• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW II UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VIIIA MTs NU UNGARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW II UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VIIIA MTs NU UNGARAN"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE JIGSAW II UNTUK

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

KELAS VIIIA MTs NU UNGARAN

skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

oleh Susanto 4201408001

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi.

Semarang, 26 Februari 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Langlang Handayani, M.App. Sc. Isa Akhlis, M.Si.

NIP. 19680722 199203 2 001 NIP. 19700102 199903 1 002

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk

Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIIIA MTs. NU Ungaran disusun oleh

Susanto 4201408001

telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA UNNES pada tanggal 26 Februari 2013.

Panitia:

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Wiyanto, M.Si. Dr. Khumaedi, M. Si.

NIP. 19631012 198803 1 001 NIP. 19630610 198901 1 002

Ketua Penguji

Dra. Dwi Yulianti, M.Si. NIP. 19600722 198403 2 001

Anggota Penguji / Anggota Penguji /

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dra. Langlang Handayani, M.App. Sc. Isa Akhlis, M.Si.

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk Meningkatkan

Motivasi Belajar Siswa Kelas VIIIA MTs. NU Ungaran” ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Semarang, 26 Februari 2013

Susanto

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Sabarlah dan peliharalah kesungguhan belajar dan kerja kerasmu, akan manis

sekali jika engkau berhasil membuktikan bahwa engkau lebih besar daripada semua orang yang hari ini mengecilkanmu (Mario Teguh).

 Jangan pernah mengatakan sulit, karena tak ada yang sulit di dunia ini

(Mohamad Siswoyo).

 Jika tekanan dalam hidup semakin berat, maka lapangkanlah hatimu. Niscaya

bebanmu akan terasa lebih ringan (Susanto).

PERSEMBAHAN Ayah dan Ibu tercinta.

Mas Agus, Mba Winda, dan keponakanku Gwin

dan Hafiz, kalian keluarga hebatku.

Deby Wulan, kaulah mimpiku berikutnya.

Error Community: Arya, Indri, Ade, Dini, Ponco,

Sasa, hitam putih kisah kita akan slalu terkenang.

Sahabatku: Adit, Bujang, Komar, Bidin, Yayan,

Cenon, Ardi, Agung, Seto, Rizal, Avan, dan Umar,

hari ini, esok, dan seterusnya kalian sahabatku.

Teman-teman Fisika 2008, yakinlah kita sukses.

Teman-teman PPL SMA TN 2011, kenangan indah

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah atas segala karunia yang telah diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIIIA MTs NU Ungaran”. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyelesaikan studi strata I Jurusan Fisika FMIPA UNNES.

2. Prof. Dr. Wiyanto, M.Si., dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi ijin untuk melaksanakan penelitian.

3. Dr. Khumaedi, M.Si., ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah membantu dalam hal administrasi.

4. Dra. Langlang Handayani, M.App.Sc., dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun skripsi.

5. Isa Akhlis, M.Si., dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi.

(7)

vii

7. Kedua orang tuaku yang selalu mendoakan dan memberi semangat demi terselesaikannya skripsi ini.

8. Keluarga besar MTs NU Ungaran atas kerjasama dan dukungannya dalam penelitian ini.

9. Sahabat-sahabatku yang selalu menemani, membantu, dan memberikan semangat demi terselesaikannya skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberi semangat demi kelancaran penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak kelemahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharap masukan dan saran dari pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Semarang, 26 Februari 2013

(8)

viii

ABSTRAK

Susanto. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIIIA MTs NU Ungaran. Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dra. Langlang Handayani, M.App.Sc, dan Pembimbing II Isa Akhlis, M.Si.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II, Motivasi Belajar, Prestasi Belajar.

Berdasarkan hasil observasi di kelas VIIIA MTs NU Ungaran diketahui bahwa prestasi belajar masih rendah dan keaktifan siswa masih kurang. Menurut guru IPA kelas VIIIA hal ini dikarenakan kurangnya motivasi belajar siswa. Motivasi yang masih rendah harus segera ditingkatkan karena motivasi merupakan prediktor terbaik prestasi belajar. Dengan adanya motivasi maka aktivitas meningkat sehingga prestasi belajar juga meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar IPA siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran pada pokok bahasan cahaya melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II merupakan model pembelajaran teman sebaya yang bekerja dengan membagi suatu materi menjadi bagian-bagian yang dibahas dalam beberapa kelompok yang disebut kelompok ahli, materi tersebut kemudian disatukan kembali dalam sebuah kelompok yang disebut kelompok asal. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II diakhiri dengan pemberian reward

kepada kelompok asal dengan nilai rata-rata tertinggi. Peningkatan motivasi belajar dilihat melalui indikator motivasi belajar siswa, sedangkan peningkatan prestasi belajar siswa diketahui melalui perhitungan uji gain dari nilai kognitif, kemudian dikategorikan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri atas dua pertemuan dengan empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.

(9)

ix

ABSTRACT

Susanto. 2013. The Application of Cooperative Learning Technique Jigsaw II in Improving Student Learning Motivation at Grade VIIIA MTs NU Ungaran. Final Project. Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Semarang State University. Advisor I Dra. Langlang Handayani, M.App.Sc., and Advisor II Isa Akhlis, M.Sc.

Keywords: Cooperative Learning Technique Jigsaw II, Learning Motivation, Learning Achievement.

Based on observation, it was known that learning achievement and also learning participation of the eight grade student at MTs NU Ungaran was relatively low. According to the science teacher, it was due to the lack of student learning motivation. The low learning motivation should be enhanced, because learning motivation is the best predictor of learning achievement. Learning motivation can increase student activity and later on can increase student achievement.

This study aims to improve the learning motivation and learning achievement of the VIIIA grade students at MTs NU Ungaran on the subject of light through the implementation of cooperative learning technique-Jigsaw II. Cooperative learning technique-Jigsaw II is a peer learning model working by dividing the learning material into some parts. Each part of the learning materials is discussed in some groups called the expert group. The material is then put back together in a group known as the original group. Cooperative learning technique-Jigsaw II ends with the reward to the original group with the highest average mark. The Increasing of learning motivation is viewed through student motivation indicators, while the increasing of student achievement is known by calculating the result of gain test from the cognitive mark, and the result is then categorized according to predetermined criteria.

This study used classroom action research conducted in two cycles. Each cycle consisted of two meetings with the four phases of activities, they are planning, implementation, observation and reflection.

Based on the results of the study, students' motivation has increased from cycle I to cycle II. Student achievement in the study had an increase in the medium category. Conclusions from this research is the type of Jigsaw II cooperative learning can improve student motivation and student achievement significantly.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Penegasan Istilah ... 5

1.6 Pembatasan Masalah ... 6

(11)

xi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II ... 8

2.2 Motivasi Belajar ... 11

2.3 Prestasi Belajar ... 12

2.4 Kajian Materi ... 13

2.5 Kerangka Berpikir ... 43

2.6 Hipotesis Tindakan... 45

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 46

3.3 Subjek Penelitian ... 46

3.4 Faktor yang diteliti ... 46

3.5 Prosedur Penelitian... 47

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.7 Analisis Uji Coba Instrumen ... 50

3.8 Metode Analisis Data ... 55

3.9 Indikator Keberhasilan ... 58

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 59

4.2 Pembahasan ... 64

BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan ... 70

(12)

xii

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 3.1 Rentang Persentase Motivasi Belajar..……….... 56

Tabel 4.1 Data Indikator Motivasi Belajar Siswa ……….. 61

Tabel 4.2 Data Angket Motivasi Belajar Siswa.……… 62

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Hukum pemantulan …..………... 15

