• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Bagan Penanaman pada Paralon

150 cm

5 Inch

15 cm

(2)

Lampiran 2. Bagan Paralon Penelitian

Blok I

Blok II

Blok III

H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1

H0P2

H0P3 H1P3 H2P3 15 cm 35 cm

400 cm 200 cm

H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1

H0P2

H0P3 H1P3 H2P3 H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1

H0P2

(3)

Lampiran 3. Deskripsi Bawang Merah

Bawang Merah Varietas Samosir

(Lampiran SK. Menteri Pertanian No : 595/pts/TP290/8/1984)

Asal : lokal Samosir

Umur : - mulai berbunga 52 hari

- panen (60% batang melemas) 70 hari

Tinggi tanaman : 26,9 - 41,3 cm

Kemampuan berbunga (alami) : mudah berbunga susut bobot umbi (basah-kering) : 24,7%

Banyak anakan : 6-12 umbi per rumpun

Bentuk daun : silindris, berlubang

Warna daun : hijau

Bentuk umbi : bulat dengan ujung meruncing

warna umbi : merah

produksi umbi : 7,4 ton per hektar umbi kering

Ketahanan terhadap penyakit : cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis allii)

Kepekaan terhadap penyakit : peka terhadap busuk ujung daun (Phytopthora porri)

keterangan : baik untuk dataran rendah dan dataran

tinggi.

peneliti : Hendro Sunarjono, Prasojo, Darliah dan

(4)

Lampiran 4. Rataan panjang tanaman 2 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 5. Daftar sidik ragam panjang tanaman 2 MST

SK db JK KT F Hit. F.05 Ket.

(5)

Lampiran 6. Rataan panjang tanaman 3 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 7. Daftar sidik ragam panjang tanaman 3 MST

(6)

Lampiran 8. Rataan panjang tanaman 4 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 9. Daftar sidik ragam panjang tanaman 4 MST

(7)

Lampiran 10. Rataan panjang tanaman 5 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 11. Daftar sidik ragam panjang tanaman 5 MST

(8)

Lampiran 12. Rataan panjang tanaman 6 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 13. Daftar sidik ragam panjang tanaman 6 MST

(9)

Lampiran 14. Rataan jumlah daun per rumpun 2 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 15. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 2 MST

(10)

Lampiran 16. Rataan jumlah daun per rumpun 3 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 17. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 3 MST

(11)

Lampiran 18. Rataan jumlah daun per rumpun 4 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 19. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 4 MST

(12)

Lampiran 20. Rataan jumlah daun per rumpun 5 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 21. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 5 MST

(13)

Lampiran 22. Rataan jumlah daun per rumpun 6 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 23. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 6 MST

(14)

Lampiran 24. Rataan jumlah anakan

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 25. Daftar sidik ragam jumlah anakan

(15)

Lampiran 26. Rataan diameter tanaman

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 27. Daftar sidik ragam diameter tanaman

(16)

Lampiran 28. Rataan bobot basah per sampel

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 29. Daftar sidik ragam bobot basah per sampel

(17)

Lampiran 30. Rataan bobot kering jual per sampel

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 31. Daftar sidik ragam bobot kering jual per sampel

(18)

Lampiran 32. Rataan bobot basah per paralon

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 33. Daftar sidik ragam bobot basah per paralon

(19)

Lampiran 34 . Rataan bobot kering jual per paralon

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 35. Daftar sidik ragam bobot kering jual per paralon

(20)

Lampiran 36. Dosis anjuran dan komposisi pupuk DI Grow

(21)

Lampiran 37. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian

No. Pelaksanaan Penelitian Minggu Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1. Pembuatan media vertikultur X

2. Persiapan bibit X

Penyiraman Disesuaikan dengan perlakuan

Penyiangan Disesuaikan dengan kondisi lapangan

Pembumbunan Disesuaikan dengan kondisi lapangan

Pengendalian hama dan penyakit

Diameter umbi per sampel (cm) X

Bobot basah umbi per sampel (g) X

Bobot kering jual umbi per

sampel (g) X

Bobot basah umbi per paralon (g) X

Bobot kering jual umbi per

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Anah, L., 2013. Hidrogel Polimer Sebagai Soil Conditioner Untuk Pertanian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Badan Pusat Statistik, 2015. Produksi Bawang Merah Sumatera Utara. Biro Statistik Sumatera Utara, Medan.

Deptan, 2005. Pengembangan Usaha Agribisnis Bawang Merah Terpadu. Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian, Jakarta.

Desiliyarni, T., Y. Astuti, F. Fauzy dan J. Endah, 2003. Vertikultur: Teknik Bertanam di Lahan Sempit. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Djurovic, N., R. Stricevic, R. Pivic, S. Petkovic dan E. Gregoric, 2011. Ifluence of

Hydrogel on Water Conservation and A Pot Study. International Congress

on Irrigation and Drainage. Tehran, Iran.

Fritsch, R.M., M. Gurushidze, J. Jedelská, dan M. Keusgen, 2007. More than

Only Nice – Ornamental DruMSTick Onions of Allium Subg. Melanocrommyum Are Also Potencial Medicinal Plants. Herbertia.

Gulrez, S. K. H., S. Al-Assaf dan G. O Phillips, 2011. Hydrogels: Methods of

Preparation, Characterisation and Applications, Progress in Molecular

and Environmental Bioengineering - From Analysis and Modeling to Technology Applications, Prof. Angelo Carpi (Ed.), ISBN: 978-953-307-268-5, InTech. http://www.intechopen.com

Hamasaki, R., H. Valenzuela, dan R. Shimabuku, 1999. Bulb Onion Production in

Hawaii. College of Tropical Agriculture and Human Resources, Manoa.

Hikmah, A. L., Kurniasari, N. Rustami, B. Hartati, C. Pradeksa, Y. Artam, 2010. Laporan resmi Praktikum Dasar agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.

