• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN POLA ASUH OTORITER ORANG TUA DENGAN DISTRES PADA REMAJA DI SMA N 1 MUNTILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN POLA ASUH OTORITER ORANG TUA DENGAN DISTRES PADA REMAJA DI SMA N 1 MUNTILAN"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN POLA ASUH OTORITER

ORANG TUA DENGAN DISTRES PADA REMAJA

DI SMA N 1 MUNTILAN

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Pembimbing I : Dra. Salmah Lilik, Msi.

Pembimbing II : Rin Widya Agustin, M.Psi.

Disusun Oleh:

MIFTAKHUL FAIZAH

G0106066

PRODI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang

tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya

dicabut.

Surakarta, 4 April 2011

(5)

MOTTO

ÆƨÈǰÊƟ ÈȐÈǷƢÈȀ̺ȈÈǴÈǟɨȰƢÈƴÊÌū¦ÈÂɲƢċǼdz¦ƢÈǿÉ®ȂÉǫȦŰƢÈǻÌǶÉǰȈÊǴÌǿÈ¢ÈÂÌǶÉǰÈLjÉǨ̺ǻÈ¢¦ȂÉǫ¦ȂÉǼÈǷ¡ÈǺȇÊǀċdz¦ƢÈȀČºȇÈ¢ƢÈȇ ÈȏÆ®¦ÈƾÊNjÆ· ÈȐÊǣ

ÈÀÂÉǂÈǷÌƚɺȇƢÈǷÈÀȂÉǴÈǠÌǨȺȇÈÂÌǶÉǿÈǂÈǷÈ¢ƢÈǷÈǾċǴdz¦ÈÀȂÉǐÌǠȺȇ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang

bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,

dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan

selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

(Qs. At Tahrim ayat 6)

Parenting is a very important professions, but no test of fitness for it is imposed in the

interest of children.

(George Bernard Shaw, Everybody’s Political About What, 1944)

It is not enough for parents to understand children. They must accord children the

previlege of understanding them.

(Milton Sapirstein, Paradoxes of Everyday Life, 1955)

Orang tua yang baik adalah orang tua yang memperlakukan anak secara bijaksana dan

mampu mengantarkan anak pada jalan yang baik.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Seiring dengan doa dan rasa syukur serta ridho ALLAH

SWT, skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Bpk. Akhmad Syukri dan Ibu Siti Nafsiyah selaku orang tua

yang selalu mencurahkan perhatian, dukungan, kasih sayang,

rasa cinta, pengorbanan serta doa yang tulus tiada hentinya.

2. Kakak-kakakku yang selalu memberikan perhatian, dukungan

serta arahan-arahannya dalam setiap langkahnya.

3. Guru-guruku yang selalu memberikan ilmu dan pelajaran yang

tiada tara.

(7)

KATA PENGANTAR

ϡϴΤέϟ΍ϥϣΣέௌ΍ϢδΑ

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat,

nikmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW

beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.

Penulis menyadari bahwa skripsi dengan judul “Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja di SMA N 1 Muntilan” dapat

diselesaikan karena tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan, dorongan dan

semangat, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis dengan penuh penghargaan dan kerendahan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. A.A. Subiyanto, dr. M.S selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si selaku dosen pembimbing utama yang telah bersedia

meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan,

pengarahan, dan saran dengan penuh kesabaran.

4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi selaku dosen pembimbing pendamping yang telah meluangkan waktu untuk mendampingi penulis dalam memperbaiki

(8)

5. Ibu Dra. Makmuroch, M.S. selaku dosen penguji utama yang telah bersedia

menguji dan mengarahkan penulis.

6. Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. selaku penguji pendamping yang telah bersedia menguji dan mengarahkan penulis.

7. Seluruh dosen dan staf Program Studi Psikologi yang telah banyak memberikan

ilmu, motivasi serta pengalaman yang sangat berarti selama kuliah.

8. Bapak Drs. Asep Sukendar, M.Pd, selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Muntilan

beserta staf pengajar dan TU yang telah mengijinkan penulis mengadakan

penelitian di sekolah yang Bapak bina.

9. Bapak Suraji, S.Pd selaku Wakasek Kesiswaan yang telah memberikan bimbingan

pada penulis selama penelitian berlangsung khususnya dalam mengatur jadwal

penelitian.

10. Ibu Sri Mulyani, S.Pd selaku Humas SMA N 1 Muntilan yang telah memberikan informasi dalam melakukan ijin penelitian serta meluangkan waktu dalam

menceritakan sejarah berdirinya SMA N 1 Muntilan.

11. Siswa-siswi SMA N 1 Muntilan atas bantuan dan kerja samanya dalam berpartisipasi menjadi sampel penelitian.

12. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan perhatian, dukungan, kasih sayang,

rasa cinta, pengorbanan serta doa yang tulus tiada hentinya hingga terselesaikannya penyusunan skripsi.

13. Kakak-kakakku yang selalu memberikan perhatian, dukungan, semangat, arahan

serta kasih sayang dan do’a yang tiada hentinya hingga terselesaikannya

penyusunan sripsi.

14. Sahabat-sahabatku tercinta, Ari (nyut-nyut), Rindang (nyut), Ratih (ndut) dan Icha

(9)

permasalahan yang penulis alami. Terima kasih juga atas bantuan, semangat serta

masukan-masukan yang telah diberikan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Jangan sampai persahatan kita terlepas dan tetap ikhtiar menjalani hidup ini. 15. Teman-teman seperjuangan (Vina, Ulva, Fadillah, Mahardika, Chandra, arfi) yang

selalu memberikan bantuannya hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

16. Seluruh mahasiswa Psikologi khususnya angkatan 2006 atas semua bantuan yang diberikan, dorongan, serta do’a untuk kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.

17. Ibu Soelandjari Soeharto selaku ibu kos selama 4 tahun yang selalu memberi

wejangan-wejangan serta do’a dan arahan-arahan terhadap setiap tindakan yang penulis lakukan.

18. Adik-adik kos Ria, yang selalu memberikan perhatian dalam sakit ataupun sehat,

bersedia mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan penulis serta selalu

memberikan canda tawa dalam setiap langkah hidup yang penulis lalui selama tinggal.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dengan tangan terbuka,

penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Surakarta, 4 April 2011

(10)

HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN POLA ASUH OTORITER ORANG TUA DENGAN DISTRES PADA REMAJA

DI SMA N 1 MUNTILAN

Miftakhul Faizah

Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Berbagai permasalahan yang dialami remaja dari waktu ke waktu sangatlah komplek dan beraneka ragam, tentu saja dengan sumber permasalahan yang berbeda-beda pula. Permasalahan tersebut diantaranya meliputi perilaku merokok, penyalahgunaan obat terlarang, seks bebas, AIDS bahkan bunuh diri. Fenomena dari berbagai bentuk permasalahan remaja di atas merupakan manifestasi dari stres yang dialami oleh remaja. Stres merupakan kondisi sebagai hasil interaksi individu dan lingkungan, di mana individu merasakan pertentangan antara tuntutan situasi dan sumber biologis, psikologis, dan sistem sosial. Kondisi ketertekanan yang semakin menumpuk akan membawa remaja pada kondisi stres. Stres yang tidak dapat diatasi memunculkan distres dalam diri remaja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya distres yang meliputi faktor fisik, faktor lingkungan, faktor emosi dan kepribadian, serta faktor sosiokultural. Pola pengasuhan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distres dalam diri remaja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerapan pola asuh otoriter orang tua dengan distres pada remaja di SMA N 1 Muntilan. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif yang signifikan antara penerapan pola asuh otoriter orang tua dengan distres pada remaja di SMA N 1 Muntilan.

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA N 1 Muntilan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 59 siswa. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dan Kuesioner Distres dengan modifikasi dari Goldberg. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua terdiri dari 49 aitem valid dengan koefisien reliabilitas 0,922. Kuesioner Distres terdiri dari 47 aitem valid dengan koefisien reliabilitas 0,895.

Analisis data menggunakan teknik analisis Koefisien Kontingensi

(Contingency Coefficient) yang dalam penghitungannya menggunakan analisis

Chi-Square, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,659, p-value sebesar 0,011 <

0,05 dan X2hitung lebih besar dari X2tabel (45,187 > 38,885). Hal ini berarti ada hubungan positif yang signifikan antara penerapan pola asuh otoriter orang tua dengan distres pada remaja di SMA N 1 Muntilan.