Gambar 2.2 Pemantulan pada cermin...………... 16

Gambar 2.3 Pemantulan baur...………... 16

Gambar 2.4 Gelombang datar yang dipantulkan pada cermin datar….. 18

Gambar 2.5 Pembiasan cahaya...………... 18

Gambar 2.6 Pembiasan dari medium rapat ke kurang rapat....………… 20

Gambar 2.7 Penerapan prinsip Huygens...………. 20

Gambar 2.8 Geometri penurunan hukum pemantulan dengan prinsip Fermat... 23

Gambar 2.9 Pembiasan dari prinsip Fermat... 24

Gambar 2.10 Geometri pembiasan prinsip Fermat... 25

Gambar 2.11 Grafik waktu yang ditempuh cahaya dari A ke B....……... 26

Gambar 2.12 Pembentukan bayangan oleh cermin datar……..………... 28

Gambar 2.13 Bayangan sistem koordinat di cermin datar... 29

Gambar 2.14 Diagram sinar untuk menentukan bayangan di cermin datar...………... 29

Gambar 2.15 Sinar dari sebuah obyek P yang dipantulkan oleh cermin cekung...………... 30

Gambar 2.16 Geometri untuk menghitung jarak bayangan ...………… 30

Gambar 2.17 Diagram sinar untuk cermin cekung...………. 32

Gambar 2.18 Bayangan maya yang dibentuk oleh cermin cekung... 33

(15)

xv

Gambar 2.20 Bayangan pembiasan pada permukaan lengkung berbeda

medium... 35

Gambar 2.21 Geometri hubungan posisi bayangan dengan posisi obyek pada pembiasan lengkung tunggal...…... 35

Gambar 2.22 Geometri menentukan perbesaran lateral...………... 37

Gambar 2.23 Pembiasan pada dua permukaan lensa... 39

Gambar 2.24 Letak fokus lensa bikonveks dan bikonkaf... 40

Gambar 2.25 Diagram sinar lensa cembung... 41

Gambar 2.26 Diagram sinar lensa cekung ...…..…… 42

Gambar 2.27 Kerangka Berpikir Penelitian...………. 45

Gambar 4.1 Grafik Indikator Motivasi Belajar Siswa ... 62

Gambar 4.2 Grafik Motivasi Belajar Siswa ... 63

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Silabus ... 75

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1 ... 78

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 2 ... 83

4. Kisi-kisi Angket Motivasi Belajar ... ... 88

5. Angket Motivasi Belajar ... ... 89

6. Kisi-kisi Soal Uji Coba Siklus 1 ... 92

7. Soal Uji Coba Siklus 1 ... 95

8. Kunci Jawaban Soal Uji Coba Siklus 1... 99

9. Analisis Butir Soal Uji Coba Siklus 1 ... 100

10.Contoh Perhitungan Validitas, Daya Pembeda, Taraf Kesuksran, dan Reliabilitas Soal Uji Coba Siklus 1 ... 101

11.Kisi-kisi Soal Uji Coba Siklus 2 ... 106

12.Soal Uji Coba Siklus 2 ... 108

13.Kunci Jawaban Soal Uji Coba Siklus 2... 112

14.Analisis Butir Soal Uji Coba Siklus 2 ... 113

15.Contoh Perhitungan Validitas, Daya Pembeda, Taraf Kesuksran, dan Reliabiltas Soal Uji Coba Siklus 2 ... 114

16.Lembar Observasi Keaktifan Siswa ... 119

17.Kisi-kisi Soal Siklus 1 ... 121

18.Soal Siklus 1 ... 124

19.Kunci Jawaban Soal Siklus 1 ... 128

(17)

xvii

21.Soal Siklus 2 ... 131

22.Kunci Jawaban Soal Siklus 2 ... 134

23.Daftar Nama Siswa Uji Coba Soal ... 135

24.Daftar Nama Siswa Penelitian... ... 136

25.Daftar Nama Kelompok Asal Siklus 1 ... 138

26.Daftar Nama Kelompok Ahli Siklus 1 ... 139

27.Daftar Nama Kelompok Asal Siklus 2 ... 140

28.Daftar Nama Kelompok Ahli Siklus 2 ... 141

29.Rekap Data Motivasi Belajar Siswa Pra Siklus ... 142

30.Rekap Data Motivasi Belajar Siswa Siklus 1 ... 143

31.Rekap Data Motivasi Belajar Siswa Siklus 2 ... 144

32.Uji Gain Indikator Motivasi Belajar Siswa Pra Siklus ke Siklus 1 ... 145

33.Uji Gain Indikator Motivasi Belajar Siswa Siklus 1 ke Siklus 2 ... 146

34.Rekap Data Nilai Prestasi Belajar Siswa Siklus 1 ... 147

35.Rekap Data Nilai Prestasi Belajar Siswa Siklus 2 ... 148

36.Uji Gain Prestasi Belajar Siswa ... 149

37.Rekap Data Observasi Keaktifan Siswa Siklus 1 ... 150

38.Rekap Data Observasi Keaktifan Siswa Siklus 2 ... 151

39.Lembar Observasi Guru Siklus 1 ... 152

40.Lembar Observasi Guru Siklus 2 ... 154

41.Dokumentasi ... 156

42.Surat Penetapan Dosen Pembimbing ... 157

(18)

xviii

(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

MTs NU (Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama) Ungaran merupakan madrasah setingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) yang telah memiliki akreditasi A, namun salah satu kelas di sekolah ini masih memiliki masalah belajar pada mata pelajaran IPA. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru IPA kelas VIIIA MTs NU Ungaran dan observasi terdapat beberapa masalah dalam pembelajaran, yakni: (1) siswa tidak menyiapkan diri sebelum pembelajaran dimulai walaupun materi pelajaran yang akan diajarkan pada pertemuan berikutnya sudah diketahui, (2) aktivitas siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya respons siswa ketika diberikan permasalahan oleh guru, (3) siswa belum memiliki ketertarikan terhadap pembelajaran IPA yang dapat dilihat dari tingkat keaktifan siswa dan tingkat perhatian siswa pada saat pelajaran berlangsung, dan (4) rata-rata hasil ulangan kelas VIIIA hanya mencapai 61,70 dengan 72,50% siswa yang masih mendapat nilai di bawah nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yaitu 68,00.

Keaktifan siswa dan ketertarikan yang masih kurang dalam pembelajaran merupakan salah satu indikator bahwa siswa masih kurang memiliki motivasi belajar. Penelitian yang dilakukan Fyans dan Maerh yang dikutip oleh Siregar dan Nara (2010: 52) menyatakan bahwa diantara tiga faktor, yaitu latar belakang

(20)

keluarga, kondisi atau konteks sekolah, dan motivasi, maka faktor yang terakhir merupakan prediktor yang paling baik untuk prestasi belajar. Menurut Sardiman (2010), dalam motivasi belajar terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap serta perilaku pada individu untuk belajar. Motivasi belajar yang masih rendah harus segera ditingkatkan karena seperti yang diungkapkan di atas bahwa motivasi merupakan prediktor terbaik untuk prestasi belajar.

Untuk meningkatkan motivasi belajar maka proses pembelajaran harus menggunakan model pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran harus dapat memotivasi siswa untuk belajar dan membantu satu sama lain. Pembelajaran harus dapat mengkondisikan kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa dapat berdiskusi dan berdebat mendalami konsep. Pembelajaran seperti ini dapat membuat siswa benar-benar memahami konsep dan membuat siswa saling menjaga dan saling mengambil tanggung jawab satu sama lain. Pembelajaran yang demikian terdapat pada pembelajaran kooperatif.

(21)

Jigsaw II mengutamakan kerjasama kelompok dan diskusi untuk mendapatkan suatu penghargaan (reward). Adanya reward ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk belajar dan memiliki tanggung jawab untuk mampu menerangkan materi kepada temannya sehingga kelompoknya menjadi juara. Dengan model pembelajaran Jigsaw II diharapkan prestasi belajar siswa juga meningkat.

Penelitian mengenai Jigsaw II sebelumnya pernah dilakukan oleh Sahin (2010). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran tipe Jigsaw II lebih efektif dalam hal peningkatan prestasi belajar daripada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran tipe Jigsaw.

Seperti halnya Sahin, penelitian Jigsaw II juga pernah dilakukan oleh Siregar, et al (2010). Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, hasil belajar dan keaktifan siswa mengalami peningkatan dari siklus ke siklus.

Dari uraian di atas peneliti melakukan penelitian mengenai Jigsaw II untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII MTs NU Ungaran”.

1.2

Rumusan Masalah

(22)

1. Apakah melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, motivasi belajar siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran pada mata pelajaran IPA pokok bahasan cahaya meningkat?

2. Jika motivasi belajar siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran pada mata pelajaran IPA mengalami peningkatan melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, apakah prestasi belajar siswa juga meningkat?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan motivasi belajar IPA pokok bahasan cahaya siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.

2. Meningkatkan prestasi belajar IPA pokok bahasan cahaya siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran melalui peningkatan motivasi belajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.

1.4

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Siswa

(23)

2. Guru

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II diharapkan dapat menjadi alternatif bagi guru dalam penyampaian materi IPA pokok bahasan cahaya.

1.5

Penegasan Istilah

Untuk menghindari agar tidak terjadi salah penafsiran istilah dalam penelitian ini dan persoalan yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan semula maka perlu diberi penegasan istilah sebagai berikut:

1.5.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran teman sebaya yang bekerja dengan membagi suatu materi menjadi bagian-bagian yang dibahas dalam beberapa kelompok yang disebut kelompok ahli, materi tersebut kemudian disatukan kembali dalam sebuah kelompok yang disebut kelompok asal. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II diakhiri dengan pemberian reward kepada kelompok asal dengan nilai rata-rata tertinggi.

1.5.2 Motivasi Belajar

Motivasi berasal dari bahasa latin “movere”, yang berarti menggerakkan.

(24)

seseorang untuk belajar. Motivasi belajar dalam penelitian ini merupakan kondisi yang menyebabkan perilaku siswa untuk belajar.

1.5.4 Prestasi Belajar

Menurut Tu‟u (2004: 75), prestasi belajar adalah penguasaan

pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar dalam penelitian ini adalah standar tes untuk mengukur pengetahuan (aspek kognitif) yang dicapai di dalam pembelajaran.

1.6

Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini ada pembatasan masalah bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw IIditerapkan pada pokok bahasan cahaya.

1.7

Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika skripsi ini terdiri dari 3 bagian yaitu : (1) Bagian Awal

Bagian ini terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, motto, persembahan, abstrak, kata pengantar dan daftar isi.

(2) Bagian Isi

Bagian isi terdiri dari 5 bab, yaitu:

(25)

penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, pembatasan masalah dan sistematika skripsi.

b. Bab II Landasan Teori, mencakup teori-teori yang mendukung penelitian.

c. Bab III Metode Penelitian, mencakup hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, meliputi: lokasi penelitian, obyek penelitian, desain penelitian, tehnik pengambilan data, uji coba instrumen penelitian dan metode analisis data.

d. Bab IV Hasil Penelitian, yaitu hasil penelitian yang berupa uraian hasil- hasil penelitian serta pembahasannya.

e. Bab V Kesimpulan dan Saran, mencakup simpulan dari hasil penelitian dan saran yang diambil sehubungan dengan penelitian tersebut.

(3) Bagian Akhir

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II

2.1.1 Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif sering dinamakan “pembelajaran teman sebaya”. Nur dan Wikandari (2000: 25) menjelaskan bahwa pembelajaran

kooperatif mengacu pada metode pengajaran dengan siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Isjoni (2012: 15) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran dengan siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4 sampai 6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran teman sebaya dengan siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-6 siswa agar siswa saling membantu dalam mempelajari sesuatu. Pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif merupakan salah satu cara agar siswa saling berbagi pendapat, berargumentasi, dan mengembangkan berbagai alternatif pandangan dalam upaya pembangunan pengetahuan.

(27)

Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu:

1. Siswa dalam sebuah kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai.

2. Pembagian kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, maupun rendah. Dalam pembagian kelompok, diusahakan anggota kelompok berasal dari budaya dan suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. 3. Adanya penghargaan yang lebih menekankan pada kelompok dari pada

masing-masing individu.

Menurut Siregar dan Nara (2010: 115) pendekatan belajar kooperatif juga menganut lima prinsip utama yaitu:

...Prinsip pertama adalah saling ketergantungan positif yang artinya keberhasilan kelompok merupakan hasil kerja seluruh anggotanya. Prinsip kedua adalah tanggung jawab perseorangan yang muncul ketika seorang anggota kelompok bertugas untuk menyajikan yang terbaik di hadapan guru atau teman sekelasnya. Prinsip ketiga adalah interaksi tatap muka yang merupakan kegiatan membahas suatu masalah bersama, saling mengajarkan jika ada anggota kelompok yang masih bingung. Prinsip keempat adalah komunikasi antar anggota yang merupakan kunci keberhasilan kelompok. Karena pembelajaran ini bergantung pada kesediaan untuk mendengarkan dan kemampuan mengutarakan pendapat. Prinsip terakhir adalah evaluasi proses secara kelompok: setiap anggota harus mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Beberapa konsep yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu: 1. Team reward: tim akan mendapat hadiah bila mereka mencapai kriteria

tertentu yang ditetapkan.

(28)

kegiatan anggota tim dalam membantu belajar satu sama lain dan memastikan bahwa setiap anggota siap untuk kuis atau penilaian lainnya tanpa bantuan teman sekelompoknya.

3. Equal opportunity for success: setiap siswa memberikan kontribusi kepada timnya dengan cara memperbaiki hasil belajarnya sendiri yang terdahulu. Kontribusi dari semua anggota kelompok dinilai.

2.1.2 Jigsaw II

Jigsaw II merupakan pengembangan dari model pembelajaran Jigsaw. Jigsaw II menurut Nur (2005: 64) merupakan suatu model pembelajaran dengan membagi suatu materi menjadi beberapa bagian (section) yang dibahas, kemudian bagian-bagian itu “disatukan“ kembali dalam suatu diskusi pleno. Perbedaan mendasar Jigsaw II dengan Jigsaw terletak pada adanya kompetisi untuk mendapatkan reward.Reward diberikan kepada kelompok asal dengan nilai rata-rata evaluasi tertinggi pada setiap akhir siklus.

Menurut Siregar dan Nara (2010: 116), model Jigsaw II memiliki beberapa tahapan antara lain persiapan, pembelajaran, evaluasi, penghitungan skor, dan penghargaan. Penjelasan tahapan model pembelajaran Jigsaw II sebagai berikut:

(29)

Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II merupakan model pembelajaran teman sebaya yang bekerja dengan membagi suatu materi menjadi bagian-bagian yang dibahas dalam beberapa kelompok yang disebut kelompok ahli. Materi yang telah dibagi tersebut kemudian disatukan kembali dalam sebuah kelompok yang disebut kelompok asal. Pembelajaran tipe Jigsaw II diakhiri dengan pemberian reward kepada kelompok asal dengan nilai rata-rata tertinggi.

2.2

Motivasi Belajar

Motivasi berasal dari bahasa latin “movere”, yang berarti menggerakkan.

Menurut Wlodkowski dalam Siregar dan Nara (2010: 49), motivasi adalah suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbukan perilaku tertentu dan yang memberi arah pada tingkah laku tersebut. Sardiman (2010) menjelaskan tentang motivasi belajar yang merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar dapat tercapai.

(30)

Meskipun motivasi merupakan suatu kekuatan, namun motivasi bukanlah merupakan suatu substansi yang dapat diukur. Untuk dapat mengukur motivasi dapat dilakukan dengan melihat indikator dalam kondisi-kondisi tertentu. Menurut Sudaryono (2012: 127) beberapa indikator motivasi belajar yaitu berusaha unggul, menyelesaikan tugas dengan baik, rasional dalam memilih keberhasilan, menyukai tanggung jawab, dan menerima tanggung jawab pribadi.

2.3

Prestasi Belajar

Prestasi belajar digunakan sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai peserta didik. Prestasi belajar menurut Tu‟u (2004: 75) merupakan

...hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah. Prestasi belajar berbeda dengan motivasi belajar, yang dinilai dari prestasi belajar adalah aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan, pemahaman, sintesa, dan evaluasi.

