PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)
BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO
SKRIPSI
OLEH:
ANNA LELI NASUTION 050804017
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)
BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ANNA LELI NASUTION 050804017
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)
BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO
OLEH :
ANNA LELI NASUTION 050804017
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : September 2010
Pembimbing I, Panitia Penguji,
(Dr. Marline Nainggolan, MS. Apt.) (Dr. Rosidah, M.S., Apt.)
NIP 195709091985112001 NIP 195201171980031002
Pembimbing II, (Dr. Marline Nainggolan, MS. Apt.) NIP 195709091985112001
(Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, MS. Apt.) (Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt.) NIP. 195504241983031003 NIP 195107231982032001
(Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt.) NIP 195107231982032001
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Dekan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan karunia dan rahmat yang tidak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diajukan untuk
memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda
Abdul Hasan Nasution dan ibunda Hapni Siregar tercinta, abangda M.Rapi Nasir
Nasution, SH dan Ridwan Zuhri Nasution, Amd serta adinda Nurhamidah
Nasution terkasih yang telah memberikan dorongan moril maupun materil serta
doa kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat di selesaikan.
Dengan rasa hormat dan kerendahan hati penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dekan dan para Pembantu Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan
Sinaga, M.S., Apt sebagai dosen pembimbing atas segala arahan, ilmu
serta nasehat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Prof., Dr., Jansen Silalahi M.App.Sc., Apt sebagai dosen penasehat
akademik dan seluruh staf pengajar atas nasehat dan bimbingannya selama
proses perkuliahan.
4. Bapak dan Ibu Panitia Penguji atas arahan dan masukan yang sangat
5. Sahabat-sahabat penulis: Kak Ani, Rahma, Suci dan rekan-rekan
mahasiswa farmasi stambuk 2005 serta seluruh pihak yang telah
memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi, dan inspirasi bagi penulis
selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.
6. Kepada Kepala Laboratorium Fitokimia dan Laboratorium Farmakologi
dan seluruh staf atas seluruh fasilitas yang diberikan selama proses
penelitian .
Semoga Tuhan Yang maha Kuasa memberikan balasan yang berlipatganda
atas jasa besar mereka.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan
sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan. Namun demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berarti bagi ilmu
pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Medan, September 2010
Penulis
ABSTRAK
Telah dilakukan karakterisasi ekstrak etanol dan perbandingan uji efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau), bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco secara oral terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1%.
Ekstraksi serbuk daun dandang gendis dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%, lalu difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etilasetat. Fraksi etilasetat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC. Terhadap ekstrak etanol yang diperoleh dilakukan karakterisasi dan diperangkapkan ke dalam matriks nata de coco dengan cara merendam matriks nata de coco ke dalam fraksi etilasetat selama 24 jam, kemudian dikeringkan dalam freeze dryer. Pengujian efek antiinflamasi tikus putih yang digunakan dibagi menjadi 10 kelompok, kontrol (CMC 0,5% dan nata de coco), pembanding indometasin (suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 10 mg/KgBB, fraksi etilasetat daun dandang gendis (bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 30, 45 dan 60 mg/KgBB, sebagai penginduksi radang yaitu karagenan 1% secara intraplantar pada kaki tikus. Pengukuran volume kaki tikus diukur dengan plestimometer digital UGO Basile.
Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis secara berturut-turut adalah untuk kadar air 7,16% dan 7,083 %, kadar sari larut dalam air 10,49% dan 10,930%, kadar sari larut dalam etanol 10,70% dan 18,579 %, kadar abu total 6,10% dan 4,582 %, kadar abu tidak larut dalam asam 0,64% dan 0,696 %. Fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi baik dalam bentuk suspensi maupun diperangkapkan dalam matriks nata de coco. Perbedaan antara suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terlihat pada pelebaran puncak persen radang dari t180 menjadi t240 berturut-turut adalah dosisi 60 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 40,53 % pada perlakuan t180 menjadi 40,78 % pada perlakuan t240, dosis 45 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 53,72 % pada perlakuan t180 menjadi 60,89 % pada perlakuan t240, dosis 30 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 60,01 % pada perlakuan t180 menjadi 68,65 % pada perlakuan t240. Dosis 60 mg/KgBB memiliki efek lebih baik dibandingkan dengan dosis 30 dan 45 mg/KgBB dan memiliki efek yang sama dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB pada α≤ 0,05.
ABSTRACT
The characterization of ethanol extract and comparison test antiinflammatory effects of ethylacetate fraction of dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) leaves, suspension and from a matrix was trapped into nata decoco made orally on the sole of the foot inflammation induced rat carrageenan 1%.
Dandang gendis leaves powder was extracted by used 80% ethanolic, it was fractionation with n-hexane and ethylacetate. Ethylacetate fraction is obtained evaporated by rotary evaporator and dried with a freeze dryer at a temperature of -40oC. Ethanol extract obtained by the characterization and was trapped into the matrix of nata de coco by immersing the matrix nata de coco into ethylacetate fraction over 24 hours, then dried in a freeze dryer. Tests for antiinflammatory effects of white rats used were divided into 10 groups, control (CMC 0.5% and nata de coco), a comparison of indomethacin (suspension and was trapped into nata de coco matrix) dose of 10 mg/kg, ethylacetate fraction of dandang gendis leaves (suspension and was trapped into nata de coco matrix) doses of 30, 45 and 60 mg/kg, as inflammation induced is carrageenan 1% by intraplantar in the rat foot. Measurement of rat foot volume was measured with a digital plestimometer Ugo Basile.
