• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI EKONOMI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA KEBUN KINA BUKIT UNGGUL

KABUPATEN BANDUNG

LISTIANA WIDYA WANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

LISTIANA WIDYA WANTI. Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan BAMBANG JUANDA.

Lebih dari beberapa dekade, pariwisata tumbuh secara kontinyu dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Pariwisata di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. PT Perkebunan Nusantara VIII (PT PN VIII) berupaya mengembangkan potensi agrowisata yang ada di setiap unit kebun. Kebun Bukit Unggul adalah salah satu kebun milik PT PN VIII. Kebun Bukit Unggul mengembangkan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul pada tahun 2009.

Sebagai tujuan wisata objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul memiliki manfaat intangible dan memiliki sifat barang publik yaitu rivalry, non-excludability, dan congestible. Ciri pokok dari barang publik ditentukan oleh tidak adanya mekanisme pasar dan harga. Ketidakmampuan pasar dalam menilai wisata alam secara kuantitatif menyebabkan barang lingkungan sering tidak dihargai atau sering dinilai dengan nilai yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Hal ini membuat alokasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk wisata alam belum optimal. Sehingga penilaian ekonomi barang publik yang sering dinyatakan sebagai barang bebas (free goods) ini membutuhkan suatu pendekatan tertentu. Pendekatan terhadap harga ini kemudian digunakan untuk mengestimasi besarnya permintaan, manfaat (benefit) atau surplus konsumen. Salah satu teknik untuk menilai barang-barang non-pasar ini adalah model biaya perjalanan (travel cost method) Selama ini belum pernah dilakukan penilaian ekonomi terhadap Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, sehingga belum diketahui nilai ekonomi dari objek wisata ini. Selain itu pergantian pimpinan di unit kebun ini juga menyebabkan perubahan strategi dan manajemen terhadap wisata kebun.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi karakteristik wisatawan dan penilaian wisatawan terhadap keberadaan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan (frekuensi kunjungan) dan mengestimasi nilai ekonomi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, dan (3) memformulasi strategi pengembangan wisata di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Untuk mengidentifikasi karakteristik pengunjung dan penilaian pengunjung terhadap Wisata Kebun Kina Bukit Unggul digunakan analisis deskriptif. Untuk mengestimasi nilai ekonomi wisata digunakan teknik Travel Cost Method (TCM), sedangkan untuk memformulasikan strategi pengembangan wisata digunakan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP).

(6)

terhadap objek wisata ini, akses menuju lokasi kurang mudah, kondisi fisik objek wisata cukup baik, pemandangan alamnya indah, objek wisatanya cukup bersih, cukup aman dan petugasnya cukup ramah. Namun fasilitas yang ada kurang lengkap.

Hasil analisis permintaan wisata menunjukkan permintaan (frekuensi kunjungan) ke Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul dipengaruhi positif oleh faktor pendapatan wisatawan per bulan dan lama mengetahui lokasi objek wisata, serta dipengaruhi negatif oleh jarak yang ditempuh wisatawan. Faktor biaya perjalanan tidak responsif terhadap biaya perjalanan. Bagi wisatawan yang berkunjung ke Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, biaya perjalanan bukanlah faktor yang utama, karena biaya perjalanan ke objek wisata ini cukup murah terutama bagi warga daerah Bandung Raya yang merupakan pengunjung utama objek wisata ini.

Surplus konsumen yang mengggambarkan manfaat bersih yang diperoleh wisatawan dari kegiatan rekreasi di Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul per kunjungan pada model permintaan wisata ini sebesar 333.400. Surplus konsumen tiap tahun yang menggambarkan nilai ekonomi dari Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul adalah sebesar Rp 2.216.109.800 setiap tahunnya.

Strategi yang paling tepat (prioritas pertama) untuk mengembangkan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul adalah meningkatkan promosi wisata. Strategi lainnya yang dapat menjadi back-up berturut-turut berdasarkan prioritas adalah memperbaiki sarana dan prasarana wisata, meningkatkan kualitas wisata, mengembangkan wisata berbasis pendidikan dan mencegah kerusakan dan kehancuran lokasi wisata. Formulasi tersebut dapat diterima karena memiliki inconsistency rasio < 0,10, yaitu 0.

(7)

SUMMARY

LISTIANA WIDYA WANTI. Analysis of Economic Value and Development Strategy of Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul in Bandung Regency. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and BAMBANG JUANDA.

For the last several decades, tourism has continuously grown and become one of the economic sectors with the fastest growth in the world. The tourism in Indonesia also shows an increasing trend, and many potential areas have been developed into tourist sites. PT Perkebunan Nusantara VIII (PT PN VIII) with its quinine plantations is no exception, where it has made every effort to develop the potential of its agrotourism in each unit of the plantations. Bukit Unggul Plantation--one of PT PN VIII plantations--started developing Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul in 2009.

As tourist destination, Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul has intangible benefits and it is public goods, namely non-rivalry, non-excludability, and non-congestion. The main characteristics of public goods is the absence of market mechanism and prices. The market inability in estimating natural tourism quantitatively has resulted in the lack of appreciation for environment properties (undervalue). This makes the allocation of natural resources utilization in form of natural tourism still far from optimal. Therefore, the economic estimation for this public goods often regarded as free good requires a certain approach. This price approach is then used to estimate the demand, benefit, or consumer surplus. One of the techniques in estimating these non-market goods is by using travel cost method. The economic estimation of Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul has never been conducted before, so that the economic value has not been revealed. In addition, the change in leadership in the plantation unit has caused the change in strategy and management of the tourist site.

(8)

destination was good, the views were beautiful, the environment was clean and safe, and the officers were friendly. However, the existing facilities were not complete.

The analysis result of tourist demand showed that the demand or the visit frequency was positively influenced by the visitors’ monthly income and the time when they first knew about the site, but was negatively influenced by the distance they had to cover to get to the site. However, the travel cost factor was not responsive to the travel cost. For the people visiting Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul, the travel cost was not the main factor since it was relatively cheap, particularly for the visitors from the Greater Bandung area, who were the main visitors.

The surplus of consumer per visit based on the model of tourist demand was 333,400. This means the net benefit obtained by tourists from Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul was RP 333,400. The yearly surplus of consumer was Rp 2,216,109.800. The economic value of Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul was Rp 2,216,109.800 per year.

The most appropriate strategy or the first priority to develop the tourist destination of Quinine Plantation Tourism of Bukit Unggul was by increasing the promotion. Another strategy as back up based on the priority are respectively the improvement of facilities and infrastructure, the improvement of tourism quality, the development of education-based tourism, and the prevention of the destruction of tourism site. The formulation was acceptable since it has inconsistency ratio >0.10, namely 0.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

LISTIANA WIDYA WANTI

ANALISIS NILAI EKONOMI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA KEBUN KINA BUKIT UNGGUL

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung

Nama : Listiana Widya Wanti

NIM : H351100054

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc,Agr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah Analisis Nilai Ekonomi dan Strategi Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul Kabupaten Bandung.

Terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan.

3. Suami, anak, ibu, bapak, adik dan seluruh keluarga penulis yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini atas semua doa dan bantuan lainnya. 4. Teman-teman ESL angkatan 2010, 2011 dan 2012.

5. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini disadari atau tidak disadari.

Terakhir, penulis juga mohon maaf jika ada pihak-pihak yang merasa terbebani dan terganggu dengan proses pembuatan dan hasil tugas akhir ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kebaikan yang benar, amin.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1  PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 5 

Tujuan Penelitian 7 

Manfaat Penelitian 7 

2  TINJAUAN PUSTAKA 9

Ekonomi Wisata 9 

Objek Wisata Sebagai Barang Publik 9 

Penawaran dan Permintaan Wisata 11 

Nilai Ekonomi Wisata 12 

Willingness to Pay 12 

Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan 13 

Travel Cost Method 14 

Pendekatan Analisis Hirarki Proses 16 

Penelitian Terdahulu 18 

3  METODE PENELITIAN 20 

Kerangka Pemikiran 20

Waktu dan Tempat Penelitian 23 

Jenis dan Sumber Data 23 

Metode Pengambilan Sampel 24 

Metode Analisis Data 25

4  GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 32 

Sejarah 32 

Kondisi Alam 32 

Manajemen Kebun dan Karyawan 33 

Potensi Wisata Kebun 33

5  KARAKTERISTIK DAN PENILAIAN WISATAWAN TERHADAP

WISATA KEBUN KINA BUKIT UNGGUL 35 

Karakteristik Wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul 35 

Usia 35 

Tingkat Pendidikan 35 

Jenis Pekerjaan 36 

Pendapatan Per Bulan 37 

Status Pernikahan 37 

Jumlah Tanggungan 38 

Daerah Asal 38 

Lama Mengetahui Lokasi 39 

Frekuensi Kunjungan dalam Waktu 1 Tahun 39 

(16)

Waktu Tempuh Menuju Lokasi 41 

Tujuan Kunjungan 41 

Cara Kedatangan 42 

Kendaraan yang Digunakan 43 

Jumlah Rombongan 43 

Informasi Objek Wisata 44 

Penilaian Wisatawan terhadap Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul 45 

Daya Tarik Objek Wisata 45 

Kemudahan Mencapai Lokasi 46  

Kondisi Fisik Objek Wisata 47 

Pemandangan Alam 47 

Kebersihan 48 

Keamanan 48 

Keramahan 49 

Kelengkapan Fasilitas 49

6  FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN

(FREKUENSI KUNJUNGAN) DAN NILAI EKONOMI WISATA KEBUN

KINA BUKIT UNGGUL 51 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan (Frekuensi Kunjungan) 51 

Uji Statistik 51 

Faktor-Faktor Penentu Frekuensi Kunjungan 52  Nilai Ekonomi Wisata Kebun Kina Kina Bukit Unggul 54 7  STRATEGI PENGEMBANGAN OBJEK WISATA KEBUN KINA BUKIT

UNGGUL 56 

Hierarki Strategi Pengembangan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul 56 

Hasil Pengolahan AHP 58 

Pengolahan Horizontal 58 

Unsur Faktor terhadap Tujuan 58 

Unsur Strategi terhadap Faktor 60 

Pengolahan Vertikal 61 

Unsur Strategi terhadap Tujuan 61 

8  SIMPULAN DAN SARAN 64 

Simpulan 64 

Saran 65 

(17)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan wisatawan mancanegara tahun 2008 – 2012 1 2 Perkembangan wisatawan nusantara tahun 2008 – 2012 2 3 Frekuensi kunjungan wisatawan ke Objek Wisata di Jawa Barat

menurut kabupaten/kota tahun 2011 4

4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 24

5 Nilai skala perbandingan berpasangan 28

6 Contoh matriks perbandingan berpasangan 29

7 Nilai RI (random index) 30

8 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan usia 35 

9 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan tingkat pendidikan 36 

10 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan jenis pekerjaan 36 

11 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan pendapatan per bulan 37 

12 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan status pernikahan 38 

13 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul berdasarkan jumlah tanggungan keluarga 38  14 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan daerah asal 39 

15 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan lama mengetahui lokasi 39 

16 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul berdasarkan frekuensi kunjungan dalam waktu 1 tahun 40  17 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan jarak tempuh menuju lokasi 40  18 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan jarak tempuh dan frekuensi kunjungan dalam 1 tahun 41  19 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan waktu tempuh menuju lokasi 41  20 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan tujuan kunjungan 42 

21 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul berdasarkan tujuan kunjungan dan frekuensi kunjungan dalam 1 tahun 42  22 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan cara kedatangan 43 

23 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan kendaraan yang digunakan 43 

24 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan jumlah rombongan 44 

25 Karakteristik wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

berdasarkan informasi objek wisata 44

26 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

(18)

27 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap daya tarik objek wisata berdasarkan frekuensi kunjungan dalam 1 tahun 46  28 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

kemudahan mencapai lokasi 46 

29 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

kondisi fisik objek wisata 47 

30 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

pemandangan alam 48 

31 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

kebersihan 48 

32 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

keamanan 49 

33 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

keramahan 49 

34 Penilaian wisatawan Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terhadap

kelengkapan fasilitas 50 

35 Penilaian wisatawan terhadap Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul 50 36 Koefisien regresi untuk masing-masing variabel 52 37 Bobot dan prioritas unsur faktor terhadap tujuan 59 38 Bobot unsur strategi terhadap setiap faktor 60 39 Bobot dan prioritas unsur strategi terhadap tujuan 62

DAFTAR GAMBAR

1 Klasifikasi valuasi non-market 14 

2 Diagram alir kerangka pemikiran 22 

3 Denah lokasi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul 23  4 Model hierarki strategi pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit

Unggul 28 

5 Bobot hasil pengolahan AHP 61 

 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Grafik sebaran poisson jumlah kunjungan ke Objek Wisata Kebun Kina

Bukit Unggul 68 

(19)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut World Tourism Organization (2014) selama beberapa dekade, pariwisata tumbuh secara kontinyu dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Kecenderungan ini juga tampak di Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata dunia. Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) (2011) menunjukkan total transaksi ekonomi yang dihasilkan kegiatan pariwisata mencapai Rp. 296,97 triliun. Kontribusi pariwisata pada produk domestik bruto (PDB) adalah 4,00 persen, dan pada tenaga kerja sebesar 7,75 persen.

Pariwisata di Indonesia telah dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi penting. Bahkan sektor ini diharapkan akan dapat menjadi penghasil devisa nomor satu. Industri pariwisata sering dianggap sebagai jawaban untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi Indonesia. Kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh sektor non-migas yang menurun, impor yang naik, dan pembangunan ekonomi yang timpang, dipandang akan dapat diatasi dengan industri pariwisata karena industri pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja baru yang jelas akan dapat memberikan lebih banyak peluang ekonomi, di samping juga dapat menjadi sarana untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan dan mendorong pembangunan ekonomi regional (Suwantoro, 2004).

Pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata di Indonesia maupun di mancanegara menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Tabel 1 menunjukkan perkembangan wisatawan mancanegara dari tahun 2008 sampai tahun 2012. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2014, terjadi peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari 6.234.497 kunjungan pada Tahun 2008 menjadi 8.044.462 kunjungan pada Tahun 2012, dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 13,24 persen. Penerimaan devisa juga mengalami kenaikan dari 7.347,6 USD pada tahun 2008 menjadi 9.120,85 USD pada tahun 2012, dengan kenaikan tertinggi mencapai 37,44 persen.