(31)

2.4

Kajian Materi

2.4.1 Kelajuan Cahaya

Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elekromagnetik yang kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380–750 nm. Pada tahun 1860 James Clerk Maxwell menyatakan teori matematika tentang gelombang elektromagnetik dengan cepat rambat gelombang elektromagnetik sama dengan cepat rambat cahaya yaitu 3 × 108 m/s, oleh karena itu Maxwell berkesimpulan bahwa cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.

Upaya mengukur kelajuan cahaya dimulai oleh Galileo. Galileo mencoba menghitung kecepatan cahaya dengan bantuan dari pembantunya, yang disuruh berdiri di sebuah puncak bukit dan galileo akan berdiri di puncak bukit yang lain. Galileo akan mencoba mengedipkan lentera dan pembantunya akan mencoba menghitung selisih waktu yang dibutuhkan sebelum pembantu diseberang melihat kedipan cahaya itu dan merespon dengan menghidupkan lampunya. Usaha tersebut tentu saja gagal, karena kecepatan cahaya yang sangat besar sehingga perlu jarak yang sangat besar pula untuk menghitungnya.

(32)

kecepatan cahaya atau waktu yang dibutuhkan antara bayangan obyek (Jupiter dan Io) untuk sampai ke mata (Bumi). Dari perhitungan ini Roemer mendapat angka sekitar 300.000 km/detik.

Pengukuran nonastronomi pertama dilakukan oleh Fizeau tahun 1849. Metode Fizeau kemudian diperbaiki oleh Faucault tahun 1850 yang bereksperimen menggunakan cermin rotasi untuk mengukur kelajuan cahaya di udara dan di air.

Pengukuran dengan cara lain dilakukan oleh Michelson, dia melakukan percobaan-percobaan dari tahun 1877 hingga tahun 1926 untuk menyempurnakan metode yang digunakan Foucault dengan penggunaan cermin rotasi untuk mengukur waktu yang dibutuhkan cahaya pada 2 kali jarak tempuh antara Gunung Wilson dan Gunung San Antonio, di California. Hasil pengukuran menunjukkan 299.796.000 meter/detik yang kemudian biasa dibulatkan menjadi 3 × 108 m/s. 2.4.2 Pemantulan

(33)

Gambar 2.1 Hukum pemantulan (Tipler, 2001)

Gambar 2.1 memperlihatkan sebuah sinar yang mengenai sebuah permukaan udara kaca yang mulus. Sudut i antara sinar datang garis normal (garis yang tegak lurus permukaan) disebut sudut datang, bidang yang dibatasi oleh dua garis ini disebut bidang datang. Sinar dipantulkan terletak di bidang datang tersebut dan membentuk sudut r dengan garis normal yang sama dengan sudut datang seperti ditunjukkkan pada gambar. Hasil ini disebut dengan hukum pemantulan. Hukum ini berlaku untuk semua jenis gelombang.

Laju cahaya di dalam medium seperti misalnya kaca, air, atau udara ditentukan oleh oleh indeks bias (n), yang didefinisikan sebagai perbandingan laju cahaya dalam ruang hampa (c) terhadap laju tersebut dalam medium (v).

= 2.1

Pada kasus khusus saat sudut datang garis normal (i = r = 0˚), intensitas

yang dipantulkan adalah

�= 1 − 2

1 + 2 2

�0 2.2

dengan �0 adalah intensitas datang 1 dan 2 adalah indeks bias dari kedua media. i

Udara

Kaca

(34)

Gambar 2.2 Pemantulan pada cermin (Tipler, 2001)

Gambar 2.2 memperlihatkan sebuah berkas kumpulan sempit sinar cahaya datar sebuah sumber titik P yang dipantulkan dari sebuah permukaan datar. Sesudah pemantulan, sinar-sinar tersebut menyebar secara tepat seolah-olah sinar-sinar tersebut datang dari titik P’ di belakang permukaan cermin. Titik P’ disebut bayangan dari titik P. Ketika sinar-sinar memasuki mata, mereka tidak bisa dibedakan dari sinar-sinar yang menyebar dari sebuah sumber pada P’ seakan-akan tidak ada permukaan yang memantulkannya.

Pemantulan dari permukaan licin disebut pemantulan spekuler (cermin). Pemantulan spekuler tersebut berbeda dengan pemantulan difusi (menyebar) yang diilustrasikan gambar 2.3. Pemantulan baur terjadi pada permukaan yang kasar, sinar-sinar memasuki mata sesudah memantul dari berbagai titik berbeda pada permukaan, sehingga tidak ada bayangan.

Gambar 2.3 Pemantulan baur (Tipler, 2001)

Bidang pantul

P‟

P Mata

(35)

Hukum pemantulan dapat diturunkan dari prinsip Huygens. Gambar 2.4

memperlihatkan bidang gelombang datar AA’ yang mengenai sebuah cermin pada

titik A. Seperti yang terlihat dari gambar, sudut ∅1 antara bidang gelombang

dengan cermin adalah sama dengan sudut datang �1, yang merupakan sudut antara

yang tegak lurus cermin dan sinar-sinar yang tegak lurus terhadap bidang-bidang

gelombang tersebut. Menurut prinsip Huygens, setiap titik pada bidang

gelombang yang diberikan dapat dianggap sebagai titik dari anak gelombang

sekunder. Posisi pada bidang gelombang sesudah waktu t ditemukan dengan

membangun anak gelombang (gelombang-gelombang kecil) dengan radius ct

dengan pusatnya pada bidang gelombang AA’. Gelombang-gelombang kecil yang

tidak mengenai cermin membentuk bagian gelombang baru BB’.

Gelombang-gelombang kecil yang tidak mengenai cermin dipantulkan dan membentuk bagian

bidang-bidang BB’. Dengan kontruksi yang serupa, bidang gelombang C”CC’

didapatkan dari gelombang-gelombang kecil Huygens yang berasal dari bidang

gelombang B”BB’. Gambar 2.4 adalah pembesaran dari sebagian gambar 2.3 yang

menunjukkan bagian orisinil bidang gelombang AP yang mengenai cermin selama

waktu t. Pada saat ini, gelombang kecil dari titik P mencapai cermin pada titik B,

dan gelombang-gelombang kecil dari titik A mencapai titik B”. Gelombang yang

(36)

sudut � antara sinar-sinar yang dipantulkan dan garis normal terhadap cermin.

Segitiga-segitiga ABP dan BAB” dua-duanya adalah segitiga siku-siku dengan

sudut AB dan sisi-sisi yang sama AB”=BP=ct. Jadi segitiga-segitiga ini sebangun,

dan sudut ∅1 dan ∅ sama, menyiratkan bahwa sudut pantul � menyamai sudut

datang �1.

Gambar 2.4 Gelombang datar yang dipantulkan pada cermin datar (Tipler, 2001)

2.4.3 Pembiasan

Pembiasan adalah pembelokan atau perubahan arah rambat cahaya ketika melalui bidang batas dua medium yang berbeda kerapatannya.

Gambar 2.5 Pembiasan cahaya (Tipler, 2001) i

i’

Udara Kaca

r

∅1

�1

A B C

B’’

C’’ B’

(37)

Gelombang yang ditransmisikan adalah gelombang hasil interferensi dari gelombang-gelombang datang dan gelombang yang dihasilkan oleh penyerapan dan radiasi ulang energi cahaya oleh atom-atom dalam medium tersebut. Untuk kasus gambar 2.5, ada sebagian ketertinggalan fase antara gelombang yang diradiasikan kembali dan gelombang datang. Demikian juga ada ketertinggalan fase antara gelombang hasil dan gelombang datang. Ketertinggalan ini berarti bahwa posisi puncak gelombang dari gelombang yang dilewatkan diperlambat relatif terhadap posisi puncak gelombang dari gelombang datangdi dalam medium tersebut. Jadi kecepatan gelombang yang dilewatkan lebih kecil dari kecepatan gelombang datang. Indeks bias adalah perbandingan laju cahaya di ruang hampa terhadap laju cahaya di dalam medium, besarnya selalu lebih dari satu. Sebagai contoh laju cahaya di dalam kaca kira-kira dua pertiga dari laju cahaya diruang bebas, jadi indeks bias kaca kira-kira n = c/v = 3/2.

