Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir proposal penelitian ini.
Bogor, Agustus 2012
JUMAIDI INDRA. Study of Ecological Sensitivity Index Based Economic Valuation Integration (Case Study of Pramuka Island, Kepulauan Seribu Regency). Under the direction of TRIDOYO KUSUMASTANTO, FREDINAN YULIANDA and LUKY ADRIANTO.
Environmental sensitivity index (ESI) is a systematic approach to compiling information about the sensitivity of the coastal, biological resources and human resources are utilized (NOAA 2001). Michel and Dahlin (1993) in Metrianda (2000) stated environmental sensitivity index is a classification of coastal areas based on the level of sensitivity to damage from oil pollution and other damage sources. The benefit of the index calculation of ESI is information about the environmental sensitivity of coastal areas, beaches, and sea that require protection, maintenance and restoration. Sloan (1993) clarified that ESI divided into three index are yaitu vulnerability index (VI); ecologycal index (EI) and Social-economic index (SI).
In its development, environmental sensitivity index approach taken is still not optimal in responding to actual conditions of an area. With the more advanced aspects of ecology, ESI sometimes have problems in its application. This is presumably because the ESI not fully touching matters related to the economic value of resources in each region. Socio-Economic Index, which is one of the 3 (three) factor in ESI has always been based on the "benefit transfer" which cannot describe the real conditions of the total economic value of resources in the study area of ESI. Therefore, we need comprehensive calculations based on the actual conditions of the region. SI is combination between social value (SV) and economic value (EV). Calculation EV as one component of ESI determinants can be achieved by integrating the total value of economic resources from the surrounding environment and community. To simplify some points mentioned above into an implementation would be seen in a smaller area. District Administration (Adm.) Thousand Islands are expected to represent the form and a small sample of coastal and small island management.
Based on the results obtained values ESI respective ecosystems ranging from fairly sensitive as fishing ground (Damaged reef ecosystems) to highly sensitive ecosystems such as seagrass. The sensitivity level is obtained after integrating the value of benefits is calculated as a result of total economic value, are: (1) mangrove ecosystem of North Mangrove Ecosystem (NME) = IDR 11.747.918.974 and South Mangrove Ecosystem (NMS) = IDR 7.729.766.460; (2) Coral reef ecosystems fro North Coral Ecosystem (NCE) = IDR 110.216.425.580 and South Coral Ecosystem (SCE) = IDR 110.178.911.910, (3) Seagrass Ecosystems of North Seagrass Ecosystem (NSE) = IDR 8.059.157.445 and South Seagrass Ecosystem (SSE) = IDR 8.059.217.031, whereas Damaged Reef Ecosystem (DRE) is obtained with volume total economic value of the catch of 63,960 kg/year or IDR 973.200.000. The economic value represents the actual conditions and based on the preferences of the people who were around Scout Island.
JUMAIDI INDRA. Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, FREDINAN YULIANDA dan LUKY ADRIANTO.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang berlimpah. Hal ini kemudian dijadikan sebagai sektor ekonomi andalan masyarakat setempat. Dengan potensi produksi perikanan serta keanekaragaman ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lainnya, maka lingkungan laut dan pesisir Kab. Administrasi Kepulauan Seribu akan menghadapi tantangan dalam pengelolaannya. Salah satu contoh nyata bahwa kawasan laut Kepulauan Seribu hingga saat ini mengalami tantangan tersebut adalah potensi ekonomi yang dimiliki, tetapi secara langsung atau tidak juga berfungsi sebagai penyangga kelangsungan hidup masyarakat serta ekosistem sekitar.
Kondisi tersebut akan sangat berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Sehingga salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di sekitar wilayah tersebut adalah melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan dengan pendekatan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL). Penentuan IKL didasarkan kepada tiga indeks, diantaranya adalah Indeks Kerentanan (IK); Indeks Ekologi (IE) serta Indek Sosial Ekonomi (IS). Pendekatan ini salah satu cara untuk memetakan potensi sumberdaya alam ke dalam beberapa kelompok wilayah berdasarkan tingkat sensitifitas dan kepekaannya terhadap lingkungan dan aktifitas sekitar.
Dalam perkembanganya, pendekatan indeks kepekaan lingkungan yang dilakukan masih dirasa belum optimal dalam menjawab kondisi aktual suatu kawasan. Dengan lebih mengedepankan aspek ekologi, IKL terkadang mengalami hambatan dalam penerapannya. Hal ini diduga karena IKL belum secara utuh menyentuh hal yang terkait kepada nilai ekonomi sumberdaya pada masing-masing wilayah tersebut. Indeks Sosial-Ekonomi yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) faktor penentu dalam IKL selama ini selalu didasari kepada “benefit transfer” yang belum bisa menggambarkan kondisi nyata terhadap nilai total ekonomi sumberdaya pada wilayah studi IKL tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu perhitungan yang didasarkan kepada kondisi aktual kawasan tersebut. Perhitungan NEk sebagai salah satu komponen penentu IKL dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai total ekonomi sumberdaya yang berasal dari lingkungan dan masyarakat sekitar kedalam penentuan indeks kepekaan lingkungan, dalam hal ini adalah Indeks Sosial Ekonomi.
mewakili kondisi aktual dan berdasarkan preferensi dari masyarakat yang berada di sekitar Pulau Pramuka. Beberapa saran dari penelitian ini adalah; (1) Disarankan pengelolaan Ekosistem Lamun, Terumbu Karang, dan Mangrove dapat dilakukan dengan baik melalui monitoring, berdasarkan hasil penelitian ekosistem tersebut termasuk peka terhadap dampak aktivitas terutama apabila terjadi tumpahan minyak; (2) Perlu dilakukan pengkajian lanjutan yang terkait dengan interaksi antar ekosistem, antar pulau disekitarnya dan analisis dinamik sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan ganti rugi apabila terjadi bencana lingkungan.
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB
(Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu)
JUMAIDI INDRA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
JuduL : Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
Nama : Jumaidi Indra NIM : H352080051
Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 28 Juni 2012 Tanggal Lulus: Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Ketua
Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulisan tesis yang berjudul “Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)” dapat penulis selesaikan.
Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis telah mencurahkan segala kemampuan, waktu dan tenaga yang dimiliki untuk mendapatkan hasil yang baik. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magistes Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1) Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan berbagai aspek pada proses penulisan tesis.
2) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik dan saran yang konstruktif dlam setiap konsultasi, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
3) Dr. Ir. Ario Damar, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi.
4) Keluarga besar Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, PKSPL-IPB (Kang Yudi Wahyudin, Mas Hermanto, Mas Arsyad, dan teman-teman lainnya) atas motivasi, bantuan dan dukungan yang telah diberikan.
5) Keluarga besar PS. ESK yang dengan sabar selalu mengingatkan dan memberi motivasi serta bekerjasama selama mengikuti proses belajar di IPB.
6) Keluarga besar Karak Stone (Ahmad Munawar (Alm); Ibunda Nurhayati Chan; Riry Isramiwarti; Rahmat Ifraja; Adhe Zulfajri) serta keluarga yang lainnya dan tak bisa disebut satu persatu yang selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan studi ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 3 Mei 1980 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Drs. H. Ahmad Munawar, MM (Alm) dan Hj. Nurhayati Chan. Setelah berhasil menamatkan pendidikan menengah tingkat atas di SMU 1 Muaro Sijunjung pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pendidikan Sarjana diselesaikan pada tahun 2003.