The results of characterization of ethanol leaf extracts of crude drugs and dandang gendis successively to the water content is 7.16% and 7.083%, the concentration of water soluble extract 10.49% and 10.930%, soluble in ethanol extract concentration 10.70% and 18.579% , total ash 6.10% and 4.582%, ash insoluble in acid 0.64% and 0.696%. Ethyl acetate fraction of dandang gendis leaves have antiinflammatory effects both in the form of suspension or
diperangkapkan in the matrix of nata de coco. The difference between the
suspension with a diperangkapkan in the matrix of nata de coco looks at widening the peak percent inflammation from t180 to t240 in a row is dosisi 60 mg / KgBW give the highest percentage of 40.53%, inflammation of the treatment to 40.78% in t180 t240 treatment , the dose of 45 mg / KgBW give the highest percentage of 53.72%, inflammation in the treatment t180 into t240 60.89% in treatment, the dose of 30 mg / KgBW give the highest percentage of 60.01%, inflammation of the treatment to 68.65% in t180 t240 treatment. Dose of 60 mg / KgBW have a better effect than the doses of 30 and 45 mg / KgBW and have the same effect
with indomethacin dose of 10 mg / kg BW at α ≤ 0.05.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
ABSTRAK...iii
ABSTRACT...iv
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL...viii
DAFTAR GAMBAR...ix
DAFTAR LAMPIRAN...x
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Perumusan Masalah... 4
1.3. Hipotesis... 4
1.4. Tujuan Penelitian... 5
1.5. Manfaat Penelitian... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6
2.1. Uraian Tumbuhan...6
2.2. Metode Ekstraksi...7
2.3. Nata De Coco...9
2.4. Bakteri Acetobacter xylinum ...10
2.5. Sediaan dengan Pelepasan terkendali...10
2.7. Obat-obat antiinflamasi...16
2.8. Indometasin...17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...18
3.1 Alat dan Bahan...18
3.1.1Alat-alat yang digunakan...18
3.1.2Bahan-bahan yang digunakan...18
3.2 Hewan Percobaan...19
3.3. Penyiapan Serbuk Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)...19
3.3.1 Pengumpulan sampel...19
3.3.2 Pengolahan sampel...19
3.4. Karakterisasi Simplisia...19
3.4.1 Penetapan kadar air...20
3.4.2 Penetapan kadar sari larut dalam air...20
3.4.3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol...21
3.4.4 Penetapan kadar abu total...21
3.4.5. Penetapan kadar abu tidak larut asam...21
3.5 Pembuatan Ekstrak...22
3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol...22
3.5.2 Pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol dari daun dandang gendis...22
3.6. Karakterisasi Ekstrak...23
3.6.1 Penetapan kadar air...23
3.6.3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol...23
3.6.4 Penetapan kadar abu total...23
3.6.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam...24
3.7 Pembuatan Nata de coco...24
3.8 Pembuatan Matriks Nata...25
3.9 Penyiapan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol...25
3.9.1. Penyiapan suspensi CMC 0,5%...25
3.9.2. Penyiapan ekstrak dalam bentuk suspensi...25
3.9.3. Penyiapan pemerangkapan ekstrak dalam matriks nata de coco...25
3.9.4. Penyiapan karagenan 1%...26
3.10. Penyiapan Hewan Percobaan...26
3.11. Prosedur Penggunaan Alat Pletismometer...26
3.11.1. Pembuatan larutan untuk reservoir...26
3.11.2. Penyiapan alat...26
3.11.3.Kalibrasi alat...27
3.12. Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi...27
3.13.Perhitungan persen radang dan persen inhibisi radang...28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...29
4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi...29
4.2 Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis...29
4.3 Hasil Pengeringan Nata de coco...31
4.4 Hasil Uji Antiinflamasi dari Ekstrak dalam Bentuk Suspensi...31
4.6 Perbandingan Efek Antiinflamasi Bahan (Bentuk Suspensi
dengan yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata de Coco)...39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...42
5.1 Kesimpulan...42
5.2 Saran...42
DAFTAR PUSTAKA...42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol
daun dandang gendis...30
Tabel 2. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 32
Tabel 3. Data presentasi penghambatan radang rata-rata tiap waktu
pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 34
Tabel 4. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji dalam matriks nata de coco... 35
Tabel 5. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 33
Gambar 2. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu
pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 35
Gambar 3. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji dalam matriks nata de coco... 36
Gambar 4. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu
pengamatan bahan uji dalam matriks nata de coco... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil determinasi tumbuhan ... 43
Lampiran 2. Gambar tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans
(Burm.f.) Lindau)... 44
Lampiran 3. Flowsheet pembuatan fraksi etilasetat daun dandang gendis... 45
Lampiran 4. Contoh perhitungan karakterisasi ekstrak etanol daun
dandang gendis...46
Lampiran 5. Flowsheet pembuatan nata de coco...48
Lampiran 6. Gambar nata de coco basah, kering dan diperangkapkan
dalam ekstrak...49
Lampiran 7. Gambar telapak kaki tikus ... 50
Lampiran 8. Gambar alat pletismometer (Ugo Basile Cat No. 7140)...51
Lampiran 9. Pengujian antiinflamasi dengan alat Pletismometer (bahan uji dalam bentuk suspensi)... 52
Lampiran 10. Pengujian antiinflamasi dengan alat Pletismometer (bahan uji yang telah diperangkapkan dalam matriks nata
de coco)...52
Lampiran 11. Contoh perhitungan dosis bahan uji yang diberikan dalam
bentuk suspensi dan konversi dosis dengan berat matriks... 53
Lampiran 12. Contoh perhitungan persen radang dan persen inhibisi radang... 54
Lampiran 13. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang pada t (menit) setelah pemberian bahan uji dalam bentuk
suspensi dan penyuntikan karagenan... 56
Lampiran 14. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang pada t (menit) setelah pemberian bahan uji yang
diperangkapkan dalam matriks nata de coco dan penyuntikan karagenan... 63
Lampiran 15. Hasil ANAVA secara SPSS (bahan uji dalam bentuk
Lampiran 16. Hasil ANAVA secara SPSS (bahan uji yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco)... 73
Lampiran 17. Hasil uji Duncan (bahan uji dalam bentuk suspensi)...75
Lampiran 18. Hasil uji Duncan (bahan uji yang diperangkapkan dalam
ABSTRAK
Telah dilakukan karakterisasi ekstrak etanol dan perbandingan uji efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau), bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco secara oral terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1%.
Ekstraksi serbuk daun dandang gendis dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%, lalu difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etilasetat. Fraksi etilasetat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC. Terhadap ekstrak etanol yang diperoleh dilakukan karakterisasi dan diperangkapkan ke dalam matriks nata de coco dengan cara merendam matriks nata de coco ke dalam fraksi etilasetat selama 24 jam, kemudian dikeringkan dalam freeze dryer. Pengujian efek antiinflamasi tikus putih yang digunakan dibagi menjadi 10 kelompok, kontrol (CMC 0,5% dan nata de coco), pembanding indometasin (suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 10 mg/KgBB, fraksi etilasetat daun dandang gendis (bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 30, 45 dan 60 mg/KgBB, sebagai penginduksi radang yaitu karagenan 1% secara intraplantar pada kaki tikus. Pengukuran volume kaki tikus diukur dengan plestimometer digital UGO Basile.
Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis secara berturut-turut adalah untuk kadar air 7,16% dan 7,083 %, kadar sari larut dalam air 10,49% dan 10,930%, kadar sari larut dalam etanol 10,70% dan 18,579 %, kadar abu total 6,10% dan 4,582 %, kadar abu tidak larut dalam asam 0,64% dan 0,696 %. Fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi baik dalam bentuk suspensi maupun diperangkapkan dalam matriks nata de coco. Perbedaan antara suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terlihat pada pelebaran puncak persen radang dari t180 menjadi t240 berturut-turut adalah dosisi 60 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 40,53 % pada perlakuan t180 menjadi 40,78 % pada perlakuan t240, dosis 45 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 53,72 % pada perlakuan t180 menjadi 60,89 % pada perlakuan t240, dosis 30 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 60,01 % pada perlakuan t180 menjadi 68,65 % pada perlakuan t240. Dosis 60 mg/KgBB memiliki efek lebih baik dibandingkan dengan dosis 30 dan 45 mg/KgBB dan memiliki efek yang sama dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB pada α≤ 0,05.
ABSTRACT
The characterization of ethanol extract and comparison test antiinflammatory effects of ethylacetate fraction of dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) leaves, suspension and from a matrix was trapped into nata decoco made orally on the sole of the foot inflammation induced rat carrageenan 1%.