Jhurry, D., 1997. Agricultural Polymers. Food and Agricultural Research Council. Reduit, Mauritius. P. 109-113. http://www.uom. ac.mu

Kurnia, U., A. Rachman, dan A. Daraih, 2004. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat BPPP Departemen Pertanian, Jakarta.

(23)

Mariyam, S., T. Rahayu, Budiwati, D. O. Widiastuti, A. P. Rini, A. I. Astuti, 2013. Implementasi Eco-Education di Sekolah Perkotaan melalui Budidaya Vertikultur Tanaman Hortikultura Organik. Laporan Kegiatan PPM Reguler Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Yogyakarta, Yogyakarta.

Putrasamedja, S. Dan Suwandi, 1996. Varietas Bawang Merah Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.

Rasapto, P., 2006. Budidaya Sayuran dengan Vertikulktur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.

Saptadji, R,. K. Megasari, dan D. Swantomo, 2008. Pembuatan komposi polymer superabsorbent dengan mesin berkas electron. Jurnal sttn-batan. 12/18:207-215.

Sarvas, M,. P. Pavlenda dan P. Takacova, 2007. Effect of hydrogel application on

survival and growth at pine seedlings reclamations. Journal Forest

Science. 53: 204-209.

Setiawan, O dan R. Nandini, 2013. Pemanfaatan Hidrogel dan Pupuk Organik sebagai Pembenah Tanah dalam Rehabilitas Lahan Kritis Berbasis Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) di Daerah Kering.

Steel, R.G.D. dan J.H.Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Steenis, C.G.G.J., S. Bloembergen., P.J. Eyma, 2005. Flora. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sufyati, Y., S. Imran AK, dan Fikrinda. Pengaruh Ukuran Fisik dan Jumlah Umbi

per Lubang terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). J. Floratek 2 : 43 – 45.

Sumarni, N. dan A. Hidayat 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Panduan Teknis PTT Bawang Merah No.3, Tahun 2005. ISBN : 979-8304-49-7. Bandung: 22 hal.

Sumarni, N. dan E. Sumiati. 1995. Botani Bawang Merah Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan pengembangan Hortikultura, Jakarta. Suparman, 2010. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka Press, Jakarta.

(24)

Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995.Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah Mada University Press. ProseaIndonesia – Balai Penel Hortikultura, Lembang.

Wartapa, A., S. Sugihartiningsih, S. Astuti dan Sukadi. Pengaruh Jenis Pupuk dan Tanaman Antagonis terhadap Hasil Cabe Rawit (Capsicum frutencens) Budidaya Vertikultur. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol. 6 No. 2. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Magelang.

Werdhany, W. I., 2012. Teknologi Hemat Lahan Sistim Vertikultur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Yogyakarta.

(25)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Poloniadengan ketinggian ± 25 meter diatas permukaan laut, yang dimulai pada bulan Februari 2016 sampai dengan bulan april 2016.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu bibit bawang merah varietas lokal samosir yang berasal dari Bakkara, pipa paralon dengan diameter 5 inch, top soil, kompos, pasir, hidrogel, pupuk cair DI Grow, fungisida berbahan aktif mankozeb.

Alat yang digunakan yaitu hand sprayer, gelas ukur, pisau/cutter, meteran, timbangan analitik, ember, gergaji, saw hole, alat tulis, dan kamera.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor :

Faktor I : Dosis Hidrogel (H) dengan 3 taraf, yaitu : H1 : Tanpa hidrogel

H2 : Hidrogel 0,1 g / tanaman H3 : Hidrogel 0,2 g / tanaman

Faktor II : Frekuensi Penyiraman (P) dengan 3 taraf, yaitu : P1 : 1 hari 1 kali

(26)

Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan, yaitu :

H1P1 H2P1 H3P1

H1P2 H2P2 H3P2

H1P3 H2P3 H3P3

Jumlah ulangan : 3 ulangan Jumlah paralon : 27 paralon Jarak antar paralon : 35 cm Jarak antar blok : 50 cm Jumlah tanaman/paralon : 18 tanaman Jumlah sampel/paralon : 6

Jumlah sampel seluruhnya : 162

Jumlah tanaman seluruhnya : 486 tanaman

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model linear sebagai berikut :

Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk dimana :

Yijk : Data hasil pengamatan dari unit percobaan blok ke-i dengan perlakuan dosis hidrogel taraf ke-j dan frekuensi penyiraman ke-k

μ : Nilai tengah

ρi : Efek blok ke-i

αj : Efek dosis hidrogel pada taraf ke-j

βk : Efek frekuensi penyiraman pada taraf ke-k

(αβ)jk : Efek interaksi dari dosis hidrogel pada taraf ke-j dan frekuensi pada taraf

(27)

εijk : Galat dari blok ke-i, dosis hidrogel pada cara ke-j dan frekuensi penyiraman pada taraf ke-k

(28)

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan

Areal lahan diukur dengan luas 2x4 meter, dibersihkan dari rerumputan, sisa – sisa tanaman, dan batu – batuan.

Persiapan Bahan Tanam

Untuk bahan tanam yang akan dipakai, dipilih bibit umbi bawang dengan bobot dan ukuran seseragam mungkin kemudian dibersihkan dari bagian kulit paling luar yang telah mengering.

Pembuatan Wadah dan Media Vertikultur

Pipa paralon dengan diameter 5 inchi dipotong dengan panjang 180 cm. sisi paralon diberi lubang dengan menggunakan saw hole berdiameter 54 mm sebagai lubang tanam sebanyak 18 lubang per paralon dan jarak antar lubang yaitu 15 cm kemudian ditutup lubang dasar paralon dengan plastik dan pipa paralon ditegakkan di lahan sesuai dengan bagan penelitian kemudian di isi dengan campuran top soil, kompos, dan pasir (2:1:1).