JuduL : Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
Nama : Jumaidi Indra NIM : H352080051
Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 28 Juni 2012 Tanggal Lulus: Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Ketua
Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
2.3. Nilai Total Ekonomi Sumberdaya (Valuasi Ekonomi) ... 29
Halaman
5.1.2. Kondisi Kependudukan Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang... 67
5.2.2.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang ... 96
5.2.3. Ekosistem Lamun ... 96
Halaman
5.2.3.2. Indeks Ekologi (IE) ... 98
5.2.3.3. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) ... 99
5.2.3.3.1. Nilai Sosial ... 99
5.2.3.3.2. Nilai Ekonomi ... 101
5.2.3.3.3. Indeks Sosial Ekonomi ... 104
5.2.3.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun ... 104
5.2.4. Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan) ... 105
5.2.4.1. Indeks Kerentanan ... 105
5.2.4.2. Indeks Ekologi ... 106
5.2.4.3. Indeks Sosial-Ekonomi ... 107
5.2.4.3.1. Nilai Sosial ... 108
5.2.4.3.2. Nilai Total Ekonomi ... 108
5.2.4.3.3. Indeks Sosial Ekonomi ... 109
5.2.4.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Kegiatan Perikanan ... 110
5.3. Pemetaan indeks Kepekaan Lingkungan di Pulau Pramuka ... 110
5.4. Perbandingan Antara IKL Dengan atau Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi ... 112
6. KESIMPULAN DAN SARAN... 113
6.1. Kesimpulan... 113
6.2. Saran.. ... .. 113
DAFTAR PUSTAKA... 115
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Kriteria dan Kondisi Ekosistem Lamun ... 16
2.2. Tingkat kepekaan lingkungan berdasarkan nilai IKL ... 19
2.3. Skor dan Penilaian Indeks Kerentanan Pada Wilayah Pesisir ... 21
2.4. Kriteria Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove ... 22
2.5. Skor dan Penetapan Kriteria Indeks Ekologi(IE) Ekosistem Mangrove 23
2.6. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Mangrove ... 24
2.7. Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Terumbu Karang ... 25
2.8. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Terumbu Karang ... 25
2.9. Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Lamun ... 27
2.10. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Lamun ... 27
2.11. Nilai IKL Berdasarkan Sifat Penting Kawasan... 28
2.12. Kriteria Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan ... 29
2.13. Kriteria Nilai Sosial (NS) Daerah Penangkapan Ikan... 29
2.14. Defenisi dan Contoh Komposisi Nilai Ekonomi Total (NET) ... 34
2.15. Spesifikasi Metoda Valuasi Contingent ... 35
2.16. Spesifikasi Pendekatan Pasar Konvensional... 36
2.17. Spesifikasi Metoda Biaya Perjalanan... 37
2.18. Spesifikasi Perilaku Pengeluaran ... 37
2.19. Spesifikasi pendekatan pengaruh produksi ... 37
2.20. Spesifikasi pendekatan harga properti ... 38
2.21. Spesifikasi pendekatan harga properti ... 38
4.1. Kelas Dominansi Penutupan Ekosistem Lamun ... 47
4.2. Skor Tingkat Kepekaan Lingkungan IKL ... 47
4.3. Skor dan Metode Penilaian Indeks Kerentanan ... 48
4.4. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove ... 49
4.5. Skor dan Penetapan Kriteria Variabel Ekologi Ekosistem Mangrove.... 50
4.6. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang ... 50
4.7. Skor dan Penetapan Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang ... 51
4.8. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Padang Lamun ... 51
Halaman
4.10. Kriteria indeks ekologi daerah penangkapan ikan ... 52
4.11. Kriteria Nilai Sosial Untuk Pengamatan Masing-Masing Ekosistem .... 53
4.12. Kriteria Nilai Sosial Untuk Daerah Penangkapan Ikan ... 54
4.13. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 55
4.14. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ... 56
4.15. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Padang Lamun ... 56
4.16. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Daerah Penangkapan Ikan ... 57
4.17. Matriks Jenis Dan Sumber Data ... 62
5.1. Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ... 64
5.2. Luasan Yang Teridentifikasi sebagai Wilayah Studi ... 66
5.3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin dan Umur ... 67
5.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 68
5.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 68
5.6. Jumlah Responden Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang... 70
5.7. Jenis Alat Tangkap, Jumlah serta Pendapatan Yang Diperoleh Oleh Nelayan Responden ... 71
5.8. Persentase Armada Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang... 71
5.9. Kriteria dan Skor dari Tiap Indeks Ekologi Mangrove Pulau Pramuka . 77 5.10. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka ... 79
5.11. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka.. 81
5.12. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Masing-Masing-Manfaat ... 84
5.14. Kriteria dari Tiap Variabel Ekologi Terumbu Karang Pulau Pramuka .. 88
5.15. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka ... 90
5.16. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka 93
5.17. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka 93 5.18. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka... 94
5.19. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka ... 95
Halaman
5.21. Skor Penilaian Indeks Sosial Ekosistem Lamun Pulau Pramuka ... 100 5.22. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka... 102 5.23. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Pramuka ... 103 5.24. Kriteria dan Penentuan Skor Indeks Kerentanan Daerah Penangkapan
Ikan Pulau Pramuka ... 104 5.25. Skor Penilaia Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan di Pulau
Pramuka ... 107 5.26. Skor Penentuan Nilai Sosial Daerah Penangkapan Ikan di Pulau
Pramuka ... 108 5.27. Volume Daerah Penangkapan Ikan Berdasarkan Lokasi Penangkapan.. 109 5.28. Nilai IKL dan Tingkat Kepekaan di Pulau Pramuka. ... 111 5.29. Perbandingan Antara IKL Terintegrasi Valuasi Ekonomi dengan IKL
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Wilayah Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara (Balitbang KP, 2012). ... 17
2.2. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ... 31
2.3. Tipologi nilai ekonomi total (NET) ... 33
3.1. Kerangka Pemikiran... 41
4.1. Teknik Pengamatan Manta Tow (Rodgers, 2001) ... 45
4.2. Transek Pengambilan Contoh Lamun ... 46
5.1. Sebaran Ekosistem di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (sumber google map)... 66
5.2. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69
5.3. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 69
5.4. Jumlah Responden Berdasarkan Mata Pencaharian ... 69
5.5. Asal Lokasi Wisatawan ... 72
5.6. Kegiatan Pariwisata yang Diminati oleh Wisatawan... 72
5.7. Ekosistem Mangrove (EMU dan EMS) di Pulau Pramuka ... 74
5.8. Ekosistem Mangrove bagian Utara (EMU) di Pulau Pramuka ... 75
5.9. Anakan dan Semaian Ekosistem Mangrove di Bagian Selatan (EMS) di Pulau Pramuka ... 76
5.10. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan)... ... 85
5.11. Ekosistem Terumbu Karang (KHU dan KHS) di Pulau Pramuka (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan) ... 86
5.12. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHU) di Pulau Pramuka ... 87
5.13. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHS) di Pulau Pramuka... 88
5.14. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan) ... 96
5.15. Ekosistem Lamun (ELU dan ELS) di Pulau Pramuka (ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan)... 97
Halaman
5.17. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
(ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan)... 104 5.18. Ekosistem Karang Gosong/Daerah Penangkapan Ikan di Pulau
Pramuka (EKG=Ekosistem Karang Gosong) ... 105 5.19. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Daerah Penangkapan Ikan di Pulau
Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
(EKG=Ekosistem Karang Gosong)... 110 5.20. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan daerah Penangkapan Ikan di Pulau
Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan; ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan; EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan; EKG=Ekosistem Karang
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Lokasi dan Pengambilan Sampel Penelitian... 121
2. Perhitungan Effect On Production ... 125
3. Hasil Perhitungan CVM untuk Ekosistem Mangrove ... 132
4. Perhitungan Travel Cost Methods ... 136
5. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Mangrove ... 139
6. Perhitungan Contingent Valuation Method untuk Terumbu Karang... 141
7. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Terumbu Karang 147 8. Perhitungan CVM untuk Ekosistem Lamun ... 149
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional Indonesia bergantung pada beberapa hal, diantaranya ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDA) dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Ketersediaan sumberdaya manusia dikaitkan dengan kemampuan dan keberdayaannya sebagai pemeran utama dalam pembangunan. Pada sisi lain, ketersediaan sumberdaya alam dikaitkan kepada modal awal dan bahan dasar dalam pembangunan yang bergantung kepada daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya. Pemerintah berperan penting dalam menetapkan kebijakan yang mengatur interaksi antara faktor SDM dan SDA tersebut. Pemerintah memiliki kewajiban dalam merencanakan, mengelola dan memantau seluruh kegiatan yang terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Keberhasilan pemerintah dapat tercermin dari efektifitas dan efisiensi pengelolaan SDM dan SDA pada tiap level kepemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh kebijakan pemerintah di dukung oleh swasta dan masyarakat. Kebijakan pembangunan tersebut mencakup wilayah daratan, pesisir dan lautan. Sebagaimana diketahui bahwa secara umum pengelompokan populasi penduduk di Indonesia lebih di dominasi berada di wilayah pesisir. Berbeda dengan wilayah pedalaman, kawasan pesisir dan laut di Indonesia merupakan wilayah yang memiliki karakteristik unik dan kompleksitas yang tinggi dalam pengelolaannya. Keunikan dan kompleksitas inilah yang menjadi salah satu tantangan untuk mencapai keberhasilan pengoptimalisasian potensi yang dimiliki, baik SDM maupun SDA.