Dandang gendis leaves powder was extracted by used 80% ethanolic, it was fractionation with n-hexane and ethylacetate. Ethylacetate fraction is obtained evaporated by rotary evaporator and dried with a freeze dryer at a temperature of -40oC. Ethanol extract obtained by the characterization and was trapped into the matrix of nata de coco by immersing the matrix nata de coco into ethylacetate fraction over 24 hours, then dried in a freeze dryer. Tests for antiinflammatory effects of white rats used were divided into 10 groups, control (CMC 0.5% and nata de coco), a comparison of indomethacin (suspension and was trapped into nata de coco matrix) dose of 10 mg/kg, ethylacetate fraction of dandang gendis leaves (suspension and was trapped into nata de coco matrix) doses of 30, 45 and 60 mg/kg, as inflammation induced is carrageenan 1% by intraplantar in the rat foot. Measurement of rat foot volume was measured with a digital plestimometer Ugo Basile.
The results of characterization of ethanol leaf extracts of crude drugs and dandang gendis successively to the water content is 7.16% and 7.083%, the concentration of water soluble extract 10.49% and 10.930%, soluble in ethanol extract concentration 10.70% and 18.579% , total ash 6.10% and 4.582%, ash insoluble in acid 0.64% and 0.696%. Ethyl acetate fraction of dandang gendis leaves have antiinflammatory effects both in the form of suspension or
diperangkapkan in the matrix of nata de coco. The difference between the
suspension with a diperangkapkan in the matrix of nata de coco looks at widening the peak percent inflammation from t180 to t240 in a row is dosisi 60 mg / KgBW give the highest percentage of 40.53%, inflammation of the treatment to 40.78% in t180 t240 treatment , the dose of 45 mg / KgBW give the highest percentage of 53.72%, inflammation in the treatment t180 into t240 60.89% in treatment, the dose of 30 mg / KgBW give the highest percentage of 60.01%, inflammation of the treatment to 68.65% in t180 t240 treatment. Dose of 60 mg / KgBW have a better effect than the doses of 30 and 45 mg / KgBW and have the same effect
with indomethacin dose of 10 mg / kg BW at α ≤ 0.05.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai
tanaman berkhasiat obat sebagai upaya penanggulangan masalah kesehatan.
Pengobatan dan pendayagunaan obat tradisional merupakan program pelayanan
kesehatan dasar dan sebagai alternatif dalam memenuhi kebutuhan penduduk
dibidang kesehatan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih luas
dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya bangsa
maka perlu terus dilakukan penelitian, penggalian, pengujian dan pengembangan
obat tradisional atas dasar hasil-hasil penelitian dan pengujian ilmiah (Voigt,
1994).
Senyawa kimia alam yang terkandung di dalam tumbuhan berupa senyawa
metabolit sekunder yaitu triterpen/steroid, flavonoid, tanin, saponin, kumarin,
alkaloid, glikosida dan lain sebagainya. Golongan triterpenoid/ steroid merupakan
senyawa yang larut dalam pelarut non polar seperti n-heksan, sedangkan
golongan alkaloid termasuk senyawa semi polar yang dapat larut dalam pelarut
semi polar. Sedangkan senyawa flavonoid dan tanin dapat larut dalam pelarut
polar seperti metanol, etanol, etilasetat atau pelarut polar lainnya (Harbourne,
1984).
Standarisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang
dibutuhkan sehingga ekstrak memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Namun dalam hal ini, parameter ekstrak daun
Obat. Diharapkan dengan dilakukannya karakterisasi ekstrak etanol daun dandang
gendis dapat dijadikan acuan sebagai parameter mutu ekstrak.
Salah satu tumbuhan yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini adalah
tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) termasuk
famili Acanthaceae. Tumbuhan ini berkhasiat sebagai antiinflamasi, antitoksin
binatang berbisa, obat luka bakar dan eksim. (Anonim, 2005). Hasil skrining
fitokimia yang telah dilakukan oleh Wirasty (2004) dan Linda (2007), daun
dandang gendis mengandung senyawa golongan alkaloid, triterpenoid/steroid
bebas, glikosida, tanin, saponin, flavonoid dan minyak atsiri. Di samping itu
mengandung senyawa lupeol, betulin dan sitosterol (Anonim, 2005).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Eunike (2008), menyebutkan
bahwa ekstrak etanol daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi yang
paling baik pada dosis 50 mg/KgBB dan memberikan pelepasan diperpanjang
pada ekstrak etanol yang diperangkapkan pada matriks nata de coco. Oleh Mimi
(2009), menyebutkan bahwa fraksi n-heksan daun dandang gendis memiliki efek
antiinflamasi paling baik pada dosis 50 mg/KgBB dan memberikan pelepasan
diperpanjang pada fraksi n-heksan yang diperangkapkan pada matriks nata de
coco.
Obat-obat antiinflamasi non steroid biasanya mempunyai efek samping
dengan keluhan seperti saluran cerna yaitu mual, muntah, anoreksia, diare, dan
nyeri abdomen (Mycek, 2001), induksi tukak lambung atau tukak peptik yang
kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna serta
gangguan fungsi trombosit (Anonimb, 2008).
menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, meningkatkan pendapatan
petani atau masyarakat, mengurangi tingkat pencemaran lingkungan (Prasasto,
2009). Pada penelitian ini air kelapa dimanfaatkan untuk pembuatan nata de coco.
Nata de coco merupakan hasil proses fermentasi air kelapa menggunakan
bakteri Acetobacter xylinum yang dapat digunakan sebagai penghantar obat untuk
tujuan pelepasan obat terkontrol (Piluharto, 2003). Bakteri Acetobacter xylinum
dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya
dengan karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol. Bahan tambahan yang
diperlukan oleh bakteri antara lain karbohidrat sederhana, sumber nitrogen, dan
asam asetat (Anonima, 2008).
Perkembangan teknologi di bidang Farmasi berlangsung dengan pesat
terutama mempertinggi mutu obat yang menyebabkan berbagai metode terus
dikembangkan untuk mendapatkan obat yang memiliki efisiensi terapi yang tinggi
dan efek samping yang kecil. Untuk meningkatkan efek farmakologi maka
ketersediaan obat dalam darah harus cukup, durasi obat ditingkatkan dan efek
toksiknya dikurangi. Untuk ini, telah dikembangkan bentuk-bentuk sediaan yang
kerjanya diperlama dengan pelepasan obat terkontrol (Gennaro, 1990).
Berdasarkan hal di atas, pada pengujian efek antiinflamasi ini digunakan
fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)
bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco.
Kandungan flavonoid dan tanin daun dandang gendis yang terdapat pada fraksi
etilasetat daun dandang gendis diharapkan dapat berfungsi sebagai antiinflamasi,
ini didukung oleh Simon and Kerry (2000), yang menyebutkan bahwa senyawa
berkhasiat sebagai antiinflamasi.
Pengujian efek antiinflamasi fraksi etilasetat daun dandang gendis
digunakan tikus putih yang diinduksi karagenan dengan metode pletismometri dan
sebagai pembanding positif digunakan indometasin.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Berapa hasil karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis
(Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)?
2. Apakah fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang
diperangkapkan dalam matriks nata de coco mempunyai efek antiinflamasi
terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus putih yang diinduksi
dengan karagenan?