Aplikasi Hidrogel

Hidrogel diberikan saat umbi akan ditanam dengan cara dimassukkan kedalam lubang tanah dengan kedalaman 10 cm kemudian di tutup dengan sedikit tanah dan umbi ditanam diatasnya.

Penanaman

(29)

Pemeliharaan Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari selama 7 hari pertama yaitu pada sore hari kemudian pada hari berikutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan perlakuan. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan hand sprayer pada lubang tanam paralon

Pemupukan

Pupuk yang digunakan adalah pupuk cair DI Grow dengan dosis sesuai anjuran yaitu 5 ml/liter air diberikan bersamaan dengan penyiraman tanaman mulai dari minggu ke 2 sampai minggu ke 7 dengan interval 6 hari sekali.

Penyiangan dan pembubunan

Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma di sekitar lubang tanam agar perakaran tanaman tidak terganggu dan dilakukan pembumbunan pada pangkal rumpun tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Panen

Panen dilakukan pada saat bawang merah berumur sekitar 70 hari setelah tanam sesuai dengan kriteria panen yaitu daun mulai layu dan rebah, umbi mulai tersembul sebagian di atas tanah. Panen dilakukan dengan cara mencabut umbi dengan menggunakan tangan lalu akar dan tanahnya dibersihkan.

Pengeringan

(30)

Parameter Pengamatan Panjang Tanaman (cm)

Panjang tanaman diukur mulai dari pangkal daun sampai ke ujung daun tanaman terpanjang dan dilakukan setelah tanaman berumur 2 sampai 6 MST. Jumlah Daun per Rumpun (helai)

Dihitung jumlah seluruh daun yang muncul pada anakan untuk setiap rumpunnya, dilakukan setelah tanaman berumur 2 MST hingga 6 MST.

Jumlah Anakan per Rumpun (anakan)

Dihitung jumlah anakan yang terbentuk dalam satu rumpun, dilakukan setelah tanaman selesai di panen.

Diameter Umbi per Sampel(mm)

Umbi dihitung dengan mengambil 3 umbi yang mewakili setiap sampel dan dihitung diameter rata-rata umbi per sampel menggunakan jangka sorong. Bobot Basah Umbi per Sampel (g)

Bobot basah umbi per sampel ditimbang setelah dipanen dan dibersihkan dari tanah dan kotoran serta daun 1 cm dari umbi kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

Bobot Kering Jual Umbi per Sampel (g)

Bobot kering jual umbi per sampel ditimbang setelah dibersihkan dan dikeringanginkan selama 2 minggu.

Bobot Basah Umbi per Paralon (g)

(31)

Bobot Kering Jual Umbi per Paralon (g)

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dari hasil penelitian dan anallisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan dosis hidrogel berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 5 MST, bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon. Perlakuan frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 2, 3, 4 dan 5 MST, bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon. Sedangkan interaksi hidrogel dan frekuensi penyiraman hanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon.

Panjang Tanaman (cm)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 4 - 13 menunjukan bahwa

perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata terhadap panjang tanaman pada semua waktu

pengamatan (2 sampai 6 MST).

Dari tabel 1 dapat dilihat panjang tanaman bawang merah 2 – 6 MST pada

berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Panjang tanaman terpanjang

pada umur 2 dan 3 MST diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman

(H2) yaitu 11,22 cm dan 16,12 cm dan pada umur 4, 5, dan 6 MST panjang

tanaman terpanjang diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman (H3)

yaitu 20,87 cm, 22,70 cm dan 23,39 cm. Sedangkan panjang tanaman terpendek

diperoleh pada umur 2, 3, 4, dan 6 MST pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yaitu

berturut – turut 10,48 cm, 14,98 cm, 19,48 cm, dan 22,33 cm dan pada umur 5

(33)

Tabel 1. Panjang tanaman bawang merah 2-6 MST pada berbagai dosis hidrogel

Pada umur 2, 3, 4, 5, dan 6 MST, tanaman terpanjang dihasilkan oleh

perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari 1 kali (P2) yaitu 11,24 cm, 16,12 cm,

20,72 cm, 22,43 cm, dan 22,93 cm dan panjang tanaman terpendek pada

perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yaitu 10,56 cm, 15,14 cm,

19,65 cm, 21,78 cm, dan 22,59 cm.

Jumlah daun per rumpun (helai)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 14 - 23 menunjukan bahwa

perlakuan hidrogel berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada umur 5 MST

(34)

penyiraman berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun per rumpun pada

semua waktu pengamatan.

Jumlah daun per rumpun bawang merah 2 - 6 MST pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah daun per rumpun bawang merah umur 2 – 6 MST pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

(35)

Tabel 2 menunjukkan tanaman pada umur 2 sampai 5 MST pada

perlakuan frekuensi penyiraman, jumlah daun per rumpun terbanyak diperoleh

pada P1 (1 hari 1 kali) yaitu 8,52 helai, 10,98 helai, 14,06 helai dan 15,59 helai

yang berbeda nyata terhadap P2 dan P3. Pada umur 5 MST jumlah daun terbanyak

diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman (H3) yaitu 14,76 helai yang

berbeda nyata dengan perlakuan tanpa hidrogel (H1) (13,00 helai) tetapi berbeda

tidak nyata dengan perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) (13,89 helai).

Pada perlakuan hidrogel, jumlah daun per rumpun umur 6 MST terbanyak

pada perlakuan hidrogel 0,2 g/tanaman (H3) yakni 14,89 helai dan paling sedikit

pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 13,06 helai. Sedangkan pada perlakuan

frekuensi penyiraman, jumlah daun per rumpun terbanyak yaitu pada perlakuan

frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 14,94 helai dan terendah pada P3

yakni 12,85 helai.

Hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah umur 5 MST dengan

dosis hidrogel dapat dilihat pada gambar 1.

(36)

Hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5 MST dengan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5 MST dengan frekuensi penyiraman.