(4) mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar, dan pulau-pulau kecil, (5) mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, dan (6) memperkuat kapasitas dan fasilitas pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan peraturan perundang-undangan (Kusumastanto 2009). Untuk menyederhanakan beberapa point tersebut diatas kedalam suatu implementasi, kiranya dapat dilihat dalam suatu wilayah yang lebih kecil. Kabupaten Administrasi (Adm.) Kepulauan Seribu diharapkan mampu mewakili bentuk dan contoh kecil dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang potensial. Hal ini kemudian menjadi sektor andalan bagi masyarakat setempat. Potensi produksi perikanan serta keanekaragaman ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, lamun yang dimiliki oleh Kab. Adm. Kepulauan Seribu akan menghadapi tantangan apabila tidak memiliki suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah tantangan antara kegiatan manusia yang memanfaatkan dan bergantung kepada berbagai jasa lingkungan di Pulau Pramuka serta kelestarian ekosistem di satu sisi dengan ancaman degradasi lingkungan ketika terjadi pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan akibat terjadi tumpahan minyak. Sebagaimana diketahui wilayah pesisir Pulau Pramuka selain berpotensi secara ekonomi juga merupakan penyangga kelangsungan hidup masyarakat dan ekosistem sekitar.
Kondisi tersebut akan sangat berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan pendekatan penetapan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL). Pemetaan wilayah berdasarkan IKL akan memberikan informasi mengenai wilayah prioritas untuk dilakukan konservasi berdasarkan prinsip optimalisasi dalam pembangunan berkelanjutan. Pemetaan IKL juga dapat memberikan informasi mengenai lokasi-lokasi dan jenis sumberdaya pesisir yang rentan terhadap akibat tumpahan minyak.
utuh menyentuh hal yang terkait kepada keterwakilan nilai ekonomi sumberdaya pada masing-masing wilayah tersebut. Indeks Sosial-Ekonomi yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) faktor penentu dalam IKL masih mengacu pada nilai dari benefit transfer sehingga belum bisa menggambarkan kondisi nyata terhadap nilai total ekonomi sumberdaya pada wilayah studi IKL tersebut.
Berdasarkan informasi diatas, maka perlu dilakukan suatu metode dalam mengintegrasikan nilai total ekonomi sumberdaya yang berasal dari lingkungan dan masyarakat sekitar kedalam suatu valuasi ekonomi dalam penentuan indeks kepekaan lingkungan di wilayah studi. Dengan demikian proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat secara komprehensif mempertimbangkan aspek nilai ekonomi sumberdaya kelautan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
1.2. Rumusan Masalah
Penerapan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) selama ini umumnya masih berorientasi kepada faktor keberadaan ekosistem (Indeks Ekologi). Hal tersebut dapat menjadi masalah ketika terjadi konflik kepentingan antara ekologi dan ekonomi, misalnya ketika ada satu ekosistem dinyatakan sensitif menurut IKL, tetapi menurut masyarakat dinyatakan tidak sensitif karena beberapa pertimbangan, terutama ekonomi.
Dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ekosistem yang khas sehingga diperlukan metode perhitungan yang holistik dengan mengintegrasikan nilai ekonomi sumberdaya dalam penyusunan IKL tersebut.
Berdasarkan keadaan diatas, maka perumusan masalah dapat dinyatakan ke dalam beberapa bentuk pertanyaan:
1) Bagaimana cara menentukan IKL di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? 2) Bagaimana menentukan faktor dan parameter dari tiap-tiap wilayah yang telah
dikategorikan dalam suatu hasil penentuan IKL?
3) Dapatkah faktor dan parameter tersebut di integrasikan dengan suatu valuasi ekonomi?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Melakukan identifikasi dan analisis faktor dan parameter terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
2) Melakukan analisis IKL berdasarkan tiga faktor penentu yaitu Indeks Kerentanan (IK), Indeks Ekologi (IE) dan Indeks Sosial-Ekonomi (IS). 3) Melakukan analisis dan kajian nilai total ekonomi sumberdaya dan
mengintegrasikannya kedalam IKL serta menyajikannya dalam bentuk peta.
1.4. Ruang Lingkup
Pulau Pramuka memiliki tiga ekosistem khas wilayah pesisir yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Ekosistem tersebut memiliki ketergantungan dengan aktifitas manusia secara langsung maupun tidak. Melalui metode penentuan IKL, maka akan dihitung indeks kerentanan (IK); indeks ekonomi (IE) serta indeks sosial-ekonomi (IS).
Kajian ini mencakup penentuan krakteristik ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, menyusun IKL serta mengintegrasikan nilai ekonomi total kedalam penghitungan IKL tersebut.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa:
1) Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi S-2 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK).
2.1. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan sumberdaya alam adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sementara ekosistem itu sendiri adalah
tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.
Dalam konteks wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sumberdaya yang ada
meliputi:
a) Sumberdaya manusia, yaitu manusia yang terlibat dan mempunyai
kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
b) Sumberdaya alam hayati, yaitu sumberdaya perikanan (plankton, benthos,
ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut, lamun, mangrove,
terumbu karang.
c) Sumberdaya alam non-hayati, yaitu antara lain minyak dan gas, timah, biji
besi, pasir, bauksit, mineral dan bahan tambang lainnya.
d) Sumberdaya alam buatan, antara lain pelabuhan, jalan, perpipaan, kapal,
perahu, bagan dan tambak.
Sumberdaya alam hayati merupakan salah satu sumberdaya yang diharapkan
mampu menjadi penggerak utama dalam pembangunan nasional. Hal ini berdasarkan
pada fakta fisik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas
17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km, luas laut 3,1 juta km2 (0,3 juta km2
perairan territorial dan 2.8 juta km2 perairan nusantara) (Supeni 2010). Pemanfaatan
optimal sumberdaya alam tersebut harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek
bio-ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan. Hal tersebut karena pemanfaatan sumberdaya
terbarukan senantiasa mengedepankan aspek keberlanjutan. Sumberdaya alam pesisir dan
sumberdaya perikanan sangat berbeda dari sumberdaya terestrial, seperti pertanian dan
perkebunan (Supeni 2010).
Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki biodiversiti
layaknya suatu kawasan pesisir. Terdiri dari berbagai pulau yang memiliki tipe
ekosistem yang berbeda-beda. Ekosistem mangrove, Ekosistem Lamun dan terumbu
karang mendominasi di beberapa pulau, salah satunya Pulau Pramuka. Jenis-jenis
karang yang dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, diantaranya adalah jenis karang
keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral) misalnya Monstastrea dan Labophyllia karang meja (Table coral), karang kipas (Gorgonia), karang daun (Leaf coral), karang jamur (Mushroom coral), dan jenis karang lunak (Soft coral) (www.kepulauanseribu.net).
Jenis ikan hias yang banyak ditemukan diantaranya adalah jenis-jenis yang
termasuk dalam famili Chaetodontidae, Apogonidae dan Pomancanthidae,
sedangkan jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi antara lain adalah
Baronang (Family Siganidae), Ekor Kuning (Family Caesiodiae), Kerapu (Family
Serranidae) dan Tongkol (Eutynus sp.). Echinodermata yang banyak dijumpai
diantaranya adalah Bintang Laut, Lili Laut, Teripang dan Bulu Babi yang juga
merupakan indikator kerusakan terumbu karang. Crustacea yang banyak dikonsumsi
antara lain kepiting, rajungan (Portunus sp.) dan udang karang (Spiny lobster).
Moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda, Pelecypoda,
termasuk jenis yang dilindungi diantaranya adalah Kima Raksasa (Tridacna gigas) dan Kima Sisik (Tridacna squamosa).
Kawasan Kepulauan Seribu juga merupakan habitat bagi Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricata) yang dilindungi, dan keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap
tempat-tempat penelurannya seperti Pulau Peteloran Timur, Penjaliran Barat,
Penjaliran Timur dan Pulau Belanda, telah dilakukan juga pengembangan pusat
penetasan, pembesaran dan pelepasliaran Penyu Sisik di Pulau Pramuka dan Pulau
Sepa.
Untuk jenis tumbuhan laut, kawasan Kepulauan Seribu ditumbuhi jenis lamun
(Morinda citrifolia), ketapang (Terminalia catappa), butun (Baringtonia asiatica),
sukun (Artocarpus atilis), pandan laut (Pandanus tectorius), sentigi (Pemphis
acidula), dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Di beberapa pulau juga ditemukan ekosistem mangrove yang di dominasi oleh
jenis-jenis Bakau (Rhizophora sp.), Api-api (Avicenia sp.), Tancang (Bruguiera sp.), Temu dan Prepat (Sonneratia sp.). Potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara khas adalah sebagai berikut:
2.1.1. Ekosistem Mangrove
Mangrove adalah suatu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai
produktivitas tinggi (Murachman et al. 2000). Merupakan ekosistem pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air
laut tetapi tidak terpengaruhi oleh iklim.
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung atau berpasir,
dimana daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama, terlindung dari gelombang besar dan
arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2-12 permil) hingga asin
(mencapai 38 permil). Vegetasi ini dapat ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal,
estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001).
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik, karena di dalam
ekosistem mangrove terpadu dua tipe karakteristik ekosistem, yaitu karakteristik
ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan jenis biota yang
hidup di habitat mangrove pun terdiri atas biota laut dan biota darat. Dari segi biota,
banyak penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem
mangrove adalah biota laut (Kusmana 1995).
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau
jalur-jalur. Berdasarkan hal tersebut hutan mangrove dapat dibagi dalam beberapa zona,
yaitu : Sonneratia, Avicenia, Rhizophora, Brugulera, Cerlops dan Asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari yang paling kuat pengaruh angin dan ombak,
yakni zona terdepan yang digenangi air berkadar garam yang tinggi dan ditumbuhi
Menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan
dalam Aprilwati (2001) adalah :
1) Zona Avicennia
Zona ini terletak paling luar dari hutan mangrove, memiliki tanah lumpur
agak lembek dan sedikit mengandung humus dengan kadar garam yang
tinggi. Biasanya didominasi oleh Sonneratia spp, Avicennia spp, dan kadang-kadang bercampur dengan Rhizophora spp.
2) Zona Rhizophora
Zona ini terletak di belakang zona Avicennia dengan tanah berlumpur lembek
sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp, kadang-kadang di
beberapa tempat berasosiasi dengan jenis Bruguiera spp.
3) Zona Brugulera
Zona ini terletak di belakang zona Rhizophora dengan tanah berlumpur agak
keras. Pada zona ini sebagian besar ditumbuhi jenis Bruguiera spp,
kadang-kadang berasosiasi dengan jenis lain seperti Ceriops spp dan Lumitzera spp.
4) Zona Kering dan Nypa
Pada zona ini, salinitas air sangat rendah dan tanahnya keras serta kurang
dipengaruhi oleh pasang surut. Sering dijumpai Nypa Fruticans, Deris sp dan
sebagainya.
Menurut Odum dan Johannes (1975) dalam Supriharyono (2000), ada
beberapa fungsi dan manfaat penting hutan mangrove, diantaranya :
1) Kayunya dapat dipakai sebagai kayu bakar. Karena nilai kalorinya yang
tinggi, maka kayu mangrove dapat dipakai sebagai arang (charcoal). Selain itu, beberapa jenis pohon mangrove tertentu mempunyai kualitas
kayu yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk
perumahan dan konstruksi kayu.
2) Kulit kayu merupakan sumber tannin yang biasa digunakan untuk penyamak kulit dan pengawet jala atau jaring ikan. Selain itu, tannin juga merupakan sumber lem plywood dan beberapa zat warna.
3) Daunnya dapat digunakan sebagai makanan ternak. Beberapa daun dari
ataupun ternak, bahkan ada pula yang digunakan sebagai pengganti untuk
teh dan tembakau.
4) Bunga-bunganya merupakan sumber madu.
5) Buah-buahnya ada yang dapat dimakan, walaupun beberapa dari buah
tersebut ada yang beracun dan ada yang beracun juga untuk ikan.
6) Akar-akarnya efektif untuk perangkap sedimen, memperlambat kecepatan
arus, dan mencegah erosi pantai.
7) Tempat mencari makan dan berlindung bagi berbagai ikan dan
hewan-hewan air lainnya (seperti kerang-kerangan) terutama pada tingkat
juvenile.
8) Hutan mangrove merupakan suatu penyangga antara komunitas daratan
dan pesisir (laut), misalnya antara terumbu karang dan lamun (seagrass).
Manfaat dan nilai hutan mangrove tersebut dapat lebih dipahami dengan
melakukan penggolongan terhadap fungsi yang dimilikinya (Tribowo 1997), yaitu :
1) Fungsi fisik, menjaga garis pantai agar stabil, mencegah instrusi air laut,
menyaring limbah serta menjaga keseimbangan iklim mikro pantai.
2) Fungsi biologi, menjadi tempat perkembangbiakan dan pengasuhan
berbagai biota laut karena produktivitasnya tinggi.
3) Fungsi ekonomis produktif, berkaitan dengan pemanfaatan produk hutan
mangrove yang bisa diperjualbelikan baik produk kayu (kayu bakar,
arang, bahan bangunan, pulp, kertas) maupun non-kayu (obat-obatan, madu, ikan) secara tradisional maupun intensif-modern.
Ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan (Tomascik
et al. 1997) yaitu : 1) Suhu tropis
Hutan mangrove yang berkembang baik hanya ditemukan di sepanjang
pantai yang mempunyai rata-rata suhu minimum bulanan lebih besar dari
20oC dan perubahan suhu musiman tidak lebih dari 5oC. Rata-rata suhu
minimum bulanan udara dan perairan di Indonesia lebih baik dari
2) Salinitas air tanah
Salinitas air tanah adalah faktor penting yang memacu pertumbuhan,
tinggi, daya tahan, dan zonasi mangrove. Salinitas air tanah diatur oleh
beberap faktor, yaitu : genangan air pasang, tipe tanah dan topografi,
kedalaman tanah yang kedap air, jumlah dan curah hujan musiman,
masukan air tawar dan sungai, masukan ion garam dari daerah yang
berbatasan, dan evaporasi. Mangrove biasanya ada dan tumbuh di estuary
yang mempunyai kisaran salinitas air tanah antara 10-30 ppt.
Kawaroe et al. (2001) menyatakan dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem
mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove
dengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara
jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota
air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat
pembiakan dan pembesaran (spawning graound dan nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground). Menurut Bengen (2002) menyatakan bahwa identifikasi yang dapat dilakukan pada mangrove yaitu:
a. Tingkat semai, adalah permudaan dari mulai kecambah hingga tinggi 1,5 meter.
b. Tingkat pancang, adalah permudaan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm.
c. Tingkat pohon, adalah tumbuhan berkayu berdiameter batang ≥ 10 cm.
2.1.2. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah ekosistem perairan laut dangkal di kawasan tropis dan
sub-tropis, yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, yaitu
polip karang dan alga berkapur (calcareous algae). Polip karang dan alga (zooxanthellae), hidup bersimbiosis secara mutualistis. Polip karang yang merupakan hewan renik, memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap
mangsa dan bahan makanan berupa plankton. Oleh alga yang hidup di dalam polip
karang, bahan makanan tersebut kemudian dikonversi menjadi enargi melalui proses
fotosintesa dengan memanfaatkan radiasi matahari yang mencapai dasar laut.
Karang yang merupakan endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCO3), adalah
terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Simbiosis mutualistis antara polip karang
dengan alga tersebut merupakan mesin kehidupan pembentuk terumbu karang.
Nybakken (1982) dalam Situmorang (2004) bahwa keberadaan alga (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan polip karang menentukan laju proses pembentukan kapur
(kalsifikasi).
Terumbu karang terdiri dari dua jenis yaitu karang batu dan karang bercabang.
Kecepatan tumbuh kedua jenis karang tersebut berbeda dimana laju pertumbuhan
karang bercabang lebih besar dari pada karang batu. Laju pertumbuhan kareang
bercabang bisa mencapai 10 cm pertahun, sedangkan karang batu (massive) laju
pertumbuhannya hanya antara 0.3 cm sampai 2 cm pertahun (Barnes 1993).
Ekosistem terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, yaitu (Nybakken
1992) :
1) Suhu, karang dapat tumbuh secara optimal pada perairan yang mempunyai
suhu tahunan 23-25oC.
2) Cahaya, terumbu karang harus mendapatkan cukup cahaya (intensitasnya
lebih rendah 15-20 % dari intensitas cahaya di permukaan) agar
zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang dapat berfotosintesis.
3) Salinitas, karang hermatipik dapat tumbuh pada kisaran salinitas lautan
normal, yaitu 32-35‰. Jika aliran air tawar dari sungai terlalu besar, maka
tidak dapat ditemukan terumbu.
4) Sedimentasi, karang tidak mampu bertahan dalam lingkungan yang
mempunyai tingkat pengendapan yang berat, karena endapan dapat
menutupi hewan karang tersebut, menyumbat struktur pemberian
makanannya, dan mengurangi intensitas cahaya yang dibutuhkan
organisme zooxanthellae untuk berfotosintesis.
Secara ekologis, terumbu karang mempunyai berbagai fungsi. Terumbu
karang telah lama dikenal sebagai daerah dengan produktivitas tinggi, walaupun
secara umum perairan bahari di daerah tropis miskin nutrient, namun produktivitas
pada terumbu karang sangat tinggi (Nybakken 1992). Tingginya produktivitas
primer pada terumbu karang dapat disebabkan oleh banyaknya jaringan tumbuhan
yang mempunyai kemampuan fotosintesis tinggi di terumbu karang dan kemampuan
Bentuk terumbu karang yang rumit dan berliku-liku sering dimanfaatkan biota
laut sebagai tempat yang aman untuk memijah (spawning ground) dan meletakkan telurnya. Setelah telur-telur tersebut menetas, biota laut yang masih berbentuk
juvenile itu menghabiskan sebagian masa berkembangnya di daerah terumbu. Jadi
terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) (Bangen 2001). Fungsi lain terumbu karang terkait dengan bahan pembentuknya. Karena
terumbu terbentuk dari endapan kalsium karbonat yang masif dan letaknya yang
mengelilingi pantai (terutama terumbu karang tepi dan penghalang), maka ekosistem
ini juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang penyebab abrasi
(Bengen 2001).
Sebagai daerah yang kaya terumbu karang tak lepas dari kegiatan pemanfaatan
yang dilakukan manusia untuk menunjang perekonomiannya. Terumbu karang
adalah rumah bagi berbagai biota laut yang dimanfaatkan manusia untuk konsumsi,
seperti ikan karang, moluska, dan krustasea. Hampir 1/3 spesies ikan laut dunia
berada di ekosistem terumbu karang (Moberg dan Folke 1999) dan 10% ikan yang
dikonsumsi manusia berasal dari terumbu karang (Moberg dan Folke 1999). Selain
itu, di beberapa daerah masih di temukan pengambilan terumbu untuk konstruksi
bangunan dan pembuatan kapur. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
substansi-substansi yang ditemukan di terumbu karang dapat digunakan sebagai
bahan baku farmasi (Bengen 2001). Secara tidak langsung, terumbu karang
memberikan manfaat ekonomi. Ekosistem terumbu karang kini telah dijadikan objek
wisata bahari yang menguntungkan. Jadi, masyarakat di sekitar wilayah terumbu
karang juga mendapat manfaat terumbu karang sebagai objek wisata.
Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang bersumber dari dua
hal yakni faktor alami dan faktor manusia. Faktor alam, antara lain kenaikan suhu air
laut yang melebihi normal seperti yang terjadi akibat munculnya fenomena El Nino
pada tahun 1982-1983, yang menyebabkan naiknya suhu rata-rata air laut di
Indonesia, diperkirakan merupakan penyebab timbulnya coral bleaching yang
menyebabkan matinya karang batu di laut Jawa. Selain itu, ledakan populasi
pemangsa karang, seperti Bulu Seribu (Acanthaster planci) di berbagai tempat di Indonesia juga merupakan faktor lain penyebab kerusakan terumbu karang di
Sedangkan faktor-faktor manusia berupa kegiatan yang mengancam
kelestarian fungsi dan manfaat terumbu karang antara lain pembangunan kawasan
pesisir, misalnya pengurukan untuk penyediaan lahan bagi industri, perumahan,
rekreasi dan lapangan udara, ataupun pengurukan untuk memperdalam alur
pelayaran bagi pelabuhan atau marina. Kegiatan tersebut memberi dampak yang
sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan karang, karena menimbulkan
kekeruhan air dan mengubah pola arus. Sedimen yang tersuspensi dalam air di
kawasan terumbu karang dapat menghentikan pertumbuhan polip, yang sekaligus
menghentikan pertumbuhan terumbu.
Kegiatan penambangan karang batu untuk kebutuhan pembuatan kapur dan
bahan pembangunan jalan dan rumah, secara tidak langsung merusak terumbu
karang dan di pihak lain dapat menyebabkan erosi dan berpindahnya pasir ke lokasi
lain akibat perubahan pola sirkulasi dan arus. Sementara itu, kegiatan penangkapan
ikan dan biota karang secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan pada karang
itu sendiri. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potassium,
merusak ekosistem terumbu karang dalam skala luas, karena menghancurkan
terumbu dan membunuh terumbu serta berbagai jenis ikan yang berasosiasi.
Kondisi terumbu karang kepulauan Seribu telah banyak diteliti oleh berbagai
lembaga penelitian seperti P3O LIPI, IPB, UNESCO, LAPI-ITB, Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Secara umum kondisi terumbu karang di
Kepulauan Seribu dikategorikan dalam kondisi buruk hingga sedang (LAPI-ITB
2001). Presentase tutupan karang hidup hanya berkisar antara 0-24,9% dan
25-49,9%. Kerusakan terumbu karang sebagian diakibatkan oleh penambangan
karangan batu untuk bahan bangunan serta penangkapan ikan dengan menggunakan
peledak dan bahan kimia (LAPI-ITB 2001).
2.1.3. Ekosistem Lamun
Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di laut. Lamun hidup di perairan laut yang dangkal, mempunyai tunas
berdaun yang tegak, berbunga, berbuah dan menghasilkan biji (Romimohtarto dan
Juwana 2005). Komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang
surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan
di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu
karang (Bengen 2001). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 50 jenis
lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yaitu Cymnodocea rotundata, Cymnodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule univerves, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum (Romimohtarto dan Juwana 2005).
Lamun merupakan tumbuhan monokotil laut yang banyak tersebar di daerah
tropis dan mampu beradaptasi untuk hidup di dalam substrat lunak (pasir, pasir
berlumpur, lumpur lunak dan atau terumbu karang) antara dan sepanjang daerah
pasang. Diduga lamun merupakan turunan rerumputan air tawar yang mampu secara
khusus bertoleransi terhadap salinitas. Beberapa sifat yang harus dimiliki oleh lamun
agar dapat bertahan hidup di laut yaitu (Merryanto 2000):
1) Mampu beradaptasi untuk hidup di dalam media air asin.
2) Mampu tumbuh dalam keadaan yang terbenam seluruhnya.
3) Mempunyai sistem perakaran yang sanggup menahan aksi gelombang dan
arus pasang surut.
4) Mempunyai kesanggupan untuk melangsungkan penyerbukan dalam air.
5) Mampu bersaing dengan baik dalam lingkungan air laut.
Hutomo dan Azkab (1987) menjelaskan bahwa rimpang dan akar lamun
menangkap dan menggabungkan sedimen, sehingga meningkatkan stabilitas
permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan air jadi lebih jernih
oleh karena begitu sedimen halus tersebut ke bawah dan berada di antara akar, ia
tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus. Selain itu, daun sendiri
dapat menangkap sedimen halus melalui kontak dengan mikroorganisme yang
banyak tinggal di daun. Jadi, lapisan lamun dapat memodifikasi sedimen yakni
menstabilkan ukuran pasir dan menyebabkan perairan menjadi tenang. Akan tetapi,
dalam jumlah yang besar timbunan sedimen dapat menjadi pembatas pertumbuhan
lamun.
terumbu karang, lamun dan mangrove). Hal ini sejalan dengan pendapat UNESCO
(1963) dalam Hutomo dan Azkab (1987) yang melihat adanya interaksi ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove meliputi lima bentuk interaksi utama yaitu
interaksi fisik, nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya
hewan dan dampak manusia.
Nybakken (1992) menyebutkan bahwa secara ekologis ekosistem lamun
memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu :
1) Sumber utama produktivitas primer.
2) Sumber makanan penting bagi organisme (dalam bentuk detritus).
3) Menstabilkan dasar yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan
saling menyilang.
4) Tempat berlindung organisme.
5) Tempat pembesaran bagi beberapa spesies yang menghabiskan masa
dewasanya di lingkungan ini, misalnya udang dan ikan baronang.
6) Sebagai peredam arus sehingga menjadikan perairan di sekitarnya tenang.
7) Sebagai tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi
penghuninya.
Secara umum lamun juga banyak mempunyai kegunaan bagi manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung. Fortes (1990) dalam Merryanto (2000)
menyebutkan ada dua kategori kegunaan lamun bagi manusia, yaitu :
1) Kegunaan tradisional
Sebagai bahan tenunan untuk keranjang, dibakar menjadi garam, soda dan
penghangat, bahan isian kasur, atap jerami, bahan pelapis dan
pembungkus, kompos dan pupuk, peredam bunyi dan panas, pengganti
benang dalam pembuatan nitrosellulosa, tumpukan untuk pembuatan
tanggul dan rokok dan mainan anak.
2) Kegunaan kontemporer
Sebagai penyaring air buangan, stabilizer pantai, pembuatan kertas,
sumberdaya kimiawi, pupuk dan makanan ternak dan makanan dan obat
bagi manusia.
Keberadaan lamun tidak terlepas dari gangguan atau ancaman terhadap
manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis
besar tidak diketahui, namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi.
Perikanan laut yang meyediakan lebih dari 60% protein hewani yang dibutuhkan
dalam menu makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun
untuk produktifitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan ekosistem lamun oleh
manusia akibat tambat labuh kapal yang tidak terkontrol (Sangaji 1994).
Tabel 2.1. Kriteria dan Kondisi Ekosistem Lamun
Kriteria Kondisi Persentase Penutupan (%)
Baik Kaya/sehat
Kurang kaya/kurang sehat
≥ 60 30-59,9
Rusak Miskin ≤ 29,9
Sumber : KepMenLH No. 200/2004
Kriteria padang lamun berdasarkan persentase penutupan, yang dibagi menjadi
dua kondisi yaitu baik dan rusak. Kondisi baik lamun yaitu dengan persentase ≥ 60% terdiri dari kategori kaya (sehat), sedangkan kondisi rusak terdiri dari dua
kategori yaitu kurang kaya (kurang sehat) dan miskin dengan persentase penutupan
yang berbeda masing-masing (Tabel 2.1).
Secara spesifik keberadaan lamun di Kepulauan Seribu telah menghadapi
ancaman yang cukup serius, salah satunya adalah pencemaran minyak yang terjadi
beberapa kali di tahun 2004 yang mengakibatkan lapisan permukaan air tertutup
oleh tumpahan minyak berwarna hitam pekat. Dan juga meningkatnya jumlah
penduduk dari tahun ke tahun menambah tekanan terhadap Ekosistem Lamun
(Kawaroe et al. 2004).
2.1.4. Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan)
Daerah penangkapan ikan merupakan suatu daerah perairan dimana ikan yang
menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat
tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis (Mukhtar, 2011). Suatu wilayah
perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi
interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan
teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat
diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan
dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika
terjadi sebaliknya.
Gambar 2.1. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Balitbang KP, 2012).
Secara alami tanda-tanda fisik daerah penangkapan ikan (Fishing ground)
berdasarkan pengalaman nelayan, yang catchable area diantaranya ditandai oleh
warna perairan lebih gelap dibandingkan perairan sekitarnya, ada banyak burung
beterbangan dan menukik-nukik ke permukaan air, banyak buih di permukaan air,
dan umumnya jenis ikan ini bergerombol di sekitar batang-batang kayu yang hanyut
di perairan atau bersama dengan ikan yang berukuran besar seperti paus. Dengan
adanya rumpon dan penggunaan cahaya lampu disuatu perairan maka daerah
penangkapan ikan dapat dibentuk, sehingga nelayan dan unit kapal penangkap ikan
tidak tergantung lagi dengan tanda-tanda fisik daerah penangkapan ikan yang
bergantung pada kondisi lingkungan alami perairan.
Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan Utara Jakarta, wilayah perairan
Kepulauan Seribu didominasi oleh ekosistem terumbu karang, lamun dan daratan
pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut.
daerah Kepulauan Seribu yang terletak di sebelah utara merupakan daerah yang
mempunyai potensi sebagai daerah penangkapan ikan (Gambar 2.1). Pemanfaatan
sumberdaya hayati laut terutama sumberdaya ikan menjadi sumber utama
penghidupan sebagian besar masyarakat yang tinggal di kepulauan. Sekitar 71,6%
penduduk Kepulauan Seribu adalah nelayan yang menggantungkan kehidupannya
pada hasil penangkapan ikan baik ikan karang, ikan hias, dan biota laut lainnya
merupakan target penangkapan para nelayan Kepulauan Seribu (BPS, 2011).
Pulau Pramuka yang kaya akan hamparan ekosistem karang gosongnya,
dijadikan sebagai daerah perikanan tangkap ikan karang, yang merupakan mata
pencaharian utama nelayan Pulau Pramuka. Hasil tangkapan nelayan Pulau
Pramuka kebanyakan adalah jenis ikan karang. Ikan karang yang banyak di peroleh
yaitu jenis ikan baronang, kakatua, kerapu, dan lainnya yang merupakan jenis ikan
karang yang terdapat di perairan Pulau Pramuka. Pengambangan perikanan tangkap
meskipun prospektif tetapi memerlukan suatu pengelolaan yang tepat.
Perkembangan terakhir mengindikasikan bahwa populasi sumberdaya ikan semakin
menurun (Sachoemar 2008).
2.2. Indeks Kepekaan Lingkungan
Kepekaan adalah tidak tolerannya suatu habitat, komunitas atau spesies
terhadap faktor luar, sehingga mudah rusak atau bahkan mati. Suatu habitat,
komunitas atau spesies menjadi rawan ketika terkena pengaruh dari luar
(lingkungan). Kepekaan disebabkan oleh kerentanan ketika berhubungan dengan
dampak fisik atau kondisi lingkungan yang sangat ekstrim (Tyler-Walter et al. 2001 dalam Muarif 2002).
Tingkat kerawanan merupakan gambaran kemungkinan suatu habitat terhadap
faktor luar yang bersifat peka. Tingkat kerawanan (vulnerability rating) suatu ekosistem terhadap dampak kegiatan pembangunan bergantung pada respons
ekosistem tersebut terhadap suatu dampak dan peluang terjadinya dampak atas
ekosistem. Respon ekosistem pesisir terhadap suatu dampak ada yang sangat peka
sampai yang tidak peka, bergantung pada karakteristik biologi dan ekologi dari
ekosistem yang bersangkutan. Peka dalam hal ini artinya jika ekosistem tersebut
terkena suatu dampak, maka ekosistem ini akan mudah rusak tetapi sukar pulih
Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan pendekatan secara sistematis
mengkompilasi informasi mengenai kepekaan pantai, sumberdaya biologi dan
sumberdaya yang dimanfaatkan manusia (NOAA 2001). Michel dan Dahlin (1993)
dalam Metrianda (2000), indeks kepekaan lingkungan merupakan pengklasifikasian suatu wilayah pesisir dan pantai berdasarkan tingkat kepekaan terhadap kerusakan
akibat pencemaran minyak dan sumber kerusakan lainnya.
Manfaat yang didapat di daerah pesisir, pantai dan laut, dari penghitungan
indeks kepekaan lingkungan adalah informasi tentang wilayah pesisir, pantai, dan
laut yang memerlukan perlindungan, perawatan dan perbaikan kembali. Informasi
ini tersaji dalam bentuk peta indeks kepekaan lingkungan (peta IKL) (Metrianda
2000).
Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) menggambarkan nilai kepekaan relatif
dari masing-masing daerah yang dihitung dan ditampilkan sebagai sebuah peta.
Beberapa komponen yang menggambarkan suatu nilai kepekaan lingkungan yaitu
kerentanan, ekologi dan sosial. Indeks Kerentanan (IK) yaitu menggambarkan
kerentanan lingkungan terhadap pengaruh suatu dampak kegiatan baik langsung
ataupun tidak. Indeks Ekologi (IE) menggambarkan tingkat kemampuan dan
sensitifitas suatu ekosistem dalam beradaptasi dengan dampak suatu kegiatan.
Sementara Indeks Sosial Ekonomi (IS) lebih menggambarkan kesensitifitasan
masyarakat dan kegiatannya dalam menghadapi potensi dampak dari suatu kejadian.
Indeks Sosial-Ekonomi (IS) terdiri dari agregasi dua nilai yang terdiri dari Nilai
Sosial (NS) dan Nilai Ekonomi (NE). Masing-masing komponen tersebut memiliki
nilai antara 1 (paling tidak peka) sampai 5 (paling peka). Nilai komposit IKL adalah
hasil perkalian antara komponen-komponen tersebut, dimana berkisar dari 1 (paling
tidak peka) hingga 125 (paling peka) (PKSPL-IPB 2009) (Tabel 2.2).
Tabel 2.2. Tingkat kepekaan lingkungan berdasarkan nilai IKL
Nilai IKL Tingkat Kepekaan
1 Tidak Peka
2 – 8 Kurang Peka
9 – 27 Cukup Peka
28 – 64 Peka
65 – 125 Sangat Peka
Penghitungan IKL secara umum merupakan berbasis spasial/wilayah, dimana
penetapannya dengan melihat seberapa besar tingkat sensitifitas suatu wilayah
terhadap pengaruh yang timbul dari suatu perubahan. Dalam hal wilayah dan
eksosistem pesisir dan lautan, terjadinya dampak secara garis besar dapat terjadi
melalui :
1) Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam.
2) Pencemaran.
3) Perubahan pola hidrologi dan oseanografi.
4) Degradasi fisik habitat dan perubahan tata guna lahan.
Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menyebabkan berkurangnya
kemampuan alam dalam melakukan pemulihan diri. Melalui pencemaran pada
ekosistem akan mengakibatkan terjadinya kerusakan atau kematian biota wilayah
pesisir serta segenap fungsi ekologi dan sistem penunjang kehidupan yang ada di
dalamnya. Demikian juga halnya dengan perubahan pola hidrologi dan oseanografi,
yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi proses ekologi serta sedimentasi dan
erosi di wilayah pesisir. Sedangkan degradasi fisik habitat dan perubahan tata guna
lahan biasanya merusak fungsi konservasi atau preservasi dari kawasan pesisir.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dan mempunyai pengaruh yang
sangat besar bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Terjadinya suatu dampak
akan memberikan tekanan baik secara ekologi maupun ekonomi terhadap ekosistem
yang ada. Beberapa ekosistem pesisir dan lautan yang termasuk wilayah pesisir
secara umum terdiri dari Ekosistem Mangrove, Ekosistem Lamun serta Ekosistem
Terumbu Karang. Terlepas dari tiga ekosistem umum tersebut, daerah penangkapan
ikan juga merupakan suatu wilayah yang memiliki tingkat sensitifitas terhadap suatu
pencemaran.
Studi ini disusun berdasarkan atas asumsi kejadian tumpahan minyak sebagai
penentu nilai IKL. Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang
dirancang oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA, 2001),
Sloan (1993) dan dimodifikasi oleh PKSPL IPB (2009). Secara umum, terdapat
tiga tipe informasi yang dapat dilihat dari sistem IKL, diantaranya yaitu:
1) Klasifikasi Garis Pantai, ditentukan berdasarkan keterkaitan tingkat
sensitif, ketahanan sumberdaya alam terhadap tumpahan minyak dan
2) Sumberdaya Alam Biologi, tingkat sensitifitas dari tiap makhluk hidup
dan habitatnya seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu
karang.
3) Sumberdaya Alam yang dimanfaatkan oleh manusia, dimana secara
spesifik sangat penting bagi manusia dalam hal nilai tambah seperti pantai
untuk kegiatan pariwisata, dll.
