TESIS
Oleh
MUHAMMAD IQBAL
087011162/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD IQBAL
087011162/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : MUHAMMAD IQBAL Nomor Pokok : 087011162
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1.Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Nama : MUHAMMAD IQBAL
Nim : 087011162
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BAITUL MAL
DALAM PENGELOLAAN HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI PEMILIK DAN AHLI WARISNYA (STUDI DI BAITUL MAL KOTA BANDA ACEH)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :MUHAMMAD IQBAL
menghancurkan sebagian wilayah di propinsi Aceh dan telah mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa serta tidak terhitung lagi kerugian harta benda yang hilang dan musnah akibat tsunami, yang menimbulkan permasalahan hukum dibidang Keperdataan. Untuk menangani permasalahan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 48 tahun 2007. Undang-undang ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian. Kemudian Dalam peraturan tersebut memerintahkan pengelolaan harta korban tsunami yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya kepada Baitul Mal.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Dasar pembentukan Baitul Mal adalah qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal yang membagi Baitul Mal dalam 4 tingkatan yaitu propinsi, kabupaten/Kota, Mukim dan Gampong, selanjutnya menyangkut susunan organisasi diatur oleh peraturan gubernur dan peraturan Bupati. Dalam hal pengelolaan Harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya itu terdiri dari tanah, simpanan nasabah di perbankan dan harta kekayaan lainnya, kemudian Baitul Mal diberikan jangka waktu pengelolaan selama 25 tahun, jika selama jangka waktu itu ternyata pemilik atau ahli warisnya muncul maka Baitul Mal wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemilik atau ahli warisnya. Pelaksanaan harta tersebut juga tidak luput dari hambatan, hambatan yang dihadapi adalah kendala sarana perundang-undangan yang belum mengatur semua aspek kewenangan Baitul Mal dalam mengelola harta tersebut dan kendala kurangnya koordinasi antar lembaga yang terlibat dengan masalah harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya.
Province: thousands of people died and a lot of properties vanished. This disaster has caused legal problems, especially of the civil law. In order to solve these problems, the government enacted Government Regulation as the substitution of Law No. 2/2007 on the Handling of Legal Problems in order to implement the Nangroe Aceh Darussalam Province and in Nias Islands, North Sumatera : this which is aimed to handle legal problems, such as, housing, banking, legacy, and guardianship, it is embodied in the regulation which states that the management of the tsunami victims properties, in which the owners and the heirs are not known, are given ti Baitul Mal (treasury).
The research used descriptive method with judicial normative approach. The data were obtained from the primary and secondary data. The primary data were gathered by using interviews, and the secondary were gathered from primary, secondary, and tertiary legal materials. The devices for gathering the data were literature study and interviews. The data were analyzed qualitatively.
The background of establishingBaitul Malwas canon No. 10/2007 onBaitul Mal which was divided it into four : province, district/town,Mukim (administrative unit one step higher than village), andgampong(village). The organization structure was stipulated in the Governor’s and Regent’s regulations. The Properties in which the owners and the heirs were not known such as land, savings in the bank and other kinds of properties would be kept by Baitul Mal for 25 years. If within this span of time (25 years) the real owners or heirs appreared, Baitul Mal would give their back to them. The implementation of this procedure usually encountered obstacles such as the lack of legal procedures which did not cover all authorities of Baitul Mal in managing the properties and the lack of coordination between the institution involved and the properties in which the owners and the heirs were not known.
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT
karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan judul “Peran dan Tanggung Jawab Baitul Mal Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahli Warisnya (Studi di Baitul Mal Kota Banda Aceh)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormatBapak Prof. Dr. Muhammad Yamin., SH., MS., CN, BapakProf . Dr. Alvi Syahrin., SH., MS
dan Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH., M.Kn.selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., C.N.,
M.Hum. beserta para seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang
diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik
dan membimbing penulis.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu
pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan
dengan penulisan tesis ini.
Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis
juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada Ayahanda H. Ibrahim Nyaksady dan Ibunda Hj. Zailisma, yang telah
melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan penulis, tidak lupa kepada
Kakak-kakak yang tercinta yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup
besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
dr. Siti Desniharyani yang selalu ada disaat susah dan senang, rekan-rekan seangkatan
yang telah memberikan semangat, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah memberi sumbangan saran, ide dan pendapatnya sehingga membuat warna
tersendiri dalam tesis pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya
dan ilmu kenotariatan pada khususnya.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Agustus 2011
Penulis,
Nama : Muhammad Iqbal
Tempat/Tanggal Lahir : Padang Hilir, 01 Januari 1980
Alamat : Jl. Sukarela Nomor 59 Padang Hilir-Rawa,
Susoh, Aceh Barat Daya
Status : Belum Kawin
Agama : Islam
II. KELUARGA
Nama Ayah : H. Ibrahim Nyaksady
Nama Ibu : Hj. Zailisma
III. PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SDN 01 Kampung Rawa, Susoh
Sekolah Menengah Pertama : MTsN Susoh
Sekolah Menengah Atas : SMAN 1 Blangpidie
Pendidikan S1 : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian... 10
E. Keaslian Penulisan ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori... 13
2. Konsepsi ... 23
G. Metode Penelitian... 26
1. Sifat dan Jenis Penelitian... 26
2. Sumber Data ... 27
3. Teknik Pengumpulan Data ... 27
4. Analisis Data ... 28
BAB II PENGATURAN MENGENAI KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN BAITUL MAL DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN FUNGSINYA ... 29
A. Kedudukan Dan Kewenangan Baitul Mal di Propinsi Aceh 29 1. Sejarah Pelembagaan Baitul Mal di Aceh... 29
3. Tugas Bidang dan Sub Bidang Baitul Mal Kota
Banda Aceh ... 54
4. Struktur organisasi dan kewenangan serta kewajiban
Baitul Mal Mukim dan Gampong ... 57
C. Dewan Pertimbangan Syariah ... 59
BAB III PELAKSANAAN PENGELOLAAN HARTA YANG TIDAK DIKETAHUI PEMILIK ATAU AHLI WARISNYA
DI BAITUL MAL KOTA BANDA ACEH ... 62 A. Tinjauan terhadap Status Pemilik Harta Yang Tidak
Diketahui Pemilik dan Ahli Warisnya... 62
B. Objek harta yang tidak diketahui pemiliknya yang dapat
dikelola oleh Baitul Mal. ... 79
1. Tanah ... 80
2. Simpanan Nasabah di Bank... 86
3. Harta Kekayaan diluar Tanah dan Simpanan di Bank .. 89
C. Pelaksanaan dan Pengelolaan Harta yang tidak diketahui
pemilik atau ahli warisnya.... 91 1. Permohonan Penetapan Sebagai Pengelola Harta pada
Mahkamah Syariah... 91
2. Jangka Waktu Pengelolaan Harta... 98
3. Pengembalian Harta Kepada Pemilik dan Ahli Waris
Pada Masa Pengelolaan Harta ... 100
B. Kendala Kurangnya Koordinasi Antara Lembaga Yang terlibat Dengan Masalah Harta Yang Tidak Diketahui
Pemilik dan Ahli Warisnya. ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 113
A. Kesimpulan... 113
B. Saran ... 115
menghancurkan sebagian wilayah di propinsi Aceh dan telah mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa serta tidak terhitung lagi kerugian harta benda yang hilang dan musnah akibat tsunami, yang menimbulkan permasalahan hukum dibidang Keperdataan. Untuk menangani permasalahan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 48 tahun 2007. Undang-undang ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian. Kemudian Dalam peraturan tersebut memerintahkan pengelolaan harta korban tsunami yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya kepada Baitul Mal.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Dasar pembentukan Baitul Mal adalah qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal yang membagi Baitul Mal dalam 4 tingkatan yaitu propinsi, kabupaten/Kota, Mukim dan Gampong, selanjutnya menyangkut susunan organisasi diatur oleh peraturan gubernur dan peraturan Bupati. Dalam hal pengelolaan Harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya itu terdiri dari tanah, simpanan nasabah di perbankan dan harta kekayaan lainnya, kemudian Baitul Mal diberikan jangka waktu pengelolaan selama 25 tahun, jika selama jangka waktu itu ternyata pemilik atau ahli warisnya muncul maka Baitul Mal wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemilik atau ahli warisnya. Pelaksanaan harta tersebut juga tidak luput dari hambatan, hambatan yang dihadapi adalah kendala sarana perundang-undangan yang belum mengatur semua aspek kewenangan Baitul Mal dalam mengelola harta tersebut dan kendala kurangnya koordinasi antar lembaga yang terlibat dengan masalah harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya.
Province: thousands of people died and a lot of properties vanished. This disaster has caused legal problems, especially of the civil law. In order to solve these problems, the government enacted Government Regulation as the substitution of Law No. 2/2007 on the Handling of Legal Problems in order to implement the Nangroe Aceh Darussalam Province and in Nias Islands, North Sumatera : this which is aimed to handle legal problems, such as, housing, banking, legacy, and guardianship, it is embodied in the regulation which states that the management of the tsunami victims properties, in which the owners and the heirs are not known, are given ti Baitul Mal (treasury).
The research used descriptive method with judicial normative approach. The data were obtained from the primary and secondary data. The primary data were gathered by using interviews, and the secondary were gathered from primary, secondary, and tertiary legal materials. The devices for gathering the data were literature study and interviews. The data were analyzed qualitatively.
The background of establishingBaitul Malwas canon No. 10/2007 onBaitul Mal which was divided it into four : province, district/town,Mukim (administrative unit one step higher than village), andgampong(village). The organization structure was stipulated in the Governor’s and Regent’s regulations. The Properties in which the owners and the heirs were not known such as land, savings in the bank and other kinds of properties would be kept by Baitul Mal for 25 years. If within this span of time (25 years) the real owners or heirs appreared, Baitul Mal would give their back to them. The implementation of this procedure usually encountered obstacles such as the lack of legal procedures which did not cover all authorities of Baitul Mal in managing the properties and the lack of coordination between the institution involved and the properties in which the owners and the heirs were not known.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2004 di wilayah propinsi Aceh dan Kepulauan Nias di propinsi Sumatera Utara, telah
menghancurkan sebagian wilayah di propinsi Aceh dan telah mengakibatkan ratusan
ribu korban jiwa serta tidak terhitung lagi kerugian harta benda yang hilang dan
musnah akibat tsunami. Namun kini secara umum kondisi di Aceh semakin baik,
pembangunan infrastruktur di segala bidang telah menampakan hasil yang signifikan
walaupun masih ada masalah yang masih belum terselesaikan yang pada
kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa dampak dari tsunami dan konflik yang
pernah terjadi sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat di propinsi Aceh, di satu
sisi bencana gempa dan tsunami berakibat pada hilangnya harta benda dan persoalan
warisan, hak atas tanah dan juga masalah perwalian, disisi lain konflik yang
berkepanjangan di Aceh juga mengakibatkan peningkatan jumlah kemiskinan dan dapat
mengakibatkan melemahnya fungsi dan peran lembaga hukum.1
Salah satu permasalahan yang masih ada ialah penyelesaian masalah harta
benda dari orang-orang yang menjadi korban tsunami dan hilang atau tidak diketahui
keberadaannya yang berkaitan dengan persoalan hak milik atas harta benda tersebut,
1 Ernita Dewi, Perempuan Aceh dihadapan Hukum setelah Konflik dan Tsunami berlalu,
pemenuhan hak-hak perdata ahli waris yang ditinggalkan serta persoalan perwalian
para anak yatim yang telah kehilangan orang tuanya, yang membutuhkan
penangganan serius dari semua pihak agar tidak ada lagi korban tsunami yang
kembali menderita akibat kehilangan harta benda miliknya.
Untuk menangani permasalahan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 Tentang
Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian menjadi
Undang-undang Nomor 48 tahun 2007 yaitu Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 tentang Penanganan
Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-undang. Undang-undang
ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti
Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian yang berkaitan dengan bencana
gempa dan tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias.2
Secara umumnya undang-undang nomor 48 tahun 2007 ini mengatur tentang
penyelesaian terhadap permasalahan hukum yang timbul pasca tsunami tersebut,
penyelesaian permasalahan hukum yang diatur didalam undang-undang ini lebih
2Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun
terfokus kepada penyelesaian permasalahan hukum di bidang hukum Perdata yaitu
tentang harta kekayaan dan perwarisan dan perwalian. Undang-undang ini terdiri dari
8 Bab dan khususnya untuk penyelesaian permasalahan harta diatur di dalam 3 bab
yaitu Bab III tentang Pertanahan dan Bab IV tentang Perbankan serta tentang
Perwarisan dan Perwalian diatur di dalam Bab V. Selanjutnya Undang-undang ini
mengatur bahwa jika dalam hal harta kekayaan yang tersebut ternyata tidak diketahui
lagi pemilik atau ahli warisnya, maka dalam hal ini undang-undang tersebut
menunjuk Baitul Mal sebagai pengelola harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli
warisnya khusus untuk pemeluk agama Islam di Aceh,3 sedangkan bagi orang yang
diluar pemeluk agama Islam tetap pada Balai Harta Peninggalan (BHP).4
Balai Harta Peninggalan sendiri merupakan suatu lembaga bentukan
pemerintah di bidang harta peninggalan dan perwalian di dalam lingkungan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya bertanggung jawab secara langsung kepada
Direktur Jendral Hukum dan Perundang-undangan melalui Direktorat Perdata.5
Seperti yang telah disinggung diatas, kewenangan Balai Harta Peninggalan
adalah dibidang harta peninggalan dan perwalian seperti mengurus perwalian,
pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran akta wasiat
dan kepailitan, namun semenjak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
3Pasal 1 Butir 6 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 48 tahun 2007 4Pasal 1 Butir 7 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 48 tahun 2007.
5Direktorat Jendral Administrasi Hukum dan Umum Departemen Kehakiman RI. Himpunan
Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara, yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 48 tahun 2007
yaitu Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun
2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara,
memberikan kewenangan kepada Baitul Mal untuk mengurus harta peninggalan dan
perwalian bagi pemeluk agama Islam yang berada di Aceh, sedangkan untuk orang
yang bukan pemeluk agama Islam di Aceh menyangkut harta peninggalan dan
perwalian tetap merupakan kewenangan Balai Harta Peninggalan.
Penegasan pemisahan kewenangan pengelolaan tersebut dapat juga dilihat
dalam pasal 27 Undang-undang nomor 48 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa harta
kekayaan yang pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya, karena
hukum, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan Baitul Mal atau Balai Harta
Peninggalan sampai ada penetapan pengadilan dan untuk dapat mengelola harta
tersebut maka sesuai dengan pasal 28 Undang-undang Nomor 48 tahun 2007, Baitul
Mal atau Balai Harta Peninggalan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
ditetapkan sebagai pengelola terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik
Kemudian sebagai pelaksana dari undang-undang ini dikeluarkan Qanun
(Peraturan Daerah)6 yang mengatur Baitul Mal yaitu Qanun Aceh Nomor 10 tahun
2007 tentang Baitul Mal, pengertian yuridis tentang Baitul Mal terdapat dalam qanun
adalah sebagai berikut:7
Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam
Disamping pengertian Baitul Mal menurut qanun tersebut diatas, pengertian
tentang Baitul Mal juga dapat dilihat dari pengertian secara bahasa Arab yaitu berasal
dari katabait yang berarti rumah danal-malyang berarti harta. Jadi secara etimologis
(ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan
harta dan secara terminologis, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan
maupun pengeluaran Negara.
Menurut Masjfuk Zuhdi, tugas Baitul Mal sama dengan Amil Zakat,8 namun
Baitul Mal ada 4 macam yaitu:9
1. Baitul Mal yang khusus mengelola Zakat.
2. Baitul Mal yang Khusus mengelola pajak yang ditarik dari non muslim
6 Menurut Bab I Ketentuan Umum poin 21 dan 22 dari undang-undang nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Qanun dibagi 2 yaitu qanun Aceh yang merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah Propinsi yang mengatur penyelenggaranaan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota sejenis Peraturan Daerah Kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaranaan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
7Pasal 1 butir 11 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal
8 Amil Zakat adalah lembaga yang melaksanakan pengelolaan zakat yang dibentuk oleh
pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
9Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah (Kapita Selekta Hukum Islam),PT. Toko Gunung Agung,
3. Baitul mal yang khusus mengelola rampasan perang dan barang temuan (Rikaz) menurut Pendapat Ulama, bahwa barang temuan itu tidak jatuh pada tangan penemunya, tetapi dikuasai oleh Negara sehingga tidak wajib dizakati.
4. Baitul Mal yang khusus mengelola harta Benda yang tidak diketahui pemiliknya, termasuk harta peninggalan orang yang tidak punya ahli waris.
Berkaitan dengan kewenangan Baitul Mal sebagai pengelola dari harta yang
tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya tersebut, peraturan perundang-undangan
membatasi kewenangan Baitul Mal, yaitu hanya diberi kewenangan untuk mengelola
dan tidak dibenarkan untuk mengalihkan kepada orang lain harta yang tidak ada
pemilik dan ahli waris yang berada di bawah pengelolaannya,10 menyangkut jangka
waktu pengelolaannya adalah 25 tahun dan bila dalam waktu tersebut seseorang
muncul sebagai pemilik atau ahli waris yang sah berdasarkan penetapan Mahkamah
Syar'iyah setelah terlebih dahulu mengajukan keberatan atas penetapan pengelolaan
harta oleh Baitul Mal, maka Baitul Mal wajib mengembalikan harta yang dikelolanya
tersebut kepada pemilik atau ahli warisnya.11
Bentuk harta kekayaan yang dikelola oleh Baitul Mal tidak terbatas atas tanah
dan tabungan perbankan saja, namun juga terhadap harta lainnya, contohnya dalam
hal ganti rugi dari pembebasan tanah yang terjadi di Kota Banda Aceh, dalam rangka
pelebaran jalan dari kota Banda Aceh ke Ulelhe, yang kemudian Mahkamah Syariah
memberikan wewenang kepada pihak Baitul Mal Kota Banda Aceh untuk mengelola
10Pasal 36 ayat (3) Qanun Nomor 10 Tentang Baitul Mal
11 Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 48 tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan
uang ganti rugi tanah yang tidak diketahui pemilik/ahli warisnya melalui beberapa
penetapan, antara lain penetapan nomor 350/Pdt.P/Msy-BNA.12 Jika kemudian hari
jika ternyata orang atau ahli warisnya dapat diketahui, maka Baitul Mal Kota Banda
Aceh harus mengembalikan harta kekayaan tersebut kepada pemiliknya yang sah.
Didalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemiliknya atau
ahli warisnya, Baitul Mal dituntut untuk bisa menerapkan prinsip tata kelola yang
baik yaitu prinsip transparansi, prinsip akutanbilitas dan penegakkan hukum, karena
ini menyangkut harta kekayaan tidak diketahui pemiliknya atau ahli warisnya yang
harus dikelola dengan baik sehingga tidak merugikan orang lain dan ahli warisnya.
Pengelolaan harta kekayaan terhadap harta yang tidak diketahui ahli pemilik atau ahli
warisnya ini pada prinsipnya merupakan pengelolaan keuangan publik. Menurut
Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudulAl Amwalmemberikan definisi tentang sistem
keuangan publik Islam, yaitu sebagai sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah
untuk kepentingan subjek yaitu rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep
penting:
1. Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fay, khums, dan zakat. Fay yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain. Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.
2. A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.
12 Aceh Justice Resource Center, Implementasi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2007
3. Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
4. Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.13
Dari semua konsep tersebut prinsip transparansi merupakan hal yang utama
dalam pengelolaan keuangan publik dan merupakan kewajiban yang diatur didalam
kaedah-kaedah hukum agar data atau informasi tentang perumusan kebijakan dan
pelaksanaan kerja khususnya menyangkut pengelolaan harta kekayaan tidak diketahui
pemiliknya atau ahli warisnya yang dilakukan oleh Baitul Mal dapat diakses oleh
publik. Selanjutnya pada prinsip akuntabilitas dan prinsip penegakan hukum dapat
berjalan sebagaimana mestinya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
pengelolaan dengan adanya laporan terhadap harta kekayaan tidak diketahui pemilik
atau ahli warisnya tersebut.
Jauh sebelum adanya undang-undang nomor 48 tahun 2007 yang mengatur
tentang kewenangan Baitul Mal mengurus harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli
warisnya di dalam proses pemulihan kehidupan pasca tsunami di Aceh, Keberadaan
Baitul Mal sebelumnya juga telah diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu pada pasal 191 yang berbunyi:14
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya
tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan
13Abu Ubaid dan Kaidah Ekonomi dalam Kitab Al-Amwal-nya http:// segunpad. wordpress.
com/ 2010/03/05/abu-ubaid-dan-kaidah-ekonomi-dalam-kitab-al-amwal-nya, terakhir diakses pada tanggal 10 Januari 2011
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan
agama dan kesejahteraan umum.
Walaupun pasal tersebut memerintahkan harta yang tidak ada ahli waris atau
tidak diketahui ahli warisnya diserahkan kepada Baitul Mal, namun aturan
selanjutnya tentang bentuk dan tata cara pengelolaan harta tersebut oleh Baitul Mal
tidak diatur dengan jelas di dalam perundang-undangan, akan tetapi dari pasal
tersebut dapat dilihat bahwa hukum positif di Indonesia telah mengatur tentang
keberadaan Baitul Mal sebagai lembaga yang mengurus harta milik orang Islam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan harta yang
tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya itu tidak terbatas hanya dari harta yang
berbentuk tanah dan perbankan saja, namun juga terhadap harta kekayaan yang bukan
tanah dan perbankan, maka sesuai dengan data yang diperoleh di wilayah hukum
Mahkamah Syariah kota Banda Aceh telah mengeluarkan beberapa penetapan yang
berkaitan pengelolaan harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya, yang
mana dengan penetapan tersebut memberikan kewenangan kepada Baitul Mal Kota
Banda Aceh untuk menjadi pengelola atas harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli
warisnya tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis berminat untuk melakukan
penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut, dengan judul penelitian: Peran dan
Tanggung Jawab Baitul Mal Dalam pengelolaan Harta Kekayaan Tidak Diketahui
demikian akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan yang terdapat
di dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan kedudukan dan kewenangan Baitul Mal Kota Banda
Aceh?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan harta yang tidak diketahui pemilik dan
ahli warisnya di Baitul Mal Kota Banda Aceh?
3. Hambatan-hambatan apa sajakah yang terjadi terhadap pelaksanaan pengelolaan
harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan kedudukan dan kewenangan Baitul Mal Kota
Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan harta yang tidak
diketahui pemilik dan ahli warisnya di Baitul Mal Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa sajakah yang terjadi terhadap
pelaksanaan pengelolaan Harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya
tersebut.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum
dan dapat menambah pengetahuan mengenai Baitul Mal.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi penyempurnaan aturan yang menyangkut keberadaan Baitul Mal.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran keperpustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
penelitian yang menyangkut pengelolaan harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli
warisnya yang pernah dilakukan oleh Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, yaitu:
1. Nama : Syahril Sofyan
NIM : 002111051
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Thesis : Penerapan Tugas Balai Harta Peninggalan Sebagai Pengurus
Harta Kekayaan Dari Subjek Yang Dinyatakan Takhadir
(Boedel Afwezig) Dalam Wilayah Kerja Balai Harta
Peninggalan Medan
2. Nama : Syuhada
NIM : 077005028
Program Studi : Magister Hukum
Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang
Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai
Harta Peninggalan Medan).
Dalam penelitiannya para penulis membahas tentang kewenangan Balai harta
Peninggalan dalam mengelola harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahli
warisnya, namun penelitian ini hanya terbatas pada peran dan fungsi Balai Harta
Peninggalan (BHP) dan tidak membahas tentang peran Baitul Mal dalam mengelola
harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya walaupun objek
penelitiannya sangat berkaitan karena sama-sama mengkaji tentang peran lembaga
yang mengelola harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya,
namun yang membedakan adalah BHP dibentuk berdasarkan Hukum Perdata Barat
sedangkan Baitul Mal dibentuk berdasarkan Hukum Islam. Berdasarkan pembuktian
di atas dapat diyakini bahwa judul tesis yang membahas masalah “Peran dan
Tanggung Jawab Baitul Mal Dalam pengelolaan Harta Kekayaan Tidak Diketahui
Pemiliknya dan Ahli Warisnya (Studi di Baitul Mal Kota Banda Aceh),Belum pernah ada yang meneliti dan belum ada yang membahas sebelumnya. Oleh karena itu judul
tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan
seperti diuraikan di atas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini akan
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan
melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan
suatu masalah.
“Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel
bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut
variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau
merupakan salah satu penyebab.”15
Menurut W.L.Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton
F Susanto, menyebutkan, bahwa:
“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk
berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”16
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori
menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut:
15
J.Supranto,Metode Penelitian Hukum Dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta, 2003, Hlm.192-193. 16
“Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba
secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya
memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.”17
Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan
suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan
berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas, Adapun teori yang digunakan
dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Hukum Pembangunan dan Teori Badan
Hukum. Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan Mukhtar Kusumaatmaja
yang memakai kerangka acuan pada pandangan hidup(way of live)masyarakat serta
bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture
(kultur) dan substance (substansi). Pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan
memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”(law as a
tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi
bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.18
Teori Hukum Pembangunan ini lahir untuk merespon perkembangan
masyarakat yang sedang membangun menuju masyarakat modern, inti dari dari teori
ini antara lain ialah menegaskan keterkaitan antara hukum dengan politik
17Ibid.Hlm.23.
18 Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,
sebagaimana tercermin dalam ungkapan Mochtar Kusumaatmadja yang terkenal
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman”. Kemudian menjadikan hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat
melalui proses legislasi dan administrasi yang dilakukan melalui instrumen peraturan
perundang-undangan dan keputusan-keputusan lembaga negara dan pembinaan
hukum.19
Mukhtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa tujuan pokok hukum bila
direduksi pada satu hal saja adalah mewujudkan ketertiban yang dijadikan syarat
pokok bagi adanya masyarakat yang teratur.20 Tujuan lain hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.
Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam
pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara
optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.21
Hukum sebagai sarana pembaharuan berkaitan erat dengan cita-cita
pembangunan hukum nasional yang dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat
Indonesia, seperti yang diketahui masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
pluralis dan dalam budaya hukum Indonesia dikenal 3 (tiga) tradisi normatif, yaitu
19
Internet,http://yancearizona.wordpress.com/2009/04/08/revitalisasi-filsafat-hukum-pembangunan/ terakhir diakses pada tanggal 07 Januari 2011.
20Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem,, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2003, Hal. 184
hukum adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil Belanda22dan kini hukum Islam
telah menjadi bagian dari hukum positif yang menurut Jamal Abdul Aziz hukum
Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum bagi umat Islam yang dapat
menjamin kepastian hukum bagi umat Islam.23
Penerapan Hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah merupakan bagian
dari proses Unifikasi hukum Islam menjadi bagian hukum positif di Indonesia yang
diberlakukan di propinsi Aceh dan dilegalkan atau disahkan oleh negara atas
keinginan masyarakat Aceh. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Islam
merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional, bentuk hubungan hukum agama
dengan hukum nasional memiliki 3 pola:24
1. Hukum agama, Khusus untuk kaum Agama tertentu
2. Hukum agama masuk kedalam hukum nasional secara umum yang memerlukan pelaksanaan khusus.
3. Hukum agama masuk kedalam hukum nasional yang berlaku secara umum bagi seluruh Penduduk Indonesia.
Didalam penerapan hukum Islam atau disebut syariat Islam di Aceh
merupakan suatu penghormatan terhadap agama dan hukum agama dalam praktek
kehidupan bernegara, Dalam syariat itu tersusun norma hukum nonyuridis dan yuridis
sekaligus. Didalam system hukum Indonesia, Meski hukum Islam diberlakukan,
namun hukum nasional juga diberlakukan, untuk itu harus ada terciptanya
22 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi Tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indonesia,Terjemahan, Pustaka Alpabhet, 2008, hal. 9.
23 Jamal Abdul Aziz, Peranan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional Jurnal
Studi Islam Dan Budaya, Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 93-103, http://ibda. files.wordpress.com/2008/04/7-peranan-hukum-islam-dalam-pembangunan-hukum-nasional.pdf, terakhir diakses pada tanggal 05 Januari 2011, hal. 3
24 Amrullah Ahmad, SF,Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional,Gema Insani Press,
keharmonisan hukum yang tidak bertentangan dan saling melengkapi dengan hukum
nasional.25
Kehidupan manusia selalu dipengaruhi oleh norma keagamaan, yaitu
norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat nonyuridis bahwa setiap manusia harus
mematuhi perintah tuhan. Dalam norma kesusilaan merupakan pedoman setiap tindak
setiap manusia sebagai mahluk sosial atau warga masyarakat yang terorganisir (etika).
Immanuel Kant membagi etika menjadi dua prinsip, yaitu:maximdan obyektif. Prinsip
maximadalah prinsip yang berlaku, dan subyektif sebagai pedoman untuk bertindak.
Secara subyektif orang berbuat apa saja menuruti norma tindakan secara personal.
Manusia adalah makhluk berbudi yang tidak sempurna. Walau berbudi, namun
mempunyai nafsu, kecenderungan emosional, selera, cinta diri, dan lain-lain. Ada
kemungkinan hal-hal subyektif ini menjadikan perbuatan sewenang-wenang. Prinsip
obyektif adalah prinsip yang memberi patokan bagaimana orang harus bertindak
berdasarkan hukum atau undang-undang sehingga keinginan pribadi yang
bertentangan dengan undang-undang tidak akan terwujud.26
Disamping itu manusia diberkahi bakat dan kemampuan yang diberikan
tuhan, bakat dan kemampuan itu dapat berupa itikad baik (te goeder trouw) dalam
berhukum untuk membangun sistem hukum yang baik, maka diperlukan suatu basis
25Ibid. 26
yang kokoh yang diatasnya sistem hukum dapat dibangun,27dengan kata lain hukum
sebagai teks dapat berjalan sebagai mana mestinya jika di barengi dengan itikad baik
dari pihak yang bersentuhan dengan hukum tersebut.