(11)

CORRELATION BETWEEN APPLICATION OF AUTHORITARIAN PARENTING STYLE PATTERN WITH

ADOLESCENTS DISTRESS IN SMA N 1 MUNTILAN

Miftakhul Faizah

Sebelas Maret University in Surakarta

ABSTRACT

The various problem of adolescents in over times are complicated and diverse, and source of these problems also various. This problems include of smoke behavior, addictive abuse, free sex and even suicide. The phenomenon of various forms of adolescent problems mentioned above is a manifestation of stress experienced in adolescents. Stress is a condition as a result from interaction between person and environment, which is the person feeling disperancy between the demands of a situation and biological, psychological, and social system resources. Pressures condition that become congest will carry on adolescent to stress condition. Stressful that can not be coped will cause adolescent distress. There are many factors that influence distress, consists of physical factors, emotional and personality factors and socio-cultural factors. Parenting style is one of many factors that influence adolescent distress.

The goal of this research is to know the correlation between application of authoritarian parenting style pattern with adolescents distress in SMA N 1 Muntilan. Hypothesis of the research is there was positive significant correlation between application of authoritarian parenting style pattern with adolescents distress in SMA N 1 Muntilan.

The subject of this research are all of students first grade in SMA N 1 Muntilan. The samples of this research as many as 59 students. This research use purposive sampling. Application of authoritarian parenting style pattern scale and modification of distress questionnaire by Goldberg were used to collect the data. Application of authoritarian parenting style pattern scale had obtained 49 valid items with 0,922 reliability coefficient. Distress questionnaire had obtained 47 valid items with 0,895 reliability coefficient.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO... v

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT... xii

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Distres ... 10

1. Pengertian Distres ... 11

2. Gejala-gejala Distres... 12

3. Sumber-sumber Distres... 16

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Distres pada Remaja ... 21

B. Pola Asuh Otoriter ... 22

(13)

2. Karakteristik Pola Asuh Otoriter Berdasarkan Aspek-aspek Pola

Asuh Orang Tua ... 24

3. Pengaruh Pola Asuh Otoriter bagi Remaja ... 28

C. Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang tua dengan Distres pada Remaja ... 30

D. Kerangka Pemikiran... 34

E. Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel... 35

B. Definisi Operasional ... 35

C. Populasi, Sampel dan Sampling... 37

D. Metode Pengumpulan Data... 38

E. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur ... 43

F. Analisis Data... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ... 46

1. Orientasi Kancah Penelitian... 46

2. Persiapan Administrasi Penelitian ... 49

3. Persiapan Alat Ukur... 50

4. Pelaksanaan Uji Coba ... 50

5. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 51

6. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 55

B. Pelaksanaan Penelitian... 56

1. Penentuan Sampel Penelitian... 56

2. Penelitian ... 57

C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

2. Uji Hipotesis ... 61

3. Analisis Deskriptif ... 62

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 70

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Pernyataan Favorable dan Pernyataan Unfavorable

Untuk Kuesioner Distres dari Goldberg (1972) ... 38

Tabel 3.2 Penilaian Pernyataan Favorable dan Pernyataan Unfavorable Untuk Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter ... 38

Tabel 3.3 Perbandingan Validitas GHQ-60 dengan Beberapa Skala Lain ... 41

Tabel 3.4 Hasil PerbandinganSencitivitydanSpecifisitydari ke Empat Versi GHQ pada Pasien Praktik Umum dan Pasien Tidak Rawat Inap ... 41

Tabel 3.5 Blue PrintKuesioner Distres dari Goldberg (1972) ... 42

Tabel 3.6 Blue PrintSkala Pola Asuh Otoriter ... 43

Tabel 4.1 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur pada Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua... 53

Tabel 4.2 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur pada Kuesioner Distres ... 54

Tabel 4.3 Distribusi Aitem Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua ... 55

Tabel 4.4 Distribusi Aitem Kuesioner Distres... 56

Tabel 4.5 Hasil Uji NormalitasOne Sample Kolmogorov-Smirnov... 59

Tabel 4.6 Hasil Uji Linearitas ... 60

Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi dengan AnalisisChi-Square... 61

Tabel 4.8 Hasil Uji Korelasi dengan AnalisisContingency Coefficien... 62

Tabel 4.9 Statistik Deskriptif... 63

Tabel 4.10 Norma Kategori Skor Subjek ... 63

Tabel 4.11 Kriteria Kategori Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dan Distribusi Skor Subjek... 64

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model yang Menunjukkan Hubungan antara Pemindahan Hak, Otoriter, dan Ketidakadilan dengan Kedudukan Sosial dan Distres ... 21 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Hubungan antara Penerapan Pola Asuh

Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja ... 34 Gambar 4.1 Diagram mengenai tingkatan distres pada remaja sebagai akibat

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran ... 77 Lampiran A Alat Ukur Penelitian Sebelum Uji Coba ... 78

1. Skala Penerapan Pola Asuh otoriter 2. Kuesioner Distres dari Goldberg (1972)

Lampiran B Sebaran Data Nilai Uji Coba Alat Ukur ... 90 1. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

2. Kuesioner Distres

Lampiran C Validitas Alat Ukur... 115 1. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

2. Kuesioner Distres

Lampiran D Reliabilitas Alat Ukur ... 127 1. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

2. Kuesioner Distres

Lampiran E Alat Ukur Penelitian ... 129 1. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

2. Kuesioner Distres

Lampiran F Sebaran Nilai Data Penelitian ... 139 1. Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

2. Kuesioner Distres

Lampiran G ... 164

1. Uji Normalitas

2. Uji Linearitas

3. Analisis Deskriptif

4. Uji Hipotesis

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi ini berbagai permasalahan yang dialami remaja

sangatlah komplek dan beraneka ragam, tentu saja dengan sumber permasalahan

yang berbeda-beda pula. Permasalahan remaja yang terjadi berupa masalah

penyesuaian sosial; masalah kenakalan remaja berupa tindakan pencurian,

kekerasan dan pemerkosaan; serta masalah penyesuaian perilaku seperti perilaku

seks bebas, perilaku merokok, mengkonsumsi narkoba bahkan masalah

kriminalitas dan bunuh diri. Berdasarkan data NSA (National Survey of

Adolescent) jumlah remaja SMA yang melakukan bunuh diri mengalami

peningkatan dari 7,3% pada tahun 1991 menjadi 8,4% pada tahun 2005.

Peningkatan tersebut menandai adanya peningkatan permasalahan remaja dari

generasi ke generasi sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia.

Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dari tahun 1998-2003 adalah 20.301

orang, di mana 70% diantaranya berusia antara 15-19 tahun. Mengutip makalah

ilmiah yang ditulis Widianti (2007), yaitu berdasarkan data yang dihimpun oleh

Departemen Kesehatan sampai Juni 2003 jumlah pengidap HIV atau AIDS atau

ODHA (Orang Yang Hidup Dengan HIV atau AIDS) di Indonesia adalah 3.647

(19)

jumlah tersebut, kelompok usia 15-19 berjumlah 151 orang (4,14%), 19-24

berjumlah 930 orang (25,50%). Hal ini berarti bahwa jumlah terbanyak penderita

HIV atau AIDS adalah remaja dan orang muda.

Fenomena dari berbagai permasalahan yang dialami oleh remaja

merupakan manifestasi dari distres. Menurut Mirowsky & Catherine (2003)

distres mengacu masalah kepribadian seperti anti sosial atau saling bermusuhan,

kemunduran kecerdasan atau penyalahgunaan obat terlarang, bentuk manik atau

emosi yang tidak stabil, atau ketergantungan terhadap alkohol atau bahan kimia

lain. Gunarsa (1985) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa

peralihan antara masa anak dan masa dewasa yakni antara 12 sampai 21 tahun.

Pada masa ini remaja mengalami berbagai macam perubahan-perubahan

karakteristik dalam diri remaja. Santrock (2002) mengemukakan bahwa

perubahan-perubahan pada remaja tersebut diantaranya adalah perubahan fisik

yang meliputi perubahan pubertas; perubahan kognitif yang meliputi

berkembangnya penalaran logis, meningkatnya pemikiran abstrak, idealistis,

maupun egosentris; perubahan sosioemosional meliputi kelekatan dengan orang

tua serta pencapaian otonomi; serta perubahan hubungan sosial remaja dalam lingkungan sekolah, teman sebaya, maupun lingkungan sekolah.

Remaja menurut perkembangannya berada dalam kondisi yang labil baik

dalam fisik, psikis, emosi maupun perilakunya. Dalam kondisi demikian, remaja

mudah dipengaruhi sehingga mempunyai potensi yang besar terhadap berbagai

macam permasalahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Remaja dengan

(20)

mengarahkan pada kebutuhan remaja akan perlakuan khusus dari orang tua. Di

satu sisi, remaja membutuhkan kesempatan untuk belajar meraih otonomi,

mengatur diri sendiri, membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap

keputusan tersebut sehingga cenderung menolak intervensi dari pihak lain, dalam

hal ini orang tua. Di sisi lain, remaja juga membutuhkan perhatian, pengawasan,

serta bimbingan dari orang tua.

Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa stres merupakan kondisi sebagai

hasil interaksi antara individu dan lingkungan, dimana individu merasakan

pertentangan antara tuntutan situasi dan sumber biologis, psikologis, dan sosial

yang dimiliki. Kondisi ketertekanan yang semakin menumpuk akan membawa

remaja pada kondisi stres. Maramis (2005) mengungkapkan bahwa tekanan

sehari-hari walaupun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk, dapat menjadi stres

yang hebat. Stres merupakan suatu kondisi psikologis dimana seseorang merasa

tertekan karena suatu persoalan yang dihadapinya (Koentjoro, 2007).

Hubungan antara orang tua dengan remaja terbangun melalui pola

pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Pola pengasuhan yang pada dasarnya

mempunyai tujuan yang baik bagi perkembangan anak-anak, sehingga menjadi individu yang dewasa secara sosial (Santrock, 2002).

Sejalan dengan tahap-tahap perkembangan yang terjadi pada remaja

berpengaruh pula terhadap kebutuhan akan perubahan pola pengasuhan pada

orang tua. Orang tua merasa khawatir remaja mereka mengalami degradasi moral

dalam masa perkembangannya. Orang tua mulai memikirkan

(21)

sehingga orang tua semakin memperketat ruang gerak remaja. Orang tua semakin

meningkatkan sikap keras pada pola pengasuhannya dengan mengendalian

perilaku remaja secara ketat serta menekan remaja agar mengikuti aturan-aturan

sesuai standar orang tua (Santrock, 2002). Pilihan-pilihan dalam pengambilan

keputusan ditetapkan oleh orang tua dengan batasan-batasan dan aturan yang

mereka tetapkan sendiri bahkan tanpa memberikan penjelasan pada remaja.

Sikap orang tua yang demikian merupakan bentuk dari pola asuh otoriter.

Menurut Hurlock (2002), pola asuh yang otoriter memiliki ciri-ciri sikap ortu

kaku dan keras, menuntut anak untuk patuh pada semua perintah dan kehendak

orang tua, pengontrolan terhadap tingkah laku anak yang sangat ketat serta kurang

memberikan kepercayaan pada anak dan sering memberikan hukuman pada anak

ketika anak melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan.

Berlawanan dengan kebutuhan remaja, orang tua sering tidak memahami

perubahan yang terjadi sehingga tidak menyadari anak telah tumbuh menjadi

seorang remaja, remaja yang masih berada pada tahap belajar terhadap berbagai

perubahan serta peristiwa yang mereka alami. Perubahan-perubahan kognisi

dimana remaja mengalami perkembangan penalaran logis, peningkatan dalam berpikir abstrak, idealistis, maupun egosentris mengarahkan dan dorongan remaja

untuk mendapatkan dan meraih otonomi (Santrock, 2002). Hukum Trotzalter

mengatakan bahwa pada masa-masa remaja terjadi perubahan mencolok dalam

dirinya baik aspek fisik maupun psikis sehingga menimbulkan reaksi emosional

dan perilaku radikal. Wujud nyata perilaku seringkali ditunjukkan dengan sikap

(22)

tidak perlu bantuan orang lain sehingga seringkali timbul sikap menentang ketika

ada stimulus dari orang lain yang dirasa kurang sesuai (Ali & Mohammad, 2008).

Pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orang tua sangat berlawanan

dengan perubahan karakteristik yang terjadi dalam diri remaja. Pada saat remaja

mencurahkan perhatiannya dalam mengatasi masalah yang timbul pada masa

perkembangan, remaja dituntut untuk tidak lagi bertingkah laku seperti anak-anak

akan tetapi mereka belum sepenuhnya dipercaya untuk berperan seperti orang

dewasa. Remaja dinilai belum sepenuhnya mampu memegang otonomi,

bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan

sendiri. Kondisi demikian mendorong remaja melakukan penolakan maupun

pemberotakan terhadap penerapan pola pengasuhan orang tua karena tidak sesuai

dengan harapan serta kebutuhan remaja.

Sejalan dengan perubahan karakteristik yang khas pada perkembangan

remaja yang berupaya menuntut adanya kesempatan maupun kebebasan untuk

menentukan sendiri pilihan-pilihannya, orang tua mengharuskannya mengikuti

aturan dan standar-standar yang ditetapkan tanpa kompromi dengan remaja.

Kondisi demikian menjadi stressor yang menimbulkan perasaan ketertekanan dalam diri remaja yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi fisik, psikologi

maupun sosial pada remaja. Menurut Mirowsky & Catherine (2003) distres

merupakan salah satu konsekuensi utama dari suatu perenggangan hubungan.

Yusuf (2009) mengatakan bahwa keluarga yang hubungan antar anggota

keluarganya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat

(23)

Menurut WHO (2008), kesehatan mental adalah suatu keadaan kesejahteraan yang

mana tiap individu mampu mengoptimalkan kemampuannya, dapat mengatasi

stress dalam hidupnya, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat serta dapat

berkontribusi terhadap komunitasnya. Mirowsky & Catherine (2003) distres

secara konseptual dianggap sebagai sakit mental dilihat dari sejumlah symptom

yang ditunjukkan seperti depresi dan cemas.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2008) menyimpulkan bahwa

stres pada remaja itu disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi faktor yang paling

banyak mempengaruhi remaja berhubungan dengan orang tua, akademik dan

teman sebaya. Hal ini berarti berbagai bentuk permasalahan pada remaja

dilatarbelakangi oleh kondisi stres yang salah satunya bersumber dari hubungan

orang tua dengan remaja.

Ghofur, dkk (2009) dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Pola Asuh

Orang Tua terhadap Perkembangan Karakteristik Anak” memberikan penjelasan

bahwa pengaruh pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang

penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar

norma-norma, berkepribadian lemah, cemas dan terkesan menarik diri. Analisis dari karya ilmiah oleh Fitri, dkk (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan

antara sikapauthoritarianoleh orang tua terhadap kesehatan mental anak.

Kesenjangan yang terjadi antara remaja dan orang tua semakin meninggi

karena masa remaja adalah periode ”badai dan stress” yang ditandai oleh

ketegangan emosi, kemurungan, kekacauan dalam diri dan pemberontakan

(24)

dialami akan mengalami gangguan baik dalam fungsi fisik, psikologis, intelektual

maupun interpersonal sebagai akibat dari stres yang dirasakan. Kondisi demikian

yang dinamakan sebagai kondisi distres.

Uraian latar belakang permasalahan di atas menyatakan bahwa orang tua

dengan penerapan pola asuh otoriter memberi batasan serta aturan yang tegas

tanpa adanya kompromi terhadap remaja. Hal ini menyebabkan tidak ada

kesempatan bagi remaja untuk belajar meraih otonomi, mengatur diri sendiri,

membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.

Sementara itu, remaja juga membutuhkan perhatian, pengawasan, serta bimbingan

dari orang tua. Remaja pun merasa tertuntut dalam memenuhi harapan serta

keinginan orang tua. Kondisi yang dialami remaja yaitu antara keinginannya

sendiri dengan tuntutan dari orang tua mengarahkan pada situasi keterpaksaan

yang sulit dihadapi oleh remaja sehingga memungkinkan terjadinya distres pada

remaja. Inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan suatu penelitian dengan

tujuan untuk mengetahui apakah ada ”Hubungan antara Penerapan Pola Asuh

Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja. Hal ini untuk membuktikan

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan permasalahannya

adalah:

”Apakah Ada Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua

dengan Distres pada Remaja?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara penerapan

pola asuh otoriter orang tua dengan dampak yang dirasakan oleh remaja berupa

kondisi distres pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis:

Hasil dari penelitian diharapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan

keilmuan dan pengetahuan tentang penerapan pola asuh orang tua dengan

distres pada remaja.

