• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BOGOR, JAWA BARAT

ERLAN LA GANDHI

A24062209

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

ERLAN LA GANDHI. Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat. (Dibimbing oleh DESTA WIRNAS).

Kegiatan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai Mei 2011 di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Penanaman dilakukan menggunakan jarak tanam 70 cm x 15 cm dan dipupuk Urea, KCl, dan SP36 dengan dosis masing masing 150 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji daya hasil 84 galur-galur F5 sorgum hasil persilangan varietas Numbu x UPCA-S1 serta mengidentifikasi galur yang memiliki potensi hasil lebih baik dari tetuanya.

Genotipe yang digunakan terdiri dari 84 galur-galur sorgum F5 sebagai perlakuan dan varietas Numbu dan UPCA-S1 sebagai tetua pembanding. Masing-masing tetua ditanam sebanyak delapan baris, sedangkan genotipe hanya ditanam dalam satu baris. Pelaksanaan penelitian meliputi lima tahap kegiatan yaitu persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, dan panen. Pengamatan dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah daun, lingkar batang, panjang malai, bobot biji permalai, bobot per 1000 biji, bentuk malai, dan warna biji.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbaikan sifat keenam karakter pada galur yang diuji. Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik pada galur yang diuji menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot per 1000 biji memiliki nilai heritabilitas yang tergolong tinggi. Ini menunjukkan faktor genetik pada ketiga karakter tersebut lebih berpengaruh terhadap penampakan fenotipe dibandingkan faktor lingkungannya sehingga peluang diturunkannya ketiga karakter tersebut pada generasi berikutnya menjadi lebih besar. Karakter agronomi yang diamati pada galur cenderung memiliki koefisien keragaman yang sedang kecuali untuk karakter bobot biji per malai yang memiliki koefisien keragaman genetik yang luas

(3)
(4)

UJI DAYA HASIL SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench)

DI KEBUN PERCOBAAN LEUWIKOPO, DARMAGA, BOGOR,

JAWA BARAT

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ERLAN LA GANDHI

A24062209

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul

:

UJI DAYA HASIL SORGUM (Sorghum bicolor (L.)

Moench) DI KEBUN PERCOBAAN LEUWIKOPO,

DARMAGA, BOGOR, JAWA BARAT

Nama

:

ERLAN LA GANDHI

NRP

:

A24062209

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Desta Wirnas, SP, MSi NIP 19701228 200003 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr NIP 19611101 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Desta Wirnas, SP, MSi. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr. Ir. Eny Widajati, MS dan Ir. Sofyan Zaman, MP. Sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr sebagai Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura.

4. Orang tua penulis, Suparman dan E Komala Sari atas doa, nasihat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

5. Ibu Siti Mawiyah, Ibu Sumiyati, dan Amsari (Eky) yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini di lapang.

Semoga Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Terima kasih atas kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Juli 2012

(8)

DAFTAR ISI

Sebaran dan Keragaan Karakter Agronomi Tetua Sorgum dan Galur-galur F5 Sorgum ... 12

Keragaman Genetik ... 21

Uji Korelasi antar Karakter ... 22

Seleksi Galur-galur Terbaik ... 23

Deskripsi Galur-galur F5 Sorgum Terbaik Hasil Seleksi Berdasarkan Bobot Biji per Malai, Bobot per 1000 Biji, dan Panjang Malai ... 26

(9)

Nomor Halaman 1. Kandungan Unsur Nutrisi Lima Komoditas Pangan... 6 2. Keragaan Karakter Agronomis Tetua UPCA-S1 dan Numbu ... 13 3. Rataan dan Kisaran Enam Karakter Agronomis Galur-galur F5

Sorgum ... 13

4. Keragaan Karakter Agronomis Galur-galur F5 Sorgum ... 18 5. Pendugaan Nilai Komponen Ragam Koefisien Keragaman Genetik

(KKG) Karakter Agronomis Pada Galur-galur F5 Sorgum ... 21 6. Koefisien Korelasi Pearson Antar Karakter Galur-Galur F5 Sorgum .. 23 7. Nilai Diferensial Seleksi Berdasarkan Bobot Biji per Malai, Bobot

per 1000 Biji, dan Panjang Malai ... 24 8. Genotipe Terseleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Malai,

Bobot per 1000 Biji, dan Panjang Malai ... 26

DAFTAR GAMBAR

(10)

1. Sebaran Karakter Tinggi Tanaman Galur-galur F5 Sorgum ... 14

2. Sebaran Karakter Jumlah Daun Galur-galur F5 Sorgum ... 15

3. Sebaran Karakter Lingkar Batang Galur-galur F5 Sorgum ... 15

4. Sebaran Karakter Panjang Malai Galur-galur F5 Sorgum ... 16

5. Sebaran Karakter Bobot Biji per Malai Galur-galur F5 Sorgum ... 17

6. Sebaran Karakter Bobot per 1000 Biji Galur-galur F5 Sorgum ... 17

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

1. Deskripsi Varietas Numbu (Pusat Penelitiandan Pengembangan

Tanaman Pangan, 2009) ... 36 2. Deskripsi Varietas UPCA-S1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan

(12)
(13)

Latar Belakang

Beberapa tahun ini, tanaman pangan mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena isu global krisis pangan yang terjadi di beberapa negara berkembang. Bahkan pada tahun 2008 berdasarkan pantauan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis pangan dari 36 negara yang tersebar di Asia, Afrika, dan Eropa (Kuswaraharja, 2008). Krisis pangan ini mengakibatkan kenaikan harga beberapa komoditas pangan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2008 harga beras berkisar Rp. 5.376-5.501/kg dan melonjak pada

Februari 2009 Rp. 5.736. Harga beras meningkat dari tahun ke tahun hingga pada Februari 2010 harga beras sudah mencapai 7.409/kg. Kenaikan harga ini juga terjadi pada beberapa komoditas tanaman pangan lainnya seperti jagung, kedelai, kentang, dan lain-lain. Meskipun terhitung sejak Oktober 2010 Indonesia tidak lagi termasuk dalam daftar 22 negara yang mengalami krisis pangan, Indonesia tetap tidak bisa dikatakan bebas dari ancaman krisis pangan karena Indonesia adalah negara berpenduduk besar. Harga komoditas pangan bersifat fluktuatif akibat kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal ini merupakan ancaman nyata bagi ketahanan pangan Indonesia.

Diversifikasi pangan merupakan salah satu jawaban dari permasalahan ini. Diversifikasi pangan telah dicanangkan sejak tahun 1970. Diversifikasi menempati urutan teratas pada sektor pertanian disusul dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pada Repelita IV (Aji, 2008). Dalam perjalanannya, pemerintah lebih menekankan pada pentingnya swasembada beras yang kemudian tercapai pada tahun 1984. Kondisi ini mengakibatkan terbentuknya paradigma beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan menyebabkan beberapa potensi pangan lokal tergerus oleh beras. Serbuan beras sebagai makanan pokok utama menyebabkan masyarakat menjadi tergantung pada beras hingga saat ini.

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan yang

(14)

2

Indonesia, namun prospek pengembangannya masih sangat potensial karena kondisi agroekologis dan ketersediaan lahan yang mendukung. Sorgum dibawa kolonial belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1925, tetapi perkembangannya baru terlihat pada tahun 1970-an. Penyebabnya adalah minimnya produksi pangan khususnya beras pada tahun 1960 sehingga pemerintah mulai serius mengembangkan komoditas sorgum. Hasilnya pada tahun 1970-an pemerintah melepas beberapa varietas unggul sorgum seperti UPCA-S2, NO. 6C, dan KD4. Membaiknya perekonomian Indonesia setelah tahun 1970 membuat sorgum kembali terlupakan oleh masyarakat, karena penanamannya hanya dilakukan oleh masyarakat secara terbatas untuk keperluan sendiri.

Hingga saat ini terdapat 10 varietas unggulan sorgum yang telah dilepas oleh pemerintah melalui kementrian pertanian diantaranya : No. 6C, UPCA-S2, KD4, Keris, UPCA-S1, Badik, Hegari Genjah, Mandau, Sangkur, dan Numbu (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2009). Masing-masing varietas tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Potensi hasil sorgum di Indonesia mencapai 1,14 ton/ha. Bila faktor lingkungan bukan menjadi faktor pembatas,

potensi hasil sorgum dapat melebihi 11 ton/ha dengan rata-rata hasil antara 7-9 ton/ha (Hoeman, S. 2008). Oleh karena itu masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk dapat menghasilkan varietas-varietas sorgum

dengan potensi hasilnya lebih baik.

Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB telah memulai upaya pengembangan sorgum varietas baru sejak beberapa tahun lalu melalui persilangan tanaman. Hingga saat ini dari persilangan yang dilakukan antara varietas UPCA-S1 dan Numbu telah menghasilkan 150 galur sorgum (F5). Galur-galur yang dihasilkan perlu diseleksi untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil dan keragaan karakter yang ada pada setiap galur tersebut.

Tujuan

1. Memperoleh informasi keragaan karakter agronomis galur-galur F5 Sorgum 2. Menguji daya hasil 84 galur F5 sorgum hasil persilangan varietas Numbu x

UPCA-S1

(15)

Hipotesis

1. Diduga terdapat perbedaan keragaan karakter agronomis di antara galur-galur yang diuji

2. Diduga terdapat perbedaan daya hasil di antara galur-galur yang diuji

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan asal usul Sorgum

Sorgum termasuk tanaman serealia semusim. Dalam klasifikasi tanaman, sorgum termasuk dalam kelas monocotyledoneae, famili poaceae, subfamili panicoideae dan genus andropogon (Rukmana dan Oesman, 2001). Asal muasal

dan budidaya sorghum seperti tanaman lainnya tidak diketahui dengan pasti (Martin, 1970). Sorghum mungkin merupakan salah satu tanaman yang pertama kali didomestikasi dalam sejarah umat manusia, karena merupakan tanaman penting di dunia jauh sebelum abad pertama (Leonard dan Martin, 1963). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tanaman sorgum sudah ada di Timur Afrika (Ethiopia atau Sudan) sejak zaman prasejarah antara 5000-7000 tahun yang lalu. Penyebarannya mencapai Bostwana pada abad ke-10, Zambia pada abad ke-14 (Clark 1959), dan Afrika Selatan pada abad ke-16. Produksi sorgum menyebar melewati Asia selatan hingga mencapai Cina pada abad ke-13 (Hagerty 1941).

Tanaman Sorgum

Menurut Metcalfe dan Elkins (1980) dan Carter et al. (1989) bentuk tanaman, model pertumbuhan, dan tampilan secara umum tanaman sorgum mirip seperti tanaman jagung atau serealia lainnya. Dogget (1970) dan House (1981) menguraikan, biji sorgum kurang lebih berbentuk bola dengan ujung tumpul. Perikarp dan testa menjadi satu, beraneka ragam warnanya dari putih jernih, atau kuning pucat sampai berbagai tingkat warna merah dan cokelat dan sampai cokelat keunguan tua. Dogget (1970) juga melaporkan daun sorgum biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas suatu pelepah dan helaian. Ukuran daun meningkat dari bawah (pertama ketika mulai tumbuh) ke atas umumnya sampai daun ketiga atau keempat kemudian menurun sampai daun bendera (Martin, 1970). Jumlah daun pada saat dewasa berkorelasi dengan panjang periode vegetatif tetapi, umumnya berkisar antara 7-18 helai daun atau lebih (Leonard dan Martin, 1963).

(17)

yang letaknya berseling seling. Batangnya padat, walaupun bagian tengah dapat menjadi seperti bunga karang, dengan ruang-ruang dalam empulur (Dogget 1970) dan Hultquist (1973). Empulurnya mungkin manis atau tawar, dan berair atau kering (House, 1981). Beberapa varietas sorgum ada yang bercabang atau beranak (Steenis, 1975). Menurut Martin (1970) banyakya cabang anakan yang berkembang tergantung pada faktor genetik, jarak tanam, kelembapan tanah, kesuburan tanah, fotoperiode, vigor tanaman dan waktu. Dogget (1970) menyebutkan ruas paling atas yang memikul malai adalah tangkai malai dan selalu merupakan ruas paling panjang. Berdasarkan kepadatannya malai bisa terbuka (lax), semi tertutup (semikompak) dan tertutup (kompak) (Martin, 1970).

Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar-akar primer dan sekunder yang panjangnya hampir dua kali panjang akar jagung pada tahap pertumbuhan yang sama (Miller, 1916) sehingga merupakan faktor utama penyebab toleransi sorgum terhadap kekeringan (Thomas dkk., 1976; Peacock, 1976). Menurut Dogget (1970), toleransi sorgum terhadap kekeringan disebabkan karena pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar

pada kondisi kekeringan. Sorgum juga efisen dalam penggunaan air karena didukung oleh sistem perakaran sorgum yang halus dan letaknya agak dalam sehingga mampu menyerap air dengan cukup intensif (Rismunandar, 1989).

Ismail dan Kodir (1977) menyebutkan sorgum memiliki suatu kelebihan dibandingkan dengan tanaman serealia lainnya dalam hal ketahanan tehadap kekeringan. Karena sifat paling penting dari sorgum adalah mampu mentolerir curah hujan yang rendah, mampu hidup pada kondisi kekeringan yang terus menerus atau terputus putus, mampu hidup pada temperatur tinggi maupun kesuburan tanah yang rendah dan banjir (Bullard dan York, 1985).

Syarat tumbuh

(18)

6

tanaman sorgum memerlukan suhu optimal berkisar 23-30oC, dengan kelembapan udara 20 % dan suhu tanah 25oC. Menurut Kramer dan Ross (1970), sorgum dapat bertahan pada kondisi panas lebih baik dibandingkan tanaman lainnya seperti jagung, namun suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan produksi biji.

Curah hujan yang diperlukan berkisar 375-425 mm/musim tanam dan tanaman sorgum dapat beradaptasi dengan baik pada tanah yang sering tergenang air pada saat turun hujan apabila sistem perakarannya sudah kuat. Laimeheriwa (1990) menyebutkan sorgum berproduksi baik pada lingkungan yang curah hujannya terbatas atau tidak teratur. Beti et al., (1990) menambahkan tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang sedikit masam (pH 5) hingga sedikit basa (pH 7,5).

Pemanfaatan

Di Indonesia sorgum juga disebut hermada, singkatan tanaman “harapan

masa depan”. Disebut demikian karena hampir semua bagian dari tanaman ini

dapat dimanfaatkan (Prihandana dan Hendroko 2008). Sorgum merupakan salah

satu komoditi unggulan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan energi, karena keduanya dapat diintegrasikan proses budidayanya dalam satu dimensi waktu dan ruang (Sungkono, et al., 2009). Sorgum memiliki kandungan nutrisi

yang tidak kalah dari tanaman pangan lain sehingga sangat berpotensi dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif. Kandungan nutrisi pada sorgum dibandingkan komoditas serealia lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Unsur Nutrisi Lima Komoditas Pangan

Unsur Nutrisi

Kandungan/100 g

Beras Sorgum Singkong Jagung Kedele

Kalori (cal) 360 332 146 361 286

(19)

Sorgum sebagai tanaman pangan dapat diolah menjadi makanan sejenis roti tanpa ragi misalnya chapati, tortila dan makanan sejenis roti dengan ragi misalnya injera, kisia, dosai. Sorgum juga dapat diolah menjadi makanan bentuk bubur kental misalnya to, tuwu, ugale, bagone, sankati dan makanan bentuk bubur cair misalnya ogi, ugi, amli, edi. Alternatif lain pengolahan sorgum adalah dalam bentuk makanan camilan, misalnya popsorgum, tape sorgum, emping sorgum dan sorgum rebus misalnya urap sorgum dan som (Vogel dan Graham 1979; Reddy et al. 1995).

Sorgum juga dapat menjadi subtitusi jagung sebagai bahan pakan ternak. Menurut Beti et al. (1990) dan ICRISAT (1994) dalam Reddy et al. (1995), sorgum dapat mengganti seluruh jagung dalam ransum pakan ayam, itik, kambing, babi, dan sapi tanpa menimbulkan efek samping. Namun perlu diperhatikan juga seberapa besar kandungan tannin pada sorgum yang digunakan sebagai pakan ternak. Kandungan tannin dalam biji sorgum menjadi faktor pembatas untuk digunakan dalam ransum ayam karena rasanya kurang disukai ternak, disamping itu tannin mengandung zat anti tripsin yang dapat menghambat laju pertumbuhan

ternak (Pujaningsih dan Mukodiningsih 2002) Beberapa varietas sorgum memiliki batang yang mengandung gula (nira). Umumnya sorgum jenis ini memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap cekaman kekeringan.

(20)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan Januari sampai dengan Mei 2011 di Kebun Percobaan Leuwikopo, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 240 m dpl.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 84 galur sorgum (F5) hasil persilangan varietas Numbu x UPCA S1 dan 2 tetua sebagai pembanding. Bahan pupuk yang digunakan meliputi Urea (45% N), KCl (50% K2O), dan SP36 (36% P2O5) dengan dosis masing masing 150 kg/ha, 100 kg/ha,

dan 100 kg/ha. Untuk pengendalian hama penyakit digunakan pestisida Karbofuran 3G dan decis. Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah: traktor, alat pertanian sederhana (cangkul, kored, tugal, arit, garu), timbangan, dan tali.

Metode Penelitian

Galur-galur yang diuji ditanam dalam baris. Genotipe yang digunakan terdiri dari 84 galur F5 hasil persilangan dan kedua tetua sebagai kontrol.

Masing-masing galur ditanam kedalam satu baris, sedangkan setiap tetua ditanam Masing- masing-masing sebanyak 8 baris sehingga terdapat 100 baris. Setiap baris terdiri dari 15 tanaman, maka populasi total adalah sebanyak 1500 tanaman.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan dan penanaman

(21)

Penjarangan dilakukan pada 2 minggu setelah tanam (MST) dengan menyisakan satu tanaman utama.

Pemupukan dan pemeliharaan tanaman

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, KCl, dan SP36 dengan dosis masing masing 150 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Pada pupuk urea aplikasi dilakukan sebanyak 2/3 bagian pada saat tanam dan 1/3 bagian pada 7 MST. Penyiangan gulma dan pembumbunan dilakukan secara manual menggunakan alat pertanian sederhana. Aplikasi pestisida decis dilakukan seminggu sekali dengan konsentrasi 1 ml/liter. Aplikasi karbofuran di bagian pucuk daun diaplikasikan pada 8 MST untuk mengendalikan hama tanaman yang menyerang daun. Aplikasi selanjutnya disesuaikan dengan kondisi di lapang.

Panen

Pemanenan yang dilakukan disesuaikan dengan umur panen masing-masing galur yang diuji sehingga panen yang dilakukan tidak serempak. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari 1 baris galur sudah masak sempurna.

Pengamatan penelitian

Pengamatan dilakukan terhadap setiap galur yang tediri dari 8 tanaman

contoh. Peubah yang diamati meliputi :

a. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang di permukaan tanah hingga ujung malai pada saat panen

b. Jumlah daun dihitung jumlah daun pada saat vegetatif maksimum c. Lingkar batang diukur pada ruas kedua saat vegetatif maksimum d. Panjang malai diukur dari leher sampai ke ujung malai pada saat panen

e. Bobot biji per malai ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas matahari selama 3 hari

(22)

10

Analisis Data

Setelah data diperoleh dilakukan penghitungan nilai tengah dan ragam, lalu dilanjutkan dengan menghitung heritabilitas. Selanjutnya dilakukan seleksi untuk memilih galur-galur berdaya hasil baik.

1. Penghitungan nilai tengah masing-masing karakter

Penghitungan nilai tengah dilakukan untuk melihat keragaan masing-masing karakter serta melihat apakah terjadi perbaikan sifat pada galur yang diuji melalui perbandingan nilai tengah galur dengan kedua tetua pembanding.

2. Heritabilitas dan Koefisien Keragaman Genetik

Heritabilitas digunakan untuk melihat besarnya pengaruh keragaman genetik terhadap keragaman fenotipe dalam populasi. Diperlukan ragam lingkungan, ragam fenotipe, dan ragam genetik untuk menduga heritabilitas suatu populasi. Ketiga ragam di atas dapat dihitung menggunakan rumus:

Ragam =

Ragam lingkungan ( ) = Ragam tetua

Ragam fenotipe ( ) = Ragam galur

Ragam genetik ( ) = -

Setelah ketiga ragam diatas diperoleh, maka nilai heritabilitas dapat

dihitung berdasarkan rumus : = (Singh and Chaudary 1979).

Keterangan:

= heritabilitas arti luas = ragam genetik

= ragam fenotipe

Kriteria heritabilitas terbagi menjadi tiga yaitu heritabilitas tinggi

( >0.5), heritabilitas sedang (0.2≤ dan heritabilitas rendah ( <0.2).

(23)

Koefisien keragaman genetik digunakan untuk melihat seberapa besar keragaman genetik dalam suatu populasi. Berdasarkan luas dan sempitnya koefisien keragaman dibagi menjadi 3 yakni: sempit (0-10 %), sedang (10-20%), dan luas (> 20%) (Alnopri, 2004)

KKG = x 100 %

Keterangan:

= ragam genetik

= rataan galur F5

3. Seleksi

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Tanaman sorgum selama penelitian tumbuh subur dan baik meskipun terdapat beberapa galur yang tumbuh kerdil dan abnormal. Tanaman sorgum diserang oleh hama ulat penggerek batang pada fase vegetatif maksimum, namun serangan tersebut yang tidak sampai menyebabkan patah pada batang sorgum. Tanaman yang terserang pun masih dapat tumbuh dengan baik hingga saat panen. Hama lain yang menyerang tanaman yaitu walang sangit (Leptcorisa oratorius) pada fase setelah pembungaan. Hama ini menghisap cairan pada biji

sorgum yang baru terbentuk sehingga mengakibatkan pengisian biji tidak

sempurna.

Memasuki fase pengisian biji, hama burung menyerang tanaman sehingga dilakukan penyungkupan pada malai yang sudah terisi penuh. Ini dimaksudkan untuk menghindari kehilangan hasil yang lebih banyak akibat hama burung. Serangan hama burung cenderung terjadi pada tanaman sorgum yang memiliki warna biji putih. Serangan tidak terjadi pada tanaman sorgum yang memiliki warna biji merah-coklat. Hal ini diduga karena pada tanaman sorgum dengan warna biji merah-coklat memiliki kandungan tanin cukup tinggi. Keberadaan tanin pada kulit biji sorgum kurang disukai hama burung karena membuat rasa biji menjadi sepat-pahit.

Sebaran dan Keragaan Karakter Agronomi Tetua Sorgum dan Galur-galur F5 Sorgum

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter di antaranya adalah tinggi tanaman, jumlah daun, lingkar batang, panjang malai, bobot biji per malai, bobot per 1000 biji, bentuk malai, dan warna biji. Pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lingkar batang, dan dilakukan pada saat tanaman mencapai vegetatif maksimum, sedangkan karakter lainnya diamati setelah panen. Nilai tengah dan kisaran dari masing-masing karakter pada kedua tetua dapat dilihat

(25)

Tabel 2. Keragaan Karakter Agronomis Tetua UPCA-S1 dan Numbu

Berdasarkan hasil uji t terhadap nilai tengah karakter agronomis kedua tetua diketahui bahwa karakter tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot per 1000 butir berbeda nyata pada taraf 5 %. Sementara itu karakter jumlah daun, lingkar batang, dan bobot biji per malai tidak berbeda nyata. Nilai tengah karakter agronomis pada tetua Numbu lebih tinggi dibandingkan tetua UPCA-S1, kecuali pada karakter panjang malai (Tabel 2).

Adanya perbedaan keragaaan antara tetua UPCA-S1 dan Numbu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan susunan gen pada kedua tetua karena hasil serupa dilaporkan Puspitasari (2011) dalam penelitiannya bahwa tetua Numbu memiliki nilai tengah yang lebih tinggi untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, bobot biomasssa, bobot biji per tanaman, bobot per 100 biji, kadar nira, dan indeks panen dibandingkan tetua UPCA-S1. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilihan tetua Numbu sebagai salah satu tetua pembanding sudah tepat karena memiliki karakter agronomis yang baik.

(26)

14

Galur-galur yang diuji merupakan galur F5 hasil persilangan varietas UPCA-S1 x

Numbu. Keragaan karakter agronomis galur-galur F5 sorgum terdapat pada Tabel

3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tengah karakter tinggi tanaman galur F5 sorgum berada di antara nilai tengah kedua tetua sehingga menunjukkan adanya perbaikan tinggi tanaman pada galur-galur yang diuji, namun demikian, di antara galur-galur F5 yang diuji terdapat beberapa galur yang memiliki karakter tinggi tanaman lebih rendah dari kedua tetua (Gambar 1).

Gambar 1. Sebaran Karakter Tinggi Tanaman Galur-galur F5 Sorgum

Galur-galur tersebut di antaranya 142-9, 46-1, 40-9, 104-15, 73-2, 10-6, 311-16, 132-8, 150-14, dan 132-11. Di antara galur-galur tersebut, galur 142-9 memiliki tinggi tanaman yang paling rendah yakni sebesar 141.23 cm. Karakter tinggi tanaman yang rendah erat kaitannya dengan ketahanan terhadap resiko rebah pada tanaman. Keuntungan lain dari galur dengan tinggi tanaman yang rendah adalah dapat ditanam dengan populasi yang lebih rapat, lebih mudah dalam pemanenan dan pemeliharaan, baik terhadap serangan burung, maupun terhadap serangan hama dan penyakit (Purwanto, 1986).

Berdasarkan rataan dan kisaran enam karakter agronomis galur-galur F5 sorgum, nilai tengah karakter jumlah daun pada galur-galur yang diuji berada di antara nilai tengah kedua tetua dengan kisaran nilai tengah jumlah daun pada galur-galur F5 sorgum 7.25-12 helai (Tabel 3). Sebaran karakter jumlah daun

galur-galur F5 sorgum menunjukkan terdapat beberapa galur yang memiliki jumlah daun lebih banyak dari kedua tetua (Gambar 2).

(27)

Gambar 2. Sebaran Karakter Jumlah Daun Galur-galur F5 Sorgum

Galur-galur tersebut antara lain 186-16, 163-19, 127-7, 4-3, 115-8, 150-22, 121-1, 123-5, 153-11, dan 107-13. Galur 107-13 merupakan galur yang memiliki jumlah daun paling banyak yakni 12 helai. Jumlah daun erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Semakin banyak daun pada tanaman diharapkan semakin banyak pula fotosintat yang dapat dihasilkan pada proses fotosintesis.

Lingkar batang merupakan karakter yang berhubungan dengan kemampuan batang sorgum dalam menunjang tanaman juga sebagai tempat

perputaran unsur hara yang diserap akar dan fotosintat dari daun ke seluruh bagian tanaman (Helena, 2000). Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai tengah lingkar batang pada galur-galur yang diuji lebih besar dari nilai tengah kedua tetua pembanding yang artinya ada perbaikan sifat karakter lingkar batang pada galur-galur yang diuji. Berdasarkan sebaran karakter lingkar batang galur-galur F5 sorgum, terdapat beberapa galur yang memiliki lingkar batang jauh lebih besar dari kedua tetua (Gambar 3).

(28)

16

Galur-galur tersebut yaitu 91-15, 83-10, 85-13, 131-11, 12-12, 1-7, 159-4, 163-4, 163-18, dan 47-5. Di antara galur-galur ini, galur 47-5 merupakan galur yang memiliki lingkar batang tebesar yaitu 6.26 cm. Dengan lingkar batang yang lebih besar, diharapkan tanaman akan lebih kokoh dan kandungan juicenya akan lebih tinggi sehingga potensi pengembangan sorgum ke arah bioetanol semakin baik.

Karakter panjang malai menjadi penting untuk diamati karena malai sorgum sebagai tempat menampung biji sorgum yang dihasilkan tanaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai tengah karakter panjang malai pada galur-galur yang diuji berada di antara nilai tengah kedua tetua dengan kisaran nilai tengah karakter panjang malai galur yaitu 13.8-24.8. Namun demikian, terdapat pula beberapa galur yang memiliki panjang malai melebihi nilai tengah kedua tetua (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran Karakter Panjang Malai Galur-galur F5 Sorgum

Galur-galur tersebut di antaranya 12-12, 153-11, 3-18, 99-7, 140-15, 70-4, 1-9, 1-7, 94-7, dan 131-11 dimana galur 131-11 merupakan galur yang memiliki panjang malai paling besar yaitu 24.84 cm. Dengan malai sorgum yang lebih panjang, diharapkan kapasitas malai untuk menampung biji sorgum menjadi semakin banyak.

(29)

dibandingkan tetua Numbu, selisih nilai tengahnya tidak berbeda jauh dan hanya terpaut 2.19 gram. Sebaran karakter bobot biji per malai galur-galur F5 sorgum juga menunjukkan terdapat beberapa galur yang memiliki bobot biji per malai jauh lebih besar dibandingkan kedua tetua (Gambar 5).

Gambar 5. Sebaran Karakter Bobot Biji per Malai Galur-galur F5 Sorgum

Galur tersebut antara lain 83-10, 70-4, 7, 153-11, 144-8, 47-5, 163-18,

1-9, 4-3, dan 3-18. Di antara galur-galur tersebut, galur 3-18 merupakan galur yang memiliki bobot biji per malai paling besar yaitu 93.44 gram.

Bobot per 1000 butir biji menunjukkan kualitas dan ukuran biji sorgum. Nilai tengah karakter bobot per 1000 biji pada galur-galur F5 sorgum yang diuji berada di antara nilai tengah kedua tetua dengan kisaran nilai tengah bobot per 1000 biji galur yakni 18.6-39.1 gram. Berdasarkan sebaran karakter bobot per 1000 biji galur-galur F5 sorgum, terdapat beberapa galur yang memiliki bobot per 1000 biji lebih besar dari kedua tetua (Gambar 6).

(30)

18

Galur-galur yang memiliki bobot per 1000 biji lebih besar dari kedua tetua di antaranya yaitu 133-11, 1-9, 133-6, 131-11, 154-15, 118-3, 4-3, 70-4, 144-8, dan 111-6. Di antara galur-galur tersebut, galur 111-6 merupakan galur yang memiliki bobot per 1000 butir paling besar yakni 39.14 gram. Dengan bobot per 1000 biji yang lebih besar diharapkan ukuran dan kualitas biji yang dihasilkan menjadi lebih baik.

Tabel 4. Keragaan Karakter Agronomis Galur-Galur F5 Sorgum

(31)
(32)

20

Tabel 4. Keragaan Karakter Agronomis Galur-Galur F5 Sorgum (lanjutan)

(33)

Keragaman Genetik

Keragaman adalah perbedaan keragaan individu-individu dalam suatu populasi. Keragaman dalam populasi dapat disebabkan oleh ragam genetik dan ragam lingkungan. Pendugaan keragamaan penting dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh ragam genetik maupun ragam lingkungan terhadap penampakan fenotipik suatu karakter. Brewbaker (1964) menyatakan bahwa komponen ragam lingkungan dapat ditaksir nilainya paling mudah dengan menggunakan populasi yang tidak mempunyai ragam genetik atau populasi dengan ragam genetik rendah seperti galur murni.

Dalam penelitian ini, ragam kedua tetua bertindak sebagai ragam lingkungan karena individu tanaman pada masing-masing tetua pembanding memiliki kesamaan secara genetik sehingga variasi fenotipe pada tetua bukan disebabkan oleh ragam genetik, tetapi cenderung disebabkan oleh ragam lingkungan. Ragam genetik terjadi akibat adanya segregasi dan interaksi antar gen (Hayward et al, 1993). Gabungan antara ragam genetik dan ragam lingkungan membentuk ragam fenotipe, dan proporsi antara ragam genetik terhadap ragam

lingkungan disebut heritabilitas. Nilai heritabilitas dan koefisien keragaman genetik pada masing-masing karakter dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pendugaan Nilai Komponen Ragam Koefisien Keragaman Genetik (KKG) Karakter Agronomis Pada Galur-galur F5 Sorgum

(34)

22

Stanfield (1983) mengelompokan heritabilitas menjadi tiga yaitu: tinggi (h2 > 0.5); sedang (0.2 ≤ h2 ≤0.5); dan rendah (h2<0.2). Berdasarkan pengelompokan tersebut, karakter tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot per 1000 biji memiliki nilai heritabilitas yang tergolong tinggi yakni masing-masing 0.52, 0.76, dan 0.51 (Tabel 5). Ini menunjukkan faktor genetik pada ketiga karakter di atas lebih berpengaruh terhadap penampakan fenotipe dibandingkan faktor lingkungannya sehingga peluang diturunkannya ketiga karakter tersebut pada generasi berikutnya menjadi lebih besar. Karakter jumlah daun, lingkar batang, dan bobot biji per malai memiliki nilai heritabilitas sedang dengan nilai masing masing 0.32, 0.30, dan 0.31 (Tabel 5).

Koefisien keragaman genetik merupakan suatu nisbah antara akar dari ragam genetik dengan nilai rata-rata karakter yang bersangkutan (Surya, 2007). Berdasarkan luas dan sempitnya koefisien keragaman dibagi menjadi 3 yakni: sempit (0-10 %), sedang (10-20%), dan luas (> 20%) (Anopri, 2004). Karakter agronomi yang diamati pada galur cenderung memiliki koefisien keragaman yang sedang kecuali untuk karakter bobot biji per malai yang memiliki koefisien

keragaman genetik yang luas yaitu sebesar 21.23 % (Tabel 5). Dengan demikian seleksi galur akan lebih efektif dilakukan dengan menggunakan karakter bobot biji per malai.

Uji Korelasi antar Karakter

(35)

Tabel 6. Koefisien Korelasi Pearson Antar Karakter Galur-Galur F5

TT=tinggi tanaman; JD=jumlah daun; LB=lingkar batang; PM=panjang malai; BBM=bobot biji per malai; BSB=bobot per 1000 biji

Bobot biji per malai merupakan komponen paling penting dalam budidaya sorgum. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson didapatkan bahwa karakter tinggi tanaman, lingkar batang, dan jumlah daun berkorelasi kuat dengan karakter bobot

biji per malai dengan nilai masing-masing korelasi yakni 0.528, 0.717, dan 0.503 (Tabel 8). Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai tinggi tanaman,

lingkar batang, dan jumlah daun, maka bobot biji per malai yang dihasilkan akan semakin besar. Semakin banyak jumlah daun semakin banyak pula jumlah fotosintat yang dihasilkan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan bobot biji per malai.

Uji korelasi antar karakter juga menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi kuat dengan jumlah daun (Tabel 8). Dogget (1970) menyatakan bahwa tinggi tanaman bergantung pada jumlah buku, dimana jumlah buku sebanding dengan jumlah daun yang diproduksi. Karakter-karakter yang berkorelasi kuat selanjutnya dapat digunakan sebagai karakter seleksi tidak langsung. Sebagai contoh dengan mengetahui bahwa karakter lingkar batang berkorelasi kuat dengan bobot biji per malai, maka cukup dengan mencari galur-galur yang memiliki lingkar batang yang besar akan diperoleh galur-galur sorgum yang memiliki karakter bobot biji per malai yang tinggi tanpa harus menunggu hingga panen.

Seleksi Galur-galur Terbaik

Seleksi dilakukan untuk memperoleh galur-galur dengan karakter tertentu

yang dianggap paling baik dalam suatu populasi. Seleksi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini seleksi dilakukan secara

(36)

24

berdasarkan panjang malai dan bobot per 1000 biji. Seleksi juga dilakukan dengan mempertimbangkan tinggi tanaman untuk ke tiga metode seleksi di atas.

Efektifitas seleksi dapat diukur dari diferensial seleksi. Diferensial seleksi menunjukkan superioritas galur-galur terpilih dibandingkan populasi asalnya. Semakin besar nilai diferensial seleksi, diharapkan semakin besar pula kemajuan genetik pada populasi terseleksi. Kemajuan genetik tersebut baru dapat terlihat ketika galur-galur terseleksi ditanam pada generasi selanjutnya. Kemajuan genetik yang besar dapat diperoleh jika seleksi dilakukan berdasarkan karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi.

Tabel 7. Nilai Diferensial Seleksi Berdasarkan Bobot Biji per Malai, Bobot per 1000 Butir, dan Panjang Malai

Karakter

Diferensial seleksi 41.61 25.86 18.73

Seleksi berdasarkan karakter bobot biji per malai dilakukan dengan memilih 10 galur terbaik yang memiliki bobot biji per malai lebih dari 55 gram. Hal ini dilakukan agar diperoleh galur terseleksi yang memiliki bobot biji per malai lebih besar dari tetua pembanding terbaik (Numbu) yakni sebesar 53.29 gram. Sepuluh genotipe yang memiliki karakter bobot biji per malai di atas 51.1 gram yaitu genotipe 29-7, 1-7, 47-5, 163-19, 163-18, 131-11, 111-6, 99 -7, 151-7, dan 76-2 (Tabel 10). Dari kesepuluh genotipe hasil seleksi di atas, genotipe 163-18 memiliki karakter bobot biji per malai yang paling besar dibandingkan genotipe lainnya, sedangkan genotipe 99-7 memiliki karakter bobot biji per malai

(37)

dilakukan terhadap galur-galur F5 sorgum diharapkan akan meningkatkan bobot biji per malai sebesar 41.03 % pada generasi selanjutnya. Hasil seleksi terhadap karakter bobot biji per malai juga memberikan peningkatan terhadap 4 karakter lainnya yakni jumlah daun, lingkar batang, panjang malai, dan bobot per 1000 butir (Tabel 9). Hal ini semakin memperkuat hasil uji korelasi bahwa karakter bobot biji per malai berkorelasi kuat dengan karakter jumlah daun, lingkar batang, dan panjang malai.

Seleksi juga dilakukan berdasarkan karakter bobot per 1000 biji untuk memperoleh biji sorgum dengan kualitas dan ukuran yang lebih baik. Seleksi dilakukan terhadap galur-galur yang memiliki bobot per 1000 biji lebih dari 34 gram, sehingga nantinya diperoleh galur-galur terseleksi yang memiliki bobot per 1000 biji lebih besar dari tetua Numbu yakni sebesar 33.78 gram. Terdapat 4 genotipe yang memiliki karakter bobot per 1000 biji lebih dari 34 gram. Ke empat genotipe tersebut yaitu genotipe 118-3, 133-6, 131-11, dan 111-6 (Tabel 10). Genotipe 111-6 memiliki karakter bobot per 1000 biji paling besar dibandingkan ketiga genotipe lainnya, sedangkan genotipe 133-6 memiliki karakter bobot per

1000 biji yang paling kecil. Galur-galur terseleksi memiliki rata-rata bobot per 1000 biji sebesar 36.24 gram dengan diferensial seleksi sebesar 25.86 % (Tabel 9). Dengan demikian, seleksi terhadap galur-galur F5 sorgum diharapkan dapat

meningkatkan bobot per 1000 biji sebesar 25.86 % pada generasi berikutnya. Peningkatan karakter bobot per 1000 biji pada galur-galur terseleksi juga diikuti oleh peningkatan karakter lingkar batang, jumlah daun, panjang malai, dan bobot biji per malai.

(38)

26

Galur-galur hasil seleksi memiliki panjang malai rata-rata yakni 22.44 cm dengan nilai diferensial seleksi 18.73 % (Tabel 9). Artinya, seleksi berdasarkan karakter panjang malai diharapkan akan meningkatkan panjang malai sebesar 18.73 % pada generasi selanjutnya. Hasil seleksi tidak hanya memberikan peningkatan terhadap karakter lingkar batang, bobot biji per malai, dan bobot per 1000 biji, namun juga juga terjadi penurunan pada karakter tinggi tanaman dan jumlah daun.

Tabel 8. Genotipe Terseleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Malai, Bobot per 1000 Biji dan Panjang Malai

Genotipe terseleksi

Deskripsi Galur-galur F5 Sorgum Terbaik Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Malai, Bobot per 1000 Biji, dan Panjang Malai Genotipe 29-7

Genotipe ini merupakan generasi ke lima dari hasil persilangan varietas Numbu dan UPCA-S1. Memiliki karakter tinggi 209.78 cm, rata-rata jumlah daun 10, lingkar batang 4.85 cm, dan panjang malai 18.13 cm. Genotipe 83-10 memiliki karakter bobot biji per malai 74.17 gram dan bobot per 1000 biji 30.51 gram.

Genotipe 1-7

(39)

Genotipe 47-5

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 47-5 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing yakni 193.43 cm, 6.27 cm, 11, dan 18.67 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai, dan bobot per

1000 biji yaitu masing-masing sebesar 85.77 gram, dan 29.17 gram.

Genotipe 163-19

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 163-19 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing yaitu 209.2 cm, 5.39 cm, 11, dan 17.16 cm. Genotipe ini memiliki bobot biji per malai 71.18 gram dan bobot per 1000 biji 20.83 gram.

Genotipe 163-18

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 163-18 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing yaitu 211.25 cm, 6.23 cm, 10, dan 17.79 cm. Genotipe ini memiliki bobot biji per malai 87.40 gram,

bobot per 1000 biji 31.54 gram.

Genotipe 131-11

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 131-11 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing 177.4 cm, 5.94 cm, 10 helai, dan 24.84 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai 71.70 gram dan bobot biji per 1000 butir 35.04 gram.

Genotipe 111-6

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 111-6 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing 206.26 cm, 5.39 cm, 10 helai, dan 19.51 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai 64.04 gram dan bobot biji per 1000 butir 39.14 gram.

Genotipe 99 -7

(40)

28

22.73 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai 59.92 gram dan bobot biji per 1000 butir 30.93 gram.

Genotipe 151-7

Genotipe ini merupakan generasi ke lima dari hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 151-7 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar

batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing yaitu 200.83 cm, 4.8 cm, 9 helai, dan 17.7 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai 61.79 gram, dan bobot per 1000 biji 32.74 gram.

Genotipe 76-2

Genotipe ini merupakan generasi ke lima dari hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 76-2 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan panjang malai masing-masing yaitu 176.26 cm, 5.3 cm,

9 helai, dan 18.38 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai 65.83 gram, dan bobot per 1000 biji 26.49 gram.

Genotipe 118-3

Genotipe ini merupakan generasi ke lima dari hasil persilangan varietas Numbu dan UPCA-S1. Memiliki karakter tinggi 195.18 cm, rata-rata jumlah daun

9, lingkar batang 4.13 cm, dan panjang malai 20.4 cm. Genotipe 118-3 memiliki karakter bobot biji per malai 43.03 gram dan bobot per 1000 biji 36.38 gram.

Genotipe 133-6

Genotipe ini adalah generasi ke lima hasil persilangan varietas Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 133-6 memiliki karakter tinggi 196.65 cm, rata-rata jumlah daun 10, lingkar batang 5.08 cm, dan panjang malai 19.43 cm. Karakter bobot biji per malai pada genotipe 133-6 sebesar 38.92 gram dengan bobot per 1000 biji 34.44 gram.

Genotipe 103-6

Genotipe ini merupakan generasi ke lima dari hasil persilangan varietas Numbu dan UPCA-S1. Memiliki karakter tinggi 175.93 cm, rata-rata jumlah daun 9, lingkar batang 4.7 cm, dan panjang malai 21.33 cm. Genotipe 103-6 memiliki karakter bobot biji per malai 44.16 gram dan bobot per 1000 biji 27.94 gram.

Genotipe 138-15

(41)

cm, 9, 21.2 cm. Genotipe ini memiliki karakter bobot biji per malai, dan bobot per 1000 biji yaitu masing-masing sebesar 55.43 gram, dan 31.17 gram.

Genotipe 12-12

Genotipe ini merupakan generasi ke lima hasil persilangan tetua Numbu dan UPCA-S1. Genotipe 12-12 memiliki karakter tinggi tanaman, lingkar batang,

(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Terdapat galur-galur F5 sorgum yang memiliki keragaan lebih baik dari kedua tetua.

2. Terdapat beberapa galur yang memiliki daya hasil lebih baik dari rata-rata populasi F5.

3. Diperoleh 15 galur terbaik hasil seleksi berdasarkan bobot biji per malai, bobot per 1000 biji, dan panjang malai.

Saran

(43)

Alnopri. 2004. Variabilitas genetik dan heritabilitas sifat-sifat pertumbuhan bibit tujuh genotipe kopi robusta-arabica. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 6(2):91-96.

Aji, J. M. M. 2008. Diversifikasi saja tidak cukup. http://celebrity.okezone.com. [21 maret 2011].

Beti, Y. A., A. Ispandi dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi balai penelitian tanaman Malang No. 5. Malang.

Brewbaker. J. L. 1964. Agricultural Genetics. PRETINCE-HALL. USA

Bullard, R. W. and J. O. York. 1985. Breeding for bird resistance in sorghum and maize. In G. E. Russel (Ed.). Progress in plant breeding 1. Butterworthand Co. Ltd. London. 325 p.

Carter, P. R. Hicks, D. R. Oplinger, E. S. Doll, J. D. Bundy, L. G. Schuler, R. T. & Holmes, B. J. 1989. Sorghum-Grain (Milo), http://corn.agronomy.wisc.edu/AlternativeCrops/sorghumGrainhtm.

Accesed date 5/12/2011.

Clark, J. C. 1959. The prehistory of southern Africa. Penguin Books, Harmondsworth, Middlesex, England.

DEPKES RI., Direktorat Gizi. (1992). Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara-Jakarta. 57p.

Dogget, H. 1970. Sorghum. Longman, London.

Elrod. S and Stansfield. 2002. schaum’s outlines of Theory and Problems of GENETICS, FOURTH EDITION. McGraw-Hills. Newyork. page 183.

FAO, Agricultural Department. (2002). Sweet Sorghum in China. World Food Summit, 10-13 June 2002. http//www.fao.org/ag

Hagerty, M. J. 1941. Comments on writings concerning Chinese sorghums. Harvard J. Asiatic Studies 5, 234-260.

Harlan, J.R., 1992. Crops and Man. Madison, Wisconsin, CSSA, lnc pp 272.

(44)

32

Helena, D. 2000. Pengaruh Jarak Tanam Dalam Tumpang Sari Kedelai (Glycine max (L.) Merril) Dengan Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench.) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi. Jurusan budidaya pertanian. Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.

Hoeman, S. 2008. Prospek dan potensi sorgum sebagai bahan baku bioetanol. http://energi.bsl-online.com/archive/1.html. [20 maret 2011].

House, L. R. 1981. The sorghum plant. Growth stages and morphology’ dalam A guide to sorghum breeding, hal. 16-31. ICRISAT, Patancheru P.O. 502 324. India.

Hultquist, J. H. 1973. ‘Physiologic and morphologic investigation of sorghum

(Sorghum bicolor (L.). 1. Vascularisation. II. Response to internal drough

stress’. PhD Thesis, University of Nebraska, Lincoln, Nebraska, USA.

Ismail, G. I. dan A. Kodir. 1977. Cara bercocok tanam sorgum. Buletin tekni lembaga pusat penelitian pertanian Bogor (2). 1-9.

Jonathan, S. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu.Yogyakarta.

.

Kramer, N. W. & Ross, M. W. 1970. Cultivation of Grain Sorghum in united states. In Wall, J. S. & Ross, M. W. (Eds). Sorghum Production and Utilization. AVI Publishing Co. Inc. USA.

Kuswaraharja, D. 2008. 36 Negara terkena krisis pangan termasuk Indonesia. http://www.detikfinance.com. [20 maret 2011].

Laimeheriwa, J. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Departemen Pertanian. Balai informasi pertanian. Irian Jaya.

Leonard, W. H. & Martin, J. H. 1963. Cereal Crops. The Macmillan Company, USA, Pp679-735.

Martin, J. H. 1970. History and classification of sorghum. In J. S. Wall and W. M. Ross (Eds.). Sorghum production and utilization. The Avi Publishing Co. Inc. Westport Connecticut. 702 p.

Metcalfe, D. S. & Elkins, D. M. 1980. Crop Production: Principles and Practises. Macmillan Publishing co. Inc. NewYork.

Miller, E. C. 1916. Comparative study of the root systems and leaf area of corn

(45)

Peacock, J. M. 1979. ‘The effect of water on a growth, development dan yield of

sorghum ( Sorghum bicolor) CV. RS 610’, dalam Dryland farming research scheme (DLFRS) Botswana. Final scientific report phase II. Sorghum physiology and crop climate studies, hal. 29-52. Govermnment printer, Gaberones.

Prihandana, R. dan Hendroko. R. 2008. Energi hijau. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pujaningsih, R. I dan Mukodiningsih, S. 2002. Peningkatan Utilitas Biji Sorgum Dengan Perlakuan Pemanasan. Laporan Akhir. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Hal 1.

Purwanto, D. 1986. Pengujian Galur Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) pada dua tingkat pemupukan nitrogen. Jurusan budidaya pertanian. Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.

Puspitasari, W. 2011. Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Karakter Agronomi dan Kualitas Sorgum di Lahan Masam. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Reddy, B.V.S., J.W. Stenhouse, and H.F.W. Rattunde. 1995. Sorghum Grain Quality Improvement for Food, Feed and Industrial Uses. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.

4-1995: 39−52.

Rismunandar. 1989. Sorgum tanaman serba guna. Sinar baru. Bandung. 62 hal.

Rukmana, H dan Y. Oesman. 2001. Usaha tani sorgum. Kanisius. Jakarta. 40 hal.

Singh RK, Chaudary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. New Delhi: Kalyani Publisher.

Stanfield WD. 1983. Theory and problem of genetic. Ed ke-2. Newyork: McGraw-Hill.

Steenis, C. G. G. J. Van. 1975. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta. 495 hal.

Sumarno dan S. Karsono. 1996. Perkembangan produksi sorgum di dunia dan penggunaannya. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk

pengembangan agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996:

13−24.

(46)

34

Surya, M. I. 2007. Evaluasi Keragaman Genetik Tanaman Sorgum Manis (Sorghum bicolor L.) Hasil Radiasi Sinar Gamma Pada Generasi ke-2(M2). Skripsi. Fakultas Matematika dan IPA UI. Jakarta.

Thomas J. C., K. W. Brown and W. R. Jordan. 1976. ‘Stomata response to leaf water potential as affected by preconditioning water stree in the field’,

Agron. J., 68: 706-708.

(47)
(48)

36

Lampiran 1. Deskripsi Varietas Numbu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2009)

Tipe malai : Berbentuk elip, tegak, kompak, warna krem Sifat sekam : Warna coklat muda menutup sepertiga bagian biji Bobot biji/malai : -

Bobot 100 butir : 3,6-3,7 g

Sifat biji : Mudah dirontok dan disosoh, bentuk bulat lonjong Hasil rata-rata : 3,11 t/ha

Ketahanan hama : Tahan Aphis Ketahanan Penyakit : Tahan karat

Keterangan : Dapat ditanam dilahan sawah dan tegalan

Pemulia : Sumarny Singgih, Muslimah Hamdani, Marsum M. Dahlan, Rosalina Amir dan Sahrir Mas’ud Instansi pengusul : -

(49)

Lampiran 2. Deskripsi Varietas UPCA-S1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tipe Tanaman : Tidak beranak, tidak bercabang, berbatang kokoh, dan tahan rebah Tinggi tanaman : 140-160 cm

Tipe malai : Setengah kompak, tegak, berbentuk elip

Sifat sekam : Warna hitam, menutup sepertiga bagian biji dan berbulu halus

Bobot biji/malai : 40 g Bobot 100 butir : 2,4 g

Sifat biji : Warna putih kapur, bentuk bulat, mudah dirontok dan disosoh

Keterangan : Cocok untuk lahan dataran rendah, pH netral, banyak berkembang di Jawa Tengah

(50)

38

Lampiran 3. Layout Penelitian di Kebun Percobaan Leuwi Kopo

111-6 115-8 159-4 29-7 50-11 126-4

105-7 123-5 161-3 x-5 40-9 153-6

131-11 UPCA-S1 163-4 3-18 37-8 141-7

132-13 93-10 168-16 1-7 48-11 145-15

104-15 121-1 NUMBU NUMBU 31-20 82-4

NUMBU 127-7 167-17 4-3 36-3 152-21

132-11 NUMBU 161-10 79-13 41-2 148-17

133-6 121-11 167-20 47-5 2-16 NUMBU

133-3 107-13 UPCA-S1 7-6 15-1 NUMBU

132-7 117-19 163-18 70-4 NUMBU 73-4

132-18 93-5 76-2 24-15 152 150-14

UPCA-S1 136-16 82-3 153-11 30-3 x-18

109-7 133-11 NUMBU 161-7 74-2 138-9

151-7 139-19 88-6 UPCA-S1 164-1 158-10

146-12 114-1 82-25 163-19 11-6 145-17

UPCA-S1 UPCA-S1 83-10 150-22 26-9 UPCA-S1

144-8 124-5 85-13 152-20 45-14 78-3

137-17 103-6 UPCA-S1 166-7 NUMBU 46-1

141-2 122-6 86-4 145-9 16-13 20-8

142-13 99-7 91-8 161-4 26-8 79-1

140-12 118-3 86-4 NUMBU 13-1 54-20

141-8 101-9 91-5 146-9 1-13 48-4

141-13 138-15 98-9 169-13 1-9 59-6

98-19 311-16 91-7 140-15 12-12 65-

97-10 132-8 89-21 UPCA-S1 UPCA-S1 79-17

NUMBU 130-6 90-5 162-19 10-6 UPCA-S1

142-9 NUMBU 73-2 156-7 8-22 54-15

(51)

Latar Belakang

Beberapa tahun ini, tanaman pangan mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena isu global krisis pangan yang terjadi di beberapa negara berkembang. Bahkan pada tahun 2008 berdasarkan pantauan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis pangan dari 36 negara yang tersebar di Asia, Afrika, dan Eropa (Kuswaraharja, 2008). Krisis pangan ini mengakibatkan kenaikan harga beberapa komoditas pangan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2008 harga beras berkisar Rp. 5.376-5.501/kg dan melonjak pada

Februari 2009 Rp. 5.736. Harga beras meningkat dari tahun ke tahun hingga pada Februari 2010 harga beras sudah mencapai 7.409/kg. Kenaikan harga ini juga terjadi pada beberapa komoditas tanaman pangan lainnya seperti jagung, kedelai, kentang, dan lain-lain. Meskipun terhitung sejak Oktober 2010 Indonesia tidak lagi termasuk dalam daftar 22 negara yang mengalami krisis pangan, Indonesia tetap tidak bisa dikatakan bebas dari ancaman krisis pangan karena Indonesia adalah negara berpenduduk besar. Harga komoditas pangan bersifat fluktuatif akibat kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal ini merupakan ancaman nyata bagi ketahanan pangan Indonesia.

Diversifikasi pangan merupakan salah satu jawaban dari permasalahan ini. Diversifikasi pangan telah dicanangkan sejak tahun 1970. Diversifikasi menempati urutan teratas pada sektor pertanian disusul dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pada Repelita IV (Aji, 2008). Dalam perjalanannya, pemerintah lebih menekankan pada pentingnya swasembada beras yang kemudian tercapai pada tahun 1984. Kondisi ini mengakibatkan terbentuknya paradigma beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan menyebabkan beberapa potensi pangan lokal tergerus oleh beras. Serbuan beras sebagai makanan pokok utama menyebabkan masyarakat menjadi tergantung pada beras hingga saat ini.

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan yang

(52)

2

Indonesia, namun prospek pengembangannya masih sangat potensial karena kondisi agroekologis dan ketersediaan lahan yang mendukung. Sorgum dibawa kolonial belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1925, tetapi perkembangannya baru terlihat pada tahun 1970-an. Penyebabnya adalah minimnya produksi pangan khususnya beras pada tahun 1960 sehingga pemerintah mulai serius mengembangkan komoditas sorgum. Hasilnya pada tahun 1970-an pemerintah melepas beberapa varietas unggul sorgum seperti UPCA-S2, NO. 6C, dan KD4. Membaiknya perekonomian Indonesia setelah tahun 1970 membuat sorgum kembali terlupakan oleh masyarakat, karena penanamannya hanya dilakukan oleh masyarakat secara terbatas untuk keperluan sendiri.

Hingga saat ini terdapat 10 varietas unggulan sorgum yang telah dilepas oleh pemerintah melalui kementrian pertanian diantaranya : No. 6C, UPCA-S2, KD4, Keris, UPCA-S1, Badik, Hegari Genjah, Mandau, Sangkur, dan Numbu (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2009). Masing-masing varietas tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Potensi hasil sorgum di Indonesia mencapai 1,14 ton/ha. Bila faktor lingkungan bukan menjadi faktor pembatas,

potensi hasil sorgum dapat melebihi 11 ton/ha dengan rata-rata hasil antara 7-9 ton/ha (Hoeman, S. 2008). Oleh karena itu masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk dapat menghasilkan varietas-varietas sorgum

dengan potensi hasilnya lebih baik.

Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB telah memulai upaya pengembangan sorgum varietas baru sejak beberapa tahun lalu melalui persilangan tanaman. Hingga saat ini dari persilangan yang dilakukan antara varietas UPCA-S1 dan Numbu telah menghasilkan 150 galur sorgum (F5). Galur-galur yang dihasilkan perlu diseleksi untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil dan keragaan karakter yang ada pada setiap galur tersebut.

Tujuan

1. Memperoleh informasi keragaan karakter agronomis galur-galur F5 Sorgum 2. Menguji daya hasil 84 galur F5 sorgum hasil persilangan varietas Numbu x

UPCA-S1

(53)

Hipotesis

1. Diduga terdapat perbedaan keragaan karakter agronomis di antara galur-galur yang diuji

2. Diduga terdapat perbedaan daya hasil di antara galur-galur yang diuji

(54)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan asal usul Sorgum

Sorgum termasuk tanaman serealia semusim. Dalam klasifikasi tanaman, sorgum termasuk dalam kelas monocotyledoneae, famili poaceae, subfamili panicoideae dan genus andropogon (Rukmana dan Oesman, 2001). Asal muasal

dan budidaya sorghum seperti tanaman lainnya tidak diketahui dengan pasti (Martin, 1970). Sorghum mungkin merupakan salah satu tanaman yang pertama kali didomestikasi dalam sejarah umat manusia, karena merupakan tanaman penting di dunia jauh sebelum abad pertama (Leonard dan Martin, 1963). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tanaman sorgum sudah ada di Timur Afrika (Ethiopia atau Sudan) sejak zaman prasejarah antara 5000-7000 tahun yang lalu. Penyebarannya mencapai Bostwana pada abad ke-10, Zambia pada abad ke-14 (Clark 1959), dan Afrika Selatan pada abad ke-16. Produksi sorgum menyebar melewati Asia selatan hingga mencapai Cina pada abad ke-13 (Hagerty 1941).

Tanaman Sorgum

Menurut Metcalfe dan Elkins (1980) dan Carter et al. (1989) bentuk tanaman, model pertumbuhan, dan tampilan secara umum tanaman sorgum mirip seperti tanaman jagung atau serealia lainnya. Dogget (1970) dan House (1981) menguraikan, biji sorgum kurang lebih berbentuk bola dengan ujung tumpul. Perikarp dan testa menjadi satu, beraneka ragam warnanya dari putih jernih, atau kuning pucat sampai berbagai tingkat warna merah dan cokelat dan sampai cokelat keunguan tua. Dogget (1970) juga melaporkan daun sorgum biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas suatu pelepah dan helaian. Ukuran daun meningkat dari bawah (pertama ketika mulai tumbuh) ke atas umumnya sampai daun ketiga atau keempat kemudian menurun sampai daun bendera (Martin, 1970). Jumlah daun pada saat dewasa berkorelasi dengan panjang periode vegetatif tetapi, umumnya berkisar antara 7-18 helai daun atau lebih (Leonard dan Martin, 1963).

(55)

yang letaknya berseling seling. Batangnya padat, walaupun bagian tengah dapat menjadi seperti bunga karang, dengan ruang-ruang dalam empulur (Dogget 1970) dan Hultquist (1973). Empulurnya mungkin manis atau tawar, dan berair atau kering (House, 1981). Beberapa varietas sorgum ada yang bercabang atau beranak (Steenis, 1975). Menurut Martin (1970) banyakya cabang anakan yang berkembang tergantung pada faktor genetik, jarak tanam, kelembapan tanah, kesuburan tanah, fotoperiode, vigor tanaman dan waktu. Dogget (1970) menyebutkan ruas paling atas yang memikul malai adalah tangkai malai dan selalu merupakan ruas paling panjang. Berdasarkan kepadatannya malai bisa terbuka (lax), semi tertutup (semikompak) dan tertutup (kompak) (Martin, 1970).

Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar-akar primer dan sekunder yang panjangnya hampir dua kali panjang akar jagung pada tahap pertumbuhan yang sama (Miller, 1916) sehingga merupakan faktor utama penyebab toleransi sorgum terhadap kekeringan (Thomas dkk., 1976; Peacock, 1976). Menurut Dogget (1970), toleransi sorgum terhadap kekeringan disebabkan karena pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar

pada kondisi kekeringan. Sorgum juga efisen dalam penggunaan air karena didukung oleh sistem perakaran sorgum yang halus dan letaknya agak dalam sehingga mampu menyerap air dengan cukup intensif (Rismunandar, 1989).

Ismail dan Kodir (1977) menyebutkan sorgum memiliki suatu kelebihan dibandingkan dengan tanaman serealia lainnya dalam hal ketahanan tehadap kekeringan. Karena sifat paling penting dari sorgum adalah mampu mentolerir curah hujan yang rendah, mampu hidup pada kondisi kekeringan yang terus menerus atau terputus putus, mampu hidup pada temperatur tinggi maupun kesuburan tanah yang rendah dan banjir (Bullard dan York, 1985).

Syarat tumbuh

(56)

6

tanaman sorgum memerlukan suhu optimal berkisar 23-30oC, dengan kelembapan udara 20 % dan suhu tanah 25oC. Menurut Kramer dan Ross (1970), sorgum dapat bertahan pada kondisi panas lebih baik dibandingkan tanaman lainnya seperti jagung, namun suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan produksi biji.

Curah hujan yang diperlukan berkisar 375-425 mm/musim tanam dan tanaman sorgum dapat beradaptasi dengan baik pada tanah yang sering tergenang air pada saat turun hujan apabila sistem perakarannya sudah kuat. Laimeheriwa (1990) menyebutkan sorgum berproduksi baik pada lingkungan yang curah hujannya terbatas atau tidak teratur. Beti et al., (1990) menambahkan tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang sedikit masam (pH 5) hingga sedikit basa (pH 7,5).

Pemanfaatan

Di Indonesia sorgum juga disebut hermada, singkatan tanaman “harapan

masa depan”. Disebut demikian karena hampir semua bagian dari tanaman ini

dapat dimanfaatkan (Prihandana dan Hendroko 2008). Sorgum merupakan salah

satu komoditi unggulan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan energi, karena keduanya dapat diintegrasikan proses budidayanya dalam satu dimensi waktu dan ruang (Sungkono, et al., 2009). Sorgum memiliki kandungan nutrisi

yang tidak kalah dari tanaman pangan lain sehingga sangat berpotensi dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif. Kandungan nutrisi pada sorgum dibandingkan komoditas serealia lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Unsur Nutrisi Lima Komoditas Pangan

Unsur Nutrisi

Kandungan/100 g

Beras Sorgum Singkong Jagung Kedele

Kalori (cal) 360 332 146 361 286

(57)

Sorgum sebagai tanaman pangan dapat diolah menjadi makanan sejenis roti tanpa ragi misalnya chapati, tortila dan makanan sejenis roti dengan ragi misalnya injera, kisia, dosai. Sorgum juga dapat diolah menjadi makanan bentuk bubur kental misalnya to, tuwu, ugale, bagone, sankati dan makanan bentuk bubur cair misalnya ogi, ugi, amli, edi. Alternatif lain pengolahan sorgum adalah dalam bentuk makanan camilan, misalnya popsorgum, tape sorgum, emping sorgum dan sorgum rebus misalnya urap sorgum dan som (Vogel dan Graham 1979; Reddy et al. 1995).

Sorgum juga dapat menjadi subtitusi jagung sebagai bahan pakan ternak. Menurut Beti et al. (1990) dan ICRISAT (1994) dalam Reddy et al. (1995), sorgum dapat mengganti seluruh jagung dalam ransum pakan ayam, itik, kambing, babi, dan sapi tanpa menimbulkan efek samping. Namun perlu diperhatikan juga seberapa besar kandungan tannin pada sorgum yang digunakan sebagai pakan ternak. Kandungan tannin dalam biji sorgum menjadi faktor pembatas untuk digunakan dalam ransum ayam karena rasanya kurang disukai ternak, disamping itu tannin mengandung zat anti tripsin yang dapat menghambat laju pertumbuhan

ternak (Pujaningsih dan Mukodiningsih 2002) Beberapa varietas sorgum memiliki batang yang mengandung gula (nira). Umumnya sorgum jenis ini memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap cekaman kekeringan.

(58)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan Januari sampai dengan Mei 2011 di Kebun Percobaan Leuwikopo, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 240 m dpl.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 84 galur sorgum (F5) hasil persilangan varietas Numbu x UPCA S1 dan 2 tetua sebagai pembanding. Bahan pupuk yang digunakan meliputi Urea (45% N), KCl (50% K2O), dan SP36 (36% P2O5) dengan dosis masing masing 150 kg/ha, 100 kg/ha,

dan 100 kg/ha. Untuk pengendalian hama penyakit digunakan pestisida Karbofuran 3G dan decis. Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah: traktor, alat pertanian sederhana (cangkul, kored, tugal, arit, garu), timbangan, dan tali.

Metode Penelitian

Galur-galur yang diuji ditanam dalam baris. Genotipe yang digunakan terdiri dari 84 galur F5 hasil persilangan dan kedua tetua sebagai kontrol.

Masing-masing galur ditanam kedalam satu baris, sedangkan setiap tetua ditanam Masing- masing-masing sebanyak 8 baris sehingga terdapat 100 baris. Setiap baris terdiri dari 15 tanaman, maka populasi total adalah sebanyak 1500 tanaman.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan dan penanaman

(59)

Penjarangan dilakukan pada 2 minggu setelah tanam (MST) dengan menyisakan satu tanaman utama.

Pemupukan dan pemeliharaan tanaman

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, KCl, dan SP36 dengan dosis masing masing 150 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Pada pupuk urea aplikasi dilakukan sebanyak 2/3 bagian pada saat tanam dan 1/3 bagian pada 7 MST. Penyiangan gulma dan pembumbunan dilakukan secara manual menggunakan alat pertanian sederhana. Aplikasi pestisida decis dilakukan seminggu sekali dengan konsentrasi 1 ml/liter. Aplikasi karbofuran di bagian pucuk daun diaplikasikan pada 8 MST untuk mengendalikan hama tanaman yang menyerang daun. Aplikasi selanjutnya disesuaikan dengan kondisi di lapang.

Panen

Pemanenan yang dilakukan disesuaikan dengan umur panen masing-masing galur yang diuji sehingga panen yang dilakukan tidak serempak. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari 1 baris galur sudah masak sempurna.

Pengamatan penelitian

Pengamatan dilakukan terhadap setiap galur yang tediri dari 8 tanaman

contoh. Peubah yang diamati meliputi :

a. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang di permukaan tanah hingga ujung malai pada saat panen

b. Jumlah daun dihitung jumlah daun pada saat vegetatif maksimum c. Lingkar batang diukur pada ruas kedua saat vegetatif maksimum d. Panjang malai diukur dari leher sampai ke ujung malai pada saat panen

e. Bobot biji per malai ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas matahari selama 3 hari

Gambar

Tabel 1. Kandungan Unsur Nutrisi Lima Komoditas Pangan
Tabel 3. Rataan dan Kisaran Enam Karakter Agronomis Galur-galur F5
Gambar 2. Sebaran Karakter Jumlah Daun Galur-galur F5 Sorgum
Gambar 6. Sebaran Karakter Bobot per 1000 Butir Galur-galur F5 Sorgum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan hipotesis kedua bahwa Tangibility of Assets mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap Struktur Modal pada perusahaan Farmasi yang go publik di Bursa Efek

Untuk menghadapi masalah tersebut, maka di Pemukiman Muslim Bukit Az-Zikra perlu adanya suatu tempat atau sebuah media yang juga bersifat sosial yang memiliki

Metode penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Kurt Lewin yang terdiri dari dua siklus dengan empat tahapan yaitu, (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan,

Proses untuk mengubah teks cerita ulang menjadi bentuk teks lain dinamakan dengan istilah mengonversi.. Dalam mengonversi

Dari beberapa penelitian yang ada, penulis membuat pengembangan penelitian perancangan lampu penerangan otomatis, yang mana dari penelitian tersebut diharapkan dapat

Sebagai upaya untuk menuju kondisi ideal yang diharapkan, maka perlu dilakukan upaya terobosan yang melibatkan semua pihak terkait dalam pendayagunaan aparatur

Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.. Peraturan Kepala BKPM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara

Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.. Peraturan Kepala BKPM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara