Lampiran 1. Bagan Penanaman pada Paralon
150 cm
5 Inch
15 cm
Lampiran 2. Bagan Paralon Penelitian
Blok I
Blok II
Blok III
H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1
H0P2
H0P3 H1P3 H2P3 15 cm 35 cm
400 cm 200 cm
H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1
H0P2
H0P3 H1P3 H2P3 H1P2 H2P2 H0P1 H1P1 H2P1
H0P2
Lampiran 3. Deskripsi Bawang Merah
Bawang Merah Varietas Samosir
(Lampiran SK. Menteri Pertanian No : 595/pts/TP290/8/1984)
Asal : lokal Samosir
Umur : - mulai berbunga 52 hari
- panen (60% batang melemas) 70 hari
Tinggi tanaman : 26,9 - 41,3 cm
Kemampuan berbunga (alami) : mudah berbunga susut bobot umbi (basah-kering) : 24,7%
Banyak anakan : 6-12 umbi per rumpun
Bentuk daun : silindris, berlubang
Warna daun : hijau
Bentuk umbi : bulat dengan ujung meruncing
warna umbi : merah
produksi umbi : 7,4 ton per hektar umbi kering
Ketahanan terhadap penyakit : cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis allii)
Kepekaan terhadap penyakit : peka terhadap busuk ujung daun (Phytopthora porri)
keterangan : baik untuk dataran rendah dan dataran
tinggi.
peneliti : Hendro Sunarjono, Prasojo, Darliah dan
Lampiran 4. Rataan panjang tanaman 2 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 5. Daftar sidik ragam panjang tanaman 2 MST
SK db JK KT F Hit. F.05 Ket.
Lampiran 6. Rataan panjang tanaman 3 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 7. Daftar sidik ragam panjang tanaman 3 MST
Lampiran 8. Rataan panjang tanaman 4 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 9. Daftar sidik ragam panjang tanaman 4 MST
Lampiran 10. Rataan panjang tanaman 5 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 11. Daftar sidik ragam panjang tanaman 5 MST
Lampiran 12. Rataan panjang tanaman 6 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 13. Daftar sidik ragam panjang tanaman 6 MST
Lampiran 14. Rataan jumlah daun per rumpun 2 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 15. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 2 MST
Lampiran 16. Rataan jumlah daun per rumpun 3 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 17. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 3 MST
Lampiran 18. Rataan jumlah daun per rumpun 4 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 19. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 4 MST
Lampiran 20. Rataan jumlah daun per rumpun 5 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 21. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 5 MST
Lampiran 22. Rataan jumlah daun per rumpun 6 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 23. Daftar sidik ragam jumlah daun per rumpun 6 MST
Lampiran 24. Rataan jumlah anakan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 25. Daftar sidik ragam jumlah anakan
Lampiran 26. Rataan diameter tanaman
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 27. Daftar sidik ragam diameter tanaman
Lampiran 28. Rataan bobot basah per sampel
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 29. Daftar sidik ragam bobot basah per sampel
Lampiran 30. Rataan bobot kering jual per sampel
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 31. Daftar sidik ragam bobot kering jual per sampel
Lampiran 32. Rataan bobot basah per paralon
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 33. Daftar sidik ragam bobot basah per paralon
Lampiran 34 . Rataan bobot kering jual per paralon
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 35. Daftar sidik ragam bobot kering jual per paralon
Lampiran 36. Dosis anjuran dan komposisi pupuk DI Grow
Lampiran 37. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian
No. Pelaksanaan Penelitian Minggu Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1. Pembuatan media vertikultur X
2. Persiapan bibit X
Penyiraman Disesuaikan dengan perlakuan
Penyiangan Disesuaikan dengan kondisi lapangan
Pembumbunan Disesuaikan dengan kondisi lapangan
Pengendalian hama dan penyakit
Diameter umbi per sampel (cm) X
Bobot basah umbi per sampel (g) X
Bobot kering jual umbi per
sampel (g) X
Bobot basah umbi per paralon (g) X
Bobot kering jual umbi per
DAFTAR PUSTAKA
Anah, L., 2013. Hidrogel Polimer Sebagai Soil Conditioner Untuk Pertanian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Badan Pusat Statistik, 2015. Produksi Bawang Merah Sumatera Utara. Biro Statistik Sumatera Utara, Medan.
Deptan, 2005. Pengembangan Usaha Agribisnis Bawang Merah Terpadu. Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian, Jakarta.
Desiliyarni, T., Y. Astuti, F. Fauzy dan J. Endah, 2003. Vertikultur: Teknik Bertanam di Lahan Sempit. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Djurovic, N., R. Stricevic, R. Pivic, S. Petkovic dan E. Gregoric, 2011. Ifluence of
Hydrogel on Water Conservation and A Pot Study. International Congress
on Irrigation and Drainage. Tehran, Iran.
Fritsch, R.M., M. Gurushidze, J. Jedelská, dan M. Keusgen, 2007. More than
Only Nice – Ornamental DruMSTick Onions of Allium Subg. Melanocrommyum Are Also Potencial Medicinal Plants. Herbertia.
Gulrez, S. K. H., S. Al-Assaf dan G. O Phillips, 2011. Hydrogels: Methods of
Preparation, Characterisation and Applications, Progress in Molecular
and Environmental Bioengineering - From Analysis and Modeling to Technology Applications, Prof. Angelo Carpi (Ed.), ISBN: 978-953-307-268-5, InTech. http://www.intechopen.com
Hamasaki, R., H. Valenzuela, dan R. Shimabuku, 1999. Bulb Onion Production in
Hawaii. College of Tropical Agriculture and Human Resources, Manoa.
Hikmah, A. L., Kurniasari, N. Rustami, B. Hartati, C. Pradeksa, Y. Artam, 2010. Laporan resmi Praktikum Dasar agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.
Jhurry, D., 1997. Agricultural Polymers. Food and Agricultural Research Council. Reduit, Mauritius. P. 109-113. http://www.uom. ac.mu
Kurnia, U., A. Rachman, dan A. Daraih, 2004. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat BPPP Departemen Pertanian, Jakarta.
Mariyam, S., T. Rahayu, Budiwati, D. O. Widiastuti, A. P. Rini, A. I. Astuti, 2013. Implementasi Eco-Education di Sekolah Perkotaan melalui Budidaya Vertikultur Tanaman Hortikultura Organik. Laporan Kegiatan PPM Reguler Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Yogyakarta, Yogyakarta.
Putrasamedja, S. Dan Suwandi, 1996. Varietas Bawang Merah Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.
Rasapto, P., 2006. Budidaya Sayuran dengan Vertikulktur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.
Saptadji, R,. K. Megasari, dan D. Swantomo, 2008. Pembuatan komposi polymer superabsorbent dengan mesin berkas electron. Jurnal sttn-batan. 12/18:207-215.
Sarvas, M,. P. Pavlenda dan P. Takacova, 2007. Effect of hydrogel application on
survival and growth at pine seedlings reclamations. Journal Forest
Science. 53: 204-209.
Setiawan, O dan R. Nandini, 2013. Pemanfaatan Hidrogel dan Pupuk Organik sebagai Pembenah Tanah dalam Rehabilitas Lahan Kritis Berbasis Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) di Daerah Kering.
Steel, R.G.D. dan J.H.Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Steenis, C.G.G.J., S. Bloembergen., P.J. Eyma, 2005. Flora. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Sufyati, Y., S. Imran AK, dan Fikrinda. Pengaruh Ukuran Fisik dan Jumlah Umbi
per Lubang terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). J. Floratek 2 : 43 – 45.
Sumarni, N. dan A. Hidayat 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Panduan Teknis PTT Bawang Merah No.3, Tahun 2005. ISBN : 979-8304-49-7. Bandung: 22 hal.
Sumarni, N. dan E. Sumiati. 1995. Botani Bawang Merah Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan pengembangan Hortikultura, Jakarta. Suparman, 2010. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka Press, Jakarta.
Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995.Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah Mada University Press. ProseaIndonesia – Balai Penel Hortikultura, Lembang.
Wartapa, A., S. Sugihartiningsih, S. Astuti dan Sukadi. Pengaruh Jenis Pupuk dan Tanaman Antagonis terhadap Hasil Cabe Rawit (Capsicum frutencens) Budidaya Vertikultur. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol. 6 No. 2. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Magelang.
Werdhany, W. I., 2012. Teknologi Hemat Lahan Sistim Vertikultur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Yogyakarta.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Poloniadengan ketinggian ± 25 meter diatas permukaan laut, yang dimulai pada bulan Februari 2016 sampai dengan bulan april 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu bibit bawang merah varietas lokal samosir yang berasal dari Bakkara, pipa paralon dengan diameter 5 inch, top soil, kompos, pasir, hidrogel, pupuk cair DI Grow, fungisida berbahan aktif mankozeb.
Alat yang digunakan yaitu hand sprayer, gelas ukur, pisau/cutter, meteran, timbangan analitik, ember, gergaji, saw hole, alat tulis, dan kamera.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor :
Faktor I : Dosis Hidrogel (H) dengan 3 taraf, yaitu : H1 : Tanpa hidrogel
H2 : Hidrogel 0,1 g / tanaman H3 : Hidrogel 0,2 g / tanaman
Faktor II : Frekuensi Penyiraman (P) dengan 3 taraf, yaitu : P1 : 1 hari 1 kali
Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan, yaitu :
H1P1 H2P1 H3P1
H1P2 H2P2 H3P2
H1P3 H2P3 H3P3
Jumlah ulangan : 3 ulangan Jumlah paralon : 27 paralon Jarak antar paralon : 35 cm Jarak antar blok : 50 cm Jumlah tanaman/paralon : 18 tanaman Jumlah sampel/paralon : 6
Jumlah sampel seluruhnya : 162
Jumlah tanaman seluruhnya : 486 tanaman
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model linear sebagai berikut :
Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk dimana :
Yijk : Data hasil pengamatan dari unit percobaan blok ke-i dengan perlakuan dosis hidrogel taraf ke-j dan frekuensi penyiraman ke-k
μ : Nilai tengah
ρi : Efek blok ke-i
αj : Efek dosis hidrogel pada taraf ke-j
βk : Efek frekuensi penyiraman pada taraf ke-k
(αβ)jk : Efek interaksi dari dosis hidrogel pada taraf ke-j dan frekuensi pada taraf
εijk : Galat dari blok ke-i, dosis hidrogel pada cara ke-j dan frekuensi penyiraman pada taraf ke-k
PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan
Areal lahan diukur dengan luas 2x4 meter, dibersihkan dari rerumputan, sisa – sisa tanaman, dan batu – batuan.
Persiapan Bahan Tanam
Untuk bahan tanam yang akan dipakai, dipilih bibit umbi bawang dengan bobot dan ukuran seseragam mungkin kemudian dibersihkan dari bagian kulit paling luar yang telah mengering.
Pembuatan Wadah dan Media Vertikultur
Pipa paralon dengan diameter 5 inchi dipotong dengan panjang 180 cm. sisi paralon diberi lubang dengan menggunakan saw hole berdiameter 54 mm sebagai lubang tanam sebanyak 18 lubang per paralon dan jarak antar lubang yaitu 15 cm kemudian ditutup lubang dasar paralon dengan plastik dan pipa paralon ditegakkan di lahan sesuai dengan bagan penelitian kemudian di isi dengan campuran top soil, kompos, dan pasir (2:1:1).
Aplikasi Hidrogel
Hidrogel diberikan saat umbi akan ditanam dengan cara dimassukkan kedalam lubang tanah dengan kedalaman 10 cm kemudian di tutup dengan sedikit tanah dan umbi ditanam diatasnya.
Penanaman
Pemeliharaan Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari selama 7 hari pertama yaitu pada sore hari kemudian pada hari berikutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan perlakuan. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan hand sprayer pada lubang tanam paralon
Pemupukan
Pupuk yang digunakan adalah pupuk cair DI Grow dengan dosis sesuai anjuran yaitu 5 ml/liter air diberikan bersamaan dengan penyiraman tanaman mulai dari minggu ke 2 sampai minggu ke 7 dengan interval 6 hari sekali.
Penyiangan dan pembubunan
Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma di sekitar lubang tanam agar perakaran tanaman tidak terganggu dan dilakukan pembumbunan pada pangkal rumpun tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Panen
Panen dilakukan pada saat bawang merah berumur sekitar 70 hari setelah tanam sesuai dengan kriteria panen yaitu daun mulai layu dan rebah, umbi mulai tersembul sebagian di atas tanah. Panen dilakukan dengan cara mencabut umbi dengan menggunakan tangan lalu akar dan tanahnya dibersihkan.
Pengeringan
Parameter Pengamatan Panjang Tanaman (cm)
Panjang tanaman diukur mulai dari pangkal daun sampai ke ujung daun tanaman terpanjang dan dilakukan setelah tanaman berumur 2 sampai 6 MST. Jumlah Daun per Rumpun (helai)
Dihitung jumlah seluruh daun yang muncul pada anakan untuk setiap rumpunnya, dilakukan setelah tanaman berumur 2 MST hingga 6 MST.
Jumlah Anakan per Rumpun (anakan)
Dihitung jumlah anakan yang terbentuk dalam satu rumpun, dilakukan setelah tanaman selesai di panen.
Diameter Umbi per Sampel(mm)
Umbi dihitung dengan mengambil 3 umbi yang mewakili setiap sampel dan dihitung diameter rata-rata umbi per sampel menggunakan jangka sorong. Bobot Basah Umbi per Sampel (g)
Bobot basah umbi per sampel ditimbang setelah dipanen dan dibersihkan dari tanah dan kotoran serta daun 1 cm dari umbi kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.
Bobot Kering Jual Umbi per Sampel (g)
Bobot kering jual umbi per sampel ditimbang setelah dibersihkan dan dikeringanginkan selama 2 minggu.
Bobot Basah Umbi per Paralon (g)
Bobot Kering Jual Umbi per Paralon (g)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Dari hasil penelitian dan anallisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan dosis hidrogel berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 5 MST, bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon. Perlakuan frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 2, 3, 4 dan 5 MST, bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon. Sedangkan interaksi hidrogel dan frekuensi penyiraman hanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah per paralon dan bobot kering jual per paralon.
Panjang Tanaman (cm)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 4 - 13 menunjukan bahwa
perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap panjang tanaman pada semua waktu
pengamatan (2 sampai 6 MST).
Dari tabel 1 dapat dilihat panjang tanaman bawang merah 2 – 6 MST pada
berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Panjang tanaman terpanjang
pada umur 2 dan 3 MST diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman
(H2) yaitu 11,22 cm dan 16,12 cm dan pada umur 4, 5, dan 6 MST panjang
tanaman terpanjang diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman (H3)
yaitu 20,87 cm, 22,70 cm dan 23,39 cm. Sedangkan panjang tanaman terpendek
diperoleh pada umur 2, 3, 4, dan 6 MST pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yaitu
berturut – turut 10,48 cm, 14,98 cm, 19,48 cm, dan 22,33 cm dan pada umur 5
Tabel 1. Panjang tanaman bawang merah 2-6 MST pada berbagai dosis hidrogel
Pada umur 2, 3, 4, 5, dan 6 MST, tanaman terpanjang dihasilkan oleh
perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari 1 kali (P2) yaitu 11,24 cm, 16,12 cm,
20,72 cm, 22,43 cm, dan 22,93 cm dan panjang tanaman terpendek pada
perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yaitu 10,56 cm, 15,14 cm,
19,65 cm, 21,78 cm, dan 22,59 cm.
Jumlah daun per rumpun (helai)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 14 - 23 menunjukan bahwa
perlakuan hidrogel berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada umur 5 MST
penyiraman berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun per rumpun pada
semua waktu pengamatan.
Jumlah daun per rumpun bawang merah 2 - 6 MST pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah daun per rumpun bawang merah umur 2 – 6 MST pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Tabel 2 menunjukkan tanaman pada umur 2 sampai 5 MST pada
perlakuan frekuensi penyiraman, jumlah daun per rumpun terbanyak diperoleh
pada P1 (1 hari 1 kali) yaitu 8,52 helai, 10,98 helai, 14,06 helai dan 15,59 helai
yang berbeda nyata terhadap P2 dan P3. Pada umur 5 MST jumlah daun terbanyak
diperoleh pada perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman (H3) yaitu 14,76 helai yang
berbeda nyata dengan perlakuan tanpa hidrogel (H1) (13,00 helai) tetapi berbeda
tidak nyata dengan perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) (13,89 helai).
Pada perlakuan hidrogel, jumlah daun per rumpun umur 6 MST terbanyak
pada perlakuan hidrogel 0,2 g/tanaman (H3) yakni 14,89 helai dan paling sedikit
pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 13,06 helai. Sedangkan pada perlakuan
frekuensi penyiraman, jumlah daun per rumpun terbanyak yaitu pada perlakuan
frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 14,94 helai dan terendah pada P3
yakni 12,85 helai.
Hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah umur 5 MST dengan
dosis hidrogel dapat dilihat pada gambar 1.
Hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5 MST dengan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5 MST dengan frekuensi penyiraman.
Jumlah anakan per rumpun (anakan)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 24 dan 25 menunjukkan
bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah anakan per rumpun.
Rataan jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Hidrogel (g/tanaman)
Frekuensi penyiraman
Rataan P1 (1 hr 1 kali) P2 (3 hr 1 kali) P3 (6 hr 1 kali)
...anakan...
H1 (kontrol) 4,94 5,50 5,36 5,27
H2 (0,1) 4,69 4,67 4,78 4,71
H3 (0,2) 5,44 5,08 5,06 5,19
Dari tabel 3 dapat dilihat jumlah anakan per rumpun (anakan) bawang
merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Jumlah anakan
per rumpun terbanyak pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 5,27 anakan dan
paling sedikit pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 4,71 anakan.
Jumlah anakan per rumpun terbanyak pada perlakuan frekuensi
penyiraman 3 hari 1 kali (P2) yakni 5,08 anakan dan jumlah anakan per rumpun
paling sedikit pada perlakuan frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 5,03
anakan.
Diameter umbi per sampel (mm)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 26 dan 27 menunjukkan
bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap diameter umbi per sampel.
Dari tabel 4 dapat dilihat Diamater umbi per sampel bawang merah pada
berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman. Diameter umbi per sampel
terbesar yaitu pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 13,18 mm dan
terkecil pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 11,21 mm.
Tabel 4. Diameter umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Diameter umbi per sampel terbesar pada perlakuan frekuensi penyiraman 1
frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yakni 11,75 mm. Frekuensi penyiraman
yang semakin lama akan menurunkan besar diameter umbi per sampel bawang
merah.
Bobot basah umbi per sampel (g)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 28 dan 29 menunjukkan
bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot basah umbi per sampel.
Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel
dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot basah umbi per sampel terberat pada
perlakuan pemberian hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yakni 2,66 g dan bobot basah
umbi per sampel teringan pada perlakuan tanpa hidrogel (H1) yakni 2,28 g.
Bobot basah umbi per sampel terberat yaitu pada perlakuan frekuensi
penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yakni 2,53 g dan bobot basah umbi per sampel
teringan yaitu pada perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yakni
Bobot kering jual umbi per sampel (g)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 30 dan 31 menunjukkan
bahwa dosis hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot kering jual umbi per sampel.
Bobot kering jual umbi per sampel (g) bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot kering jual umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot kering jual umbi per sampel terberat
pada perlakuan hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) yaitu 2,10 g dan teringan pada
perlakuan tanpa hidrogel (H1) yaitu 1,80 g.
Bobot kering jual umbi per sampel terberat pada perlakuan frekuensi
penyiraman 1 hari 1 kali (P1) yaitu 2,00 g dan bobot kering jual umbi per sampel
teringan pada perlakuan frekuensi penyiraman 6 hari 1 kali (P3) yaitu 1,88 g.
Frekuensi penyiraman yang semakin lama akan menurunkan bobot kering jual
Bobot basah umbi per paralon (g)
Data hasil analisis sidik ragam pada lampiran 32 dan 33 menunjukkan bahwa perlakuan hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah umbi per paralon.
Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada setiap kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Beda Rataan Duncan pada taraf α=5%.
Tabel 7 menunjukkan pada perlakuan H1 (tanpa hidrogel), bobot basah
umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (48,78 g) yang berbeda nyata
terhadap P2 dan P3. Pada perlakuan H2 (hidrogel 0,1 g/tanaman), bobot basah
umbi per paralon terberat diperoleh pada P2 (53,76 g) yang berbeda tidak nyata
dengan P1dan berbeda nyata dengan P3. Perlakuan H3 (hidrogel 0,2 g/tanaman),
bobot basah umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (57,03 g) yang berbeda
tidak nyata dengan P2 dan P3.
Hubungan interaksi dosis hidrogel pada berbagai frekuensi penyiraman
terhadap bobot basah umbi per paralon bawang merah dapat dilihat pada
Gambar 3. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi penyiraman terhadap bobot basah umbi per paralon
Bobot kering jual umbi per paralon (g)
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 34 dan 35 menunjukkan bahwa perlakuan hidrogel, frekuensi penyiraman dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap bobot basah umbi per paralon.
Bobot kering jual umbi per paralon (g) bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Bobot kering jual umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada setiap kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Beda Rataan Duncan pada taraf α=5%.
Tabel 8 menunjukkan pada perlakuan H1 (tanpa hidrogel), bobot kering
jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (37,36 g) yang berbeda nyata
jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P2 (41,13 g) yang berbeda tidak
nyata dengan P1 dan berbeda nyata dengan P3. Perlakuan H3 (hidrogel 0,2
g/tanaman), bobot kering jual umbi per paralon terberat diperoleh pada P1 (45,17
g) yang berbeda tidak nyata dengan P2 dan P3.
Hubungan interaksi dosis hidrogel pada berbagai frekuensi penyiraman
terhadap bobot kering jual umbi per paralon bawang merah dapat dilihat pada
gambar 4.
Pembahasan
Dari hasil penelitian didapat bahwa pada pengamatan minggu ke 2 sampai ke 6 setelah tanam perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman. Hal ini diduga karena panjang tanaman bawang lebih dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga perlakuan hidrogel dan frekuensi penyiraman tidak mempengaruhi panjang tanaman bawang tersebut.
air didalam tanah mempengaruhi perkembangan jumlah daun per rumpun. Ini dapat dilihat dari rataan jumlah daun terbanyak yaitu pada perlakuan penyiraman 1 hari 1 kali pada 2 MST sampai 5 MST yakni 8,52 helai, 10,98 helai, 14,06 helai, dan 15,59 helai serta yang paling sedikit yaitu pada perlakuan penyiraman 6 hari 1 kali yakni 7,04 helai, 9,11 helai, 11,78 helai dan 12,17 helai.