2. Manfaat Praktis:

a) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi remaja

gambaran mengenai kondisi distres yang dialami sebagai akibat dari pola

pengasuhan orang tua yang otoriter sehingga dapat memberikan

pertimbangan dalam bertindak serta berperilaku secara lebih sehat lagi.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang

(26)

menimbulkan atau memunculkan gangguan distres pada remaja. Dengan

demikian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan

perlakuan terhadap remaja dengan berupaya lebih memahami,

mempertimbangkan dan menghormati kebutuhan-kebutuhan dan

harapan-harapan remaja dalam rangka menghindari distres.

c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

masyarakat umum bahwa penerapan pola asuh orang tua yang otoriter

dapat memunculkan gangguan distres pada remaja sehingga diharapkan

dapat memberikan pola pengasuhan yang sesuai dengan perkembangan

remaja dalam rangka menghindari distres.

d) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pihak-pihak terkait yang peduli terhadap permasalahan remaja yaitu dengan

memberikan dukungan terhadap orang tua dalam pola pengasuhannya.

Dengan demikian dapat dilakukan sosialisasi mengenai bagaimana cara

menyingkapi karakteristik remaja yang tidak sesuai dengan yang

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Distres

Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa stres merupakan kondisi sebagai

hasil ketika individu dan lingkungan melakukan transaksi, individu merasakan

pertentangan, antara nyata atau tidak, antara tuntutan kondisi serta sumber

biologis, psikologis, dan sistem sosial.

Baum et al (1984 dalam Niven, 2002) menyatakan bahwa stres sudah

menjadi konsep yang popular untuk menjelaskan variasi luas dari hasil akhir, yang

kebanyakan negatif, yang sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan. Mereka

mengatakan bahwa stres digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang

mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan banyak keadaan lain.

Dalam psikologi, stres mengacu pada keadaan individu sebagai hasil dari

beberapa interaksi dengan lingkungan. Dalam psikologi-fisiologi, stres merupakan

suatu stimulus untuk dapat mengetahui tekanan atau ketegangan yang tidak

dengan mudah disesuaikan dengan tubuh dan membuat kerusakan kesehatan atau tingkah laku pada diri (Pestonjee, 1992).

Selama jangka waktu tertentu, kemampuan untuk bereaksi terhadap stres

dalam keadaan ini mengorbankan tubuh, yaitu sistem individu berangsur-angsur

menjadi kehabisan tenaga, mengakibatkan kerentanan terhadap penyakit

meningkat dan penurunan resistensi terhadap stres itu sendiri (Innes, 1981 dalam

(28)

yang tidak sehat tergabung dengan kebosanan dan motivasi rendah serta

merupakan perasaan tidak nyaman atau distres.

Dari berbagai pengertian stres yang dikemukakan oleh berbagai tokoh

diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa stres merupakan keadaan di mana

seseorang berada pada kondisi yang lemah sebagai hasil dari transaksi antara

kemampuan diri dengan kondisi lingkungan.

1. Pengertian Distres

Wheaton (dalam Mirowsky & Catherine, 2003) dalam penelitiannya

menemukan gambaran, keadaan yang penuh dengan stres tidak bisa lepas dari

kejadian yang menyertainya. Distres diasosiasikan dengan kejadian yang

tergantung pada situasi yang menyertai, yaitu kejadian pada konteks

pengalaman individu, kondisi pada saat ini dan kondisi terbaru. Distres

merupakan suatu bentuk perasaan tidak menyenangkan secara subjektif

(Mirowsky & Catherine, 2003). Sementara Mc Cubin and Patterson (dalam

Rice, 1999) mendefinisikan distres sebagai organisasi yang tidak seimbang

atau ketidakmampuan individu dalam memecahkan masalah saat menghadapi

stres yang juga bersumber dari keluarga yang tidak harmonis.

Sesuai dengan konsep distres yang dijelaskan para ahli di atas,

Hardjana (1994) mengungkapkan bahwa distres merupakan stres yang

merugikan dan merusak atau stres yang destruktif. Distres merupakan bentuk

perasaan yang ditandai dengan keadaan yang tidak baik dalam kehidupan kita

(29)

Larsen & David (2007) menyatakan, stres yang berat menimbulkan

perasaan distres. Tubuh kita mengungkapkan distres dengan cara yang

bermacam-macam, sering dalam bentuk mudah tersinggung, marah, cemas,

depresi, capai, sakit kepala, sakit perut, hipertensi, migrain, atau perut mulas.

Bahkan, stres dapat menyebabkan sakit yang lebih serius, seperti kanker,

diabetes, atau disfungsi tiroid. Sedangkan Goldberg (1972 dalam McDowell

& Claire, 1996) mendefinisikan bahwa distres merupakan ketidakmampuan

untuk menunjukkan fungsi-fungsi kesehatan secara normal yang ditunjukkan

dengan gangguan kepribadian atau pola penyesuaian.

Berdasar berbagai pengertian mengenai distres yang telah

dikemukakan oleh berbagai ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

distres merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dimana seseorang

tidak mampu menunjukkan fungsi-fungsi kesehatan secara normal serta tidak

mampu mengatasi, mengubah, melawan, maupun menanggulangi kondisi

stres yang dialami sehingga memunculkan kondisi yang lebih buruk dari

kondisi sebelumnya.

2. Gejala-Gejala Distres

Stres tidak hanya menyangkut segi lahir saja, tetapi juga batin kita.

Tidak mengherankan bila gejala (symptom) stres ditemukan dalam segala segi

diri kita yang penting. Ashurst & Zaida (2001) menyatakan bahwa distres

atau sakit mental dimanifestasikan dengan gejala fisik atau mental. Stres

ditemukan pada seluruh aspek dalam diri, termasuk didalamnya kecemasan,

(30)

atau ada banyak kumpulan dari stres, serta jika identifikasi pada dasarnya

tidak kuat (yang kemungkinan berasal dari hubungan antara orang tua-anak),

maka individu merasa terancam dan tidak dapat mengatasi. Emosi yang kacau

dihasilkan oleh stres, dengan gejala mental dan fisik saat kesulitan tidur,

mudah tersinggung, menurunnya nafsu makan, berlebihan, dan lain-lain.

Perasaan yang bergejolak sering tertahan, mendesak, atau terencana dan

hanya kecemasan yang dirasakan, dengan berbagai gejala mental dan fisik

yang terbentuk dari kondisi marah dan gusar.

Menurut Hardjana (1994) gejala-gejala tersebut meliputi gejala fisikal,

gejala emosional, gejala intelektual, serta gejala interpersonal. Gejala itu tentu

saja berbeda pada setiap orang karena pengalaman stres amat pribadi sifatnya.

a. Gejala fisikal yang meliputi: Sakit kepala, pusing, pening; tidur tidak

teratur seperti insomnia, tidur terlantur, bangun terlalu awal; sakit

punggung terutama bagian bawah; mencret-mencret dan radang usus

besar; sulit buang air besar, sembelit; gatal-gatal pada kulit; urat tegang

terutama pada leher dan bahu; terganggu pencernaannya atau bisulan;

tekanan darah tinggi atau serangan jantung; keringat berlebihan; berubah selera makan; lelah atau kehilangan daya energy; banyak melakukan

kekeliruan atau kesalahan dalam kerja dan hidup.

b. Gejala emosional yang meliputi: gelisah atau cemas; sedih, depresi, mudah

menangis; merana jiwa dan hati (mood) berubah-ubah cepat; mudah panas

dan marah; gugup; rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman; terlalu

(31)

dan bermusuhan; emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental

(burn out).

c. Gejala intelektual yang meliputi: susah berkonsentrasi atau memusatkan

pikiran; sulit membuat keputusan; mudah terlupa; pikiran kacau; daya

ingat menurun; melamun secara berlebihan; pikiran dipenuhi oleh satu

pikiran saja; kehilangan rasa humor yang sehat; produktivitas atau prestasi

kerja menurun; mutu kerja rendah; dalam kerja bertambah jumlah

kekeliruan yang dibuat.

d. Gejala interpersonal yang meliputi: kehilangan kepercayaan kepada orang

lain; mudah mempersalahkan orang lain; mudah membatalkan janji atau

tidak memenuhinya; suka mencari kesalahan orang lain dan menyerang

dengan kata-kata; mengambil sikap terlalu membentengi dan

mempertahankan diri; mendiamkan orang lain.