Berdasarkan penilaian dari Sloan (1993) dan NOAA (2001) tingkat kepekaan
dari masing-masing ekosistem yang ada adalah sangat peka bagi ekosistem
mangrove, lamun dan terumbu karang (skor 5). Tingkat sensitifitas tersebut
dikarenakan pengaruh tumpahan minyak yang sangat berpengaruh bagi ekosistem,
baik dari sisi ancaman terhadap organisme maupun lamanya paparan akibat minyak
untuk dapat di rehabilitasi dan mengembalikan ekosistem kepada fungsi
sebelumnya. Sementara itu tingkat sensitifitas untuk daerah tangkapan ikan,
diidentifikasikan kepada tingkatan cukup peka (skor 2). Secara lengkap skor IK
pada tiap-tiap ekosistem dan daerah tangkapan ikan ditampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Skor dan Penilaian Indeks Kerentanan Pada Wilayah Pesisir
Ekosistem Tingkat Kepekaan Sumber dan Literatur Skor
Mangrove Sangat Peka Sloan (1993), NOAA (2001) 5
Lamun Sangat Peka NOAA (2001) 5
Terumbu Karang Sangat Peka Sloan (1993), NOAA (2001) 5
Daerah Tangkapan Ikan Cukup Peka Sloan (1993) 2
Sumber: Sloan (1993), NOAA (2001)
2.2.1. IKL Ekosistem Mangrove
2.2.1.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi
Ekosistem mangrove mempunyai arti penting karena memberikan sumbangan
berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Ekosistem mangrove memberikan
perlindungan bagi organisme tertentu, pemijahan, pembesaran dan tempat mencari
makan dari berbagai organisme perairan. Ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang paling rentan terhadap pencemaran minyak (Sloan 1993).
Kerusakan ekosistem mangrove bersifat jangka panjang dan akan mempengaruhi
habitat lain yang berasosiasi. Hal tersebut juga sejalan dengan NOAA (2001)
sensitif dikarenakan oleh tingginya nilai biodiversitas, tingkat kesulitan dalam
proses pembersihan, serta lamanya dampak yang dirasa oleh banyak jenis
organisme. Indeks ekologi (IE) ekosistem mangrove dapat dinilai berdasarkan
interpretasi dari lima kriteria yaitu diversitas, kerapatan, status perlindungan, dan
habitat kehidupan liar sebagaimana tertera pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Kriteria Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove
Kriteria Indeks Keterangan Kondisi
1 Hanya ditemukan 1 jenis mangrove
pada lokasi pengamatan
< 3 Ditemukan lebih dari 2 dan kurang dari tiga (sebanyak 2 jenis mangrove) Diversitas*)
>3
Ditemukan 3 atau lebih jenis Mangrove di lokasi studi
Pada semua
Kepadatan pohon mangrove kurang Dari 500 pohon/ha dari semua jenis Mangrove yang ada di tiap lokasi
501-1000
Kepadatan pohon mangrove antara 501-1.000 pohon/ha dari semua jenis mangrove yang ada di tiap lokasi Kerapatan
Mangrove*)
> 1000
Kepadatan pohon mangrove lebih Dari 1.000 pohon/ha dari semua Jenis mangrove yang ada di tiap Lokasi
Ekosistem mangrove yang ada di Lokasi pengamatan tidak termasuk Dilindungi
Dilindungi Secara
Lokal
Ekosistem mangrove termasuk Dilindungi dalam kategori kawasan konservasi lokal yaitu kawasan sempadan pantai
Ekosistem mangrove di lindungi dalam kategori nasional (taman nasional)
Tidak ditemukan satwa yang dilindungi pada lokasi pengamatan
1-2 Ditemukan 1-2 jenis satwa yang
Dilindungi
3 Ditemukan 3 jenis satwa/biota yang
Dilindungi Habitat
satwa liar**)
>3 Ditemukan lebih dari 3 jenis satwa/biota yang dilindungi Sumber : *) Pengembangan dari Kathiresan, R. 2007 dan Fabiyi 2008
Kriteria indeks ekologi pada Tabel 2.4. kemudian disederhanakan kedalam
pengklasifikasian nilai berdasarkan tingkatan kepekaan yang telah disusun dan
dimodifikasi PKSPL-IPB (2009) berdasarkan Sloan (1993) dan Jupiter (2006)
sebagaimana terlampir pada Tabel 2.5. dibawah ini.
Tabel 2.5. Skor dan Penetapan Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Mangrove
Skor Jumlah
Sumber : NOAA 1997 Kathiresan, R. 2007 dan Fabiyi 2008 modifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
Indeks ekologi (IE) pada ekosistem mangrove ditentukan dengan menghitung
agregasi dari jumlah spesies, kerapatan mangrove, status perlindungan, habitat
kehidupan liar dan jenis spesies mangrove. Nilai IE pada ekosistem mangrove akan
semakin tinggi apabila terdiri dari lebih dari 3 spesies, memiliki kerapatan yang
lebih dari 1000 ind/ha, merupakan daerah konservasi, beralienasi dengan lebih dari 3
habitat kehidupan liar, serta merupakan genus yang sensitif terhadap pencemaran
akibat tumpahan minyak seperti Avicennia (Jupiter et al, 2006).
2.2.1.2. Indeks Sosial-Ekonomi
Indeks Sosial-Ekonomi merupakan agregat dari nilai sosial dan nilai ekonomi.
Nilai sosial (NS) untuk ekosistem mangrove dihitung berdasarkan beberapa kriteria
yang mungkin terdampak sebagai akibat tumpahan minyak, seperti pengembangan
area potensi wisata, daerah penangkapan, dan pemanfaatan lainnya. Ketiga kriteria
tersebut dikelompokkan menjadi lima (5) kelompok. Hal ini sebagaimana hasil
modifikasi PKSPL-IPB berdasarkan pengembangan dari Sloan (1993) (Tabel 2.6).
Sedangkan nilai ekonomi (NE) mangrove dihitung berdasarkan perhitungan nilai
ekonomi total dari sumberdaya mangrove yang terdiri dari manfaat langsung,
Tabel 2.6. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Mangrove
No. Penjelasan Kriteria Skor
1 Pengembangan area potensial wisata Sangat potensial
Potensial
2 Daerah penangkapan ikan Sangat intensif
Intensif
3 Pemanfaatan lainnya Sangat bermanfaat
Bermanfaat Sumber: Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
Pengembangan area potensi wisata dikategorikan kedalam 5 kriteria potensial.
Penentuan kriteria ini didasarkan kepada beberapa hal seperti intensitas kegiatan
wisata serta kebijakan daerah setempat terhadap keberadaan ekosistem mangrove.
Daerah penangkapan ikan dikelompokkan kedalam 5 kriteria, mulai dari sangat
intensif sampai kepada tidak intensif. Disebut sangat intensif apabila kegiatan di
sekitar wilayah di dominasi oleh kegiatan perikanan setiap harinya dan jenis
peralatan tangkap yang aktif seperti pancing dan jala di sekitar ekosistem mangrove.
Sementara itu, penentuan skor dengan kriteria sangat bermanfaat sampai tidak
bermanfaat ditentukan oleh seberapa besar ekosistem mangrove dimanfaatkan untuk
kegiatan lain.
2.2.2. IKL Ekosistem Terumbu Karang 2.2.2.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi
Nilai Kerentanan ekosistem terumbu karang dikelompokkan ke dalam empat
kriteria yaitu persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang,
dan keberadaan spesies yang dilindungi (Sloan 1993). Menurut NOAA (2001)
menyatakan bahwa tingkat kerentanan untuk eksosistem terumbu karang apabila
terkena pencemaran minyak adalah sangat tinggi, sehingga indeks kerentanan (IK)