Dari hasil penelitian didapat bahwa pada parameter jumlah anakan dan diameter umbi tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan dosis hidrogel, frekuensi penyiraman, dan interaksi keduanya. Menurut Sufyati (2006), hal ini dikarenakan jumlah anakan dan ukuran umbi lebih dipengaruhi oleh indukan atau benih yang digunakan sebagai bibit dibandingkan dengan ketersediaan air. Akan tetapi, kurangnya penyiraman pada periode kritis juga dapat mengakibatkan penurunan produksi bawang merah karena terganggunya proses pembentukan umbi (Sumarni dan Hidayat, 2005).
namun dengan pemberian dosis hidrogel terlihat pada perlakuan bobot basah umbi per paralon yang berbeda nyata pada pemberian hidrogel 0,1 g/tanaman (H2P3) sebesar 41,21 g yang berbeda nyata pula dengan perlakuan H3P3 dengan pemberian dosis 0,2 g/tanaman sebesar dan 51,68 g. Pada perlakuan H3P3 didapat hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyiraman penyiraman 1 hari 1 kali.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 MST sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1).
2. Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1 yaitu 57,03 g pada bobot basah umbi per paralon dan 45,17 g pada bobot umbi kering jual per paralon.
3. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.
Saran
Disarankan untuk menggunakan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman untuk
meningkatkan produksi bawang merah dan mengurangi penggunaan air pada
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales, Famili: Liliaceae, Genus: Allium, Species: Allium ascalonicum L. (Steenis et al., 2005).
Bentuk daun bawang merah berbentuk pipa pipih berwarna hijau muda. Akar berbentuk serabut pendek berada pada pangkal umbi, dan membenam tidak terlalu dalam. Umbi bawang merah berlapis-lapis, dan karena faktor kesuburan dan suhu yang tepat, lapisan-lapisan umbi tersebut akan membentuk umbi baru yang saling berdekatan. Umbi yang baru itu dinamakan umbi samping, yang menempel pada umbi induk (Suparman, 2010).
Akar bawang merah tumbuh di bagian bawah umbi. Sistem perakaran serabut dan dangkal, bercabang dan terpencar, dapat menembus tanah hingga kedalaman 15 cm (Hamasaki et al., 1999).
Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bakal buah sebenarnya terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 calon biji. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif (Fritsch et al., 2006).
Bawang merah biasanya memiliki jumlah umbi per rumpun bervariasi antara 4 sampai 8 umbi dan bentuk umbinya dapat bervariasi mulai dari bentuk agak bulat sampai berbentuk lebih gepeng. Umbi tersebut terbentuk di dalam tanah dengan posisi yang rapat serta dikelilingi suatu seludang. Pertumbuhan umbi-umbi dalam setiap rumpunnya adalah mandiri dengan bagian dasarnya yang berhubungan (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).
Ukuran umbi yang digunakan sebagai bibit sangat mempengaruhi produksi bawang merah. Bibit umbi yang tidak baik dapat menurunkan produksi. Umbi bibit yang baik mempunyai ukuran fisik yang tidak terlalu kecil. Umbi bibit yang terlalu kecil cenderung menghasilkan jumlah anakan yang relatif sedikit, sedangkan umbi bibit yang terlalu besar merupakan pemborosan karena umbi yang mempunyai ukuran fisik yang terlalu besar sering kali kurang menghasilkan tunas (Sufyati et al, 2006).
Syarat Tumbuh Iklim
Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m di atas permukaan laut. Tanaman bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di dataran tinggi, tetapi umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan dan hasil umbinya lebih rendah (Sumarni, 2005).
Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Sutarya dan Grubben, 1995).
Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bila mana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22°C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah (Sumarni, 2005).
Tanah
tanah Glei-Humus atau Latosol Tanah yang cukup lembab dan air tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah (Sumarni, 2005).
Tanaman bawang merah cocok tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 0–1000 m dpl. Ketinggian optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0 - 450 m dpl. Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32 0C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Setiawati, 2007).
Vertikultur
Vertikultur dapat diartikan sebagai teknik budidaya tanaman secara vertikal sehingga penanamannya dilakukan dengan menggunakan sistem bertingkat. Teknik vertikultur berawal dari ide vertical garden yang dilontarkan oleh sebuah perusahaan benih di Swiss pada tahun 1944 (Desiliyarni, 2003).
Di Indonesia, sistem pertanian vertikal baru dikembangkan sejak tahun I987, sehingga apa yang dijelaskan ini sebagian besar sudah dilakukan pada kurun waktu itu. Kolom vertikal paling sederhana dapat dibuat dari mulsa hitam perak dengan kerangka bambu. Vertikultur merupakan cara bertanam dalam susunan vertikal keatas menuju ruang udara bebas, dengan menggunakan tempat media tumbuh yang disusun secara vertikal pula. Media tanam ditampung dalam kaleng-kaleng, paralon pvc, riul, maupun papan kayu dapat dipergunakan sebagai alternatif tempat media tanam (Wartapa, 2010).
keindahan, sehingga selain dapat menghasilkan sayuran sehat dan bergizi untuk dikonsumsi, juga dapat memperindah halaman rumah. Selain itu persyaratan
lainnya adalah bahan harus kuat dan mudah untuk dipindahkan (Werdhany, 2012).
Lahan sempit yang banyak terdapat di perkotaan dapat dimanfaatkan dengan bertanam secara vertikal atau vertikultur .Lahan sempit yang tidak termanfaatkan bisa memberikan keuntungan ekonomi. Kelebihan lainnya cara bertanam ini memungkinkan kita memperoleh sayuran yang bersih dan bermutu yang dapat diyakini seratus persen. Dengan melakukan penanaman dan pemeliharaan sendiri tentu akan mengurangi atau bahkan meniadakan penggunaan pestisida. Sayuran yang diperoleh pun akan sedikit atau bahkan bebas residu pestisida yang berbahaya bagi kesehatan (Rasapto, 2006).
Menurut Mariyam (2013), dalam budidaya vertikultur terdapat kelebihan dan kekurangan dari teknik budidaya secara vertikultur, beberapa kelebihannya antara sebagai berikut:
a) Populasi tanaman per satuan luas lebih banyak karena tanaman disusun ke atas dengan tingkat kerapatan yang dapat diatur sesuai keperluan.
b) Media tanam yang disterilisasi meminimalkan risiko serangan hama dan penyakit sehingga mengurangi biaya untuk pengendalian hama dan penyakit. c) Kehilangan pupuk oleh guyuran air hujan dapat dikurangi karena jumlah media
tanam yang sudah ditentukan hanya berada di sekitar perakaran tanaman di dalam wadah terbatas.
e) Berbagai bahan di sekitar rumah seperti karung bekas, batang bambu, pipa peralon, dan bekas gelas air mineral dapat dimanfaatkan sebagai wadah budi daya vertikultur.
f) Tempat dibangunnya bangunan vertikultur menampilkan nilai estetika, atau dapat dikatakan sebagai tanaman hias.
g) Bangunan vertikultur dapat dipindah-tempatkan ke tempat yang diinginkan, terutama untuk vertikultur dengan konstruksi yang dapat dipindah-pindahkan.
Selain itu di samping banyaknya nilai kelebihan, teknik budidaya vertikultur ini pun memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagai berikut. a) Investasi atau biaya awal yang diperlukan cukup tinggi karena harus membuat srtruktur bangunan khusus dan penyiapan media tanam.
b) Oleh karena jarak tanamnya rapat, tercipta suatu kondisi kelembapan udara yang tinggi. Hal ini menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan penyakit akibat cendawan.
Hidrogel
Hidrogel mulai dikembangkan pada tahun 1950 dengan pengembangan
soil conditioner polymer yang dapat larut dalam air. Pada awal tahun 1980
mengurangi hilangnya air akibat evaporasi, dan meningkatkan produktivitas tanaman (Jhurry, 1997).
Menurut Sarvas et al. (2007), hidrogel sangat mudah digunakan sebagai bahan campuran media tanam, tetapi akan sangat sulit apabila menggunakannya terlalu banyak, hal tersebut dapat mengakibatkan tingginya kapasitas penyimpanan air didalam hidrogel. Maka, pemakaian hidrogel diharapkan disesuaikan dengan kondisi media tanam yang digunakan dan tanaman yang digunakan.
Polimer hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Yaitu berdasarkan bentuknya diklasifikasikan menjadi polimer serbuk, bola, dan serat. Dari jenis bahan penyusunnya terdiri dari polimer makromolekul alam, semipolimer sintetis dan polimer sintetis sedangkan dilihat dari proses pembuatannya dapat dibedakan menjadi polimer cangkokan dan polimer ikatan silang (Saptadji et al.,2008).
Hidrogel yang banyak tersedia di pasaran adalah hidrogel yang terbuat dari polimer cangkok pati-asam akrilat yang berasal dari selulosa. Selulosa adalah sejenis bahan organik yang banyak tersedia yang dapat digunakan sebagai pembuat bahan baru seperti hidrogel. Hidrogel dengan bahan selulosa bersifat ramah lingkungan karena pada dasarnya bahan organik adalah bahan yang mudah didegradasi (Anah, 2013).
ion dari zat terlarut dalam polimer seperti COO- dan Na+ akan tertarik dengan molekul polar air. Adanya ikatan silang dalam polimer hidrogel menyebabkan polimer tidak larut dalam air atau pelarut (Saptadji et al.,2008).
Katerina dan Koudela (2013) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa pemberian hidrogel pada tanaman selada (Lactuca sativa L.) dan bawang bombai (Allium cepa L.) tidak mempengaruhi laju kecepatan perkecambahan dari tanaman tersebut.
Hidrogel mampu bertahan di dalam tanah selama dua tahun sepanjang tidak terkena sinar matahari langsung yang kuat dalam waktu yang lama. Hidrogel dalam keadaan kering berbentuk kristal halus, dan akan mengembang saat menghisap air, kemudian membentuk gel-gel bening sebagai tempat penyimpanan air. Air tersebut akan dikeluarkan kembali jika tanah di sekitarnya kekurangan air. Hal ini berjalan secara alamiah berdasarkan prinsip keseimbangan tekanan
osmosis. 1 gram hidrogel dapat menyimpan 100 - 200 gram air (Gulrez et al., 2011).
Hidrogel dapat cepat melapuk di bawah sinar matahari langsung. Menurut Ekebefe (2011), waktu yang dibutuhkan hidrogel untuk melapuk dibawah sinar matahari langsung yaitu hanya 4 – 6 minggu.
Peran air bagi tanaman
Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi berbagai faktor yang mendukung efisiensi penggunaan air yaitu jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman, sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak sumber air, dan luas areal pertanaman (Hikmah et al., 2010).
Tanaman bawang merah memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya terutama pada periode kritis saat pembentukan umbi. Kekurangan air dapat mengakibatkan penurunan produksi bawang merah. (Sumarni dan Hidayat, 2005).
PENDAHULUAN Latar Belakang
Bawang merah merupakan salah satu komoditi unggulan di beberapa daerah di Indonesia. Bawang merah termasuk ke dalam kelompok sayuran rempah yang dapat digunakan sebagai bumbu masakan. Selain itu bawang merah memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan (Deptan, 2005).
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (2015) menyatakan produksi bawang merah tahun 2014 sebesar 7.810 ton, mengalami penurunan sebanyak 495 ton (5,96%) dibandingkan pada tahun 2013. Penurunan produksi tersebut disebabkan menurunnya luas panen sebesar 45 hektar (4,29%) dan produktivitas sebesar 0,14 ton per hektar (1,74%).
Meningkatnya penyempitan lahan pertanian yang terus terjadi, khususnya di wilayah perkotaan mengakibatkan kelangkaan lahan pertanian. Maka sangat diperlukan upaya peningkatan pola pertanian intensif dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pola bertani secara vertikal atau dikenal sebagai vertikultur merupakan suatu solusi sistem budidaya pertanian yang merupakan konsep penghijauan yang cocok untuk daerah perkotaan dan lahan terbatas (Lukman, 2011).
penghematan pemakaian pupuk dan biopestisida, praktis dan mudah dalam pengendalian gulma, dapat dipindahkan dengan mudah, tanaman sayuran yang dipanen lebih bersih dan sehat (Werdhany, 2012).
Selain masalah penyempitan areal lahan pertanian, ketersediaan air merupakan salah satu masalah yang juga sering di hadapi masyarakat Indonesia, terutama saat musim kemarau panjang. Pada kondisi ini air tanah akan terus berkurang karena tingginya proses evapotranspirasi. Selain berdampak buruk bagi tanah, kekurangan air juga berdampak buruk bagi tanaman kerena unsur hara yang diperlukan oleh tanaman tidak terlarut oleh air yang menyebabkan suplai hara pada tanaman berkurang dan dapat mengakibatkan produktivitas tanaman menurun atau bahkan layu (Suriadikusumah, 2014).
Meskipun tanaman bawang merah tidak menghendaki banyak hujan, tetapi tanaman tersebut memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya melalui penyiraman. Dalam keadaan terik di musim kemarau, tanaman bawang memerlukan penyiraman yang cukup, biasanya satu kali dalam sehari pada pagi atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Tetapi, perubahan pola iklim kemarau yang tidak stabil di Indonesia saat ini mengakibatkan menurunnya ketersediaan air untuk irigasi ataupun air bersih serta pendangkalan sungai-sungai. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia mengalami jeda musim kekeringan panjang selama musim penghujan yang kini menjadi makin sering sehingga menimbulkan gagal panen (UNDP, 2007).
dalam menahan air yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman (Setiawan, 2013).
Hidrogel pertama kali digunakan dalam bidang pertanian pada awal tahun 1980-an. Hidrogel merupakan salah satu solusi di bidang pertanian dalam menghemat penggunaan air karena mampu menghemat penggunaan air (Djurovic, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman yang tepat dalam menghemat penggunaan air pada sistem vertikultur.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai pada pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah pada sistem vertikultur.
Hipotesa Penelitian
Pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah pada sistem vertikultur.
Kegunaan Penelitian
ABSTRAK
NORI ANDRIAN : Pertumbuhan dan produksi bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman
dengan sistem vertikultur dibimbing oleh MARIATI dan FERRY EZRA T. SITEPU. Tujuan penilitian untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah dengan sistem vertikultur. Penelitian dilakukan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Polonia dengan ketinggian 25 meter diatas permukaan laut yang dimulai pada bulan Februari sampai April 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis hidrogel 0,1 g/tanaman, 0,2 g/tanaman, dan tanpa hidrogel dan faktor kedua adalah frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali, 3 hari 1 kali, dan 6 hari 1 kali. Data dianalisis sidik ragam menggunakan Microsoft Excel. Perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (DMRT) pada taraf uji 5%. Peubah amatan yaitu panjang tanaman, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, diameter umbi, bobot segar dan bobot kering umbi per sampel dan per plot. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 minggu setelah tanam (MST) sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1). Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.
ABSTRACT
NORI ANDRIAN : Growth and Production of shallot (Allium ascalonicum L.) on
hydrogel application and watering frequency with verticulture system guided by
MARIATI and FERRY EZRA T. SITEPU. The aim of the research was to
identify the right doses of hydrogel and watering frequency on growth shallot and production in verticulture system. The design of the research was conducted at Desa Karang Sari, Medan Polonia with a height of 25 meter above sea level that began from February until April 2016. The research was factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors and replicated three times. The first factor was the doses of hydrogel 0,1 g/plant, 0,2 g/plant, and without hydrogel and the second was the watering frequency 1 day 1 time, 3 days 1 time, and 6 days 1 time. ). The data were analized by Analysis of variance used Microsoft Excel and the treatment were different significantly continued with Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The parameters observed were shoot length, leaf number and tiller number per clump, bulb diameter, fresh and dry weight of bulb per sample and per plot. The results showed that leaf number on watering frequency 3 days 1 time
(P2) and 6 days 1 time (P3) were lower than once for 1 day (P1) on age 2 until 5
weeks after planted (WAP) while on doses hydrogel 0,1 g/plant (H2) and 0,2 g/plant (H3) were more increase of leaf number on 5 WAP than control (H1). The higest production of shallots are on treated H3P1. The best interaction of doses hydrogel and watering frequency to improve on save water was on combination of hydrogel 0,2 g/plant in watering frequency 6 days 1 time (H3P3).
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN
DENGAN SISTEM VERTIKULTUR
SKRIPSI
OLEH :
NORI ANDRIAN / 110301190
BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN
DENGAN SISTEM VERTIKULTUR
SKRIPSI
OLEH :
NORI ANDRIAN / 110301190
BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh data dalam penyusunan skripsi di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
Ketua Komisi Pembimbing
Ir. Mariati, M.Sc.
Anggota Komisi Pembimbing
Ferry Ezra T. Sitepu, S.P., M.Si.
Judul Penelitian : Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan
Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur Nama : Nori Andrian
NIM : 110301190
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan
Disetujui Oleh :
Mengetahui,
Ketua Departemen/Program Studi
ABSTRAK
NORI ANDRIAN : Pertumbuhan dan produksi bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada pemberian hidrogel dan frekuensi penyiraman
dengan sistem vertikultur dibimbing oleh MARIATI dan FERRY EZRA T. SITEPU. Tujuan penilitian untuk mengidentifikasi dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman air yang sesuai terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah dengan sistem vertikultur. Penelitian dilakukan di Desa Karang Sari, Kec. Medan Polonia dengan ketinggian 25 meter diatas permukaan laut yang dimulai pada bulan Februari sampai April 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis hidrogel 0,1 g/tanaman, 0,2 g/tanaman, dan tanpa hidrogel dan faktor kedua adalah frekuensi penyiraman 1 hari 1 kali, 3 hari 1 kali, dan 6 hari 1 kali. Data dianalisis sidik ragam menggunakan Microsoft Excel. Perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (DMRT) pada taraf uji 5%. Peubah amatan yaitu panjang tanaman, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, diameter umbi, bobot segar dan bobot kering umbi per sampel dan per plot. Hasil penelitian menunjukan jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 3 hari sekali (P2) dan 6 hari sekali (P3) lebih rendah dari perlakuan 1 hari sekali (P1) pada umur 2 sampai 5 minggu setelah tanam (MST) sedangkan perlakuan dosis hidrogel 0,1 g/tanaman (H2) dan 0,2 g/tanaman (H3) memberikan peningkatan jumlah daun pada 5 MST dibandingkan kontrol (H1). Bobot produksi bawang merah tertinggi terdapat pada perlakuan H3P1. Interaksi antara dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman terbaik dalam upaya menghemat penggunaan air adalah pada kombinasi perlakuan dosis hidrogel 0,2 g/tanaman pada frekuensi penyiraman 6 hari sekali.
ABSTRACT
NORI ANDRIAN : Growth and Production of shallot (Allium ascalonicum L.) on
hydrogel application and watering frequency with verticulture system guided by
MARIATI and FERRY EZRA T. SITEPU. The aim of the research was to
identify the right doses of hydrogel and watering frequency on growth shallot and production in verticulture system. The design of the research was conducted at Desa Karang Sari, Medan Polonia with a height of 25 meter above sea level that began from February until April 2016. The research was factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors and replicated three times. The first factor was the doses of hydrogel 0,1 g/plant, 0,2 g/plant, and without hydrogel and the second was the watering frequency 1 day 1 time, 3 days 1 time, and 6 days 1 time. ). The data were analized by Analysis of variance used Microsoft Excel and the treatment were different significantly continued with Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The parameters observed were shoot length, leaf number and tiller number per clump, bulb diameter, fresh and dry weight of bulb per sample and per plot. The results showed that leaf number on watering frequency 3 days 1 time
(P2) and 6 days 1 time (P3) were lower than once for 1 day (P1) on age 2 until 5
weeks after planted (WAP) while on doses hydrogel 0,1 g/plant (H2) and 0,2 g/plant (H3) were more increase of leaf number on 5 WAP than control (H1). The higest production of shallots are on treated H3P1. The best interaction of doses hydrogel and watering frequency to improve on save water was on combination of hydrogel 0,2 g/plant in watering frequency 6 days 1 time (H3P3).
RIWAYAT HIDUP
NORI ANDRIAN, lahir di Tandam Hulu, 20 April 1993, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Usman Yanto dan Ibu Sulina.
Adapun pendidikan yang pernah di tempuh penulis adalah : sekolah dasar di SDN 056616 Secanggang tamat pada tahun 2005, sekolah menengah pertama di SMPN 1 Stabat tamat pada tahun 2008, sekolah menengah atas di SMAN 1 Stabat tamat pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Ujian Masuk Bersama (UMB).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Adapun judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Pemberian Hidrogel dan Frekuensi Penyiraman dengan Sistem Vertikultur” yang merupakan syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Usman Yanto dan Ibunda Sulina yang telah memberikan dukungan
finansial dan spiritual. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Mariati, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Ferry Ezra T. Sitepu, S.P., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan masukan selama penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.
Medan, Januari 2017
DAFTAR ISI
Hipotesis Penilitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
Bahan dan Alat ... 14
Metode Penelitian ... 14
PELAKSANAAN PENELITIAN Pesiapan Lahan ... 17
Persiapan Bahan tanam ... 17
Pembuatan Media Vertikultur ... 17
Aplikasi Hidrogel ... 17
Penanaman ... 17
Pemeliharaan ... 18
Penyiraman ... 18
Pemupukan ... 18
Penyiangan dan pembubunan ... 18
Panen ... 18
Pengeringan ... 18
Parameter Pengamatan ... 19
Tinggi Tanaman (cm) ... 19
Jumlah Daun per Rumpun (helai) ... 19
Jumlah Anakan per Rumpun (anakan) ... 19
Diameter Umbi per Sampel (mm) ... 19
Bobot Basah Umbi per Sampel (g) ... 19
Bobot Kering Umbi per Sampel (g) ... 19
Bobot Basah Umbi per Paralon (g)... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ... 19 Pembahasan ... 32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 35 Saran ... 35
DAFTAR GAMBAR
No Hal 1. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah umur
5 MST dengan dosis hidrogel ... 24
2. Histogram hubungan jumlah daun per rumpun bawang merah 5
MST dengan frekuensi penyiraman ... 25 3. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi
penyiraman terhadap bobot basah umbi per paralon ... 30 4. Histogram hubungan interaksi dosis hidrogel dengan frekuensi
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Panjang tanaman bawang merah 2-6 MST pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 22
2. Jumlah daun per rumpun bawang merah umur 2 – 6 MST pada
berbagai dosis hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 23
3. Jumlah anakan per rumpun bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 25
4. Diameter umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 26
5. Bobot basah umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 27
6. Bobot kering jual umbi per sampel bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 28
7. Bobot basah umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis
hidrogel dan frekuensi penyiraman ... 29
8. Bobot kering jual umbi per paralon bawang merah pada berbagai dosis