Sementara itu Mirowsky & Catherine (2003) membagi distres menjadi

dua bentuk, yaitu depresi dan kecemasan. Penjelasannya adalah sebagai

berikut:

a. Depresi merupakan perasaan sedih, hilangnya semangat, merasa sendiri, tidak ada harapan, tidak berharga, merasa akan mati, mempunyai kesulitan

tidur, menangis, merasa segala sesuatu adalah usaha, dan tidak bisa dalam

meraih sesuatu.

b. Ansietas adalah suatu ketegangan, kecapaian, khawatir, mudah

(32)

Mirowsky & Catherine (2003) juga menambahkan depresi dan

kecemasan dibentuk oleh suasana hati dan rasa tidak enak badan. Suasana

hati mengacu pada perasaan seperti sedih karena depresi atau khawatir karena

cemas. Rasa tidak enak badan mengacu pada bagian tubuh, seperti tidak

berdaya dan kekacauan karena depresi atau gelisah dan bagian yang sakit

seperti sakit kepala, sakit perut, pusing karena cemas. Bentuk distres tidak

hanya mengacu pada masalah kepribadian seperti anti sosial atau saling

bermusuhan, namun termasuk juga kemunduran kecerdasan atau

penyalahgunaan obat terlarang, bentuk manik atau emosi yang tidak stabil,

atau ketergantungan terhadap alkohol atau bahan kimia lain. Distres juga

merupakan hasil dari jenis-jenis masalah atau situasi yang dibuat, tetapi

terlihat secara nyata.

Goldberg (1972 dalam McDowell & Claire, 1996) mengidentifikasi

kondisi distres yang meliputi gejala somatik, kecemasan dan insomnia,

disfungsi sosial dan depresi umum. Selanjutnya Goldberg (1972 dalam

McDowell & Claire, 1996) merancang alat pengukuran berupa GHQ

(General Health Questionnaire) yang merupakan desain alat pengukuran

dengan model self-administration untuk melakukan skrening dalam

mendeteksi secara umum, mendiagnosis penyakit psikiatrik. Metode ini bisa

digunakan untuk melakukan survey atau gambaran klinis dalam

mengidentifikasi kasus yang potensial, menguji diagnosis penyakit untuk

(33)

seseorang dalam aktivitas kesehatannya sehari-hari dan mengukur gejala

distres.

GHQ dirancang untuk mengidentifikasi dua masalah dasar psikiatrik,

yaitu ketidakmampuan untuk menunjukkan fungsi-fungsi kesehatan secara

normal dan menemukan fenomena baru dari kondisi distres secara alami. Hal

ini difokuskan pada kerusakan fungsi-fungsi secara normal daripada sifat

sepanjang hidup, kemudian ini hanya menampilkanpersonality disorderatau

pola penyesuaian di mana ada hubungannya dengan kondisi distres. GHQ

tidak cenderung mendeteksi sakit yang sangat seperti schizophrenia atau

depresi psikotik, walaupun hasil dari beberapa penelitian dapat mendeteksi

kondisi tersebut. GHQ dirancang untuk menampilkan empat elemen dalam

mengidentifikasi kondisi distres, yaitu depresi, kecemasan, gangguan sosial,

danhypochondriasis(terutama dalam mengidentifikasi symptom organik).

Dari berbagai gejala-gejala distres yang diungkapkan oleh ahli-ahli di

atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang terindikasi mengalami

distres dapat dilihat dari gejala fisik, depresi, kecemasan, gangguan sosial.

Masing-masing gejala memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengungkapkan kondisi distres yang terjadi.

3. Sumber-sumber Distres

Kebanyakan dari kita menganggap stres sebagai kejadian yang

merupakan akibat dari lingkungan yang menempatkan tuntutan pada diri kita.

(34)

menimbulkan stres tergantung pada bagaimana mereka menilai dan

menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif (Santrock, 2003).

Kehidupan yang menekan dan cara orang mengatasi kejadian yang

menekan berdampak pada kesehatan dan penyakit (Taylor, 2009). Taylor

(2009) menyatakan bahwa setiap kejadian yang mengharuskan seseorang

menyesuaikan diri, membuat perubahan atau mengeluarkan sumber daya,

berpotensi menimbulkan stres. Tinggal di lingkungan yang berisik, penuh

kejahatan, tidak hanya membuat hari-hari menjadi semakin stres, tetapi juga

menimbulkan efek buruk kumulatif terhadap kesehatan.

Hal yang menimbulkan stres disebut stressor. Hardjana (1994)

mengungkapkan bahwa hal, kejadian, peristiwa, orang, keadaaan dan

lingkungan yang dirasa mengancam atau merugikan itu disebut stressor.

Menurutnya stres dapat bersumber pada orang yang mengalami stres lewat

penyakit (illness) dan pertentangan (conflict). Sumber stres juga bisa ada pada

orang yang terkena stres itu sendiri (internal sources) atau luarnya (external

sources), yang bisa ada pada keluarga dan lingkungan, baik lingkungan kerja

maupun lingkungan sekeliling.

Sementara McCubbin and Patterson (1983 dalam Rice, 1999)

menentukan, stressor disebabkan karena kejadian hidup atau dampak dari

suatu perubahan dalam kesatuan keluarga yang menghasilkan atau yang

mempunyai potensi menghasilkan keadaan stres, serta perubahan pada sistem

sosial keluarga. Meninggalnya orang tua, dirawatnya anggota keluarga di

(35)

tugas militer, atau adanya anggota keluarga yang dipenjara, semuanya

merupakan beberapa kualifikasi yang dipandang sebagaistressor.

Begitu juga dengan Sarafino (1998) yang menyatakan bahwa kejadian

atau sesuatu hal yang dirasakan sebagai ancaman atau bahaya, yang

menghasilkan perasaan tegang disebut stressor. Sarafino (1998) juga

melakukan penelitian, yaitu banyaknya kejadian yang menyebabkan suatu

stressor, yang meliputi: a). kejadian bencana, seperti topan dan gempa bumi,

b). kejadian dalam kehidupan yang besar, seperti kehilangan seseorang yang

dicintai atau kehilangan pekerjaan dan c). sesuatu hal yang terus-menerus

terjadi, seperti kehidupan sakit pada sakit tulang.

Maramis (2005) menyebutkan bahwa stres bersumber pada a).

frustrasi, timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud (tujuan) kita,

yang disebabkan oleh norma-norma, adat-istiadat, perubahan yang terlalu

cepat; b). konflik, terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih

macam kebutuhan atau tujuan; c). Tekanan; d). krisis, yaitu keadaan

mendadak yang menimbulkan stres pada seseorang individu atau kelompok.

Ashurst & Zaida (2001) menyatakan bahwa distres merupakan kondisi yang ditandai dengan keadaan yang tidak baik dalam kehidupan kita yang

semuanya dibentuk oleh kondisi sakit pada tubuh, dengan lingkungan kita,

dan dengan orang lain.

Menurut Mirowsky & Catherine (2003), kontrol yang berlebihan

dalam perkawinan merupakan bentuk dari ketidakadilan, kontrol yang

(36)

sesama merupakan dasar untuk bermusyawarah dan berkompromi, bukan

suatu cara untuk saling menjatuhkan. Mirowsky & Catherine (2003)

menambahkan bahwa ketidakadilan, konflik dan kurangnya dukungan

merupakan pemicu distres. Faktor yang menjadi penyebab distres meliputi

faktor sosial, diantaranya kesulitan ekonomi, pendidikan, umur, jenis

kelamin, kontrol individu, dukungan sosial dan ketidak percayaan.

Mirowsky & Catherine (2003) menyatakan ada tiga pola dari

pemahaman individu mengenai diri sendiri dan sosial sebagai penjelasan pola

sosial mengenai penyebab distres, yaitu pemindahan hak, otoriter, dan

ketidakadilan. Kedudukan atau posisi sosial dalam masyarakat yang meliputi

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status minoritas, umur, jenis kelamin,

status perkawinan, kedudukan sebagai orang tua akan menciptakan suatu

kondisi yang mengarah pada pola pemahaman individu dalam kehidupan

bermasyarakat

Pemindahan hak adalah lepasnya atau terpisahnya sesuatu hal dari diri

sendiri ataupun orang lain. Ketidakberdayaan merupakan terpisahnya hal

yang sangat penting dari hidup atau ketidakmampuan untuk mencapai hasil akhir. Ketidakberdayaan merupakan kesadaran kognitif dari suatu kenyataan.

Ketidakberdayaan sebagai variabel sosio-psikologikal, berbeda dengan

kondisi secara objektif yang dihasilkan dan distres pada individu mungkin

dirasakan sebagai konsekuensinya.

Otoriter didefinisikan dan didiskripsikan sebagai konsep teoritik yang

(37)

seseorang mempunyai sikap dan kepercayaan untuk memerintah secara

diktator. Otoriter mempuyai dua elemen penting dalam memberi kontribusi

pada distress, yaitu: 1. Infleksibiliti dalam praktek pergaulan dan masalah

interpersonal dan 2. Kecurigaaan dan ketidakpercayaan. Dua elemen tersebut,

secara luas otoriter, merupakan suatu bentuk penyebab distres.

Infleksibiliti merupakan suatu karakteristik dengan kecenderungan

cara-cara yang disukai dalam mengatasi situasi yang penuh dengan stres;

kurangnya strategi dalam memecahkan masalah; menaruh kepercayaan pada

konformitas dan kepatuhan sebagai strategi koping; menerapkan kekuasaan

tentang aturan dan standar; ketidakmampuan untuk menggambarkan

pandangan yang kontradiksi dan solusi yang kompleks; dan menggunakan

tradisi sebagai adaptasi (Kohn and Schooler 1982; Wheaton 1983; dalam

Mirowsky & Catherine, 2003). Ketidakpercayaan, hal yang berlawanan

dengan kepercayaan, adalah tidak mendukung maksud dan tingkah laku orang

lain, mementingkan diri sendiri, dan tidak tulus. Ketidakpercayaan adalah

hilangnya kepercayaan pada orang lain yaitu keluar dari prasangka baik.

Teori ketidakadilan mengatakan bahwa pengorbanan dalam hubungan yang tidak adil merupakan distress. Ketidakadilan yang terlihat merupakan

pelanggaran terhadap norma secara umum dan mungkin merupakan

pencelaan terhadap orang lain. Teori ketidakadilan mengatakan bahwa

eksploitasi dalam suatu hubungan yang tidak adil juga merupakan ditres,

(38)

Berikut ini adalah pola atau model dari hubungan ketiga pola

pemahaman inidividu dengan kedudukan sosial dan kondisi distres:

Gambar 2. 1 Model yang Menunjukkan Hubungan antara Pemindahan Hak, Otoriter, dan Ketidakadilan dengan Kedudukan Sosial dan Distres.

Sumber: Mirowsky & Catherine (2003)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Distres pada Remaja

Menurut Mirowsky & Catherine (2003), faktor-faktor yang

mempengaruhi distres meliputi, status sosial ekonomi, jenis kelamin, umur,

kondisi perkawinan, kedudukan sebagai orang tua, dan variabel lain berupa Kedudukan Sosial:

x Pendidikan

x Pekerjaan

x Pendapatan

x Status minoritas

x Umur & Jenis kelamin

(39)

sosial; pengalaman pola-pola sosial, perkembangan kepercayaan dalam

masayarakat, hubungan antar manusia, antara diri sendiri dan hubungan satu

dengan yang lain serta hubungan dengan sosial. Tingkat distres juga

tergantung pada lingkungan yang dipercayai.

Santrock (2003) mengungkapkan mengungkapkan mengenai apa yang

membuat situasi tertentu menyebabkan stress dan situasi lainnya tidak terlalu

menyebabkan stress pada remaja Menurut Santrock (2003) ada beberapa

faktor yang menentukan pengalaman tertentu pada remaja yang menimbulkan

stres. Faktor-faktor tersebut meliputi:

a. Faktor fisik, seperti respon tubuh terhadap stres.

b. Faktor lingkungan, seperti beban yang terlalu berat, konflik, dan frustrasi,

kejadian besar yang buruk dan kesusahan, serta dan gangguan sehari-hari.

c. Faktor emosi dan kepribadian, seperti marah dan mempunyai musuh.

d. Faktor sosiokultural, seperti kemiskinan.

B. Pola Asuh Otoriter

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter

Gunarsa (1985) mengemukakan pada pola asuh otoriter orang tua

menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh

anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai

dengan kemauan atau pendapatnya sendiri dengan ancaman dan hukuman.

Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Orang tua menentukan

(40)

sifat-sifat khusus anak yang berbeda antara anak yang satu dengan anak yang

lainnya. Anak harus patuh dan menurut saja semua peraturan dan

kebijaksanaan orang tua.

Papalia & Ruth (2009) menekankan bahwa dalam pola asuh otoriter

remaja tidak diperbolehkan menyatakan pendapat atau pertanyaan dengan

orang yang lebih dewasa dan mengajarkan bahwa mereka akan ”lebih

mengetahui ketika mereka tumbuh”. Yusuf (2009) mengemukakan adanya

karakteristik “Parenting Style” yang authoritharian yaitu dengan sikap dan

perilaku orang tua memiliki “acceptance” rendah, namun kontrolnya tinggi;

suka menghukum secara fisik; bersikap mengomando (mengharuskan atau

memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi); bersikap kaku

(keras) serta cenderung emosional dan bersikap menolak terhadap perilaku

anak.

Selanjutnya, Hurlock (2002) menyatakan bahwa peraturan dan

pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan

menandai semua jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman

yang berat bila terjadi kegagalan memenuhi standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya

bila anak memenuhi standar yang diharapkan.

Sama halnya dengan Baumrind (1971, dalam Santrock, 2002) yang

menyatakan bahwa pengasuhan yang otoriter adalah suatu gaya membatasi

dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah

(41)

menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar

kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Ditambahkan pula oleh

Levin (1983) yang mengatakan bahwa orang tua dengan pola asuh otoriter

adalah menggabungkan kontrol yang tinggi dengan memberikan tekanan

untuk patuh padanya. Orang tua tidak memberikan alasan pada anaknya atau

tidak mendorongnya untuk memikirkan diri mereka sendiri.

Pola Asuh Otoriter (mungkin menjadioverprotective) menurut Berger

(2004) mempunyai karakteristik, antara lain: adanya tuntutan dari orang tua,

kekuasaan dalam aturan, lingkungan yang membatasi, pengendalian dengan

memberikan hukuman serta memimpin dengan kekuatan.

Kesimpulan dari berbagai pengertian diatas adalah bahwa pola asuh

otoriter merupakan suatu bentuk pola pengasuhan orang tua dengan

menerapkan peraturan yang keras dan tegas tanpa kompromi dengan anak.

Dalam hal ini, orang tua memegang kekuasaan tertinggi dalam menetapkan

keputusan serta kontrol yang tinggi dalam tindakan anak. Seorang anak tidak

diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya sehubungan dengan

aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

2. Karakteristik Pola Asuh Otoriter Berdasarkan Aspek-aspek Pola Asuh

Orang Tua

Kohn (1963) mengemukakan bahwa aspek-aspek dalam pola asuh

orang tua antara lain pemberian disiplin, komunikasi, pemenuhan kebutuhan

dan pandangan terhadap remaja. Berikut ini akan dijelaskan mengenai

(42)

dalam pola asuh pada orang tua dari berbagai sumber yaitu (Hurlock, 2002;

Musen, 1984; Yusuf, 2009; Santrock, 2003; Ali & Mohammad, 2008) yang

meliputi:

a. Pemberian disiplin

Menurut Hurlock (2002) tujuan disiplin adalah membentuk

perilaku sedemikian rupa hingga ia akan sesuai dengan peran-peran yang

ditetapkan kelompok budaya, tempat individu itu diidentifikasi. Hurlock

(2002) menambahkan fungsi pokok disiplin adalah mengajar anak

menerima pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan

energi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial.

Pemberian disiplin secara otoriter menganut konsep negatif yang berarti

pengendalian dengan kekuasaan luar, yang biasanya diterapkan secara

sembarangan, merupakan bentuk pengekangan melalui cara yang tidak

disukai dan menyakitkan.

Menurut Hurlock (2002) unsur-unsur disiplin meliputi:

1) Peraturan dan hukum yang berfungsi sebagai pedoman yang baik bagi

penilaian yang baik. Hurlock (2002) mengatakan peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Dalam disiplin

otoriter, orang tua menetapkan peraturan-peraturan dan

memberitahukan anak untuk mematuhi peraturan tersebut. Orang tua

menetapkan peraturan tanpa adanya penjelasan mengapa anak harus

patuh dan tidak adanya kesempatan bagi anak untuk megemukakan

(43)

2) Hukuman bagi pelanggaran peraturan dan hukum. Hukuman yang

berat dapat memberikan konsekuensi lain di samping pembatasan,

serta relatif menjadi kurang efektif dalam menghasilkan pengendalian

perilaku dalam diri anak (Musen, 1984). Dalam disiplin otoriter, jika

anak tidak mengikuti peraturan maka anak akan dihukum secara

keras. Hal ini dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran

peraturan di masa mendatang.

3) Hadiah untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku sosial

yang baik. Dalam disiplin otoriter, anak tidak perlu adanya hadiah jika

anak telah mematuhi peraturan karena dianggap sebagai kewajiban

bagi anak untuk mematuhi. Pemberian hadiah juga dipandang dapat

mendorong anak untuk mengharapkan imbalan untuk melakukan

sesuatu yang diwajibkan orang tua.

b. Komunikasi

Yusuf (2009) mengungkapkan bahwa hubungan keluarga dimaknai

sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan

lingkungan keluarga. Komunikasi dalam keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak sehingga diperlukan komunikasi

dua arah untuk . Orang tua yang bersifat authoritarian membuat batasan

dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit

komunikasi verbal (Santrock, 2003). Musen (1983) mengemukakan bahwa

pola asuh otoriter mempunyai karakteristik terhalangnya komunikasi

(44)

c. Pemenuhan Kebutuhan

Keluarga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat

memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi

pengembangan kepribadian dan perkembangan. Menurut Ali &

Mohammad (2008) ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat

dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu

kebutuhan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk

menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan

mental. Perasaan secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian,

makanan, dan sarana lain yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan

tidak berada diluar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental

berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional,

menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.

Pada pola asuh otoriter pemenuhan kebutuhan anak sangat jarang

terpenuhi, apalagi yang menyangkut pemenuhan secara mental. Seringkali

orang tua lebih menunjukkan sikap menekan kebutuhan mental remaja dengan memberikan batasan-batasan tingkah laku. Musen (1983)

mengemukakan bahwa dalam pola asuh otoriter, orang tua menghalangi

harapan, permintaan serta kebutuhan anak.

d. Pandangan terhadap Remaja

Orang tua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu

(45)

standar-standar orang tua (Santrock, 2002). Orang tua pun memandang

remaja sebagai anak yang harus diatur oleh orang tua agar menjadi baik

dan harus patuh pada aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

3. Pengaruh Pola Asuh Otoriter bagi Remaja

Menurut Yusuf (2009) pengaruh dari karakteristik ”Parenting Style

dengan sistem authoritarianmengahasilkan profil perilaku anak yang mudah

tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah

stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas serta tidak bersahabat.

Latipun (2007) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa anak yang

dibesarkan dalam keluarga yang otoriter ini biasanya akan bersifat tenang,

tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang baik. Anak

akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain

(yang berkuasa orang tua). Dengan demikian kreativitas anak akan berkurang,

daya fantasinya kurang, dengan demikian mengurangi kemampuan anak

untuk berpikiran abstrak. Ditambahkan oleh Gunarsa (1985) bahwa cara

otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak. Inisiatif dan

aktivitas-aktivitasnya menjadi ”tumpul”.

Pengaruh dari sikap orang tua yang otoriter menurut Santrock (2003)

seringkali menyebabkan remaja merasa cemas akan perbandingan sosial,

tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi

yang rendah. Ali & Mohammad (2008) menambahkan akibat dari pola asuh

orang tua yang penuh dengan unjuk kuasa ini adalah timbul dan

(46)

mengambil inisiatif, tidak mengambil keputusan, dan tidak berani

memutuskan pilihan teman yang dianggap sesuai.Menurut Susilowati (2007)

mengakibatkan anak dan remaja cenderung tidak terlibat dalam masalah

perilaku dan menampilkan prestasi akademik yang baik di sekolah, tetapi

mengakibatkan tingkat depresi tinggi, rasa percaya diri dan kemampuan

sosial yang rendah.

Berbeda halnya dengan Ali & Mohammad (2008) yang menyatakan

bahwa dengan cara otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum,

mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orang tua tetapi

dibelakangnya ia akan memperlihatkan reaksi-reaksi menentang atau

melawan karena merasa dipaksa, misalnya saja perilaku-perilaku

menyimpang pada remaja.

Hardjana (1994) mengungkapkan dampak negatif yang mendatangkan

stres menuntut sumber daya orang yang terkena stres untuk mengatasinya.

Sumber daya yang terbatas tidak selalu mencukupi untuk mengatasi stres.

Dampak stres yang tidak mampu dihadapi dengan sumber daya yang ada, bisa

mengenai sistem biologis; sistem psikologis seperti mengganggu rasa aman, merendahkan harga diri, dan mengurangi percaya diri; serta sistem sosial

seperti menjauhkan diri dari sesamanya. Lain halnya dengan Mirowsky &

Catherine (2003) yang menyatakan hal berbeda, bahwa distres merupakan

suatu masalah bagi seseorang yang menderita seperti perilaku antisosial,

(47)

dimanifestasikan dalam berbagai bentuk sebagai dampak dari penerapan pola

asuh otoriter.

C. Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter pada Oang Tua

dengan Distres pada Remaja

Keluarga menurut Yusuf (2009) mempunyai peranan yang sangat penting

dalam upaya pengembangan pribadi anak. Keluarga juga merupakan lingkungan

mikro yang sangat penting bagi individu dan dapat menjadi pendorong bagi

kesehatan mental para anggota keluarganya jika situasinya baik, dan menjadi

penghambat bagi perkembangan kesehatan mental jika situasinya kurang baik

(Orford, 1992 dalam Latipun, 2007). Menurut Latipun (2007) kondisi keluarga

yang sehat dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan anggota keluarga

lainnya. Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat

gangguan mental bagi anak.

Pola pengasuhan merupakan hal yang dipandang sangat penting dalam

mewujudkan fungsi keluarga secara optimal. Fungsi keluarga adalah memberikan

keamanan, kenyamanan, pengasuhan, pendampingan, bimbingan, arahan, pendidikan dan stimulasi yang memberikan pondasi pada pembentukan fungsi

intelektual serta mental spiritual bagi anak. Yusuf (2009) menguraikan fungsi

dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan

mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta

kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut

(48)

untuk menumbuhkembangkan anak. Keberfungsian keluarga ini sangat tergantung

pada peranan orang tua sebagai pelaku utama dalam pola pengasuhan terhadap

anak.

Menurut Rice & Kim (2002) ada tiga komponen pola pengasuhan yang

dapat diidentifikasi. Ke tiga komponen tersebut meliputi hubungan, otonomi, serta

peraturan. Pola pengasuhan yang baik adalah yang memenuhi ketiga kompenen

tersebut serta hubungan antara ketiganya berjalan dengan baik. Hubungan

berkaitan dengan kasih sayang, keseimbangan, cinta, perhatian antara orang tua

dan anak. Hubungan tersebut memberikan perasaan aman yang memberi

kesempatan pada anak untuk menjelajahi dunia luar. Dalam hal ini ada kaitannya

dengan otonomi anak yaitu kebebasan mengungkapkan pendapat, memiliki

rahasia, dan membuat keputusan untuk diri sendiri. Peraturan yang diterapkan

juga hanya sebatas memperingatkan dan mengawasi tingkah laku serta

mengurangi tingkah laku yang kurang sesuai sehingga anak tetap merasa aman

dalam hubungannya dengan orang tua dan anak juga tidak terpaksa dan takut

dalam menjalankan peraturan tersebut.

Levin (1983) mengatakan bahwa orang tua dengan pola asuh otoriter menggabungkan kontrol yang tinggi dengan memberikan tekanan untuk patuh

padanya. Dalam hal ini, orang tua tidak membangun hubungan dengan remaja

serta mengambil kendali atas diri remaja. Dengan sikap demikian, remaja menjadi

tidak terbantu dalam pencapaian otonomi sehingga remaja mudah memiliki

permasalahan tingkah laku dan memiliki kesulitan menjadi seseorang yang

(49)

mempunyai kesempatan untuk belajar mengambil keputusan dan bertanggung

jawab atas keputusannya tersebut. Pada penetapan peraturan, orang tua dengan

pola asuh otoriter tidak memberikan alasan pada anaknya apa yang menjadi dasar

dalam pembuatan peraturan sehingga tidak membantu serta mendorong anak

dalam perkembangan pemikirannya dan merasakan keterpaksaan menjalankannya.

