PERJANJIAN PEMBIAYAAN
BANK SUMUT SYARIAH
(Studi Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat)
OLEH:
ANDRA MULIA FATWA
NIM: 203046101672
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
ﻢﻴﺣ
ﺮﻟا
ﻦﻤﺣ
ﺮﻟا
ﷲا
ﻢﺴﺑ
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Rasulullah Muhammad SAW. keluarganya, pula sahabatnya dan umatnya.
Dengan segala rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang penulis jalani dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dikerjakan dalam kesendirian. Di balik keberhasilan selalu ada pihak lain yang memberikan semangat, motivasi, bimbingan serta doa. Untuk itu penulis sangat berterima kasih atas bantuan dan jasa yang diberikan oleh berbagai pihak dalam penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam menentukan judul dan dalam penyelesaian hal-hal administratif dan nasehat-nasehat yang sangat berharga.
3. Bapak Drs. Hasanuddin M.Ag dan Bapak Drs, Djawahir Hejazziey, SH., MA selaku pembimbing yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.
4. Bapak H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MH. dan Bapak Drs. Ahmad Yani, M.Ag. selaku penguji.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang banyak berperan dalam memberikan pembelajaran. 6. Pimpinan dan seluruh Staf Karyawan perpustakaan utama dan perpustakaan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu fasilitas untuk studi kepustakaan.
7. Terkasih dan tercinta, Ibunda saya Hj. Nurjani S.Pd.I dan Ayahanda Wagino S.Pd atas cinta dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menjalani hidup dan dan menikmati pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, cucuran keringat yang telah engkau berikan kepada ananda hingga sukses meraih gelar Sarjana S1.
9. Keluarga Besar Kyai, Abdul Rahman beserta Umi Dech.
10.Keluarga Besar PT. Bank Sumut Syariah Cab. Pembantu Stabat Kab. Langkat yang telah memberikan informasi banyak tentang Bank Sumut Syariah sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Keluarga Besar Bang Alfian.
12.Keluarga Besar Syekh Bessilam, Tanjung Pura Kab. Langkat-Sumut. 13.Buat Ibu Kosan yang Slalu Mendo’akan.
14.Keluarga Besar Pak Endang
15.Bang Kamal dan Kak Inur, yang selama ini telah memberikan support serta kontribusi besar kepada penulis sehingga mempercepat proses penyusunan skripsi ini.
16.Teman-teman PS B terima kasih atas kebersamaannya selama kita 4 tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. Apalagi disaat kita KKN di Gunung Putri Cianjur I always miss all.
17.Teman-temanku di saat menghadapi wisuda, Ayu Dhoni, Prita, Eli, Sahmi Sitompul, Uda Dion beserta Uni, Alfi, Fia, Eko Kusumo, Inal Pc, Boyduz, Hasbullah, Ram, Sarmy, Alan Nochi, Boy, Fatwa Ginting, Dhany, Ajo (dkk), Bosstink, Hadi, Egar, Helmy, Honess, Bang Rio dan Ficky (under story),
terima kasih sudah menemani saat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Jakarta, 3 Juni 2008 M
1 Jumadil Ula 1429 H,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………... i
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Kajian Pustaka……… 9
E. Kerangka Teori dan Konsep……… 10
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN TEORITIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN A. Perjanjian Pembiayaan ... 15
B. Azas-azas Perjanjian……… 21
C. Syarat dan Rukun Akad……….. 31
D. Batalnya Perjanjian………. 38
E. Pembiayaan………. 40
F. Prinsip Dasar Kegiatan Perbankan Syariah ... 42
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH A. Tinjauan Tentang Bank Sumut Syariah ... 54
1. Pendirian Bank Sumut Syariah ... 54
2. Modal Awal Bank Sumut Syariah... 54
3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut Syariah ... 57
B. Produk-Produk Bank Sumut Syariah ... 60
BAB IV ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH
A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan di
Bank Sumut Syariah... 77 B. Bentuk Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Sumut
Syariah ... 82 C. Analisis Perjanjian Pembiayaan pada Bank Sumut
Syariah ... 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 97 B. Saran-saran... 97
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjanjian pembiayaan pada bank sumut syariah
Muamalah Bank
Konvensional syariah
Bank Sumut Syariah
Konvensional syariah
Manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya
membutuhkan orang lain agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya, dengan cara memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aktivitas pemenuhan kebutuhan tersebut melahirkan berbagai kegiatan muamalah antar umat manusia, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Berbagai aktivitas
ekonomi tersebut terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan peradaban manusia dan juga perkembangan teknologi.
memiliki atau kekurangan modal akan dapat meminjam kredit melalui perbankan, sehingga dapat terbantu dalam melaksanakan berbagai rencananya, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian jelaslah bahwa perbank merupakan salah satu fasilitas penting dalam perekonomian modern saat ini.
Keberadaan perbankan juga telah mengalami perkembangan dalam penerimaan oleh masyarakat muslim. Pada awalnya sebagaian besar masyarakat muslim tidak menerimanya, karena ia termasuk kegiatan riba. Selanjutnya sebagain mereka dapat menerimanya, karena aktivitas riba tersebut dianggap tidak sama dengan ang terjadi pada masa
Rasululllah SAW dan mengingat kepentingannya pada masa sekarang. Namun demikian sebagian masyarakat tetap belum dapat menerima praktek perbankan yang konvensional karena masih terdapatnya unsur riba tersebut, walaupun dengan berbagai dalih atau alasannya, sehingga memerlukan suatu perbankan yang benar-benar bersih dari aktivitas atau unsur riba tersebut. Keadaan ini mendorong masyarakat muslim untuk melahirkan model perbankan yang benar-benar sesuai dengan syariat Islam. Keadaan ini akhirnya melahirkan perbankan syariah yang dianggap telah meneuhi unsure-unsur syariah tersebut dan bebar dari unsur riba. Hal ini menyebabkan tumbuhnya berbagai perbankan syariah di luruh wilyah Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Utara.
Salah satu perbankan syariah di Provinsi Sumatera Utara adalah Bank Sumut Syariah. Bank ini cukup dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam pelayanan maupun fasilitas. Bank ini didirikan pada tanggal 4 November 2005 dengan Akte Notaris Roesli Nomor 22 dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan pokok bank milik
Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1965. Perda tersebut menetapkan modal dasar sebesar Rp 3 Triliun dan sahamnya hanya dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintahan Daerah Tingkat II di seluruh Sumatera Utara.
Salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank Sumut Syariah adalah penyalur pembiayaan kepada masyarakat. Dalam
penyaluran pembiayaan terhadap masyarakat para pihak terikat dengan perjanjian, hal itu bertujuan untuk menjamin segala kemungkinan yang terjadi pada masa pembiayaan berlangsung. Untuk itu antara pihak kreditur (yang memberikan pinjaman/pembiayaan) dengan pihak debitur (orang yang menerima pinjaman/kredit/pembiayaan) haruslah terikat satu perjanjian. Perjanjian sebagaimana dimaksud dikenal dengan istilah perjanjian penyaluran pembiayaan.
dengan hak dan kewajiban debitur maupun kreditur. Dalam hal ini kreditur memberikan pinjaman kepada debitur, sehingga kreditur berhak untuk menuntut pembayaran dari hutang debitur. Sebaliknya debitur sebagai pihak yang berhutang memiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan isi dari perjanjian. Konsekuensinya debitur harus membayar hutangnya pada saat jatuh tempo atau ada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Berkaitan dengan perjanjian penyaluran pembiayaan, maka perlu dilihat pendapat yang dikemukakan oleh R. Setiawan yang menyatakan “Perjanjian adalah persetujuan atau perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”1
Selanjutnya Hoffman menyebutkan “Perikatan adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu
(prestasi), sedangkan pihak yang lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan biasanya juga bertanggung jawab (haftung) atas prestasi itu.2
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam suatu hubungan hukum akan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Demikian pula dengan halnya dengan perjanjian yang dilakukan oleh kreditur (Bank) dengan pihak debitur (nasabah).
Eksitensi perbankan sebagai layanan jasa keuangan berbasis pada kepercayaan nasabah. Diatur dalam ketentuan perbankan dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, tentang Perbankan Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Perbankan. Dengan adanya ketentuan syariah, Pasal 1 butir 1 jo 13. Yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.
Perjanjian dalam bank syari’ah?
Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarklan Hukum Islam antar bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (mudharabah) atau pembiayaan
1
P.N.H, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, 1999., h. 332
2
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina).
Dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka berlaku dual sistem dalam pengelolaan bank, yakni secara konvensional dengan menggunakan bunga (interest) untuk setiap peminjaman atau penyimpangan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang merupakan dasar perbankan pada Bank Syariah.
Faktor utama sebagai dasar pertimbangan bagi nasabah dalam memilih layanan perbankan adalah kepercayaan atas kinerja profesional perbankan, seperti jaminan keamanan dana nasabah, efektifitas dan efisien layanan jasa perbankan. Faktor bunga tidaklah menjadi alasan utama nasabah dalam memilih jasa perbankan, sebagian masyarakat tidak terlalu memperhatikan masalah atas bunga tersebut,dan lebih mengutamakan efektifitas, efisiensi dan keamanan atas dana yang disimpan oleh lembaga perbankan.
Eksitensi lembaga perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi salah satu alternatif lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi 1997 yang berimbas pada likuidasi perbankan nasional.
“Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51”.3
Kepercayaan masyarakat yang sempat goyah terhadap perbankan konvensional akibat krisis moneter perbankan tahun 1997 tersebut, kembali pulih dan tetap menjadi mainstream bagi masyarakat dengan alasan kepercayaan atas profesional perbankan. Menanggapi timbulnya interest masyarakat atas prinsip syariah, perbankan konvensional pun dengan responsive mengembangkan layanan dengan membuka unit syariah dalam fasilitas layanan jasa perbankan. Dengan profesional kinerja perbankan dan kredibilitas yang sudah disandangnya,
keberadaan unit perbankan syariah dalam perbankan konvensional telah menjadi competitor bagi perbankan syariah.
Atas dasar itu pula Bank Sumut sebagai bank konvensional membuka layanan bank dengan sistem syariah. Dalam penelitian ini penlis mencoba meninjau lebih jauh tentang bagaimana penyaluran kredit oleh Bank Sumut Syariah.
3
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis memilih judul skripsi “PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH ”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Batasan masalah merupakan hal yang sangat penting untuk
ditentukan dahulu sebelum sampai tahap pembatasan selanjutnya.
Melihat luasnya cakupan pembahasan serta menghindari kesimpang
siuran dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul dan latar
belakang masalah yang dijelaskan diatas. Maka penulis membatasi
masalah sampai prinsip dasar sistem pelayanan pada bank syariah dan
penyaluran dana.
Adapun rumusan masalah yang penulis bahas yaitu :
- Apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah memenuhi
ketentuan syariah.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penyusunan skripsi harus mempunyai tujuan dan manfaat
penelitian. Adapun tujuan yang dilakukan penulis sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pembiayaan di Bank Sumut Syariah
2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian pembiayaan Bank Sumut
Syariah kepada nasabah.
3. Untuk mengetahui apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut
Adapun manfaat penelitian yang diperoleh penulis, baik Pada
instansi maupun masyarakat. Jika diperinci, maka penelitian yang
penulis laksanakan memiliki 2 manfaat yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian yang penulis lakukan dapat
memberikan penambahan ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan
dalam bidang ilmu pengetahuan dapat pula memecahkan atau
mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis
dan masyarakat, khususnya bagi penulis akan lebih memudahkan
jika suatu waktu berhadapan dengan persoalan dibidang perbankan,
khususnya yang menyangkut perbankan Syariah. Selanjutnya
penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman bagi penulis
sebagai modal untuk dapat bekerja dengan baik dimasa mendatang.
D. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipergunkan adalah dengan metode
yuridis normative yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
pustaka yang merupakan data sekunder seperti: Perundang-undangan
literatur yang berhubungan dengan penyaluran pembiayaan pada Bank
Perjanjian pembiayaan pada bank sumut syariah
Data:
Sumber data: Pihak bank ---- Masyarakat (nasabah)
Alat pengumpul data:wawancara --- studi documenter ---- library Analisis: Deskriptif --- tabel frekuensi persentase
Muamalah Bank
Konvensional syariah
Bank Sumut Syariah --- pembiayaan
Perjanjian ==
--- sah secara syariah
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian ini adalah data primer. Data primer yang
diperoleh dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian,
selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran
yang jelas tentang pokok permasalahan. Dengan analisis kualilatif
maka data yang diperoleh dari responden menghasilkan data
deskriptif analisis, sehingga dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu
yang utuh.
Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan
hukum primer berupa seperti:
a. Undang-undang No. 10 Tahtm 1998 tentang Perbankan.
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Observasi: pengamatan Wawancara: pertanyaan lisan Angket: pertanyaan tulisan Tes:
Studi Dokumenter= dokumen Library: buku-buku
a. Library Research (Penelitian Kepustakaan).
Metode ini penelitian dilaksanakan dengan cara mengambil
dari sumber bacaan tertulis dari para sarjana, yakni berupa
buku-buku atau bahan ilmiah yang menyangkut tentang penyaluran
dana pembiayaan oleh Bank Syariah.
b. Field Research (Penelitian Lapangan)
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara melaksanakan
observasi langsung pada Bank Sumut Syariah dan sekaligus
mengadakan wawancara dengan staff perwakilan Bank Sumut
Syariah Medan.
3. Analisa Data
Data sekunder dari bahan hukum primer disusun secara
sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis
(contens analysis) untuk memperoleh gambaran tentang pokok
permasalahan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I PendahuluanPada Bab I ini yang kita bahas adalah: A.
Latar Belakang Masalah, B. Pembatasan dan Perumusan Masalah, C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian, D. Metode penelitian, E. Sistematika
Penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka,A. Gambaran Umum Tentang Bank
Syariah, (1) Sejarah Singkat Bank syariah, (2) Latar Belakang Bank
Syariah (3) Fungsi Bank Syariah, (4) Tujuan Bank syariah. B.
Gambaran Umum Tentang Perjanjian, (1) Pengertian Perjanjian secara
Umum, (2) Bentuk Perjanjian Sistem Pembiayaan Bank sumut Syariah,
(3) Perjanjian Penyaluran Pembiayaan Bank Syariah, (4) Sistem
Penghimpun Dana Bank Syariah, (5) Prinsip Dasar Sistem Pelayanan
Bank Syariah.
Bab III Gambaran Umum Tentang Bank Sumut Syariah, A.
Pembahasan Tentang Bank Sumut Syariah, (1) Pendirian Bank Sumut
Syariah, (2) Modal awal Bank Sumut Syariah, (3) Struktur
Kepengurusan Bank Sumut Syariah, (4) Kedudukan Bank Sumut
Syariah di Bank Indonesia, B. Produk-Produk di Bank SUMUT Syariah,
(1) Penghimpun Dana, (2) Penyaluran Dana, (3) Pelayanan Jasa C.
Realisasi Bank Sumut Syariah.
Bab IV Analisis Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah, A.
Ketentuan Umum Dan Syarat Memperoleh Pembiayaan Di Bank Sumut
Pembiayaan Murabahah, (2) Pembiayaan Mudharabah D. Landasan
Hukum.
BAB V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG BANK SYARIAH
A. Gambaran Umum Tentang Bank Syariah
1. Sejarah Singkat Bank Syariah
2. Latar Belakang Bank Syariah
3. Fungsi Bank Syariah
a. Bank Umum
4. Tujuan Bank Syariah
a. Menjalankan kegiatan ekonomi umat
b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat,
B. Gambaran Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Secara Umum
2. Syarat dan Rukun Akad
a. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)
b. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad) c. Ma’qud ‘alaih (obyek akad),
d. Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).
C. Prinsip Dasar Sistem Pelayanan Pada Bank Syariah
1. Fungsi Bank Islam
a. sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki
c. Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembanyaran dan jasa-jasa lainnya d. Sebagai pengelola fungsi sosial
d) Sharf
5) Prinsip kebajikan 2. Produk Bank Islam
a. Penyaluran dana b) mudharabah muqayadah c) wakalah
d. Jasa Perbankan
1) sharf (jual beli valuta asing) 2) ijarah(sewa)
D. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah
Dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri dari: 1. Modal
2. Titipan 3. Investasi
E. BentukPerjanjian Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah
1. Pembiayaan Modal Kerja
a. Pembiayaan Likuidasi (Cash financing) b. Pembiayaan Piutang
1) Pembiayaan piutang (Receivable Financing) 2) Anjak Piutang (Factoring)
c. Pembiayaan persediaan (Inventory Financing) 1). Bai'al-Murabahah,
2). Bai' al-Istisha', 3). Bai' as-Salam,
2. Pembiayaan Investasi
3. Pembiayaan Konsumtif
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH
a. Pembahasan tentang Bank SUMUT Syariah
1. Pendirian bank SUMUT syariah
2. Modal Awal Bank SUMUT Syariah
3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut
Syariah
4. Kedudukan Bank Sumut Syariah di
SUMUT (Sumatra Utara)
b. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah
i. Penghimpun Dana
I. Produk Wadiah (titipan Wadiah)
a. Tabungan Marwah (martabe wadiah) b. Giro Wadiah
Adapun ketentuan umum dari produk ini adalah : a. Keuntungan atau kerugian b. Bank harus membuka akad. c. Pengganti biaya administrasi d. Ketentuan-ketentuan lain
II. Produk Mudharabah (bagi hasil)
a. Tabunagan Marhamah (martabe bagi hasil mudharabah) b. Deposito Ibadah
Dalam kegiatan penghimpun dana, mudharabah terbagi menjadi : a. GIA = General Investment Account (mudharabah mutlaqah)
Ketentuan umum : a. Bank wajib
b. Untuk tabungan mudharabah c. Tabungan dan deposito d. Ketentuan-ketentuan
b.SIA = Special Investment Account (mudharabah muqayyadah)
a. Dikelola dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah . b. Pemilik dana mendapat bagi hasil .
c. Dapat dijadikan jaminan pembiayaan di PT. Bank Sumut
ii. Penyaluran dana.
III. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. IV. Gadai Emas Syariah.
V. Qardh
iii. Pelayanan Jasa
Bank Sumut Syariah merupakan perwujudan dari komitmen Pengelola untuk memberikan “pelayanan terbaik” dalam memenuhi kebutuhan nasabah akan jasa yang kami tawarkan kepada nasabah adalah :
I. Kiriman Uang (Transfer) II. Inkaso (jasa tagih)
III. Bank Garansi
a. Memilih antara Wadiah dan Mudharabah b. Giro
c. Tabungan d. Deposito
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH
A. Pembahasan tentang Bank SUMUT Syariah
1. Pendirian bank SUMUT syariah
2. Modal Awal Bank SUMUT Syariah
3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut Syariah
4. Kedudukan Bank Sumut Syariah di SUMUT (Sumatra
Utara)
B. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah
1. Penghimpun Dana
2. Produk Wadiah (titipan Wadiah)
a. Tabungan Marwah (martabe wadiah) b. Giro Wadiah
3. Produk Mudharabah (bagi hasil)
a. Tabunagan Marhamah (martabe bagi hasil mudharabah) b. Deposito Ibadah
Dalam kegiatan penghimpun dana, mudharabah terbagi menjadi :
a. GIA = General Investment Account (mudharabah
mutlaqah)
b. SIA=Special Investment Account(mudharabah muqayyadah)
4. Penyaluran dana.
a. Transaksi Jual Beli dalam bentuk Piutang Murabahah b. Transaksi Bagi Hasil Mudharabah
c. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik d. Gadai Emas Syariah
e. Qardh
5. Pelayanan Jasa
a. Kiriman Uang (Transfer) b. Inkaso (jasa tagih)
c. Bank Garansi
d. Memilih antara Wadiah dan Mudharabah e. Giro
f. Tabungan g. Deposito
BAB IV
ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH
A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan 1. Pembiayaan Mudharabah
2. Pembiayaan Murabahah
B. Bentuk Perjanjian di Bank Sumut Syariah 1. Perjanjian Mudharabah
2. Perjanjian Murabahah C. Analisis Penulis
1. Perjanjian Mudharabah
BAB IV
ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH D. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan di Bank SUMUT
Syariah
• Perseorangan
• Badan Usaha ( Fa, Cv, PT )
• Kelompok Musytari’ (Instansi, Lembaga, BUMN, BUMD, Koperasi, Perusahaan Bonafide)
I. Proses Pengadaan Barang
I. Prosedur Kepada Perseorangan (1) I. Prosedur Kepada Perseorangan (2) II. Prosedur Kepada Badan Usaha III. Kelompok Pegawai
- Agunan / Jaminan
E. Analisis Akad Pembiayaan Bank Sumut Syariah 1. Akad Pembiayaan Murabahah
Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok :
1. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan URIA (Unre stricted
Investment Account = investasi tidak terikat).
2. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan RIA (Restricted
Investment Account = investasi terikat).
3. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan Modal Bank. Definisi dalam akad pembiayaan murabahah bank sumut syariah ini, yang dimaksud dengan :
1. Jual-beli Murabahah 2. Akad Pembiayaan Mudharabah
2. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) 3. Nisbah adalah rasio atau perbandingan pembagian keuntungan (bagi hasil) 4. Bagi hasil adalah bagian hasil usaha yang dihitung dari pendapatan usaha 5. Modal (Maal) adalah dalam uang tunai atau hutang yang diperdagangkan 6. Barang adalah barang yang dihalalkan berdasarkan Syariah baik zatnya 7. Agunan adalah barang bergerak maupun tidak bergerak yang didukung
oleh
8. Cidera Janji (wanprestasi) adalah keadaan tidak dilaksanakannya sebagian
9. Denda adalah sanksi yang dikenakan kepada nasabah oleh Bank, yang 10.Keuntungan Usaha adalah pertambahan harta yang diperoleh dalam 11.Kerugian Usaha adalah berkurangnya harta di dalam menjalankan 12.Pendapatan adalah seluruh penerimaan yang diperoleh dari hasil usaha
yang
13.Keuntungan Operasional adalah pendapatan operasional yang diperoleh dari
14.Keuntungan Bersih adalah keuntungan operasional setelah dikurangi biaya
15.Pembukuan Modal adalah pembukuan atas nama Syirkah pada Pihak 16.Hari Kerja Bank
F. Landasan hukum
3. Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 4. Pactum Compromittendo
LEMBAGA/BADAN ARBITRASE (“Wasit”) terdiri dari : 1. Wasit Ad Hoc.
2. Wasit Permanen.
3. Lembaga Pemberi Pendapat yang Bersifat Final. C. Analisis Penulis
1. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)
2. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad) 3. Ma’qud ‘alaih (obyek akad),
BAB I
PENDAHULUAN
F. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya
membutuhkan orang lain agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya,
dengan cara memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aktivitas pemenuhan
kebutuhan tersebut melahirkan berbagai kegiatan muamalah antar umat
manusia, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Berbagai aktivitas
ekonomi tersebut terus mengalami perkembangan seiring dengan
kemajuan peradaban manusia dan juga perkembangan teknologi.
