• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Pengembangan Kebun Buru Di Lokasi Penangkaran Rusa Perum Perhutani Bkph Jonggol Jawa Barat Berdasarkan Tinjauan Ekologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prospek Pengembangan Kebun Buru Di Lokasi Penangkaran Rusa Perum Perhutani Bkph Jonggol Jawa Barat Berdasarkan Tinjauan Ekologi"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

DI LOKASI PENANGKARAN RUSA PERUM PERHUTANI

BKPH JONGGOL JAWA BARAT BERDASARKAN

TINJAUAN EKOLOGI

FIRMANSYAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

DI LOKASI PENANGKARAN RUSA PERUM PERHUTANI

BKPH JONGGOL JAWA BARAT BERDASARKAN

TINJAUAN EKOLOGI

Oleh:

FIRMANSYAH E 34102041

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

PENANGKARAN RUSA PERUM PERHUTANI BKPH JONGGOL JAWA BARAT BERDASARKAN

TINJAUAN EKOLOGI

Nama Peneliti : FIRMANSYAH NRP : E 34102041

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

Diketahui,

Dekan Fakulkas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.

(4)

FIRMANSYAH dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1983 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Ibnu Mas’ud dan Ibu Sultonih. Penulis mulai pendidikan pada tahun 1989 di Taman Kanak-Kanak Islam Al-Choiriyah dan lulus pada tahun 1990. Penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar pada tahun 1990 di SDN 04 Petang Kebayoran lama dan lulus pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1996 melanjutkan ke SMPN 87 dan lulus pada tahun 1999, setelah itu melanjutkan ke SMUN 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(5)

Muta’alimin (RIMDA), serta Forum Komunikasi Remaja (FKR) 06.

Kegiatan yang pernah diikuti selama menjadi mahasiswa terdiri dari kegiatan yang dilaksanakan oleh DPM-E (Achievement Motivation Training (AMT), Lokakarya, Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), kegiatan UKM UKF (Ketua Magang UKM UKF IPB di Taman Nasional Way Kambas di Program Konservasi Badak Indonesia (PKBI), Metamorfosis calon anggota baru, Observasi Kolaboratif, peserta dan panitia Seminar Nasional Pelestarian Harimau Sumatera secara in-situ dan ex-situ, Seminar Nasional Strategi Konservasi Curik Bali, UKF Expo, Penyuluhan Pendidikan Konservasi ke SD di sekitar kampus, serta kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Kehutanan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) ke-4 tahun 2006 bersama jajaran staf BEM-E selama 3 hari di Gedung Manggala Wanabakti Departemen Kehutanan yang kemudian melahirkan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dimana penulis ikut berperan dalam kongres itu, sehingga Fakultas Kehutanan IPB berhasil mengirimkan beberapa dosennya duduk di anggota DKN sebagai ketua dan anggota DKN. Kemudian penulis juga mengikuti kegiatan praktek lapang yang diadakan oleh Fakultas Kehutanan IPB yang terdiri dari Praktek Pengenalan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuwisancang, Taman Wisata Alam Kamojang, KPH Kuningan Perum Perhutani Jawa Barat pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2006, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon Jawa Barat.

(6)

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah

memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat

diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam penyusun panjatkan kepada suri

tauladan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penelitian ini berjudul “Prospek Pengembangan Kebun Buru di Lokasi

Penangkaran Rusa Perum Perhutani BKPH Jonggol Jawa Barat Berdasarkan Tinjauan Ekologi” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 bulan dimulai pada bulan Juni sampai pada bulan

Agustus 2006.

Hasil penelitian yang disajikan dalam skripsi ini memuat tentang kondisi

bio-fisik kawasan sekitar penangkaran berupa tipe penutupan lahan, kemiringan lereng,

ketinggian tempat, daya dukung habitat, produktivitas hijauan pakan rusa, serta

karakteristik habitat satwa buru, parameter demografi rusa yang ada didalam

penangkaran, dan daya dukung pemburu, sehingga diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan pengelolaan kawasan

penangkaran agar lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prospek kawasan penangkaran

rusa milik Perum Perhutani BKPH Jonggol Jawa Barat menjadi kebun buru

berdasarkan pertimbangan aspek ekologinya.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan

umumnya bagi masyarakat luas serta Perum Perhutani dan mitranyasehingga dapat

lebih mengoptimalkan manfaat dan fungsi dari kawasan tersebut agar lebih baik.

Bogor, Februari 2007

(7)

Alhamdulillahirabbil `aalamiin. Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Salawat dan Salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tuaku yang tercinta yaitu Bapak Ibnu Mas’ud dan Ibu Sultonih serta keluarga dan saudara yang memberikan doa, dorongan serta semangat selama kegiatan penelitian ini.

2. Kakakku yang terkasih yaitu Nurmalinah yang telah memberikan bantuan material maupun spiritual selama penelitian sampai selesai penelitian. 3. Bpk. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan dorongan semangat, nasehat dan bimbingannya.

4. Bapak Warto beserta keluarga selaku Koordinator lapangan dan pengurus Penanggkaran Rusa Jonggol yang telah membantu kegiatan selama di lokasi penelitian.

5. Bapak Pudjo selaku Asisten Perhutani (Asper) yang telah mengarahkan dan membantu kegiatan dilapangan selama kegiatan penelitian.

6. Bapak Ajum yang telah mengantar keliling desa sekitar lokasi penelitian. 7. Kang Dadang terimakasih atas obrolannya dan sudah mengajak jalan-jalan

dengan sepeda motor keliling kecamatan Tanjungsari dan Cariu, dan oleh-oleh Pecinya.

8. Sahabat saya Afif beserta keluarga di Kampung Giri Jaya terimakasih atas obrolan, makanan, dan tempat menginapnya, serta sudah mau menemani selama kegiatan penelitian. Mudah – mudahan cita-cita kamu tercapai untuk masuk menjadi AKABRI.

9. Pak Muhammad dan beserta masyarakat Kampung Giri jaya yang telah menerima penulis seperti warga sendiri selama penelitian.

(8)

Idel), terimakasih atas dorongan semangatnya.

12. Sahabat karib saya di KSH’39, Mas Joko Nugraha Sebastian, Akang Gugum dan Abang Rudiansyah yang telah membantu penulis dalam mengambil dan mengolah data penelitian.

13. Semua pengurus BEM-E 2005-2006 yang telah memberikan dorongan semangat untuk terus berjuang dan agar selalu tetap tersenyum.

14. Saudara-saudara saya di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bogor Komisariat Fakultas Kehutanan, terimakasih atas semuanya.

15. Saudara-saudara saya di UKM Uni Konservasi Fauna IPB.

16. Ibu Dodi dan keluarga, teimakasih atas nasehat serta bekal makanannya. Mohon maaf atas semuanya.

17. Adik kelas saya di KSH’41, Dhe Iink, Dhe Sukma, Dhe Nira dll yang telah memberikan dorongan semangat.

18. Adik kelas saya yang tersayang di KSH’42 Dhe Muthia Ramadhani, terimakasih atas doanya.

19. Khusus buat sahabat Karib saya Akang Deni Pepen Supendi BDH’39, terimakasih atas obrolannya, pinjaman printer dan sepeda motornya buat keliling bogor untuk mengambil data penelitian.

20. Keluarga Besar KSH’39 terimakasih atas semuanya. Mudah-mudahan kita tetap satu dalam ikatan persaudaraan yang abadi.

21. Seluruh Dosen Fakultas Kehutanan IPB, terimakasih atas semuanya. Mohon maaf bila ada salah.

22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu dan memberikan andil dalam proses kematangan jiwa penulis serta penyelesaian skripsi

Bogor, Februari 2007

(9)

FIRMANSYAH. Prospek Pengembangan Kebun Buru di Lokasi Penangkaran Rusa Perum Perhutani BKPH Jonggol Jawa Barat Berdasarkan Tinjauan Ekologi. Di bawahbimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

Salah satu bentuk pemanfaatan secara lestari satwaliar yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi untuk mendatangkan devisa negara tersebut adalah kegiatan perburuan, baik yang ditujukan untuk rekreasi (hunting tourism), olah-raga berburu (hunting sport), maupun berburu trophy. Rusa dipilih sebagai satwa buru karena menarik minat pemburu baik untuk tujuan trofi maupun dagingnya yang mempunyai kekhasan sehingga disukai oleh masyarakat, serta tanduknya dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam asesoris kebutuhan manusia, dan bahan baku obat-obatan. Sehubungan dengan prospek kebun buru yang baik, maka Perum Perhutani berencana untuk mengembangkan usaha Penangkaran Rusa di Jonggol (PRJ) dibawah pengawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cariu, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jonggol dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor menjadi kebun buru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prospek kawasan penangkaran rusa milik Perum Perhutani BKPH Jonggol Jawa Barat menjadi kebun buru berdasarkan pertimbangan aspek ekologi.

Penelitian ini dilaksanakan selama ± 3 bulan, yakni Juni-Agustus 2006 dengan alat dan bahan yang digunakan antara lain Peta Administrasi Kawasan Sekitar PRJ, Peta Penutupan Lahan Kawasan Sekitar PRJ, Peta Kemiringan Lereng Kawasan Sekitar PRJ, Peta Ketinggian Tempat Kawasan Sekitar PRJ, alat potong rumput, alat-alat tulis, timbangan, pita meter, tali rapia atau tambang, meteran, GPS, kompas, alat pemotret, binokuler, alkohol 70%, pisau, tally sheet, kantong plastik, daftar isian, dan kertas label. Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas tipe penutupan lahan, kondisi vegetasi, sumber air, aksesibilitas, potensi pakan rusa, produktivitas hijauan, daya dukung habitat, laju natalitas, laju mortalitas, laju pertumbuhan populasi, metode berburu, jumlah pemburu dan kuota berburu dikumpulkan melalui survey lapangan, metode garis berpetak, perhitungan, wawancara dan studi literatur, sedangkan data sekunder terdiri atas Peta Penutupan Lahan, Peta Ketinggian Tempat, Peta Kemiringan Lereng, topografi, iklim, kebutuhan pakan rusa, populasi rusa di PRJ, komposisi umur, jenis kelamin dan seks ratio, musim buru serta senjata buru dikumpulkan melalui studi literatur. Analisis kawasan dengan menggunakan peta hasil klasifikasi Bappeda tahun 2005 dikombinasikan dengan GPS untuk mengetahui luasannya dengan menggunakan Sofware Arc View 3.3, analisis mengenai produktivitas hijauan dan vegetasi, analisis mengenai laju natalitas, dan laju pertumbuhan populasi, serta analisis mengenai kuota buru.

Luas kawasan RPH Cariu BKPH Jonggol sekitar 3.169,55 ha yang terdiri dari 10 petak. Berdasarkan hasil wawancara dan literatur, pada tahun 1991 luas kawasan yang diusulkan untuk lokasi wisata buru di jonggol adalah ± 1000 ha yaitu area petak 7 (242 ha), petak 8 (218 ha) dan petak 9 (535 ha). Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan petugas dan masyarakat sekitar, serta perubahan penutupan lahan akibat pertambahan penduduk, maka disimpulkan bahwa petak 9 adalah lokasi yang paling ideal saat ini untuk dijadikan lokasi perburuan.

(10)

hasil perhitungan didapatkan rata-rata produksi bobot basah hijauan pakan di dalam penangkaran rusa sebesar 62,64 kg berat segar/ha/hari, dan di luar penangkaran yaitu di areal petak 9 sebesar 158,36 kg berat segar/ha/hari, sehingga produktivitas hijauan di dalam penangkaran dalam satu tahun adalah sebesar 37.584 kg berat segar/ha/tahun, dan produktivitas hijauan di kawasan petak 9 dalam satu tahun adalah 95.016 kg berat segar/ha/tahun. Jika luas total penangkaran rusa adalah 5 ha, maka produktivitas hijauan pakan untuk seluruh areal penangkaran adalah 187.920 kg berat segar/tahun, sedangkan jika luas total padang rumput di kawasan petak 9 adalah 53,5 ha maka produksi hijauan pakan untuk seluruh kawasan petak 9 adalah 5.083.356 kg berat segar/tahun.

Menurut Mukhtar (1996), rata-rata konsumsi rumput oleh rusa adalah 4,42 kg berat segar/ekor/hari atau 1.591,2 kg berat segar/ekor/tahun. Berdasarkan data tersebut, diperoleh daya dukung di dalam penangkaran untuk rusa adalah 83 ekor, sedangkan untuk daya dukung areal petak 9 adalah 1.438 ekor. Berdasarkan literatur yang diperoleh tentang bulan berkembangbiak rusa jawa, maka bulan yang tepat untuk diadakan untuk kegiatan berburu adalah bulan Juli dan Oktober, sehingga dalam satu tahun ada 6 periode buru. Kemudian berdasarkan kondisi topografi dan tipe penutupan lahan di areal petak 9, maka metode berburu yang paling sesuai adalah stalking.

Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1988), senjata yang diperbolehkan untuk membunuh satwa buru hanyalah senjata api. Persenjataan lainnya seperti senapan locok atau cuplis, tombak, parang, jebakan, racun, bronjang, jaring dan obat-obatan yang mematikan tidak diizinkan pemakaiannya dalam perburuan legal. Berdasarkan bentuk hamparan wilayah dan topografi yang sebagian termasuk kategori curam dan sangat curam, maka luasan yang efektif dan aman bagi pemburu untuk melakukan kegiatan perburuan hanya 449,39 ha. Berdasarkan penelitian Evans et al. (1999) dalam Priyono (2006), luas areal yang dibutuhkan untuk setiap pemburu yang aman dan nyaman adalah 25 ha, maka kawasan petak 9 dapat menampung maksimum 18 orang pemburu untuk satu musim berburu. Berdasarkan hal itu, jumlah pemburu maksimum di kawasan petak 9 adalah 108 pemburu setiap tahunnya. Berdasarkan daya dukung dan laju pertumbuhan populasinya dapat dilakukan pemanenan populasi maksimum yang lestari sebanyak 212 ekor per tahun, sedangkan berdasarkan daya dukung pemburu, jika diasumsikan keberhasilan buru adalah 100%, maka jumlah individu rusa jawa sebagai target individu buru adalah 108 individu setiap tahun. Hasil perhitungan kuota buru lestari berdasarkan daya dukung pemburu lebih menjamin pada kelestarian populasi karena memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan hasil perhitungan berdasarkan daya dukung habitat.

(11)

( i )

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan ... 2

C. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah dan Dasar Hukum Perburuan di Indonesia ... 3

B. Kebun Buru ... 5

C. Kajian Bio-Ekologi Rusa Jawa Sebagai Satwa Buru ... 6

1. Klasifikasi ... 6

2. Morfologi ... 6

3. Perilaku ... 7

4. Adaptasi ... 8

5. Habitat dan Penyebaran ... 9

6. Reproduksi ... 10

7. Pakan ... 10

8. Kebutuhan Air dan Shelter Rusa ... 12

D. Pemburu ... 12

1. Musim Buru ... 13

2. Metode Buru ... 13

3. Senjata Buru ... 14

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas ... 15

B. Keadaan Iklim, Tanah, dan Topografi ... 16

C. Keadaan Flora dan Fauna ... 16

(12)

( ii )

B. Bahan dan Alat ... 18

C. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 18

D. Metode Pengumpulan Data ... 21

E. Metode Analisis Data ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesesuaian Kondisi Bio-Fisik Kawasan Sebagai Kebun Buru ... 26

1. Penutupan Lahan ... 26

2. Topografi lahan ... 28

3. Sumber Air ... 31

4. Aksesbilitas ... 32

5. Kondisi vegetasi ... 33

a) Kekayaan Jenis Vegetasi ... 34

b) Dominasi ... 35

6. Kesesuaian Bio-Fisik Kawasan Untuk Habitat Satwa buru ... 36

B. Karakteristik Habitat Satwa Buru ... 37

1. Potensi Vegetasi Pakan ... 37

2. Produktivitas Hijauan Pakan ... 38

3. Daya Dukung Habitat ... 39

C. Karakteristik dan Parameter Demografi Rusa ... 41

1. Ukuran Populasi ... 41

2. Struktur Umur dan Seks Rasio ... 42

3. Natalitas, Mortalitas dan Laju Pertumbuhan Populasi ... 44

4. Model Pertumbuhan Populasi ... 45

D. Daya Dukung Pemburu ... 46

1. Musim Buru ... 47

2. Metode Buru ... 48

3. Senjata Buru dan Jumlah Pemburu ... 48

4. Kuota Buru ... 49

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(13)

( iii )

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Kondisi Curah Hujan Kecamatan Tanjungsari ... 16

2. Luas kawasan petak 9 berdasarkan tipe penutupan lahan ... 27

3. Luas kawasan petak 9 berdasarkan ketinggian tempat ... 29

4. Luas kawasan petak 9 berdasarkan kemiringan lahan ... 30

5. Jenis-jenis vegetasi dominan di dalam penangkaran ... 35

6. Jenis-jenis vegetasi dominan di luar penangkaran ... 35

7. Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan dan biasa dimakan rusa ... 37

8. Produktivitas hijauan di dalam penangkaran ... 39

9. Produktivitas hijauan di luar penangkaran ... 39

10. Daya dukung habitat berdasarkan produktivitas hijauan ... 40

11. Jumlah total populasi rusa di Penangkaran Rusa Jonggol ... 41

12. Jumlah populasi tiap jenis rusa di Penangkaran Rusa Jonggol ... 42

(14)

( iv )

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Peta Kawasan Penangkaran Rusa Jonggol ... 15

2. Kondisi penutupan lahan kawasan petak 9 ... 26

3. Padang rumput dikawasan petak 9 . ... 28

4. Ketinggian Tempat Kawasan Petak 9 ... 29

5. Kemiringan Lahan Kawasan Petak 9 ... 30

6. Pemandangan kawasan sekitar penangkaran dari areal petak 9 . ... 31

7. Sungai Cibeet ... 32

8. Pintu Gerbang Lokasi Penangkaran ... 33

9. Vegetasi pohon dan non pepohonan disekitar penangkaran ... 34

10. Kawasan Petak 9 .. ... 36

11. Pemotongan Rumput ... 38

12. Rusa yang ada di Penangkaran ... 41

13. Struktur Populai Rusa di Penangkaran Rusa Jonggol ... 43

(15)

( v )

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Peta Penutupan Lahan Petak 9 ... 57

2. Peta Ketinggian Tempat Petak 9 ... 58

3. Peta Kemiringan Lahan Petak 9 ... 59

4. Jenis-Jenis Vegetasi Pepohonan yang ditemukan ... 60

5. Jenis-Jenis Vegetasi Non-pepohonan yang ditemukan ... 61

6. Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Pohon dan Tumbuhan Bawah Pada Tipe Vegetasi Padang Rumput di dalam Penangkaran Rusa Jonggol ... 62

7. Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Pohon dan Tumbuhan Bawah Pada Tipe Vegetasi Semak-Belukar di dalam Penangkaran Rusa Jonggol ... 63

8. Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Pohon di Luar Penangkaran ... 64

9. Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tumbuhan Bawah dan semai Tipe Vegetasi Hutan Tanaman Penangkaran di Luar Penangkaran ... 65

10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan - Bawah Tipe Vegetasi Semak-Belukar di Luar Penangkaran ... 66

11. Produktivitas Hijauan Pakan di Dalam Penangkaran ... 67

(16)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah-satu negara yang terkenal sebagai negara Mega Biodiversity karena memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi, karena meskipun hanya memiliki 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, namun Indonesia memiliki 10% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 16 % spesies reptilia dan amphibia, 17 % spesies burung dan 35 % lebih spesies ikan dari total spesies di seluruh dunia (Bappenas, 1993). Kekayaan mamalia Indonesia mencapai 515 spesies dan sebanyak 4,82 % diantaranya termasuk spesies endemik (Mittermeier et al., 1997).

