• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolation and Identification of Pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Shrimp Culture

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolation and Identification of Pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Shrimp Culture"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

UDANG TAMBAK

 

 

               

YUSMA YENNIE

 

 

 

 

 

     

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Isolasi dan Identifikasi V.

parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak adalah karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Yusma Yennie

NIM F251080201

(3)

ABSTRACT

YUSMA YENNIE. Isolation and Identification of Pathogenic Vibrio

parahaemolyticus in Shrimp Culture Under the direction of RATIH

DEWANTI-HARIYADI and ACHMAD POERNOMO.

Vibrio parahaemolyticus (Vp) is a halophilic bacterium found in brackish water and is the leading cause of gastroenteritis due to seafood consumption. In Indonesia presence of this pathogen in seafood has caused several export rejection. This research aimed to identify presence of pathogenic Vibrio parahaemolyticus from shrimp cultured in traditional and intensive ponds. Bacterial isolation was carried out using FDA BAM (2004), phenotypic characterization was done using API 20E biochemical test kit and genetic characterization was conducted with Polymerase Chain Reaction (PCR) using a pair of specific primer for each virulent factor gene (tdh and trh genes). Biochemical identification with API 20E biochemical test showed that 16/32(50%) and 6/32 (18.8%) shrimp samples from traditional and intensive ponds contained Vibrio parahaemolyticus, respectively. Eighty one percent (13/16) of Vibrio parahaemolyticus isolated from traditional pond and 50% (3/6) of those obtained from intensive pond were pathogenic due to their possesion of tdh gene. When gen encoding trh was used as the basis for classification, 15/16 (93.8%) and 4/6 ( 66.7%) of Vibrio parahaemolyticus obtained from traditional and intensive ponds, respectively, were pathogenic . Out of the 22 Vibrio parahaemolyticus isolates, 16 (72.7%) were pathogenic based on the possesion of gene encoding for tdh and 19 (86.4%) can be classified as pathogen based on the trh gene. Overall, pathogenic Vibrio parahaemolyticus was found at a frequency of 13-15/32 (43%) of the shrimp samples from traditional pond while 3-4/32 (11%) was found in shrimps from intensive pond, respectively.

(4)

RINGKASAN

YUSMA YENNIE. Isolasi dan Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik pada Udang Tambak. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI dan ACHMAD POERNOMO.

Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan payau dan salah satu spesies Vibrio spp yang bersifat patogen terhadap komoditas udang maupun pada manusia. Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri Gram negatif, bersifat halofilik dan dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia melalui konsumsi pangan hasil perikanan. Udang merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang menduduki peringkat pertama dalam pangsa ekspor produk perikanan Indonesia serta merupakan salah satu komoditas unggulan revitalisasi KKP selain tuna dan rumput laut sejak 2005. Berbagai permasalahan yang terkait dengan ekspor udang mengakibatkan ditolaknya produk udang ke luar negeri dan hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi unit-unit pengolahan udang. Salah satu penyebab penolakan ekspor udang karena kandungan mikroba patogen seperti Salmonella, Vibrio cholerae dan Vibrio parahemolyticus.

Kasus penolakan ekspor udang karena kontaminasi V. parahemolyticus pernah dilaporkan yaitu pada tahun 2005 dan 2007, sebanyak 26 ton udang beku dan 4.8 ton produk sushi ebi dari Indonesia ditolak di Uni Eropa. Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku maupun olahan. Indonesia juga di dalam SNI mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk perikanan.

Kasus penyakit bawaan pangan (foodborne diseases) karena V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dilaporkan dalam berbagai kasus KLB. Di Indonesia ditemukan sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun 1974 (Bonang et al. 1974). Selain itu ditemukan juga V. parahaemolyticus patogenik sebesar 7.3% dari sampel klinis pasien diare beberapa rumah sakit dalam kurun waktu 1995-2001 (Tjaniadi et al. 2003). Sementara itu di Jepang, dalam kurun waktu 1996-1998 terjadi 20-30% kasus KLB dan pada tahun 1996-1998 dilaporkan kasus ini melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005).

Kemampuan V. parahaemolyticus menyebabkan penyakit pada manusia umumnya dihubungkan dengan kemapuannya memproduksi hemolisis. Berdasarkan kemampuannya tersebut dikenal 3 jenis hemolisin pada V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct hemolysin (TDH) dan thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH).

Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein yang memiliki aktivitas

(5)

dengan kemampuannya menyebabkan penyakit tidak diketahui secara pasti. Sementara itu TDH dan TRH diduga merupakan faktor virulen pada V. parahaemolyticus yang dikaitkan sebagai penyebab penyakit pada manusia. Thermostable direct hemolysin (TDH) dikenal sebagai faktor virulen karena aktivitas β hemolisisnya yang dapat melisis membran sel darah merah sehingga mengakibatkan gastroenteritis. Keberadaan TDH ditandai dengan adanya zona bening pada koloni Vibrio parahaemolyticus yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma dan dikenal dengan istilah Fenomena Kanagawa (KP+). Thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH) disebut sebagai faktor virulen lain dari V. parahaemolyticus, dimana keberadaannya dikaitkan dengan hasil Fenomena Kanagawa negatif (KP-) tetapi dapat menyebabkan gastroenteritis.

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilakukan berdasarkan reaksi biokimiawi akan tetapi metode ini memiliki kelemahan diantaranya waktu analisis yang panjang, akurasi dan sensitivitas yang rendah serta belum tersedianya metode analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Berlandaskan alasan tersebut, dikembangkan metode analisis untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Salah satu metode analisis yang adalah metode analisis berdasarkan pendekatan molekuler yaitu teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui frekuensi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang di tambak tradisional dan intensif yaitu dengan cara mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus berdasarkan sifat-sifat biokimiawinya serta mengidentifikasi faktor virulen V. parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh pada komoditas udang tambak tersebut. Isolasi bakteri dilakukan dengan mengacu pada metode BAM-FDA (2004), konfirmasi V. parahaemolyticus berdasarkan reaksi biokimiawi menggunakan API 20E biochemical test kit, danidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik dilakukan berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh menggunakan sepasang primer spesifik dari dua gen tersebut dengan teknik PCR

Isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan hasil sebesar 32 dan 28 isolat (n=32). Sementara itu konfirmasi V. parahaemolyticus menggunakan API 20E biochemical test kit menunjukkan hasil sebanyak 16/32 (50%) dan 6/32 (18.8%) sampel udang di tambak tradisional dan intensif positif sebagai V.

parahaemolyticus. Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi isolasi V.