Dalam aktivitas perekonomian tersebut, maka peranan bank
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam
perdagangan antar negara maupun perdagangan dalam negara. Dengan
melalui bank, berbagai transaksi dalam dunia perdagangan dapat
dilakukan dengan lebih cepat dan lebih mudah, karena tidak harus
melalui transaksi dalam bentuk tunai. Di segi lain, melalui perbankan
masyarakat juga dapat menyimpan uangnya secara aman dan dapat
memperoleh penghasilan dari aktivitas menyimpan tersebut. Di segi
lain, masyarakat yang tidak memiliki atau kekurangan modal akan dapat
melaksanakan berbagai rencananya, khususnya dalam kegiatan
ekonomi. Dengan demikian jelaslah bahwa perbankan merupakan salah
satu fasilitas penting dalam perekonomian modern saat ini.
Keberadaan perbankan juga telah mengalami
perkembangan dalam penerimaan oleh masyarakat muslim. Pada
awalnya sebagaian besar masyarakat muslim tidak menerimanya, karena
ia termasuk kegiatan riba. Selanjutnya sebagain mereka dapat
menerimanya, karena aktivitas riba tersebut dianggap tidak sama dengan
Yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan mengingat
kepentingannya pada masa sekarang. Namun demikian sebagian
masyarakat tetap belum dapat menerima praktek perbankan
konvensional karena masih terdapatnya unsur riba tersebut, walaupun
dengan berbagai dalih atau alasannya, sehingga memerlukan suatu
perbankan yang benar-benar bersih dari aktivitas atau unsur riba
tersebut. Keadaan ini mendorong masyarakat muslim untuk melahirkan
model perbankan yang benar-benar sesuai dengan syariat Islam.
Keadaan ini akhirnya melahirkan perbankan syariah yang dianggap
telah memenuhi unsur syariah tersebut dan bebas dari unsur riba. Hal ini
menyebabkan tumbuhnya berbagai perbankan syariah di seluruh
wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Utara.
Salah satu perbankan syariah di Provinsi Sumatera Utara
kepercayaan pada masyarakat dalam pelayanan maupun fasilitas. Bank
ini didirikan pada tanggal 4 November 2005 dengan Akte Notaris Roesli
Nomor 22 dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan pokok bank milik
Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I
Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1965. Perda tersebut menetapkan
modal dasar sebesar Rp 3 Triliun dan sahamnya hanya dimiliki oleh
Pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintahan
Daerah Tingkat II di seluruh Sumatera Utara.
Salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank
Sumut Syariah adalah penyalur pembiayaan kepada masyarakat. Dalam
penyaluran pembiayaan terhadap masyarakat para pihak terikat dengan
perjanjian, hal itu bertujuan untuk menjamin segala kemungkinan yang
terjadi pada masa pembiayaan berlangsung. Untuk itu antara pihak
kreditur (yang memberikan pinjaman/pembiayaan) dengan pihak debitur
(orang yang menerima pinjaman/kredit/pembiayaan) haruslah terikat
satu perjanjian. Perjanjian sebagaimana dimaksud dikenal dengan istilah
perjanjian penyaluran pembiayaan.
Perjanjian penyaluran pembiayaan merupakan suatu
hubungan hukum antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian
pembiayaan diatur dengan hak dan kewajiban debitur maupun kreditur.
kreditur berhak untuk menuntut pembayaran dari hutang debitur.
Sebaliknya debitur sebagai pihak yang berhutang memiliki kewajiban
untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan isi dari perjanjian.
Konsekuensinya debitur harus membayar hutangnya pada saat jatuh
tempo atau ada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal
tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Qashash ayat 28, sebagai
berikut:
Artinya: “Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".
Berkaitan dengan perjanjian penyaluran pembiayaan, maka
perlu dilihat pendapat yang dikemukakan oleh R. Setiawan yang
menyatakan “Perjanjian adalah persetujuan atau perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”4 Selanjutnya
Hoffman menyebutkan “Perikatan adalah hubungan hukum kekayaan
antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (prestasi), sedangkan
pihak yang lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut (schuld) dan biasanya juga bertanggung jawab (haftung) atas
4
prestasi itu.5 Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam suatu
hubungan hukum akan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh masing-masing pihak. Demikian pula dengan halnya dengan
perjanjian yang dilakukan oleh kreditur (Bank) dengan pihak debitur
(nasabah).
Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarklan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan
usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli
barang dengan memperoleh keuntungan (mudharabah) atau pembiayaan
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina).
Dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka
berlaku dual sistem dalam pengelolaan bank, yakni secara konvensional
dengan menggunakan bunga (interest) untuk setiap peminjaman atau
penyimpangan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang
merupakan dasar perbankan pada Bank Syariah. Eksitensi lembaga
5
perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi
salah satu alternatif lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai dampak
krisis ekonomi 1997 yang berimbas pada likuidasi perbankan nasional.
“Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga
perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah
bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78
BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81
BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum
syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51”.6
Kepercayaan masyarakat yang sempat goyah terhadap
perbankan konvensional akibat krisis moneter perbankan tahun 1997
tersebut, kembali pulih dan tetap menjadi mainstream bagi masyarakat
dengan alasan kepercayaan atas profesional perbankan. Menanggapi
timbulnya interest masyarakat atas prinsip syariah, perbankan
konvensional pun dengan responsive mengembangkan layanan dengan
membuka unit syariah dalam fasilitas layanan jasa perbankan. Dengan
profesional kinerja perbankan dan kredibilitas yang sudah
disandangnya, keberadaan unit perbankan syariah dalam perbankan
konvensional telah menjadi competitor bagi perbankan syariah.
Atas dasar itu pula Bank Sumut sebagai bank konvensional
6
membuka layanan bank dengan sistem syariah. Dalam penelitian ini
penulis mencoba meninjau lebih jauh tentang bagaimana penyaluran
kredit oleh Bank Sumut Syariah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis memilih
judul skripsi “PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK
SUMUT SYARIAH ”
G. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Batasan masalah merupakan hal yang sangat penting untuk
ditentukan dahulu sebelum sampai tahap pembatasan selanjutnya.
Melihat luasnya cakupan pembahasan serta menghindari kesimpang
siuran dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul dan latar
belakang masalah yang dijelaskan diatas. Maka penulis membatasi
masalah sampai prinsip dasar sistem pelayanan pada bank syariah dan
penyaluran dana.
