• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme Di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru Di Medan Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme Di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru Di Medan Tahun 2010"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU

DI MEDAN TAHUN 2010

Oleh :

NIM. 051000120 DECY SITUNGKIR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU

DI MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 051000120 DECY SITUNGKIR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul :

GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU

DI MEDAN TAHUN 2010

Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan oleh :

NIM 051000120 DECY SITUNGKIR

Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi pada tanggal 23 Juni 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Ir. Kalsum, M.Kes

NIP. 19590813 199103 2 001 NIP. 19650615 199601 2 001 dr. Halinda Sari Lubis, MKKK

Penguji II Penguji III

Dra. Lina Tarigan, Apt, MS Umi Salmah, SKM, M. Kes NIP. 19590806 198811 2 001 NIP. 19730523 200812 2 002

Medan, 30 Agustus 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

ABSTRAK

Stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi/perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang mengganggu pelaksanaan kerja.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010. alat ukur untuk mengetahui stres kerja dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme YAKITA, KIDCARE dan TALI KASIH di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 berjumlah 27 orang. Sampel penelitian adalah populasi (Total Sampling).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Baru di Medan tahun 2010 mengalami stres kerja, meskipun tingkat stres kerja terapis tersebut rendah.

Disarankan agar pihak manajemen yayasan terapi anak autisme memberi perhatian khusus kepada terapis untuk mengatasi stres kerja dengan memperhatikan proporsi terapis dengan jumlah anak autisme yang ditanggungjawabi, menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan terapis. Untuk terapis supaya menjalin kerja sama dengan atasan dan teman kerja.

(5)

ABSTRACT

Occupational stress is an arising out stress at organization’s workers because of negative impact of working environment that influence worker’s psychology, physiology and behavior that bothering implementation of working.

This research a descriptive one, which purpose to find the working stress on autism Therapists in the therapy foundation for autism children, YAKITA, KIDCARE and TALI KASIH in the district of Medan Baru in Medan on 2010, using total sampling method on 27 therapists.

The research indicate that the autism therapists in the autism foundation in the district of Medan Baru are having working stress, although it is only at the low level.

Therefore, it’s suggested to the foundation management to give special attention to the therapists to overcome the working stress, concerning the proportion of the therapysts and the member of autism children and give facility for them. For the therapists to cooperate with his/her partner and principle.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Decy Situngkir

Tempat/tanggal lahir : Tebing Tinggi, 31 Desember 1986

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) orang

Alamat : JL. Jamin Ginting gg. Medan Area No. 15 G, Medan

Riwayat Pendidikan

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan nyanyian syukur bagi Dia, Allah Bapa di Surga, sebab hanya oleh karena kasih karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ”GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU DI MEDAN TAHUN 2010”.

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada orang tua tercinta, Papa D. Situngkir dan Mama M. Sibarani yang telah mengajarkan pengajaran tentang pendidikan dan senantiasa mendukung penulis dalam setiap keadaan, juga kepada adik-adik : Grace Situngkir dan Surya Situngkir.

Dalam pengerjaan skripsi ini Penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun material. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dra. Lina Tarigan Apt, M.S selaku Kepala Departemen K3 FKM USU dan sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi.

3. Ir. Kalsum, M.Kes selaku selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis dan selaku dosen pembimbing akademik Penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU.

4. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan banyak masukan baik dalam kuliah reguler maupun dalam penulisan skripsi.

5. Umi Salmah, SKM, M. Kes selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi.

(8)

7. Terapis anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru yang memberikan respon positif atas penelitian ini.

8. Yayasan Terapi Anak Autisme KIDCARE atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan peneltian

9. Yayasan Terapi Anak Autisme Tali Kasih atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan penelitian

10. Yayasan Terapi Anak Autisme YAKITA atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan peneltian

11. Orangtua tercinta, Papa (D. Situngkir), yang telah memberikan pengajaran tentang pentingnya pendidikan dan Mama (M. Sibarani) yang senantiasa mendukung Penulis dalam setiap keadaan, juga adik - adik (Grace dan Surya) 12. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung Penulis dalam menjalankan studi,

”EL-ELYON” (Sri Melda, Ade, Betty, Flora, Lamria, Noni, Rani, Yenti), ”LEMUELLA” (Asri, Icha, Sabeth, Vera) dan ”TA IDIA PROBATA” (Eriama, Lia, Marlina, Margareth, Melda) yang senantiasa memotivasi Penulis dalam banyak hal.

13. Buat sahabatku (Ady, Armen, Bernido, Bona, Cathy, Debora Yung, Ice, Jefry, Minar, Rini, Roy, dll), teman - teman pelayanan POMK FKM USU dan Panitia KMRSU VII terima kasih buat doa dan dukungannya.

14. Seluruh teman - teman angkatan 2005 dan peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, terima kasih untuk semangat dan dukungannya.

15. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu Penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Akhirnya Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengethaun di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2010

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Stres Kerja ... 8

2.1.1. Pengertian Stres Kerja ... 8

2.1.2. Jenis - jenis Stres ... 9

2.1.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja ... 10

2.1.4. Gejala - gejala Stres Kerja ... 19

2.1.5. Dampak Stres Kerja ... 20

2.1.6. Upaya untuk Menanggulangi Stres Kerja ... 21

2.2. Autisme ... 22

2.2.1. Pengertian Autisme ... 22

2.2.2. Penyebab Autisme ... 23

2.2.3. Kriteria Autisme ... 25

2.3. Terapis ... 26

2.4. Kerangka Konsep ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31

3.2. Tujuan Penelitian ... 31

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3.1. Lokasi Penelitian ... 31

3.2.3. Waktu Penelitian ... 31

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

3.3.1. Populasi ... 31

3.3.2. Sampel ... 32

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.4.1. Data Primer ... 32

(10)

3.5. Defenisi Operasional ... 32

3.6. Aspek Pengukuran ... 33

3.7. Pengolahan dan Penyajian Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN... 35

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian... 35

4.1.1. Yayasan YAKITA... ... 35

4.1.2. Yayasan KIDCARE ... 36

4.1.3. Yayasan TALI KASIH ... 39

4.2. Karakteristik Responden... . 40

4.2.1. Jenis Kelamin ... 41

4.2.2. Umur ... 41

4.2.3. Masa Kerja ... 42

4.2.4. Tingkat Pendidikan ... 42

4.2.5. Status Perkawinan ... 43

4.3. Hasil Pengukuran Stres Kerja... 43

BAB V PEMBAHASAN ... 49

5.1. Karakteristik Terapis... ... 49

5.1.1. Jenis Kelamin ... 49

5.1.2. Umur ... 49

5.1.3. Masa Kerja ... 50

5.1.4. Tingkat Pendidikan ... 50

5.1.5. Status Perkawinan ... 51

5.2. Keadaan Stres Kerja Terapis... ... 52

5.2.1. Beban Kerja... 53

5.2.2. Hubungan Interpersonal... 58

5.2.3. Pengembangan Karier... 60

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 62

6.1. Kesimpulan... 62

6.2. Saran... 64 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010... 41 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Umur di Yayasan Terapi

Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan

Tahun 2010... 41 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Masa Kerja di Yayasan

Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan

Tahun 2010... 42 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan

Tahun 2010... 42 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Status Perkawinan di

Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan

Tahun 2010... 43 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Stres Kerja di

Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan

Tahun 2010... 43 Tabel 4.7. Distribusi Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak

Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan

Baru di Medan Tahun 2010... 44 Tabel 4.8. Distribusi Hubungan Interpersonal Dengan Stres Kerja Pada

Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme

Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010... 46 Tabel 4.9. Distribusi Pengembangan Karier Dengan Stres Kerja Pada

Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

Lampiran 2 Surat Permohonan Izin dari Fakultas Kesehatan Masyarakat niversitas Sumatera Utara

Lampiran 3 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari Yayasan Anak Kita (YAKITA)

Lampiran 4 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari yayasan KIDCARE

Lampiran 5 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari yayasan TALI KASIH

(13)

ABSTRAK

Stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi/perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang mengganggu pelaksanaan kerja.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010. alat ukur untuk mengetahui stres kerja dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme YAKITA, KIDCARE dan TALI KASIH di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 berjumlah 27 orang. Sampel penelitian adalah populasi (Total Sampling).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Baru di Medan tahun 2010 mengalami stres kerja, meskipun tingkat stres kerja terapis tersebut rendah.

Disarankan agar pihak manajemen yayasan terapi anak autisme memberi perhatian khusus kepada terapis untuk mengatasi stres kerja dengan memperhatikan proporsi terapis dengan jumlah anak autisme yang ditanggungjawabi, menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan terapis. Untuk terapis supaya menjalin kerja sama dengan atasan dan teman kerja.

(14)

ABSTRACT

Occupational stress is an arising out stress at organization’s workers because of negative impact of working environment that influence worker’s psychology, physiology and behavior that bothering implementation of working.

This research a descriptive one, which purpose to find the working stress on autism Therapists in the therapy foundation for autism children, YAKITA, KIDCARE and TALI KASIH in the district of Medan Baru in Medan on 2010, using total sampling method on 27 therapists.

The research indicate that the autism therapists in the autism foundation in the district of Medan Baru are having working stress, although it is only at the low level.

Therefore, it’s suggested to the foundation management to give special attention to the therapists to overcome the working stress, concerning the proportion of the therapysts and the member of autism children and give facility for them. For the therapists to cooperate with his/her partner and principle.

(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat. 1

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 23 tentang kesehatan kerja menyebutkan bahwa upaya kesehatan kerja harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan.2

Dalam dunia kerja, sering timbul (muncul) berbagai masalah sehubungan dengan stres dan kondisi-kondisi yang dapat memicu terjadinya stres. Baik disadari maupun tidak, pekerjaan seseorang menimbulkan stres pada dirinya. Hal ini pasti akan tampak dalam kurun waktu yang panjang, karena memang manusia setiap harinya berkecimpung di tempat kerjanya lebih dari sepertiga kali waktunya.3

(16)

Stres dalam suatu lingkungan pekerjaan sampai batas yang dapat ditolerir bisa memberikan suatu rangsangan sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi sehingga mereka terpacu untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, dan bila ini terjadi maka stres pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja.

Pada kondisi sebaliknya, stres yang berlebihan sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh. Akibatnya ia tidak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan kadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stres ini belum teratasi, maka tingkat produktivitas/prestasi kerja cenderung dan terus menurun. Kondisi yang sama dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stres sama sekali. Karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang membosankan dan menjemukan.5

Sekitar 80% penyakit dan kesakitan dipicu dan diperburuk oleh stres kerja. Tiga dari lima orang menyatakan bahwa stres kerja berhubungan langsung dengan masalah kesehatan akut dan kronis sehingga dalam laporan pemerintah Amerika Serikat di tahun 1992, stres kerja dijuluki sebagai penyakit abad ke-20.6

(17)

yang diperintahkan oleh majikan untuk mereka kerjakan, dan 40 persen melakukan pekerjaan yang membosankan. Inilah mungkin penyebab timbulnya berbagai penyakit yang terkait dengan pekerjaan: 15 persen tenaga kerja mengeluhkan sakit kepala, 33 persen sakit punggung, 23 persen kelelahan, dan 23 persen sakit leher dan bahu, plus berbagai penyakit lainnya.7

Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Depresi diperkirakan bakal menduduki tempat kedua menjelang 2020 sesudah penyakit jantung yang menduduki tempat ketiga. Di negara-negara Uni Eropa, ongkos yang harus dibayar akibat stres kerja dan penyakit mental yang terkait dengannya diperkirakan mencapai rata-rata 3-4 persen dari PDB, yaitu sekitar 265 miliar euro setiap tahun.7

(18)

Handojo menjelaskan bahwa anak autis termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya, antara lain perilaku wicara dan okupasi mereka tidak berkembang seperti anak normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk komunikasi dan sosialisasi.9

Anak-anak yang menderita autisme tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan lingkungannya. Anak-anak ini tidak memperlihatkan kegembiraan atau kespontanan yang biasanya tampak pada anak-anak normal. Dan mereka sering memperlihatkan secara ekstrim hentakan keinginan, kemarahan dan rasa takut yang berlebihan.10

Autisme telah menjadi permasalahan kesehatan mental yang patut diberikan perhatian lebih. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di

Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 – 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak.

(19)

Hasil wawancara dengan bagian administrasi yayasan terapi anak autisme, diketahui bahwa mereka menyediakan paket terapi dengan 3 jenis paket yaitu : paket 1 (3x seminggu), paket 2 (4x seminggu), dan paket 3 (6x seminggu). Setiap terapis menerapi anak autisme dari ketiga jenis paket tersebut, yang jumlahnya 5-6 anak autis per bulannya, selama 1-2 jam.

Selain itu, mereka juga mengikuti terapi berenang yang bertujuan untuk mengatur gerakan badan dan irama pernafasan. Semua paket ini dilakukan terapis, kecuali terapi biomedik.

Akan tetapi, menjadi seorang terapis, ia merupakan seorang lulusan sarjana psikologi dan fisioterapi dan lulus tahap observasi terhadap anak autis yang akan menjadi anak didiknya. Jika lulus, ia dapat disebut terapis dan terikat kontrak selama 2 tahun.

Sebelum mulai bekerja, setiap terapis menyiapkan alat dan bahan untuk terapi sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Dan hal utama yang perlu dilakukan adalah mematikan handphone atau tidak membawanya ke ruang terapi, karena akan mengganggu kestabilam emosi anak. Selesai terapi, segera terapis harus mencatat bagaimana perkembangan anak pada hari itu, sementara anak didiknya yang lain telah menunggu untuk menjalani proses terapi.

Hal ini yang merupakan salah satu faktor penyebab stres terapis di tempat kerja, karena selain menghadapi anak didiknya dengan berbagai tingkah laku, mereka juga mengalami stres ketika metode untuk anak didiknya tidak berhasil.

(20)

ini perkembangan otak paling cepat. Sedangkan penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lambat, karena perkembangan otak melambat 25%.9

Mereka juga tidak jarang harus mengalami cidera dikarenakan kemarahan, kesedihan atau ketakutan anak yang berlebihan seperti : bekas cubitan, gigitan, dipukul oleh mereka bahkan berulang kali mengganti kacamata.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah belum diketahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi karakteristik terapis anak autisme (jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, masa kerja, status perkawinan) dengan stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.

(21)

autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi para terapis dan pimpinan yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 mengenai stres kerja yang dialami oleh para terapis, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi/mengurangi stres kerja tersebut sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres Kerja

2.1.1. Pengertian Stres Kerja

Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stres kerja.11 Selye (1992) mendefenisikan stres kerja : “Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction”

Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.12

Brousseau dan Prince (1981)menjelaskan bahwa stres kerja adalah keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena merasa terancam di lingkungan kerjanya.13

(23)

Shin dkk.(1984) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif seperti konflik peran dan kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.13

Menurut Phillip L. Rice, seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja jika : urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stres kerja, yang mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu.11

Dari beberapa pengertian stres kerja di atas, disimpulkan bahwa stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja, yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.

2.1.2. Jenis-jenis Stres

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun) seperti promosi jabatan, cuti yang dibayar, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi., dan sebagainya.6; 3

(24)

2.1.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja

Greenberg (1999) menjelaskan bahwa banyak aspek yang dapat menyebabkan stres kerja seperti :

a. Faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti : beban kerja berlebih, waktu kerja, kondisi lingkungan kerja, dan lain-lain.

b. Peran tenaga kerja dalam organisasi seperti : konflik peran, ketaksaan peran, konflik dalam organisasi

c. Pengembangan karier seperti : promosi jabatan, ambisi yang gagal, dan lain-lain. d. Hubungan antar pribadi di tempat kerja mencakup hubungan tenaga kerja dengan

rekan kerja, atasan dan klien.

e. Struktur dan iklim di tempat kerja mencakup kurangnya partisipasi tenaga kerja dalam mengambil keputusan, kurangnya konsultasi, dan lain-lain.

Selain itu, ketidakpuasan tenaga kerja pada gaji dan kondisi tempat kerja seerti : kebisingan, pencahayaan yang tidak baik, ventilasi yang buruk, dan lain-lain juga dapat menyebabkan stres kerja.14

Duane (2006) menjelaskan faktor - faktor lingkungan kerja yang dapat menyebabkan stres kerja diantaranya :

1. Beban kerja berlebih atau terlalu sedikit

(25)

Dibedakan menjadi dua bagian : beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kuantitatif’ dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kualitatif’.15

a. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kuantitatif’

Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, seperti harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ini adalah desakan waktu. Waktu dalam masyarakat industri merupakan satu unsur yang sangat penting.

Menurut Kiev dan Khon dalam meneliti 2.659 manajer puncak dan menengah menemukan bahwa para manajer menyebutkan heavy workload/time pressures/unrealistic deadlines sebagai faktor utama yang menimbulkan stres pada mereka.

Pada saat - saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (deadline) dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, dapat juga menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang.17

Beban kerja terlalu sedikit juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Kemajuan teknologi dan meningkatkan otomasi dalam industri di satu pihak dapat mengarah pada makin menjadinya majemuk pekerjaan, di lain pihak, pada teknologi menengah, mengarah pada penyederhanaan pekerjaan.

(26)

dilakukan mengakibatkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak cepat dalam keadaan darurat.

Bentuk lain yang merupakan pembangkit stres juga ialah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan, untuk saat - saat lain bebannya malah berlebihan.

Situasi tersebut dapat dijumpai pada tenaga kerja yang mengatur perjalanan bagi orang lain pada biro - biro perjalanan, yang menjadi pemandu wisata, tenaga kerja yang bekerja di biro - biro konsultasi, pramuniaga di toko - toko, dan sebagainya. Keadaan ini menimbulkan kecemasan, ketidakpuasan kerja dan kecenderungan meninggalkan pekerjaan.17

b. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kualitatif’

Beban kerja berlebih/terlalu sedikit kualitatif yaitu jika tenaga kerja merasa tidak mampu melakukan suatu tugas atau terlalu sulit, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja.

2. Struktur dan iklim organisasi

(27)

3. Peran.Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan sesuai dengan aturan – aturan yang ada dan yang sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah, dikarenakan terjadi konflik peran dan ketaksaan peran.

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya :

1. pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.

2. tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan bagian dari pekerjaannya,

3. tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang lain yang dinilai penting baginya,

4. pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.

Van Sell dkk dan Khan dkk, menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi. French dan Caplan menemukan para tenaga kerja pria kantor mempunyai kaitan erat dengan konflik peran yang menyebabkan detak jantung dan rasa tegang meningkat.17

(28)

merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan

Selain faktor – faktor di atas, menurut Munandar (2001), ada beberapa faktor lain yang menyebabkan stres kerja yaitu :

1. Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal yang dimaksud adalah hubungan pekerja dengan teman kerja, atasan dan klien. Konflik terjadi ketika teman kerja bekerja lambat sedangkan teman kerja yang lain ingin mengerjakan secepat mungkin, pekerja diperlakukan tidak adil misalnya : atasan mendapat bonus, namun pada para karyawan dikatakan mereka tidak punya uang untuk membayar gaji.15

Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi.

2. Pengembangan Karier (Career Development)

(29)

peningkatan. Namun, harapan itu sering kali tidak tercapai dikarenakan : ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen atau karena tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.

3. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan

Hal ini mencakup segala unsur kehidupan seorang pekerja seperti : isu – isu tentang keluarga, krisis kehidupan, pernikahan, kesulitan keuangan, anak, penyakit (illness), keyakinan – keyakinan pribadi organisasi yang bertentangan, konflik antar keluarga dan tuntutan perusahaan..

Hardjana (1994) Keluarga, yang merupakan kesatuan inti dalam masyarakat, dapat menjadi sumber stres tersendiri. Setiap anggota keluarga memiliki perilaku, kebutuhan dan kepribadian yang berbeda-beda. Kurang luasnya rumah dan berjubelnya penghuni yang terlalu banyak, mudah mengganggu rasa privasi dan menjadi lahan subur untuk timbul dan berkembangnya perselisihan, bahkan permusuhan.

Di samping itu, keluarga dapat menjadi sumber stres karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak dapat menimbulkan stres bagi ibu pada waktu kehamilan, kelahiran dan pengasuhannya; bagi bapak keluarga karena harus memikirkan tambahan penghasilan; bagi anak-anak lain – bila sudah ada – karena perhatian, mungkin juga jatah uang dan makan, ikut berkurang.19

(30)

kehidupan sehari - hari. Wanita yang bekerja juga memiliki peran ganda dalam keluarga, hal ini merupakan sumber stres kerja. Peranan wanita lebih banyak daripada pria dikarenakan mereka juga harus mengerjakan tanggung jawab mereka dalam rumah tangga terus menerus.

Beberapa studi akhir menunjukkan bahwa perselisihan antar keluarga dan pekerjaan memberi dampak yang sangat berarti bagi kesehatan dan kepribadian baik pria maupun wanita seperti depresi atau kecemasan, daripada pekerja yang tidak memiliki perselisihan antar keluarga dan pekerjaan.

Keluarga juga dapat menjadi sumber stres karena ada anggota keluarga yang sakit, apalagi serius dan berkepanjangan juga kematian anggota keluarga, dapat mendatangkan stres berat bagi para anggota keluarga yang ditinggalkannya. 4. Dalam Diri Individu

Usia dewasa mengalami perubahan bersifat fisik baik efisiensi, kesehatan dan kekuatan yang mencapai puncaknya, secara psikis muncul keinginan dan usaha pemantapan, sering mengalami ketegangan emosi karena kompleksitas persoalan, kemampuan mental seperti penalaran, meningat dan reaktif pada posisi puncak.19 Masa kerja memberi pengaruh terhadap kematangan pengalaman pejabat dalam suatu jabatannya, tetapi bila terlalu lama pada suatu jabatan akan menimbulkan kebosanan, terutama bila lingkungan kerja kurang menyenangkan, maka kondisi ini akan menimbulkan stres.21

(31)

khusus dan pola – pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai – nilai, pengalaman lalu, keadaan hidup dan kecakapan (seperti : intelegensi, pendidikan, pelatihan dan pembelajaran).17

a. Kepribadian

Dr. Meyer Friedman dan Dr. Ray Roseman dari Harold Brunn Institute for Cardiovascular Research di San Fransisco menemukenali dua pola perilaku, masing-masing terdiri dari satu perangkat cirri kepribadian yang majemuk, yaitu tipe A dan tipe B.

Orang dari tipe A digambarkan sebagai orang yang memiliki derajat dan intensitas yang tinggi untuk ambisi, dorongan untuk pencapaian (achievement) dan pengakuan (recognition), kebersaingan (competitiveness) dan keagresifan. Orang tipe A memiliki paksaan untuk bekerja berlebih, selalu bergelut dengan batas waktu, dan sering menelantarkan aspek-aspek lain dari kehidupan seperti keluarga, kejaran sosial (social pursuits), kegiatan-kegiatan waktu luang dan rekreasi.

Sebaliknya pola perilaku orang tipe B digambarkan lebih menggampangkan (easy going) dan santai. Secara relatif bebas dari rasa mendesak, mereka tidak selalu harus berkejar dengan waktu. Karena mereka tidak mempunyai konflik berarti dengan orang lain, mereka merasa lebih sedikit permusuhan.

b. Kecakapan

(32)

mempunyai arti yang penting bagi dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya sehingga ia mengalami stres.

Menurut Cooper (1983) latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap kualitas dalam bekerja. Kualitas yang rendah dapat mengakibatkan beban kerja menjadi bertambah dan akan menimbulkan stres.21

c. Nilai dan Kebutuhan

Setiap organisasi mempunyai kebudayaan masing-masing. Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan pemanduan (integrasi) internal.

Para tenaga kerja diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dalam organisasi. Jika tidak ia bisa mengundurkan diri, karena tidak ada pekerjaan lain atau karena sebab lain, maka tenaga kerja akan mengalami stres.

Peristiwa traumatik juga dapat menyebabkan stres pada seseorang seperti gempa bumi dan banjir, bencana buatan manusia seperti perang dan kecelakaan nuklir, kecelakaan mobil atau pesawat terbang; dan penyerangan fisik seperti pemerkosaan atau upaya pembunuhan.22

2.1.4. Gejala-gejala Stres Kerja

(33)

a. Gejala fisik, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada metabolisme organ tubuh seperti denyut jantung yang meningkat, sakit kepala, dan sakit perut yang bisa kita alami dan harus diwaspadai.

b. Gejala emosional, yaitu perubahan-perubahan sikap yang terjadi seperti ketegangan, kegelisahan, ketidaktenangan, kebosanan, cepat marah, menurunnya rasa percaya diri, kehilangan spontanitas dan kreativitas dan lain-lain.

c. Gejala keperilakuan, yaitu perubahan-perubahan atau situasi dimana produktivitas seseorang menurun, absensi meningkat, kebiasaan makan berubah, merokok bertambah, banyak minum minuman keras, tidak bisa tidur, berbicara tidak tenang, dan lain-lain.4

d. Gejala intelektual, yaitu ditandai dengan lemahnya daya ingat, tidak mampu berkonsentrasi, produktivitas atau prestasi kerja menurun dan mutu kerja rendah, dan lain-lain.

e. Gejala interpersonal, ditandai dengan kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, suka mencari-cari kesalahan orang lain, dan lain-lain.23

(34)

2.1.5. Dampak Stres Kerja

Dalam keadaan stres, tubuh kita akan mengaktifkan respon melawan atau menghindar, baik kita memilih untuk tetap aktif maupun diam saja. Akibatnya, kita mengeluarkan lebih banyak energi, dan hal ini berdampak pada emosional dan fisik. a. Dampak pada emosional

Dampak pada emosional seperti : keletihan yang membuat pekerja tidak fokus pada pekerjaan, kemampuan untuk mengingat informasi menjadi sangat terbatas dan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan, menutup diri, depresi, dan harga diri rendah

b. Dampak pada fisik

Di awal tahun 1970-an, ada dugaan bahwa dari semua penyakit dan kesakitan yang terjadi, 60%-nya berkaitan dengan stres. Berdasarkan temuan terbaru tentang interaksi pikiran-tubuh, diperkirakan sebanyak 80% dari semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau diperburuk oleh stres.

Diantaranya : sakit kepala karena tegang, sakit kepala migrain, Temporomandibular Joint Dysfunction (TMJ), masalah lambung (Ulkus dan Kolitis, Irritable Bowel Syndrome (IBS), cemas saraf, pilek, penyakit jantung Koroner bahkan Kanker.

2.1.6. Upaya Menanggulangi Stres Kerja

John R. Schermerhorn, Jr., James G. Hunt dan Richard N. Osborn membuat beberapa pedoman untuk menanggulangi stress yaitu :

(35)

Waktu yang kita miliki memang terbatas, sehingga bilamana kita berbagai tuntutan dapat mengakibatkan stres, namun bila waktu dapat diatur dengan baik dapat meningkatkan penyelesaian berbagai pekerjaan dengan lebih efektif. Beberapa prinsip yang dapat dipegang adalah :

a. Membuat daftar mengenai aktivitas yang harus dilakukan

b. Menentukan prioritas aktivitas berdasarkan kepentingan dan urgensinya c. Menentukan waktu pelaksanaan sesuai dengan prioritas

2. Latihan fisik

Melakukan berbagai kegiatan fisik yang menyenangkan seperti : jogging, jalan kaki, naik sepeda, bermain tennis, bermain golf. Latihan ini dapat meningkatkan kesehatan jantung, melancarkan peredaran darah atau kesehatan fisik secara umum, yang akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi berbagai tantangan. 3. Relaksasi

Kegiatan bertujuan untuk mencapai suatu situasi dimana semua komponen tubuh istirahat dan relaks, yang dapat digunakan dalam beberapa menit, kurang lebih 20 menit setiap hari, yang dilakukan dengan cara :

a. Duduk santai dengan mata tertutup di sebuah tempat yang sepi

b. Secara perlahan - lahan menyebutkan kata - kata atau kalimat yang mendamaikan pikiran dan perasaan anda secara berulang - ulang

c. Menarik nafas secara santai melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut

(36)

4. Terbuka pada orang lain

Mendiskusikan secara terbuka dengan orang lain yang drkat dengan anda masalah – masalah, ketakutan yang dihadapi, dan lain - lain.

5. Pace yourself

Rencanakan hari - hari anda secara fleksibel. Tidak melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan, bersikap tenang, tidak terburu - buru, dan berpikir sebelum bereaksi. Hidup berlandaskan hari, bukan menit per menit.

2.2. Autisme

2.2.1. Pengertian Autisme

Autisme pertama kali ditemukan oleh dr. Leo Keanner, seorang psikiater di Harvard sejak tahun 1938. Kanner mendeskripsikan autisma sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.10

(37)

Anak-anak yang mengidap autisme memiliki syaraf yang tidak bersambung sampai ke bagian-bagian tertentu pada otak dalam jumlah banyak, yang mana hal ini bisa memancing mereka untuk bereaksi secara berlebihan terhadap stimulus seperti suara gaduh, cahaya atau rangsangan lainnya. Terganggunya syaraf otak ini menyebabkan mereka kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi terhadap sekelilingnya, karena itu perubahan lingkungan yang terjadi memaksa mereka untuk berusaha keras menyeleksi informasi apa saja yang datang berulang-ulang.26

Perilaku autistik digolongkan menjadi 2 jenis yaitu :

1. Perilaku yang eksesif (berlebihan) adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar dan memukul, dan juga sering menyakiti diri sendiri.

2. Perilaku yang defisit (berkekurangan) ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), bermain tidak benar dan emosi tanpa sebab (misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab).9

2.2.2. Penyebab Autisme Penyebab autisme yaitu : a. Gangguan susunan saraf pusat

(38)

limbiknya. 43 % penyandang autisma yang mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya.

Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, menyebabkan gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lau-lalang impuls di otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam system limbic mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.

b. Gangguan Sistem Pencernaan

Tahun 1977, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata, ia kekuranganenzim sekretin. Setelah mendapatkan suntikan sekretin, Beck sembuhdan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan.

c. Peradangan Dinding Usus

(39)

d. Sensory Interpretation Errors

Rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil, mengalami proses yang kacau di otak anak, sehingga timbul persepsi yang semrawut, kacau atau berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang “menakutkan”.

e. Faktor Genetika

Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisma, namun gejala autisma bias muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autisma tidak muncul, meski anak membawa gen autisma.

Disamping faktor genetika ini, banyak faktor pemicu yang diperkirakan berperan dalam timbulnya gejala autisma. Pada kehamilan trisemester pertama, yaitu 0-4 bulan, faktor pemicu bisa terdiri dari : infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dan sebagainya), logam berat (Pb, Al, Hg, Cd), zat aditif (MSG, pengawet, pewarna, dan sebagainya) alergi berat, obat-obatan, jamu peluntur, muntah-muntah hebat (hiperemesis), perdarahan berat, dan lain-lain.

(40)

2.2.3. Kriteria Anak Autisme

Adapun kriteria seorang anak didiagnosa sebagai anak autisme yaitu :

A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini :

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya

c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala di bawah ini :

a. Bicara terlambat bahkan sama sekali tak berkembang (dan tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)

b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru

(41)

a. Mempertahankan suatu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya

c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang :

a. interaksi sosial b. bicara dan berbahasa

c. cara bermain yang kurang variatif

C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett/Gangguan Disintegratif Masa Kanak 2.3. Terapis

Terapi berasal dari kata “therapy” yang berarti penyembuhan, tidak hanya membahas masalah pengobatan jasmaniah, tetapi penyesuaian diri dan fungsi berpikir.25

Terapis adalah seseorang yang dilatih dan diberi izin untuk merawat klien yang mengalami cacat mental ataupun cacat fisik .27 Adapun terapis antara lain : Dokter, Psikiater, Psikolog, Perawat, Fisioterapis, Speech Therapist, Occupational Therapist, dan Social Worker.

(42)

Ada beberapa jenis terapi untuk membantu anak autis menjadi lebih baik, antara lain :

1. Terapi Perilaku

Terapi yang bertujuan mengajarkan bagaimana berperilaku, mengembangkan menjadi lebih baik, mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima masyarakat. Terapi perilaku terdiri dari : a. Terapi Wicara

Merupakan terapi wajib diberikan kepada anak autis karena sebagian besar mereka tidak dapat berbicara atau berbahasa. Kecenderungan mereka tidak dapat berbicara bukan karena bisu, namun karena mereka tidak dapat merespon lingkungan sehingga tidak peduli dan tidak mau merespon apa-apa. Terapi ini perlu dilakukan secara kontiniu dalm ruang yang aman, tenang dan dapat meningkatkan perhatian.

b. Terapi Okupasi

Terapi yang diberikan kepada anak autisyang mengalami gangguan pada sensori haklusnya untuk memperbaiki kekuatan koordinasi dan keterampilannya. Hal ini memberi pengaruh amat besar bagi otot halus jari tangan agar dapat menulis

c. Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar, dimulai dari kepatuhan, kontak mata, tat karma, dan sebagainya.

3. Terapi Biomedik

(43)

dalam tubuh akan memunculkan gangguan perilaku sehingga gangguan dalam tubuh dapat diatasi, gangguan perilaku yang ditampilkannya pun akan berkurang. 4. Terapi Sensori Integrasi

Diberikan kepada anak autis yang mengalami gangguan dalam memproses impuls yang diterima dari berbagai indera secara simultan. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan merespon terhadap stimulus sensori tersebut. Untuk itu digunakan stimulus yang bervariasi antara lain ayunan, bola trampoline, sikat dan baju yang lembut, parfum, lampu berwarna-warni, pemijatan dantekstur bervariasi.

5. Terapi Bermain

Merupakan usaha penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial anak secara optimal. Suasana untuk terapi bermain, suasana yang tidak membuat anak merasa tertekan, takut atau terpaksa bermain, seperti dijelaskan oleh Danuatmaja (2003) bahwa anak haruslah senang, santai dan merasa akrab dengan suasana.9

Sebelum melakukan terapi, sebaiknya dilakukan persiapan - persiapan, agar kelancaran proses terapi dapat dijaga, seperti :

(44)

b. Jadwal kegiatan harian bagi anak dan terapis untuk setiap hari dari Senin s/d Minggu

c. Form-form program, pencatatan dan penilaian untuk mencatat semua proses dan hasil terapi dan pembuatan program terapi

d. Ballpoint yang berbeda warna untuk setiap terapis, untuk membedakan dengan cepat bila terjadi kemacetan, terapis mana yang lancer dan terapis mana yang macet

e. Alat peraga yang sesuai dengan materi saat itu. Alat peraga perlu disiapkan sebelum setiap sessi terapi dilaksanakan, sehingga tidak banyak waktu yang terbuang.9

2.4. Kerangka Konsep

Karakteristik Terapis - Jenis Kelamin

- Umur - Pendidikan - Masa Kerja - Status Pernikahan

STRES KERJA Lingkungan Kerja

- Beban Kerja - Hubungan

Interpersonal - Pengembangan

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menguraikan bagaimana gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru Tahun 2010.28

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru. Adapun yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah :

1. Menarik minat peneliti karena dari hasil observasi peneliti mendapatkan gambaran bahwa hal ini sangat menarik

2. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di tempat tersebut

3. Adanya izin dari pihak yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru. 3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Januari – Mei 2010. 3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

(46)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh terapis anak autisme yang menjadi populasi (total sampling). Akan tetapi, saat penelitian dilaksanakan sample bekurang 1 menjadi 27 terapis dikarenakan cuti.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru, yaitu berupa data umum yayasan tersebut.

3.5. Defenisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Terapis KIDCARE adalah terapis yang melakukan terapi wicara, fosioterapi pada anak, okupasi terapi, sensory integration, hydro therapy.orang yang melakukan terapi (kecuali terapi biomedik) pada anak autisme.

2. Terapis Tali Kasih adalah terapis yang melakukan terapi individual, gerak dan irama, pengenalan lingkungan, belajar kelompok, olah raga dan bermain, berenang, bermain bola, bermain di playground, fisioterapi, speech therapy. 3. Terapis YAKITA adalah orang yang melakukan terapi pada anak autisme. 4. Umur adalah usia terapis yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir saat

penelitian dilakukan.

(47)

6. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh terapis.

7. Masa kerja adalah rentang waktu sejak terapis menjadi terapis sampai saat penelitian dilakukan.

8. Status pernikahan adalah status terapis yang terdiri dari menikah dan tidak menikah

9. Beban Kerja adalah tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh terapis.

10. Hubungan interpersonal adalah interaksi dan komunikasi terapis dengan rekan kerja, atasan, anak autisme, orangtua dan sebaliknya.

11. Pengembangan karier adalah kesempatan setiap terapis untuk mendapatkan kesempatan menambah pengetahuan dan mengikuti pelatihan untuk menangani anak autisme.

12. Stres kerja adalah suatu peristiwa pada pekerja di yayasan terapi, yang mempengaruhi terhadap psikologis dan fisik seseorang yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.

3.6. Pengukuran Stres Kerja

Untuk mengetahui distribusi lingkungan kerja dengan stres kerja yang dialami terapis, maka diukur dengan menggunakan 15 pertanyaan Setiap jawaban dari responden memiliki nilai :

1 = tidak pernah sama sekali 2 = Kadang-kadang

(48)

5 = Terus-menerus

jadi nilai tertinggi (total skor) dari 15 pertanyaan adalah 75. jika semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh terapis. Penilaian :

1. jika nilai responden < 45 : stres rendah 2. jika nilai responden ≥ 45 : stres tinggi.29 3.7. Pengolahan dan Penyajian Data

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian

Yayasan terapi anak autisme adalah salah satu tempat pelayanan kesehatan khusus untuk merawat anak autisme hingga ’sembuh’. YAKITA, KIDCARE, dan TALI KASIH adalah 3 dari 5 yayasan terapi anak autisme yang berada dalam wilayah Kecamatan Medan Baru dengan luas wilayah 5,84 Km 2 , dengan batas - batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah timur : Kecamatan Medan Polonia Sebelah selatan : Kecamatan Medan Johor

Sebelah barat : Kecamatan Medan Sunggal dan Kecamatan Medan Selayang

Sebelah utara : Kecamatan Medan Petisah

4.1.1. Yayasan Anak Kita (YAKITA)

Yayasan ini berlokasi di Jl. Hayam Wuruk No. 11 B, berdampingan dengan lokasi rumah sakit Hayam Wuruk Medical Centre. YAKITA memiliki jumlah karyawan sebanyak 10 orang dimana :

(50)

4.1.2. Yayasan KIDCARE a. Sejarah

Awal berdirinya Yayasan KidCare Children Therapy Center dikarenakan anak dari Ibu Irmayanti Daulay menderita Cerebral Palsy (CP). Jauhnya melakukan pengobatan ke Jakarta dan membeli peralatan untuk menerapi anaknya, juga melihat kondisi bahwa di Medan tidak ada pelayanan kesehatan untuk menolong anak autime dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya mendorong beliau mendirikan sebuah yayasan terapi anak autisme, dimana yayasan ini resmi berdiri pada tanggal 16 September 2006 yang berlokasi di Jl. D.I. Panjaitan No.32. Kemudian yayasan ini pindah lokasi ke Jl. Sei Rotan No.2/17.

b. Visi dan Misi

1. KidCare menyediakan sarana dan prasarana untuk membantu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki anak – anak yang memerlukan kebutuhan khusus maupun anak normal dan memberikan perhatian lebih sehingga diharapkan mereka mampu untuk mandiri.

2. KidCare memberikan upaya pelayanan kesehatan profesional yang bertanggung jawab atas kapasitas fisik dan kemampuan fungsional anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus.

(51)

c. Jenis Terapi

Jenis terapi yang diberikan : 1. Fisioterapi pada anak

Adalah terapi fisik yang dapat membantu anak untuk memperbaiki kondisi pergerakan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan peran dan fungsinya di masyarakat.

2. Terapi Wicara

Merupakan pelayanan kesehatan dalam bidang perilaku komunikasi untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan perilaku komunikasi, yang berhubungan dengan kemampuan bahasa, wicara, suara dan irama/kelancaran yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis, fisiologis psikologis dan sosiologis.

3. Okupasi Terapi (OT)

Terapi ini dilakukan dengan melakukan kegiatan sehari-hari misalnya memakai pakaian, makan sendiri, menggunakan gunting, pensil, memasang tali sepatu, dan bermain dengan teman, termasuk juga belajar untuk percaya diri dalam menentukan pilihan dan memutuskan sesuatu.

4. Sensory Integration

Terapi ini akan membantu memudahkan tubuh anak untuk merespon dan otak untuk mengatur jalannya pemprosesan sensori.

(52)

d. Jumlah Karyawan

Jumlah karyawan di yayasan KidCare yang berlokasi di Jl. Sei Rotan No.2/17 Kecamatan Medan Baru berjumlah 13 orang dengan keterangan sebagai berikut :

1. Supervisor : 1 orang 2. Bagian Pemasaran : 1 orang 3. Terapis : 6 orang 4. Bagian administrasi : 2 orang 5. Cleaning Service : 1 orang

6. Satpam : 2 orang

e. Fasilitas

KidCare memberikan fasilitas-fasilitas dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus antara lain :

1. Ruang Fisiotherapy 2. Ruang Sensory Integrasi 3. Ruang Occupational Therapy 4. Ruang Hydro Therapy 5. Ruang Day Care 6. Ruang Terapi Wicara 7. Ruang Ibadah

8. Ruang Receptionist dan Ruang Tunggu 9. Kelas Sosialisasi

(53)

4.1.3. Yayasan Tali Kasih a. Sejarah

Yayasan ini berdiri pada tahn 2001, yang berlokasi di Jl. Sei Alas No. 18 Kecamatan Medan Baru, di bawah pimpinan Bapak M. Said.

b. Visi dan Misi

Visi : Giving Parents Hope and Children the Future

Misi : Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu untuk menolong orangtua yang mempunyai anak autis dan berkebutuhan khusus dalam meraih masa depannya.

c. Jumlah Karyawan

Jumlah karyawan di yayasan Tali Kasih yang berlokasi di Jl. Sei Alas No. 18 Kecamatan Medan Baru berjumlah 22 orang dengan keterangan sebagai berikut :

1. Asisten : 6 orang 2. Terapis : 14 orang 3. Administrasi : 1 orang 4. Satpam : 1 orang d. Jenis Terapi

Jenis terapi yang diberikan yaitu : 1. Terapi individual

2. Gerak dan Irama

(54)

6. Berenang 7. Bermain bola

8. Bermain di play ground 9. Fisioterapi

10. Speech Terapi e. Fasilitas

Fasilitas yang tersedia yaitu : 1. Ruangan Full AC

2. Peralatan Tulis selama belajar

3. Menyediakan media belajar seperti kartu angka, kartu emosi 4. Menyediakan media bermain

5. Ruang tunggu yang nyaman 6. Pelatihan komputer

7. Tempat parkir 4.2. Karakteristik Terapis

(55)

4.2.1. Jenis Kelamin

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Jenis Kelamin di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

Jenis Kelamin Frekuensi

(Orang) %

Laki - laki 6 22,2

Perempuan 21 77,8

Jumlah 27 100,0

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terapis yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 6 orang (22,2%) dan terapis yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 21 orang (77,8%).

4.2.2. Umur

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Kelompok Umur di

Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

(56)

4.2.3. Masa Kerja

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Masa Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

Terapis paling banyak bekerja selama 1 - 4 tahun, yaitu sebanyak 18 orang (66,7%). Paling sedikit terapis memiliki masa kerja 5 – 8 tahun, yaitu sebanyak 3 orang (11,1%).

4.2.4. Tingkat Pendidikan

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

(57)

4.2.5. Status Perkawinan

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Status Perkawinan di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

Status Perkawinan Frekuensi

(Orang) %

Menikah 7 26,0

Belum menikah 20 74,0

Jumlah 27 100,0

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebahagian besar terapis belum menikah yaitu sebanyak 20 orang (74%), sedangkan responden yang sudah menikah sebanyak 7 orang (26%).

4.3. Hasil Pengukuran Stres Kerja

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Stres Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

Tingkat Stres Frekuensi

(Orang) %

Stres tinggi 0 0

Stres rendah 27 100,0

Jumlah 27 100,0

(58)

Tabel 4.7. Distribusi Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.

Indikator Frekuensi

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa distribusi beban kerja dengan stres kerja pada terapis anak autisme dilihat dari indikator hak untuk mengerjakan tanggung jawab bahwa 20 terapis (74%) tidak pernah tidak mempunyai hak yang kecil untuk mengerjakan tanggungjawabnya, 5 terapis (18,5%) kadang-kadang dan 2 terapis (7,4%) cukup sering memiliki hak yang kecil untuk mengerjakan tanggung jawab mereka.

(59)

sering dan 1 terapis (3,7%) sangat sering merasakan ketidakjelasan tentang bidang dan tanggung jawabnya.

Dari indikator ketidakmampuan mengerjakan pekerjaan, 15 terapis (55,5%) mampu mengerjakan pekerjaan mereka, 10 terapis (37%) kadang – kadang merasa tidak mampu dan 2 terapis (7,4%) cukup sering merasa tidak mampu mengerjakan pekerjaan mereka.

Dari indikator bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dengan baik, 9 terapis (33,3%) tidak pernah mengalami bahwa pekerjaan mengganggu pikiran mereka bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dengan baik, 15 terapis (55,5%) kadang - kadang, 1 terapis (3,7%) cukup sering merasakan, 1 terapis (3,7%) sangat sering dan 1 terapis (3,7%) terus - menerus merasakan bahwa pekerjaan mengganggu pikiran mereka bagaiman mengerjakannya dengan baik.

(60)

Tabel 4.8. Distribusi Hubungan Interpersonal Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010

Indikator Frekuensi

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi hubungan interpersonal dengan stres kerja pada terapis anak autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010 dilihat dari beberapa indikator seperti pada tabel 4.8.

Ditinjau dari konflik dengan orang sekitar, 19 terapis (70,3%) mengatakan selalu mampu menyelesaikan konflik dengan orang - orang sekitarnya, 7 terapis (25,9%) mengatakan kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) mengatakan sangat sering tidak mampu menyelesaikan konflik dengan orang - orang sekitarnya.

(61)

terapis (11,1%) cukup sering tidak tahu tentang apa yang atasan mereka pikirkan tentang mereka.

Selain itu, 16 terapis (59,2%) tidak pernah merasa tidak mampu mempengaruhi keputusan - keputusan dan tindakan - tindakan atasan mereka, 7 terapis (25,9%) kadang – kadang , 1 terapis (3,7%) cukup sering dan 3 terapis (11,1%) sangat sering merasa tidak mampu.

Ditinjau dari rasa khawatir tentang keputusan-keputusan yang sudah diambil, 15 terapis (55,5%) tidak pernah merasa khawatir tentang keputusan - keputusan yang diambil, 11 terapis (40,7%) kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering khawatir.

Ditinjau dari indikator merasa tidak disukai, dimana 16 terapis (59,2%) tidak pernah merasa tidak disukai oleh orang - orang di tempat kerja mereka, 10 terapis (37%) kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering merasa tidak disukai.

Ditinjau dari indikator tahu harapan-harapan dari teman kerja mereka, 17 terapis (62,9%) tidak pernah tidak mengetahui harapan – harapan dari teman – teman sekerja mereka, 9 terapis (33,3%) kadang – kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering tidak tahu.

(62)

Tabel 4.9. Distribusi Pengembangan Karier Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010

Indikator Frekuensi

1 2 3 4 5

Kesempatan untuk mengikuti program pengembangan

karier

17 62,9% 9 33,3% 1 3,7% 0 0% 0 0%

Kemudahan untuk mengakses informasi

16 59,2% 8 29,6% 3 11,1% 0 0% 0 0%

Dari hasil penelitian, ditinjau dari kesempatan untuk mengikuti program pengembangan karier, 17 terapis (62,9%) tidak pernah tidak tahu ada program pengembangan karier sebagai terapis, 9 terapis (33,3%) kadang - kadang tidak tahu dan 1 terapis (3,7%) cukup sering tidak tahu.

(63)

BAB V PEMBAHASAN

Karakteristik Terapis Jenis Kelamin

Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Penelitian menunjukkan pekerja wanita selalu melaporkan sakit kepala, cemas, depresi, gangguan tidur dan gangguan makan lebih sering dibandingkan pekerja pria.15

Berdasarkan hasil penelitian jumlah terapis perempuan lebih banyak daripada terapis laki-laki, sebanyak 21 orang (77,8%) dan terapis laki-laki dan terapis perempuan berada pada kategori stress kerja rendah. Hal ini membuktikan pernyataan Guppy dan Rick (1996) yang mengatakan bahwa jenis kelamin bukanlah faktor penyebab stres.31

Umur

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui frekuensi terapis paling banyak mengalami stres kerja adalah kelompok 21 - 25 tahun sebanyak 13 orang (48,1%) dan paling sedikit pada kelompok umur ≥ 31 tahun sebanyak 2 orang (7,4%). Namun, mereka berada pada kategori stres kerja yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh terapis dalam kelompok umur di atas mengalami stres kerja.

(64)

Masa Kerja

Jika dilihat pada tabel 4.3., masa kerja terapis yang paling panjang adalah 8 tahun. Masa kerja yang paling pendek adalah 2 bulan. Secara umum, terapis paling banyak bekerja dalam rentang waktu 1- 4 tahun dengan jumlah 18 orang (66,7%) dari seluruh responden. Akan tetapi, hal ini tidak mempengaruhi tinggi atau rendahnya stres kerja seorang terapis.

Berbeda dengan penelitian Kemalahayati yang mengatakan bahwa masa kerja memberi pengaruh terhadap kematangan pengalaman pejabat dalam suatu jabatannya.21 Penelitian Sarwono bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja pustakawan perpustakaan dengan stres kerja. Jika dibandingkan antara terapis yang bekerja sebagai terapis anak autisme selama 2 bulan dengan terapis yang bekerja selama 8 tahun, mereka juga berada pada kategori stres kerja yang rendah.

Tingkat Pendidikan

Rendahnya stres kerja yang dialami oleh terapis dikarenakan mereka berasal dari latar belakang pendidikan sarjana psikologi (70,3%), akademi fisioterapi (26%), dan PGTK (3,7%). Menjadi terapis anak autisme bukan hal yang sulit bagi mereka karena sesuai dengan ruang lingkup studi yang mereka geluti dan bagi mereka anak – anak itu adalah jiwa mereka.

(65)

5.1.5. Status Perkawinan

Dari 27 terapis anak autisme, ada 6 terapis (22,2%) yang sudah menikah. Dari 21 terapis perempuan 4 terapis perempuan (19%) sudah menikah, sedangkan dari 6 terapis laki-laki, 2 orang (33,3%) sudah menikah.

Hal - hal yang mencakup segala unsur kehidupan seorang pekerja seperti : isu - isu tentang keluarga, krisis kehidupan, pernikahan, kesulitan keuangan, anak, penyakit (illness), keyakinan - keyakinan pribadi organisasi yang bertentangan, konflik antar keluarga, dan lain - lain juga merupakan faktor yang mempengaruhi stres kerja terapis.

Keluarga dapat menjadi sumber stres karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak dapat menimbulkan stres bagi ibu pada waktu kehamilan, kelahiran dan pengasuhannya; bagi bapak keluarga karena harus memikirkan tambahan penghasilan; bagi anak-anak lain – bila sudah ada – karena perhatian, mungkin juga jatah uang dan makan, ikut berkurang.19

Beberapa studi akhir menunjukkan bahwa perselisihan antar keluarga dan pekerjaan memberi dampak yang sangat berarti bagi kesehatan dan kepribadian baik pria maupun wanita seperti depresi atau kecemasan, daripada pekerja yang tidak memiliki perselisihan antar keluarga dan pekerjaan.15

(66)

dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

Pertentangan keluarga - pekerjaan terjadi ketika tenaga kerja menghadapi pertentangan antara peran mereka di tempat kerja dan peran mereka dalam kehidupan sehari - hari. Bahkan wanita yang bekerja juga memiliki peran ganda dalam keluarga, hal ini merupakan sumber stres kerja dikarenakan peranan wanita lebih banyak daripada pria dikarenakan mereka juga harus mengerjakan tanggung jawab mereka dalam rumah tangga terus menerus.19

Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terapis yang sudah menikah tidak mengalami stres. Hal ini dikarenakan keluarga mereka sangat mendukung pekerjaan mereka karena mereka tahu itu adalah tuntutan profesi, karena sudah didiskusikan dengan suami/istri, meskipun ada 1 terapis mengatakan kadang – kadang merasa terganggu jika dia harus mengikuti rapat sampai malam hari.

Keadaan Stres Kerja Terapis

Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stress kerja. Stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja, yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Jenis Kelamin di Yayasan    Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Masa Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun
Tabel 4.6.  Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Stres Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tabel 4.8. Distribusi Hubungan Interpersonal Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Profesi pelayanan seperti guru khususnya bagi guru wanita yang telah berkeluarga merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi resiko tinggi untuk mengalami stres kerja akibat

Penelitian ini bertujuan untuk menilai status gizi anak Panti Asuhan Yayasan Terima Kasih Abadi dengan menggunakan baku yang telah tersedia dari grafik CDC-NCHS 2000

Puji syukur pada Allah karena berkat Kasih dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: &#34; Gambaran Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Tumbub

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya penulis penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “GAMBARAN KELELAHAN KERJA PADA

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa untuk segala berkat dan penyertaan yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun

Syallom, puji dan syukur penulis panjatkan ke tuhan yesus kristus atas segala berkat dan kasih karunia – Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ” Gambaran

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES ORANGTUA IBU DARI ANAK AUTISME DI YAYASAN PELITA KASIB DAN SMART KID MEDA N SKRIP SI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas

Berdasarkan penjabaran yang ada dalam bab landasan teori� maka diaj ukan hipotesis penelitian yang berbunyi: Ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan stres orangtua ibu dari