Berbagai fakta membuktikan bahwa perekonomian yang bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam tidak terpulihkan hanya menciptakan suasana ketidakpastian yang ditandai dengan resesi berkepanjangan. Demikian pula halnya dengan eksploitasi sumberdaya hayati terpulihkan tetapi tidak mengikuti kaidah konservasi terbukti banyak menimbulkan bencana dan malapetaka (Hernadi, 2006).

Salah satu bentuk pemanfaatan secara lestari satwaliar yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi untuk mendatangkan devisa negara tersebut adalah kegiatan perburuan, baik yang ditujukan untuk rekreasi (hunting tourism), olah raga berburu (hunting sport), maupun berburu trofi (hunting trophy). Sebagai contoh keberhasilan adalah pengusahaan perburuan di hutan Bilje (Negara Pecahan Yugoslavia) yang mampu menghasilkan devisa sebesar 20 juta dolar AS, Negara bagian Colorado AS berhasil mengantongi pendapatan 9,5 juta dolar dari wisata buru binatang dan 6,5 juta dolar dari wisata buru rusa diluar jenis binatang lainnya (Ave, 1985).

(17)

buru di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik karena diperkirakan akan terdapat sebanyak 102.150 wisatawan perburuan setiap tahunnya. Menurut Nitibaskara (2005), jumlah pemburu legal sampai dengan Maret 2004, adalah sebanyak 3.031 orang. Rusa dipilih sebagai satwa buru karena menarik minat pemburu, baik untuk tujuan trofi maupun dagingnya yang mempunyai kekhasan sehingga disukai oleh masyarakat, serta tanduknya dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam asesoris kebutuhan manusia, dan bahan baku obat-obatan.

Sehubungan dengan prospek Kebun Buru yang baik, maka Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara yang mengelola dan mengusahakan kawasan hutan produksi di Pulau Jawa berencana untuk mengembangkan usaha Penangkaran Rusa di Jonggol di bawah pengawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cariu, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jonggol dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor menjadi kebun buru. Sehubungan dengan itu, untuk pengembangan BKPH Jonggol menjadi kebun buru, diperlukan studi prospek pengembangannya menjadi kebun buru berdasarkan tinjauan ekologi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prospek kawasan penangkaran rusa Milik Perum Perhutani BKPH Jonggol, Jawa Barat menjadi kebun buru berdasarkan pertimbangan aspek ekologi.

C. Manfaat penelitian

(18)

A. Sejarah dan Dasar Hukum Perburuan di Indonesia

Kegiatan perburuan di Indonesia telah berkembang sejak masa lampau dan pada awalnya merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dan teknologi, kegiatan perburuan berkembang sampai sekarang menjadi rekreasi di alam terbuka, olahraga berburu bahkan wisata berburu (Dephut, 1985).

Perburuan secara legal (atas izin pemerintah) telah dirintis sejak tahun 1747 dengan satwa sasaran badak dan harimau, sedangkan pengaturan teknis mulai diterapkan pada tahun 1980 di Hutan Rinjani Lombok. Perburuan rusa umumnya dilakukan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Cikal bakal peraturan yang mengatur tentang perburuan di Indonesia lahir pada tahun 1931, yaitu Undang-Undang Perburuan dan Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar, kedua undang-undang ini dijadikan pedoman bagi peraturan-peraturan berikutnya (Van Lavieren, 1983).

Wisata buru yang dikelola secara modern dan profesional merupakan sesuatu yang baru di Indonesia, oleh karena itu perlu adanya peraturan maupun undang-undang yang mengaturnya secara khusus. Pada masa itu kegiatan perburuan diatur oleh tiga undang-undang serta didukung oleh beberapa peraturan pemerintah yang diterbitkan sejak jaman penjajahan Belanda. Tiga undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Senjata Api, Mesiu, dan Bahan Peledak (Vuurwapen Ordonantie), Undang-undang Perburuan tahun 1931 (Jacht Ordonantie), dan Undang-undang Perlindungan Binatang liar tahun 1931 (Dierenbescherming Ordonantie). Selain itu juga terdapat peraturan perundang-undang lainnya tentang Pelestarian Hutan, Satwaliar dan Sumberdaya Alam serta beberapa peraturan pemerintah lainnya yang mendukung kegiatan perburuan (Soemowidjojo, 1985).

(19)

Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan teknisnya diatur dengan peraturan dibawahnya yakni Keputusan Menteri atau Keputusan Direktur Jenderal. Setelah melewati proses dan waktu yang cukup lama, maka telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru yang memberi penguatan secara hukum bagi pengusahaan wisata buru di Indonesia.

Hal ini diikuti oleh munculnya banyak pemburu yang membentuk wadah atau organisasi para pemburu. Pada mulanya wadah pemburu adalah perkumpulan-perkumpulan olah raga buru (Hunting Clubs) yang terdapat di daerah. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah secara resmi menetapkan PERBANKIN untuk menjadi wadah atau organisasi para pemburu yang menampung kegiatan perburuan dan aktivitas olah raga berburu. Sekarang ini hampir seluruh daerah kabupaten di Indonesia telah terbentuk cabang PERBAKIN (Ditjen PHPA, 1988). Selain itu, untuk meningkatkan pengawasan perburuan Menteri Kehutanan membentuk organisasi yang bersifat koordinatif yaitu Tim Teknis Pertimbangan Perburuan di tingkat pusat dan daerah yang anggotanya terdiri atas unsur Departemen Kehutanan, POLRI, Pemerintah Daerah dan PERBAKIN.

Beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri yang mendukung pelaksanaan perburuan satwa buru di Indonesia adalah:

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

b) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. c) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. f) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

g) Peraturan Pemerintah tentang Perburuan Satwa Buru

h) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

i) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar.

(20)

k) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

l) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 602/Kpts-II/1998 tanggal 21 Agustus 1998 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan.

m) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 460/Kpts-II/1999 tentang Pengelolaan dan Tatacara Penetapan Jumlah Satwa Buru.

B. Kebun Buru

Berdasarkan PP No.13 tahun 1994, kebun buru ialah lahan di luar kawasan hutan yang diusahakan oleh badan usaha dengan suatu alas hak, untuk kegiatan perburuan, dan Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakan perburuan secara teratur, sedangkan Areal Buru yaitu areal di luar taman buru dan kebun buru yang di dalamnya terdapat satwa buru, yang dapat diselenggarakan perburuan.

(21)

C. Kajian Bio-Ekologi Rusa Jawa Sebagai Satwa Buru 1. Klasifikasi Rusa Jawa (Cervus timorensis de Blaiville, 1822)

Nama lain untuk rusa timor adalah rusa jawa. Menurut Van Bemmel (1949) dalam Schroder (1976), secara taksonomi rusa jawa dapat diklasifikasikan Phyllum : Chordata

Sub Phyllum : Vertebrata Class : Mammalia Ordo : Artiodactyla Sub Ordo : Ruminantia Familia : Cervinae Sub Familia : Cervinae Genus : Cervus

Species : Cervus timorensis de Blaiville, 1822

Menurut Van Bemmel (1974) dalam Schroder (1976), rusa jawa (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia terdiri dari 8 sub spesies dengan daerah penyebarannya sebagai berikut:

1. Cervus t. russa de Blainville, terdapat di Jawa dan Kalimantan.

2. Cervus t. laranesiotes de Blainville, terdapat di Pulau Peucang dan Pulau Nusa Barung.

3. Cervus t. renschi de Blainville, terdapat di Pulau Bali.

4. Cervus t. timorensis de Blainville, terdapat di Pulau Timor, Pulau Roti, Pulau Semau, Karimun, Jawa dan Pulau Kamujun.

5. Cervus t. moluccensis de Blainville, terdapat di Pulau Bangai dan Pulau Selayar.

6. Cervus t. jonga de Blainville, terdapat di Pulau Button dan Pulau Muna. 7. Cervus t. macassarius de Blainville, terdapat di Pulau Ternate, Pulau Merah,

Pulau Halmahera, Pulau Bacan, Pulau Buru, Ambon dan Irian Jaya.