Adapun rumusan masalah yang penulis bahas yaitu:
1. Bagaimana Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah?
2. Apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah
memenuhi ketentuan syariah?
H. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penyusunan skripsi harus mempunyai tujuan dan
berikut:
1. Untuk mengetahui pembiayaan di Bank Sumut Syariah.
2. Untuk mengetahui apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut
Syariah telah memenuhi ketentuan syariah.
Adapun manfaat penelitian yang diperoleh penulis, baik
Pada instansi maupun masyarakat. Jika diperinci, maka penelitian yang
penulis laksanakan memiliki 2 manfaat yaitu sebagai berikut:
3. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian yang penulis lakukan dapat
memberikan penambahan ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan
dalam bidang ilmu pengetahuan dapat pula memecahkan atau
mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada.
4. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk
penulis dan masyarakat, khususnya bagi penulis akan lebih
memudahkan jika suatu waktu berhadapan dengan persoalan
dibidang perbankan, khususnya yang menyangkut perbankan
Syariah. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pengalaman bagi penulis sebagai modal untuk dapat bekerja dengan
baik dimasa mendatang.
Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis melihat bahwa apa yang merupakan masalah pokok penelitian ini tampaknya sangat penting dan prospektif untuk mengetahui banyak juga perusahaan swasta yang menggunakan sistem
syariah. yakni, penelitian ini tentang “PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH”
Adapun kajian pustaka yang digunakan dari penulisan ini adalah:
1. Siti Khadijah, 9946117203, aplikasi Manajemen Pembiayaan pada Bank syariah, (Studi Kasus pada BNI SYARIAH) (Jakarta, Program Studi Perbankan syariah Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003.
Pada skripsi ini membahas Manajemen Pembiayaan pada Bank Syariah sedangkan, pada skripsi penulis membahas tentang Aplikasi Perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah.
2. Randhi Novadinata, 202046101249, Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek (persero) Pelaksaaan Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. (Jakarta, Program studi Perbankan Islam Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
sedangkan, pada skripsi penulis hanya membahas Perjanjian Pembiayaan pada suatu Bank Islam.
E. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini membahas tentang Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syari’ah, pengertian, landasan hukum serta sistem kegiatan di Bank Syari’ah pada umumnya dan Bank Sumut Syari’ah pada khususnya.
2. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini konsep yang dikedepankan adalah sistem kegiatan Bank Sumut Syari’ah, utamanya pada produk perjanjian
pembiayaan Serta analisis perjanjian pembiayaan yang ditinjau dari rukun dan syarat akad.
F. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipergunkan adalah dengan
metode yuridis normative yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti pustaka yang merupakan data sekunder seperti:
Perundang-undangan literatur yang berhubungan dengan penyaluran pembiayaan
pada Bank Syariah, khususnya pada Bank Sumut Syariah.
1. Lokasi penelitian
Stabat, dan Kantor Pusat yang beralamat di Jl, Imam Bonjol No. 18, Medan. Phone : (061) 4155100 – 4514100, Facsimile : (061) 4142937 – 4152652.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian ini adalah data primer. Data primer
yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian,
selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran
yang jelas tentang pokok permasalahan. Dengan analisis kualilatif
maka data yang diperoleh dari responden menghasilkan data
deskriptif analisis, sehingga dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu
yang utuh.
Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan
hukum primer berupa seperti: (1) Undang-undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan; dan (2) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Library Research (Penelitian Kepustakaan).
Metode ini penelitian dilaksanakan dengan cara
mengambil dari sumber bacaan tertulis dari para sarjana, yakni
berupa buku-buku atau bahan ilmiah yang menyangkut tentang
penyaluran dana pembiayaan oleh Bank Syariah.
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara
melaksanakan observasi langsung pada Bank Sumut Syariah dan
sekaligus mengadakan wawancara dengan staff perwakilan Bank
Sumut Syariah Medan.
4. Analisa Data
Data sekunder dari bahan hukum primer disusun
secara sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis
(contens analysis) untuk memperoleh gambaran tentang pokok
permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:
Bab I PendahuluanPada Bab I ini yang kita bahas adalah:
A. Latar Belakang Masalah, B. Pembatasan dan Perumusan Masalah, C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian, D. Kajian Pustaka, E. Metode
penelitian, F. Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka: A. Pengertian Perjanjian Secara
Umum, B. Azas Perjanjian, C. Syarat dan Rukun Akad, D. Batalnya
Perjanjian, E. Pengertian Pembiayaan, F. Prinsip Dasar Kegiatan
Perbankan Syariah.
Bab III Gambaran Umum Tentang Bank Sumut Syariah, A.
Syariah, (b). Modal Awal Bank Sumut Syariah, (c). Struktur
Kepengurusan Bank Sumut Syariah, dan (d). Kedudukan Bank Sumut
Syariah di Sumatra Utara, B. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah, C.
Geografis Sumatera Utara
Bab IV Analisis Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut
Syariah, A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan
(Pembiayaan Murabahah, danPembiayaan Murabahah) B. Bentuk
Perjanjian Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah (Perjanjian
Pembiayaan Murabahah, dan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah) C.
Analisis Perjanjian Pembiayaan pada Bank SUMUT Syariah (Perjanjian
Murabahah, dan Perjanjian Mudharabah
BAB V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan
PERJANJIAN PEMBIAYAAN
BANK SUMUT SYARIAH
(Studi Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat)
OLEH:
ANDRA MULIA FATWA
NIM: 203046101672
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN
A. Pengertian Perjanjian 1. Hukum Islam
Kata perikatan/perjanjian identik dengan kata akad (al-aqdu),
karena menurut bahasa, kata akad (al-aqdu) berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Hal ini diperkuat dengan alasan bahwa seringnya Al qur'an memakai kata ini dalam arti perikatan dan perjanjian. Seperti dalam firman Allah Swt bahwa memerintahkan kepada umat menusia agar senantiasa menepati janjinya, di dalam surat al-Maidah ayat 1 .