Karena frekuensi cahaya di medium kedua sama dengan frekuensi atang atom-atom menyerap dan meradiasi ulang cahaya tersebut pada frekuensi yang sama tetapi laju gelombang berbeda maka panjang gelombang yang ditransmisikan berbeda dari panjang gelombang cahaya datang. Jika � adalah panjang gelombang cahaya di ruang hampa, panjang gelombang di dalam medium �′ dengan indeks bias n adalah

(38)

Gambar 2.6 Pembiasan dari medium rapat ke kurang rapat (Tipler, 2001)

Gambar 2.6 menunjukkan cahaya yang mengenai sebuah udara kaca yang rata. Sudut i’ disebut sudut bias. Dari gambar dapat dilihat bahwa sudut bias lebih kecil dari sudut datang i. Jadi, sinar dibelokkan mendekati garis normal. Namun jika berkas cahaya datang dari dalam kaca dan dibiaskan ke udara maka sudut bias lebih besar dari sudut datang atau sinar dibelokkan menjauhi garis normal.

Gambar 2.7 Penerapan prinsip Huygens (Tipler, 2001)

Untuk menghubungkan sudut bias i’ dengan indeks bias dua media 1 dan 2 dan dengan sudut datang i dapat digunakan prinsip Huygens. Gambar 2.7 menunjukkan sebuah gelombang datar yang mengenai permukaan udara kaca. Kita menerapkan prinsip Huygens untuk menemukan bidang gelombang dari gelombang yang ditransmisikan. Garis AP menunjukkan sebagian bidang

i Udara

Kaca

r

i’

∅1

∅2

�1

�1

1

(39)

gelombang dalam medium 1 yang mengenai permukaan kaca dengan sudut datang �1. Pada waktu t anak gelombang dari P menempuh jarak 1t dan mencapai titik B

pada garis AB yang memisahkan kedua medium, anak gelombang (gelombang kecil) dari titik A menempuh jarak lebih pendek 2t menuju medium kedua. Bidang gelombang baru BB’ tidak sejajar dengan bidang gelombang asal AP

disebabkan laju 1 dan 2 berbeda. Dari segitiga APB,

sin�1 = 1

atau

= 1

sin�1

= 1

sin�1

dengan melihat kenyataan bahwa sudut �1 sama dengan sudut �1. Dengan cara serupa, dari segitiga AB’B,

sin�2 = 2

atau

= 2

sin�2 = 2 sin�2

dengan �1 = �2 adalah sudut bias. Dengan menyamakan kedua nilai untuk AB, didapatkan

�1 1

= �2

2

2.4

dengan mensubtitusi 1 = 1 dan 2 = 2 pada persamaan ini dan

mengalikannya dengan c, didapatkan

(40)

Hasil ini ditemukan secara eksperimental oleh Willebord Snell pada tahun 1621 yang kemudian dikenal sebagai hukum Snellius atau hukum pembiasan.

2.4.4 Prinsip Fermat

Perambatan cahaya juga dapat dijelaskan melalui prinsip yang dinyatakan oleh Pierre de Fermat pada abad ke-17 yang menyatakan bahwa lintasan yang dilalui oleh cahaya untuk merembat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanannya minimum. Namun pernyataan ini tidak mencakup semua kasus. Waktu yang dilalui kadang maksimum. Prinsip Fermat yang lebih lengkap adalah lintasan yang dilalui cahaya untuk merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanan itu tidak berubah sehubungan dengan variasi-variasi dalam lintasan tersebut. Ciri-ciri penting dari sebuah lintasan yang tidak berubah adalah bahwa waktu yang diperlukan sepanjang lintasan-lintasan terdekat akan kira-kira sama seperti sepanjang lintasan yang sebenarnya.

(41)

2.4.4.1 Pemantulan

Gambar 2.8 Geometri penurunan hukum pemantulan dengan prinsip Fermat (Tipler, 2001)

Gambar 2.8 mengasumsikan bahwa cahaya meninggalkan titik A, mengenai sebuah cermin, dan menuju titik B. Problem prinsip Fermat untuk pemantulan adalah pada titik manakah P pada Gambar 2.8 cahaya harus mengenai cermin dengan waktu tersingkat dari titik A ke titik B. Karena cahaya melalui medium yang sama maka waktu akan minimum jika jaraknya minimum.

Pada Gambar 2.8 jarak APB sama dengan jarak A’PB, dengan A’ adalah bayangan dari suber A. Titik A’ terletak sepanjang tegak lurus dari A ke cermin dan sama jauhnya di belakang cermin. Jelas bahwa jika kita mengubah titik P, jarak A’PB adalah paling pendek jika titik A’, P, dan B terletak pada sebuah garis lurus. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 2.8 ketika sudut datang sama dengan sudut pantul.

A

B

A

A

B

(42)

2.4.4.2 Pembiasan

Gambar 2.9 Pembiasan dari prinsip Fermat (Tipler, 2001)

Gambar 2.9 memperlihatkan lintasan-lintasan yang mungkin dilalui cahaya dari titik A di udara menuju titik B di dalam kaca. Titik �1 berada pada garis lurus antara A dan B, tetapi lintasan ini bukan satu-satunya waktu perjalanan tersingkat karena cahaya melaju dengan kecepatan lebih kecil di dalam kaca. Jika dilihat pada bagian kanan �1, panjang lintasan total lebih besar, namun jarak yang dilalui di dalam medium yang lebih lambat memiliki lintasan lebih sedikit daripada �1. Jelas bahwa lintasan yang sedikit ke kanan dari lintasan garis lurus memerlukan waktu yang lebih sedikit karena waktu yang didapat melelui jarak yang lebih pendek di dalam kaca daripada kehilangan waktu melewati jarak yang lebih panjang di udara.

Ketika titik perpotongan lintasan digerakkan ke kanan titik �1, waktu yang diperlukan untuk melalui dari A ke B berkurang sehingga dicapai minimum pada titik � . Di luar titik ini, waktu yang dihemat dengan melalui jarak yang lebih pendek di dalam kaca bukan pengganti bagi waktu yang lebih besar yang dibutuhkan untuk jarak yang lebih besar yang dilalui di udara.

B A

(43)

Gambar 2.10 Geometri pembiasan prinsip Fermat (Tipler, 2001)

Gambar 2.10 menunjukkan geometri untuk menentukan lintasan dengan waktu tersingkat. Jika 1 adalah jarak yang dilalui di medium 1 dengan indeks bias 1 dan 2 adalah jarak yang dilalui di medium 2 dengan indeks bias 2, waktu bagi cahaya melalui lintasan total AB adalah

= 1

1

+ 2

2

= 1

1

+ 2

2

= 1 1+ 2 2 2.6

Untuk menemukan � dilakukan dengan mengekspresikan waktu sehubungan dengan parameter tunggal yang menunjukkan posisi titik � . Dilihat dari jarak pada gambar 2.13, didapatkan

12 = 2 + 2 dan 22 = 2+ − 2 2.7

a

b d

( − ) 1

2 � �1

�2

A

(44)

Gambar 2.11 Grafik waktu yang ditempuh cahaya dari A ke B (Tipler, 2001)

Gambar 2.11 menunjukkan waktu sebagai fungsi . Pada nilai dengan waktu minimum, kemiringan grafik ini adalah nol.

= 0

dengan mendiferensiasikan masing-masing bagian di dalam persamaan 2.6 terhadap didapatkan

=1 1

1

+ 2

2

dengan mengganti = 0, didapatkan

1 1

+ 2 2 = 0 2.8

penurunan-penurunan ini dapat dihitung dari persamaan 2.7, didapatkan

2 1

1 = 2

atau

t

A

(45)

1 =

1

namun

1 , adalah sin�1 dengan �1 adalah sudut datang, jadi 1

= sin�1

dengan cara serupa, didapatkan

2 2

2

= 2 − −1

atau

2

= −

2

=−sin�2

dengan �2 adalah sudut bias. Jadi persamaan 2.8 menjadi

1sin�1+ 2(−sin�2) = 0

atau

1sin�1 = 2sin�2

yang merupakan hukum Snellius. 2.4.5 Cermin Datar

(46)

memancar darinya. Titik bayangan P’ dan titik P memiliki jarak yang sama secara tegak lurus dengan bidang kaca dari bidang ke objek tersebut.

Gambar 2.12 Pembentukan bayangan oleh cermin datar (Tipler, 2001) Cermin datar memiliki sifat pembalikan kanan-kiri yang merupakan akibat dari pembalikan kedalaman. Bayangan sistem koordinat segiempat sederhana yang memiliki sumbu dan -nya sejajar bidang cermin ditunjukkan pada Gambar 2.13. bayangan-bayangan dari anak panah sepanjang sumbu dan sejajar dengan anak panah obyek tersebut, tetapi bayangan sumbu berhadapan langsung terhadap anak panah obyek sepanjang sumbu . Cermin mengubah sistem koordinat tangan kanan untuk i × j = k, dengan i, j,dan k adalah masing-masing vektor satuan sepanjang sumbu-sumbu , , , menjadi sistem koordinat tangan kiri dengan i × j = -k.

P’

P Mata

(47)

Gambar 2.13 Bayangan sistem koordinat di cermin datar (Tipler, 2001)

Gambar 2.14 menunjukkan sebuah anak panah dengan tinggi berdiri sejajar bidang cermin deengan jarak dari cermin. Bayangan dapat ditentukan dengan menggambar dua buah sinar, satu sinar digambar tegak lurus cermin. Sinar tersebut mengenai cermin pada titik dan dipantulkan kembali ke dirinya dan sinar yang lain mengenai cermin. Sinar tersebut dipantulkan dengan sudut � yang sama dengan sumbu . Perpanjangan sinar ini menentukan letak bayangan ujung anak panah dengan jarak bayangan yang sama di belakang cermin seperti obyeknya di depan cermin.

Gambar 2.14 Diagram sinar untuk menentukan bayangan cermin datar (Tipler, 2001)

y

s

Cermin

s’

y’

� �

A

(48)

2.4.6 Cermin Melengkung

Gambar 2.15 menunjukkan kumpulan sinar dari sebuah sumber titik � pada sumbu sebuah cermin cekung yang memantul dari cermin tersebut dan mengumpul pada titik �′. Sinar-sinar tersebut kemudian menyebar dari titik ini seolah-olah ada obyek pada titik tersebut. Bayangan ini disebut bayangan nyata karena cahaya memang betul-betul memancar dari titik bayangan tersebut. Bayangan tersebut dapat diamati melalui layar atau film yang diletakkan pada titik bayangan. Sedangkan sebuah bayangan maya seperti yang dihasilkan cermin datar tak dapat ditangkap layar karena tak ada cahaya disana. Meskipun ada beda bayangan nyata dan maya, bayangan akan terlihat sama oleh mata.

Gambar 2.15 Sinar dari sebuah obyek P yang dipantulkan oleh cermin cekung (Tipler, 2001)

Gambar 2.16 menunjukkan sebuah sinar dari titik objek � yang memantul pada cermin cekung dan melalui titik bayangan �′. Titik adalah pusat kelengkungan cermin.

Gambar 2.16 Geometri untuk menghitung jarak bayangan (Tipler, 2001) P

P

A V

� �

(49)

Sinar-sinar yang datang dan yang dipantulkan membentuk sudut-sudut yang sama dengan garis radial yang tegak lurus permukaan cermin. adalah jarak obyek dengan cermin dan ′ adalah jarak bayangan dengan cermin, dan adalah jari-jari kelengkungan cermin. Sudut � adalah sudut luar segitiga � sehingga sama dengan +�.

= +� 2.9

Demikian juga dari segitiga � �′

= + 2� 2.10

Dengan menghilangkan � dari persamaan-persamaan tersebut, maka

2� = − = 2 −2 2.11

atau

2 = + 2.12

Dengan memakai pendekatan = , = , dan =

′ ,

1

+ 1

′= 2

2.13

Penurunan rumus ini didasarkan pada anggapan bahwa sudut-sudut yang dibuat oleh sinar-sinar datang dan sinar-sinar yang dipantulkan dengan sumbu-sumbu tersebut adalah kecil.

Saat jarak obyek adalah lebih besar dari jari-jari kelengkungan cermin

maka suku 1 pada persamaan 2.13 menjadi lebih kecil dari 1

2 dan dapat diabaikan. Untuk =∞, jarak bayangan adalah =1

(50)

=

2 2.14

Dengan menggunakan panjang fokus, persamaan cermin tersebut menjadi 1

+ 1

′= 1

2.15

Untuk menentukan letak bayangan dapat dicari dengan menggunakan diagram sinar. Ada empat sinar utama yang dapat digunakan yaitu:

A. Sinar sejajar, digambar sejajar dengan sumbu utama cermin. Sinar ini dipantulkan melalui titik fokus cermin.

B. Sinar fokus, digambar melalui titik fokus cermin. Sinar ini dipantulkan sejajar sumbu utama cermin.

C. Sinar radial, digambar melalui pusat kelengkungan cermin. Sinar ini mengenai cermin tegak lurus permukaannya dan kemudian dipantulkan kembali pada pusat kelengkungan cermin.

D. Sinar pusat, digambar pada verteks cermin tersebut. Sinar ini memantul dengan sudut yang sama terhadap sumbu utama.

Gambar 2.17 Diagram sinar untuk cermin cekung (Tipler, 2001)

Gambar 2.17 menunjukkan bahwa bayangan yang dihasilkan tersebut dibalik dan memiliki ukuran yang tidak sama dengan obyeknya. Perbandingan antara ukuran bayangan terhadap ukuran obyek didefinisikan sebagai perbesaran

A

B

F M

C

� � ′

(51)

lateral dari bayangan tersebut. Sebuah perbandingan dari segitiga yag dibentuk sinar datang, sumbu utama, dan obyek dengan segitiga yang dibentuk oleh sinar pantul, sumbu utama, dan bayangannya menunjukkan bahwa perbesaran lateral

′ sama dengan perbandingan ′ .

Saat sebuah obyek berada di antara cermin dan titik fokusnya, sinar-sinar yang dipantulkan dari cermin tersebut tidak mengumpul namun kelihatan menyebar dari sebuah titik di belakang cermin. Bayangan yag dibentuk dalam hal ini adalah maya dan tegak seperti yang diilustrasikan Gambar 2.18.

Gambar 2.18 Bayangan maya yang dibentuk oleh cermin cekung (Tipler, 2001)

Untuk kasus kurang dari 1

2 , sehingga jarak bayangan ′ menjadi bernilai negatif. Baik cermin cekung maupun cembung bayangan nyata hanya terbentuk di sisi-sisi yang sama dengan obyek. Bayangan maya terbentuk dibelakang cermin tanpa ada berkas cahaya. Berikut adalah konvensi tanda,

- bertanda (+) jika obyek berada di depan cermin (obyek nyata) - bertanda ( - ) jika obyek berada di belakang cermin (obyek maya) - ′ bertanda (+) jika bayangan berada di depan cermin (obyek nyata) - ′ bertanda ( - ) jika bayangan berada di belakang cermin (obyek maya) - , bertanda (+) jika pusat kelengkungan dan fokus berada di depan cermin

(cermin cekung)

M F

(52)

- , bertanda ( - ) jika pusat kelengkungan dan fokus berada di belakang cermin (cermin cembung)

Perbesaran bayangan lateral dirumuskan dengan,

= ′= ′ 2.16

Selain cermin yang melengkung ke dalam, adapula cermin yang melengkung keluar yang disebut sebagai cermin cembung. Cermin cembung merupakan cermin yang memiliki bagian pemantul cahaya yang melengkung keluar. Cermin cembung bersifat menyebarkan cahaya. Gambar 2.19 menunjukkan diagram sinar untuk sebuah obyek di depan cermin cembung. Sinar yang menuju pusat kelengkungan cermin C dipantulkan kembali ke dirinya sendiri. Sinar sejajar sumbu utama A dipantulkan seolah-olah berasal dari titik fokus F yang berada di belakang cermin. Sinar yang menuju titik fokus cermin B

dipantulkan sejajar sumbu utama cermin. Dari gambar tersebut terlihat bahwa bayangan berada di belakang cermin yang berarti maya. Sifat bayangan yang terbentuk adalah maya, tegak, dan lebih kecil dari obyeknya.

Gambar 2.19 Diagram sinar cermin cembung (Tipler, 2001)

C

A

B

M F

y

(53)

2.4.7 Pembentukan Bayangan Melalui Pembiasan

Pembentukan bayangan oleh pembiasan pada permukaan melengkung yang memisahkan dua medium dengan indeks bias 1 dan 2 diilustrasikan pada Gambar 2.20. pada gambar ini 2 lebih besar dari 1 sehingga gelombang-gelombang berjalan lebih lambat di medium kedua dan hanya sinar-sinar paraksial yang mengumpul ke satu titik. Sebuah persamaan yang menghubungkan jarak bayangan ke jarak obyek, jari-jari kelengkungan, dan indeks bias dapat diturunkan dengan menerapkan hukum Snellius untuk pembiasan pada sinar-sinar ini dan memakai pendekatan sudut kecil.

Gambar 2.20 Bayangan pembiasan pada permukaan lengkung berbeda medium (Tipler, 2001)

Geometri penurunan ini ditunjukkan pada gambar 2.21. sudut-sudut �1 dan �2 dihubungkan oleh hukum Snellius.

Gambar 2.21 Geometri hubungan posisi bayangan dengan posisi obyek pada pembiasan lengkung tunggal (Tipler, 2001)

1sin�1 = 2sin�2

�1 �2

1 2

� �′

�1 �2

1 2

(54)

dengan memakai pendekatan sudut kecil sin� =� didapatkan

1�1 = 2�2 2.17

dari segitiga ACP’ didapatkan

= �2 + =

1

2�1

+ 2.18

hubungan lain untuk �1dari segitiga PAC :

�1 = + 2.19

dengan menghilangkan �1 dari persamaan 2.18 dan 2.19 didapatkan

1 + 1 + 2 = 2

atau

1 + 2 = 2− 1 2.20

dengan memakai pendekatan sudut-sudut kecil = , = , =

′, didapatkan

1

+ 2

′ =

2− 1

Pada pembiasan, bayangan nyata dibentuk di belakang permukaan yang disebut sebagai sisi transmisi. Sedangkan bayangan maya terjadi pada sisi datang di depan permukaan. Berikut adalah konvensi tanda pada pembiasan,

- bertanda (+) (obyek nyata) untuk obyek di depan permukaan (sisi datang) - bertanda (-) (obyek maya) untuk obyek berada di belakang permukaan (sisi

transmisi)

- ′ bertanda (+) (bayangan nyata) untuk bayangan berada di belakang permukaan (sisi transmisi)

(55)

- , bertanda (+) jika pusat kelengkungan dan fokus berada di belakang permukaan (sisi transmisi)

- , bertanda ( - ) jika pusat kelengkungan dan fokus berada di depan permukaan (sisi datang)

Gambar 2.22 menunjukkan sebuah sinar dari puncak obyek ke puncak bayangan. Sinar tersebut dibelokkan mendekati garis normal saat melewati permukaan tersebut, sehingga �2 kurang dari �1. Sudut-sudut ini dihubungkan menggunakan hukum Snellius.

1sin�1 = 2sin�2

Gambar 2.22 Geometri menentukan perbesaran lateral (Tipler, 2001)

Ukuran obyek dan bayangan dihubungkan dengan sudut menjadi,

tan�1 =

tan�2 = ′ ′

tanda (-) muncul karena ′ negatif. Dengan hanya memperhatikan sinar-sinar paraksial dengan sudut kecil, sinus dari sudut kecil sama dengan tangen dari sudut kecil itu. Dengan pendekatan ini hukum Snellius menjadi

1 = 2 − ′

sehingga perbesarannya menjadi

�1

�2 ′

(56)

= ′=− 1 ′ 2

2.21

2.4.8 Lensa Tipis

Lensa adalah benda transparan (bening) yang dibatasi dengan dua permukaan lengkung. Lensa tipis dicirikan sebagai lensa yang ketebalannya dianggap kecil bila dibandingkan dengan jarak-jarak yang berhubungan dengan sifat-sifat lensa seperti jari-jari kelengkungan permukaan lensa, panjang fokus pertama dan panjang fokus kedua, jarak benda dan jarak bayangan. Ketebalan lensa tipis dapat diabaikan.

Sebuah lensa dianggap sangat tipis berindeks bias dengan udara pada kedua sisinya, memiliki jari-jari kelengkungan lensa 1 dan 2. Jika sebuah obyek berada pada jarak dari permukaan pertama lensa, maka jarak bayangan 1′ yang disebabkan pembiasan pada permukaan pertama. Ditentukan dengan persamaan 2.22:

1 +

′1 = − 1

1

2.22

(57)

depan permukaan adalah positif dan bayangan adalah negatif, maka jarak obyek untuk permukaan kedua adalah 2 = − ′1. Persamaan 2.22 kemudian dituliskan untuk permukaan kedua dengan 1 = , = 1, dan = − ′1. Jarak bayangan untuk permukaan kedua adalah jarak bayangan akhir ′ bagi lensa tersebut.

− ′1 +

=

1−

2

2.23

Dengan menghilangkan jarak bayangan untuk permukaan pertama ′1 dengan menambahkan persamaan 2.22 dan 2.23 didapatkan

1

+1

= ( −1) 1

1− 1

2

2.24

Dengan menganggap adalah tak hingga dan ′ adalah didapatkan 1

= ( −1) 1

1− 1

2

2.25

Persamaan 2.25 disebut sebagai persamaan pembentukan lensa. Dengan

mensubstitusikan 1 ke sisi kanan persamaan 2.24 didapatkan persamaan lensa tipis

yaitu: 1 +1 = 1 2.26

Gambar 2.23 Pembiasan pada dua permukaan lensa (Tipler, 2001)

s’

s

2

′2

P P’

(58)

2.4.8.1 Titik Fokus dan Panjang Fokus

Gambar 2.24 Letak fokus lensa bikonveks dan bikonkaf (Giancolli)

Gambar 2.24 menunjukkan pembiasan cahaya oleh lensa bikonveks dan bikonkaf. Sumbu utama pada lensa yaitu berupa garis lurus yang melewati pusat lensa dan tegak lurus dengan permukaan lensa.

Titik fokus pertama F adalah suatu titik yang memiliki sifat bahwa semua sinar yang berasal darinya atau yang menuju titik itu akan sejajar dengan sumbu utama setelah mengalami pembiasan.

Setiap lensa tipis di udara memiliki dua titik fokus, satu di sisi masing-masing, dan memiliki jarak yang sama dari pusat lensa. Titik fokus kedua F‟

adalah titik tempat berkas sinar-sinar sejajar sumbu utama bertemu setelah dibiaskan atau titik yang seolah-olah sinar-sinar sejajar sumbu utama berasal dari pembiasan oleh lensa.

Fokus pertama Fokus pertama

Fokus

(59)

Untuk lensa positif, titik fokus utama berada pada sisi datang dan titik fokus kedua berada pada titik transmisi. Bidang fokus adalah bidang pada titik fokus yang tegak lurus dengan sumbu utama.

Panjang fokus merupakan jarak antara titik fokus sampai pusat lingkaran. Jarak fokus ini disimbolkan f dan f’, biasanya diukur dalam cm dan inchi, bernilai positif untuk lensa konvergen dan bernilai negatif untuk lensa divergen. Untuk lensa yang kedua medium permukaannya sama maka berlaku :

f = f’

2.4.8.2 Diagram-diagram Sinar untuk Lensa

Gambar 2.25 Diagram sinar lensa cembung (Giancolli)

Diagram-diagram sinar lensa cembung diilustrasikan seperti Gambar 2.25. 1. Sinar sejajar,yang digambarkan sejajar dengan sumbu utama, sinar ini akan

dibiaskan melalui titik fokus kedua F2.

2. Sinar pusat, yang digambar melalui pusat lensa akan diteruskan/tidak dibiaskan.

3. Sinar fokus, yang digambar melalui titik fokus pertama F1 akan dibiaskan sejajar sumbu utama.

Hasil perpotongan sinar-sinar bias tersebut membentuk satu titik ujung bayangan.

F2 F1

1

2 3 y

(60)

Gambar 2.26 Diagram sinar lensa cekung (Giancolli)

Untuk diagram-diagram sinar pada lensa cekung diilustrasikan seperti Gambar 2.26.

1. Sinar sejajar, yang digambar sejajar sumbu utama, sinar ini menyebar dari lensa seolah-olah berasal dari titik F2.

2. Sinar pusat, yang digambar melalui pusat lensa,sinar ini tidak bibiaskan. 3. Sinar fokus, yang digambar menuju titik F1, sinar ini memancar sejajar

sumbu utama.

2.4.8.3 Kekuatan Lensa

Kekutan lensa tipis dinyatakan dalam dioptri dan berbanding terbalik dangan panjang fokus dalam meter. :

�=� � = �

� � ( )

Lensa dengan jarak titik fokus kecil akan memberikan sudut bias yang besar atau dengan kata lain memiliki kekuatan yang besar. Sebaliknya lensa

(61)

dengan jarak titik fokus besar akan memberikan sudut bias yang kecil atau dengan kata lain memiliki kekuatan yang kecil.

2.5

Kerangka Berpikir

Motivasi belajar, pembelajaran, dan prestasi belajar memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam proses pendidikan. Motivasi merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbukan perilaku tertentu dan yang memberi arah pada tingkah laku tersebut, sedangkan pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Suatu pembelajaran dapat dikatakan baik atau tidak, dapat dilihat dari prestasi belajar.

Menurut Slameto (2008), motivasi belajar merupakan salah satu faktor dari dalam siswa yang mempengaruhi prestasi belajar. Sedangkan pada penelitian Fyans dan Maerh yang dikutip oleh Siregar dan Nara (2010) didapatkan hasil bahwa motivasi merupakan prediktor terbaik prestasi belajar jika dibandingkan dengan latar belakang dan kondisi sekolah.

Motivasi belajar juga mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sardiman (2010) mengungkapkan bahwa motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar atau keaktifan siswa.

(62)

mengindikasikan kurangnya motivasi belajar siswa, selanjutnya perlu diberikan cara belajar lain menggunakan model pendekatan kooperatif.

(63)

Gambar 2.27 Kerangka Berpikir Penelitian

2.6

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pikir maka dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II maka motivasi belajar siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran pada mata pelajaran IPA dapat meningkat. Sejalan dengan meningkatnya motivasi belajar maka prestasi belajar juga mengalami peningkatan.

Tujuan Tercapai OBSERVASI

Masalah Belajar:

1. Motivasi belajar masih rendah 2. Prestasi belajar masih rendah.

Teori motivasi Slameto mengatakan bahwa motivasi merupakan suatu kondisi yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu.

Pada penelitian Fyans dan Maerh disimpulkan, motivasi merupakan prediktor terbaik prestasi

belajar”

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II Motivasi Belajar

Meningkat

(64)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian

Pada penelitian ini digunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus yang setiap siklusnya terdiri dari dua kali pertemuan, pada setiap akhir siklus diadakan evaluasi dan dilakukan penskoran untuk mengetahui kelompok yang mendapatkan reward.

3.2

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada 23 Agustus 2012 sampai 10 September 2012. Tempat pelaksanaan penelitian adalah MTs NU Ungaran.

3.3

Subjek Penelitian

Subjek yang diteliti pada penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA MTs NU Ungaran tahun ajaran 2012/2013 dengan jumlah responden sebanyak 40 siswa.

3.4

Faktor yang diteliti

Faktor yang diteliti dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu:

1. Peningkatan motivasi belajar siswa yang diteliti menggunakan angket respon siswa.

(65)

2. Prestasi belajar siswa yang dilihat dari nilai tes evaluasi.

3.5

Prosedur Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus, namun jika pada siklus kedua belum mengalami peningkatan maka dilakukan siklus ketiga dengan koreksi pada siklus kedua. Tiap siklus terdiri atas empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan/observasi, dan refleksi (Arikunto, et al., 2009: 16).

3.5.1 Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan observasi awal dengan rincian seperti berikut, a) Mengidentifikasi masalah yang dihadapi siswa dan guru. Identifikasi

dilakukan dengan melihat nilai ulangan harian siswa, wawancara terhadap guru IPA tentang metode yang sering digunakan dalam pembelajaran serta wawancara terhadap beberapa siswa sebagai sampel tentang pembelajaran IPA selama ini.

b) Menyusun instrumen penelitian meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), angket motivasi belajar, tes evaluasi, lembar observasi, daftar kelompok asal, dan daftar kelompok ahli.

c) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pelaksanaan. 3.5.2 Pelaksanaan Tindakan

(66)

pembagian kelompok, dan membimbing diskusi siswa. Pada saat pelaksanaan proses pembelajaran, observer melakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa. Sedangkan di setiap akhir siklus, guru memberikan tes untuk mengetahui hasil belajar kognitif siswa, menjumlahkan nilai yang diperoleh siswa, dan memberikan

reward kepada tim dengan nilai tertinggi. Tes yang diberikan berbentuk tes pilihan ganda.

3.5.3 Pengamatan

Untuk dapat mengetahui jalannya pelaksanaan pembelajaran maka dilakukan pengamatan/observasi terhadap siswa dan guru. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas siswa dan guru pada saat berlangsungnya pembelajaran. Adapun aspek yang diamati pada siswa antara lain:

a) Mendengarkan dan memperhatikan teman yang menerangkan b) Menyampaikan pertanyaan

c) Menyampaikan pendapat

d) Menjelaskan materi yang dikuasai kepada teman yang lain.

(67)

3.5.4 Refleksi

Pada tahap ini semua hasil observasi dan evaluasi diolah dan direfleksikan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan mengoreksi kelemahan-kelemahan selama pelaksanaan tindakan. Berdasarkan hasil refleksi ini, guru dan peneliti bersama-sama merencanakan perbaikan pada pelaksanaan siklus selanjutnya.

3.6

Metode Pengumpulan Data

3.6.1 Lembar Respon Siswa / Angket

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis angket langsung tertutup karena responden hanya tinggal memberikan tanda check (√) pada salah

satu jawaban yang dianggap benar. Angket dibagikan dan diisi oleh siswa yang berfungsi untuk mengetahui motivasi belajar siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran IPA melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.

(68)

3.6.2 Tes

Pada penelitian ini dilakukan tes untuk mengetahui indikasi terdapat peningkatan prestasi belajar melalui peningkatan nilai setelah diberikan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II. Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi cahaya setelah diberi tindakan (post-test). In

Referensi

Dokumen terkait

Building Approvals adalah sebuah indikator yang menghitung pertumbuhan jumlah rumah baru di suatu negara.Contoh : Jika nilai Building Approvals Ausi lebih tinggi dari nil ai

itu, indikator juga digunakan untuk menentukan konsentrasi ion hidrogen atau pH larutan encer, sejumlah besar indikator yang berisi ion hidrogen, berisi juga gugus asam dan

Penelitian yang dilakukan oleh Olviani (2015) tentang mobilisasi progressif level I terhadap nilai monitoring hemodinamik non invasif pada pasien cerebral injury di

Aplikasi sistem informasi geografis ini dapat menampilkan data- data yang berkaitan dengan informasi tempat wisata di wilayah DKI Jakarta, memberikan kemudahan

Toisaalta, tulosten perusteella voidaan esittää, että pelaajan ja pelihahmon välinen suhde on myös merkityksellisessä osassa pelaamista sekä pelaajan ja pelihahmon

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak dua putaran. Setiap putaran terdiri dari empat tahap yaitu: rancangan, kegiatan dan pengamatan,

By inviting their audiences to get to the bottom of their narrative enigmas, conspiratorial television shows encourage precisely such a behavior – and user

Berdasarkan uraian di atas maka pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah dengan implementasi model pembelajaran Problem Posing dengan metode Brainstorming diharapkan dapat