8. Cervus t. florensiensis de Blainville, terdapat di Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Flores dan Pulau Sohor. 2. Morfologi

(22)

belakangnya. Seperti halnya dengan rusa sambar, rusa jantan juga memiliki surai pada lehernya

Tinggi bahu rusa jantan dewasa dapat mencapai 110 cm, sedangkan yang betina dapat mencapai 100 cm. Panjang badan hingga kepala kira-kira 120-130 cm, panjang ekor 10-30 cm, sedangkan berat badan rusa jawa dapat mencapai 100 kg. Tanduk rusa jantan dewasa mempunyai ukuran yang besar dan mempunyai tiga buah cabang yang ujung-ujungnya runcing, kasar, beralur memanjang dari mulai pangkal sampai ke ujungnya. Panjang tanduk rusa jawa umumnya berkisar antara 80-90 cm, tetapi bisa sampai 111,5 cm (LBN, 1982 dalam Fakultas Kehutanan IPB, 1991).

3. Perilaku

Rusa pada umumnya hidup dalam kelompok, bahkan spesies – spesies ini sering membentuk kelompok besar. Berbeda dengan rusa sambar dan rusa bawean, rusa jawa dan totol cenderung berkelompok. Rusa aktif pada waktu siang maupun malam hari. Rusa jawa (C. timorensis), rusa bawean (A. kuhlii), dan rusa totol (A. axis) lebih aktif pada waktu siang hari daripada malam hari, sedangkan rusa sambar lebih aktif di malam hari. Meskipun bukan merupakan satwa nokturnal, dibandingkan dengan jenis rusa lainnya rusa jawa dengan mudah dapat berubah sifat menjadi nokturnal bilamana diperlukan untuk adaptasinya.

Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari makanan dan air, makan dan istirahat. Sebagaimana herbivora lainnya, rusa juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan. Aktivitas ini diselingi dengan perjalanan-perjalanan pendek ditempat mencari makan dan perjalanan ke tempat beristirahat atau sumber air. Rusa jawa (C. timorensis), rusa bawean (A. kuhlii), dan rusa totol (A. axis) mencari makan diwaktu pagi dan sore hari. Khusus untuk rusa jawa (C. timorensis) dan rusa totol (A. axis), aktivitas makan berkurang pada siang hari dan digantikan dengan aktivitas mencari perlindungan dari terik matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari aktivitas makan juga berlangsung, namun tidak seaktif pada siang hari (Fakultas Kehutanan IPB, 1991).

(23)

Menjelang musim birahi, berangsur-angsur makin banyak rusa jantan yang mencari kelompok rusa betina ini. Di dalam kelompok rusa jawa terdapat dua macam pemimpin dimana dalam keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan ini memimpin kelompoknya, terutama dalam perpindahan tempat untuk mencari makanan atau penjelajahan wilayah yang dilakukan secara periodik. Namun demikian, dalam keadaan darurat atau menghadapi ancaman bahaya, kepemimpinan ini diambil alih oleh induk betina.

Pada saat kelompok rusa terancam bahaya, induk betina yang tertua akan mengeluarkan dengkingan ”kee-aw” sebagai tanda bahaya untuk memperingatkan angota-anggota kelompoknya. Tanda bahaya ini kadang-kadang disambut oleh individu-individu lain dan seringkali disertai dengan hentakan kaki depan dan posisi siaga, yakni berdiri diam tak bergerak sambil mengawasi sumber bahaya. Kadang-kadang adanya dengkingan peringatan hanya ditanggapi oleh sikap waspada. Induk betina lebih bertanggungjawab terhadap keselamatan kelompok, sedangkan rusa jantan umumnya panik dan menyelamatkan diri masing-masing.

Jika ancaman terjadi di dataran tertutup tumbuhan bawah atau semak-belukar, rusa jawa akan menjatuhkan dirinya sehingga terlindung oleh rimbunnya semak-belukar. Dalam keadaan ini, rusa masih tetap melakukan aktivitas makan dengan cara merengut daun-daun ada, sambil tetap mengawasi sumber ancaman, bahkan sesekali mendeking. Hal ini kemungkinan bertujuan untuk memaksimumkan penggunaan sumberdaya yang ada tetapi tetap dalam keadaan siaga terhadap adanya bahaya.

Pada musim birahi, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Rusa-rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kehadiran makhluk asing disekitarnya, khususnya pada awal musim birahi. Rusa jantan menetapkan teritori di areal tertentu yang dipertahankannya dari kehadiran jantan lainnya. Kadang-kadang, teritori ini tumpang tindih dengan teritori jantan lain. Untuk menandai teitorinya, rusa jantan sering mengeluarkan suara atau menggores pepohonan dengan tanduknya. Teritori yang hanya berlaku selama musim kawin ini, juga ditandai dengan urine dan bau-bauan lainnya (Fakultas Kehutanan IPB, 1991). 4. Adaptasi

(24)

perilakunya dari lingkungan dan faktor-faktor lainnya yang berada di dekatnya, bahkan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun rusa dapat beradaptasi. Adapun rusa yang hidup di penangkaran telah terbiasa dengan habitatnya yang sedemikian rupa dikarenakan kelahiran dan pendewasaan berada pada ruang lingkup yang sama dari lahir hingga dewasa (Perum Perhutani, 1991).

Berlainan dengan rusa sambar dan totol, rusa jawa lebih mampu beradaptasi dengan daerah kering karena ketergantungannya terhadap ketersediaan air yang lebih kecil. Rusa jawa termasuk satwa yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya, misalnya dari 6 ekor rusa yang diintroduksikan ke Aru pada tahun 1855 dengan cepat berkembang menjadi 80 ekor di tahun 1867, dan menjadi beberapa ribu ekor di tahun 1950. Selain padang rumput, rusa jawa juga beradaptasi dengan sangat baik terhadap habitat hutan rimba, misalnya rusa yang diintroduksikan ke daerah Maluku Utara (Schroder, 1976).

5. Habitat dan Penyebaran

Elton (1949) dalam Alikodra (1980), habitat adalah suatu daerah yang terdiri atas berbagai faktor fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Jadi untuk hidupnya satwaliar memerlukan tempat yang dapat dipergunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan tempat berkembangbiak. Rusa jawa menyebar hampir di seluruh Kepulauan Indonesia kecuali Sumatera. Rusa Jawa terdapat di Jawa, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara, Timor, Sulawesi, Maluku dan Irian. Rusa Bawean (A. kuhlii) terdapat di Pulau Bawean yang terletak diantara Pulau Jawa dan Kalimantan. Di Kalimantan, Irian Jaya dan beberapa pulau lainnya rusa jawa merupakan satwa yang diintroduksikan. Pada tahun 1680 rusa jawa diintroduksikan dari Jawa ke Kalimantan Selatan dan berkembang pesat serta meliar, namun tidak pernah dilaporkan bercampur dengan species rusa lokal. Pada saat ini, status rusa jawa di Kalimantan Selatan tidak diketahui karena jarang dilaporkan perjumpaannya (Schroder, 1976).

(25)

6. Reproduksi

Kemampuan suatu organisme untuk menurunkan individu baru disebut kemampuan berkembang biak. Hal ini sangat menentukan kelestarian suatu populasi. Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh struktur populasi (Populasi, kepadatan, sex ratio, stratifikasi, umur) dan kondisi kualitas dan kuantitas lingkungan (Alikodra, 1979). Dasmann (1964) menerangkan bahwa, pada hewan monogami mempunyai kecenderungan berproduksi maksimum bila sex ratio berbanding sama. Pada hewan yang berpoligami, banyak betina dari pada jantannya akan menghasilkan keturunan yang lebih banyak, sebab menurut Moen (1973), ruminansia jantan yang berpoligami dapat melayani sebanyak ruminansia betinanya. Syarief (1974) menerangkan bahwa untuk populasi rusa, seekor rusa jantan dapat melayani tiga sampai lima ekor rusa betina.

Menurut Syarief (1974) umur awal berbiak rusa berkisar 2 – 3 tahun. Umur rusa disapih sekitar 4 bulan, dewasa kelamin 7 – 9 bulan, sedangkan umur umur tertua rusa masih dapat melahirkan berkisar 10 – 20 tahun. Lama bunting lebih kurang 246 hari, lama menyusui 4 – 5 bulan, interval berbiak 12 bulan dan umur hidup rusa dapat mencapai 26,5 tahun (Van Bemmel, 1949).

Rusa jawa (C. timorensis) bunting selama 240-270 hari (rata-rata 267 hari) dan biasanya melahirkan satu ekor. Kadang-kadang 2 ekor anak kembar (Fakultas Kehutanan IPB, 1991). Menurut Hoogerwerf dalam Schroder (1976), periode 9 bulan adalah periode masa bunting yang paling umum untuk rusa jawa (C. timorensis), sedangkan rusa bawean (A. kuhlii) adalah 7-8 bulan. Selanjutnya disebutkan pula bahwa rusa jawa sering melahirkan 2 ekor anak, bahkan kadang-kadang melahirkan 3 ekor anak per kelahiran. Untuk jenis rusa totol (A. axis) lama buntingnya yakni 210-240 hari atau 7 – 8 bulan. Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa sambar dan rusa jawa adalah 2 – 3 tahun dan masa memelihara anak selama 4 -5 bulan, sedangkan rusa totol umur termuda untuk melahirkan anak lebih cepat yakni 1,5 – 2 tahun dengan masa pemeliharaan anak adalah 4 – 5 bulan (Lavieren, 1983 dalam Fakultas Kehutanan IPB, 1991). 7. Pakan

(26)

secara normal (Asraf, 1980). Menurut Dasmann (1964), kebutuhan pakan bagi satwa dapat didefinisikan sebagai kebutuhan kalori atau energi setiap hari.

Makanan rusa di Indonesia secara umum terdiri dari rumput dan daun muda dari pohon dan semak (Syarief, 1974). Persediaan pakan rusa banyak terdapat di padang rumput yang secara umum dikenal dengan padang penggembalaan (grazing area). Dengan sendirinya, rumput yang dikehendaki untuk padang penggembalaan adalah jenis rumput yang disukai rusa, cepat tumbuh, tahan akan injakan rusa, tahan api, dan tahan kekeringan. Akan tetapi, dalam suatu padang penggembalaan tidak semua jenis rumput mempunyai sifat-sifat seperti di atas kecuali untuk padang penggembalaan buatan memang telah dipilih jenis-jenis yang memenuhi persyaratan tersebut (Alikodra, 1979)

Rusa condong beradaptasi dengan kondisi habitat tertentu. Jadi dalam hal ini kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keadaaan lingkungan, dilapangan padang rumput akan bersifat grazer dan dilapangan yang ditumbuhi oleh semak belukar akan bersifat browser (Hoogerwerf,1970). Jenis pakan yang diberikan pada rusa di penangkaran dapat berupa hijauan, konsentrat, dan makanan tambahan. Jenis hijauan antara lain rerumputan dan pucuk/daun muda tumbuhan polong (legum). Kebutuhan makan rusa tergantung kepada berat badan, jenis kelamin, umur, dan aktivitas. Sebagai patokan, rusa membutuhkan makanan 10% dari berat badannya (Syarief, 1974)

(27)

Kebutuhan makan rusa di Pulau Peucang rata-rata adalah 5,70 kg/ekor/hari dalam bentuk hijauan (Susanto, 1977 dalam Sutrisno, 1986), di Areal Pembiakan Rusa Perum Angkasa Pura Jakarta 6,06 kg/ekor/hari (Asraf, 1980 dalam Sutrisno, 1986), sedangkan hasil penelitian Hambali (1983) dalam Sutrisno (1986) penggunaan hijauan yang berasal dari Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, menunjukan kebutuhan makan rusa di Kebun Binatang Bandung rata-rata sebanyak 5,57 kg/ekor/hari, sedangkan berdasarkan penelitian palatabilitas (Azis, 1996) yaitu untuk rusa timor (Cervus timorensis) 7,777 kg/hari/ekor, untuk rusa bawean (Axis kuhlii) 6,788 kg/hari/ekor, dan untuk rusa totol (Axis aixs) 8,043 kg/hari/ekor. Namun, menurut Mukhtar (1996), rata-rata konsumsi rumput oleh rusa adalah 4,42 kg berat basah/hari/ekor.

8. Kebutuhan Air dan Shelter Rusa

Kebutuhan air segar untuk minum bagi rusa timor sebanyak 6,4 ± 2,01 liter/hari (Kii & Dryden, 2001). Wiersum (1979) dalam Alikodra (1980) mengatakan bahwa rusa termasuk hewan yang ”water dependent spesies” yaitu hewan yang memerlukan air setiap harinya, tetapi menurut Hoogerwerf (1970), kebutuhan minum rusa sedikit sekali dan jarang minum walaupun banyak sumber air. Kemudian ditinjau dari segi keadaan vegetasi atau tajuk, rusa memerlukan areal-areal untuk perumputan, berlindung dari kondisi iklim yang ekstrim, maupun menghindari predator, terutama saat melahirkan anak.

D. Pemburu

Pemburu adalah orang yang melakukan kegiatan atau aktivitas berburu, sedangkan berdasarkan PP No. 13 tahun 1994, yang dimaksud dengan berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru.

(28)

oleh pemburu atau petugas yang ditunjuk berdasarkan surat perintah dari Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Setempat.

Pengawasan dan pengendalian perburuan di kebun buru dilakukan oleh petugas dari pengusaha kebun buru tersebut. Tugas pengawas pemburuan diantaranya adalah memeriksa kelengkapan perizinan berburu (KTP/paspor, Akta buru, Surat Izin Berburu dan Surat Izin Berburu dan Surat Izin penggunaan penggunaan senjata api buru), Mencocokkan keterangan yang tercantum dalam Akta Buru dan Surat Izin Berburu tentang lokasi berburu, jenis dan jumlah satwa buru yang boleh diburu, serta membuat laporan tentang pelaksanaan kegiatan perburuan dan membuat berita acara pemeriksaan apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya (Ditjen PHPA, 1996).

Pemburu yang tidak melalui jasa penyelenggarakan wisata berburu maupun pemburu yang pelaksanaan perburuannya diatur oleh penyelenggara wisata buru yang akan melaksanakan kegiatan berburu, dapat langsung melapor kepada petugas Sub Seksi KSDA dan Kepolisian Sektor setempat dengan membawa akta buru, surat izin berburu, surat izin penggunaan senjata api buru atau senapan angin, senjata buru yang akan digunakan untuk berburu (Ditjen PHPA, 1996).

1. Musim Buru

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 461/Kpts-II/1999, musim buru ditetapkan dengan memperhatikan keadaan populasi dan jenis satwa buru, musim kawin, musim beranak, perbandingan jantan dan betina serta umur satwa buru. Di Indonesia, lamanya masa berburu untuk setiap periode buru ditentukan berdasarkan masa berlakunya surat izin perburuan (SIB) yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah yang didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 543/Kpts-II/1997, yakni 10 hari (Priyono, 2006).

2. Metode Buru

(29)

anjing pelacak untuk menentukan lokasi rusa. Hound Hunting merupakan perburuan rusa yang dilakukan secara beregu dengan cara pemburu menempatkan diri pada posisi strategis kemudian anjing pelacak dilepaskan untuk mencari rusa dan menggiringnya ke arah pemburu. Metode perburuan ini diawali dengan cara memberikan tanda-tanda yang baru ditinggalkan oleh rusa kepada anjing pelacak untuk membantu memudahkan anjing mencari lokasi rusa (Schroder, 2006 dalam Priyono, 2006).

3. Senjata Buru

Senjata yang diperbolehkan untuk membunuh satwa buru hanyalah senjata api. Persenjataan lainnya seperti senapan locok atau cuplis, tombak, parang, jebakan, racun, bronjang, jaring dan obat-obatan yang mematikan tidak diizinkan pemakiannya dalam perburuan legal. Senjata api yang dimaksud adalah senjata api bahu atau laras panjang yang diproduksi khusus untuk berburu dam senapan genggam atau pistol, sedangkan senjata api organik tidak diperbolehkan untuk dipergunakan berburu (Ditjen PHPA, 1988).

(30)

A. Letak dan Luas

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas penyuluh kehutanan setempat (komunikasi pribadi, Pak Acip), Penangkaran Rusa Jonggol secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor wilayah administrasi Perum Perhutani, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cariu, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jonggol. Secara geografis terletak diantara 60 36’ - 60 40’ Lintang Selatan dan 1070 10’ - 107015’ Bujur Timur. Kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2/Um/1954 tanggal 31 Agustus 1954. Luas Kawasan BKPH Jonggol sekitar 3.169,55 ha. Luas keseluruhan yang digunakan sebagai penangkaran adalah 7 ha yang terbagi mejadi dua bagian, yaitu 5 ha untuk kandang penangkaran dan 2 ha dimanfaatkan sebagai areal padang rumput yang terletak diluar lokasi areal perkandangan (Yunitasari, 2005). Batas wilayah Desa Buana Jaya adalah sebagai berikut: sebelah selatan Kabupaten Cianjur, sebelah timur Cianjur dan Purwakarta, sebelah Utara Desa Antajaya, dan sebelah barat Desa Sirnarasa (Azis, 1996). Peta kawasan PRJ disajikan pada Gambar 1.

(31)

B. Keadaan Iklim, Tanah dan Topografi

Lokasi penangkaran terletak pada ketinggian 200-500 m dpl. Berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah sekitar Penangkaran Rusa Jonggol memiliki iklim tipe B yang mempunyai 8 bulan basah, 2 bulan kering dan 2 bulan lembab dengan curah hujan berkisar 3000-3500 mm/tahun. Berdasarkan data BMG (2005), Intensitas curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, sedangkan curah hujan terendah jatuh pada bulan Juli, Oktober dan Desember. Suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26,50C dan kelembaban udara rata-ratanya sekitar 80% (Direktorat Jenderal Agraria, 1984). Kelerengan tanah 15-40%, topografi lahan landai hingga bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian 170 mdpl. Kedalaman efektif tanah adalah 90 cm. Tekstur tanah adalah debu halus dan pasir halus, sedangkan warna tanah bervariasi mulai dari hitam, coklat tua dan coklat. Tergolong daerah yang tidak pernah tergenang, terkadang terjadi erosi pada tanah dan jenis tanahnya adalah latosol (Direktorat Jenderal Agraria, 1984). Kondisi curah hujan di daerah Kecamatan Tanjungsari disajikan secara lengkap pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi curah hujan kecamatan Tanjungsari

Nama

Jumlah curah hujan, Bulan

JAN FEB MAR APRL MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES Sumber. BMG tahun 2005

C.Keadaan Flora dan Fauna

(32)
(33)

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lokasi Penangkaran Rusa BKPH Jonggol RPH

Cariu milik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Penelitian telah dilakukan

selama tiga bulan yaitu bulan Juni - Agustus 2006.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta

Administrasi Kawasan Sekitar Penangkaran Rusa Jonggol, Peta Penutupan

Lahan Kawasan Sekitar Penangkaran Rusa Jonggol, Peta Kemiringan Lereng

Kawasan Sekitar Penangkaran Rusa Jonggol, Peta Ketinggian Tempat Kawasan

Sekitar Penangkaran Rusa Jonggol, alat potong rumput, alat-alat tulis,

timbangan, pita meter, tali rapia atau tambang, meteran, GPS, kompas, alat

pemotret, binokuler, alkohol 70%, pisau, tally sheet, kantong plastik, dan kertas label.

C. Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data hasil

pengamatan, pengukuran, wawancara, serta data yang bersumber dari literatur.

Data yang berasal dari literatur telah diambil dari instansi-instansi terkait dan

hasil penelitian-penelitian sebelumnya di BKPH Jonggol, atau yang terkait

dengan wisata buru antara lain dari Skripsi, Disertasi, Kantor Dinas Kehutanan

Propinsi Jawa Barat, Kantor Perhutani Jawa Barat dan lain-lain. Data yang telah

dikumpulkan meliputi:

1. Data Primer

1. Kondisi bio-fisik kawasan, meliputi :

a. Tipe penutupan lahan

b. Kondisi vegetasi meliputi komposisi dan struktur vegetasi, dominasi, baik

tingkat pohon, tiang, pancang, maupun tingkat semai atau tumbuhan

bawah.

c. Sumber air dan aksesibilitas.

2. Karakteristik habitat satwa buru, meliputi :

(34)

b. Produktivitas hijauan pakan

c. Daya dukung habitat

3. Parameter demografi rusa, meliputi :

a. Laju natalitas dan mortalitas.

b. Pertumbuhan populasi

4. Daya dukung pemburu, meliputi :

a. Metode buru

b. Jumlah pemburu

c. Kuota buru

Tabel 1. Jenis data primer yang dikumpulkan dan metode yang digunakan serta sumber data.

No Jenis Data Metode Sumber Data

1 Kondisi bio-fisik kawasan : a. Tipe penutupan lahan

b. Kondisi vegetasi meliputi komposisi dan struktur vegetasi, dominasi baik tingkat pohon, tiang, pancang, maupun semai atau tumbuhan bawah.

c. Sumber air dan aksesbilitas

Survey lapangan dan

2 Karakteristik habitat satwa buru : a. Potensi pakan rusa

b. Produktivitas hijauan pakan c. Daya dukung habitat

Survey lapangan,

3 Karakteristik dan Parameter

demografi rusa mencakup : a. Laju natalitas dan mortalitas, b. Pertumbuhan populasi

(35)

2. Data Sekunder

1. Kondisi bio-fisik kawasan, meliputi :

a. Peta Penutupan lahan, Peta Ketinggian Tempat, Peta Kemiringan Lereng

dan batas administrasi.

b. Topografi dan fisiografi lahan

c. Iklim

2. Karakteritik dan Parameter Demografi Rusa mencakup :

a. Kebutuhan pakan rusa.

b. Populasi satwa buru di Penangkaran Rusa Jonggol.

c. Komposisi umur, jenis kelamin, dan seks rasio.

3. Daya Dukung Pemburu, mencakup :

a. Musim buru

b. Senjata buru

Tabel 2. Jenis data sekunder yang dikumpulkan dan metode yang digunakan serta sumber data yang diperlukan.

No Jenis Data Metode Sumber Data

1 Kondisi faktor fisik kawasan:

a. Peta penutupan lahan, Peta ketinggian tempat, Peta kemiringan lereng.

b. Topografi dan fisiografi lahan c. Iklim

2 Karakreistik dan parameter

demografi rusa mencakup : a. Kebutuhan pakan tiap individu

b. Populasi satwa buru di

Penangkaran Rusa Jonggol. c. Komposisi umur , jenis kelamin,

dan seks rasio.

(36)

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan

langsung, wawancara dan sudi literatur.

1. Pengamatan Langsung

Pengamatan langsung dilakukan dengan tujuan untuk mengukur

parameter daya dukung kawasan seperti produktivitas hijauan pakan, serta

komposisi dan struktur vegetasi, dll. Cara pengumpulan data yang dilakukan

adalah sebagai berikut :

a. Analisis Vegetasi

Untuk mengetahui kondisi areal yang bersangkutan, yang dicirikan oleh

struktur dan komposisi vegetasi, maka telah dilakukan analisis vegetasi. Data

yang dikumpulkan meliputi jenis, jumlah, individu setiap jenis untuk tingkat

pertumbuhan semai dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon

dicatat jenis, jumlah individu, diameter batang, tinggi bebas cabang dan tinggi

total pohon. Selain itu juga dicatat jenis-jenis vegetasi yang dimakan oleh rusa.

Data dari analisis vegetasi dapat juga digunakan untuk menghitung indeks

keseragaman dan indeks kesamaan komunitas. Oleh karena besar dan luasnya

suatu komunitas maka untuk mempelajari komposisi dan struktur vegetasi hanya

diambil bagian yang mewakili dari tipe habitat melalui pengambilan contoh

dengan menggunakan metode garis berpetak.

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), untuk tingkat pertumbuhan

pohon (diameter ≥ 20 cm), ukuran petaknya adalah 20 m x 20 m. Dalam petak

dibuat sub petak berukuran 2 m x 2 m untuk tingkat pertumbuhan semai (tinggi <

1,5, diameter < 3 cm), 5 m x 5 m untuk tingkat pertumbuhan pancang (diameter

< 10 cm, tinggi > 1,5 m ), 10 m x 10 m untuk tingkat pertumbuhan tiang (diameter

10-19 cm). Panjang jalur yang digunakan adalah 200 m.

b. Produktivitas Hijauan

Pengukuran produktivitas hijauan dilakukan di dalam dan di luar

penangkaran rusa. Untuk mengukur produktivitas hijauan dilakukan dengan cara

pemanenan sampai batas permukaan tanah (± 1 cm dari tanah) dalam setiap

petak contoh, sehingga dapat menstimulir pertumbuhannya kembali. Sebelum

dilakukan pemanenan, dilakukan identifikasi jenis rumput yang ada di setiap

(37)

Pemotongan dilakukan sebanyak dua kali dengan jangka waktu

pemotongan adalah 35 hari. Setelah pemotongan, dilakukan penimbangan

terhadap berat basahnya untuk tiap petak. Ukuran petak contoh untuk

pengukuran produktivitas padang rumput adalah seluas 1 x 1 m2. Jumlah petak

contoh adalah 10 petak contoh di dalam penangkaran dan 10 petak contoh diluar

penangkaran. Jarak antar masing-masing petak contoh adalah 20 m. Petak

contoh pertama ditentukan secara acak (Eddy, 1982).

2. Wawancara

Dilakukan kepada Pak Warto dan Pak Ajum selaku petugas Penangkaran

Rusa Jonggol, Pak Muhamad selaku petugas bagian penanaman dan pembibitan

di petak 8, Pak Acip selaku penyuluh kehutanan di lokasi setempat, Pak Dahlan

selaku asisten perhutani (Asper) setempat dan kelompok masyarakat setempat

terkait dengan usaha pengembangan kawasan Penangkaran Rusa Jonggol

sebagai kebun buru untuk memperoleh dan mendukung data – data yang

diperlukan.

3. Studi literatur

Dilakukan dengan cara mengumpulkan data penunjang dari literatur yang

ada, baik berupa skripsi, disertasi, laporan-laporan hasill studi yang relevan, dan

lain – lain.

E. Metode Analisis Data 1. Kawasan

a. Penutupan Lahan, Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan

Data sebaran penutupan lahan, ketinggian tempat dan kemiringan lahan

langsung diperoleh dari hasil klasifikasi Bapedda tahun 2005 yang

dikombinasikan dengan GPS dengan menggunakan Sofware Arc View 3.3 untuk mengetahui luasan vegetasi seperti areal hutan, semak-belukar, padang rumput,

enclave dan lain-lain.

b. Produktivitas Hijauan dan Vegetasi.

Ketersediaan pakan bagi rusa jawa adalah berbagai jenis hijauan pakan

yang terdapat di BKPH Jonggol. Produkrivitas hijauan pakan adalah

pertambahan biomassa berbagai jenis tumbuhan sumber pakan dalam setiap

(38)

produktivitas padang rumput digunakan persamaan sebagai berikut (Alikodra,

Keterangan : P = Produktivitas rumput seluruh areal rumput

L = Luas padang rumput

p = Produksi rumput seluruh petak contoh

l = luas seluruh petak contoh

Proper-use adalah proporsi ketersediaan hijauan pakan yang benar-benar dimanfaatkan oleh satwaliar. Menurut Susetyo (1980), proper-use pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0-50) adalah sebesar 60 – 70%, lapangan

bergelombang dan berbukit (kemiringan 5 – 230) adalah sebesar 40 – 45% dan

lapangan berbukit sampai curam (kemiringan >230) sebesar 25 – 30%.