Fungsi intelektual pada remaja merupakan wujud dari karakteristik

perkembangan remaja yang abstrak, logis serta idealis sehingga dapat berjalan

dengan baik serta optimal. Fungsi intelektual yang abstrak, logis serta idealis akan

mendorong remaja dalam mempertanyakan kondisi yang dialami sebagai akibat

dari pola pengasuhan orang tuanya. Di satu pihak remaja harus tunduk dan patuh

mengikuti kehendak orang tua. Di pihak lain tidak ada kesempatan dalam

mengungkapkan ide, gagasan, bahkan perasaannya. Tidak mengherankan bila

remaja seringkali terlihat membingungkan serta menjengkelkan dengan segala

tingkah lakunya yang merupakan suatu bentuk kompensasi dari ketidaknyamanan

dan ketidakmengertian remaja terhadap dirinya sendiri dengan keharusan

mewujudkan harapan orang tua (Hurlock, 2006).

Kondisi antara pola pengasuhan otoriter dan perkembangan karakteristik pada remaja adalah berlawanan sehingga menimbulkan ketegangan perasaan

sehingga akan memicu timbulnya perasaan ketertekanan dalam diri remaja.

Menurut Hurlock (2006) keadaan tersebut membawa dampak terhadap

perkembangan emosinya dalam menanggapi perubahan-perubahan yang

(50)

Kondisi stres yang tidak terkendali memunculkan kondisi yang lebih

buruk dari yang sebelumnya. Brecht (2000) menuliskan sebuah survei yang

dilakukan Better Health Commision pada akhir tahun 1980-an terhadap 10.000

orang Australia, menunjukkan bahwa lebih dari 65% penduduk tidak tahu

bagaimana menangani atau mengendalikan stres, atau merasa bahwa mereka tidak

punya kemampuan untuk itu. Jika remaja tidak mampu mengatasi kondisi stres

yang dialami, maka dapat menimbulkan dampak buruk bagi remaja, yaitu

melemahnya kondisi fisik, psikologis, emosional, maupun sosial. Kondisi

demikian dinamakan sebagai kondisi distres.

Menurut Mirowsky & Catherine (2003) distres merupakan salah satu

konsekuensi utama dari suatu perenggangan hubungan. Pola asuh otoriter

merupakan bentuk pola pengasuhan yang dapat memicu perenggangan hubungan

antara orang tua dan anak. Rowe & Walter (1993) memperkuat dengan

menyatakan pendapatnya bahwa stressor secara psikologis dicantumkan dalam

DSM-III-R yang salah satunya disebabkan karena pola pengasuhan dari orang tua.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh otoriter kurang atau

(51)

Distres D. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah:

Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja

E. HIPOTESIS

Berdasarkan landasan teori di atas maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah “Ada Hubungan Positif antara Penerapan Pola Asuh Otoriter

Orang Tua dengan Distres pada Remaja”. Semakin tinggi penerapan pola asuh

otoriter oleh orang tua maka semakin tinggi kemungkinan remaja mengalami

distres.

Penerapan Pola

Asuh Otoriter

Orang Tua

Pada

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :

Variabel bebas : Pola Asuh Otoriter

Variabel tergantung : Distres

B. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Distres

Distres merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan di mana

individu tidak mampu mengatasi maupun mengubah kondisi stres yang

dialami sehingga memunculkan kondisi yang mengarah ke dalam kondisi

yang lebih buruk dari sebelumnya, meliputi gejala fisik, emosional,

intelektual, kecemasan, depresi, serta gangguan sosial.

Pengukuran tingkat distres yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner distres, yaitu General Health Questionnaire(GHQ)

dari Goldberg (1972 dalam McDowell & Claire, 1996) versi 60 yang

dimodifikasi oleh peneliti. GHQ-60 mengungkap empat elemen dalam

mengidentifikasi kondisi dari distres yang meliputi gejala somatik, kecemasan

dan insomnia, disfungsi sosial dan depresi umum. Apabila skor yang

(53)

Sebaliknya bila skor yang diperoleh rendah mengindikasikan bahwa subjek

tidak mengalami kondisi distres atau tingkat distresnya rendah.

2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk pola pengasuhan orang tua

dengan menerapkan peraturan serta batasan-batasan yang keras dan tegas,

adanya kontrol yang tinggi, serta tuntutan orang tua terhadap anak. Orang tua

memegang kekuasaan tertinggi dalam menetapkan suatu keputusan, sehingga

seorang anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya

sehubungan dengan aturan yang telah ditetapkan.

Pengukuran pola asuh otoriter yang digunakan dalam penelitian ini

dibuat sendiri oleh peneliti dengan menggunakan karakteristik pola asuh

otoriter dari (Hurlock, 2002; Musen, 1984; Yusuf, 2009; Santrock, 2003; Ali,

2008) yang didasarkan pada masing-masing aspek pola asuh dari Kohn

(1971), yaitu pemberian disiplin, komunikasi, pemenuhan kebutuhan dan

pandangan terhadap remaja. Variabel ini diungkap dengan Skala Pola Asuh

Otoriter. Apabila skor yang diperoleh tinggi mengindikasikan adanya

penerapan pola asuh otoriter, sebaliknya bila skor yang diperoleh subjek rendah mengindikasikan rendahnya atau tidak adanya penerapan pola asuh

(54)

C. Populasi, Sampel dan Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi SMA N 1

Muntilan. Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh

siswa-siswi SMA N 1 Muntilan mulai dari kelas X.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling,

yaitu pemilihan sampel sesuai dengan yang dikehendaki (Latipun, 2004).

Pemilihan sampel didasarkan atas kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh

peneliti, meliputi hal sebagai berikut:

1. Sampel mempunyai kedua orang tua yang masih lengkap,

2. Sampel mendapat penerapan pola asuh otoriter dengan kategori sedang

sampai tinggi.

Berikut ini merupakan proses sampling pada penelitian yang akan

dilakukan:

Mula-mula diberikan skala mengenai penerapan pola asuh otoriter orang

tua yang otoriter pada semua populasi. Kriteria penilaian skala mengindikasikan

adanya penerapan pola asuh otoriter orang tua dengan kategori sedang sampai

tinggi. Pengambilan sampel dilakukan pada subjek yang telah memenuhi ciri-ciri tersebut di atas. Sampel yang telah ditetapkan kemudian diberikan kuesioner

(55)

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua macam skala, yaitu kuesioner distres dan

skala penerapan pola asuh otoriter. Kedua skala dipisahkan menjadi pernyataan

favorabledan pernyataanunfavorable.

Penilaian yang digunakan dalam kuesioner distres menggunakan

modifikasi skala yang sifatnya dikotomus, yaitu yang terdiri atas dua alternatif

jawaban. Dalam hal ini, peneliti menggunakan alternatif jawaban ”Ya” dan

”Tidak”. Berikut di bawah ini merupakan distribusi penilaian untuk kuesioner

distres:

Tabel 3. 1

Penilaian PernyataanFavorabledan PernyataanUnfavorable

Untuk Kuesioner Distres dari Goldberg (1972)

Alternatif Jawaban Favourable Unfavourable

Ya 1 0

Tidak 0 1

Penilaian yang digunakan dalam skala penerapan pola asuh otoriter

menggunakan modifikasi skala Likert dengan empat kategori jawaban yaitu

sebagai berikut:

Tabel 3. 2

Penilaian PernyataanFavorabledan PernyataanUnfavorable

Untuk Skala Penerapan Pola Asuh Otoriter

Alternatif Jawaban Favourable Unfavourable

SS (Sangat Sesuai) 3 0

S (Sesuai) 2 1

Gambar

Gambar 2.1Model yang Menunjukkan Hubungan antara Pemindahan Hak,
gambaran mengenai kondisi distres yang dialami sebagai akibat dari pola
gambaranklinis
Gambar 2. 1 Model yang Menunjukkan Hubungan antara Pemindahan Hak,Otoriter, dan Ketidakadilan dengan Kedudukan Sosial dan Distres.Sumber: Mirowsky & Catherine (2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.. Penelitian deskriptif komparatif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying pada remaja dengan pola asuh otoriter orangtua, serta untuk mengetahui perbedaan perilaku

Hubungan antara Pola Asuh Otoriter Orangtua Dengan Perilaku Bermain Game Online Pada Remaja ... Metode Penelitian Yang

Peran pola asuh otoriter sebagai variabel X signifikan dalam mempengaruhi kecemasan sosial pada remaja, sehingga hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh pola asuh

Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orang tua dengan kecemasan anak

Adapun hipotesis penelitian yang diharapkan pada penelitian ini adalah ada hubungan pola asuh orang tua dengan pencapaian tugas perkembangan remaja di SMA Negeri 1

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan pola asuh otoriter orang tua dan sikap terhadap bullying pada siswa SMA kelas XI di SMA Negeri 5

Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja di SMA Akselarasi Jakarta.. Hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional remaja di SMA Katolik