(6)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang baik di tambak tradisional maupun intensif. Hal ini diduga terkait dengan penerapan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practices) yang belum optimal terutama di tambak tradisional.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI

Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA

UDANG TAMBAK

                       

YUSMA YENNIE

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik

pada Udang Tambak

Nama : Yusma Yennie

NRP : F251080201

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Achmad Poernomo

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan

ridho-Nya, karya ilmiah sebagai hasil tugas akhir dapat diselesaikan. Penulis

mengangkat tema keamanan pangan dengan judul penelitian Isolasi dan Identifikasi

V. parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Achmad Poernomo, M.AppSc selaku

pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, saran, dan semangat

selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc selaku dosen penguji atas saran dan

masukan yang diberikan sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju

kesempurnaan karya ilmiah ini.

3. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan-Balitbang KP-KKP, yang telah mendanai penelitian ini.

4. Rekan-rekan di Kelti Keamanan Pangan, Lab. Mikrobiologi (Ayu dan Radest)

dan Lab. Bioteknologi (Gintung dan mbak Dewi) BBRP2B atas bantuan, dan

dorongan semangat selama penelitian.

5. Teman-teman lingkup BBRP2B (Ema, Ida, Devi, Diah, Yanti) dan teman-teman

IPN 2008, atas persahabatan dan dorongan semangatnya selama penelitian dan

penulisan karya ilmiah ini.

6. Suami dan anak-anak tercinta, abah, ibu, dan seluruh keluarga besar atas doa,

kasih sayang, toleransi, pengertian, dorongan semangat, dan bantuannya.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Pebruari 1974 dari Ayah

Ahmad Yusmadi Yusuf dan Ibu Ainal Mardiah yang merupakan anak ketiga dari

lima bersaudara.

Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Program Studi

Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor. Penulis melanjutkan studi ke

program pasca sarjana pada tahun 2008 di program studi ilmu pangan Fakultas

Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1999 dan

ditempatkan di UPT-LPPMHP, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera

Utara. Tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai

Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan-Balitbang KP-KKP dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang keamanan

pangan dan lingkungan Kelautan dan Perikanan. Peneliti telah melakukan

beberapa penelitian di bidang keamanan pangan antara lain identifikasi logam

berat pada produk perikanan, identifikasi residu bahan berbahaya pada produk

perikanan baik segar dan olahan, dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan

topik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang vaname

(13)

DAFTAR ISI

 

Halaman

DAFTAR TABEL...xv

DAFTAR GAMBAR ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN Latar Belakang ...1

Perumusan Masalah ...6

Tujuan Penelitian ...6

Hipotesis ...7

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus...8

Faktor Lingkungan yang Mempengarui Keberadaan Vibrio parahaemolyticus ...10

Penyakit Bawaan Pangan (food borne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus...11

Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus ...16

Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik ...19

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ...23

Bahan dan Alat...23

Pelaksanaan Penelitian ...24

Survei Lapang ...25

Pengambilan dan Preparasi Sampel Udang Tambak ...26

Isolasi Vibrio parahaemolyticus dari Udang Tambak ...26

Identifikasi Vibrio parahaemolyticus pada Udang Tambak ...27

Uji biokimia pendahuluan (Presumtif)...27

1. Pewarnaan Gram ...27

2. Uji motilitas ...27

3. Uji oksidase...28

(14)

Uji biokimia lanjutan (Konfirmasi) ... 28

Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang berasal dari Udang Tambak ... 29

1. Isolasi DNA genom bakteri ... 29

2. Amplifikasi gen tdh dan trh... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Lapang ... 33

Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak ... 38

Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak ... 40

Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari Udang Tambak ... 51

1. Isolasi DNA genom bakteri ... 52

2. Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus ... 52

Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang ... 59

SIMPULAN DAN SARAN ... 62

Simpulan... 62

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(15)

DAFTAR TABEL

   

Halaman 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama

(2005-2009)... 1

2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan... 2

3. Persyaratan V. parahaemolyticus pada produk perikanan di berbagai negara ... 3

4. Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus ...9

5. KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia... 13

6. KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika... 14

7. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen tdh dan trh... 24

8. Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname yang diambil dari 3 lokasi survei ... 34

9. Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak tradisional dan intensif ... 35

10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak ... 39

11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak tradisional di Kecamatan Cantigi ... 41

12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak intensif di Kecamatan Patrol ... 42

13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif sampel udang tambak dengan API 20E ...44

14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dengan API 20E ... 45

15. Hasil identifikasi Vp pada sampel udang berdasarkan lokasi di tambak tradisional... 46

16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak intensif dengan API 20E ...48

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Sel Vibrio parahaemolyticus menggunakan scanning

electron micrograph (SEM)... 8

2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 25

3. Tambak udang sistim tradisional... 36

4. Tambak udang sistim intensif... 37

5. V. parahaemolyticus pada TCBS ... 39

6. Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan mikroskop perbesaran 1000X... 43

7. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2% (TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10) ... 53

8. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang ... 54

9. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2% (TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10) ... 54

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

 

Halaman 1. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak tradisional ... 76

2. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak intensif ... 77

3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM ... 78

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak

tahun 2005. Disamping itu udang menempati urutan ke-5 terbesar dalam deretan

ekspor non-migas dan memberikan kontribusi sebesar 50% dari total nilai ekspor

perikanan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Statistik

dan Informasi, KKP (2009), tentang volume ekspor hasil perikanan menurut

komoditas utama tahun 2005-2009, terlihat udang menduduki urutan pertama

(Tabel 1).

Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009)

Tahun Kenaikan Rata-Rata (% )

Rincian

2005 2006 2007 2008 2009 2005-2009 2008-2009

Volume (Ton) 857.922 926.477 854.329 911.674 796.700 -1.42 -12.61

Udang 153.906 169.329 157.545 170.583 165.000 2.02 -3.27

Tuna, cakalang, tongkol

91.631 91.822 121.316 130.056 95.000 3.14 -26.95

Ikan lainnya 428.395 439.540 393.679 424.401 381.600 -1.83 -10.09

Kepiting 18.593 17.905 21.510 20.713 17.300 -0.94 -16.48

Lainnya 165.397 153.881 160.279 165.921 137.800 -4.06 -16.95

Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009)

Ekspor komoditas udang Indonesia mengalami masalah beberapa tahun

ini. Permasalahan ekspor udang Indonesia mengakibatkan volume dan nilai

ekspor menurun dan beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan standar

mutu dan sanitasi. Permasalahan yang terkait dengan sanitasi pada komoditas

(19)

Vibrio parahaemolyticus, dan Vibrio cholera (DKP, 2003). Pada tahun 2005

sebanyak 26 ton ekspor udang Indonesia ditolak Uni Eropa karena kontaminasi V.

parahaemolyticus, sedangkan pada tahun 2007 ekspor produk sushi ebi sebanyak

4.8 ton ditolak oleh Uni Eropa karena alasan yang sama (Ditjen P2HP-KKP,

2010). Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan,

pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia

ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Wong et al. (1999)

melaporkan bahwa produk perikanan yang diekspor ke Taiwan dari beberapa

negara di Asia termasuk Indonesia pernah terdeteksi mengandung V.

parahaemolyticus (Tabel 2) walaupun pada seluruh sampel tidak ditemukan V.

parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi dengan metode PCR.