Jumlah anakan per rumpun (anakan)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 24 dan 25 menunjukkan

bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap jumlah anakan per rumpun.

Rataan jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Hidrogel (g/tanaman)

Frekuensi penyiraman

Rataan P1 (1 hr 1 kali) P2 (3 hr 1 kali) P3 (6 hr 1 kali)

...anakan...

H1 (kontrol) 4,94 5,50 5,36 5,27

H2 (0,1) 4,69 4,67 4,78 4,71

H3 (0,2) 5,44 5,08 5,06 5,19

(37)

Dari tabel 3 dapat dilihat jumlah anakan per rumpun (anakan) bawang

merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Jumlah anakan

per rumpun terbanyak pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 5,27 anakan dan

paling sedikit pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 4,71 anakan.

Jumlah anakan per rumpun terbanyak pada perlakuan frekuensi

penyiraman 3 hari 1 kali (P2) yakni 5,08 anakan dan jumlah anakan per rumpun

paling sedikit pada perlakuan frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 5,03

anakan.

Diameter umbi per sampel (mm)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 26 dan 27 menunjukkan

bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap diameter umbi per sampel.

Dari tabel 4 dapat dilihat Diamater umbi per sampel bawang merah pada

berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Diameter umbi per sampel

terbesar yaitu pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 13,18 mm dan

terkecil pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 11,21 mm.

Tabel 4. Diameter umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Diameter umbi per sampel terbesar pada perlakuan frekuensi penyiraman 1

(38)

frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yakni 11,75 mm. Frekuensi penyiraman

yang semakin lama akan menurunkan besar diameter umbi per sampel bawang

merah.

Bobot basah umbi per sampel (g)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 28 dan 29 menunjukkan

bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot basah umbi per sampel.

Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel

dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot basah umbi per sampel terberat pada

perlakuan pemberian hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 2,66 g dan bobot basah

umbi per sampel teringan pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 2,28 g.

Bobot basah umbi per sampel terberat yaitu pada perlakuan frekuensi

penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 2,53 g dan bobot basah umbi per sampel

teringan yaitu pada perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yakni

(39)

Bobot kering jual umbi per sampel (g)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 30 dan 31 menunjukkan

bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot kering jual umbi per sampel.

Bobot kering jual umbi per sampel (g) bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bobot kering jual umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot kering jual umbi per sampel terberat

pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yaitu 2,10 g dan teringan pada

perlakuan tanpa hidrogel (H1) yaitu 1,80 g.

Bobot kering jual umbi per sampel terberat pada perlakuan frekuensi

penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yaitu 2,00 g dan bobot kering jual umbi per sampel

teringan pada perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yaitu 1,88 g.

Frekuensi penyiraman yang semakin lama akan menurunkan bobot kering jual

(40)

Bobot basah umbi per paralon (g)

Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 32 dan 33 menunjukkan bahwa perlakuan hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah umbi per paralon.

Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada setiap kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Beda Rataan Duncan pada taraf α=5%.

Tabel 7 menunjukkan pada perlakuan H1 (tanpa hidrogel), bobot basah

umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (48,78 g) yang berbeda nyata

terhadap P2 dan P3. Pada perlakuan H2 (hidrogel 0,1 g/tanaman), bobot basah

umbi per paralon terberat diperoleh pada P2 (53,76 g) yang berbeda tidak nyata

dengan P1dan berbeda nyata dengan P3. Perlakuan H3 (hidrogel 0,2 g/tanaman),

bobot basah umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (57,03 g) yang berbeda

tidak nyata dengan P2 dan P3.

Hubungan interaksi dosis hidrogel pada berbagai frekuensi penyiraman

terhadap bobot basah umbi per paralon bawang merah dapat dilihat pada

(41)

Gambar 3. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi penyiraman terhadap bobot basah umbi per paralon

Bobot kering jual umbi per paralon (g)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 34 dan 35 menunjukkan bahwa perlakuan hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah umbi per paralon.

Bobot kering jual umbi per paralon (g) bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot kering jual umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada setiap kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Beda Rataan Duncan pada taraf α=5%.

Tabel 8 menunjukkan pada perlakuan H1 (tanpa hidrogel), bobot kering

jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (37,36 g) yang berbeda nyata

(42)

jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P2 (41,13 g) yang berbeda tidak

nyata dengan P1 dan berbeda nyata dengan P3. Perlakuan H3 (hidrogel 0,2

g/tanaman), bobot kering jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (45,17

g) yang berbeda tidak nyata dengan P2 dan P3.

Hubungan interaksi dosis hidrogel pada berbagai frekuensi penyiraman

terhadap bobot kering jual umbi per paralon bawang merah dapat dilihat pada

gambar 4.

(43)

Pembahasan

Dari hasil penelitian didapat bahwa pada pengamatan minggu ke 2 sampai ke 6 setelah tanam perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman. Hal ini diduga karena panjang tanaman bawang lebih dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga perlakuan hidrogel dan frekuensi penyiraman tidak mempengaruhi panjang tanaman bawang tersebut.

(44)

air didalam tanah mempengaruhi perkembangan jumlah daun per rumpun. Ini dapat dilihat dari rataan jumlah daun terbanyak yaitu pada perlakuan penyiraman 1 hari 1 kali pada 2 MST sampai 5 MST yakni 8,52 helai, 10,98 helai, 14,06 helai, dan 15,59 helai serta yang paling sedikit yaitu pada perlakuan penyiraman 6 hari 1 kali yakni 7,04 helai, 9,11 helai, 11,78 helai dan 12,17 helai.

Dari hasil penelitian didapat bahwa pada parameter jumlah anakan dan diameter umbi tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman, dan interaksi keduanya. Menurut Sufyati (2006), hal ini dikarenakan jumlah anakan dan ukuran umbi lebih dipengaruhi oleh indukan atau benih yang digunakan sebagai bibit dibandingkan dengan ketersediaan air. Akan tetapi, kurangnya penyiraman pada periode kritis juga dapat mengakibatkan penurunan produksi bawang merah karena terganggunya proses pembentukan umbi (Sumarni dan Hidayat, 2005).

(45)

namun dengan pemberian dosis hidrogel terlihat pada perlakuan bobot basah umbi per paralon yang berbeda nyata pada pemberian hidrogel 0,1 g/tanaman (H2P3) sebesar 41,21 g yang berbeda nyata pula dengan perlakuan H3P3 dengan pemberian dosis 0,2 g/tanaman sebesar dan 51,68 g. Pada perlakuan H3P3 didapat hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyiraman penyiraman 1 hari 1 kali.

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 MST sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1).

2. Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1 yaitu 57,03 g pada bobot basah umbi per paralon dan 45,17 g pada bobot umbi kering jual per paralon.

3. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.

Saran

Disarankan untuk menggunakan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman untuk

meningkatkan produksi bawang merah dan mengurangi penggunaan air pada

(47)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales, Famili: Liliaceae, Genus: Allium, Species: Allium ascalonicum L. (Steenis et al., 2005).

Bentuk daun bawang merah berbentuk pipa pipih berwarna hijau muda. Akar berbentuk serabut pendek berada pada pangkal umbi, dan membenam tidak terlalu dalam. Umbi bawang merah berlapis-lapis, dan karena faktor kesuburan dan suhu yang tepat, lapisan-lapisan umbi tersebut akan membentuk umbi baru yang saling berdekatan. Umbi yang baru itu dinamakan umbi samping, yang menempel pada umbi induk (Suparman, 2010).

Akar bawang merah tumbuh di bagian bawah umbi. Sistem perakaran serabut dan dangkal, bercabang dan terpencar, dapat menembus tanah hingga kedalaman 15 cm (Hamasaki et al., 1999).

(48)

Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bakal buah sebenarnya terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 calon biji. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif (Fritsch et al., 2006).

Bawang merah biasanya memiliki jumlah umbi per rumpun bervariasi antara 4 sampai 8 umbi dan bentuk umbinya dapat bervariasi mulai dari bentuk agak bulat sampai berbentuk lebih gepeng. Umbi tersebut terbentuk di dalam tanah dengan posisi yang rapat serta dikelilingi suatu seludang. Pertumbuhan umbi-umbi dalam setiap rumpunnya adalah mandiri dengan bagian dasarnya yang berhubungan (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Ukuran umbi yang digunakan sebagai bibit sangat mempengaruhi produksi bawang merah. Bibit umbi yang tidak baik dapat menurunkan produksi. Umbi bibit yang baik mempunyai ukuran fisik yang tidak terlalu kecil. Umbi bibit yang terlalu kecil cenderung menghasilkan jumlah anakan yang relatif sedikit, sedangkan umbi bibit yang terlalu besar merupakan pemborosan karena umbi yang mempunyai ukuran fisik yang terlalu besar sering kali kurang menghasilkan tunas (Sufyati et al, 2006).

(49)
(50)

Syarat Tumbuh Iklim

Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m di atas permukaan laut. Tanaman bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di dataran tinggi, tetapi umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan dan hasil umbinya lebih rendah (Sumarni, 2005).

Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Sutarya dan Grubben, 1995).

Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bila mana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22°C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah (Sumarni, 2005).

Tanah

(51)

tanah Glei-Humus atau Latosol Tanah yang cukup lembab dan air tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah (Sumarni, 2005).

Tanaman bawang merah cocok tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 0–1000 m dpl. Ketinggian optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0 - 450 m dpl. Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32 0C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Setiawati, 2007).

Vertikultur

Vertikultur dapat diartikan sebagai teknik budidaya tanaman secara vertikal sehingga penanamannya dilakukan dengan menggunakan sistem bertingkat. Teknik vertikultur berawal dari ide vertical garden yang dilontarkan oleh sebuah perusahaan benih di Swiss pada tahun 1944 (Desiliyarni, 2003).

Di Indonesia, sistem pertanian vertikal baru dikembangkan sejak tahun I987, sehingga apa yang dijelaskan ini sebagian besar sudah dilakukan pada kurun waktu itu. Kolom vertikal paling sederhana dapat dibuat dari mulsa hitam perak dengan kerangka bambu. Vertikultur merupakan cara bertanam dalam susunan vertikal keatas menuju ruang udara bebas, dengan menggunakan tempat media tumbuh yang disusun secara vertikal pula. Media tanam ditampung dalam kaleng-kaleng, paralon pvc, riul, maupun papan kayu dapat dipergunakan sebagai alternatif tempat media tanam (Wartapa, 2010).

(52)

keindahan, sehingga selain dapat menghasilkan sayuran sehat dan bergizi untuk dikonsumsi, juga dapat memperindah halaman rumah. Selain itu persyaratan

lainnya adalah bahan harus kuat dan mudah untuk dipindahkan (Werdhany, 2012).

Lahan sempit yang banyak terdapat di perkotaan dapat dimanfaatkan dengan bertanam secara vertikal atau vertikultur .Lahan sempit yang tidak termanfaatkan bisa memberikan keuntungan ekonomi. Kelebihan lainnya cara bertanam ini memungkinkan kita memperoleh sayuran yang bersih dan bermutu yang dapat diyakini seratus persen. Dengan melakukan penanaman dan pemeliharaan sendiri tentu akan mengurangi atau bahkan meniadakan penggunaan pestisida. Sayuran yang diperoleh pun akan sedikit atau bahkan bebas residu pestisida yang berbahaya bagi kesehatan (Rasapto, 2006).

Menurut Mariyam (2013), dalam budidaya vertikultur terdapat kelebihan dan kekurangan dari teknik budidaya secara vertikultur, beberapa kelebihannya antara sebagai berikut:

a) Populasi tanaman per satuan luas lebih banyak karena tanaman disusun ke atas dengan tingkat kerapatan yang dapat diatur sesuai keperluan.

b) Media tanam yang disterilisasi meminimalkan risiko serangan hama dan penyakit sehingga mengurangi biaya untuk pengendalian hama dan penyakit. c) Kehilangan pupuk oleh guyuran air hujan dapat dikurangi karena jumlah media

tanam yang sudah ditentukan hanya berada di sekitar perakaran tanaman di dalam wadah terbatas.

(53)

e) Berbagai bahan di sekitar rumah seperti karung bekas, batang bambu, pipa peralon, dan bekas gelas air mineral dapat dimanfaatkan sebagai wadah budi daya vertikultur.

f) Tempat dibangunnya bangunan vertikultur menampilkan nilai estetika, atau dapat dikatakan sebagai tanaman hias.

g) Bangunan vertikultur dapat dipindah-tempatkan ke tempat yang diinginkan, terutama untuk vertikultur dengan konstruksi yang dapat dipindah-pindahkan.

Selain itu di samping banyaknya nilai kelebihan, teknik budidaya vertikultur ini pun memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagai berikut. a) Investasi atau biaya awal yang diperlukan cukup tinggi karena harus membuat srtruktur bangunan khusus dan penyiapan media tanam.

b) Oleh karena jarak tanamnya rapat, tercipta suatu kondisi kelembapan udara yang tinggi. Hal ini menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan penyakit akibat cendawan.

Hidrogel

Hidrogel mulai dikembangkan pada tahun 1950 dengan pengembangan

soil conditioner polymer yang dapat larut dalam air. Pada awal tahun 1980

(54)

mengurangi hilangnya air akibat evaporasi, dan meningkatkan produktivitas tanaman (Jhurry, 1997).

Menurut Sarvas et al. (2007), hidrogel sangat mudah digunakan sebagai bahan campuran media tanam, tetapi akan sangat sulit apabila menggunakannya terlalu banyak, hal tersebut dapat mengakibatkan tingginya kapasitas penyimpanan air didalam hidrogel. Maka, pemakaian hidrogel diharapkan disesuaikan dengan kondisi media tanam yang digunakan dan tanaman yang digunakan.

Polimer hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Yaitu berdasarkan bentuknya diklasifikasikan menjadi polimer serbuk, bola, dan serat. Dari jenis bahan penyusunnya terdiri dari polimer makromolekul alam, semipolimer sintetis dan polimer sintetis sedangkan dilihat dari proses pembuatannya dapat dibedakan menjadi polimer cangkokan dan polimer ikatan silang (Saptadji et al.,2008).

Hidrogel yang banyak tersedia di pasaran adalah hidrogel yang terbuat dari polimer cangkok pati-asam akrilat yang berasal dari selulosa. Selulosa adalah sejenis bahan organik yang banyak tersedia yang dapat digunakan sebagai pembuat bahan baru seperti hidrogel. Hidrogel dengan bahan selulosa bersifat ramah lingkungan karena pada dasarnya bahan organik adalah bahan yang mudah didegradasi (Anah, 2013).

(55)

ion dari zat terlarut dalam polimer seperti COO- dan Na+ akan tertarik dengan molekul polar air. Adanya ikatan silang dalam polimer hidrogel menyebabkan polimer tidak larut dalam air atau pelarut (Saptadji et al.,2008).

Katerina dan Koudela (2013) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa pemberian hidrogel pada tanaman selada (Lactuca sativa L.) dan bawang bombai (Allium cepa L.) tidak mempengaruhi laju kecepatan perkecambahan dari tanaman tersebut.

Hidrogel mampu bertahan di dalam tanah selama dua tahun sepanjang tidak terkena sinar matahari langsung yang kuat dalam waktu yang lama. Hidrogel dalam keadaan kering berbentuk kristal halus, dan akan mengembang saat menghisap air, kemudian membentuk gel-gel bening sebagai tempat penyimpanan air. Air tersebut akan dikeluarkan kembali jika tanah di sekitarnya kekurangan air. Hal ini berjalan secara alamiah berdasarkan prinsip keseimbangan tekanan

osmosis. 1 gram hidrogel dapat menyimpan 100 - 200 gram air (Gulrez et al., 2011).

Hidrogel dapat cepat melapuk di bawah sinar matahari langsung. Menurut Ekebefe (2011), waktu yang dibutuhkan hidrogel untuk melapuk dibawah sinar matahari langsung yaitu hanya 4 – 6 minggu.

Peran air bagi tanaman

(56)

Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi berbagai faktor yang mendukung efisiensi penggunaan air yaitu jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman, sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak sumber air, dan luas areal pertanaman (Hikmah et al., 2010).

Tanaman bawang merah memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya terutama pada periode kritis saat pembentukan umbi. Kekurangan air dapat mengakibatkan penurunan produksi bawang merah. (Sumarni dan Hidayat, 2005).

(57)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bawang merah merupakan salah satu komoditi unggulan di beberapa daerah di Indonesia. Bawang merah termasuk ke dalam kelompok sayuran rempah yang dapat digunakan sebagai bumbu masakan. Selain itu bawang merah memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan (Deptan, 2005).

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (2015) menyatakan produksi bawang merah tahun 2014 sebesar 7.810 ton, mengalami penurunan sebanyak 495 ton (5,96%) dibandingkan pada tahun 2013. Penurunan produksi tersebut disebabkan menurunnya luas panen sebesar 45 hektar (4,29%) dan produktivitas sebesar 0,14 ton per hektar (1,74%).

Meningkatnya penyempitan lahan pertanian yang terus terjadi, khususnya di wilayah perkotaan mengakibatkan kelangkaan lahan pertanian. Maka sangat diperlukan upaya peningkatan pola pertanian intensif dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pola bertani secara vertikal atau dikenal sebagai vertikultur merupakan suatu solusi sistem budidaya pertanian yang merupakan konsep penghijauan yang cocok untuk daerah perkotaan dan lahan terbatas (Lukman, 2011).

(58)

penghematan pemakaian pupuk dan biopestisida, praktis dan mudah dalam pengendalian gulma, dapat dipindahkan dengan mudah, tanaman sayuran yang dipanen lebih bersih dan sehat (Werdhany, 2012).

Selain masalah penyempitan areal lahan pertanian, ketersediaan air merupakan salah satu masalah yang juga sering di hadapi masyarakat Indonesia, terutama saat musim kemarau panjang. Pada kondisi ini air tanah akan terus berkurang karena tingginya proses evapotranspirasi. Selain berdampak buruk bagi tanah, kekurangan air juga berdampak buruk bagi tanaman kerena unsur hara yang diperlukan oleh tanaman tidak terlarut oleh air yang menyebabkan suplai hara pada tanaman berkurang dan dapat mengakibatkan produktivitas tanaman menurun atau bahkan layu (Suriadikusumah, 2014).

Meskipun tanaman bawang merah tidak menghendaki banyak hujan, tetapi tanaman tersebut memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya melalui penyiraman. Dalam keadaan terik di musim kemarau, tanaman bawang memerlukan penyiraman yang cukup, biasanya satu kali dalam sehari pada pagi atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen (Sumarni dan Hidayat, 2005).

Tetapi, perubahan pola iklim kemarau yang tidak stabil di Indonesia saat ini mengakibatkan menurunnya ketersediaan air untuk irigasi ataupun air bersih serta pendangkalan sungai-sungai. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia mengalami jeda musim kekeringan panjang selama musim penghujan yang kini menjadi makin sering sehingga menimbulkan gagal panen (UNDP, 2007).

(59)

dalam menahan air yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman (Setiawan, 2013).

Hidrogel pertama kali digunakan dalam bidang pertanian pada awal tahun 1980-an. Hidrogel merupakan salah satu solusi di bidang pertanian dalam menghemat penggunaan air karena mampu menghemat penggunaan air (Djurovic, 2011).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman yang tepat dalam menghemat penggunaan air pada sistem vertikultur.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai pada pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah pada sistem vertikultur.

Hipotesa Penelitian

Pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah pada sistem vertikultur.

Kegunaan Penelitian

(60)

ABSTRAK

NORI ANDRIAN : Pertumbuhan dan produksi bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman

dengan sistem vertikultur dibimbing oleh MARIATI dan FERRY EZRA T. SITEPU. Tujuan penilitian untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah dengan sistem vertikultur. Penelitian dilakukan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Polonia dengan ketinggian 25 meter diatas permukaan laut yang dimulai pada bulan Februari sampai April 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis hidrogel 0,1 g/tanaman, 0,2 g/tanaman, dan tanpa hidrogel dan faktor kedua adalah frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali, 3 hari 1 kali, dan 6 hari 1 kali. Data dianalisis sidik ragam menggunakan Microsoft Excel. Perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (DMRT) pada taraf uji 5%. Peubah amatan yaitu panjang tanaman, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, diameter umbi, bobot segar dan bobot kering umbi per sampel dan per plot. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 minggu setelah tanam (MST) sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1). Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.

(61)

ABSTRACT

NORI ANDRIAN : Growth and Production of shallot (Allium ascalonicum L.) on

hydrogel application and watering frequency with verticulture system guided by

MARIATI and FERRY EZRA T. SITEPU. The aim of the research was to

identify the right doses of hydrogel and watering frequency on growth shallot and production in verticulture system. The design of the research was conducted at Desa Karang Sari, Medan Polonia with a height of 25 meter above sea level that began from February until April 2016. The research was factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors and replicated three times. The first factor was the doses of hydrogel 0,1 g/plant, 0,2 g/plant, and without hydrogel and the second was the watering frequency 1 day 1 time, 3 days 1 time, and 6 days 1 time. ). The data were analized by Analysis of variance used Microsoft Excel and the treatment were different significantly continued with Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The parameters observed were shoot length, leaf number and tiller number per clump, bulb diameter, fresh and dry weight of bulb per sample and per plot. The results showed that leaf number on watering frequency 3 days 1 time

(P2) and 6 days 1 time (P3) were lower than once for 1 day (P1) on age 2 until 5

weeks after planted (WAP) while on doses hydrogel 0,1 g/plant (H2) and 0,2 g/plant (H3) were more increase of leaf number on 5 WAP than control (H1). The higest production of shallots are on treated H3P1. The best interaction of doses hydrogel and watering frequency to improve on save water was on combination of hydrogel 0,2 g/plant in watering frequency 6 days 1 time (H3P3).

(62)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN

DENGAN SISTEM VERTIKULTUR

SKRIPSI

OLEH :

NORI ANDRIAN / 110301190

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(63)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN

DENGAN SISTEM VERTIKULTUR

SKRIPSI

OLEH :

NORI ANDRIAN / 110301190

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh data dalam penyusunan skripsi di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(64)

Ketua Komisi Pembimbing

Ir. Mariati, M.Sc.

Anggota Komisi Pembimbing

Ferry Ezra T. Sitepu, S.P., M.Si.

Judul Penelitian : Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan

Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur Nama : Nori Andrian

NIM : 110301190

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan

Disetujui Oleh :

Mengetahui,

Ketua Departemen/Program Studi

(65)

ABSTRAK

NORI ANDRIAN : Pertumbuhan dan produksi bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman

dengan sistem vertikultur dibimbing oleh MARIATI dan FERRY EZRA T. SITEPU. Tujuan penilitian untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah dengan sistem vertikultur. Penelitian dilakukan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Polonia dengan ketinggian 25 meter diatas permukaan laut yang dimulai pada bulan Februari sampai April 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis hidrogel 0,1 g/tanaman, 0,2 g/tanaman, dan tanpa hidrogel dan faktor kedua adalah frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali, 3 hari 1 kali, dan 6 hari 1 kali. Data dianalisis sidik ragam menggunakan Microsoft Excel. Perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (DMRT) pada taraf uji 5%. Peubah amatan yaitu panjang tanaman, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, diameter umbi, bobot segar dan bobot kering umbi per sampel dan per plot. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 minggu setelah tanam (MST) sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1). Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.

(66)

ABSTRACT

NORI ANDRIAN : Growth and Production of shallot (Allium ascalonicum L.) on

hydrogel application and watering frequency with verticulture system guided by

MARIATI and FERRY EZRA T. SITEPU. The aim of the research was to

identify the right doses of hydrogel and watering frequency on growth shallot and production in verticulture system. The design of the research was conducted at Desa Karang Sari, Medan Polonia with a height of 25 meter above sea level that began from February until April 2016. The research was factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors and replicated three times. The first factor was the doses of hydrogel 0,1 g/plant, 0,2 g/plant, and without hydrogel and the second was the watering frequency 1 day 1 time, 3 days 1 time, and 6 days 1 time. ). The data were analized by Analysis of variance used Microsoft Excel and the treatment were different significantly continued with Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The parameters observed were shoot length, leaf number and tiller number per clump, bulb diameter, fresh and dry weight of bulb per sample and per plot. The results showed that leaf number on watering frequency 3 days 1 time

(P2) and 6 days 1 time (P3) were lower than once for 1 day (P1) on age 2 until 5

weeks after planted (WAP) while on doses hydrogel 0,1 g/plant (H2) and 0,2 g/plant (H3) were more increase of leaf number on 5 WAP than control (H1). The higest production of shallots are on treated H3P1. The best interaction of doses hydrogel and watering frequency to improve on save water was on combination of hydrogel 0,2 g/plant in watering frequency 6 days 1 time (H3P3).

(67)

RIWAYAT HIDUP

NORI ANDRIAN, lahir di Tandam Hulu, 20 April 1993, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Usman Yanto dan Ibu Sulina.

Adapun pendidikan yang pernah di tempuh penulis adalah : sekolah dasar di SDN 056616 Secanggang tamat pada tahun 2005, sekolah menengah pertama di SMPN 1 Stabat tamat pada tahun 2008, sekolah menengah atas di SMAN 1 Stabat tamat pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Ujian Masuk Bersama (UMB).

(68)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur” yang merupakan syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Usman Yanto dan Ibunda Sulina yang telah memberikan dukungan

finansial dan spiritual. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Mariati, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Ferry Ezra T. Sitepu, S.P., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang

telah memberikan bimbingan dan masukan selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Januari 2017

(69)

DAFTAR ISI

Hipotesis Penilitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

PELAKSANAAN PENELITIAN Pesiapan Lahan ... 17

Persiapan Bahan tanam ... 17

Pembuatan Media Vertikultur ... 17

Aplikasi Hidrogel ... 17

Penanaman ... 17

Pemeliharaan ... 18

Penyiraman ... 18

Pemupukan ... 18

Penyiangan dan pembubunan ... 18

Panen ... 18

Pengeringan ... 18

Parameter Pengamatan ... 19

Tinggi Tanaman (cm) ... 19

Jumlah Daun per Rumpun (helai) ... 19

Jumlah Anakan per Rumpun (anakan) ... 19

Diameter Umbi per Sampel (mm) ... 19

Bobot Basah Umbi per Sampel (g) ... 19

Bobot Kering Umbi per Sampel (g) ... 19

Bobot Basah Umbi per Paralon (g)... 19

(70)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ... 19 Pembahasan ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 35 Saran ... 35

(71)

DAFTAR GAMBAR

No Hal 1. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah umur

5 MST dengan dosis hidrogel ... 24

2. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5

MST dengan frekuensi penyiraman ... 25 3. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi

penyiraman terhadap bobot basah umbi per paralon ... 30 4. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi

(72)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Panjang tanaman bawang merah 2-6 MST pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 22

2. Jumlah daun per rumpun bawang merah umur 2 – 6 MST pada

berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 23

3. Jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 25

4. Diameter umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 26

5. Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 27

6. Bobot kering jual umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 28

7. Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis

hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 29

8. Bobot kering jual umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis

Gambar

Tabel 1. Panjang tanaman bawang merah 2-6 MST pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman Frekuensi penyiraman
Tabel 2. Jumlah daun per rumpun bawang merah umur 2 – 6 MST pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Gambar 1. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah umur 5 MST dengan dosis hidrogel
Tabel 3. Jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Ditengarai, ada orang- orang tertentu atau badan hukum yang me- nguasai lahan pertanian untuk kepentingan bisnis dengan sistem hak milik, sewa maupun bagi hasil dalam

Atau dengan kata lain, apabila salah satu pihak telah melakukan sebagian dari prestasinya tetapi tidak sempurna dan pihak lainnya tidak dapat merasakan manfaat

Pemberlakuan Undang-undang tentang Guru dan Dosen yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 pada hakekatnya adalah untuk

Mengenai hadis Nabi, para orientalis u- mumnya berpendapat bahwa hadis dalam arti berita atau riwayat yang dikatakan berasal da- ri Nabi baru muncul pada akhir abad pertama

Sanjaya, Ade, Pengertian Prestasi Wanprestasi Definisi Dalam Hukum Perdata Menurut Para Ahli dan Macam-macamnya, Diakses dari

Menurut Wilbraham (1992), eceng gondok dapat digunakan sebagai adsorben material berbahaya pada lingkungan. Kandungan selulosa ini sangat berpotensi untuk digunakan

Glok dan Stark (1966) membagi aspek religius dalam lima dimensi sebagai berikut: 1) Religius belief (aspek keyakinan), yaitu adanya keyakinan terhadap Tuhan dan