3. Apakah terdapat perbedaan efek antiinflamasi fraksi etilasetat daun
dandang gendis bentuk suspensi dengan yang diperangkapkan dalam
matriks nata de coco?
1.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah
1. Diperoleh hasil karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis
(Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau).
2. Fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang
diperangkapkan dalam matriks nata de coco mempunyai efek antiinflamasi
terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan
3. Fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang
diperangkapkan dalam matiks nata de coco memberikan efek yang berbeda
jika diberikan secara oral pada tikus.
1.4Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis.
2. Mengetahui adanya efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang
gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dalam bentuk suspensi
maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terhadap radang
buatan pada telapak kaki tikus putih yang diinduksi dengan karagenan.
3. Mengetahui perbedaan efek fraksi etilasetat daun dandang gendis dalam
bentuk suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco
yang diberikan secara oral pada tikus putih.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya fraksi etilasetat daun dandang
gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) yang diperangkapkan dalam
matriks nata de coco dapat digunakan sebagai sumber bahan obat fitofarmaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian Tumbuhan Dandang Gendis 2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan daun dandang gendis adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Solanaceae
Famili : Acanthaceae
Genus : Clinacanthus
Species : Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau (Anonim, 2005).
2.1.2 Sinonim
Sinonim dari tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.)
Lindau) adalah : Clinacanthus burmani Nees., Beloperone futgina Hassk.
(Anonim, 2005).
2.1.3 Nama Daerah
Nama daerah adalah ki tajam (Sunda), gendis (Jawa Tengah) (Hariana,
2007). Di luar negeri dikenal dengan istilah pha ya yor, salet, phon (Thailand), bi
phaya yow (Cina) (anonim, 2005).
2.1.4 Habitat dan Morfologi
Tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau)
atau ditanam sebagai pagar hidup dengan ketinggian 5-400 m di atas permukaan
laut. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang berwarna putih kotor. Batang
berkayu, tegak, beruas dan berwarna hijau. Daun tunggal, berhadapan, bentuk
lanset, panjang 8-12 mm, lebar 4-6 mm, bertulang daun menyirip, berwarna hijau,
ujung runcing, pangkal membulat, permukaan daun tidak berbulu, permukaan atas
lebih tua dan lebih mengkilap. (Anonim, 2005).
2.1.5 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis
Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau) mengandung
senyawa alkaloid, triterpenoid / steroid, glokosida, tanin, saponin, flavonoid dan
minyak atsiri (Wirasty,2004). Efek farmakologis yang dimiliki oleh dandang
gendis diantaranya mengefektifkan fungsi kelenjar tubuh, meningkatkan sirkulasi
diuretik, obat demam dan diare (Hariana, 2007). Daun Clinacanthus nutans secara
tradisional telah lama digunakan di Thailand sebagai antiinflamasi untuk
mengobati gigitan serangga, herpes, infeksi dan alergi (Anonim, 2008).
2.2 Metode ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Ada beberapa metode ekstraksi dengan mengunakan pelarut, yaitu:
1. maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengadukan dengan temperatur ruangan. Sedangkan
remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyarian maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah di gunakan (Depkes RI,
1986).
2. perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru sanpai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Ditjen
POM, 2000). Serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana silinder, pada
bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan sehingga
dapat melarutkan zat aktif sampai mencapai keadaan jenuh (Depkes RI,
1986).
3. refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas dan relatif
konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
4. sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
5. digesti
Digesti adalah maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu
pada temperatur 40-500C. Cara meserasi ini hanya dapat dilakukan untuk
6. infus
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000).
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh, tidak
boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).
7. dekok
Dekok serupa seperti infus tetapi dengan waktu yang lebih lama (30 menit)
dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Perbedaannya
dengan infus adalah pada rebusan yang disari panas-panas (Voigt, 1994).
2.3 Nata de coco
Air kelapa merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba
karena mengandung gula, senyawa nitrogen, mineral dan vitamin. Dengan melalui
suatu proses fermentasi, maka berubah menjadi Nata De Coco. Produknya mirip
seperti agar – agar yang mempunyai kekerasan seperti kolang kaling dan dapat
digunakan untuk keperluan makanan maupun non makanan. Dengan
dikembangkannya pemanfaatan air kelapa tersebut, maka air kelapa yang tadinya
merupakan limbah bagi lingkungan, dapat diubah menjadi bahan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Nata de coco adalah nama yang mula-mula dikenal di Filiphina untuk
menyebut produk olahan yang dibuat dari air kelapa dengan bantuan bakteri
pembentuk Nata yaitu Acetobacter xylinum. Kata Nata diduga berasal dari bahasa
bahasa Latin “nature” artinya terapung. Sedangkan menurut Rony Palungkun
(2001) Nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim (cream). Jadi nata de
coco adalah krim yang berasal dari air kelapa (Anonim, 2008).
Nata lebih dikenal dengan nama nata de coco karena pada umumnya
substrat yang digunakan adalah air kelapa. Namun demikian dapat dibuat dari
berbagai macam substrat, misalnya nata de pinna untuk substrat yang berasal dari
buah nanas, nata de tomato untuk yang beasal dari buah tomat, serta nata de soya
yang dibuat dari limbah tahu (Astawan, 2004).
2.4 Bakteri Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk Nata adalah Acetobacter xylinum yang termasuk genus
Acetobacter yang mempunyai ciri antara lain berbentuk batang, gram negatif,
bersifat aerobik. Factor-faktor yang mempengaruhi Acetobacter xylinum
mengalami pertumbuhan adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, serta
tingkat keasaman media, temperatur, dan oksigen. Sumber karbon dapat
digunakan gula dari berbagai macam jenis seperti glukosa, sukrosa, fruktosa,
ataupun maltose dan untuk mengatur pH digunakn asam asetat. Sumber nitrogen
biasanya berasal dari bahan organic seperti ZA, urea. Bakteri Acetobacter
Xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH
nya 4,3. sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum
pada suhu 28 – 310C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen, sehingga dalam
fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun hanya ditutup untuk mencegah kotoran
masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi (Anonim, 2008).
2.5 Sediaan dengan Pelepasan Terkendali
tak diinginkan maka diusahakan memberikan sediaan lepas lambat dan terkendali
yang bekerja dengan mengurangi kecepatan absorpsi dengan mengontrol
pelepasan obat dari sediaan. Bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali
dibedakan atas waktu pelepasan, sedangkan jumlah awal zat aktif yang dilepaskan
harus berkesinambungan dan tidak tergantung pada tempat dimana sediaan berada
atau pada laju perjalanan dari lambung ke usus (Syukri, 2002).
Sediaan dengan aksi terkendali dikelompokkan atas tiga golongan yaitu
1) Sediaan dengan pelepasan atau aksi dipertahankan, merupakan bentuk
sediaan yang mula-mula melepaskan zat aktif dalam jumlah cukup untuk
mendapatkan ketersediaan hayati yang dikehendaki atau menimbulkan
efek farmakologi secepatnya dan dapat menjaga aktivitasnya dalam waktu
yang lebih lama mulai dari obat diberikan dalam dosis tunggal.