Tabel 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan

Negara asal Jenis produk Jumlah sampel

Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa,

USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait

dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku

maupun olahan. Indonesia juga di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)

mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk

(20)

untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan produk udang serta persyaratan

udang beku berdasarkan SNI 01-2705.1-2006.

Tabel 3. Persyaratan V. parahaemolyticus pada produk perikanan di

berbagai negara

Negara Jenis pangan Persyaratan Referensi

Uni Eropa Krustasea, moluska, dan kerang olahan

MPN ≤100 cfu/g ISO 8914

USA Produk perikanan siap saji

MPN >104/g (KP + / -)

FDA –Compliance Programme Guidance

Manual 7303.844

Jepang Produk perikanan untuk konsumsi mentah

Ababouch et al. (2005); Badan Standardisasi Nasional (2006)

Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan perairan payau

seperti pantai atau muara sungai serta umum terdapat selama kegiatan budidaya

udang (Vandenberghe et al. 2003). Keberadaan Vibrio spp. terutama berkaitan

dengan bahan organik dan fluktuasi oksigen terlarut pada lahan budidaya. Selain

itu dalam kondisi normal peningkatan suhu akan menimbulkan keragaman spesies

Vibrio (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Beberapa spesies patogen Vibrio

seperti V. harveyi dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang menginfeksi

udang (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1995; Lavilla-Pitogo, 1995; Lightner,

1993) dan umumnya disebut dengan patogen oportunistik yang dapat

menyebabkan penyakit pada udang (Goarant et al. 1999). Infeksi V.

parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai dewasa. Penyakit

pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu berubahnya warna

tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian. Kematian udang

karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan Dureza, 1997)

Sistim pemeliharaan udang di tambak umumnya dibedakan atas sistim

tradisional dan intensif. Kedua sistim tambak ini memiliki beberapa perbedaan

antara lain sumber air, pengelolaan kualitas air, padat tebar benur udang,

(21)

umumnya tidak menerapkan manajemen pengelolaan kualitas air tambak, dimana

sumber air untuk pemeliharaan umumnya berasal dari aliran sungai yang berada

di sekitar tambak. Hal ini memberi peluang besarnya kandungan kontaminan dari

sumber air seperti logam berat dan bakteri patogen yang dapat menyebabkan

tingkat kematian pada udang cukup tinggi. Selain itu tambak tradisional tidak

dilengkapi oleh sistim aerasi yang berfungsi mengatur ketersediaan oksigen

(Komarawidjaja dan Garno, 2003).

Disamping merupakan patogen pada udang, beberapa spesies Vibrio juga

bersifat patogen pada manusia. Lebih dari 12 spesies Vibrio diketahui terkait

dengan penyakit pada manusia, dan spesies V. cholerae dan V. parahaemolyticus

merupakan patogen yang dominan penyebab penyakit pada manusia (Kaysner dan

DePaola, 2004). V. cholerae merupakan spesies patogen Vibrio yang memiliki

lebih dari 200 serotipe, akan tetapi hanya serotipe O1 dan O139 yang bersifat

patogen dan menyebabkan penyakit pada manusia. Sementara itu serotipe lainnya

disebut dengan non O1/O139 dan jarang menginfeksi manusia (Kaper et al. 1995;

Anderson et al. 2004). V. cholerae memproduksi enterotoksin kolera yang

menyebabkan penyakit kolera pada manusia. Penyakit kolera ditularkan melalui

jalur fekal-oral, melalui air yang terkontaminasi saat pencucian bahan pangan

ataupun bahan pangan yang terkontaminasi feses manusia yang biasa digunakan

untuk pupuk (Dobosh et al. 1995; Kaysner, 2000; Popovic et al. 1993). Galur O1

umumnya diisolasi dari sampel klinis sedangkan galur non O1/O139 diisolasi dari

lingkungan perairan dan produk perikanan.

Spesies Vibrio lain yang patogen terhadap manusia adalah V.

parahaemolyicus, merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi

pada air, sedimen, plankton, produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Hal

ini karena bahan-bahan tersebut memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan

bakteri ini seperti ketersediaan nutrien, kandungan garam, pH dan Aw.

Di Indonesia, penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk

perikanan termasuk udang masih jarang dilakukan. Dewanti-Hariyadi et al.

(2002) melaporkan bahwa V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang

yang berasal dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pasar grosir dan unit

(22)

demikian tidak diketahui apakah V. parahaemolyticus pada sampel udang tersebut

bersifat patogenik. Penelitian lain juga melaporkan bahwa ditemukan V.

parahaemolyticus pada seluruh sampel kerang mentah dan olahan (n=47) yang

berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat, dimana 36% dari

isolat tersebut merupakan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi

berdasarkan gen penyandi tdh (thermostable direct hemolysin)

(Marlina et al. 2007).

Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, V. parahaemolyticus juga

pernah diisolasi dari sampel klinis pasien diare di beberapa rumah sakit di

Indonesia dan diketahui sebesar 7.3% (n=2812) merupakan V. parahaemolyticus

dengan Fenomena Kanagawa (KP) positif (Tjaniadi et al. 2003). Persentase ini

lebih kecil dibandingkan dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi

lebih tinggi dari persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic

E. coli (EHEC).

Untuk mengetahui bahwa V. parahaemolyticus bersifat patogenik,

umumnya dilakukan pengujian Kanagawa yakni dengan mengamati pembentukan

daerah bening pada agar Wagatsuma yang menandakan adanya hemolisin. V.

parahaemolyticus yang menghasilkan Kanagawa positif (KP+) adalah galur yang

menghasilkan faktor virulen thermostable direct hemolysin (TDH) yang disebut

dengan gen tdh. Meskipun demikian tidak semua V. parahaemolyticus patogenik

ditandai dengan hasil uji Kanagawa positif. Hal ini ditemukan pada pasien

penderita diare yang tidak menunjukkan hasil KP+. Faktor virulen ini kemudian

dikenal dengan thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH) dan

disebut gen trh. Analisis berdasarkan reaksi biokimiawi ini ternyata memiliki

beberapa kelemahan sehingga dikembangkan metode analisis untuk

mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan pendekatan

molekuler seperti metode polymerase chain reaction (PCR). Metode ini

merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu

sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode PCR banyak

dikembangkan untuk pengujian mikrobiologi karena memiliki keunggulan

diantaranya sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif

(23)

sedikit (Yuwono, 2006). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik

menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi sekuen

nukleotida berdasarkan keberadaan gen penyandi tdh dan trh.

Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan penolakan ekspor udang Indonesia adalah

kontaminasi bakteri patogen diantaranya Vibrio parahaemolyticus.

V. parahaemolyticus merupakan patogen oportunistik terhadap udang dan juga

merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Akan tetapi

ketersediaan data keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas

udang tambak masih sangat terbatas.

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik komoditas udang tambak di

Indonesia masih jarang dilakukan. Metode identifikasi V. parahaemolyticus

patogenik dengan metode konvensional berdasarkan reaksi biokimia telah banyak

dilakukan akan tetapi memiliki kelemahan seperti waktu analisis yang lama,

ketepatan hasil uji dan sensitifitas yang rendah. Selain itu metode konvensional

tidak dapat mengidentifikasi keberadaan TRH pada sampel.

Metode PCR merupakan salah satu pengembangan metode identifkasi V.

parahaemolyticus patogenik dengan pendekatan molekular yang telah banyak

dikembangkan karena dapat menghasilkan akurasi dan ketepatan hasil uji yang

lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak

dengan metode PCR diharapkan dapat memperoleh hasil uji yang akurat.

 

Tujuan penelitian 

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi frekuensi isolasi V.

parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak tradisional dan

intensif. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus secara biokimiawi

pada komoditas udang yang berasal dari tambak tradisional dan intensif serta

manganalisis faktor yang berkontribusi terhadap keberadaan bakteri ini.

b. Mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang

(24)

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

a. V. parahaemolyticus berpotensi ditemukan pada komoditsas udang tambak

baik tambak tradisional maupun intensif, dengan frekuensi isolasi yang lebih

tinggi terdapat pada tambak tradisional.

b. V. parahaemolyticus patogenik pada sampel lingkungan dan produk

(25)

c.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Vibrio parahaemolyticus

Vibrio parahaemolyticus adalah salah satu spesies bakteri dari famili

Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curved

atau straight ), anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat

motil dengan single polar flagellum. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik

(tumbuh optimum pada media yang berkadar garam 3%), tidak memfermentasi

sukrosa dan laktosa, dapat tumbuh pada suhu 10-44oC (optimum suhu 37oC), dimana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit di

kondisi optimum pertumbuhannya. Sementara itu kisaran pH dan Aw

pertumbuhannya berturut-turut adalah 4.8 – 11 (optimum 7.8 – 8.6) dan 0.94 –

0.99 (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005;

Lake et al. 2003). Beberapa karakter Vibrio parahaemolyticus yang

membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi

sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media

padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang

halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholerae

mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984).

Gambar 1. Sel V. parahaemolyticus menggunakan

scanning electron micrograph (SEM), bar = 1µm

(26)

Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri atas kelompok

antigen yaitu : tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen

tipe H merupakan antigen paling umum untuk seluruh galur Vibrio

parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile dan antigen

tipe K bersifat thermostable. Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari

70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe (Tabel 4), dimana 5 dari

antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian

digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio

parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004). Skema antigen ini pertama kali

dipublikasikan oleh Sakazaki et al. (1963), selanjutnya beberapa serotipe

ditambahkan oleh Komite Serotipe Vibrio parahaemolyticus Jepang dimana

antigen K : 2, 14, 16, 29, 35 dan 62 bukan merupakan hasil dari Komite. Antigen

K : 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19 bisa ditemukan lebih dari satu antigen O.

Tabel 4. Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus

Antigen O Antigen K

Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan

perairan payau seperti pantai, muara sungai atau tambak yang tersebar di seluruh

dunia. Keberadaan bakteri ini umumnya lebih sering ditemui pada wilayah

beriklim sedang dan tropis atau pada musim panas di negara-negara empat musim.

V. parahaemolyticus umumnya terdeteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan,

krustasea, kekerangan dan moluska. Produk perikanan memberikan semua

(27)

berkembang biak seperti keberadaan garam, kandungan nutrien, pH dan Aw

yang optimum dan faktor lainnya sehingga bakteri inisering disebut flora normal

pada produk perikanan.

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan V. parahaemolyticus Bakteri patogen yang terkait dengan produk perikanan secara umum

dikelompokkan atas 3 yaitu : bakteri yang merupakan flora normal perairan laut

(Vibrio spp., Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan Aeromonas

hydrophila), bakteri yang berasal dari kontaminasi feses (Salmonella spp., E. coli

patogenik, Shigella spp., Campylobacter spp., dan Yersinia enterocolitica), dan

bakteri yang berasal dari kontaminasi selama pengolahan (Bacillus cereus,

Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium perfringens).

V. parahaemolyticus merupakan flora normal yang hidup di perairan payau dan

sebagian jenisnya bersifat patogen pada produk perikanan seperti udang, ikan,

kepiting, tiram, kerang, dan jenis cephalopoda. (Feldhusen, 2000; Liston, 1990;

Liu dan Chen, 2004; Su dan Liu, 2007).

Keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan dan produk

perikanan dipengaruhi oleh musim, lokasi, polutan, jenis sampel dan metode

analisis (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; DePaola et al. 2000; Kaneko dan

Colwell, 1973; Kaysner et al. 1990; Watkins dan Cabelli, 1985) . Suhu perairan

merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat V. parahaemolyticus pada

lingkungan, dimana terjadi peningkatan jumlah V. parahaemolyticus pada kisaran

suhu 10-30°C (De Paola et al. 1990; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan

Cabelli, 1985). Penelitian menunjukkan V. parahaemolyticus jarang ditemukan

saat suhu perairan di bawah 10°C akan tetapi keberadaannya akan meningkat

sejalan dengan meningkatnya suhu perairan. Studi ekologi lainnya menyebutkan

bahwa V. parahaemolyticus dapat bertahan hidup pada biota perairan (plankton,

kekerangan, kustasea, ikan) dan sedimen selama musim dingin dan akan terlepas

ke perairan saat suhu meningkat pada awal musim panas (Kaneko dan Colwell,

1973). DePaola et al. (1990) melaporkan, hasil survei 9 pantai di USA dalam

kurun waktu 1984-1985 menunjukkan densitas V. parahaemolyticus yang cukup

(28)

Namun demikian, densitas bakteri ini meningkat menjadi 103 koloni/ml saat suhu perairan mencapai 25°C. Pada budidaya tiram di Oregon juga menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah V. parahaemolyticus dengan peningkatan

suhu dan pupolasi tertinggi terjadi pada musim panas (Duan dan Su, 2005).

