• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh dukungan orang tua dan sel-control terhadap kecenderungan kenakalan remaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh dukungan orang tua dan sel-control terhadap kecenderungan kenakalan remaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

i

PALU-SULAWESI TENGAH

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh :

SRI WAHIDA

206070004194

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(5)

ii

PALU-SULAWESI TENGAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

SRI WAHIDA

Nim : 206070004194

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I

Pembimbing II

Ikhwan Lutfi, M. Psi Gazi, S. Psi, M. Si

NIP : 197307102005011006 NIP : 19711214200701017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(6)

iii

BINA POTENSI PALU-SULAWESI TENGAH” telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi:

Jakarta, 16 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph. D Dra. Fadhilah Suralaga, M. Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota:

Dra. Diana Mutiah, M. Si Gazi, S. Psi, M. Si

NIP: 1967101996032001 NIP : 19711214200701017

Ikhwan Lutfi, M. Psi

(7)

iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sri Wahida

Nim : 206070004194

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Dukungan

Orang Tua Dan Self-control Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah” adalah benar merupakan karya saya

sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 16 Juni 2011

(8)

v (B) 16 Juni 2011

(C) Sri Wahida

(D) 94 halaman + lampiran

(E) Pengaruh Dukungan Orang Tua Dan Self-control Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah.

(F) Kenakalan Remaja merupakan tindakan yang melanggar aturan baik hukum maupun nilai-nilai norma yang dilakukan remaja di bawah umur 18 tahun. Kenakalan remaja terbentuk dari adanya konflik-konflik yang terdapat dalam diri remaja dan tidak terselesaikan dengan baik. Banyak hal yang memicu munculnya kenakalan remaja, diantanya dipengaruhi oleh rendahnya dukungan orang tua dan pengendalian diri (self-control) dari remaja itu sendiri. Dukungan orang tua tersebut meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Adapun pengendalian diri (self-control) tersebut meliputi kemampuan mengontrol tingkah laku, kemampuan mengontrol kognisi dan kemampuan mengontrol keputusan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan orang tua dan self-control terhadap kecenderungan kenakalan reamaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasi dengan analisis regresi. Subyek adalah siswa kelas I-Otomotif SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah. Teknik pengambilan sampel menggunakan Cluster sampling. Dalam pengambilan sampel fieldtest 45 responden dengan teknik pengambilan data menggunakan skala model likert. Skala dukungan orang tua dari Sarafino (1994) yang berjumlah 40 item, skala self-control dari Averill (1973) berjumlah 40 item dan skala kecenderungan kenakalan remaja dari Jensen (dalam Sarwono, 2002) berjumlah 30 item.

(9)

vi

Peneliti selanjutnya disarankan untuk mengembangkan penelitian tentang kecenderungan kenakalan remaja yang dipengaruhi oleh variabel lainnya selain dukungan orang tua dan self-control, seperti variabel teman sebaya, usia, jenis kelamin, dan lain-lain. Sehingga dapat semakin menyempurnakan hasil penelitian sebelumnya.

(10)

vii

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Dukungan Orang Tua Dan Self-control Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah”. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D, seluruh dosen dan seluruh staf karyawan fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

2. Bapak Ikhwan Lutfi, M. Psi dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.

3. Bapak Gazi, S. Psi, M. Si, dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang teramat bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini.

(11)

viii

kakakku Nirwan dan Suharno terimakasih atas semua dukungan, sumber inspirasi, semangat, kasih sayang serta doa yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan menganugerahkan kebahagiaan kepada keluargaku tercinta.

6. Pembimbing Akademik Yunita Faeala Nisa, M. Si yang telah membimbing peneliti selama perkuliahan ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan banyak pengetahuan dan pelajaran selama penulis mengikuti kuliah, staff akademik, dan petugas perpustakaan yang dengan ikhlas selalu membantu dan melayani penulis.

8. Untuk Ariez, terima kasih atas segala semangat, dukungan, kasih sayang, cinta dan perhatian yang diberikan kepada peneliti sehingga peneliti terus optimis dalam menyusun skiripsi ini.

9. Untuk sahabat-sahabat terbaikku, Netha, Vera, Nay, Sukma, ka Desi dan yang lainnya terima kasih ya atas segala bantuan, semangat dan doanya, aku sayang kalian.

(12)

ix

semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Peneliti menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai mana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian laporan penelitian ini. Wassalam

Jakarta, 16 Juni 2011

(13)

x

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 9

1.3 Perumusan Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 11

1.5 Manfaat penelitian ... 11

1.6 Sistematika Penulisan ... 12

BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Kenakalan Remaja ... 14

(14)

xi

2.2 Dukungan Orang Tua ... 27

2.2.1 Pengertian Dukungan Orang Tua ... 27

2.2.2 Komponen Dukungan Orang Tua ... 29

2.2.3 Sumber Dukungan Orang Tua ... 31

2.2.4 Dukungan Orang Tua Pada Remaja ... 32

2.3 Self-control ... 33

2.3.1 Pengertian Self-control ... 33

2.3.2 Aspek-aspek Self-control ... 35

2.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-control ... 37

2.3.4 Fungsi Self-control ... 41

2.4 Remaja ... 42

2.4.1 Pengertian Remaja ... 42

2.4.2 Ciri-ciri Masa Remaja ... 43

2.4.3 Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 47

2.5 Kerangka Berpikir ... 47

2.6 Hipotesa Penelitian ... 51

(15)

xii

3.4 Definisi Operasional ... 56

3.5 Populasi dan Sampel ... 57

3.5.1 Populasi ... 57

3.5.2 Sampel ... 57

3.6 Teknik Pengambilan Sampel ... 58

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 58

3.7.1 Skala Dukungan Orang Tua ... 59

3.7.2 Skala Self-control ... 60

3.7.3 Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 62

3.8 Teknik Uji Instrumental Penelitian ... 63

3.8.1 Uji Validitas ... 63

3.8.1.1 Hasil Pengujian Validitas Skala Dukungan Orang Tua ... 64

3.8.1.2 Hasil Pengujian Validitas Skala Self-control ... 65

3.8.1.3 Hasil Pengujian Validitas Skala Kecenderungan Kenakala Remaja ... 66

3.8.2 Uji Reabilitas ... 67

3.8.3 Uji Regresi ... 68

(16)

xiii

3.9.4 Pengolahan Data ... 70

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Responden ... 71

4.1.1. Responden Berdasarkan Usia ... 71

4.1.2. Responden Berdasarkan Jenis kelamin ... 72

4.2 Deskripsi Data Penelitian ... 72

4.2.1 Data Skor Skala Dukungan Orang Tua ... 72

4.2.2 Data Skor Skala Self-control ... 74

4.2.3 Data Skor Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 76

4.3 Hasil Uji Hipotesis ... 78

4.3.1 Hasil Uji Regresi Dimensi Dukungan Orang Tua Dan Self-control Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 78

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN 5.1 Kesimpulan ... 87

5.2 Diskusi ... 88

5.3 Saran ... 90

(17)

xiv

Tabel 3.3 Blue Print Skala self-control ... 61

Tabel 3.4 Blue Print Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 62

Tabel 3.5 Bobot Skor Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 63

Tabel 3.6 Blue Print field test Skala Dukungan Orang Tua ... 64

Tabel 3.7 Blue Print field test Skala Self-control ... 65

Tabel 3.8 Blue Print field test Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 66

Tabel 3.9 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 68

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia ... 71

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71

Tabel 4.3 Descriptive Statistics (Skor Perolehan Skala Dukungan Orang Tua) ... 73

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Skala Dukungan Orang Tua ... 74

Tabel 4.5 Descriptive Statistics (Skor Perolehan Skala Self-control) ... 75

Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Skala Self-control ... 76

Tabel 4.7 Descriptive Statistics (Skor Perolehan Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja) ... 77

Tabel 4.8 Kategorisasi Skor Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 78

Tabel 4.9 Model Summary ... 79

Tabel 4.10 Anova (b) ... 80

Tabel 4.11 Coefficients (a) ... 81

Tabel 4.12 Model Summary Dukungan Emosional ... 82

Tabel 4.13 Model Summary Dukungan Penghargaan ... 83

Tabel 4.14 Model Summary Dukungan Instrumental ... 83

Tabel 4.15 Model Summary Dukungan Informasi ... 84

(18)

xv

DAFTAR BAGAN

[image:18.595.114.528.81.473.2]
(19)

xvi Lampiran 2 Angket Try Out

Lampiran 3 Skoring Dukungan Orang Tua Try Out

Lampiran 4 Skoring Self-control Try Out

Lampiran 5 Skoring Kecenderungan Kenakalan Remaja Try Out

Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 7 Angket Field Tes

Lampiran 8 Skoring Dukungan Orang Tua Field Tes

Lampiran 9 Skoring Self-control Field Tes

Lampiran 10 Skoring Kecenderungan Kenakalan Remaja Field Tes

Lampiran 11 Hasil Uji Regresi Dukungan Orang Tua Dan Self-control Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

1.1.

Latar Belakang

Gejala kenakalan remaja (juvenile delinquency) terutama dikota-kota besar di Indonesia semakin menjadi masalah yang diresahkan oleh masyarakat. Berbagai seminar, simposium, diskusi, dan lain-lain pembicaraan telah diadakan berkali-kali oleh berbagai pihak seperti para pendidik, badan-badan sosial, polisi, perguruan tinggi, para anggota Parlemen, Dewan Pertimbangan Agung dan lain sebagainya untuk menentukan cara-cara menanggulangi masalah kenakalan remaja. berbagai kesimpulan, diagnose dan terapi telah diajukan, namun kekhawatiran masyarakat tidak berkurang (Soekanto, 1991).

(21)

Sebenarnya ciri-ciri khas remaja itu mudah dipengaruhi, baik ke arah yang konstruktif maupun yang destruktif. Konstruktif, bila para pendidik mau memberikan perhatian, bimbingan dan pengarahan yang tepat. Destruktif, kalau remaja dilepas bebas tanpa pengendalian dan pengawasan. Dengan akibat terjadinya kenakalan remaja, baik yang dilakukan sendiri maupun berkelompok (Pohan, 1986).

Menurut Pohan (1986), Kenakalan-kenakalan remaja sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dan diancam pidana. Seprti bolos sekolah, lari dari rumah, sering berkelahi, membuat keributan, kebut-kebutan, melihat gambar dan film porno, ketempat pelacuran, mencuri, menodong, merampok, memperkosa dan membunuh.

Masgudin (2004) menyatakan bahwa dari 1.110 remaja di Jawa Barat (Bandung dan Cianjur) remaja yang pernah mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi sebanyak 33%, pengalaman membolos sebanyak 85,6% , menyontek 80%, meninggalkan rumah tanpa izin orang tua sebanyak 96,7%, corat-coret dinding 49,9%, pemerasan dan pencurian 7,2% dan perusakan gudang 5,7%.

(22)

terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Adjie, 2010).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Polres Jakarta selatan bahwa tahun lalu jumlah kenakalan remaja ini mencapai 23 kasus. Tawuran terakhir terjadi pada akhir pada bulan februari tahun 2011 antara siswa SMA Triguna dan SMA 74 Ciputat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Media Indonesia, 04 april 2011).

Selain beberapa data jumlah kasus perkelahian pelajar terdapat juga hasil penelitian di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu dan Banjarmasin. Bahkan di Palu, pada tahun 2000 lalu tercatat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9 persen (Sugiarto, 2010). Selain bentuk-bentuk kenakalan remaja di atas, Pohan (1986) menyatakan bahwa kenakalan remaja cenderung semakin mengkhawatirkan. Sebab dilakukan pula dengan mengunakan senjata tajam dan senjata api, memakai kendaraan bermotor, serta terlibat dalam minuman keras, narkotika dan obat berbahaya lainnya. Bahkan, saat ini kenakalan remaja dengan menggunakan narkotika sudah menjadi masalah nasional, membahayakan bangsa dan negara.

(23)

15-64 tahun menggunakan obat terlarang setiap tahunnya (Budianti, 2008).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BBN) dan Universitas Indonesia (UI) tahun 2007, menunjukkan ada 10 kota yang presentase penyalahgunaan narkoba menempati rangking tertinggi: Palu (8,4%), Medan (6,4%), Surabaya (6,3%), Maluku Utara (5,9%), Padang (5,5%), Bandung (5,1%), Kendari (5%), Banjarmasin (4,3%), Yogyakarta (4,1%) dan Pontianak (4,3%), belum lagi Jakarta yang tidak dimasukkan dalam Survey ini (Al-Mighwar, 2006).

(24)

Kenakalan yang dilakukan oleh remaja di atas merupakan refleksi dari adanya ketidakseimbangan yang terdapat dalam diri seseorang dalam keluarga serta dalam masyarakat. Umumnya bersumber dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup dan kehidupan seseorang di dalam keluarganya (Pohan, 1896).

Menurut Zakiah Daradjat (2005), masa remaja merupakan masa yang pergejolakannya bermacam-macam perasaan, dan terkadang satu sama lain bertentangan, sehingga remaja menjadi sulit menghadapi gejolak emosi yang saling bertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.

(25)

Kedua, yaitu Dukungan penghargaan yaitu berupa penghargaan positif terhadap individu serta dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari individu dengan orang lain yang keadaannya lebih baik atau lebih buruk. Ketiga, Dukungan instrumental yaitu berupa bantuan material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Keempat, dukungan informasi yaitu berupa pemberian nasehat/saran, penghargaan, bimbingan/pemberian umpan balik, mengenai apa yang dilakukan individu, guna untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kelima, dukungan jaringan sosial yaitu berupa rasa kebersamaan dalam kelompok serta berbagi dalam hal minat dan aktivitas sosial.

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja adalah pengendalian diri (self-control). Remaja yang memiliki pengendalian diri (self-control) yang rendah akan mudah memicu kenakalan remaja. Pengendalian diri (Self-control) merupakan kemampuan mengendalikan tingkah laku, perasaan, emosi, keputusan, dan tindakan yang muncul karena adanya kemauan sehingga dapat membawa ke arah yang positif (Santrock, 2003).

(26)

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan dalam mengembangkan pengendalian diri (self-control) yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal mengembangkan pengendalian diri (self-control) yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Remaja akan melakukan tindakan antisosial memerlukan pemikiran kritis terhadap dirinya sendiri agar bisa menghambat kecenderungan dalam melanggar hukum. Oleh sebab itu, remaja yang memiliki orang tua, guru, dan teman sebaya yang memiliki standar kritis terhadap diri sendiri biasanya mengembangkan pengendalian diri (self-control) yang diperlukan untuk menahan diri dari tindakan melanggar hukum dan anti sosial (Santrock, 2003).

Pengendalian diri (self-control) sangat penting bagi setiap individu terutama bagi remaja karena remaja masih memiliki emosi yang labil. Maka dengan adanya self-control, remaja mampu mengendalikan tingkah lakunya, kognitifnya serta dalam mengambil keputusan terutama terhadap hal-hal yang berhubungan dengan tindakan melanggar hukum dan anti sosial.

Penelitian Nurmi, et al (1992) (dalam Melly Latifah, 1997), menyimpulkan bahwa keyakinan akan kemampuan diri untuk melakukan kontrol ternyata memegang peranan penting dalam mengarahkan perkembangan seseorang dalam sepanjang rentang kehidupannya. Oleh karena itu, keyakinan dan kemampuan seorang remaja dalam mengendalikan dirinya akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain dalam sepanjang hidupnya.

(27)

karena keadaan rumah yang tidak menyenangkan dan kurang kasih sayang.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada guru SMK Bina Potensi di dapat hasil bahwa kasus siswa membolos 6-10 orang dalam seminggu, perkelahian 2-3 kasus dalam seminggu. Kemudian hasil wawancara pada seorang siswa SMK Bina Potensi berinisial A menyatakan bahwa pernah membolos 3 kali dalam seminggu, meminum minuman keras di lingkungan sekolah 1-3 kali dalam sebulan dan menggunakan obat terlarang dilingkungan sekolah 2-3 kali dalam sebulan. Hal ini dia lakukan karena A kurang mampu mengendalikan dirinya (self-control) dari rasa kecewa terhadap ayahnya dan kurangnya dukungan yang dia dapatkan dari kedua orang tuanya. A merasa kecewa karena ayahnya meninggalkan ibunya sejak A lahir. Ibunya kurang mampu memberikan dukungan kepada A karena ibunya memiliki kekurangan fisik (cacat) dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Hal ini sejalan dengan pendapat Graham (dalam Hadimuhain, 2011) menyatakan bahwa faktor penyebab kenakalan remaja salah satunya adalah faktor lingkungan berupa orang tua yang bercerai, orang tua yang cacat dan kesulitan keuangan.

Dari hasil penelitian penelitian dan fenomena yang disebutkan di atas bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi kenakalan remaja serta kota Palu juga memiliki jumlah kenakalan remaja yang tinggi. Maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh dukungan orang tua dan self-control

terhadap kecenderungan kenakalan remaja SMK Bina Potensi

(28)

1.2. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1.2.1.

Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya dan lebih terarahnya penelitian mengenai hubungan Dukungan Orang Tua dan Self-control dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja, perlu dilakukan pembatasan masalah. Adapun variabel-variabel yang berkaitan dengan judul penelitian ini diberi batasan sebagai berikut :

a. Dukungan orang tua merupakan pemberian perhatian, dorongan, kasih sayang, barang, informasi dan jasa dari orang tua sehingga penerima dukungan merasa disayangi dan dihargai. Dukungan orang tua tersebut meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi (Sarafino, 1994).

b. Self-control adalah kemampuan mengendalikan tingkah laku, perasaan, emosi, keputusan, dan tindakan yang muncul karena adanya kemauan sehingga dapat membawa ke arah yang positif. Self-control tersebut meliputi kemampuan mengontrol tingkah laku, kemampuan mengontrol kognisi dan kemampuan mengontrol keputusan (Averill, 1973).

(29)

korban materi, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain dan kenakalan yang melawan status (Jensen dalam Sarwono, 2002). d. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMK Bina Potensi Palu

Sulawesi Tengah.

1.2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan orang tua dan self-control terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan emosional terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan penghargaan terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan instrumental terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dukungan informasi terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

(30)

terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan mengontrol kognisi terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan mengontrol keputusan terhadap kecenderungan kenakalan remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah?

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1.

Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dukungan orang tua dan self-control dengan kecenderungan kenakalan remaja. Dan ingin mengetahui pengaruh dari aspek-aspek dukungan orang tua (aspek dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi) dan self-control (aspek kemampuan mengontrol tingkah laku, aspek kemampuan mengontrol kognisi dan aspek kemampuan mengontrol keputusan) terhadap kecenderungan kenakalan remaja.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat Teoritis

(31)

self-control terhadap kecenderungan kenakalan remaja.

1.3.2.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para orang tua, guru dan remaja itu sendiri untuk lebih memperhatikan pentingnya dukungan orang tua dan self-control dalam kaitannya dengan kecenderungan kenakalan remaja.

1.4. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, akan digunakan kaidah APA style, yaitu kaidah penelitian berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological Association). Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima bab, meliputi

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Perumusan masalah dan pembatasan masalah, serta sistematika penulisan.

BAB 2 : LANDASAN TEORI

(32)

BAB 3 : METODE PENELITIAN

Berisi tentang metodelogi penelitian yang meliputi Metode penelitian, metode pengumpulan data, karakteristik subjek penelitian, prosedur penelitian, populasi dan sample, metode pengolahan dan analisis data.

BAB 4 : PRESENTASI DAN ANALISA DATA

Berisi tentanang analisis data yang meliputi gambaran umum responden berdasarkan penelitian pada remaja di SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah yang merupakan keseluruhan responden berdasarkan masing-masing anak.

BAB 5 : PENUTUP

(33)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini, yang akan dibahas adalah kenakalan remaja yang meliputi definisi kenakalan remaja, bentuk dan aspek-aspek kenakalan remaja, karakteristik remaja nakal, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja. Dukungan orang tua meliputi pengertian dukungan orang tua, komponen dukungan orang tua, sumber dukungan orang tua, dan dukungan sosial orang tua. Pengendalian diri (self-control) meliputi Pengertian pengendalian diri (self-control), aspek-aspek pengendalian diri (self-control), faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian diri (self-control), dan fungsi pengendalian diri (self-control). Remaja meliputi pengertian remaja, ciri-ciri remaja dan tugas-tugas perkembangan remaja. Kerangka berpikir dan hipotesis.

2.1. Kenakalan Remaja

2.1.1. Definisi Kenakalan Remaja

(34)

kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2002).

Menurut Pedoman Bakolak Inpres No. 6/1971 adalah istilah terjemahan dari kata asing "juvenile delinquency" dan dirumuskan sebagai kelainan tingkah laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asosial, bahkan anti-sosial, yang melanggar norma-norma sosial agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja yang dimaksud adalah yang berusia 12-18 tahun dan belum menikah (Prayitno, 1993).

Gunarsa (1979) menyatakan bahwa kenakalan remaja dapat diketahui berdasarkan ciri-ciri pokok kenakalan remaja, yaitu :

1. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah- laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral.

2. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai-nilai atau norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya.

(35)

pernikahan, maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah.

4. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja, atau dapat juga dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.

Adapun Conger (1991) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Sedangkan menurut Strang (dalam Kartono, 1991), menyatakan bahwa :

A juvenile delinquency is an act of a child or adolescent who breaks a law. When a child is old enough to know that he is doing wrong and he

does it, that is being delinquent A person under 21 who breaks the law is a

juvenile delinquent”.

Menurut Murdaningsih (dalam Kartono, 1991) mendefinisikan kenakalan remaja adalah tingkah laku melawan norma yang diperbuat oleh anak yang belum dewasa. Misalnya : perusakan, kenakalan, kejahatan, pengacauan dan lain-lainnya. Sedangkan Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana.

Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.

(36)

melanggar aturan baik hukum maupun nilai-nilai norma yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 18 tahun.

2.1.2. Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja

Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.

b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi. Seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain. Seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.

d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.

Di dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa II (PPDG-II) yang diterbitkan oleh Depkes R.I. pada tahun 1983 terhadap kriteria diagnostik untuk Gangguan Kepribadian Antisosial yang timbulnya sejak usia di bawah 15 tahun dan dinyatakan oleh riwayat sebagai berikut (Prayitno, 1993) :

a. Sering membolos.

(37)

c. Dikeluarkan atau diskors dari sekolah karena berkelakuan buruk. d. Seringkali lari dari rumah (minggat) dan bermalam di luar rumah. e. Sering bohong.

f. Berulang-ulang melakukan hubungan seks, walaupun hubungannya belum akrab.

g. Sering mabuk dan menyalahgunakan napza. h. Seringkali mencuri.

i. Sering merusak barang orang lain.

j. Prestasi disekolah jauh di bawah taraf kecerdasannya (IQ) sehingga berakibat tidak naik kelas.

k. Seringkali melawan aturan di rumah dan di sekolah. l. Seringkali memulai perkelahian.

Menurut Gunarsa (1979) dalam jenisnya kenakalan remaja dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, sesuai kaitannya dengan norma hukum yaitu:

1. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial yang ini semua tidak terdapat dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum antara lain:

a. Bebohong, memutar-balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan.

b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

(38)

keinginan orang tua.

d. Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan mudah meninggalkan perbuatan iseng yang negatif.

e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga mudah terangsang untuk mempergunakannya. Misalnya pisau, pistol, pisau silet dan lain sebagainya.

f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal.

g. Berpesta pora semalaman suntuk tanpa pengawasan, sehingga mudah timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (moral dan a-sosial).

h. Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan, tidak senonoh seolah-olah menggambarkan kurang perhatian dan pendidikan dari orang dewasa.

i. Secara berkelompok makan di rumah makan, tanpa membayar atau naik bus tanpa membeli karcis.

j. Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomis maupun tujuan lainnya.

k. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau mengisap ganja sehingga merusak dirinya maupun orang lain.

(39)

misalnya :

a. Perjudian dan segala macam bentuk perjudian yang mempergunakan uang. b. Pencurian dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan : pencopetan,

perampasan dan penjambretan. c. Penggelapan barang.

d. Penipuan dan pemalsuan.

e. Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno dan film porno, pemerkosaan.

f. Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.

g. Tindakan-tindakan anti-sosial : perbuatan yang merugikan milik orang lain.

h. Percobaan pembunuhan.

i. Menyebabkan kematian orang, turut tersangkut dalam pembunuhan. j. Pembunuhan.

k. Pengguguran kandungan.

l. Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.

(40)

yang melawan status. Peneliti menggunakan teori dari Jensen karena teori tersebut lebih mewakili aspek-aspek dari kecenderungan kenakalan remaja dalam penelitian ini.

2.1.3. Karakteristik Remaja Nakal

Dalam Konsep Rancangan Undang-undang Peradilan Anak dijumpai batasan mengenai "anak nakal" yaitu (dalam Gondoyumono, 1988):

1. Yang melakukan tindak pidana.

2. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang tua/wali/pengasuh. 3. Yang sering meninggalkan rumah, tanpa izin/pengetahuan orang

tua/wali/pengasuh.

4. Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang tidak bermoral, sedang anak tersebut mengetahui hal itu.

5. Yang seringkali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak. 6. Yang sering mempergunakan kata-kata kotor.

7. Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi perkembangan pribadi, sosial rohani dan jasmani anak tersebut.

Menurut Murdaningsih (dalam Kartono, 1991) menyatakan bahwa sifat-sifat dari remaja yang nakal terletak pada :

1. Adanya infantilisme (sifat seperti anak bayi). 2. Ketergantungan.

(41)

4. Frustasi.

5. Tidak dapat menguasai dorongan-dorongan nafsunya 6. Mempunyai sikap bermusuhan terhadap dunia sekitarnya.

7. Perkembangan emosi yang tidak matang (immature). Kadang-kadang emosinya tidak stabil dan amat peka terhadap ketegangan emosional. Misalnya sering menjadi agresif, bermusuh, curiga, cemburu, suka bertengkar serta menimpakan kekurangmampuannya sendiri kepada kesalahan orang lain (ada kecenderungan proyeksi).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :

a. Identitas

(42)

konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

(43)

mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orang tua yang efektif di masa kanak-kanak berhubungan dengan tercapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki keterampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.

c. Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2002) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir (terasing) meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.

d. Jenis kelamin

Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut Kartono (2002) pada umumnya jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

(44)

rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.

f. Proses keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya atau ketiadaan penerapan pemberian dukungan orang tua secara konsisten berhubungan dengan tingkah laku antisosial remaja. Dukungan orang tua tersebut meliputi pengawasan keberadaan remaja, penerapan disipli yang efektif bagi tingkah laku antisosial, menerapkan keterampilan pemecahan masalah yang efektif, dan mendukung berkembangannya keterampilan prososial. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.

g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.

h. Kelas sosial ekonomi

(45)

di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2002). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

(46)

2.2

Dukungan Orang Tua

2.2.1 Pengertian Dukungan Orang Tua

Keluarga sebagai tempat yang pertama kali dikenal oleh individu, keluarga mempunyai peran yang cukup penting bagi individu dalam bersosialisasi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dukungan orang tua sangat penting bagi individu dalam menjalani kehidupannya. Dukungan orang tua itu sendiri merupakan bagian dari dukungan sosial.

Adapun definisi dukungan sosial menurut Sarafino (1994) yaitu bentuk penerimaan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai dan ditolong. Hal senada juga disampaikan oleh Taylor (2003), bahwa:

Social support has been defined as information from others that one is loved and cared for, asteemed and valued, and part of a network of communication and

mutual obligations from parents, a spouse or lover, other relatives, friends, social

and community contacts (such as churches or clubs), or even a devoted pet”.

Dukungan sosial merupakan bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan diperhatikan, terhormat dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban timbal balik dari orangtua, kekasih/ kerabat, teman, jaringan lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat. Sedangkan Gottlieb (1983) mendefinisikan dukungan sosial, sebagai berikut :

”Sosial support consist of the verbal and/or non-verbal information or advice,

(47)

presence and has benefical emotional or behavioral effect on the recipient.”

Dukungan sosial terdiri dari informasi verbal atau nonverbal atau nasehat, bantuan yang nyata atau terlihat, atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Sarason (2001) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita

Brehm dan Kassin (1993) mengemukakan empat definisi dukungan sosial, yaitu:

1. Berdasarkan Kontak Sosial

Dukungan sosial dilihat dari banyaknya kontak sosial yang dilakukan oleh individu. Pengukuran kontak sosial dalam konteks ini dilihat dari status perkawinan, hubungan saudara atau teman, keanggotaan dalam organisasi informal.

2. Berdasarkan Jumlah Pemberian Dukungan

(48)

bantuan, semakin sehat kehidupan individu tersebut.

3. Berdasarkan Kedekatan Hubungan

Dukungan sosial disini didasarkan pada kualitas hubungan yang terjalin antara pemberi dan penerima dukungan, bukan kuantitas pertemuan.

4. Berdasarkan Tersedianya Pemberi Dukungan

Individu yang yakin bahwa akan ada orang yang membantunya bila ia mengalami kesulitan, kecenderungan lebih percaya diri dan sehat daripada individu yang tidak merasa yakin bilamana ada orang yang bersedia membantunya. Hal ini senada dengan Sarason (2001) yang menyatakan dukungan sosial merupakan tersedianya sumber yang dapat dipanggil seketika bila dibutuhkan untuk memberi dukungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan orang tua merupakan pemberian perhatian, dorongan, kasih sayang, barang, informasi dan jasa dari orang tua sehingga penerima dukungan merasa disayangi dan dihargai.

2.2.2 Komponen Dukungan Orang Tua

Dukungan sosial memiliki beberapa komponen diantaranya (dalam Sarafino,1994):

a. Dukungan emosional (emotional support)

(49)

dukungan ini dapat menimbulkan rasa nyaman, perasaan dilibatkan dan dicintai pada individu yang bersangkutan. Dukungan ini juga meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.

b. Dukungan penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan adalah suatu bentuk dukungan yang terjadi melaui ekspresi seseorang dengan menunjukan suatu penghargaan positif terhadap individu, dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari individu dengan orang lain yang keadannya lebih baik atau lebih buruk. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompeten dan bermakna.

c. Dukungan instrumental (instrumental support)

Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan langsung yang di wujudkan dalam bentuk bantuan material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Contoh dukungan ini seperti pinjaman atau sumbangan uang dari orang lain, penyediaan layanan penitipan anak, penjagaan dan pengawasan rumah yang ditinggal pergi pemiliknya dan lain sebagainya yang merupakan bantuan nyata berupa materi atau jasa.

d. Dukungan informasi (information support)

(50)

mengenai apa yang dilakukan individu, guna untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

e. Dukungan jaringan sosial (network support)

Dukungan yang berasal dari jaringan ini merupakan bentuk dukungan dengan memberikan rasa kebersamaan dalam kelompok serta berbagi dalam hal minat dan aktivitas sosial.

2.2.3 Sumber Dukungan Orang Tua

Sumber-sumber dukungan sosial menurut Sarafino (1994) berasal dari :

1. Orang-orang sekitar individu yang termasuk kalangan non-profesional. Seperti: keluarga, teman dekat, atau rekan. Hubungan dengan kalangan non-profesional merupakan hubungan yang menempati bagian terbesar dari kehidupan seorang individu dan menjadi sumber dukungan sosial yang sangat potensial.

2. Profesional, seperti psikolog atau dokter

(51)

dalam menolong serta menyediakan dukungan emosi kepada para anggotanya.

Dari banyak jenis-jenis dukungan sosial yang dijelaskan diatas, ternyata dukungan yang berasal dari keluarga yang dapat memberikan efek yang sangat besar bagi fungsi psikologi seseorang (Taylor,2003).

2.2.4. Dukungan Orang tua pada remaja

Dukungan sosial yang didapatkan individu dari orang tuanya dapat diandalkan individu didalam kehidupan sehari-harinya, dimana individu dapat mempersepsikan bentuk dukungan orang tua yang ia terima, yaitu dalam hal kepedulian yang dialami, menyayangi, menghargai, memberikan berbagai informasi, dan menumbuhkan kepercayaan diri pada individu tersebut yang dapat mengurangi kecenderungan kenakalan remaja.

Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua, dan perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka agar sampai pada tingkat orang dewasa, menjadi masalah yang paling serius sepanjang kehidupannya dan membuatnya sangat sulit beradaptasi. Keinginan untuk bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk beradaptasi yang baik, sehingga orang tua seringkali mengintervensi dunianya, padahal yang dibutuhkan oleh remaja adalah suasana rumah yang baik (dalam Al-Mighwar, 2006).

(52)

kesempatan serta nasehat yang mengarah pada kebebasan. Lebih dari itu, remaja juga harus dimotivasi agar berani bertanggung jawab, mengambil keputusan, dan remencanakan masa depannya. Semua itu harus dilakukan keluarga melalui berbagai upaya positif dan konstruktif, secara sengaja dan terencana, sehingga remaja berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk memperkuat kematangan dirinya. Menghormati kecenderungannya untuk bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian padanya dianggap sebagai strategi paling bagus dan tepat, karena selain bisa menimbulkan saling percaya antara orang tua dan anak, juga membukakan jalan ke arah adaptasi yang baik agar mampu mengurangi kecenderungi kenakalan pada remaja (dalam Al-Mighwar, 2006).

Hubungan yang dekat dengan orang tua juga penting dalam perkembangan remaja karena hubungan ini berfungsi sebagai contoh atau cetakan yang akan dibawa terus dari waktu ke waktu untuk mempengaruhi pembentukan hubungan baru (Santrock, 2003).

2.3. Pengendalian Diri (

self-control

)

2.3.1. Pengertian Pengendalian Diri (self-control)

Menurut Calhoun dan Acocella (1995), mendefinisikan pengendalian diri (self-control) sebagai kekuatan seseorang dalam mempengaruhi diri, pengaturan terhadap fisik, tingkah laku, dan proses-proses yang bersifat psikologis dengan kata lain, pengaturan terhadap segala proses yang menentukan diri sendiri.

(53)

sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Sedangkan Messina & Messina (dalam Gunarsa, 2009) menyatakan bahwa pengendalian diri (self-control) adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi.

Lebih lanjut, Goldfried Marbaum (Gufron, 2004) mengartikan pengendalian diri (self-control) sebagai kemampuan menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif.

Sedangkan menurut Gilliom et al. (dalam Gunarsa, 2009), pengendalian diri (self-control) adalah kemampuan individu yang terdiri dari tiga aspek, yaitu kemampuan mengendalikan atau menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti atau merugikan orang lain, kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kemampuan untuk mengikuti peraturan yang berlaku, serta kemampuan untuk mengungkapkan keinginan atau perasaan pada orang lain, tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain tersebut.

(54)

2.3.2. Aspek-aspek Pengendalian Diri (Self-control)

Menurut Averill (1973), ada 3 aspek yang tercakup dalam kemampuan pengendalian diri (self-control) yaitu:

1. Kemampuan Mengontrol Tingkah Laku (Behavioral control)

Kemampuan dalam memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Aspek ini terperinci menjadi 2 komponen, yaitu:

a. Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) : Kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu di luar dirinya. Individu yang mempunyai kemampuan kontrol diri yang baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan jika individu tersebut tidak mampu maka ia akan menggunakan sumber eksternal.

b. Kemampaun memodifikasi stimulus (stimulus modifiability) : Kemampaun untuk menghadapi stimulus yang tidak diinginkan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus yang sedang berlangsung, rangkaian stimulus menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum berakhir dan membatasi intensitas stimulusnya.

2. Kemampuan Mengontrol Kognisi (Cognitive Control)

(55)

Aspek ini terperinci menjadi 2 komponen, yaitu :

a. Kemampuan mengolah informasi (information gain): Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan secara objektif.

b. Kemampuan melakukan penilaian (Appraisal) : Penilaian yang dilakukan individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3. Kemampuan Mengontrol Keputusan (Decisional Control)

Kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kemampuan mengontrol diri dalam menentukan pilihan atau keputusan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Dari beberapa penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa aspek-aspek self control meliputi; pertama Behavioral control, aspek ini terperinci menjadi 2 komponen, yaitu: Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administrarion) yaitu kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu di luar dirinya.

(56)

untuk menghadapi stimulus yang tidak diinginkan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus yang sedang berlangsung, rangkaian stimulus menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum berakhir dan membatasi intensitas stimulusnya.

Kedua, Cognitive Control, aspek ini terperinci menjadi 2 komponen, yaitu: Kemampuan mengolah informasi (information gain)yaitu informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan secara objektif. Dan kemampuan melakukan penilaian (Appraisal) yaitu penilaian yang dilakukan individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

Ketiga, Decisional Control, aspek ini merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkana pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kemampuan mengontrol diri dalam menentukan pilihan atau keputusan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

2.3.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengendalian Diri (Self-control)

(57)

comfort seeking, focus on delay object/task, serta peak anger).

Dijelaskan oleh Gilliorn bahwa semakin anak (pada usia 3½ tahun) mengalihkan hal-hal yang menyebabkan perasaan fruastasi yang dialaminya dengan cara active distraction (terdiri dari: anak diajak bermain khayal, mengeksploitasi ruang main, menyalakan-mematikan lampu, diajak bernyanyi, diajak menari dan sebagainya) serta dengan cara passive waiting (anak diinstruksikan untuk berdiri ataupun duduk dengan tenang), maka semakin anak (pada saat nanti usianya 6 tahun-yaitu usia sekolah) tidak mampu mengendalikan atau menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti, merugikan atau menimbulkan kekesalan bagi orang lain (externalizing).

Namun, pada saat yang bersamaan, bila anak (pada usia 3½ tahun) mampu mengalihkan hal-hal yang menyebabkan perasaan frustasi yang dialaminya dengan cara passive waiting (menurut instruksi untuk berdiri atau duduk dengan tenang), maka semakin anak (pada saat nanti usianya 6 tahun-yaitu usia sekolah) mampu bekerja sama dengan orang lain dan mematuhi aturan yang ada.

(58)

Cara focus on delay object/task yang dilakukan oleh anak, pada sisi lain, dapat menimbulkan efek negatif pada kemampuan pengendalian diri, khususnya pada aspek cooperation. Artinya, semakin anak (pada usia 3½ tahun) mengalihkan hal-hal yang menyebabkan perasaan frustasi yang dialaminya dengan cara focus on delay object/task (misalnya, dengan membicarakan sumber perasaan frustasi, memandang sumber perasaan frustasi, dan menyatakan bahwa ia ingin berusaha mengakhiri sumber frustasinya), maka semakin anak (pada saat nanti usianya 6 tahun-yaitu usia sekolah), kurang mau bekerja sama dan kurang menuruti aturan atau instruksi yang diberikan kepadanya.

Untuk sub-faktor information gathering, Gilliorn et al (dalam Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa semakin anak (pada usia 3½ tahun) mengalihkan hal-hal yang mnyebabkan perasaan frustasi yang dialaminya dengan cara information gathering (mencari tahu dengan menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan sumber perasaan frustasinya tanpa menyatakan bahwa ia ingin mengakhiri sumber frustasinya), maka semakin anak (pada saat nanti usianya 6 tahun-yaitu usia sekolah) mampu menunjukkan assertuveness-nya kepada orang lain. Dengan kata lain, anak semakin mampu mengungkapkan keinginan atau perasaan kepada orang lain tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain tersebut.

(59)

Gunarsa, 2009), faktor-faktor yang turut mempengaruhi pembentukan self-regulation adalah faktor proses perhatian dan faktor kesadaran terhadap emosi-emosi negatif. Semakin anak mampu menyadari emosi-emosi negatif yang muncul dalam dirinya dan semakin anak mampu mengendalikan perhatiannya pada sesuatu (attentional process), maka anak semakin mampu menahan dorongan-dorongan dan mengendalikan tingkah lakunya.

Menurut Patricia Patton (1998) bahwa pengendalian diri (self-control) itu berasal dari:

1) Pemahaman terhadap diri sendiri dan mampu mengenali bagaimana perasaan-perasaan sendiri dan alasannya.

2) Mengetahui apa yang dilakukan ketika tidak mampu menahan perasaan-perasaan sendiri.

3) Mempelajari teknik berbicara kepada diri sendiri atau self talk yang positif untuk mengurangi dampak negatif terhadap perasaan-perasaan diri sendiri. 4) Memandangi orang lain secara berbeda sehingga dapat mempertahankan suatu

pusat yang positif.

5) Menghilangkan rasa takut terhadap penadapat orang lain tentang diri kita sendiri.

6) Menyelaraskan emosi-emosi orang lain dengan jalan menciptakan suasana saling menghormati dan memneri pertimbangan terhadap perasaan orang lain. 7) Menghindari godaan untuk memberi kritik secara pribadi atau

mempertahankan diri sendiri.

(60)

lempar batu sembunyi tangan.

9) Mempergunakan kata-kata dan bahasa tubuh untuk menahan situasi sebelum segalanya terlambat diatasi.

2.3.4. Fungsi Pengendalian Diri (self-control)

Messina dan Messina (dalam Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa pengendalian diri (self-control) memiliki beberapa fungsi:

1) Membatasi perhatian individu kepada orang lain.

Dengan adanya pengendalian diri, individu akan memberikan perhatian pada kebutuhan pribadinya pula, tidak sekedar berfokus pada kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain di lingkungannya. Perhatian yang terlalu banyak pada kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain akan menyebabkan individu mengabaikan bahkan melupakan kebutuhan pribadinya.

2) Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya.

Dengan adanya pengendalian diri, individu akan membatasi ruang bagi aspirasi dirinya dan memberikan ruang bagi aspirasi orang lain supaya terakomodasi secara bersama-sama.

3) Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.

(61)

untuk menahan dorongan atau keinginan bertingkah laku (negatif) yang tidak sesuai dengan norma sosial.

4) Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang. Individu yang memiliki pengendalian diri yang baik, akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam takaran yang sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Dalam hal ini, pengendalian diri membantu individu untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup.

2.4.

Remaja

2.4.1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1991).

WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

(62)

Menurut Badan Pelaksanaan Penanggulangan Kenakalan Anak/Remaja, yang dimaksud remaja adalah mereka yang berumur antara 13-18 tahun. Sedangkan menurut KUH Pidana (pasal 330) menyebutkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum menikah (dalam Murdijati, 1998).

Penulis menetapkan dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja yang masih berusia 13 sampai 18 tahun dan belum menikah.

2.4.2. Ciri-ciri Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Hurlock (1991) pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Berikut ini dijelaskan satu persatu dari ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja.

1. Masa Remaja sebagai periode yang penting

(63)

periode ini, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Karena pada periode remaja ini, kedua-duanya sama penting.

2. Masa Remaja sebagai periode peralihan

Pada masa peralihan ini, peralihan tidak terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Dalam setiap periode peralihan, status indvidu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi sorang anak dan juga bukan orang dewasa.

3. Masa Remaja sebagai Periode Perubahan

(64)

4. Masa Remaja sebagai Usia bermasalah

Setiap masa periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Serta kebanyakan dari mereka yang ingin mengatasi masalahnya dengan sendiri, yaitu dengan menolak bantuan orang tua dan guru-guru. Namun banyak juga dari mereka yang tidak mampu mengatasinya dengan sendiri, sebab karena ketidakmampuannya mereka untuk mengatasi masalahnya tersebut dengan cara yang mereka yakini, banyak remaja yang pada akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas

Identitas yang dicari para remaja yaitu berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa? apakah ia nantinya menjadi seorang suami atau ayah? dan masih banyak lagi. Adapun salah satu cara remaja untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status atau dalam bentuk mobil, pakaian, dan kepemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu baik di dalam kelompoknya ataupun masyarakat.

6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan

(65)

bagi remaja, yang menggambarkan citra diri remaja. Adapun anggapan adapula anggapan yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, yang mengakibatkan orang dewasa untuk membimbing mereka para remaja.

7. Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melaui kaca berwarna merah jambu, ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temanya, yang menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Dan remaja juga mudah sakit hati apabila orang lain mengecewakannya apabila ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

(66)

2.4.3. Tugas-tugas perkembangan remaja

Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1991), meliputi:

1. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya baik baik pria maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karir ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

2.5. Kerangka Berpikir

(67)

harapan penerus bangsa.

Masa remaja merupakan proses menjadi manusia dewasa berlangsung. Pengalaman manis, pahit, sedih, gembira, lucu bahkan menyakitkan mungkin akan dialami dalam rangka mencari jati diri. Namun, banyak diantara mereka yang tidak sadar bahwa beberapa pengalaman yang tampaknya menyenangkan justru dapat menjerumuskan.

Dalam kehidupan para remaja sering kali diselingi hal-hal yang negatif dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitar baik lingkungan di sekolah maupun lingkungan di rumah. Rasa ingin tahu dari para remaja kadang-kadang kurang disertai pertimbangan rasional akan akibat dari suatu perbuatan. Oleh karena itu, para remaja banyak yang terjebak dalam beberapa perilaku menyimpang yang biasa disebut dengan kenakalan remaja.

Remaja mulai meninggalkan tugas utamanya sebagai seorang pelajar. Pergaulan remaja saat ini mulai berubah, banyak remaja lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berkumpul-kumpul dengan temannya dari pada belajar di rumah. Sedangkan orang tua tidak bisa mengontrol langsung kelakuan para anak-anak mereka karena alasan materi. Oleh karena itu, para remaja harus mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Sesuai dengan

Gambar

Tabel 4.17
Blue PrintTabel 3.1  Dukungan orang tua
Bobot Skor Untuk PernyataanTabel 3.2
Tabel 3.3 Blue Print Self-control
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada masa remaja tidak jarang remaja melakukan tingkah laku yang dianggap melanggar aturan yang ada. Dalam hal ini biasa disebut dengan kenakalan remaja. Mengingat

Artinya terdapat korelasi yang signifikan antara interaksi guru dan siswa dengan kenakalan remaja, Perahtian orang tua berkorelasi dengan kenakalan remaja ditunjukkan dengan nilai

kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.... • Kartini Kartono (1988 :

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan kenakalan remaja adalah perilaku remaja yang melakukan tindakan merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun

Dampak yang terjadi pada remaja ketika mereka melanggar norma atau melakukan kenakalan yang tidak menimbulkan korban sering kehilangan kontrol diri seperti yang terjadi pada tiga

Intensi kenakalan remaja adalah niat untuk melakukan tindakan dan merupakan perilaku menyimpang remaja yang melanggar aturan dan norma sosial yang dapat

Aspek dukungan informatif berpengaruh terhadap kecenderungan kenakalan remaja dengan hubungan yang berarah negatif, yaitu semakin tinggi dukungan informasi yang dirasakan remaja

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi dengan judul Hubungan Dukungan Sosial Orangtua dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja Tengah Siswa SMA