Tabel 1 Perkembangan wisatawan mancanegara tahun 2008– 2012

Tahun

(20)

2

Demikian pula dengan kunjungan wisatawan nusantara juga mengalami peningkatan. Kunjungan wisatawan pada tahun 2008 sebesar 225.041.000 orang dengan total pengeluaran Rp. 123,17 triliun. Pada Tahun 2012 menjadi 245.290.000 orang dengan total pengeluaran mencapai Rp. 171,70 triliun. Hal ini menunjukkan sektor pariwisata merupakan pilihan usaha yang prospektif untuk terus dikembangkan. Tabel 2 terlihat perkembangan wisatawan nusantara dari tahun 2008 sampai tahun 2012.

Tabel 2 Perkembangan wisatawan nusantara tahun 2008 – 2012

Tahun Perjalanan

Sumber : Pusdatin Kemenparekraf & BPS (2014) Keterangan : *) Angka estimasi

Menurut Kementerian Pertanian (2004) Indonesia memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat beragam yang jika dikelola dengan tepat, kekayaan tersebut mampu diandalkan menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di wilayah Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan komoditas tropis dan sebagian sub tropis pada ketinggian antara nol sampai ribuan meter di atas permukaan laut. Komoditas pertanian (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan) dengan keragaman dan keunikannya yang bernilai tinggi serta diperkuat oleh kekayaan kultural yang sangat beragam mempunyai daya tarik kuat sebagai wisata agro.

Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi sebagian masyarakat negara maju dan masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu kebutuhan sebagai akibat meningkatnya pendapatan, aspirasi dan kesejahteraannya. Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan hortikultura di samping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha di bidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.

(21)

3 pengolahan/produksi, dan penjualan komoditi perkebunan teh, karet, kelapa sawit, kina, dan kakao.1

Sebagai perusahaan yang dituntut untuk menghasilkan profit, PT Perkebunan Nusantara VIII tidak hanya mengandalkan berbagai komoditi sebagai core business-nya. Di luar itu, manajemen perusahaan berupaya mengembangkan potensi agrowisata yang ada di setiap unit kebun. Apalagi hampir keseluruhan wilayahnya berada di tanah pegunungan Jawa Barat yang memiliki keindahan eksotik sebagai tempat wisata. Ada beberapa tempat wisata di PT Perkebunan Nusantara VIII yang sudah cukup dikenal, baik oleh masyarakat dalam negeri maupun luar negeri, antara lain: Agrowisata Gunung Mas, Rancabali, Malabar, Ciater (Sukawana), dan Goalpara (Pasir Badak)2.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah untuk dikunjungi. Jawa Barat memiliki obyek wisata yang beragam baik wisata alam, seni budaya maupun sejarah. Visi Jawa Barat dalam bidang pariwisata adalah terwujudnya Jawa Barat sebagai daerah budaya dan tujuan wisata andalan. Jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3. Kabupaten Bandung menduduki peringkat pertama sebagai kabupaten dengan jumlah tertinggi dalam kunjungan wisatawan ke objek wisata yaitu sebesar 14,28%.

Kebun Bukit Unggul merupakan salah satu unit bisnis PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) yang terletak di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Core business Kebun Bukit Unggul adalah komoditi kina (Cinchona succirubra), di samping usaha lain yang dikembangkan sesuai potensi kebun. Kantor Induk Kebun Bukit Unggul terletak di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Kebun Bukit Unggul berjarak 17 km dari Lembang dan 12 km dari Ujungberung. Pusat kebun dibatasi oleh Gunung Pangparang, Gunung Bukittunggul, Gunung Manglayang dan Gunung Palasari3. Kebun Bukit Unggul memiliki pemandangan yang indah dan udara yang sejuk.

Produksi kina sebagai bahan obat-obatan di Kabupaten Bandung semakin menyusut akibat pemeliharaan yang sangat minim dan berkurangnya luas lahan tanam perkebunan4. Tanaman Kina yang dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII seluas 683,25 Ha. Saat ini, di Kebun Bukit Unggul peremajaan tanamannya lebih bersifat replanting (penanaman kembali) dimana setiap tahunnya dilakukan rata-rata 50 hektare. Tanaman kina tanaman belum menghasilkan (TBM) rata-rata-rata-rata mencapai tujuh tahun, sedangkan baru dapat dipanen pada umur delapan tahun5. Kulit kina kering dari Bukit Unggul diproses menjadi SQ-7 yaitu garam kina yang mengandung Quinine sulphate, Quinine bisulphate, dan kandungan lain. Kini

1

http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=4&id=16&I temid=69 Tentang Kami 2 Januari 2013

2

http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=6&id=22&I temid= Produk Agrowisata 26 Oktober 2013

3Selayang Pandang Kebun Bukittunggul PTP Nusantara VIII (Persero), 1 April 2012

4http://epaper.bisnis.com, Produksi Kina Jabar Anjlok, Yanto Rachmat Iskandar, 30

Agustus 2013

5

(22)

4

produksinya dilakukan oleh PT. Sinkona Indonesia Lestari (PT.SIL). Produk perusahaan ini diekspor ke Eropa, Kanada dan Amerika6.

Tabel 3 Jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2011

Nusantara Jumlah Presentase

Kabupaten

Sumber : Jawa Barat dalam Angka 2012

Dengan memperhatikan kondisi yang ada, maka untuk menjaga kelangsungan usaha dalam jangka panjang serta mempertahankan kemampuan perusahaan sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar

(23)

5 perkebunan, Kebun Bukit Unggul mempunyai program investasi yang salah satunya adalah pengembangan wisata kebun7. Pada tahun 2009 Kebun Bukit Unggul mengembangkan objek wisata yang diberi nama Agrowisata Kebun Kina Bukittunggul.

Berbagai macam kegiatan seperti olah-raga, petualangan, dan objek wisata edukasi (pendidikan) dapat diperoleh di lokasi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Objek wisata dan fasilitas yang tersedia cukup lengkap dan nyaman untuk dinikmati. Wisata Kebun Kina Bukit Unggul menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan lokasi wisata lainnya, dengan mengusung tema wisata pendidikan dengan kondisi geografis alam yang berbukit dan bergelombang, memiliki pemandangan alam atau panorama indah. Alam pegunungan dengan ketinggian antara 1200-1500 dpl, sehingga objek wisata ini memiliki udara yang sejuk dan alami.

Perumusan Masalah

Wisata Kebun Kina Bukit Unggul menawarkan atraksi wisata antara lain : Curug Serta Situ di lingkungan Emplasemen Bukit Unggul, Situ Sangkuriang, Area Camping Ground, dan Saung Tenjo Gunung. Selain menikmati keindahan alam, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas wisata antara lain outbond, motocross, api unggun, hiking, sepak bola dan camping. Kelebihan lain yang terdapat di obyek wisata ini adalah pemandangan yang indah, udara yang sejuk, dan jalanan yang bebas macet.