Sementara itu keberadaan V. parahaemolyticus di produk perikanan

diketahui lebih banyak teridentifikasi pada saat terjadi peningkatan suhu

lingkungan. Keysner dan DePaola (2000) melaporkan jumlah V.

parahaemolyticus pada tiram yang dipanen pada musim semi dan panas lebih

banyak dibandingkan musim dingin yaitu di atas 103cfu/g dan dapat berkembang biak dengan cepat pada tiram yang terpapar suhu tinggi. Hasil penelitian Gooch

et al. (2002) menunjukkan bahwa populasi V. parahaemolyticus pada tiram

meningkat 50-790 kali lipat dari jumlah awal selama 24 jam setelah panen jika

disimpan pada suhu 26°C. Sementara itu, hasil survei sampel tiram yang diambil dari restoran dan seluruh pasar produk hasil perikanan tingkat eceran sampai

grosir di USA selama Juni 1998 - Juli 1999 menyimpulkan bahwa V.

parahaemolyticus memiliki kepadatan tertinggi (> 103MPN/g) pada musim panas (Cook et al. 2002).

V. parahaemolyticus dapat dideteksi pada rentang salinitas yang cukup

besar (5-35 ppt) dengan salinitas optimal berkisar 22 ppt (DePaola et al. 1990).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang tidak langsung

antara polusi fekal dengan keberadaan V. parahaemolyticus karena diduga

merupakan biostimulasi dari mikrofauna yang berasosiasi dengan V.

parahaemolyticus (Watkins dan Cabelli, 1985). Selain itu V. parahaemolyticus

diduga terkait erat dengan keberadaan zooplankton terutama copepoda yang

dikaitkan dengan aktivitas dan afititas kitinase dari kitin (Fratamico et al. 2005;

Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985).

Penyakit Bawaan Pangan (foodborne diseases)oleh Vibrio parahaemolyticus Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat

menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan (foodborne

diseases) terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna.

(29)

pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang

mengandung V. parahaemolyticus. Penyakit karena V. parahaemolyticus adalah

gastroenteristis seperti diare (98%), kejang bagian perut (82%), mual (71%),

muntah (52%), dan demam (27%) dengan masa inkubasi 4-96 jam dengan

rata-rata 15 jam (Barker dan Gangarosa, 1974; Levine et al. 1993) . Sebagian kecil

kasus, bakteri ini menyebabkan kerusakan (luka) pada mukosa usus sehingga

terdapat darah pada feses penderita bahkan dapat menyebabkan septisemia.

Penyakit bawaan pangan oleh V. parahaemolyticus umumnya lebih sering

terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhan

bakteri ini. Awalnya kasus V. parahaemolyticus terjadi secara sporadis akan

tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menjadi kasus kejadian luar

biasa (KLB). Kasus infeksi karena V. parahaemolyticus melalui konsumsi pangan

pertama sekali terjadi di Osaka-Jepang pada tahun 1951 akibat mengkonsumsi

ikan sardine mentah. Kasus ini memakan korban sebanyak 272 orang menderita

sakit dan 20 orang meninggal (Daniels et al. 2000). Tahun 1998 kasus infeksi

karena V. parahaemolyticus meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1997

dan melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella. Pada kurun waktu

1996-1998 terjadi 20-30% kasus KLB (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005).

Negara Asia lainnya adalah Taiwan, sebanyak 57% (42/74 kasus KLB) adalah

yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus seperti yang dilaporkan Kementerian

Kesehatan Taiwan tahun 1994. Kurun waktu 1986-1995 sebanyak 35% (197/555

kasus) merupakan kasus yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus (Pan et al.

1996; Pan et al.1997). Sementara itu terjadi 5 kasus KLB di di Thailand, dimana

7-93 orang terinfeksi setelah mengkonsumsi kepiting dan ikan makarel olahan

pada tahun 1971. Pada November 1970-Juni 1973, sebanyak 7930 sampel klinis

penderita diare teridentifikasi V. parahaemolyticus (Phayakvichien et al. 1990).

Di Vietnam, kasus KLB terdeteksi sebanyak 548 kasus pada tahun 1997-1999,

dimana 90% terjadi pada usia di atas 5 tahun. Dalam kasus ini sebanyak 77%

menderita muntah, diare (53%), dan diare berdarah (6%) (Tuyet et al. 2002).

Indonesia sendiri pernah terjadi kasus sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan

(30)

1974 (Bonang et al. 1974). Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus yang

terjadi di negara-negara di Asia dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia

No Negara Insiden V. parahaemolyticus Referensi

1 Jepang - Kasus I tahun 1951 (272 orang 555 kasus) adalah kasus Vp

Pan et al.(1996)

Pan et al.(1997)

3 Thailand - Terjadi 5 kasus KLB karena konsumsi kepiting dan makarel pada tahun 1971 - Tahun 1970-1973 terdapat Vp pada

7390 sampel klinis pasien diare

Phayakvichien et al. (1990)

4 Vietnam - Tahun 1997-1999, terjadi 548 kasus Tuyet et al. (2002) 5 Indonesia - Tahun 1974 ditemukan 3.7% (19/154

pasien) dengan gastroenteris akut karena Vp

Bonang et al. (1974)

Kasus KLB V. parahaemolyticus juga dilaporkan terjadi di negara Eropa

dan Amerika (Tabel 6) walaupun lebih jarang dibandingkan negara-negara di

Asia. Robert-Pillot et al. (2004) menyebutkan bahwa kasus KLB serius pernah

terjadi di Perancis pada tahun 1997 karena mengkonsumsi udang yang diimpor

dari Asia dan memakan korban 44 orang. Amerika Serikat melaporkan terjadi 40

kasus KLB yaitu sepanjang 1973 – 1998 di 15 negara bagian dan wilayah Guam

dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 - 100%) dimana

sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Penyebabnya adalah tiram dan kerang

mentah (38% kasus) atau yang tidak dimasak sempurna. Pada periode ini, 30%

KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar yaitu Juli–

Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget

Sound, Washington selanjutnya dua kasus KLB gastroenteritis karena V.

parahaemolyticus terjadi pada Mei–Juni 1998 akibat mengkonsumsi tiram mentah

yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V.

parahaemolyitcus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal

(31)

Kasus KLB V. parahaemolyitcus di New York, Oregon dan Washington,

kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan

remis mentah dan olahan di restoran. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai

Washington dan British Columbia-Canada yang didistribusikan secara nasional ke

pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya

daerah sebaran penyakit. Pada tahun 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber

produk hasil perikanan yang sama dan berimplikasi pada penutupan perusahaan

pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB (Balter et

al, 2006). Selain itu kasus KLB juga dilaporkan di Chile pada November

1997-April 1998, dimana kasus ini terkait dengan konsumsi kerang. Hal ini diduga

adanya pengaruh El Nino selain suhu perairan yang kemungkinan dapat

membantu blooming bakteri. Spanyol juga menghadapi kasus KLB karena V.

parahaemolyticus antara Agustus-September 1999, dimana 64 orang menderita

sakit setelah mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari pasar lokal (Cordova

et al. 2002; Lozano-Leon et al. 2003).

Tabel 6. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika

No Negara Insiden V. parahaemolyticus Referensi

1 Perancis - Tahun 1997 karena konsumsi udang yang diimpor dari Asia

Guam dengan 1064 penderita - Mei-Juli 2006, terjadi kasusKLB setelah mengkonsumsi tiram dan

remis mentah dan olahan

Daniels et al. (2000)

Balter et al. (2006)

3 Chile - November 1997-April 1998, terjadi kasus KLB terkait dengan konsumsi kerang

Cordova et al. (2002)

4 Spanyol - Bulan Agustus-September 1999, sebanyak 64 orang terinfeksi Vp

Lozano-Leon et al. (2003)

Penyakit bawaan pangan karena V. parahaemolyitcus sangat terkait

dengan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kasus V. parahaemolyitcus

yang terjadi di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi

(32)

terjadi di beberapa negara Asia lainnya yang mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah seperti Jepang, Cina,

Vietnam, dan Thailand. Selain itu infeksi karena V. parahaemolyitcus juga terjadi

setelah mengkonsumsi produk perikanan olahan. Hal ini terutama disebabkan

oleh pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V.

parahaemolyitcus yang ada, atau proses penanganan yang buruk seperti kondisi

higiene dan sanitasi tidak terjaga, penyimpanan produk pada suhu ruang selama

beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang

antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah. Di Thailand, tingkat

kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan sebesar 77.5% pada

kurun waktu 1971-1972. Penelitian lain menyebutkan terdapat 27% dan 49%

produk perikanan beku dan mentah mengandung V. parahaemolyticus. Sementara

itu sebanyak 78% seafood mentah di Bangkok pada Mei-Oktober 1994

terkontaminasi V. parahaemolyticus, dimana kontaminasi tertinggi terdapat pada

remis (100%), kerang (96%), udang (68%) dan kepiting bakau (51%). Produk

udang beku yang siap diekspor juga ditemukan V. parahaemolyticus sebesar 64%

pada Mei 1995-Juli 1996. Sampel udang beku di unit pengolahan di Propinsi

Chachoengsao-Thailand juga terkontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 80%

(April-Mei 1999) (Limuthaitip, 1995; Kowcachaporn, 1997; Phayakvichien et al.

1990; Phumiprapat, 1992; Pungchitton, 1999 dalam Jaesawang, 2005).

Infeksi V. parahaemolyticus pada manusia terkait dengan galur patogenik

dari bakteri ini. Galur bakteri penyebab gastroenteritis pada manusia pertama kali

diisolasi dari sampel klinis penderita kasus KLB di Calcutta-India tahun

1994-1996 yaitu V. parahaemolyticus O3:K6 (Okuda et al. 1997). V.

parahaemolyticus O3:K6 ini bersifat pandemik di negara Asia Tenggara akan

tetapi bukan merupakan galur yang sama dengan galur O3:K6 yang masuk

melalui turis-turis Asia (international travellers) yang terjadi pada tahun

1982-1993 (Chiou et al. 2000; Okuda et al. 1997; Vuddhakul et al. 2000). Galur

O3:K6 juga teridentifikasi di USA pada tahun 1998 dan menyebabkan kasus KLB

(416 orang) setelah mengkonsumsi tiram mentah (Daniels et al. 2000). Selain itu

galur ini pada produk yang sama juga menyebabkan kasus KLB di Connecticut,

(33)

dan menyebabkan peningkatan KLB di dunia adalah O4:K68 dan O1:K

untypeable (KUT), dimana galur ini dilaporkan terkait dekat dengan galur O3:K6

(Martinez-Urtaza et al. 2004).

Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa V. parahaemolyticus

patogenik umumnya diisolasi dari 90% sampel klinis dan hanya sekitar 1-2% dari

lingkungan maupun produk perikanan (Kelly dan Dan Stroh, 1988; Miyamoto et

al. 1969; Sakazaki et al. 1968). V. parahaemolyticus patogenik umumnya

dihubungkan dengan kemampuan bakteri ini memproduksi hemolisis.

Berdasarkan kemampuannya memproduksi hemolisis , terdapat 3 jenis hemolisis

yang dihasilkan oleh V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH),

thermostable direct hemolysin (TDH), dan TDH related hemolysin (TRH).

Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein dengan berat molekul

berturut-turut 47.5 dan 45.3kDa yang memiliki aktivitas phospholipase/lyso

phospholipase . Hemolisis ini terdapat pada semua galur V. parahaemolyticus

akan tetapi peranannya dalam patogenesis tidak diketahui secara pasti (Bhunia,

2008). Gen penyandi tlh banyak digunakan untuk mengidentifikasi V.

parahaemolyticus pada sampel dengan menggunakan metode berbasis molekuler.

Infeksi oleh V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis pada manusia

terkait dengan keberadaan thermostable direct hemolysin (TDH). Kejadian ini

dikenal dengan istilah fenomena Kanagawa (KP) dan disebut sebagai faktor

virulen. Fenomena Kanagawa (KP+) merupakan aktivitas β hemolisis pada media

agar Wagatsuma (mengandung sel darah merah manusia) yang ditandai dengan

pembentukan zona bening di sekitar koloni pada media agar setelah diinkubasi

pada suhu 37°C selama 18-24 jam (Joseph et al. 1982; Miyamoto et al. 1969;

Sakazaki et al. 1968). Keberadaan KP+ terkait dengan produksi TDH yang dapat

menyebabkan lisis pada membran sel darah merah melalui pembentukan pori

sehingga beberapa ion masuk ke dalam sel dan terjadi pembengkakan sel yang

mengakibatkan kematian sel karena ketidakseimbangan ion (Bhunia, 2008).

Mekanisme hemolisis yang disebabkan oleh TDH diawali dengan tahap

(34)

yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada membran sel (Honda et al.