Sedangkan perhitungan daya dukung habitat dengan membandingkan antara

produksi makanan per unit waktu dibagi dengan kebutuhan satwa buru per ekor

per unit waktu (Susetyo, 1980) :

K = P . U .

C

Keterangan: K = Daya dukung

P = Produksi Hijauan makanan rusa per satuan waktu

U = Proper use

C = Kebutuhan makan rusa per ekor per satuan waktu.

Kebutuhan pakan rusa adalah berdasarkan hasil penelitian Mukhtar (1996) yaitu

4,42 kg berat segar/ekor/hari.

Pelindung bagi rusa jawa antara lain berupa pepohonan untuk

menghindar dari teriknya matahari, predator maupun kompetitor lainnya.

Komponen pelindung terdiri atas unsur – unsur jenis vegetasi, komposisi, dan

dominasi, baik tingkat pohon maupun tumbuhan bawah. Dominansi suatu jenis

pohon ditunjukan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting

(INP) untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai –

nilai kerapatan relatif (KR), dominansi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau

INP = KR+FR+DR. Sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang, INP =

KR+FR. Persamaan – persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai – nilai

tersebut adalah sebagai berikut :

(39)

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis × 100%

Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah plot ditemukannya jenis

Jumlah total unit contoh Frekuensi suatu jenis

Frekuensi Relatif (FR) = × 100%

Total frekuensi seluruh jenis

Luas bidang dasar suatu jenis

2. Parameter Demografi Rusa

a. Laju Natalitas

Pendugaan natalitas diperoleh melalui perhitungan sebagai berikut :

D = Jumlah betina reproduktif

d. Pertumbuhan Populasi

Model Pertumbuhan Logistik

N = rt

Keterangan: K = nilai daya dukung habitat No = ukuran populasi awal

Nt = ukuran populasi pada tahun ke-t

(40)

3. Daya Dukung Pemburu

a. Kuota Buru

Menurut van Lavieren (1982) dalam Ratag (2006), Besarnya panen maksimum yang lestari dihitung dengan menggunakan rumus:

MSY = 4

1 .r.K

Keterangan: r = laju pertumbuhan populasi pada lingkungan terbatas

(41)

Sumber : Bappeda 2005 A. Kesesuaian Kondisi Bio-Fisik Kawasan Sebagai kebun Buru

1. Tipe Penutupan Lahan

Kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2/Um/1954 tanggal 31 Agustus 1954 (Yunitasari, 2005). Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang petugas perhutani setempat (komunikasi pribadi, Pak Muhammad dan Pak Ajum) dan menurut Yunitasari (2005), luas kawasan hutan RPH Cariu BKPH Jonggol sekitar 3.169,55 ha yang terbagi ke dalam 10 petak kawasan hutan, dimana lokasi Penangkaran Rusa Jonggol sendiri terletak di dalam Petak 9 RPH Cariu, BKPH Jonggol. Luas keseluruhan yang digunakan sebagai Penangkaran Rusa Jonggol (PRJ) adalah 5 ha yang dibatasi dengan pagar kawat (Azis, 1996).

Gambar 2. Kondisi penutupan lahan kawasan petak 9

(42)

4,1 ha). Pada awalnya sekitar awal tahun 1991, berdasarkan hasil wawancara dengan salah-satu petugas bagian penanaman di BKPH Jonggol RPH Cariu (komunikasi pribadi, Pak Muhammad), dan dengan salah satu petugas bagian penyuluhan kehutanan di RPH Cariu (komunikasi pribadi, Pak Acip) serta menurut Fakultas Kehutanan (1991), luas areal yang diusulkan untuk lokasi wisata buru di Jonggol adalah seluas ± 1000 ha yaitu di area petak 7 seluas 242 ha, petak 8 seluas 218 ha dan petak 9 seluas 535 ha. Akan tetapi kemudian, berdasarkan hasil survey lapangan ke petak 7, 8 dan 9, dan wawancara dengan petugas, masyarakat sekitar serta perubahan penutupan lahan akibat pertambahan penduduk, maka disimpulkan bahwa diantara ketiga petak tersebut, petak 9 adalah lokasi sekitar penangkaran yang paling ideal saat ini untuk dijadikan lokasi perburuan disebabkan oleh kondisi bio-fisik kawasannya yang masih baik dan belum terlalu tersentuh oleh manusia seperti pemukiman penduduk, serta jumlah sawah yang masih sedikit. Luas Petak 9 pada tahun 2005 berdasarkan tipe penutupan lahan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas kawasan Petak 9 berdasarkan tipe penutupan lahan

Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase (%)

Awan (no data) 3 0,6

Hutan tanaman 499 93,3

Sawah irigasi 33 6,1

Jumlah 535 100

Sumber. Data Primer, 2006.

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa tipe penutupan lahan sebagian besar (93,3 %) berupa hutan tanaman dan sisanya adalah sawah irigasi (6,1%). Hal ini membuktikan bahwa kawasan petak 9 termasuk kawasan yang masih memiliki kondisi kawasan yang baik yang belum banyak tersentuh oleh manusia seperti pemukiman penduduk atau enclave.

Namun demikian, berdasarkan hasil survei di lapangan jenis penutupan lahan yang ada di petak 9 selain hutan tanaman dan sawah, juga ada semak-belukar dan padang rumputnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, diketahui bahwa luas areal yang ditumbuhi oleh rerumputan yang rapat dan banyak ±10 % dari luas petak contoh. Berdasarkan hal itu, maka luas padang rumput di petak 9 diperkirakan sekitar 53,5 ha.

(43)

subur dan menghijau, walaupun pada musim kemarau. Padang rumput dan semak-belukar di kawasan petak 9 tidak terlalu luas, namun lokasinya tersebar. Berdasarkan penutupan lahan, diketahui bahwa rusa pada umumnya menyukai habitat hutan dataran rendah, dataran terbuka, padang rumput, dan semak belukar. Oleh karena itu, kawasan ini memiliki potensi yang cukup baik bagi pengembangan kebun buru dikarenakan memiliki penutupan lahan yang sesuai bagi kebutuhan satwa buru.

Namun demikian, walaupun di kawasan petak 9 sebagian besar kawasannya ditumbuhi oleh rerumputan dan atau tumbuhan bawah, tetapi untuk lebih mengoptimalkan pengembangan kebun buru, maka diperlukan juga pembinaan habitat secara berkala dan salah-satu caranya adalah dengan penambahan luas padang perumputan yang ada dikawasan ini untuk meningkatkan daya dukungnya. Areal yang memungkinkan untuk perluasan padang perumputan adalah areal-areal yang berpenutupan lahan berupa sawah dan semak-belukar.

Gambar 3. Padang rumput dan semak-belukar di kawasan petak 9 2. Topografi

(44)

Sumber: Bappeda 2005

penghujan ataupun kemarau. Selain itu, pada umumnya rusa dapat hidup pada tempat-tempat dengan kemiringan lahan ringan hingga hutan perbukitan yang memiliki kemiringan lahan sangat curam. Berdasarkan ketingggian tempat, kawasan petak 9 sangat mendukung bagi habitat satwa buru rusa jawa karena memiliki ketinggian 100-750 m dpl, sedangkan berdasarkan literatur data penyebaran dan habitat rusa jawa secara alami, rusa jawa dapat ditemukan mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2600 m dpl (Direktorat PPA, 1978).

Gambar 4. Ketinggian tempat kawasan petak 9 Penangkaran Rusa Jonggol.

Berdasarkan Gambar 4, maka luas kawasan Petak 9 menurut ketinggian tempat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas kawasan Petak 9 berdasarkan ketinggian tempat

Ketinggian Tempat (m dpl) Luas_(Ha) Presentase (%)

100 - 250 266,72 49,85

250 - 500 266,00 49,72

500 - 750 2,28 0,43

Jumlah 535 100

Sumber. Data Primer, 2006.

(45)

Sumber: Bappeda 2005 berlindung dari predator yang dalam hal ini adalah pemburu, dimana area perlindungan bagi satwa buru ini memiliki kemiringan lereng di atas 40 % (Ratag, 2006). Apabila suatu kawasan hanya mempunyai kelas kelerengan lahan datar atau landai saja, maka dapat dipastikan tidak ada tempat berlindung bagi satwa buru dari kejaran para pemburu, selain itu juga dapat membuat para pemburu tidak mendapatkan tantangan yang berarti dalam memburu satwa buru sehingga kegiatan berburu jadi mudah serta membosankan.

Gambar 5. Kemiringan lahan kawasan petak 9 Penangkaran Rusa Jonggol Berdasarkan Gambar 5, maka luas kawasan Petak 9 berdasarkan kelas kemiringan lahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas kawasan Petak 9 berdasarkan kemiringan lahan

Kelas Lereng (%) Luas (Ha) Presentase (%) Keterangan

0-8 116,40 21,76 Datar

8-15 131,88 24,65 Landai

15-25 201,11 37,59 Agak curam

25-45 81,86 15,30 Curam

>45 3,76 0,70 Sangat Curam

Jumlah 535 100

Sumber. Data Primer, 2006.

(46)

kemudian diikuti oleh landai, datar dan curam, sedangkan kemiringan lahan sangat curam adalah yang paling kecil luasnya. Berdasarkan literatur diketahui bahwa satwa buru rusa pada umumnya dapat hidup pada tempat-tempat dengan kemiringan lahan ringan hingga hutan perbukitan yang memiliki kemiringan lahan sangat curam, sedangkan bagi pemburu dapat melakukan perburuan pada kondisi topografi yang masih dapat ditolerir satwa buru dan relatif mudah dilalui pemburu dengan berjalan kaki (Ratag, 2006).

Gambar 6. Pemandangan kawasan sekitar penangkaran dari areal petak 9 Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa areal petak 9 dapat memenuhi kebutuhan satwa buru dan pemburu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa satwa buru rusa dapat hidup pada tempat dengan kemiringan lahan ringan atau datar hingga hutan perbukitan yang sangat curam, sedangkan bagi pemburu hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan perburuan satwa buru dikarenakan kemiringan lahan yang beragam. Namun demikian, tidak semua areal kawasan petak 9 pada kemiringan lahan tertentu (sangat curam atau di atas kemiringan lereng 40 %) dapat dilakukan kegiatan perburuan. Jadi berdasarkan kemiringan lerengnya, luas lahan yang dapat diselenggarakan kegiatan perburuan sekitar 449,39 ha (landai-agak curam), sedangkan sisanya 87 ha (curam-sangat curam) sebagai areal perlindungan satwa buru rusa dari predator atau pemburu.

3. Sumber Air

(47)

baik. Kebutuhan tersebut sangat bervariasi menurut jenis rusa (de Vos, 1982). Air yang digunakan untuk kebutuhan minum di Penangkaran Rusa Jonggol tersedia dari aliran mata air yang mengalir melalui bagian dalam areal pengandangan penangkaran rusa. Sumber lainnya adalah dari sumur yang sengaja dibuat di dekat areal pengandangan. Untuk kawasan sekitar Penangkaran Rusa Jonggol khususnya Petak 9 mempunyai ketersediaan air bersih yang melimpah. Hal ini dikarenakan di dalam kawasan Petak 9 terdapat sungai-sungai yang mengalir di dalam kawasan ini. Beberapa sungai yang mengalir di dalam kawasan ini adalah Sungai Cibeet dan Sungai Citarum yang airnya mengalir sepanjang tahun (Yunitasari, 2005).

Gambar 7. Sungai Cibeet

Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kawasan petak 9 memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi kebun buru karena dapat memenuhi kebutuhan satwa buru rusa dan pemburu.

4. Aksesibilitas

Berdasarkan hasil survey lapangan, wawancara dan studi literatur, lokasi Penangkaran Rusa Jonggol dan Petak 9 terletak di tepi jalan alternatif atau jalur wisata ke arah Jakarta – Cibubur – Jonggol – Cariu – Cianjur. Jarak tempuh dari kota Bogor sampai ke lokasi adalah ± 83 km dengan waktu tempuh ± 3 jam, sedangkan jarak tempuh dari jakarta yaitu dari jalan tol cibubur sampai ke lokasi ± 40 km dengan waktu tempuh ± 1,5 jam, dan dari perbatasan antara Cianjur-Bogor berjarak ± 2 km dengan waktu tempuh ± 5 menit.

(48)

Jonggol dengan tarif ongkos Rp.10.000,- bus Jonggol – Cariu dengan tarif ongkos sebesar Rp. 5.000,- dan bus kota antar Jakarta – Bandung dengan tarif Rp. 20.000,- . Aksesibilitas lokasi yang cukup baik memberikan kemudahan bagi pemburu untuk mengunjungi lokasi ini sehingga dapat merupakan nilai tambah bagi pihak pengelola dalam mengembangkan kawasan ini menjadi kebun buru.

Gambar 8. (A) Pintu gerbang lokasi Penangkaran Rusa Jonggol, (B) Jalan setapak menuju Penangkaran Rusa Jonggol dan petak 9.

5. Kondisi Vegetasi

(49)

melakukan permudaan vegetasi yaitu menanam jenis-jenis vegetasi pohon yang memiliki tajuk yang beragam dan dapat menjadi sumber pakan bagi rusa sehingga dapat meningkatkan daya dukung habitatnya. Berdasarkan ketinggian tempat dari pemukaan laut, kawasan hutan di petak 9 sebagian besar (99,6 %) termasuk ke dalam hutan dataran rendah (< 700 m dpl) yang sesuai dengan habitat rusa jawa yaitu hutan dataran rendah hingga ketinggian 2600 m dpl (Direktorat PPA, 1978).

a. Kekayaan Jenis Vegetasi

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di dalam dan di luar penangkaran rusa diperoleh sebanyak 55 jenis vegetasi, yang terdiri atas 21 jenis pepohonan dan 34 jenis vegetasi non-pepohonan. Dari total jumlah jenis vegetasi pepohonan dan non-pohon yang ditemukan, jelas terlihat bahwa areal petak 9 memiliki kekayaan jenis lebih tinggi (87,27%) dibandingkan dengan yang ada di dalam penangkaran (30,91%) dikarenakan hampir semua jenis vegetasi pepohonan dan non-pohon yang ditemukan di dalam penangkaran, ditemukan juga di areal petak 9 dan vegetasi yang ada di petak 9 tidak ditemukan di dalam penangkaran. Jenis-jenis vegetasi pepohonan yang ditemukan disajikan pada Lampiran 4 dan jenis-jenis vegetasi non-pohon yang ditemukan disajikan pada Lampiran 5.

(50)

b. Dominasi

Berdasarkan hasil analisis vegetasi di dalam penangkaran, jenis vegetasi pepohonan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon pada tipe vegetasi padang rumput adalah Pinus merkusii (INP = 168,70%), sedangkan pada tipe vegetasi semak belukar jenis vegetasi pepohonan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon adalah Schima walichii (INP = 129,91%). Pada jenis vegetasi non-pohon atau tumbuhan bawah, jenis vegetasi yang mendominasi pada tipe vegetasi padang rumput adalah Axonopus compressus (INP = 142,64%), sedangkan pada tipe vegetasi semak-belukar adalah Eupatorium sp (INP = 107,13%). Daftar jenis vegetasi dominan di dalam penangkaran rusa disajikan pada Tabel 5 .

Tabel 5. Jenis-jenis vegetasi dominan di dalam penangkaran rusa

Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Nama ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah Rumput paitan Axonopus compressus 142,64

Kirinyuh Eupatorium sp 107,13

Pohon Pinus Pinus merkusii 168,70

Puspa Schima walichii 129,91

Selain itu, berdasarkan hasil analisis vegetasi di luar penangkaran rusa yaitu di kawasan petak 9, jenis vegetasi pepohonan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon pada tipe vegetasi hutan tanaman adalah Sweitenia sp (INP = 149,42%) dan Acasia mangium (INP = 59,35%), sedangkan pada tipe vegetasi semak-belukar tidak ditemukan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon. Pada jenis vegetasi non-pohon atau tumbuhan bawah, jenis vegetasi yang mendominasi pada tipe vegetasi hutan tanaman adalah Axonopus compressus (INP = 33,45%), sedangkan pada tipe vegetasi semak-belukar yang mendominasi adalah Saccharum spontaneum (INP = 27,14%). Daftar jenis vegetasi dominan di hutan tanaman dan semak-belukar areal petak 9 disajikan pada Tabel 6 dan indeks nilai penting setiap jenis secara lengkap disajikan pada lampiran 6 sampai lampiran 10.

Tabel 6. Jenis-jenis vegetasi dominan di luar penangkaran (areal petak 9)

Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Nama ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah Rumput paitan Axonopus compressus 33,45

Rumput kaso Saccharum spontaneum 27,14

Pohon Mahoni Sweitenia sp 149,42

(51)

6. Kesesuaian Bio-Fisik Kawasan Untuk Habitat Satwa Buru

Pada umumnya habitat alami rusa berupa hutan, dataran terbuka, padang rumput, savana serta semak belukar. Padang rumput dan daerah terbuka lainnya digunakan untuk mencari makanan, sedangkan hutan dan semak belukar digunakan untuk tempat berteduh, melahirkan anak, berlindung atau sembunyi. Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Rusa dapat hidup pada tempat tempat dengan kemiringan lahan landai hingga yang sangat curam. Rusa jawa dapat diketemukan di dataran rendah hingga ketinggian 2600 m, dan rusa totol pada ketinggian 1000 – 2000 m dpl, sedangkan rusa bawean bahkan dapat ditemukan di hutan tanaman jati (Direktorat PPA, 1978).

Namun demikian, pada umumnya rusa lebih menyukai areal hutan dengan kemiringan lahan yang beragam. Berdasarkan penutupan lahan maka rusa lebih menyukai areal hutan jarang hingga sedang dan semak-belukar. Selain itu, pada umumnya, rusa memerlukan tegakan pepohonan untuk penorehan ranggah. Penorehan ranggah pada batang pohon berkaitan dengan siklus pertumbuhan biologis dan produksi hormon yang berperan dalam system reproduksi rusa jantan, juga berfungsi sebagai penanda teritorial.

Gambar 10. Kawasan petak 9

Gambar

Gambar 1. Peta Kawasan Penangkaran Rusa Jonggol Jawa Barat
Tabel 1. Kondisi curah hujan kecamatan Tanjungsari
Tabel 1. Jenis data primer yang dikumpulkan dan metode yang digunakan serta sumber data
Tabel 2. Jenis data sekunder yang dikumpulkan dan metode yang digunakan serta sumber data yang diperlukan
+7

Referensi

Dokumen terkait