2) Sediaan dengan aksi dipertahankan, merupakan sediaan dengan pelepasan
dipertahankan yang harus diformula sedemikian rupa sehingga laju
pelepasan zat aktif setelah pelepasan dosis awal sama dengan laju
peneiadaan atau inaktivasi zat aktif. Sediaan ini juga memberikan
ketersediaan hayati yang diinginkan dengan jumlah zat aktif yang cukup,
atau mungkin berlebih (tidak berbahaya) dibandingkan dengan jumlah
yang diperlukan untuk mendapatkan aksi terapetik. Selain itu laju
pelepasan zat aktif akan meningkat dan waktu aksinya lebih lama
dibandingkan dengan dosis tunggal.
3) Sediaan dengan aksi berulang, merupakan sediaan seperti penyediaan
dosis tunggal, dan melepaskan dosis tunggal berikutnya dalam waktu
2.6 Radang (Inflamasi)
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyarang, menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari
jaringan yang rusak dan migrasi sel (Mycek, 2001). Ketika proses inflamasi
berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen darah, sel
darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cidera jaringan atau
infeksi(Taufik, 2008).
Adapun tanda-tanda pokok peradangan:
1. Rubor (kemerahan) ini merupakan hal pertama saat mengalami
peradangan, karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal
pada tempat peradangan.
2. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada
tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena
panas lokal ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh di dalam tubuh
karena jaringan sudah mempunyai suhu 370 C.
3. Dolor (rasa sakit) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin
dan zat kimia bioaktif lainnya.
5. Fungsio laesa (perubahan fungsi) adalah reaksi peradangan yang telah
dikenal, tetapi tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi
jaringan yang meradang itu terganggu (Taufik, 2008).
2.7.1 Mekanisme terjadinya radang
Proses terjadinya inflamasi dapat dibagi dalam dua fase:
1. Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan
aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah
karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran
darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah.
Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan
berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel.
Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan
sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak
sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.
2. Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan
inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan
menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga
menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Cara kerja AINS untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis
diharapkan hanya menghambat COX II (peradangan) dan tidak COX I
(perlindungan mukosa lambung), juga menghambat lipooxygenase (pembentukan
leukotrien). Tersedia tiga obat dengan kerja selektif, artinya lebih kuat
menghambat COX II daripada COX I (Mansjoer, 1999).
2.7.2 Mediator Radang
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator dari jaringan yang rusak dan
migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe peradangan
(inflamasi) diantaranya adalah histamin, bradikinin, prostaglandin dan interleukin
(Mycek, 2001). Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari
sekian banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.
Bradikinin dan kalidin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasidilatasi,
meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi
prostaglandin (Mansjoer, 1999).
Asam arakhidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator
inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya
terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada
dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan
oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2
diaktivasi untuk mengubah fosfolipida tersebut menjadi asam arakhidonat
(Mansjoer, 1999).
Sebagai penyebab inflamasi, prostaglandin (PG) bekerja lemah, berpotensi
kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan
menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat pada
terjadinya nyeri, inflamasi dan demam (Mansjoer, 1999).
[image:32.595.78.566.167.690.2]Bagan terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar I berikut ini:
Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002).
Rangsangan
Gangguan membran sel
Fosfolipida Dihambat
kortikosteroid
Asam arakhidonat
Fosfolipase
Leukotrien
LTB4 LTC4/D4/E4
Prostaglandin Tromboksan Prostaksilin
Atraksi/ aktivasi fagosit
Perubahan permeabilitas vaskuler, kontriksi bronchial,
peningkatan sekresi
Modulasi leukosit
Inflamasi Bronkospasme, kongesti,
penyumbatan mukus Inflamasi
2.8Obat-obat antiinflamasi
2.8.1 Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoid)
Glukokortikoid mempunyai potensi efek antiinflamasi dan pertama kali
dipublikasikan, dianggap jawaban terakhir dalam pengobatan peradangan.
Sayangnya, toksisitas yang berat sehubungan dengan terapi kortikosteroid kronis
mencegah pemakaiannya kecuali untuk mengontrol pembengkakan akut penyakit
sendi (Katzung, 2002).
Glukokortikoid mempunyai efek mengurangi peradangan yang disebabkan
karena efeknya terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta
penghambatan aktivitas fosfolipase A2. Setelah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid bekerja singkat dengan konsentrasi neutrofil meningkat yang
menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan (Katzung, 2002).
2.8.2 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)
Obat-obat AINS terbagi dalam beberapa golongan berdasarkan struktur
kimianya, perbedaan kimiawi ini menyebabkan luasnya batas-batas sifat
farmakokinetiknya. Obat ini efektif untuk peradangan akibat trauma (pukulan,
benturan, kecelakaan) juga setelah pembedahan, atau pada memar akibat olah
raga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini
mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tjay, 2002). Obat-obat anti-inflamasi
nonsteroid (AINS) terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase (Mycek, 2001).
Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja yang
sama dengan aspirin terutama bekerja melalui penghambatan biosintesis
siklooksigenase yang reversibel. Selektivitas terhadap COX I dan COX II,
bervariasi dan tak lengkap. Misalnya aspirin, indometasin, piroksikam dan
sulindak dianggap lebih efektif menghambat COX I, metabolit aktif nabumeton
sedikit lebih selektif terhadap COX II. Dari obat AINS yang tersedia, indometasin
dan diklofenak dapat mengurangi sintesis baik prostaglandin maupun leukotrin
(Katzung, 2002).
2.9 Indometasin
Indometasin yang diperkenalkan pada tahun 1963 adalah turunan indol.
Obat ini lebih toksik, tetapi dalam lingkungan tertentu obat ini lebih efektif
daripada aspirin atau AINS lainnya. Obat ini merupakan peghambat sintesis
prostaglandin terkuat dan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan
sebagian besar terikat dengan protein plasma (Katzung, 2002).
Walaupun potensinya sebagai obat anti-inflamasi, toksisitas indometasin
membatasi pemakaiannya. Efek samping indometasin terjadi sampai 50%
penderita yang diobati. Kebanyakan efek samping ini berhubungan dengan dosis.
Keluhan saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia, diare dan nyeri abdomen.
Dapat terjadi ulserasi saluran cerna bagian atas kadang-kadang dengan
pendarahan (Mycek, 2001). Indometasin tidak diajurkan diberikan kepada anak,
wanita hamil, penderita penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan hanya
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian meliputi penyiapan sampel, pengumpulan sampel,
dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak etanol dengan cara maserasi dan
pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol, karakterisasai ekstrak etanol,
pembuatan nata de coco dan matriks nata de coco, pemerangkapan ekstrak oleh
matriks nata de coco serta pengujian efek antiinflamasi menggunakan metode
eksperimental. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA dan DUNCAN
menggunakan program SPSS versi 16.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, blender (Miyako), cawan porselen, freeze dryer (Modulyo, Edward,
serial No. 3985), inkubator (Gallenkamp), jangka sorong, laminar air flow, lemari
pendingin (Sanyo), mortir dan stamfer, neraca analitik (Sartorius), neraca hewan
(GW-1500), neraca kasar (Ohaus), oral sonde, oven listrik (Fisher Scientific),
penangas air (Yenaco), pletismometer (Ugo Basile Cat. No. 7140), rotary
evaporator (Heidolph vv-2000), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air,
spuit, tanur, termometer.
3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan
Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun
dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dan bahan kimia berupa
(hasil destilasi), gula pasir, indometasin, karagenan, NaOH, n-heksan, stater
Acetobacter xylinum, urea.
3.2 Hewan Percobaan
Hewan pecobaan yang digunakan adalah tikus putih galur Wistar dengan
berat badan 150-200 g, dibagi dalam 10 kelompok dimana setiap kelompok terdiri
dari 6 ekor tikus.
3.3 Pembuatan Serbuk Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.)Lindau)
Penyiapan serbuk daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.)
Lindau) meliputi pengumpulan sampel dan pengolahan sampel.
3.3.1 Pengumpulan sampel
Sampel yang digunakan adalah daun dandang gendis (Clinacanthus nutans
(Burm.f.) Lindau) yang sudah tua dan masih segar, diambil dari kebun tanaman
obat Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Pengumpulan sampel
dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang
sama dari daerah lain.
3.3.2 Pengolahan sampel
Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dicuci
bersih dengan air mengalir, ditiriskan, kemudian dikeringkan di udara terbuka dan
terlindung dari cahaya matahari. Setelah kering daun diserbuk dan disimpan di
dalam wadah kering terlindung dari cahaya matahari.
3.4 Karakterisasi Simplisia
Karakterisasi simplisia meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar sari
larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total
3.4.1 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).
Alat tediri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung
penyambung dan tabung penerima 5 ml.
Cara kerja :
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan kedalam labu alas
bulat. Kemudian didestilasi selama 2 jam, setelah itu didinginkan selam 30 menit
dan dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml (volume l). Ke dalam labu alas
bulat tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang dengan
seksama, lalu dipanaskan selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih,
destilasi dengan kecepatan 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air terdestilasi,
kemudian kecepatan destilasi ditingkatkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua
air terdestilasi, bilas bagian dalam pendingin dengan toluen yang telah
dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian labu penerima
dibiarkan mendingin pada suhu kamar dan dibersihkan tetesan air yang mungkin
masih terdapat pada dinding tabung penerima. Setelah air dan toluene memisah
sempurna, baca volume air (volume II). Kadar air dihitung dalam persen (WHO,
1992). Perhitungan kadar air dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 34.
3.4.2 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) menggunakan
labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selam 6 jam pertama dan kemudian
dibiarkan selam 18 jam. Disaring, diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam
hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang arut dalam air (Ditjen
POM, 1989). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada lampiran 4,
halaman 34.
3.4.3 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam degan 100 ml
etanol (95 %), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama
6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Disaring dengan menghindarkan
penguapan etanol, diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan pada suhu 1050 C hingga bobot tetap.
Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 95 % (Ditjen POM, 1989).
Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 34.
3.4.4 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan
dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar
perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilkukan pada suhu 5000c selama 2
jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap (Ditjen
POM, 1989). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada lampiran 4, halaman
35.
3.4.5 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring cuci dengan air panas, dipijarkan
tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1989). Perhitungan kadar abu yang tidak
larut dalam asam dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 3.
3.5 Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan cara maserasi dengan pelarut
etanol 80%. Selanjutnya difraksinasi dengan etilasetat yang sebelumnya telah
diekstraksi dengan n-heksan.
3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol
Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas
berwarna gelap dan ditambahkan pelarut etanol 80% sampai serbuk terendam
sempurna. Ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya matahari
sambil sering diaduk, kemudian diperas dan disaring. Ampas ditambahkan cairan
penyari sampai terendam, ditutup dan disimpan di tempat yang terlindung dari
cahaya matahari. Dibiarkan selama 2 hari sambil sering diaduk, kemudian diperas
dan disaring. Dilakukan perlakuan yang sama sampai pelarut tidak berwarna.
Seluruh filtrat digabungkan dan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada
temperatur ± 40 oC sampai diperoleh ekstrak kental, kemudian difreeze dryer
pada suhu -40oC selama ± 24 jam.
3.5.2 Pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau.
Ekstrak etanol kering daun dandang gendis ditambah air (akuades) sedikit
demi sedikit sambil diaduk, kemudian ditambahkan pelarut n-heksan, dikocok
perlahalahan, dipisahkan. Pekerjaan ini diulangi beberapa kali hingga fraksi
n-heksan jernih. Sisanya disari dengan pelarut etilasetat yang dilakukan dengan
menggunakan alat rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh
fraksi kental, kemudian di freeze dryer pada suhu -40oC selama ± 24 jam.
3.6 Karakterisasi Ekstrak Etanol
Karakterisasi ekstrak etanol meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar
sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu
total dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
3.6.1 Penetapan Kadar Air
Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar air pada simplisia (lihat
3.4.1). Perhitungan kadar air dapat dilihat pada lampiran, halaman .
3.6.2 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar sari larut dalam air pada
simplisia (lihat 3.4.2). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada
lampiran, halaman.
3.6.3 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol
Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar sari larut dalam etanol pada
simplisia (lihat 3.4.3). Perhitungan kadar sari larut dalam etanol dapat dilihat pada
lampiran, halaman.
3.6.4 Penetapan Kadar Abu Total
Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar abu total pada simplisia
(lihat 3.4.4). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada lampiran 6, halaman
3.6.5 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam
Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam
asam pada simplisia (lihat 2.4.5). Perhitungan kadar yang tidak larut asam dapat
dilihat pada lampiran 6, halaman 56.
3.7 Pembuatan Nata De Coco 3.7.1 Pembuatan Bibit atau Stater
Sebanyak 1000 ml air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan
disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus hingga mendidih, selama
perebusan, air kelapa diaduk. Setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan
urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 100 g, dan asam cuka 25% hingga larutan
mencapai pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata, dalam keadaan masih
panas, dituang larutan tersebut ke dalam wadah yang steril. Setelah dingin,
ditambahkan biakan murni sebanyak 200 ml. Ditutup wadah dengan aluminium
foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi dan dibiarkan selama 2 minggu.
Setelah 2 minggu, di permukaan media akan terbentuk lapisan berwarna putih.
Berarti, starter sudah jadi dan siap digunakan (Warisno, 2004).
3.7.2 Pembuatan nata de coco
Sebanyak 1000 ml air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan
disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus di atas api yang besar hingga
mendidih (selama perebusan, air kelapa diaduk), setelah mendidih selama ± 15
menit, ditambahkan urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 100 g, dan asam cuka
25% hingga larutan mencapai pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata dan
dalam keadaan masih panas, larutan tersebut dituang ke dalam wadah yang steril.
dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi selama 2 minggu
(Warisno, 2004).
3.8 Pembuatan Matriks Nata de coco
Nata de coco dicuci dengan NaOH 0,1 N kemudian dibilas dengan
akuades hingga bersih dan ditiriskan. Masing-masing nata dipotong dadu dengan
ukuran 1 cm x 1 cm. Dikeringkan dengan freeze dryer selama ± 24 jam.