1992). Thermostable direct hemolysin (TDH) bersifat stabil terhadap panas

(100°C; 10 menit) dan aktivitas hemolitiknya tidak dapat ditingkatkan dengan

penambahan lesitin. Hal ini yang menunjukkan bahwa TDH memiliki aktivitas

langsung terhadap sel darah merah (Nishibuchi dan Kaper, 1995). Aktivitas TDH

menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel sehingga memicu

sekresi ion klorida melalui sel intestinal.

Thermostable direct hemolysin (TDH) merupakan protein (terdiri dari 165

asam amino) yang tidak memiliki lipida dan karbohidrat dengan berat molekul 42

kDa. Thermostable direct hemolysin (TDH) terdiri dari 2 sub unit identik yang

masing-masing memiliki berat molekul 21 kDa (Honda dan Iida, 1993; Miyamoto

et al. 1980; Takeda et al. 1978 dalam Levin, 2009). Gen penyandi TDH pertama

kali dikloning oleh Kaper et al. (1984) yang disebut tdh1, kemudian ditemukan

gen tdh2 oleh Hida dan Yamamoto (1990). Nishibuchi dan Kaper (1990)

melaporkan bahwa semua KP+ pada sampel klinis galur V. parahaemolyticus

umumnya mengandung gen tdh1 dan tdh2 dan jika galur V. parahaemolyticus

menunjukkan aktivitas hemolisin yang rendah pada agar Wagatsuma maka diduga

hanya memiliki 1 gen tdh. Thermostable direct hemolysin (TDH) disebut sebagai

faktor virulen pertama V. parahaemolyticus dan digunakan untuk mengidentifikasi

galur patogenik V. parahaemolyticus (Cook et al. 2002; Okuda et al. 1997).

V. parahaemolyticus patogenik umumnya terkait erat dengan KP+, akan

tetapi Honda et al. (1987 dan 1988) melaporkan bahwa ditemukan V.

parahaemolytic patogenik pada sampel klinis pasien KLB di Maldives pada

tahun1985 yang ditandai dengan Fenomena Kanagawa negatif (KP-). Galur ini

diketahui tidak memproduksi TDH tetapi memproduksi TDH-related hemolysin

(TRH) yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Shirai et al. (1990)

menyatakan bahwa 52 galur dari sampel klinis 8 pasien diare hanya memproduksi

TRH sehingga disebut juga sebagai gen patogen V. parahaemolyticus. Gen trh

umumnya dikaitkan dengan V. parahaemolyticus yang menunjukkan hasil urease

yang positif sehingga sering dijadikan indikator untuk identifikasi V.

parahaemolyticus patogenik walaupun tidak mutlak (Suthienkul et al. 1995;

(35)

tdh sebesar 68%. Gen trh diketahui lebih labil terhadap panas karena inaktivasi

gen trh dapat dilakukan pada suhu 65°C selama 15 menit.

Selain kemampuan memproduksi hemolisin, aktivitas urease diduga terkait

dengan V. parahaemolyticus patogenik. Umumnya V. parahaemolyticus tidak

memproduksi urease (Okuda et al. 1997; Osawa et al. 1996). Kelly dan Stroh

(1989) melaporkan bahwa isolasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di

Canada menunjukkan semua sampel memberikan hasil urease positif (Uh+) dan hasil Kanagawa negatif. Produksi urease oleh V. parahaemolyticus pada

umumnya dikaitkan dengan keberadaan faktor virulen TRH sehingga diduga dapat

digunakan untuk identifikasi V. parahaemolytic patogenik yang memproduksi gen

trh ( Osawa et al. 1996). Aktivitas urease dan TRH dilaporkan saling terkait

karena adanya hubungan secara genetis antara gen urease (ureC) dan gen trh pada

kromosom dari galur V. parahaemolyticus patogenik (Iida et al. 1997; Park et al.

2000). Namun demikian, gen urease tidak berpengaruh terhadap regulasi ekspresi

gen tdh dan trh (Nakaguchi, 2003).

Genom V. parahaemolyticus O3:K6 diketahui memiliki dua gen sistim

sekresi tipe III (TTSS) yaitu TTSS1 dan TTSS2 yan terdapat pada kromoson I dan

II. TTSS merupakan factor virulen penyebab diare yang dimiliki oleh bakteri

seperti Shigella, Salmonella, dan enteropathogenic E. coli (EPEC). Secara umum

mekanisme sistim sekresi tipe III (TTSS) ini terlibat dalam perpindahan protein

efektor bakteri menuju sitoplasma sel inang dari bakteri tersebut (Makino et al.

2003). Hal ini diduga juga merupakan faktor virulen yang terdapat pada V.

parahaemolyticus.

Salah satu faktor virulen yang dimiliki bakteri Gram negatif termasuk V.

parahaemolyticus adalah kemampuan menempel pada sel epitel inangnya. V.

parahaemolyticus diketahui dapat memproduksi sel yang berasosiasi dengan

hemaaglutinin (HA) pada saat menempel di mukosa usus (Yamamoto dan Yokota,

1989). Hemaaglutinin merupakan glikoprotein antigenik yang berperan dalam

proses terikatnya virus pada sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan sel darah

merah menggumpal. Selain itu pili dari V. parahaemolyticus diduga memiliki

peranan dalam hal menempelnya reseptor epitel usus (Nakasone dan Iwanaga,

(36)

Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik

Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak

dikembangkan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan

dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang

ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang

ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma. Metode ini memiliki kelemahan

antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis

yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk

mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional

untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut mendorong

pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas

tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek.

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler

seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan. Metode PCR

telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena

memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi,

ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk

pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit.

Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara

eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini

pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki

tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu

molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4

komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA

yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida

pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai

DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP,

dGTP, dTTP; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan

katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA

polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk

tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan

(37)

lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam

proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer

terkandung 10-50 mM Tris-HCl (pH 8.3-8.8), KCl, MgCl2, dan komponen lain seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan

kestabilan enzim Taq DNA polimerase.

Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA

(pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari :

a. Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan

rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan

copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai

tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1-2 menit.

b. Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan

DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen

dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen

primer. Annealing dilakukan pada suhu 55°C selama 1-2 menit. Suhu 55°C

yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi

yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien

pada suhu 37 °C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang

salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang

memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung

5’fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’OH

pada rantai cetakan DNA lain.

c. Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru

berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA. Setelah terbentuk

polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen

dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72°C yang

merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit.

DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai

DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94°C untuk

memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan

(38)

Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak 25-30 siklus dan pada

akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam

jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang

digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose

dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989).

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR

dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus.

Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik

dari masing-masing gen penyandi tersebut. Salah satu sekuen nukleotida dan

protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus

patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh

amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada

ukuran amplikon 250 bp.

Sekuen nukleotida baik gen tdh maupun gen trh bakteri V.

parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian

melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki

keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki

sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk

gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu

annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk

identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp

dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi.

Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization

menggunakan probe gen tdh dan trh. Sedangkan sensitifitas metode PCR

dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan

AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh.

Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh

bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon

yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V.

parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen

(39)

pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan

Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara

itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V.

parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer

VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan

(40)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Survei dan pengambilan sampel dilakukan di tambak udang tradisional

dan intensif yang berlokasi di pantai utara Jawa Barat. Pengujian V.

parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak dilakukan di

Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset

Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset

Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slipi, Jakarta

Pusat. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus 2010 hingga Maret 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname

(Litopenaeus vannamei) yang berasal dari tambak tradisional dan insentif.

Sebagai kontrol positif digunakan isolat V. parahaemolyticus penghasil TDH dan

TRH yang merupakan koleksi Fakultas Farmasi Universitas Andalas-Padang yang

berasal dari Kyoto University. Media untuk isolasi dan konfirmasi V.

parahaemolyticus presumtif adalah media cair tryptic soy broth (TSB), alkaline

saline pepton water (ASPW), media agar thiosulfate citrate bile salt sucrose

(TCBS), tryptic soy agar (TSA), motility test medium (MTM), triple sugar iron

(TSI), dan media untuk pewarnaan gram. Seluruh media, kecuali untuk pewarnaan

gram dan TCBS ditambahkan NaCl sampai 3%. Media untuk konfirmasi V.

parahaemolyticus menggunakan API 20E biochemical test kit. Bahan- bahan

untuk isolasi DNA antara lain media cair tryptic soy broth (TSB) +2.5%NaCl, TE

buffer, Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Cetyiltrimethyl Ammonium Bromide

(CTAB), Natrium Chloride (NaCl), proteinase-K, sodium asetat, RNase, fenol,

kloroform, isoamil alkohol, isopropanol, etanol 70%. Bahan- bahan untuk

elektroforesis DNA meliputi bufer TBE, agarosa, dan sybr safe gold.

Bahan-bahan yang digunakan untuk amplifikasi gen tdh dan trh antara lain Go Taq

(41)

PCR, 3mM MgCl2, dan dNTP (masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), DNA/RNA free water, cetakan DNA, standard DNA ladder 100bp, dan

primer oligonukleotida untuk gen tdh dan trh yang masing-masing memiliki

ukuran amplikon 251 bp dan 250bp (Tada et al. 1992). Urutan basa primer untuk

gen tdh dan trh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen tdh dan trh

Target DNA Ukuran

amplikon Urutan basa (5’-3’)

GGT ACT AAA TGG CTG ACA TC (forward)

Gen tdh 251bp

CCA CTA CCA CTC TCA TAT GC (reverse)

GGC TCA AAA TGG TTA AGC G (forward)

Gen trh 250bp

CAT TTC CGC TCT CAT ATG C (reverse) Tada et al. (1992)

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peti berinsulasi,

termometer, botol plastik steril, plastik steril, mikroeppendorf 1.5 ml, 200µl,

erlenmeyer 250 ml, 125 ml, timbangan digital, stomacher, vorteks, tabung reaksi

bertutup, jarum ose, cawan petri, botol pengencer, refrigerator, refrigerator

-20oC, sentrifius, inkubator 37°C, autoklaf, laminar air flow, mikropipet beserta tip ukuran 10, 100, 200, dan 1000µl, DNA/RNA/protein analyser, PCR system

thermal cycler (Gene AMP PCR 9700), perangkat elektroforesa (Model B1A; owl

separation system), gel documentation (EC 250-90; EC apparatus coorporation),

dan UV transillumination (UVT 20 M; Herolab, BDA Digital Biometra).

Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah apiwebTM (Biomeireux) untuk

menganalisis hasil uji biokimia dengan API 20E biochemical test kit.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang meliputi (1) survei

lapang lokasi tambak tradisional dan intensif, (2) pengambilan sampel udang dari

tambak tradisional dan intensif hasil survei, (3) isolasi V. parahaemolyticus dari

sampel udang, (4) karakterisasi sifat fenotipik berdasarkan identifikasi isolat

(42)

parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh. Tahapan

kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Survei Lapang

Survei lapang dilakukan untuk untuk menentukan lokasi tambak udang

yang berpotensi mengandung V. parahaemolyticus baik di tambak tradisional dan

intensif. Pengumpulan data dan informasi pada survei lapang meliputi :

a. Pengumpulan informasi lokasi dan jumlah tambak udang (tradisional dan

intensif) yang masih beroperasi.

b. Pengumpulan informasi waktu panen tambak udang sebagai penentuan

pengambilan sampel udang.

c. Pengumpulan informasi yang terkait dengan kondisi lingkungan tambak

seperti salinitas, pH, suhu, luas areal tambak, waktu panen, dan data dukung

Gambar

Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009)
Tabel 3. Persyaratan
Gambar 1.  Sel V. parahaemolyticus menggunakan   (SEM), bar = 1m
Tabel 5.  Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Penelitian sebelumnya oleh Gerry Segal, Dan Borgia, Jerry Schoenfeld (2005) dalam Aditya Dion Mahesa(2012) yang menguatkan bahwa faktor-faktor yang

Piagam ini berlaku efektif terhitung sejak 29 Maret 2016 (“Tanggal Efektif”). Dengan menandatangani lembar persetujuan, seluruh anggota Direksi dianggap telah menerima dan

Susunan majelis BPSK harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 8

Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa keempat variabel bebas yang digunakan, yaitu sosialisasi perpajakan, pengetahuan perpajakan, persepsi wajib pajak tentang sanksi

Berdasarkan hasil uji F dapat diketahui bahwa semua variabel bebas yang terdiri dari pemahaman Wajib Pajak atas mekanisme pembayaran pajak, persepsi terhadap

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian selanjutnya yang menilai hubungan kadar albumin serum dengan lama rawatan pada penderita stroke iskemik akut dengan jumlah sampel

Menyiapkan bahan – bahan yang akan digunakan yaitu : semen, agregat halus, agregat kasar ( kerikil + limbah / daur ulang beton dengan berbagai variasi ).. 2 Membuat

5 meliputi empat Proses TI didalamnya, seperti pada Tabel 4.18 Tabel 4.18 Nilai Maturity Level Tujuan TI No.5 Kerangka Kerja CobiT Proses Keterangan TI PO2 Mendefinisikan