Dalam memenuhi adanya kepastian hukum dan ketertiban tersebut harus
berdasarkan pada tindakan nyata dalam pengelolaan harta yang tidak diketahui
pemilik atau ahli warisnya tersebut, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang
berdasarkan pada keadilan, keterbukaan dan pertanggungjawaban.28
Bekerjanya hukum tidak terlepas dari pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat, hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri
melainkan dengan dengan pemikiran dan pertimbangan apa yang baik yang dilakukan
bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat keputusan yang
pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi produksi
masyarakatnya29 pelayanan hukum harus memenuhi rasa keadilan didalam
masyarakat, walaupun rasa keadilan itu sulit untuk dipastikan namun setidaknya
harus memenuhi suatu ukuran normatif yang hidup didalam masyarakat yang akan
melahirkan suatu kepastian hukum.
27Satjipto Raharjo,Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik,Penerbit
Kompas Media Nusantara, Jakarta, Hal.
28 Bismar Nasution, Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu
Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.
Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara
hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak
menjadi jaminan. Didalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk
dan taat terhadap hukum. Seperti yang dikemukakanJan Michiel Otto bahwa hanya
ada sedikit “kepastian hukum yang nyata” di negara-negara berkembang karena
terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan pelaksanaanya.30
Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat di negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, pada kenyataannya
untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan di masyarakat, hukum pada saat ini
malah sering menjadi masalah daripada menyelesaikan masalah,31 bahkan tidak
sedikit yang bersikapaprioriterhadap hukum. Kondisi ini telah diungkapkan oleh Jan
Michiel Otto, bahwa hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor yang secara
yuridik dan non yuridik. Misalnya penegak hukum negara-negara berkembang sering
sekali kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam
menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang
digunakan. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kepastian hukum nyata yaitu:
1. Aturan-aturan hukum itu sendiri.
2. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum.
3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, sosial–budaya.
Menurut Satjipto Raharjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi
dan budaya daripada hukum. Karena menurutnya kepastian hukum tidak datang
secara otomatis setelah suatu undang-undang atau peraturan diterbitkan namun adalah
suatu keadaan yang memerlukan usaha dan perjuangan.32
Teori selanjutnya adalah teori Badan Hukum, didalam Teori Badan Hukum
menggambarkan bahwa Badan hukum sendiri merupakan “gejala kemasyarakatan”
(gejala riil) yang merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum yang
mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan anggotanya, hak dan kewajiban badan
hukum sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.33
Didalam Teori Badan Hukum itu sendiri terdapat beberapa teori yang
berkaitan dengan hakekat dari badan hukum tersebut, antara lain :
a. Teori Fiksi
Teori ini dipelopori oleh Freidrich Carl Von Savigny, yang mengatakan bahwa hanya manusialah yang termasuk sebagai subjek hukum, sedangkan badan hukum dimasukkan sebagai subjek hukum hanyalah fiksi yang sebenarnya tidak ada tetapi diadakannya atau ada yang meghidupkannya. Badan Hukum tersebut diciptakan oleh negara, jadi Badan Hukum itu sebagai subjek hukum yang wujudnya tidak riil atau tidak nyata, akan tetapi dapat melakukan perbuatan hukum melalui pengurusnya.
b. Teori Organ
Teori ini diperkenalkan oleh Otto Von Gierke, yang mengatakan bahwa Badan Hukum bukan merupakan sesuatu yang abstrak atau anggapan dalam pikiran manusia, tetapi suatu yang nyata. Badan Hukum adalah organ seperti halnya manusia yang dapat melakukan perbuatan atau menyatakan kehendak melalui organnya seperti pengurus, direksi atau komisaris atas nama Badan Hukum dan menjalankan tujuannya tersebut.
c. Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
32 Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum,PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, Hal. 79
33 E. Utrecht dan Mohammad Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.
Teori ini dianut oleh Paul Scholten, yang mengatakan bahwa Badan Hukum tersebut merupakan hal yangriil, kongkrit atau nyata yuridis. Dan persamaan Badan Hukum dengan manusia hanya pada bidang hukum saja.
d. Teori Kekayaan Bersama (Property Collective)
Teori ini dianut oleh Planio dan Molengraaf, yang mengatakan bahwa hak dan kewajiban Badan Hukum pada dasarnya juga merupakan hak dan kewajiban para anggotanya.
e. Teori Kekayaan Bertujuan
Teori ini dipelopori oleh Holde dan Binden, yang mengatakan bahwa kekayaan daripada Badan Hukum bukan merupakan kekayaan perseorangan, tetapi terikat pada tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Badan Hukum mempunyai pengurus yang dapat berkehendak atau berhak dan berkewajiban terhadap sesuatu perbuatan yang disebut denganambtelijk vermogen.34
Menurut Sutarno, Badan Hukum tersebut dapat dilihat dari segi macamnya
berdasarkan Pasal 1653 KUHPerdata antara lain:
a. Badan Hukum yang didirikan oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya: Provinsi, Kabupaten, Kotamadya, Bank-Bank Pemerintah dan sebagainya. b. Badan Hukum yang diakui oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
perseroan, organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
c. Badan Hukum yang didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, misalnya: Perseoran Tebatas, perkumpulan asuransi dan sebagainya.35
Selain daripada yang disebutkan di atas, maka Badan Hukum juga dapat
dibedakan berdasarkan sifatnya menjadi 2 (dua) macam, antara lain :
a. Badan Hukum Keperdataan, adalah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dibuat sendiri para pihak, berakhirnya diatur oleh perjanjian tersebut atau karena tujuan telah tercapai. Untuk Badan Hukum ini, misalnya: Yayasan, Koperasi dan Perseoran Terbatas.
b. Badan Hukum Ketatanegaraan, adalah Badan Hukum yang dikuasai oleh peraturan-peraturan yang atas dasar itu, badan-badan tersebut didirikan/diakui dan berhenti karena dihapuskan oleh penguasa yang berwenang. Misalnya: Provinsi, Kabupaten, Kotamadya dan lain-lain.36
34Sutarno,Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,Alfabeta : Bandung, 2004, Hal 9. 35Ibid, Hal. 13.
36Gunawan Widjaja,Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia,Jakarta : PT. Elex
Badan hukum ketatanegaraan yang disebut juga sebagai Badan Hukum Publik
seperti Negara, yang dibagi kedalam pemerintahan pusat dan daerah, masing-masing
unit kerja Pemerintah ini dipimpin oleh Kepala Negara dan Kepala Daerah yang
mana kepada daerah tersebut terbagi dari kepala daerah tingkat I dan Kepala daerah
tingkat II serta demi hukum bertindak sebagai penanggung jawab terhadap
pemerintahannya.37 Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya Pemerintah dibantu
oleh organ-organ pemerintah seperti menteri dan lembaga-lembaga bentukan
pemerintah yang dipimpin oleh seorang kepala dan/atau ketua.
Baitul Mal sendiri adalah lembaga Daerah non struktural yang bersifat
independen yang dibentuk oleh Pemerintah yang dipimpin oleh kepala Baitul Mal,38
dalam hal ini dibentuk oleh pemerintah daerah berdasarkan amanat undang-undang,
yang bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah, sesuai
dengan tingkatan kepala daerah masing-masing dimana Baitul Mal tersebut berada.
Dari bentuknya Baitul Mal merupakan bagian dari Lembaga Keistimewaan di
Propinsi Aceh yang diatur didalam Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh dan bersifat Non struktural, lembaga-lembaga keistimewaan
tersebut antara lain adalah:39
1. Majelis Permusyawaratan Ulama
2. Majelis Adat Aceh,
37 Sahril Sofyan, Penerapan Tugas Balai Harta Peninggalan Sebagai Pengurus Harta
Kekayaan dari Subjek yang dinyatakan Tak Hadir (Boedel Afwezig) dalam wilayah Kerja Balai harta Peninggalan Medan,Tesis, 2002, Hal. 46.
38Pasal 3 Qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.
39 Bab I Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri dalam Negeri nomor 18 tahun 2008 tentang
3. Majelis Pendidikan Aceh dan
4. Badan Baitul Mal.
Dari pemahaman tentang Badan Hukum yang diuraikan diatas, maka Baitul
Mal dapat dikategorikan sebagai badan hukum dari segi badan hukum
ketatanegaraan dan didirikan oleh Pemerintah untuk tujuan tertentu yaitu mengelola
dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dan harta kekayaan yang tidak
diketahui pemilik atau ahli warisnya yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah
sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada
dalam pikiran.
“Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori
dan observasi, antara abstraksi dan realitas”40.
Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep. Menurutnya sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional.
“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digenaralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional”41.
40Masri Singarimbun ,et.al,Metode Penelitian Survey,LP3ES, Jakarta, 1999, Hal 34
41 Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1998,
Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu
konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut.42
Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas
masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suau masalah,
tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk
memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka
penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa
variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan
perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu,
dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan
pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek
yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.
Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman
yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
a. Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan
untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan
tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap
anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan
yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam.
b. Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan maka dianggap
telah menjalankan suatu peran.
c. Tanggung jawab adalah suatu keadaan wajib untuk menanggung segala
sesuatu yang ditimbulkan dari suatu perbuatan terhadap suatu peristiwa.
d. Pemilik adalah orang yang mempunyai atau memiliki harta.
e. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta peninggalan atau pusaka
seseorang yang meninggal; orang yang berhak mewarisi.43
f. Mafqud adalah status untuk orang yang meninggalkan tempat kediamannya
dan tidak diketahui apakah masih hidup atau telah meninggal.44
g. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan
sebagai wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap
untuk melakukan suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama
43B.N Marbun,Kamus Hukum Indonesia,Pustaka Sinar Harapan, 2006, Hal. 5.
anak atau orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak
cakap melakukan perbuatan hukum.45
h. Harta yang tidak diketahui pemiliknya adalah harta yang meliputi harta tidak
bergerak, maupun harta bergerak, termasuk surat berharga, simpanan di bank,
klaim asuransi yang tidak diketahui lagi pemilik atau tidak ada lagi ahli
warisnya.46
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, dengan demikian penelitian ini
diarahkan untuk menggambarkan dan sekaligus juga menganalisis fakta-fakta tentang
Baitul Mal dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pengawas dari
harta orang yang tunduk kepada Hukum. Sehingga pada akhirnya didapatkan
gambaran tersebut dengan melihat kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat
terhadap aturan hukum tentang Baitul Mal ini.
Jenis penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach)47 yang menfokuskan pada mengumpulkan
semua perundang-undangan yang terkait dengan Baitul Mal kemudian menganalisa
45Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul mal 46Pasal 1 butir 27 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul mal
47Dalam pendekatan perundang-undangan, peneliti tidak hanya melihat bentuk peraturan
hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi
pelaksanaannya di Propinsi Aceh pengkajian perundang-undangan dilakukan tidak
hanya terbatas pada produk hukum yang berbentuk Undang-undang tetapi juga
produk hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data didapat dari bahan penelitian, bahan
penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tentier, bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
perundang-undangan, bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian.
Kemudian bahan hukum tentier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
hukum, eksklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Study Kepustakaan
Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif, teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library
kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, Koran, artikel dan sumber
lainnya yang relevan dengan penelitian.
b. Wawancara
Di samping study kepustakaan, penelitian ini juga melakukan wawancara
langsung dengan narasumber yang bertujuan untuk mendapatkan data pendukung
terhadap study kepustakaan, wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki
kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu:
1. Kepala Baitul Mal Banda Aceh.
2. Anggota Mahkamah Syariah
4. Analisis Data
Analisis data adalah merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan48.
Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul dari inventarisasi peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah yang
berkaitan dengan judul penelitian, baik media cetak dan laporan-laporan penelitian
lainnya, serta wawancara yang digunakan untuk mendukung analisis data. Setelah itu
melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil
penelitian secara sistematis dan selanjutnya dari langkah-langkah tersebut diatas
dilakukan analisis secara kualitatif dan dari hasil analisis tersebut ditarik
kesimpulan.yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti.