Wisata Kebun Kina Bukit Unggul terletak di desa Cipanjalu Kabupaten Bandung, merupakan penghubung antara Lembang (Kabupaten Bandung Barat) dan Ujungberung (Kota Bandung). Jalan menuju tempat wisata ini dapat dikatakan tidak terlalu bagus, sehingga sangat jarang dilalui oleh kendaraan. Akibatnya tidak banyak masyarakat luar yang mengetahui tempat wisata ini. Pengunjung yang baru pertama kali datang ke Wisata Kebun Kina Bukit Unggul biasanya mengetahui tempat wisata ini karena tidak sengaja melewati jalan penghubung antara Lembang dan Ujungberung. Sedangkan pengunjung yang sudah beberapa kali ke tempat wisata ini tertarik datang kembali karena daya tarik wisata yang ada di tempat ini.

Tempat wisata ini awalnya bernama Agrowisata Kebun Kina Bukittunggul. Nama Agrowisata dicantumkan karena selain dapat menikmati pemandangan yang indah, wisatawan juga dapat memperluas pengetahuan tentang tanaman kina dan pengolahannya. Agrowisata Kebun Kina Bukittunggul pada tahun 2013 berganti nama menjadi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Nama agrowisata dihilangkan karena fasilitas untuk berkunjung ke tempat pengolahan kina dihapuskan untuk wisatawan umum.

Sebagai salah satu media promosi, Wisata Kebun Kina Bukit Unggul pernah memiliki website, namun saat ini media tersebut sudah tidak dapat diakses lagi. Saat ini dapat dikatakan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul tidak memiliki media promosi yang efektif, yang ada hanya penunjuk arah ke Wisata Kebun Kina Bukit Unggul yang terletak di daerah sekitar Lembang dan Ujung Berung. Padahal

7

(24)

6

dalam pengembangan pariwisata, sarana dan prasarana serta promosi merupakan hal yang tidak kalah penting dibandingkan atraksi wisata itu sendiri.

Pada awal dibukanya tempat wisata ini, pengelola menggratiskan tarif masuk, jumlah wisatawan yang datang ke tempat ini sangat banyak, terlebih pada saat akhir pekan atau hari libur. Wisatawan didominasi oleh wisatawan yang jarak tempat tinggalnya dekat dengan tempat wisata. Masyarakat yang tinggal di dalam komplek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul memperoleh manfaat, salah satunya adalah dapat berjualan di dalam komplek sehingga menambah penghasilan bagi masyarakat sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor wisata memberi dampak perluasan lapangan usaha, kesempatan kerja, dan peningkatan income per kapita.

Seperti yang dipaparkan oleh Spillane (1991) bahwa ada beberapa keuntungan yang ditimbulkan oleh industi pariwisata. Pertama, pariwisata membuka kesempatan kerja. Industri pariwisata merupakan kegiatan mata rantai yang sangat panjang, sehingga banyak membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Kedua, pariwisata menambah pemasukan/pendapatan masyarakat daerah. Di daerah pariwisata tersebut masyarakat dapat menambah pendapatan dengan menjual barang dan jasa.

Pada tahun 2011 Wisata Kebun Kina Bukit Unggul resmi dibuka dengan tarif tertentu. Pada tahun tersebut, jumlah pengunjung objek wisata ini berkisar antara 12.000 – 28.000 orang setiap bulannya. Seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya Administratur Kebun Bukit Unggul, kebijakan pariwisata di tempat ini juga mengalami beberapa perubahan. Wisatawan yang datang ke tempat wisata ini jumlahnya berkurang. Pada tahun 2013, wisatawan yang datang setiap bulannya berkisar antara 500-1000 orang. Padahal harga tiket masuk di tempat wisata ini sebesar Rp. 5000, dapat dikatakan murah apabila dibandingkan dengan tempat wisata lain. Apabila jumlah pengunjung sedikit maka masyarakat sekitar perkebunan kurang mendapatkan manfaat dari segi ekonomi. Padahal salah satu tujuan dibukanya Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul ini adalah untuk menjaga kelangsungan usaha dalam jangka panjang serta mempertahankan kemampuan perusahaan sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar perkebunan8.

Memperhatikan kondisi yang ada dan adanya perubahan jumlah pengunjung yang cukup significant ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai bagaimana sebenarnya karakteristik wisatawan yang berkunjung di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul dan bagaimana penilaian wisatawan terhadap objek wisata ini. Selain itu juga perlu dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi kunjungan ke Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

Upaya pemanfaatan Kebun Bukit Unggul melalui kegiatan wisata dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Nilai ekonomi setiap tahun yang dapat diperoleh dari pemanfaatan Kebun Bukit Unggul sebagai objek tujuan wisata belum diketahui. Nilai ekonomi dari suatu objek wisata tidak dapat dinilai dari perolehan penjualan tiket semata. Manfaat wisata secara umum merupakan non-market public goods. Sehingga sulit untuk mengevaluasi nilai ekonominya (Chen et al, 2004). Ketidakmampuan pasar dalam menilai wisata alam secara kuantitatif menyebabkan barang lingkungan sering tidak dihargai atau sering dinilai dengan

8Selayang Pandang Kebun Bukittunggul PTP Nusantara VIII (Persero), 1 April

(25)

7 nilai yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Hal ini membuat alokasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk wisata alam belum optimal, sehingga penilaian ekonomi barang publik yang sering dinyatakan sebagai barang bebas (free goods) ini membutuhkan suatu pendekatan tertentu. Pendekatan terhadap harga ini kemudian digunakan untuk mengestimasi besarnya permintaan, manfaat (benefit) atau surplus konsumen. Apabila nilai ekonomi dari objek wisata ini diketahui maka dapat diketahui pula apakah secara ekonomi objek wisata ini layak dikembangkan atau tidak.

Selanjutnya, strategi bagaimana yang mesti dilakukan oleh pengelola Wisata Kebun Kina Bukit Unggul agar tujuan dari dibukanya kebun wisata ini dapat terwujud dan dapat berjalan dengan optimal tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang.

Berdasarkan hal tersebut, masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik wisatawan dan penilaian wisatawan terhadap keberadaan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan (frekuensi kunjungan) dan berapa nilai ekonomi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul?

3. Bagaimana strategi pengembangan wisata di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis ekonomi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik wisatawan dan penilaian wisatawan terhadap keberadaan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan (frekuensi kunjungan) dan mengestimasi nilai ekonomi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

3. Memformulasi strategi pengembangan wisata di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

Manfaat Penelitian

1. Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai bahan referensi untuk kajian penelitian yang berhubungan dengan nilai ekonomi lingkungan objek wisata.

2. Stakeholder

Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi bagi para stakeholder setempat seperti PT Perkebunan Nusantara VIII dan Dinas Pariwisata serta sebagai masukan dalam kebijakan pengelolaan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

3. Masyarakat

(26)

8

(27)

9

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ekonomi Wisata

Pariwisata merupakan suatu bentuk ekspor yang dianggap menguntungkan, terutama bagi ekonomi nasional suatu negara. Keinginan untuk meningkatkan pengembangan pariwisata di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah makin berkurangnya peranan minyak sebagai penghasil devisa jika dibandingkan dengan waktu lalu; kedua merosotnya nilai ekspor Indonesia di sektor-sektor nonminyak; ketiga prospek pariwisata yang tetap memperlihatkan kecenderungan meningkat secara konsisten; dan keempat besarnya potensi yang dimiliki bagi pengembangan pariwisata di Indonesia (Spillane, 1991).

Lebih lanjut Spillane (1991) memaparkan bahwa ada beberapa keuntungan yang ditimbulkan oleh industi pariwisata. Pertama, pariwisata membuka kesempatan kerja. Industri pariwisata merupakan kegiatan mata rantai yang sangat panjang, sehingga banyak membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Kedua, pariwisata menambah pemasukan/ pendapatan masyarakat daerah. Di daerah pariwisata tersebut masyarakat dapat menambah pendapatan dengan menjual barang dan jasa. Misal: restoran, hotel, biro perjalanan, pramuwisata, dan barang-barang suvenir. Ketiga, pariwisata menambah devisa negara. Dengan makin banyaknya wisatawan asing yang datang ke Indonesia maka akan semakin banyak devisa yang diterima. Keempat, pariwisata menunjang gerak pembangunan di daerah. Di daerah pariwisata banyak timbul pembangunan jalan, hotel, restoran dan lain-lain, sehingga pembangunan di daerah itu lebih maju.

Menurut Soekadijo (2000) ada bermacam-macam dampak pariwisata. Pertama, pariwisata menyumbang kepada neraca pembayaran. Karena wisatawan membelanjakan uang yang diterima di negara yang dikunjunginya, maka dengan sendirinya penerimaan dari wisatawan mancanegara itu merupakan faktor yang penting agar neraca pembayaran menguntungkan. Kedua, pariwisata menyebabkan pembangunan ke daerah nonindustri. Daerah di mana boleh dikatakan tidak terjadi pembangunan dan di daerah itu terdapat atraksi wisata, maka daerah-daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata. Kalau ini terjadi, dibangunlah hotel-hotel di daerah itu, dibuat jalan yang baik, muncul tempat makan, toko-toko dan sebagainya. Pendek kata terjadilah pembangunan di daerah-daerah itu. Ketiga, pariwisata menciptakan kesempatan kerja. Sarana-sarana pariwisata seperti hotel dan perusahaan perjalanan adalah usaha-usaha yang padat karya. Di samping itu, pariwisata juga menciptakan tenaga kerja di bidang-bidang yang tidak langsung berhubungan dengan pariwisata. Keempat, pariwisata memberikan dampak penggandaan (multiplier effect). Sejumlah uang yang diterima di dalam masyarakat oleh si penerima akan dikeluarkan lagi, yang menerima belakangan ini akan mengeluarkan lagi dan seterusnya.

Objek Wisata Alam sebagai Barang Publik

(28)

10

hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi. Dalam SK. MENPARPOSTEL No.KM.98 / PW.102 / MPPT-87 menjelaskan bahwa objek wisata adalah tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan.

Fauzi (2010) menjelaskan bahwa dalam pandangan ekonomi, barang (goods) dapat diklasifikasikan menurut kriteria-kriteria penggunaan atau konsumsinya dan pemilikannya. Dari sisi konsumsinya dapat diklasifikasikan apakah barang tersebut menimbulkan ketersaingan untuk mengkonsumsinya atau tidak (rivalry). Dari sisi hak kepemilikan, suatu barang dapat dilihat dari kemampuan pemilik (produsen) untuk mencegah pihak lain untuk memilikinya. Sifat ini sering disebut sifat yang excludable. Sebaliknya dari sisi pihak konsumen, kita bisa melihat misalnya, apakah konsumen memiliki hak atau tidak untuk mengkonsumsi.

Fauzi (2010) menambahkan berdasarkan ciri-cirinya, barang publik memiliki dua sifat dominan. Pertama non-rivalry (tidak ada ketersaingan) atau non-divisible (tidak habis). Barang publik memiliki sifat non-rivalry dalam hal mengkonsumsinya. Artinya, konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama. Kedua, non-excludable (tidak ada larangan), artinya sulit untuk melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Pada saat kita menikmati pemandangan laut yang indah di pantai, misalnya, kita tidak bisa atau sulit melarang orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama karena pemandangan adalah public goods.

(29)

11 Penawaran dan Permintaan Wisata

Spillane (1991) memaparkan bahwa aspek penawaran pariwisata meliputi beberapa hal. Pertama, proses produksi industri pariwisata. Kemajuan pengembangan pariwisata sebagai industri, sebenarnya ditunjang oleh bermacam-macam usaha yang perlu dikelola secara terpadu dan baik, diantaranya ialah: (1) promosi untuk memperkenalkan objek wisata; (2) transportasi yang lancar; (3) kemudahan keimigrasian atau birokrasi; (4) akomodasi yang menjamin penginapan yang nyaman; (5) pemandu wisata yang cakap; (6) penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin dan tarif harga yang wajar; (7) pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik; (8) kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup. Kedua, pentingnya tenaga kerja serta penyediaannya. Perkembangan pariwisata berpengaruh positif pada perluasan kesempatan kerja. Namun demikian, tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki keterampilan teknis dan manajerial. Untuk itu, diperlukan pendidikan kejuruan yang efektif. Ketiga, pentingnya infrastruktur/ prasarana. Industri pariwisata memerlukan prasarana ekonomi, seperti jalan raya, jembatan, terminal, pelabuhan, dan lapangan udara. Di samping itu dibutuhkan pula prasarana yang bersifat public utilities, seperti pembangkit tenaga listrik, proyek penjernihan air bersih, fasilitas olah raga dan rekreasi, pos dan telekomunikasi, bank, money changer, perusahaan asuransi, periklanan, percetakan, dan banyak sektor perekonomian lainnya. Keempat, pentingnya kredit. Faktor-faktor penentu dari pertumbuhan pariwisata adalah berbagai fasilitas kredit bank yang diberikan oleh pemerintah. Tanpa adanya perangsang-perangsang seperti itu tidak mungkin terjadi investasi sedemikian besar.

Selanjutnya, Spillane (1991) memberikan beberapa sifat khusus dari industri pariwisata, yaitu: produk wisata mempunyai ciri bahwa ia tidak dapat dipindahkan, dalam pariwisata produksi dan konsumsi terjadi pada saat yang sama, sebagai suatu jasa maka pariwisata memiliki berbagai ragam bentuk, wisatawan tidak dapat mencicipi produk itu sebelumnya bahkan tidak dapat mengetahui atau menguji produk itu sebelumnya, dan dari segi usaha produk wisata merupakan usaha yang mengandung resiko besar.

Spillane (1991) memaparkan bahwa aspek permintaaan pariwisata meliputi beberapa hal. Pertama, faktor-faktor sosio-ekonomis dan pariwisata. Faktor-faktor ini antara lain: Undang-Undang Sosial, pendapatan yang meningkat, pendidikan dan perasaan ingin tahu, urbanisasi dan kebutuhan untuk menghindari kebisingan kota, dan hasrat untuk meniru. Kedua, faktor-faktor administrasi dan pariwisata. Gerakan liberalisasi terhadap lalu lintas manusia yang terus meningkat merupakan sumbangan besar bagi pertumbuhandan perkembangan pariwisata sampai sekarang. Ketiga, faktor-faktor teknis: kemajuan dunia angkutan. Perkembangan dunia pariwisata tidak akan menjadi seperti sekarang, tanpa adanya perkembangan yang pesat dalam alat angkutan yang memungkinkan wisatawan dapat mencapai setiap tempat di dunia ini, dengan waktu lebih cepat dan biaya lebih rendah.

(30)

12

kepentingan keamanan; (7) dorongan kepentingan hubungan keluarga; (8) dorongan kepentingan politik.

Nilai Ekonomi Wisata

Nilai (value) merupakan persepsi seseorang yang menunjukkan harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Pada kenyataannya, tidak semua barang mempunyai nilai pasar, yaitu tidak dinyatakan dalam satuan mata uang (harga). Oleh karena itu, untuk barang-barang yang tidak memiliki nilai pasar dilakukan penilaian ekonomi. Barang-barang tersebut merupakan barang-barang yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan, seperti suatu objek wisata (Adrianto, 2006).

Wells (1997) menyatakan bahwa tolok ukur yang mudah dan bisa dijadikan acuan dalam menetapkan nilai ekonomi suatu ekosistem adalah dengan memberikan “price tag” (harga) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya tersebut. Bagaimana menetapkan “price tag” pada suatu sumber daya yang kadang tidak dinilai (intangible)? Wisata luar ruangan (outdoor recreation) merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan jasa lingkungan (ecosystem services). Jasa ekosistem memiliki nilai namun sering diperlakukan sebagai jasa lingkungan tak bernilai (undervalue). Nilai ekonomi yang pasti, pada praktiknya sulit didapatkan, yang dapat dilakukan adalah mengestimasi nilai ekonomi melalui sejumlah pendekatan.

Penilaian ekonomi suatu sumber daya alam dan jasa lingkungan sangat diperlukan. Salah satu jasa lingkungan adalah wisata alam. Kegiatan wisata alam merupakan suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak mengekstrak sumber daya alam, tetapi hanya memanfaatkan keindahan alamnya. Penilaian ekonomi wisata perlu dilakukan untuk memberikan nilai yang sebenarnya terhadap lingkungan sebagai pemberi jasa. Dengan mengetahui besarnya nilai ekonomi wisata, maka ada dasar untuk memelihara lingkungan tersebut agar tetap lestari, karena lingkungan tersebut memiliki nilai yang tinggi.

Willingness to Pay

Analisa Willingness to pay (WTP) didasarkan pada pengertian dasar bahwa individu memiliki preferensi terhadap barang dan jasa. Bagi seseorang, nilai dari suatu barang adalah keinginan dan kemampuannya untuk berkorban terhadap barang dan jasa tersebut. Dalam ekonomi, berkorban dapat dianalogikan sebagai daya beli. Sedangkan nilai suatu barang dapat diartikan sebagai keinginan membayar untuk mendapatkan barang tersebut (Putri dkk, 2010).

Willingness to pay (WTP) berbeda dengan harga. WTP sering didefinisikan sebagai jumlah maksimum yang konsumen bersedia bayarkan. Dalam studi pariwisata, WTP digunakan untuk mengestimasi nilai non-market goods (Chung et al, 2011). Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa.

(31)

13 (misalnya akibat sumber daya makin langka) atau karena perubahan kualitas sumber daya. WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu.

Sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran Willingness to Accept (WTA) yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan dari pada WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioural model) (Fauzi 2010).

Lebih lanjut Fauzi (2010) menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar dari pada besaran WTP. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara. Kedua, pengukuran WTA terkait dengan endowment effect - dampak pemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumber daya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumber daya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut loss aversion - menghindari kerugian, dimana seseorang cenderung memberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian. Ketiga, responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan maupun preferensinya.

Pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenuhi syarat: (1) WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif; (2) Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan; (3) Adanya konsistensi antara keacakan (randomness) pendugaan dan keacakan perhitungannya. Kondisi (1) dan (2) secara matematis dapat ditulis:

0 ≤ WTPj≤ Mj

Memang diakui bahwa ada kelemahan dalam pengukuran keinginan membayar ini. Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan, sebagian yang lain, seperti keindahan pantai atau laut, kebersihan, dan keaslian alam tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya, karena masyarakat tidak familier dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupun demikian, dalam pengukuran nilai sumber daya alam, nilai tersebut tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan di sini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumberdaya (Fauzi 2010).

Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(32)

14

ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, dan teknik yang relatif baru yang disebut Random Utility Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkannya secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup popular dalam kelompok ini adalah yang disebut Contingent Valuation Method (CVM), dan Discrete Choice Method. Secara skematis, teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada tampilan berikut ini (Fauzi 2010).

Gambar 1 Klasifikasi valuasi non-market

Sumber : Fauzi 2010

Travel Cost Method

Travel Cost Methode (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931, yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1958) serta Clawson dan Knetsh (1966). Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking dan sebagainya (Fauzi 2010).

Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi, misalnya untuk menyalurkan hobi memancing atau berekreasi di pantai, seseorang akan mengorbankan biaya dalam bentuk waktu dan uang untuk mendatangi tempat tersebut. Dengan mengetahui pola ekspenditure dari konsumen ini, maka akan dapat dikaji barapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan.

Dengan demikian, menurut Fauzi (2010) metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari : (i) perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi; (ii) penambahan tempat rekreasi baru; (iii) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; dan (iv) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk

(33)

15 mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut.

Menurut Grandstatf and Dixon (1986), Hanley and Spash (1993), dan Willis and Garrod (1991) dalam Chien et al (2003) secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untukmenentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu : (i) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (ii) pendekatan individual. Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif lebih banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam teknik ini, tempat rekreasi pantai dibagi dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data kunjungan per seribu penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), maka akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata.

TCM berdasarkan pendekatan individual menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survei di lapangan. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode TCM dengan pendekatan individu adalah hasil yang diperoleh relatif akurat dari pada metode zonasi (Fauzi 2010).

Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haabdan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2010), antara lain : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas;dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel).

Selain itu, menurut Fauzi (2010), TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata). Untuk melihat total biaya yang dikeluarkan wisatawan dan selanjutnya untuk digunakan sebagai proxy dalam menentukan harga dari sumberdaya alam dilakukan melalui penetapan fungsi permintaan. Secara sederhana, fungsi permintaan di atas dapat ditulis sebagai berikut :

Vij=f (Cij,Tij,Qij,Sij,Mi) dimana :

Vij = frekuensi kunjungan oleh individu i ke tempat j,

Cij = biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j,

Tij = biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j,

(34)

16

Sij = karakteristik substitusi yang mungkin ada di tempat lain, Mi = pendapatan (income) dari individu i.

Persamaan (1) merupakan model umum yang dipakai untuk menentukan frekuensi kunjungan ke suatu lokasi wisata tertentu. Dalam aplikasinya, tidak semua faktor-faktor atau variabel perubah tersebut sesuai dengan lokasi yang diteliti. Setelah mengetahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi. Menurut (Fauzi 2010) surplus konsumen tersebut dapat diukur melalui formula:

WTP   CS  N

2

2α1 untuk fungsi permintaan linier, dan

WTP   CS  αN

Untuk fungsi log-linier, dimana: WTP = Willingness to Pay CS = Surplus konsumen

N = Jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individe i α1 = Koefisien biaya perjalanan

Meskipun dianggap sebagai suatu pendekatan yang praktis, TCM memiliki beberapa kelemahan. Pertama, TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Jadi dalam hal ini, tidak menelaah aspek kunjungan ganda (multipurposevisit), padahal dalam kenyataannya seorang wisatawan bisa saja mengunjungi tempat wisata lain terlebih dahulu sebelum ke tempat wisata yang dimaksud. Kedua, TCM tidak membedakan individu yang memang datang dari kalangan pelibur (holiday makers) dan mereka yang datang dari wilayah setempat (resident). Ketiga, masalah pengukuran nilai dari waktu (time cost). Waktu yang menjadi utilitas harus dibedakan dengan waktu yang menjadi pengorbanan. Jika time cost dihilangkan maka nilai ekonomi akan menjadi underestimated (Djohansjah 2014).

Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi dari suatu objek wisata adalah Travel Cost Method, menurut Fauzi (2010) metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking dan sebagainya. Menurut Freeman (1993); Loomis and Walsh (1997) dalam Shrestha et al (2002) penerapan Travel Cost Method untuk menilai rekreasi sumberdaya alam telah biasa dalam literarur penilaian (valuasi).

Pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP)

(35)

17 suatu pilihan. Thomas L. Saaty mengembangkan AHP pada tahun 1971-1975 (Saaty, 1987).

Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut : (1) struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam; (2) memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan; (3) memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam sistem analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah : (1) kesatuan (Unity), AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami; (2) kompleksitas (Complexity), AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif; (3) saling ketergantungan (Inter Dependence), AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier; (4) struktur hirarki (Hierarchy Structuring), AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa; (5) pengukuran (Measurement), AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas; (6) konsistensi (Consistency), AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas; (7) sintesis (Synthesis), AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing; (8) trade off, AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka; (9) penilaian dan konsensus (Judgement and Consensus), AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda; (10) pengulangan proses (Process Repetition), AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan.

Di samping kelebihan-kelebihan AHP, terdapat beberapa kelemahan dalam menggunakan analisis ini, yaitu: (1) ketergantungan model AHP pada input utamanya, Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru; (2) metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.

(36)

18

struktur hirarki yang diawali dengan tujuan utama; (3) membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya; (4) melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi; (5) mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki; (6) menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai mencapai tujuan; (7) memeriksa konsistensi hirarki.

AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu: dekomposisi, perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgments), dan sintesa prioritas. Selain itu AHP didasarkan atas 3 aksioma utama yaitu: aksioma resiprokal, aksioma homogenitas, dan aksioma ketergantungan. Berdasarkan pendekatan AHP, yang menjadi narasumber untuk melakukan pembobotan adalah seorang ahli (expert), yang dimaksud dengan expert disini tidak harus seorang pakar pada satu bidang keilmuan tertentu, melainkan orang yang tahu betul akan permasalahan yang hendak diteliti.

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai nilai ekonomi wisata sudah cukup banyak dilakukan. Ram K. Shrestha, Andrew F. Seidl, dan Andre S. Moraes pada tahun 2002 mengestimasi nilai pariwisata memancing di Pantanal Brazil dengan menggunakan Travel Cost Method. Mereka membandingkan antara non-linear, poisson dan negatif binomial data model untuk mengestimasi permintaan terhadap pariwisata memancing. Dalam penelitian ini non-linear data model menunjukkan hasil yang lebih baik.

Serkan Gurluk dan Erkan Rehber pada tahun 2007 mengestimasi permitaan rekreasi pada Kus-cenneti National Park (KNP) di Danau Manyas dengan menggunakan Travel Cost Method. Dari penelitian ini diperoleh nilai rekreasi KNP sebesar 103.320.074 USD setiap tahunnya. Hasil penelitian ini memberikan manfaat yang penting bagi kebijakan dan membantu menyelesakan konflik yang terjadi diantara para pemangku kepentingan. Hasil perhitungan ini lebih besar dari investasi yang dikeluarkan tipa tahun dan belanja operasional dari KNP.

Di Indonesia Iqbal (2006), mengestimasi nilai ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang dengan menggunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM). Hasil pendugaan dari penelitian tersebut dapat diketahui total biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh wisatawan adalah sebesar Rp. 12.009.000, dengan rincian sebagai berikut: biaya transportasi sebesar Rp 4.520.000; biaya konsumsi sebesar Rp. 2.655.000; biaya tiket masuk sebesar Rp. 29.000; biaya lain-lain sebesar Rp.1.505.000, dan besarnya surplus konsumen sebesar Rp. 126.053 serta nilai ekonomi wisata sebesar Rp. 3.775.293.639 per tahun. Perhitungan nilai ekonomi wisata TWA Laut Pulau Weh merupakansurplus konsumen dikali dengan jumlah penduduk Kota Sabang.

(37)

19 Contingent Valuation Method (CVM). Dari hasil analisis TCM dari responden yang telah melakukan perjalanan ke Pulau Morotai dan hasil analisis CVM dari responden tentang preferensi terhadap pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Maka dapat dikatakan bahwa kawasan wisata Pulau Morotai layak secara ekonomi untuk dapat dikembangkan.

Semet (2012) mengestimasi nilai ekonomi wisata alam Taman Wisata Alam Gunung Meja dengan menghitung nilai ekonomi wisata alam dari sisi permintaan atau wisatawan dengan menggunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM) dan dari sisi penawaran atau masyarakat dengan menghitung manfaat ekonomi berupa manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari kegiatan wisata alam di TWA Gunung Meja. Total nilai ekonomi wisata alam TWA Gunung Meja adalah sebesar Rp.592.154.197 per tahun. Perhitungan nilai ekonomi wisata TWA Gunung Meja merupakan perkalian dari surplus konsumen dengan jumlah pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke TWA Gunung Meja selama 1 (satu) tahun.

Penelitian mengenai strategi pengembangan wisata juga sudah pernah dilakukan. Mulyana (2012) memformulasi strategi pengembangan wisata agro berkelanjutan di Agrowisata Bina Darma dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi yang paling tepat (prioritas pertama) untuk pengembangan Agrowisata Bina Darma adalah strategi meningkatkan promosi tentang Agrowisata Bina Darma yang berkelanjutan (S-PRMOSI) (RK = 0,248). Sedangkan strategi lainnya yang dapat menjadi back-up, berturut-turut berdasarkan prioritas adalah strategi mencegah kerusakan dan kehancuran lokasiwisata (S-CEGAH) (RK = 0,229), mengedepankan kualitas wisata agro (SKUALIT) (RK = 0,205), mengembangkan wisata agro berbasis pendidikan (SPENDIK) (RK = 0,168), dan melestarikan tradisi dan budaya masyarakat lokal (STRABUD) (RK = 0,150). Formulasi strategi tersebut dapat dipercaya karena mempunyai inconsistency rasio< 0,10, yaitu 0,07.

(38)

20

3 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul merupakan salah satu objek wisata alam yang sedang dikembangkan di Kabupaten Bandung. Wisata kebun ini dikembangkan oleh Kebun Bukit Unggul PT Perkebunan Nusantara VIII pada tahun 2009 dengan salah satu tujuannya adalah untuk menambah pemasukan bagi perusahaan. Kabupaten Bandung sendiri merupakan kabupaten/kota di Jawa Barat yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012. PT Perkebunan Nusantara VIII juga telah lama mengembangkan berbagai objek wisata di unit kebun yang tersebar di Provinsi Jawa Barat. Bahkan ada beberapa yang sudah dikenal sampai ke mancanegara.

Wisata Kebun Kina Bukit Unggul menawarkan atraksi wisata antara lain : Curug Serta Situ di lingkungan Emplasemen Bukit Unggul, Situ Sangkuriang, Area Camping Ground, dan Saung Tenjo Gunung. Selain menikmati keindahan alam, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas wisata antara lain outbond, motocross, api unggun, hiking, sepak bola dan camping. Kelebihan lain yang terdapat di obyek wisata ini adalah pemandangan yang indah, udara yang sejuk, dan jalanan yang bebas macet. Selain itu tiket masuk ke objek wisata ini dapat dikatakan cukup murah. Namun, objek wisata ini memiliki beberapa kendala antara lain akses jalan menuju ke objek wisata ini kurang bagus, sumberdaya manusia pengelola yang kurang, dan kurangnya promosi.

Sebagai tujuan wisata objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul memiliki manfaat intangible dan memiliki sifat barang publik yaitu rivalry, non-excludability, dan congestible. Ciri pokok dari barang publik ditentukan oleh tidak adanya mekanisme pasar dan harga. Ketidakmampuan pasar dalam menilai wisata alam secara kuantitatif menyebabkan barang lingkungan sering tidak dihargai atau sering dinilai dengan nilai yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Hal ini membuat alokasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk wisata alam belum optimal, sehingga penilaian ekonomi barang publik yang sering dinyatakan sebagai barang bebas (free goods) ini membutuhkan suatu pendekatan tertentu. Pendekatan terhadap harga ini kemudian digunakan untuk mengestimasi besarnya permintaan, manfaat (benefit) atau surplus konsumen. Salah satu teknik untuk menilai barang-barang non-pasar ini adalah model biaya perjalanan (travel cost method).

Selama ini belum pernah dilakukan penilaian ekonomi terhadap Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, sehingga belum diketahui nilai ekonomi dari objek wisata ini. Selain itu pergantian pimpinan di unit kebun ini juga menyebabkan perubahan strategi dan manajemen terhadap wisata kebun.

(39)

21 yang terakhir adalah memformulasikan strategi pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul.

Tahapan awal yang dilakukan adalah mendeskripsikan konsidi umum daerah penelitian yaitu Objek Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Setelah itu melakukan analisis deskriptif terhadap karakteristik wisatawan di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Wisatawan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin; usia; tingkat pendidikan; pekerjaan utama; pendapatan individu; jumlah tanggungan; daerah asal; lama mengetahui lokasi; tujuan kunjungan; cara kedatangan; frekuensi kunjungan; jarak menuju lokasi; waktu tempuh dan informasi objek wisata. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis deskriptif penilaian wisatawan terhadap objek wisata. Wisatawan diminta untuk memberikan penilaian terhadap daya tarik objek wisata, kemudahan mencapai lokasi, kondisi fisik objek wisata, pemandangan alam, kebersihan, keamanan, keramahan petugas, kelengkapan fasilitas, dan fasilitas tambahan yang diinginkan pengunjung.

Tahapan selanjutnya adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan (frekuensi kunjungan) ke objek wisata dan mengestimasi nilai ekonomi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Metode yang digunakan adalah travel cost method (TCM). Data yang diperlukan adalah data pengeluaran wisatawan selama melakukan kunjungan ke objek wisata ini, frekuensi kunjungan dalam satu tahun, jarak, pendapatan per bulan, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, persepsi wisatawan terhadap kondisi fisik objek wisata, persepsi wisatawan terhadap pemandangan alam, persepsi wisatawan terhadap keamanan, jumlah rombongan, jumlah tanggungan, dan lama mengetahui lokasi objek wisata.

(40)

22

Wilayah Studi

Gambar 2 Diagram alir kerangka penelitian

Wisata Kebun Kina Bukit Unggul: 1. Baru Dikembangkan 2. Potensi Wisata Tinggi 3. Banyak kendala yang

Dihadapi

Pengembangan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

Strategi Pengembangan Faktor yang

Mempengaruhi Frekuensi kunjungan

dan Nilai Ekonomi Karakteristik

Pengunjung dan Penilaian Pengunjung

Analitical Hierarchy Process (AHP) Travel Cost

Method Analisis

Deskriptif

(41)

23 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Wisata Kebun Kina Bukit Unggul di Desa Cipanjalu Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung. Pengambilan lokasi ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan tempat ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata.

Gambar 3 Denah lokasi Wisata Kebun Kina Bukit Unggul

Sumber: wisatakebunkinabukittunggul.blogspot.com

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pandangan tentang keberadaan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul. Data primer ini bersumber dari wisatawan yang datang ke Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, masyarakat sekitar, pemerintah setempat dan pengelola, dengan metode wawancara maupun kuesioner.

(42)

24

Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber

Data Faktor - Faktor yang Mempengaruhi

Populasi dalam penelitian ini adalah wisatawan domestik yang mengunjungi kawasan Wisata Kebun Kina Bukit Unggul, pengelola kawasan, masyarakat sekitar dan pemerintah Kabupaten Bandung. Pengambilan sampel (responden) dilakukan dengan pengambilan secara non-acak (non-probaility sampling) yaitu semua objek penelitian tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, karena dalam pelaksanaannya digunakan pertimbangan hal-hal tertentu yang dikenakan kepada sub kelompok. Pengambilan sampel non-acak yang dipilih pada penelitian ini yaitu secara purposive terhadap populasi. Pengambilan secara purposive berarti pengambilan responden berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan-tujuan tertentu (Juanda, 2009). Responden yang diambil terdiri atas dua kelompok yaitu:

Gambar

Tabel 1 Perkembangan wisatawan mancanegara tahun 2008– 2012
Tabel 2 Perkembangan wisatawan nusantara tahun 2008 – 2012
Tabel 3 Jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2011
Gambar 1 Klasifikasi valuasi non-market
+7

Referensi

Dokumen terkait

Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan

[r]

Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang

Sistem operasi tersebut didesain agar dapat menggunakan kemampuan penuh dari mikroprosesor Intel 80286, termasuk di antaranya adalah modus terproteksi

[r]

Azimuth Nautika ialah besarnya busur yang diukur di horizon mulai dari titik Utara mengi- kuti putaran Utara Barat Selatan Timur Utara (UBSTU) atau Utara Timur

Its peers in ASEAN also post the growth in sales amid the downtrend suffered by the overall retail sectors; still most of home improvement retailers are capable of posting

Limbah hasil industri biasanya memiliki kandungan yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk mengolah limbah cair