3.9Pembuatan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol 3.9.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g ditaburkan ke dalam lumpang berisi akuades panas
sebanyak 20 ml, dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh massa yang
transparan (Anief, 1995), digerus lalu diencerkan dengan akuades hingga 100 ml
(Gohel, 2009).
3.9.2 Pembuatan ekstrak dalam bentuk suspensi
Fraksi etilasetat daun dandang gendis dibuat dengan konsentrasi 30 mg/ml
dalam bentuk suspensi menggunakan CMC 0,5% dengan dosis pemberian 30, 45
dan 60 mg/Kg BB. Obat pembanding indometasin dibuat dalam bentuk suspensi
CMC 0,5% dengan dosis pemberian 10 mg/Kg BB.
3.9.3 Pemerangkapan ekstrak dan indometasin dalam matriks nata de coco
Matriks nata de coco ditimbang, kemudian direndam dalam ekstrak yang
telah dilarutkan dalam etilasetat selama 24 jam untuk hasil perendaman yang
optimal. Nata dicuci, ditiriskan dan dikeringkan dengan bantuan freeze dryer pada
temperatur -40oC selama ± 24 jam. Kemudian dilakukan prosedur yang sama
3.9.4 Pembuatan Karagenan
Sebanyak 50 mg karagenan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
tentukur 5 ml, dicukupkan dengan larutan fisiologis NaCl 0.9% kemudian
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam (Gupta, 2006).
3.10 Penyiapan Hewan Percobaan
Dua minggu sebelum pengujian dilakukan hewan percobaan harus
dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai
ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan
pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Ditjen POM, 1979).
3.11 Prosedur Penggunaan Alat Plestimometer (Ugo Basile Cat No. 7140) 3.11.1 Pembuatan larutan untuk reservoir
Dua sampai 3 ml campuran senyawa pembasah (ornano imbibente BBC.
97) yang telah tersedia dalam kemasan standar dimasukkan dalam labu tentukur 1
liter, ditambahkan 0,4-0,5 g NaCl, dicukupkan dengan akuades hingga 1 liter.
3.11.2 Penyiapan alat
Larutan yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan ke dalam reservoir
yang telah dirangkai pada alat kemudian diisi sel dengan memutar kepala katup
kira-kira 45 oC ke sebelah kiri atau kanan sesuai dengan posisi reservoir itu
dihubungkan, dialirkan beberapa kali dengan memutar kepala katup untuk
menghindari gelembung udara. Batas larutan diatur sampai mendekati garis merah
bagian atas sel. Alat dihidupkan maka tampilan grafik akan menyala dan
3.11.3 Kalibrasi alat
Pada menu utama ditekan F1 maka akan ditampilkan angka 0 secara
otomatis kemudian ditekan kembali F1 yang akan menunjukan angka 0,5 ml,
ditekan kembali tombol F1 yang akan menunjukkan angka 1,0; 2,0; 4,0; 8,0 ml.
setelah itu dipilih probe kalibrasi (1 ml) dan tekan F2 untuk konfirmasinya. Probe
volum dimasukkan ke dalam sel, ditunggu hingga beberapa detik hingga nilai
yang ditunjukkan stabil. Alat siap digunakan untuk pengukuran kaki tikus.
3.12 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi
Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap diberi
air minum. Tikus dikelompokkan menjadi 10 kelompok dimana dalam
masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kontrol (CMC 0,5%, matriks nata
de coco), pembanding indometasin (dalam bentuk suspensi dan yang
diperangkapkan pada matriks nata de coco dosis 10 mg/KgBB), dan bahan uji
fraksi etilasetat (dalam bentuk suspensi dan yang diperangkapkan pada matriks
nata de coco dosis 30, 45, 60 mg/KgBB).
Caranya:
• Ditimbang berat masing-masing tikus dan pada sendi kaki kiri diberi tanda
sebagai batas pengukuran.
• Volume kaki kiri tikus diukur dengan cara mencelupkannya ke dalam sel
pletismometer yang berisi larutan reservoir.
• Pedal ditahan dan dicatat angka pada monitor sebagai volume awal (Vo).
• Diberikan suspensi bahan uji secara oral ataupun nata yang mengandung
• Masing-masing telapak kaki kiri tikus disuntik secara intraplantar dengan
larutan karagenan 1% setelah 1 jam.
• Diukur volume kaki tikus setiap ½ jam selama 6 jam. Setiap kali
pengukuran larutan sel tetap diadkan sampai garis tanda atau garis merah
bagian atas sel dan pada menu utama ditekan tombol 0 (zero) serta kaki
tikus dikeringkan sebelumnya. Perubahan volume cairan yang terjadi di
catat sebagai volume telapak kaki tikus (Vt).
Volume radang adalah selisih volume telapak kaki tikus setelah dan
sebelum disuntik karagenan. Pada waktu pengukuran, volume cairan harus sama
setiap kali pengukuran, tanda batas kaki tikus harus jelas, kaki tikus harus tercelup
sampai batas yang dibuat.
3.13 Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang
Dimana : Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus
Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol
b = Persen radang rata-rata kelompok bahan uji dan pembanding
Persen Radang x100%
V V V
o o t − =
Persen Penghambatan Radang x100%
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Junius (2007) di pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah
tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) suku
Achantaceae yang dapat dilihat pada lampiran 1 (halaman 31). Gambar tumbuhan
dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 32.
4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol
80%, dimana diharapkan senyawa kimia yang terkandung didalamnya dapat
tersari sempurna. Hasil dari 1000 g serbuk diperoleh ekstrak etanol 118,5 g,
selanjutnya difraksinasi dengan n-heksan hasilnya diperoleh fraksi n-heksan 41
g, sisanya difraksinasi dengan pelarut etilasetat, diperoleh hasilnya 20,86 g.
4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis
Dilakukan karakterisasi terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun
dandang gendis, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah simplisia dan ekstrak
memenuhi syarat sehingga dapat dipakai sebagai bahan obat. Simplisia yang akan
digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam monografi yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan
(Materia Medika Indonesia). Namun dalam hal ini untuk tumbuhan dandang
gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau) belum ada ditetapkan sebelumnya.
pada Tabel 1, contoh perhitungan karakterisasi dapat dilihat pada lampiran 4
[image:47.595.111.513.166.313.2]halaman 34.
Tabel 1. Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol daun dandang gendis
No. Parameter Hasil
Simplisia Ekstrak
1 Penetapan kadar air 7,16% 7,083 %
2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air 10,49% 10,930 %
3 Penetapan kadar sari yang larut etanol 10,70% 18,579 %
4 Penetapan kadar abu total 6,10% 4,582 %
5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,62% 0,696 %
Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau
rentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Depkes, 2000), bila kadar air
terlalu tinggi dikhawatirkan menyebabkan pertumbuhan bakteri, sehingga bahan
mudah mengalami kerusakan.
Penetapan kadar sari bertujuan untuk memberikan gambaran jumlah
kandungan senyawa awal (Depkes, 2000). Kadar sari yang larut dalam etanol
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar sari larut air. Berdasarkan sifat etanol
yang mampu melarurkan senyawa-senyawa yang bersifat polar, non polar dan
semi polar, maka kandungan sari yang larut dalam etanol lebih tinggi
dibandingkan dengan air yang hanya dapat melarutkan senyawa polar.
Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak (Depkes, 2000). Kadar abu yang terlalu tinggi menunjukkan banyaknya
senyawa-senyawa anorganik seperti logam-logam Pb, Mg, Ca dan Fe yang dapat
4.3 Hasil Pengeringan Nata de coco
Pembuatan nata de coco menggunakan bakteri Acetobacter xylinum dari
1000 ml air kelapa menghasilkan nata de coco basah dengan berat rata-rata 600
gram dengan ketebalan 13 mm.
Hasil pengeringan nata de coco basah yang telah dipotong bentuk dadu
dengan berat rata-rata 1,3 g diperoleh 14 mg nata de coco kering. Suspensi fraksi
etilasetat daun dandang gendis dijerapkan ke dalam nata de coco kering,
didiamkan selama 24 jam, kemudian dikeringkan di freeze dryer, diperoleh 154
mg nata de coco kering.
4.4 Hasil Uji Antiinflamasi dari Fraksi Etilasetat (FEA) dalam Bentuk Suspensi
Uji efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat Pletismometer
(Ugo Basile Cat No. 7140), dengan pengukuran berdasarkan hukum Archimedes
yaitu bila suatu benda yang dimasukkan ke dalam zat cair akan memberikan gaya
atau tekanan ke atas sebesar volume yang didesak atau dipindahkan. Pemilihan
metode ini karena pelaksanaannya sederhana, cepat, dapat diamati dengan jelas
dan radang yang terjadi dapat diukur secara kuantitatif juga dapat dihitung secara
statistik.
Induksi radang dilakukan secara kimia menggunakan larutan karagenan
1% sebanyak 0,1 ml yang disuntikkan pada telapak kaki tikus secara intraplantar.
Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan radang yang akut dan tidak
menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama 6 jam
dan berangsur berkurang setelah 24 jam. Responnya terhadap obat antiinflamasi
obat ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi udema yang diinduksi pada
telapak kaki tikus tersebut.
Persentase radang rata-rata merupakan selisih volume telapak kaki tikus
setelah waktu tertentu dikurangi volume telapak kaki tikus awal dan dinyatakan
dalam bentuk persen. Hasil pengukuran persentase radang yang terjadi dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1. Contoh perhitungan persen radang dan persen
[image:49.595.113.568.320.544.2]inhibisi radang dapat dilihat pada lampiran 12, halaman 42.
Tabel 2. Persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi etilasetat daun
dandang gendis bentuk suspensi
Waktu (menit)
Perlakuan
K ± SD I ± SD FEA30 ± SD FEA45 ± SD FEA60 ± SD 30 20.37 ± 8.314 10.81 ± 1.018 19.56 ± 5.046 17.43 ±6.333 11.38 ± 2.110 60 30.40 ± 10.681 19.55 ± 4.610 23.17 ± 1.963 26.50 ± 7.706 16.83 ± 7.404 90 42.88 ± 14.371 25.53 ± 6.746 38.13 ± 7.472 34.36 ± 7.819 26.96 ± 10.325 120 54.96 ± 6.209 29.84 ±5.605 40.54 ± 3.118 39.65 ± 0.342 31.40 ± 8.194 150 66.94 ± 8.941 35.04 ± 4.345 48.97 ± 5.971 42.50 ± 1.187 33.52 ±8.149 180 70.76 ± 1.927 40,69 ± 9.730 60.01 ± 7.216 53.72 ± 0.296 40.53 ±6.634 210 74.07 ± 2.597 32.07 ± 7.943 59.38 ± 1.344 39.65 ± 0.654 36.23 ± 9.381 240 79.19 ± 2.965 22.75 ± 4.482 38.62 ± 14.098 27.63 ±0.987 26.66 ± 9.892 270 74.89 ± 3.341 15.73 ± 3.345 31.17 ± 6.260 24.19 ± 5.128 21.17 ± 0.739 300 70.05 ± 3.097 11.07 ± 1.432 28.77 ± 5.858 22.63 ±5.708 17.6 ± 2.950 330 64.82 ± 6.532 6.98 ± 2.913 25.75 ± 5.820 19.58 ±6.203 16.96 ± 5.229 360 56.30 ± 5.298 6.73 ± 2.327 21.60 ± 4.156 19.28 ± 6.052 16.00 ± 5.279 Keterangan : K = Kontrol, I = Indometasin, FEA= Fraksi Etilasetat, FEA30 =
FEA dosis 30 mg/KgBB, FEA45 = FEA dosis 45 mg/KgBB,
FEA60 = FEA dosis 60 mg/KgBB
Tabel 2 memperlihatkan bahwa persentase radang rata-rata tertinggi pada
kelompok kontrol adalah 79,19 % pada perlakuan 240 menit (t240) dan menjadi
56,30 % setelah perlakuan t360. Persen radang rata-rata tertinggi suspensi
indometasin adalah 40,69 % pada perlakuan t180 dan menjadi 6,73 % setelah
perlakuan t360. FEA dosis 30 mg/Kg BB adalah 60,01 % pada perlakuan t180 dan
menjadi 21,60 % setelah perlakuan t360. FEA dosis 45 mg/Kg BB adalah 53,72 %
mg/Kg BB adalah 40,53 % pada perlakuan t180 dan menjadi 16,00 % setelah
perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa suspensi FEA dosis 30 mg/KgBB, 45
mg/KgBB dan 60 mg/KgBB memberikan efek penurunan radang pada telapak
kaki tikus, namun efek yang diberikan lebih kecil dari suspensi indometasin. Jika
dilihat perbandingan ketiga dosis, maka FEA dengan dosis 60 mg/KgBB memiliki
efek antiinflamasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan FEA dosis 30
mg/KgBB dan 45 mg/Kg BB.
Gambar1. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji
bentuk suspensi
Keterangan : FEA = Fraksi etilasetat daun dandang gendis
Persentase radang kaki tikus yang lebih kecil menunjukkan bahwa
suspensi indometasin dan suspensi FEA mampu menekan peradangan pada tikus
yang disebabkan karagenan. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi etilasetat daun
dandang gendis memiliki efek antiinflamasi. Sesuai dengan hasil skrining
fitokimia yang menyatakan tumbuhan ini mengandung senyawa flavonoid, dan
tanin.
Ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)
%
R
a
d
a
n
g
coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) terhadap persen radang. Hasil analisis
variansi diperoleh harga F hitung lebih besar dari F tabel yang menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan pada menit ke-30
sampai menit ke-360. Ini menunjukkan semua jenis perlakuan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap radang telapak kaki tikus yang disebabkan
oleh karagenan.
Selanjutnya untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki
pengaruh sama atau berbeda antara satu dengan lainnya dilakukan uji Duncan
(lampiran 17, halaman 62). Uji ini dilakukan karena percobaan memerlukan
penilaian terhadap seluruh pasangan rataan perlakuan.
Persentase penghambatan radang rata-rata dapat dihitung dari persentase
radang rata-rata telapak kaki