48Lexy Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,Penerbit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004.
BAB II
PENGATURAN MENGENAI KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN BAITUL MAL DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN FUNGSINYA
A. Kedudukan Dan Kewenangan Baitul Mal di Propinsi Aceh 1. Sejarah Pelembagaan Baitul Mal di Aceh
Didalam literatur fiqh Islam, Baitul Mal adalah suatu badan atau lembaga
yang bertugas mengurusi kekayaan negara, terutama keuangan, baik yang berkenaan
dengan pemasukan maupun pengelolaan, namun terhadap pembentukan lembaga
Baitul Mal ini tidak disebutkan secara tegas didalam Al-quran maupun Al-hadist,
akan tetapi karena manfaatnya dirasakan sangat besar maka Baitul Mal tetap
dipertahankan didalam pemerintahan Islam semenjak Umar bin Khattab. Namun
bagaimana bentuk dan tatacara pengelolaannya juga tidak ada pengaturan yang tegas
didalam sumber-sumber hukum Islam sama halnya seperti pembentukan lembaga
Baitul Mal itu sendiri. Hukum Islam dalam hal ini memberikan kebebasan kepada
pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang dianggap sesuai dan memberi manfaat
bagi negara dan rakyat, dengan demikian maka bentuk dan sistem pengelolaan Baitul
Mal dapat saja berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya disamping
dapat pula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lainnya.49
Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, keberadaan Baitul Mal
49Harun Nasition, et.al, IAIN Syarif Hidayatullah,Ensiklopedi Islam Indonesia,Cet. II (edisi
ini berkaitan erat dengan penyelesaian permasalahan hukum pasca bencana alam
gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias, khususnya di Aceh, setelah
bencana alam gempa dan tsunami tersebut timbul permasalahan-permasalah di bidang
pertanahan, perbankan, keperdataan dan perwalian yang kemudian
permasalahan-permasalahan tersebut harus dilihat dalam konteks pemberlakuan hukum syariat
Islam di Aceh sesuai dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Keistimewaan Aceh.
Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak terlepas dari perkembangan
pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu sejak agama
Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum terlembaga
dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan
dan penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.
Sedangkan pelembagaan Baitul Mal mulai dilakukan pada tahun 1973, dengan
diterbitkannya peraturan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 05 tahun
1973 tanggal 4 April 1973 yang mana melalui peraturan tersebut maka dibentuklah
Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) yang dikoordinasikan di bawah Sekretariat
Daerah untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Sekretariat Kecamatan. Selanjutnya
badan ini berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan yang
kemudian BPHA dirubah menjadi BHA (Badan Harta Agama).50
Seiring dengan perkembangan politik Negara Indonesia yang berubah pada
tahun 1998 dengan ditandainya era reformasi, maka pola hubungan daerah dengan
pemerintah pusat pun berubah dari pola sentralisasi ke pola disentralisasi dengan
bentuk otonomi daerah seluas-luasnya yang lebih memberikan keuntungan bagi
daerah itu sendiri. Khusus untuk daerah Aceh, salah satu keutungan dari otonomi
daerah adalah diberikannya kesempatan untuk menerapkan syariat Islam melalui
Undang-undang nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang juga merupakan dasar hukum dalam
pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dari undang-undang tersebut keluarlah Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Di dalam peraturan Daerah tersebut mengamanatkan pembentukan Badan
Baitul Mal sebagai pengelola zakat dan harta agama lainnya. Maka kemudian
dibentuklah Badan Baitul Mal melalui Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang mulai beroperasi bulan Januari 2004.51
Pelaksanaan kegiatan Badan Baitul Mal tersebut di dukung oleh Qanun
Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Pembentukan Badan Baitul Mal ini
juga erat kaitannya dengan praktek pemungutan zakat dan kelahiran Undang-undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dimana zakat telah ditetapkan sebagai salah satu sumber Pendapatan
Asli Daerah Provinsi dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota.
Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber
pendapatan Asli daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menggantikan Undang-undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi daerah Istimewa Aceh sebagai
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan tersebut terdapat di dalam 3 pasal,
yaitu:52
1. Pasal 180 ayat (1) huruf d disebutkan: Zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota.
2. Pasal 191: Zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh
dan Baitul Mal Kab./Kota yang diatur dengan Qanun.
3. Pasal 192: Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.
Disamping yang diatur dari 3 (tiga) pasal Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut diatas yang mengatur tentang kewenangan
Baitul Mal, juga adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
tahun 2007 yang selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun tahun 2007
tentang Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias. Kemudian
barulah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut memperluas
kewenangan Baitul Mal menjadi wali pengawas serta ditunjuk menjadi pengelola dari
tanah, harta, serta rekening nasabah Bank yang tidak ada lagi/ tidak diketahui
pemilik/ ahli warisnya. Untuk mengakomodir hal tersebut, sesuai dengan amanah
Undang-undang nomor 48 tahun 2007 tersebut, maka semua ketentuan tersebut
diatas dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal, yang
diundangkan dalam Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tanggal
18 Januari 2008.
Disamping peraturan perundang-undangan yang disebut diatas, Baitul Mal
juga memiliki peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan harta agama yang
tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya yaitu Peraturan Gubernur nomor 11 Tahun
2010 tentang pengelolaan harta agama yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya
serta perwalian. Yang secara garis besarnya adalah penegasan dari peraturan
pemerintah pengganti undang-undang nomor 48 tahun 2007 dan qanun nomor 10
tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Berdasarkan paparan tentang dasar hukum Baitul Mal diatas, adapun yang
merupakan aturan hukum berdirinya Baitul Mal Aceh pasca tsunami adalah:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 yang
selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun /2007 tentang
Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias
2. Undang-undang. Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
3. Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.
4. Peraturan Gubernur Nomor 92 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18/2008 tentang Pedoman Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD (termasuk Baitul Mal)
menetapkan Sekretariat Baitul Mal Aceh (BMA) sebagai Satuan Kerja
Perangkat Aceh (SKPA) dalam jabatan struktural (Eselon II.b, III.b dan IV.a)
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi