Wilson, L.M., Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Ed 6. Jakarta : EGC, 852.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500 .

Ruswanto, B., 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau

dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan.

Available from : [Accessed 26th April

2014].

[Accessed 18th May 2014].

Syamsuri, W., Anggraeni, A., Arsyad, Z., 2000. Uji Faal Paru pada Penderita Bekas Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Available from [Accessed : 17th April 2014].

WebMD, 2013. Lung Function Tests. Available from :

(60)

West, J.B., 2010. Patofisiologi Paru Esensial. Jakarta : EGC, 4.

Wilson, L.M., 2006. Prosedur Diagnostik pada Penyakit Pernapasan. Dalam :

World Health Organization, 2010. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Ed 4. Switzerland : WHO Press; 30.

Price, S.A. dan Wilson, L.M., Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Ed 6. Jakarta : EGC, 760, 764, 769.

World Health Organization, 2012. Global Tuberculosis Report. Available from :

[Accessed 18th April 2014].

(61)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maruli Setiawan

Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta / 18 April 1992

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Restu No. 190, Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Panti Budaya Kisaran (1998-2004) 2. SMP Negeri 2 Kisaran (2004-2007)

3. SMA Santo Thomas 1 Medan (2007-2010)

4. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (2010-2011)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2011-sekarang) Riwayat Organisasi :

1. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Perayaan Natal FK USU tahun 2011

2. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Perayaan Paskah FK USU tahun 2012

(62)

4. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Perayaan Natal FK USU tahun 2012

5. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Perayaan Paskah FK USU tahun 2013

6. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Penyambutan Mahasiswa Baru FK USU tahun 2013

7. Anggota Seksi Publikasi dan Dokumentasi Perayaan Natal FK USU tahun 2013

(63)

Lampiran 2

Lembar Penjelasan Penelitian

“Gambaran Hasil Uji Faal Paru pada Penderita Bekas Tuberkulosis di

RSUP H. Adam Malik Medan”

Saya, Maruli Setiawan, mahasiswa angkatan 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sedang melaksanakan penelitian yang berjudul “Hubungan Hasil Uji Faal Paru dengan Foto Toraks pada Penderita Bekas Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan”. Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi paru yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru sehingga dapat mengakibatkan perubahan dari fungsi paru itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hasil uji fungsi paru dengan gambaran foto toraks pada penderita bekas tuberkulosis. Untuk memperoleh data untuk penelitian ini, saya memohon kesediaan Saudara/i untuk diwawancarai dan melakukan uji fungsi paru. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat spirometer. Pada pemeriksaan ini Saudara/i akan diminta untuk menarik napas sedalam-dalamnya lalu menghembuskan napas sekuat-kuatnya melalui alat spirometer tersebut dan kemudian hasilnya akan diinterpretasikan oleh dokter yang bertugas. Saudara/i tidak perlu khawatir mengenai pengujian ini karena pengujian fungsi paru ini aman dan tidak ada efek samping. Setiap data yang diperoleh akan dijamin kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian ini saja.

Setelah memahami hal – hal yang akan dilakukan dalam penelitian ini,saya mengharapkan Saudara/i dapat mengisi lembar persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ini.

Nama : Maruli Setiawan

NIM : 110100356

Alamat : Jl. Restu 190 Medan

(64)

Lampiran 3

Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Setelah mendapatkan penjelasan atas tindakan yang dilakukan maka saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Bersedia untuk menjadi responden ( sampel penelitian ) dalam penelitian ini, dimana saya akan diminta untuk melakukan wawancara dan uji faal paru dengan alat spirometer.

Persetujuan ini diambil dan disepakati dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Medan, 2014

(65)
(66)

Lampiran 5

Data Induk

No Nama Usia Jenis Kelamin Pendidikan Kategori Spirometri Foto

Gambar

Gambar 2.1. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru
Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru
Tabel 2.1. Rekomendasi dosis obat antituberkulosis lini pertama untuk
Tabel 2.3. Klasifikasi Abnormalitas Faal Paru pada Uji Spirometri
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pada perancangan menu ke ii dimana terdapat opsi utama yaitu kembali kemenu dan animasi 01 sampai 10, maka proses dilanjutkan pada tombol animasi 01 sampai 10 untuk

Tentunya pihak pemerintah menginginkan warga negaranya selamat berlalu lintas khususnya dalam menyebrang jalan. Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan mengenai penyebrangan

antar-a mctrid dengan Guru.. Kerangka

cara yang sangat baik untuk mewujudkannya, dan mewakili suatu bentuk dari

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

1) Yakinkan kertas pelapis masih melekat seluruhnya dengan rata pada kedua sisinya. 2) Periksa sekeliling batu gerinda, apakah ia tidak bertatal, tidak cacat dan bebas dari

Peran bidan dalam penurunan angka kematian dan kesakitan pada ibu dan bayi adalah dengan memberikan asuhan kebidanan yang komprehensif mencakup kegiatan

IRT memiliki banyak waktu dirumah sehingga banyak pula waktu yang dimiliki untuk mengawasi dan memperhatikan balitanya, khususnya sikap dalam mengatasi kejang demam, sehingga