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu;.. ".
Dr. Abdul razak Ahmad al-Sanhuri mengatakan dalam
bukunya Nazhariyat al-Aqdi bahwa pengertian perjanjian lebih sempit dari sebuah kesepakatan. menurut beliau. "perjanjian adalah kesepakatan yang
dilakukan oleh dua pihak di dalam sehih obyek kegiatan ".7
Dalam ensiklopedi Islam dikatakan, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali hasan, bahwa akad adalah "pertalian ijab dan Kabul
7
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan
"8
Dalam Islam sebuah perjanjian sangat dihormati dan menepatinya, adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena sikap tersebut menunjukkan sikap sosok pribadi muslim yang baik.
Ada pepatah arab, yang dinukil oleh Sayyid Sabiq, yang mengatakan bahwa "Barang siapa yang bergaul dengan masyarakat, maka janganlah menzaliminya, dan apabila berbicara janganlah
membohonginya, dan apabila berjanji janganlah mengkhianatinya, apabila itu semua telah dikerjakan maka sempurnalah wibawanya. dan nampaklah kredibilitamu dan dia layak dianggap sebagai saudara.9
Dan siapa pun yang melanggar sebuah perjanjian maka sesungguhnya dia telah melakukan perbuatan dosa besar, dan diancam dengan balasan yang pedih, Allah Swt berfirman dalam surat al-Shaff ayat 2-3:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
Bahkan Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
"Sesunggnhnya perjanjian yang baik merupakan sebagian daripada iman
"10
8
M. Ali Hasan, Berhagai Transuksi Dtilum /sltim. (Jakarta: FT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 101
9
Sayyid Sabiq, Fiqh at-Sunnah. (Beirut: Dar al-fikr. 1983) Cet ke-4. h. 99
10
Dan yang harus senantiasa diperhatikan adalah bahwa setiap perjanjian yang kita lakukan. akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Swt. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Isra ayat 34:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
2. Hukum Positif
Secara harfiah ada yang mengatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan, balikan ada pula yang menyamakan dengan kontrak. Istilah
"Perjanjian" dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah
''Overeenkomst" dari Bahasa Belanda. atau "Agreement" dalam Bahasa
Inggris, yang berarti kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak.
Dari segi Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan baik tertulis maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.11
Melihat batasan tersebut maka perjanjian adalah sama dengan persetujuan , sementara kontrak sama pula dengan perjanjian tetapi lebih sempit sifatnya, karena kontrak hanya merupakan perjanjian yang tertulis saja.
11
Secara yuridis banyak batasan yang diberikan oleh berbagai ahli hukum. Menurut Prof. Subekti S.H; "Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal". Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membuatnya tersebut.12
Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro S.H merumuskan suatu perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal. sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.13
Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan defenisi mengenai perjanjian sebagai berikut:
''Suatu 'perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih berjanji mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. "
Dari peristiwa ini. timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak
memberikan defenisi tentang perikatan. Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya menyebutkan mengenai sumber perikatan. dimana
12
Subekti. Hukum Perjanjian. (Jakarta: PT. Imermasa, 1987), Cet. ke-12 .h.l
13
dikatakan bahwa: "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang".
Oleh karena itu kemudian menurut Prof. Subekti yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. adalah:" Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.14
Jadi dalam suatu terdapat .hak disatu pihak lainnya wajib memenuhi prestasi yang dituntut. Perhubungan antara kedua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum. artinya hak si berpiutang dijamin oleh Hukum atau Undang-undang. Apabila kewajiban itu tidak di penuhi secara suka rela, si berpiutang dapat menututnya di depan hakim.
Adapun hubungan antara perjanjian dan perikatan adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Jadi karena ada suatu perjanjian maka kemudian lahirlah perikatan.
Sumber perikatan adalah perjanjian dan Undang-undang. tetapi sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian karena sebagian besar perikatan terbit karena adanya suatu perjanjian.
Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang itu timbul karena Undang-undang saja atau karena Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia (pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
14
Menurut pasal 1353 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum.
Perikatan yang bersumber dari Undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ditetapkan melahirkan suatu perikatan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.
Perikatan yang bersumber dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka Undang-undang meletakkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang diperbolehkan Undang-undang atau mungkin pula perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu berarti perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang pihak yang membuat suatu
perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang diadakan oleh Undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum.
Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.
1. Hukum Islam
Hukum Islam mengatur pula masalah azas-azas dari suatu perjanjian, yang mana azas-azas tersebut sangat berpengaruh pada status akad dari perjanjian yang dilaksanakan. Dimana ketika azas ini tidak terpenuhi maka akan berakibat pada batalnya atau tidak sahnya perikatan (perjanjian) yang dibuat. Azas-azas itu adalah sebagai berikut:
a. Al-Hurriyah (Kebebasan)
Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian dari segi yang diperjanjikan atau menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebebasan menentukan persyaratan dalam perjanjian ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hal ini agar tidak terjadi
penganiayaan sesama manusia melalui akad dan syarat-syarat yang dibuatnya. Azas ini pula menghindari semua bentuk paksaan, penipuan dan tekanan dari pihak manapun. Adanya unsur paksaan dan
pemasungan kebebasan dalam akad perjanjian mengakibatkan tidak sahnya suatu akad. Landasan azas ini terdapat dalam:15
QS. al-Maidah/5:l
15
T.M. Hasbi Ashshiddiqi, et. al., AI-Qur'an dan Terjemahnya,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [388] dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Q.S.al-Ahzab/33:72
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
b. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan)
Azaz ini memberikan arti bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian kedudukan yang sama antara satu dan yang lainnya. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak didasarkan pada azaz al-musawah ini. Landasan azas ini terdapat dalam al-qur’an al-Hujarat/49: 13
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”.16
c. Al-Adalah (keadilan)
16
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,
Keadilan salah satu sifat tuhan dan al-qur’an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Bahkan al-qur’an menempatkan keadilan lebih dekat kepada takwah, seperti diisyaratkan dalam Q.S al-Maidah/5:8-9
Artinya:“Hai orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.Allah Telah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar”.17
Pelaksanaan azas ini dalam akad, dimana para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
d. Al-Ridha (Kerelaan)
Azas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Jika dalam1 transaksi tidak terpenuhi azas ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil). Transaksi
17
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,
yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk usaha yang saling rela antara pelakunya jika didalamnya ada tekanan, paksaan. penipuan dan' mis-statement. Jadi. azas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun.
Dasar azas ini adalah QS. An-Nisaa'/4:29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.18
e. Ash-Shidq (Kejujuran dan Kebenaran)
Kejujuran adalah suatu nilai etika yang mendasar dalam Islam, dan Islam adalah nama lain dari kebenaran. Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Allah berbicara benar dan memerintahkan semua Muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perikatan, seperti diungkapkan dalam firman-Nya Q.S. al-Ahzab/33:70, yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan Katakanlah perkataan yang benar”.19
18
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,
Kamus Perbankan, 1999
19
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,
Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Pada saat azas ini tidak dijalankan, maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Dimana pihak yang merasa dirugikan dapat menghentikan proses perjanjian tersebut.
f. Al-kitabah (Tertulis)
Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan akad sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah/2:282-283, yaitu:
⌧
☺
☺
☺
⌧
⌧
☺
☺
☺
⌧
☺
☺
⌧
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
⌦
☺
☺
⌦
☺
☺
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat ini mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad, maka akad itu harus dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan perjanjian). Disamping itu, diperlukan juga adanya saksi-saksi (syahadah), rahn, (gadai, untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggung jawab individu.
2. Hukum Positif
Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sustem tertutup, sedangkaan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adala terbatas dan peraturan-peraturan yang menganai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan Hukum Pelengkap ("optional
law "), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala
sesuatu soal, itu berarti mereka mengenai soal tersebut tunduk kepada Undang-undang. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu dapat dikatakan. melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu azas kebebasan membuat perjanjian. dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang
bagi mereka yang membuatnya".
Dengan menekankan pada perkataan semua maka pasal tersebut seolah-olah berikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita di perbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan perkataan lain: Dalam sosal perjanjian. kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.
Misalnya, barang yang diperjual belikan, menurut Hukum Perjanjian harus diserahkan di tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian jual beli ditutup. Tetapi para pihak, leluasa untuk
diantar ke rumah si pembeli dan lain-lain, dengan pengertian bahwa biaya-biaya pengantaran harus dipikul si penjual.
Selanjutnya. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian itu, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibentuk. Misalnya, Undang-undang hanya mengatur perjanjian-perjanjian jual-beli dan sewa menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan sewa beli, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dan sewa menyewa.
Dalam Hukum Perjanjian berlaku azas, yang dinamakan azas kosensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Azas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.
Arti konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah
sepakat mereka yang mengikat dirinya; b. kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal".
Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai itu. maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti
"mengikat") apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu, Terhadap azas konsensualisme itu juga ada pengecualian disana sini oleh undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya : Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain-lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.
C. Syarat dan Rukun Akad
menyerahkan ini harus ada dalam setiap akad jual beli, namun ia tidak termasuk dalam pembentukan akad.
Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk perangkat akad (alat al-‘aqd) di mana perangkat-perangkat inilah yang nantinya menjadi unsur-unsur pembentuk akad.
Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: (1) Shighat
(pernyataan ijab dan qabul); (2) ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad),
(3) Ma’qud ‘alaih (obyek akad), dan (4) Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).
Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama:
1. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)
Shighatal-aqd adalah cara bagaimana penyertaan
pengikatan diri itu dilakukan. Dalam literatur fiqih, sighat al-aqd
biasanya diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabuk, agar ijab dan qabul ini benar-benar mempunyai akibat hukum, para ulama fiqih
mensyaratkan tiga hal :
a. Tujuan yang terkadang dalam penertaan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki,
b. Antara ijab dan qabul harus ada kesesuain, dan
c. Pernyataan ijab qabul ini mengacu pada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.
2. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad)
Pihak yang berakad haruslah orang-orang yang cakap, berkaitan dengan orang yang melakukan akad ini, para fuqaha’
membahasnya pada hal dua pokok. Pertama, ahliyatul ada’ yaiti orang yang layak dengan sendirinya dapat melakukan berbagai akad, yaiti mereka yang dewasa (baligh) dan berakal, (bukan dibawah
pengampuan) atau perwalian, maja secara otomatis orang tersebut layak mendapat ketetapan untuk menerima hak dan kewajiban serta tindakan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’. Kedua, wilayah atau perwalian. Perwalian dilakukan terhadap mereka yang dianggap tidak cakap hokum yaitu terhadapo orang yang belum dewasa atau mereka yang dibawah pengampuan.
Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal1330, maka yang dianggap dewasa dan karenanya oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika :
a. Sudah genap berusia 21 tahun
b. Sudah kawin meskipun belum genap berusia 21 tahun
c. Sudah kawin meskipun bercerai meskipun belum genap berusia 21 tahun.
melangsungkan perkawinan ada dibawah kejelasan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”
Maka orang yang dianggap dewasa adalah orang yang sudah berumur 18 tahun ke atas atau sudah pernah menikah. Umur dewasa 18 tahun ini juga sudah dikuatkan oleh Mahkamah Agung, antara lain dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976, tanggal 13 oktober 1976”
Sedangkan tentang orang dibawah pengampuan diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 433, orang dibawah pengampuan tersebut adalah :
1). Orang yang dungu (onnoozelheid) 2). Orang gila ( tidak waras pikiran) 3). Orang yang mata gelap (rezernij)
4). Orang yang boros
Mereka tetap dibawah pengampuan sungguh pun kadang-kadang mereka dapat bertindak seperti orang yang cakap berbuat.
3. Ma’qud ‘alaih (obyek akad),
Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuh 4 (empat) syarat: