• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Nanokristal Selulosa Dari Tongkol Jagug (Zea mays L) Dengan Metode hidrolisa Menggunakan Pelarut Dimetil Asetamida/Litium Klorida (DMAc/LiCl)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Isolasi Nanokristal Selulosa Dari Tongkol Jagug (Zea mays L) Dengan Metode hidrolisa Menggunakan Pelarut Dimetil Asetamida/Litium Klorida (DMAc/LiCl)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI NANOKRISTAL SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Zea Mays L) DENGAN METODE HIDROLISA MENGGUNAKAN

PELARUT DIMETIL ASETAMIDA/LITIUM KLORIDA

(DMAc/LiCl)

SKRIPSI

KASRAWATI

090802010

 

 

 

 

 

 

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

 

 

 

(2)

ISOLASI NANOKRISTAL SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Zea Mays L) DENGAN METODE HIDROLISA MENGGUNAKAN

PELARUT DIMETIL ASETAMIDA/LITIUM KLORIDA (DMAc/LiCl)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

KASRAWATI 090802010

   

         

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014  

 

 

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Isolasi Nanokristal Selulosa Dari Tongkol Jagug (Zea mays L) Dengan Metode hidrolisa Menggunakan Pelarut Dimetil Asetamida/Litium Klorida (DMAc/LiCl)

Kategori : Skripsi

Nama : Kasrawati

Nomor Induk Mahasiswa : 090802010

Program Studi : Sarjana (S-1) Kimia

Departemen : Kimia

Fakultas : Matematika Dan Ilmu PengetahuanAlam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, Maret 2014

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Saharman Gea, Ph.D Dr. Marpongahtun M.Sc

NIP. 196811101999031001 NIP.196111151988032002

Diketahui/Disetujui oleh :

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS. NIP. 195408301985032001

 

(4)

PERNYATAAN

ISOLASI NANOKRISTAL SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Zea Mays L) DENGAN METODE HIDROLISA MENGGUNAKAN PELARUT

DIMETIL ASETAMIDA/LITIUM KLORIDA (DMAc/LiCl)

SKRIPSI

Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2014

KASRAWATI 090802010

 

 

 

 

 

 

(5)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah, segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia – Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beriring salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai tauladan seluruh umat. Dalam hal ini penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

Kedua orang tua, ayahanda Abubakar dan ibunda Nazariati yang dengan doa dan kerja kerasnya telah ikhlas membesarkan, membiayai, dan mendidik penulis agar dapat menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agama serta bermanfaat bagi orang lain. Bang Yusri, kakak Tuty Suwandari, adik Fitri Zahra yang selalu memberikan semangat dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk Cek Samsul Bahri, tante Desi aryani, cek Muslim dan Nabila Dara Anggraini.

Ibu Dr. Marpongahtun, M. Sc, sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Saharman Gea, Ph.D sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga selesainya skripsi ini. Ibu Dr. Rumondang Bulan Nasution, M. S, dan Bapak Drs. Albert Pasaribu, M. Sc selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU. Ibu Dra. Saur Lumban Raja, M. Si selaku penasehat akademik dan seluruh staf dosen pengajar jurusan kimia FMIPA USU Medan.

Sahabat-sahabat terbaikku Indah, Asmi, Rina, kak Emi, dan Nur jannah yang selalu memberikan semangat dan doanya. Untuk Echa, Supran, Saipul, Ilman, irwanto, Icha dan Dwi Serta teman-teman seperjuangan Stambuk 2009 yang namanya tidak bisa disebut satu persatu, untuk adik-adik 2010-2012 dan untuk kak ayu. Terkhusus untuk bang Miswar yang selalu setia memberikan semangat serta mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis

 

 

 

(6)

ISOLASI NANOKRISTAL SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Zea May L) DENGAN METODE HIDROLISA MENGGUNAKAN PELARUT

DIMETIL ASETAMIDA/LITIUM KLORIDA (DMAc/LiCl)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai isolasi nanokristal selulosa dari tongkol jagung (Zea Mays L) dengan metode hidrolisa menggunakan pelarut dimetil asetamida/litium klorida (DMAc/LiCl). Tongkol jagung didelignifikasi dengan HNO3 3,5% dan NaNO2, kemudian diendapkan dengan NaOH 17,5% serta proses pemutihan dengan H2O2 10%. Nanokristal selulosa diperoleh melalui metode hidrolisis menggunakan pelarut dimetil acetamida/litium klodida (DMAc/LiCl). Hasil analisa morfologi dengan menggunakan transmission electron microscopy (TEM) menunjukkan bahwa nanokristal selulosa yang diperoleh memiliki diameter sebesar 60,71 nm. Hasil analisa degradasi termal dengan menggunakan Thermogravimetry Analysis (TGA) menunjukkan bahwa α -selulosa mulai terdekomposisi pada suhu 341oC dan nanokristal selulosa mulai terdekomposisi pada suhu 160oC. Nanokristal selulosa memperlihatkan massa residu yang jauh lebih besar daripada α-selulosa, yaitu masing-masing sebesar 33,47% dan 2,416% pada suhu 1000oC. Analisa spektrum FTIR menunjukkan adanya serapan gugus C-O-C pada bilangan gelombang 1064 cm-1 yang mengidentifikasi adanya ikatan glikosida pada α-selulosa dan nanokristal selulosa. Pada puncak 3448 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-H dan puncak 2900-2924 cm-1 adanya gugus C-H.

(7)

ISOLATION OF CELLULOSE NANOCRYSTAL FROM CORNCORB

(Zea Mays L) BY HYDROLYZED METHOD USING SOLVENT DIMETHYL

ACETAMIDE / LITHIUM CHLORIDE (DMAc / LiCl)

ABSTRACT

Isolation of cellulose nanocrystal from corncorb (Zea Mays, L) by hydrolyzed method using solvent dimethyl acetamide/lithium chloride (DMAc/LiCl) have been done. Corncorb was delignificated with 3.5% nitric acid and sodium nitrite, then the residue was treated with 17.5% sodium hydroxide, and bleached with 10% hydrogen peroxide. Cellulose nanocrystal was done by hydrolysis method using solvent dimethyl acetamide / lithium klodida (DMAc/LiCl). From the image of transmission electron microscopy (TEM) analysis shows that the average diameter of cellulose nanocrystal is 60,71 nm. Thermogravimetry Analysis (TGA) curve show that α-cellulose occurs decompose at around 341oC, while cellulose nanocrystal occurs decompose at 160oC. the amount of char residue at 1000oC in cellulose nanocrystal was remarkably higher compare to α-cellulose is 33,47% and 2,416% respectively. FTIR spectra show C-O-C stretch of α-cellulose and cellulose nanocrystal at 1064 cm-1 which indicate that there are glycoside bonding in the compound structure. The peak 3448 cm-1 representative of the O-H group and peak near 2900-2924 cm-1 representatif of the C-H groups.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(8)
(9)

3.3.1.1 Pembuatan Larutan HNO3 3,5% 28 Thermogravimetry Analysis (TGA) 31

3.3.7 Analisa gugus fungsi dengan FTIR 31

3.4 Bagan penelitian 32

3.4.1 Preparasi Serbuk Tongkol Jagung 32

3.4.2 Ekstraksi -Selulosa dari Tongkol Jagung 33

3.4.3 Isolasi nanokristal selulosa dari α-selulosa 34 3.4.4 Karakterisasi Nanokristal Selulosa 35 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian 36

4.2.4 Analisa Degradasi Termal dengan menggunakan TGA 41

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel

2.1 Komposisi kimia jagung 9

2.2 Karakteristik dan komposisi tongkol jagung 10 4.1 Bilangan gelombang FTIR α-selulosa 44  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar

2.1 Struktur kimia selulosa 12

2.2 Proses dialisis dengan menggunakan membran dialisis 20

4.1 Alfa selulosa yang diisolasi dari tongkol jagung 36

4.2 Nanokristal selulosa 37

4.3 Analisa Morfologi Nanokristal selulosa dengan TEM 40

4.4 Kurva TGA α-Selulosa dan Nanokristal selulosa 42

4.5 Spektrum FTIR α-Selulosa 43

4.6 Spektrum FTIR Nanokristal Selulosa 44  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(12)

DAFTAR SINGKATAN

DMAc = Dimetil acetamida

DP = Derajat polimerisasi

FTIR = Fourier Transform infrared

LiCl = Litium klorida

NMMO = N-metilmorfolin-N-oksida

MCC = Microcrystalline cellulose

TEM = Transmisi electron microscopy

TGA = Thermogravimetry analysis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1 FTIR standar untuk α-selulosa 50

2 Serbuk tongkol jagung yang telah dihaluskan 50

3 Proses delignifikasi tongkol jagung 51

4 Proses penyaringan pulp 51

5 Penambahan NaOH 17,5% 52

6 Proses pemutihan 52

7 Proses dialisis selama 8 hari 53

8 Proses penguapan aquadest 53

9 Kurva TGA α-Selulosa dari tongkol jagung 54

10 Kurva TGA Nanokristal Selulosa 54

11 Hasil analisa FTIR α-selulosa tongkol jagung 55

12 Hasil analisa FTIR nanokristal selulosa tongkol jagung 56

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(14)

ISOLASI NANOKRISTAL SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Zea May L) DENGAN METODE HIDROLISA MENGGUNAKAN PELARUT

DIMETIL ASETAMIDA/LITIUM KLORIDA (DMAc/LiCl)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai isolasi nanokristal selulosa dari tongkol jagung (Zea Mays L) dengan metode hidrolisa menggunakan pelarut dimetil asetamida/litium klorida (DMAc/LiCl). Tongkol jagung didelignifikasi dengan HNO3 3,5% dan NaNO2, kemudian diendapkan dengan NaOH 17,5% serta proses pemutihan dengan H2O2 10%. Nanokristal selulosa diperoleh melalui metode hidrolisis menggunakan pelarut dimetil acetamida/litium klodida (DMAc/LiCl). Hasil analisa morfologi dengan menggunakan transmission electron microscopy (TEM) menunjukkan bahwa nanokristal selulosa yang diperoleh memiliki diameter sebesar 60,71 nm. Hasil analisa degradasi termal dengan menggunakan Thermogravimetry Analysis (TGA) menunjukkan bahwa α -selulosa mulai terdekomposisi pada suhu 341oC dan nanokristal selulosa mulai terdekomposisi pada suhu 160oC. Nanokristal selulosa memperlihatkan massa residu yang jauh lebih besar daripada α-selulosa, yaitu masing-masing sebesar 33,47% dan 2,416% pada suhu 1000oC. Analisa spektrum FTIR menunjukkan adanya serapan gugus C-O-C pada bilangan gelombang 1064 cm-1 yang mengidentifikasi adanya ikatan glikosida pada α-selulosa dan nanokristal selulosa. Pada puncak 3448 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-H dan puncak 2900-2924 cm-1 adanya gugus C-H.

(15)

ISOLATION OF CELLULOSE NANOCRYSTAL FROM CORNCORB

(Zea Mays L) BY HYDROLYZED METHOD USING SOLVENT DIMETHYL

ACETAMIDE / LITHIUM CHLORIDE (DMAc / LiCl)

ABSTRACT

Isolation of cellulose nanocrystal from corncorb (Zea Mays, L) by hydrolyzed method using solvent dimethyl acetamide/lithium chloride (DMAc/LiCl) have been done. Corncorb was delignificated with 3.5% nitric acid and sodium nitrite, then the residue was treated with 17.5% sodium hydroxide, and bleached with 10% hydrogen peroxide. Cellulose nanocrystal was done by hydrolysis method using solvent dimethyl acetamide / lithium klodida (DMAc/LiCl). From the image of transmission electron microscopy (TEM) analysis shows that the average diameter of cellulose nanocrystal is 60,71 nm. Thermogravimetry Analysis (TGA) curve show that α-cellulose occurs decompose at around 341oC, while cellulose nanocrystal occurs decompose at 160oC. the amount of char residue at 1000oC in cellulose nanocrystal was remarkably higher compare to α-cellulose is 33,47% and 2,416% respectively. FTIR spectra show C-O-C stretch of α-cellulose and cellulose nanocrystal at 1064 cm-1 which indicate that there are glycoside bonding in the compound structure. The peak 3448 cm-1 representative of the O-H group and peak near 2900-2924 cm-1 representatif of the C-H groups.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,

selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan

Selatan, jagung juga merupakan alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.

Penduduk di beberapa daerah di Indonesia seperti Madura dan Nusa Tenggara juga

menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini

cukup besar, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering per tahun. Adapun konsumsi

jagung terbesar adalah sector pangan dan industri ternak (Budiman, 2002).

Produksi jagung Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 2010 berdasarkan angka

tetap (Atap) III mencapai 1.337.718 ton, sementara produksi jagung di tahun 2011

sebesar 1.240.529 ton. Pada tahun 2012, Dinas Pertanian Sumut menyatakan produksi

jagung Sumut sebesar 1.500.552 ton dan 2013 sebesar 1.773.625 ton. Jumlah limbah

tersebut dapat dikatakan sangat banyak dan akan menjadi sangat potensial jika

dapat dimanfaatkan secara tepat.

Budiman (2002) menyatakan tongkol jagung adalah tempat tersusunnya bunga

betina, yang tumbuh diantara batang dan pelepah daun dimana merupakan tempat

penyimpanan makanan dan mengandung sekitar 40-41% selulosa. Komposisi kimia

dalam tongkol jagung membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber

energi dan sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme.

Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang tidak dipergunakan kembali

dari hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam. Jenis limbah yang belum

banyak dimamfaatkan adalah limbah pertanian. Limbah tongkol jagung biasanya hanya

digunakan sebagai tambahan bahan makanan ternak dan sebagai pengganti kayu bakar

(17)

Meskipun selulosa tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh

tubuh, namun selulosa yang terdapat sebagai serat-serat tumbuhan, sayuran atau

buah-buahan, berguna untuk memperlancar pencernaan makanan. Adanya

serat-serat dalam saluran pencernaan, gerak peristaltik ditingkatkan dan dengan

demikian memperlancar proses pencernaan dan dapat mencegah konstipasi. Tentu

saja jumlah serat yang terdapat dalam bahan makanan tidak boleh terlalu banyak

(Poedjiadi, 2006)

Selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam melainkan

selalu berikatan dengan lignin dan hemiselulosa. Serat selulosa alami terdapat di dalam

dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Selulosa tidak dapat diperoleh

dalam keadaan murni, namun hanya dapat diperoleh sebagai hasil yang kurang murni

yang biasanya disebut α-selulosa yang digunakan sebagai bahan pembuatan kertas

(Soeprijanto, 2008).

Nanokristal selulosa adalah suatu material yang dapat diperbarui dalam banyak

aplikasi berbeda, seperti dalam bidang kimia, makanan, farmasi, dan lain-lain. Suspensi

nanokristal selulosa dapat dibentuk menjadi suatu fase kristalin liquid. Proses isolasi

nanokristal selulosa memiliki banyak peninjauan, seperti dimensi skala nanometer,

tinggi kekuatan spesifik dan modulus, dan tinggi daerah permukaan (Habibi, 2010).

Nanokristal juga bisa dikatakan sebagai material berukuran nanometer dengan dimensi

tidak lebih dari seratus nanometer dan berbentuk kristalin. Pada umumnya, material

dengan dimensi kurang dari satu mikrometer atau seribu nanometer biasa disebut

partikel nanometer. Namun jika material tersebut menunjukkan sifat kristalinitas, maka

bisa disebut dengan nanokristal yang bisa dimamfaatkan dalam persiapan perangkat

biomedis, implan, dan tekstil karena sifatnya yang tidak beracun (Benavides, 2011).

Nanokristal selulosa yang berasal dari hidrolisis dengan menggunakan pelarut

DMAc/LiCl menghasilkan selulosa yang memiliki morfologi yang berbeda tergantung

pada kondisi hidrolisis, yang mempunyai diameter dalam kisaran 10-20 nm dan

panjang dari beberapa ratus nanometer kristalin. Hidrolisis ini adalah salah satu proses

yang digunakan untuk produk nanokristalin selulosa, yang merupakan bangunan kecil

blok yang dilepaskan dari serat selulosa yang murni. Selulosa murni terdiri dari daerah

(18)

dengan daerah kristalin, sehingga serat selulosa ketika menjadi sasaran dari pelarut

DMAc/LiCl, daerah amorf putus melepaskan daerah kristal (Peng, 2011).

Beberapa penelitian telah dilakukan yaitu Aulia (2012) telah meneliti tentang

nanokristal selulosa yang diisolasi dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) yang

dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat. Harahap (2012) telah meneliti tentang

selulosa asetat yang dibuat dari α-selulosa yang diisolasi dari Tandan Kosong Kelapa

Sawit (TKKS). α-selulosa yang diperoleh dari Tandan Kosong Kelapa Sawit diubah

menjadi selulosa asetat dengan penambahan asam asetat glasial. Habibah (2012) telah

meneliti tentang berat molekul dan derajat polimerisasi α-selulosa yang berasal dari

alang-alang (Imperatacylindrica) dengan metode viskositas. Viskositas α-selulosa yang

diperoleh diukur dengan menggunakan viscometer Ostwald dan pengukuran berat

molekul serta derajat polimerisasi dilakukan berdasarkan persamaan

Mark-Kuhn-Houwink.

Proses hidrolisis nanokristal selulosa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat dan hidrolisis dengan menggunakan pelarut

organik DMAc/LiCl. Silverio (2012) telah melakukan penelitian dengan menghidrolisis α-selulosa yang diperoleh dari tongkol jagung dengan menggunakan asam sulfat 9,17 M dengan variasi waktu hidrolisis 30, 60 dan 90 menit. Berdasarkan uraian diatas

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan menghidrolisis α-selulosa yang

diperoleh dari tongkol jagung dengan menggunakan media pelarut organik

DMAc/LiCl.

1.2 PerumusanMasalah

Pada penelitian ini yang menjadi masalah adalah:

1. Apakah α-selulosa dapat diisolasi dari tongkol jagung.

(19)

3. Bagaimana karakterisasi nanokristal selulosa dari tongkol jagung, meliputi sifat

morfologi dengan menggunakan Transmisi Electron Microscopy (TEM),

analisis termal dengan menggunakan Thermogravimetry analysis (TGA) dan

analisa gugus fungsi dengan menggunakan fourier transform infrared (FTIR).

1.3Pembatasan Masalah

Penelitian ini mengambil batasan-batasan sebagai berikut:

1. Tongkol Jagung yang digunakan berasal dari limbah pemipilan biji jagung yang

didapat dari pabrik jagung Sepakat kelompok tani dusun 3 desa Bekulap,

kecamatan Selesai kabupaten Langkat.

2. Isolasi nanokristal selulosa dari α-Selulosa dilakukan melalui hidrolisis dengan

menggunakan pelarut DMAc/LiCl

3. Karakterisasi nanokristal selulosa yang diperoleh menggunakan Transmisi

Electron Microscopy (TEM), Thermogravimetry analysis (TGA) dan Fourier

Transform Infrared (FTIR).

1.4Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui bagaimana cara memperoleh nanokristal selulosa dari α

-selulosa tongkol jagung.

2. Untuk mengetahui bagaimana hasil nanokristal yang diperoleh

3. Untuk mengetahui bagaimana hasil karakterisasi nanokristal selulosa dari

tongkol jagung.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Pemamfaatan tongkol jagung sebagai bahan baku pembuatan nanokristal

selulosa diharapkan mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi pada

(20)

2. Memberikan informasi tentang cara memproduksi nanokristal selulosa dari α

-Selulosa yang diperoleh dari tongkol jagung dengan cara hidrolisis

menggunakan media pelarut organik DMAc/LiCl.

3. Sebagai bahan literatur di perpustakaan USU serta menjadi bahan penelitian

selanjutnya.

1.6Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA USU Medan,

Laboratorium Kimia Fisika FMIPA USU Medan, uji FTIR di laboratorium organik

FMIPA UGM Yogyakarta, uji TEM di Laboratorium TEM FMIPA UGM Yogyakarta

dan Uji TGA di Laboratorium Terpadu FMIPA USU Medan.

1.7Metodologi Penelitian

Penelitian ini berupa eksperimen laboratorium. Ada beberapa tahapan penelitian

yaitu:

1. Tahap pertama adalah penyiapan Tongkol Jagung yang kemudian diisolasi

untuk mendapatkan α-Selulosa

2. Tahap kedua adalah isolasi nanokristal selulosa melalui hidrolisis dengan

menggunakan DMAc/LiCl dan dengan menggunakan sentrifugasi untuk

menghilangkan pelarut organik, sehingga diperoleh bentuk kristalnya

3. Tahap ketiga adalah karakterisasi nanokristal selulosa dengan menggunakan

Transmisi Electron Microscopy (TEM), dan Thermogravimetry analysis (TGA).

Variabel yang digunakan adalah :

a. Variabel tetap

Suhu (oC)

(21)

b. Variabel terikat

Ukuran partikel

Stabilitas termal

Spektrum inframerah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jagung

2.1.1 Taksonomi Jagung

Jagung (Zea mays L) berasal dari Amerika Tengah atau Meksiko bagian Selatan.

Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini

dibawa ke Amerika Selatan sekitar 7000 tahun yang lalu. Jagung hasil budidaya

merupakan keturunan langsung dari teosinte (zea mays ssp. Parviglumis). Bentuk liar

tanaman jagung disebut pod maize dan telah tumbuh 4500 tahun yang lalu di

pegunungan Andes, Amerika Selatan. Literatur lain menyebutkan bahwa jagung

tumbuh subur di kawasan Meksiko, kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan

Amerika Selatan (Rukmana, 1997).

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae Ordo

: Poales Famili

: Poaceae (Graminae) Genus

: Zea

Spesies : Zea mays L.

Di indonesia jagung merupakan makanan pokok kedua setelah pati. Ada

beberapa daerah di indonesia yang mengkonsumsi jagung antara lain Madura,

(23)

Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak

mengandung serat kasar. Serat kasar tersebut terdiri atas lignin, hemiselulosa, selulosa

dan lignoselulosa. Masing-masing senyawa tersebut merupakan senyawa potensial

yang dapat dikonversikan untuk menjadi senyawa lain secara biologik (Soeprijanto,

2008).

2.1.2 Komposisi Tongkol Jagung

Jagung juga merupakan sumber thiamin (vitamin B1) yang sangat penting bagi

kesehatan sel otak dan fungsi kognitif sebab thiamin dibutuhkan untuk membentuk

acetylcholine yang berfungsi untuk memaksimalkan komunikasi antar sel untuk

mencegah terjadinya pikun atau penyakit alzheimer. Biji jagung terdiri atas empat

bagian utama yaitu kulit luar (5%), lembaga (12%), endosperma (82%), dan tudung biji

(1%). Tongkol jagung kaya akan pentosa yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan

furfural (Budiman, 2002). Tongkol jagung merupakan bagian terbesardari limbah

jagung. Dari berat jagung bertongkol, diperkirakan 40-50% adalah tongkol jagung,

yang besarnya dipengaruhi oleh varietas jagungnya (Richana, 2007).

Menurut Richana (2007) tongkol jagung merupakan bahan berlignoselulosa

(kadar serat 38,99%) yang mengandung xilan tertinggi (12,4%) dibanding limbah

pertanian lain. Xilan adalah hemiselulosa yang merupakan polimer dari pentosa atau

xilosa dengan ikatan ß-1,4 yang jumlah monomernya berkisar 150-200 unit.

Hemiselulosa sendiri merupakan polimer dari monomer gula (gula-gula anhidro) yang

dapat dikelompokkan menurut penyusunnya yaitu heksosa (glukosa, manosa dan

galaktosa), pentosa (xilosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa), asam heksuronat

(glukoronat, metilglukoronat dan galakturonat) dan deoksi heksosa (rhamnosa dan

fruktosa). Rantai utama hemiselulosa hanya terdiri atas satu macam monomer saja

(homopolimer), misalnya xilan, atau terdiri dua atau lebih monomer (heteropolimer),

misalnya glukomanan.

Pada umumnya limbah tidak mempunyai nilai ekonomi, atau mempunyai nilai

ekonomi yang rendah. Rendahnya nilai ekonomi limbah karena sifatnya yang dapat

(24)

Memanfaatkan limbah adalah salah satu alternatif untuk menaikkan nilai ekonomi

limbah. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan diantaranya adalah tongkol jagung,

yang selama ini hanya dijadikan pakan ternak atau hasil industri minyak jagung.

Sebenarnya tongkol jagung dapat diolah kembali menjadi produk yang memiliki nilai

ekonomi yang tinggi (Soeprijanto, 2008).

Tongkol jagung muda dan biji jagung merupakan sumber karbohidrat

potensial untuk dijadikan bahan pangan, sayuran , dan bahan baku berbagai industri

makanan. Kandungan kimia jagung dapat dilihat pada tabel 2.1 terdiri atas air 13,5%,

protein 10,0%, lemak 4,0%, karbohidrat 61,0%, gula 1,4%, pentosan 6,0%, serat

kasar 2,3%, abu 1,45, dan zat-zat lain 0,4% (Rukmana, 1997).

Tabel 2.1. Komposisi kimia jagung (% bobot kering)

No Komponen Lapisan luar

Karbohidrat (bebas N)

Serat kasar

Limbah pertanian (seperti tongkol jagung), mengandung selulosa (40-60%),

hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%). Komposisi kimia tersebut membuat

tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan

sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme. Tongkol jagung juga

dapat dipakai sebagai bahan dasar pembuatan xylitol (Shofianto, 2008). Komposisi

tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Komposisi tongkol jagung

kandungan (%)

Air 9

(25)

Hemiselulosa 26

Xilan 18

Lignin 6

(Shofianto, 2008)

Pemanfaatan tongkol jagung masih sangat terbatas. Kebanyakan limbah tongkol

jagung hanya digunakan untuk bahan tambahan makanan ternak, atau hanya

digunakan sebagai pengganti kayu bakar. Melihat komposisi selulosa dan hemiselulosa

yang cukup besar seperti yang tertera pada tabel 2.2, maka tongkol jagung sangat

potensial untuk dimanfaatkan menjadi bentuk biopolimer. Selulosa merupakan sumber

karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat dalam proses

fermentasi. Struktur berkristal dan adanya lignin dan hemiselulosa merupakan

hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Pada hidrolisis yang sempurna akan

dihasilkan glukosa, sedangkan hidrolisis parsial akan dihasilkan disakarida sellobiosa

(Soeprijanto, 2008).

2.2 Selulosa

2.2.1 Pengertian Selulosa

Selulosa adalah polisakarida yang terbentuk dari sisa β-D(+)-glukosa yang bergabung

dalam rantai linear dengan ikatan β-1-4 diantara satuan glukosanya. Selulosa

merupakan senyawa polimer yang berlimpah di alam dan merupakan senyawa organik

yang paling umum (Deman, 1997).

Selulosa berfungsi sebagai bahan struktur dalam jaringan tumbuhan dalam

bentuk campuran polimer homolog dan biasanya disertai polisakarida lain seperti lignin

dalam jumlah yang beragam. Lignin dapat dihilangkan dengan cara delignifikasi. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi delignifikasi yaitu:

(26)

Bahan-bahan yang dapat digunakan dalam proses delignifikasi yaitu asam

phosfat, asam klorida (HCl), asam sulfat, dan yang basa seperti NaOH, natrium sulfit

dan natrium sulfat.

b. Waktu delignifikasi

Pada proses delignifikasi waktu berpengaruh pada hasil delignifikasi, biasanya

digunakan waktu 1-3 jam.

c. Temperatur delignifikasi

Temperatur operasi mempengaruhi kualitas dari produk delignifikasi yang

dihasilkan (Widodo, 2012).

Campuran senyawa lain yang terdapat bersamaan dengan selulosa yaitu

hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks nonselulosa dan nonpati

yang terdapat dalam banyak jaringan tumbuhan. Hemiselulosa mengacu kepada

polisakarida nonpati yang tidak larut dalam air, pentosa mengacu kepada polisakarida

nonpati yang larut dalam air. Hemiselulosa tidak berperan dalam biosintesis selulosa

tetapi dibuat tersendiri dalam tumbuhan sebagai komponen struktur dinding sel.

Hemiselulosa dikelompokkan berdasarkan kandungan gulanya (Deman, 1997).

Molekul selulosa memanjang dan kaku, meskipun dalam larutan. Gugus

hidroksil yang menonjol dari rantai dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mudah,

mengakibatkan kekristalan dalam batas tertentu (Deman, 1997).

Ketika meneliti struktur selulosa, sebagai contoh lain dari polisakarida di mana

monomer glukosa diatur dengan cara yang sesuai dengan fungsinya (Solomon, 1987).

Struktur elulosa merupakan polimer dari D-glukosa di mana masing-masing unit

dihubungkan oleh β -glukosida obligasi dari karbon anomerik unit ke hidroksi 1-4 dari

unit berikutnya. Selulosa dapat dihidrolisis oleh asam klorida 30% untuk memberikan

(27)

Gambar 2.1 Struktur kimia selulosa (Streitweiser, 1986).

Diketahui bahwa selulosa murni, ketika mengalami hidrolisis, dapat

dengan mudah terurai menjadi "mikrokristal selulosa "dengan hampir tidak ada

penurunan berat. Turunan selulosa dapat dibuat dengan proses eterifikasi, esterifikasi,

ikat silang, atau reaksi grafting-kopolimerisasi.untuk memodifikasi struktur selulosa,

ikatan hidrogen harus dihancurkan dengan cara pembengkakan atau pemutusan (Yu,

2009). Selulosa yang diperbaharui digunakan sebagai serat (rayon sutera nabati buatan)

dan sebuah film (kertas kaca), turunan selulosa secara kimia seperti ester organik dan

asetat adalah yang paling penting dan merupakan polimer bagian kecil dengan struktur

yang hampir sama dengan selulosa (Billmayer, 1984).

2.2.2 Sumber Selulosa

Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa. Polisakarida ini

adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling banyak tersebar di alam.

Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan

kertas. Sumber utama selulosa adalah kayu, umumnya kayu mengandung sekitar 50%

selulosa, tanaman mengandung 33% dan kapas mengandung 90% selulosa (Cowd,

1991).

Selulosa menjadi konstituen utama dari berbagai serat alam yang terjadi sebagai

rambut-rambut biji yang mengelilingi biji-bijian dari beberapa jenis tumbuhan

(misalnya kapas), sebagai kulit bagian dalam kayu yang berserat (serta batang) dan

sebagai konstituen-konstituen berserat dari beberapa tangkai daun (serat-serat daun).

Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya berkaitan

(28)

mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000 dibandingkan dengan

sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu dari lignin menyebabkan

penurunan DP ke sekitar 2600 (Steven, 2001).

Adapun sumber selulosa yaitu:

1. Kayu

2. Bukan kayu

a. Serat buah/biji (seed fibers) : kapas, kapuk

b. Serat kulit (bast fibers) : rami, kenaf, rosela dll

c. Serat daun (leaf fibers) : Nenas, pisang dll

d. Residu pertanian (agriculture Residues) :bagas, jerami, merang, tandan kosong

sawit, tongkol jagung

e. Bambu

f. Non vegetable : bacterial cellulose (BC) sebagai bahan akustik, kertas khusus.

Pemisahan selulosa dari kayu melibatkan pembuburan kayu dengan larutan

belerang dioksida dan hidrogen sulfit dalam air pada proses sulfit atau larutan natrium

hidroksida dan natrium sulfida dalam air pada proses sulfat (Proses kraf). Pada proses

ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh selulosa (Cowd, 1991).

2.2.3 Jenis-Jenis Selulosa

Jenis selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas

adalah yang sifat fisik maupun kimianya seseragam mungkin serta dapat secara kontinu

tersedia dalam jumlah yang banyak. Jumlah selulosa limbah tongkol jagung sangat

banyak sehingga bisa digunakan sebagai sumber selulosa untuk bahan baku pembuatan

pulp dan kertas (Sutiya, 2012).

Selulosa sangat stabil dalam berbagai pelarut dan hanya dapat dihancurkan

dengan adanya asam kuat atau sistem pelarut dengan ikatan hidrogen yang kuat,

biasanya basa-amina. Selulosa membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan

intramolekuler sehingga memberikan struktur yang dapat dipecah. Mikrofibril selulosa

(29)

Berdasarkan Derajat Polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium

hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan menjadi tiga jenis :

1. Selulosa alfa : selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5%

atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 – 1500 sebagai

penentu tingkat kemurnian selulosa.

2. Selulosa beta : selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa

kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 15 – 90 dan juga dapat mengendap bila di

netralkan.

3. Selulosa gamma : sama seperti selulosa beta, tetapi Derajat Polimerisasinya kurang

dari 15 (Widodo, 2012).

Selulosa alfa merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa

alfa digunakan sebagai penentu tingkat kemurnian selulosa (Sugiyama, 1991). Selulosa

mempunyai daerah kristal dan daerah amorf, daerah kekristalan lebih rapat daripada

daerah nonkristal. Daerah nonkristal merupakan penyusun kecil yang disebut sebagai

daerah amorf yang tidak menyerap air dengan bagus (Gardner, 2008).

2.2.4 Sifat Kimia Selulosa

Selulosa mengembang (swelling) dalam air dan teristimewa dalam basa pekat. Polimer

yang mengembang dalam basa, dikenal sebagai selulosa alkali atau selulosa soda

dipakai untuk mempreparasikan selulosa regenerasi. Proses mereaksikan kapas dengan

basa air, dan kemudian menghilangkan basa tersebut dikenal sebagai merserasi. Kapas

yang termerserasi memiliki tingkat kekilauan yang lebih tinggi daripada kapas alam

yang kurang rapat, dan tingkat kekristalannya agak sedikit rendah.

Meskipun jumlah gugus hidroksil pada selulosa besar, selulosa tidak larut dalam

air dan sebagian besar pelarut lainnya yang umum, meskipun akan larut ke beberapa

campuran pelarut. Larutan dari logam-logam kompleks seperti tembaga (II)-amonia

(30)

adalah LiCl-dimetilasetamida, dimetil sulfoksida-paraformaldehida, amin oksida dan

asam fosfat (Steven, 2001).

Sifat – sifat selulosa dengan pereaksi kimia :

1. Selulosa dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis

2. Selulosa dengan asam konsentrasi yang tinggi dapat terhidolisis menjadi selubiosa

dan D-glukosa

3. Dengan asam sulfat dapat menghidrolisis selulosa, digunakan untuk pembuatan

kertas. Selulosa direaksikan dengan aluminium sulfat yang dapat bereaksi dengan

sejumlah kecil pulp kertas untuk menghasilkan aluminium karboksilat yang

membantu mengentalkan serat pulp menjadi permukaan kertas yang keras (Cowd,

1991).

Turunan selulosa yang merupakan selulosa komersil seperti selulosa asetat, berperan

dalam film fotografi, bahan perekat, dan serat sintetik. Selulosa asetat mempunyai sifat

– sifat yaitu: tidak satbil, mudah terbakar bila bereaksi dengan oksigen film selulosa

asetat menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi serta melepaskan asam asetat.

Untuk mengukur massa molekul selulosa sangat sulit karena:

a. Tidak banyak pelarut untuk selulosa

b. Selulosa sangat cenderung terombak selama proses

c. Cukup rumit menggunakan selulosa dari sumber yang berbeda.

Cara yang seringkali dipilih ialah menitratkan selulosa dengan cara tak merusak

massa molekul awal bagi selulosa sebelum dinitratkan (Steven, 2000).

Ditinjau dari strukturnya dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan

yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat

membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-pelarut).

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air dan

juga dalam pelarut lain seperti pelarut-pelarut organik. Penyebabnya adalah kekuatan

rantai dan tingginya gaya antar-rantai tersebut akibat ikatan hidrogen antar gugus

(31)

kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Selulosa juga larut dalam larutan tembaga

(II) hidroksida bromida (Cowd, 1991).

2.3 Nanokristal Selulosa

Definisi umum dari nanopartikel adalah partikel padat dengan ukuran sekitar 10–100

nm. Metode preparasi sangat mempengaruhi pembentukan nanopartikel, baik itu dalam

bentuk nanosphere, atau nanokapsul. Nanopartikel memiliki sifat yang baik karena

faktor peningkatan luas permukaan dan efek kuantum yang dapat meningkatkan

reaktivitas, kekuatan, dan sifat listrik. Parameter utama dari nanopartikel adalah

bentuknya, ukuran dan marfologi struktur dari substansi (Liufu, 2004).

Nanokristal selulosa adalah nanopartikel kristalin terbuat dari selulosa biasanya

mempunyai lebar 2-6 nm dan panjang ratusan nanometer. Nanokristal selulosa dapat

diproduksi dengan menghidrolisis bagian yang amorf dari daerah selulosa dan

meninggalkan kristal yang berbentuk utuh. Asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat

dan asam klorida telah digunakan untuk selektif menghidrolisis bentuk yang amorf dari

selulosa. Kondisi yang optimal adalah metode hidrolisis dengan menggunakan asam

sulfat untuk mempersiapkan individual kristalit (Rong, 2011).

Metode-metode hidrolisis yang dapat digunakan untuk menghidrolisis selulosa

menjadi nanokristal ada 5 yaitu:

a. Sistem pelarut LiCl/DMAc

Sekitar tahun 1980 ditemukan bahwa N-dimetil-acetamida (DMAc) yang

mengandung lithium klorida (8-9%) dapat melarutkan selulosa. Sistem ini

menunjukkan potensi yang besar untuk selulosa dalam sintesis organik serta untuk

tujuan analitik karena pelarut tidak berwarna dan pembubaran berhasil tanpa atau

setidaknya degradasi diabaikan bahkan dalam kasus berat molekul yang tinggi

polisakarida seperti bahan katun atau selulosa bakteri. Kandungan selulosa dalam

(32)

pembubaran selama 6 jam pada suhu 100oC. Selulosa yang mempunyai berat molekul

tinggi dapat larut dengan waktu isolusi yang dapat dipersingkat jika suhu awal proses

pembubaran adalah 150oC dan sistem didinginkan perlahan-lahan.

Klorida-selulosa menyumbang sekitar 80% terhadap dipole-dipole interaksi antara

DMAc dan selulosa, sedangkan Li spesifik (DMAc) n-selulosa interaksi kontribusi

sekitar 10%.

b. Sistem pelarut NMMO

Proses ini didasarkan pada penggunaan pelarut N-metil morfolina-N-oksida

(NMMO) monohidrat, dimana 100oC pelarut NMMO dalam kombinasi dengan air

dapat melarutkan selulosa biasanya sebagai monohidrat (sekitar 13% air) di sekitar

100oC tanpa aktivasi sebelumnya atau derivatisasi. NMMO/H2O/DETA telah terbukti

menjadi pelarut termodinamika baik untuk selulosa dan cocok untuk sampel berbagai

asal-usul. Suatu larutan 32,6% berat NMMO, 10,0% berat H2O, dan 57,4% DETA

dapat melarutkan selulosa pada suhu kamar, dan suhu sedikit lebih tinggi (40oC) pada

proses awal pelarutan hanya memerlukan waktu yang pendek untuk isolasi.

c. Sistem pelarut berbasis logam pengkompleks 

Sejumlah logam pengkompleks dapat digunakan untuk melarutkan selulosa. Pelarut

yang paling terkenal pada kelompok ini adalah kupri hidroksida dalam amonia berair,

yang sering disebut cuoxam. Selulosa dapat dilarutkan ke tingkat molekuler dalam

cuoxam dan paling efektif mengikat koordinatif dari kompleks logam ke gugus

hidroksil terdeprotonasi di posisi C2 dan C3 dari AGU dalam rantai. Namun, cuoxam

memiliki beberapa kelemahan, yang terdiri dari rantai selulosa yang mudah

terdegradasi, warna biru tua, dan kekuatan pelarutan terbatas yaitu terbatas pada derajat

polimerisasi DP 5000. 

d. Sistem pelarut ionik cair 

Sistem ini dapat digunakan sebagai pelarut untuk selulosa non derivat (bukan

turunan). Pelarut ini menggabungkan anion, yang akseptor ikatan hidrogen kuat adalah

yang paling efektif, terutama bila dikombinasikan dengan pemanasan microwave,

(33)

e. Sistem pelarut NaOH/Urea berair 

Untuk menghidrolisis selulosa dapat dicapai dengan cepat (sekitar 5 menit) pada

suhu kamar (di bawah 20oC), dan larutan yang dihasilkan tidak berwarna dan

transparan. Namun, selulosa dengan berat molekul yang relatif tinggi tidak dapat larut

dalam pelarut tanpa pendinginan ke -12oC atau tanpa penambahan urea (Yu, 2009).

2.4Ultrasonifikasi

Spektrum suara (sonic) yang memiliki frekuensi sangat tinggi disebut ultrasonik.

Rentang frekuensi ultrasonik yaitu 20 kHz–10 MHz. Ultrasonik dibagi menjadi tiga

golongan utama: frekuensi rendah (20–100 kHz), frekuensi menengah (100 kHz–1

MHz), dan frekuensi tinggi (1–10 MHz). Ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz – 1 MHz

banyak digunakan dalam bidang kimia yang biasa disebut dengan sonokimia

(Sonochemistry). Frekuensi ultrasonik diatas 1 MHz banyak digunakan dalam bidang

kedokteran seperti pencitraan, analisis aliran darah, kedokteran gigi, sedot lemak, ablasi

tumor, dan penghancuran batu ginjal (Ensminger, 2009).

Menurut Kuldiloke (2002), salah satu manfaat metode ekstraksi ultrasonik

adalah untuk mempercepat proses ekstraksi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian

Cameron (2006) tentang ekstraksi pati jagung yang menyebutkan rendemen pati jagung

yang didapat dari proses ultrasonik selama 2 menit adalah sekitar 55,2-67,8 % hampir

sama dengan rendemen yang didapat dari pemanasan dengan air selama 1 jam yaitu

53,4%. Dengan penggunaan ultrasonik proses ektraksi senyawa organik pada tanaman

dan biji-bijian dengan menggunakan pelarut organik dapat berlangsung lebih cepat.

Dinding sel dari bahan dipecah dengan getaran ultrasonik sehingga kandungan yang

ada di dalamnya dapat keluar dengan mudah (Mason,1990).

Cara kerja metode ultrasonik dalam mengekstraksi adalah sebagai berikut:

gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrason secara lokal dari kavitasi

mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga terjadi pemanasan pada

bahan tersebut, sehingga melepaskan senyawa ekstrak. Terdapat efek ganda yang

(34)
(35)

selama 17 jam dengan satu set zat terlarut dengan berat molekul yang diketahui.

Dikatakan bahwa berat molekul zat terlarut setidaknya 90% tertahan selama tes dan zat

terlarut yang keluar kurang dari 10%.

Untuk mengaktifkan membran dialsis dilakukan dengan cara yaitu, membran

dialisis yang telah dipotong dimasukkan ke dalam suatu wadah yang telah diisi dengan

aquabidest lalu dipanaskan pada suhu 40oC selama 30 menit. Membran yang telah

diaktifkan bisa langsung digunakan untuk proses dialisis.

Larutan yang mengandung beberapa jenis molekul, biasanya glukosa dan pati,

ditempatkan ke dalam kantong dialisis semipermeabel, seperti membran selulosa

dengan pori-pori, dan ditutup dengan simpul. Kantong dialisis disegel ditempatkan

dalam wadah larutan atau aquadest. Molekul cukup kecil untuk melewati membran (air,

garam, monosakarida, dan molekul kecil lainnya) cenderung bergerak ke dalam atau

keluar dari kantong dialisis ke arah konsentrasi yang rendah, sehingga terjadilah difusi.

Molekul yang lebih besar (seperti protein, atau polisakarida) yang memiliki dimensi

jauh lebih besar daripada diameter pori dipertahankan dalam kantong dialisis (Mahlicli,

2007).

2.6Transmisi Electron Microscopy (TEM)

Mikroskop adalah alat yang memungkinkan perbesaran obyek untuk mengamati

rincian dari obyek tersebut. Perkembangannya mulai dari mikroskop optik yang

menggunakan satu seri lensa gelas untuk membelokkan gelombang cahaya tampak

agar menghasilkan citra yang diperbesar, mikroskop petrografik, mikroskop

medan-gelap, mikroskop rasa, mikroskop ultraviolet, mikroskop medan dekat dan

mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk mengiluminasi obyek

elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada panjang

gelombang cahaya, jadi mikroskop elektron dapat melihat struktur yang lebih kecil

(Ardisamita, 2000).

Difraksi elektron biasanya diselesaikan dengan memakai mikroskop elektron

(36)

Sampel-sampel polimer harus sangat tipis dalam beberapa ratus satuan amstrong.

Sebagaimana dengan difraksi sinar-x, informasi yang dikumpulkan oleh difraksi

elektron mesti mempergunakan morfologi dimensi kristal, derajat kekristalan, dan

lain-lain. Keuntungan utama dari difraksi elektron adalah bahwa (1) pengukuran difraksi

dan transmisi sekaligus menjadi mungkin dalam satu sampel, (2) syarat-syarat ukuran

sampel sangat kecil, dan (3) intensitas difraksi dan jumlah refleksi jauh lebih tinggi.

Kekurangannya adalah bahwa elektron-elektron bisa menimbulkan reaksi-reaksi radikal

bebas (misalnya, pengguntingan rantai, ikat silang) dalam sampel tersebut.

Ketika mikroskop elektron dioperasikan dalam mikroskop elektron transmisi,

merupakan hal yang memungkinkan untuk memecahkan sifat-sifat morfologis seperti

kristal-kristal tunggal polimer dengan resolusi dalam daerah 2 sampai 5 amstrong pada

pembesaran 200.000 sampai 500.000. pencitraan yang bagus dengan menggunakan

TEM bergantung pada kontras sampel relatif terhadap latar (Steven, 2001).

Ketika elektron ditransmisikan pada spesimen tipis tanpa adanya interaksi

dalam spesimen, maka berkas elektron ini dikatakan mengalami transmisi. Transmisi

elektron berbanding terbalik dengan ketebalan specimen. Bidang spesimen yang lebih

tebal akan mengalami transmisi elektron lebih sedikit sehingga akan terlihat lebih

gelap, sebaliknya daerah tipis akan mengalami lebih banyak transmisi elektron,

sehingga akan terlihat lebih terang (Voutou, 2008).

Menurut Ardisasmita (2000), berkas elektron dipancarkan langsung melalui

obyek yang akan diperbesar, sebagian diserap dan sebagian lainnya dilewatkan.

Obyek tersebut harus dipotong sangat tipis agar dapat dilihat dengan TEM yaitu

tebalnya harus lebih kecil dari beberapa ribu angstrom. Biasanya pelat fotografi

atau layar flouresensi ditempatkan di belakang cuplikan untuk menangkap citra dan

perbesaran yang dihasilkan bisa mencapai satu juta kali.

Mikrograf elektron transmisi dari serat selulosa yang diambil dengan CM

Philips 30 mikroskop elektron transmisi dengan tegangan 75 kV percepatan. Nanofibril

diendapkan dari dispersi encer berair padaukuran mikro ditutupi dengan film tipis

karbon (~ 200 nm). Serat yang disimpan paling sering diwarnai dengan larutan uranil

(37)

2.7 Analisis Termogravimetri (TGA).

Metode thermal adalah sebuah bagian dari teknik dimana sifat fisik dan kimia dari zat

atau produk reaksi tersebut diukur sebagai fungsi temperatur, zat/substansi sebagai

objek yang dikontrol temperaturnya. Aplikasinya untuk quality kontrol, penelitian

produk industri seperti polimer, farmasi, tanah, mineral, dan logam. Teknik-teknik yang

dicakup dalam metode analisis termal adalah analisis termogravimetri

(thermogravimetry analysis = TGA) yang didasari pada perubahan berat akibat

pemanasan. TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu sistem bila

temperaturnya berubah dengan laju tertentu.

Teknik analisis termogravimetri dapat dilakukan baik secara dinamik maupun

secara statik. Pada termogravimetri dinamik, sampel dinaikkan temperaturnya secara

linear terhadap waktu. Pada cara statik atau termogravimetri isotermal, sampel

dipelihara temperaturnya pada suatu periode waktu tertentu, selama waktu tersebut

setiap perubahan berat dicatat. Pada rangkaian peralatannya diperlukan paling tidak tiga

komponen utama yaitu timbangan berpresisis tinggi, tungku dan perekam. Kenaikan

temperatur dalam tungku haruslah berfungsi linear terhadap waktu dan mampu

digunakan baik dalam lingkungan inert, oksidasi maupun reduks. Perubahan temperatur

dan berat direkam secara kontinyu sedemikian rupa sehingga tidak ada satu termogram

yang terlewati (Khopkar, 1990).

TGA dipakai terutama untuk menetapkan stabilitas panas polimer-polimer.

Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang

kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel di

naikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai

nonisotermal. Data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat

bisa timbul dari evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang

lebih tinggi terjadi dari terurainya polimer. Selain memberikan imformasi mengenai

stabilitas panas, TGA bisa dipakai untuk mengkarakterisasi polimer melalui hilangnya

suatu entitas yang diketahui, seperti HCl dari poli (vinil klorida). TGA juga

(38)

lainnya. Penelitian-penelitian stabilitas panas adalah merupakan aplikasi dari TGA

(Steven, 2001).

Termogravimetri analisis dilakukan dengan menggunakan sebuah Mettler

Toledo Model TGA/SDTA851e termogravimetri analyzer untuk mencegah terjadinya

penambangan stabilitas termal. Untuk analisis, sampel dipanaskan dari kamar suhu 600

o

C dalam atmosfir nitrogen pada 10o C min-1 (Sheltami, 2012). Metode analisis termal

ini diantaranya berguna untuk mengetahui formula materi hasil dekomposisi termal. Ia

berguna juga untuk mengetahui range temperatur. Ini dapat dilakukan laju pemanasan

dan mencatat perubahan beratnya. Data termogravimetri dapat dimamfaatkan untuk

mengevaluasi parameter kinetik (Khopkar, 1990).

2.7Fourier Transform Infrared (FTIR)

Fourier transform infrared (FTIR) adalah teknik yang digunakan untuk

mendapatkan spektrum inframerah penyerapan, emisi, fotokonduktivitas atau hamburan

Raman dari padat, cair atau gas. Spektrometer FTIR secara bersamaan mengumpulkan

data spektral dalam berbagai spektrum yang luas. Ini mendapat keuntungan yang

signifikan atas spektrometer dispersif yang mengukur intensitas sedikit rentang panjang

gelombang pada suatu waktu.

Hasil spektrum memperlihatkan absorbsi dan transmisi molecular, membentuk

sidik jari molekul sampel. Seperti halnya sidik jari, tidak ada dua struktur molekul

berbeda yang memiliki spektrum inframerah yang sama (Lawson, 2001). Hampir

semua molekul menyerap sinar inframerah, dan masing-masing molekul hanya

menyerap sinar inframerah padafrekuensi tertentu. Hal ini menunjukkan karakteristik

khas untuk setiap molekul. Masing-masing jenis molekul hanya menyerap pada

frekuensi tertentu dan akan terbentuk pola spektrum absorpsi yang khas atau sidik jari

pada spectrum inframerah.

Shimadzu telah merilis berbagai sistem FTIR membuat resolusi tinggi dan

sensitivitas tinggi dan berbagai instrumen terkait, seperti unit mikroskop inframerah,

(39)

aplikasi pengukuran non-destruktif, seperti untuk memenuhi syarat. Teknik

spektroskopi IR banyak digunakan dalam tahap karakterisasi selulosa karena metode

ini relatif mudah dan dapat memberikan informasi awal tentang komposisi kimia,

konformasi molekular serta pola ikatan hidrogen (Silverio, 2012).

Spektroskopi FTIR didasarkan pada prinsip bahwa hamper semua molekul

mengabsorpsi sinar inframerah. Hanya monoatomik dan molekul diatomik homopolar

yang tidak mengabsorpsi sinar inframerah. Pancaran inframerah yang kerapatannya

kurang dari 100 cm-1 diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi

putaran molekul. Spectrum rotasi molekul terdiri dari garis-garis yang tersendiri.

Atom molekul bergerak dengan berbagai cara tetapi selalu pada tingkat energy

tertentu. Energy getaran rentang untuk molekul organik harus sesuai dngan radiasi

inframerah dengan bilangan gelombang 1200-4000 cm-1. Terdapat dua macam getaran

molekul, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Identifikasi pita absorpsi khas yang

disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spectrum

inframerah. Ikatan O-H dari golongan karboksil diabsorpsi pada daerah 2500 sampai

3300 cm-1 dan ikatan C=O ditunjukkan diantara 1710 sampai 1750 cm-1. Hanya getaran

yang menghasilkan perubahan momen dwi kutub secara berirama yang teramati di

dalam inframerah (Rong, 2011).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(40)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Nama Alat Merek

alat-alat Gelas Pyrex

Neraca Analitis OHaus

Termometer Fisher

Hot Plate Cimarec

Statif dan klem -

Oven Carbolite

Indikator Universal Merck

Sentrifugator Himachi

Seperangkat alat TGA shimadzu

Seperangkat alat TEM JEOL

(41)

3.2Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Bahan Merek

Tongkol Jagung -

Aquadest -

Asam nitrat (HNO3) 65% merck

Natrium nitrit (NaNO2) merck

Natrium hidroksida (NaOH) merck

Natrium sulfit (NaSO3) merck

Natrium hipoklorit (NaOCl) 12% merck

Hidrogen peroksida (H2O2) 30% merck

Dimetil acetamida (DMAc) 99% merck

Litium klorida (LiCl) merck

(42)

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pembuatan Reagen

3.3.1.1 Pembuatan Larutan HNO3 3,5%

Disediakan HNO3 65% sebanyak 53,8 ml, dimasukkan kedalam labu takar 1000 ml,

diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda, dihomogenkan.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan NaOH 2%

Ditimbang 20 gram NaOH, dimasukkan kedalam labu takar 1000 ml. Diencerkan

dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.3.1.3 Pembuatan Larutan NaSO3 2%

Ditimbang 20 gram NaSO3, dimasukkan kedalam labu takar 1000 ml. Diencerkan

dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.3.1.4 Pembuatan Larutan NaOCl 1,75%

Disediakan NaOCl 12% sebanyak 73 ml, dimasukkan kedalam labu takar 500 ml,

diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.3.1.5 Pembuatan Larutan NaOH 17,5%

Ditimbang 87,5 gram NaOH dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml, diencerkan

(43)

3.3.1.6 Pembuatan Larutan H2O2 10%

Disediakan H2O2 30% sebanyak 167 ml, dimasukkan kedalam labu takar 500 ml,

diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.3.2 Preparasi Serbuk Tongkol Jagung

Tongkol Jagung dipotong kecil-kecil. Selanjutnya dikeringkan sampai benar-benar

kering. Kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender sampai berbentuk serbuk.

3.3.3 Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung

Serbuk Tongkol Jagung sebanyak 75 g dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian

ditambahkan 1 L campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2 dipanaskan di atas hot plate

pada suhu 90oC selama 2 jam. Setelah itu disaring dan ampas dicuci hingga filtrat

netral. Selanjutnya di digesti dengan 750 ml larutan yang mengandung NaOH 2% dan

Na2SO3 2% pada suhu 50oC selama 1 jam lalu disaring dan ampas dicuci sampai netral.

Selanjutnya dilakukan pemutihan dengan 250 ml larutan NaOCl 1,75% pada

temperatur mendidih selama 0,5 jam. Ampas tersebut disaring dan dicuci sampai pH

filtrat netral. Setelah itu dilakukan pemurnian Alfa selulosa dari sampel dengan 500 ml

larutan NaOH 17,5 % pada suhu 80oC selama 0,5 jam lalu disaring, dicuci hingga filtrat

netral. Dilanjutkan pemutihan dengan H2O2 10% pada suhu 60oC selama 15 menit.

Dicuci dan disaring selulosa yang terbentuk hingga netral. Dilakukan pengeringan

dengan oven selama 3 jam pada suhu 60oC dan disimpan dalam desikator

(Ohwoavworhua, 2005).

(44)

α-Selulosa sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 50 ml DMAc, lalu dipanaskan di dalam bath oil pada suhu 50-60oC. Dipisahkan campuran DMAc dan α-selulosa. Ditambahkan

4 gram LiCl yang telah di vakum selama 1 jam pada suhu 80oC ke dalam larutan

DMAc tersebut secara perlahan-lahan sambil dipanaskan pada suhu 60oC. Setelah itu

ditambahkan α-selulosa yang telah diaktifkan ke dalam campuran DMAc dan LiCl.

Lalu distirer sambil dipanaskan pada suhu 60oC selama 45 menit. Kemudian

didinginkan dan ditambahkan dengan 25 ml aquabidest, lalu dibiarkan selama satu

malam hingga terbentuk suspensi. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi dengan

kecepatan 10000 rpm selama 20 menit lalu diultrasinifikasi selama 10 menit, setelah itu

dimasukkan ke dalam membran dialisis yang telah direndam dalam 100 ml aquabidest

pada suhu 40oC, didiamkan selama 8 hari sambil distirer. Kemudian aquabidest

diuapkan pada suhu 70oC untuk mendapatkan nanokristal selulosa.

3.3.5 Uji Morfologi menggunakan TEM

Analisa morfologi nanokristal selulosa dilakukan dengan menggunakan alat TEM

JEOL JEM 1400 dengan tegangan sebesar 120 kV. Pertama-tama nanokristal selulosa

ditetesi dengan cairan ammonium molibdat 2%, kemudian cairan yang terbentuk di

perangkap dalam resin. Selanjutnya dilakukan pemotongan dengan menggunakan

microgrid untuk memperoleh nanokristal tunggal (single nanocrystal). Nanokristal

tunggal yang terbentuk dimasukkan ke dalam kisi karbon untuk dilakukan pengujian

TEM. Dari analisa permukaan menggunakan TEM dapat dihitung ukuran nanokristal

selulosa menggunakan persamaan (1) (Chang, 2010).

=

………. (1)

3.3.6 Uji degradasi termal menggunakan TGA

TGA menggunakan instrumen shimadzu TA 50 yang didialisis gas nitrogen.

(45)

600oC dengan laju pemanasan 10oC/menit. Analisis dilakukan dengan menaikkan suhu

sampel secara bertahap dan menentukan perubahan berat terhadap temperatur. Suhu

dalam metode pengujian mencapai 650oC atau lebih. Perubahan berat akibat proses

pemanasan dapat ditentukan langsung dari termogram yang terhasil. Setelah data

diperoleh, dapat ditentukan puncak dekomposisinya.

3.3.7 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR

Analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan alat shimadzu

IRPrestige-21. Sampel di preparasi dalam bentuk bubur (mull). Bubur diperiksa dalam

sebuah film tipis yang diletakkan diantara lempengan-lempengan garam yang datar.

Pengujian dilakukan dengan menjepit film hasil campuran pada tempat sampel.

Kemudian film diletakkan pada alat ke arah sinar infrared. Hasilnya akan ditampilkan

(46)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Preparasi Serbuk Tongkol Jagung

Dipotong hingga kecil-kecil

Direndam dengan air bersih

Dikeringkan

Dihaluskan dengan menggunakan blender hingga berbentuk serbuk

Diayak dengan ayakan 80 mesh Tongkol Jagung

(47)

3.4.2. Ekstraksi -Selulosa dari Tongkol Jagung

Dimasukkan ke dalam beaker glass

Ditambahkan 1 L campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2

Dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90oC selama 2 jam

Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral

Didigesti dengan 750 mL larutan yang mengandung 75 g serbuk tongkol jagung

Filtrat - Selulosabasah

(48)

3.4.3 Isolasi nanokristal selulosa dari α-selulosa

ditambahkan 50 mL DMAc

dipanaskan didalam bath oil pada suhu 50- 60oC selama 30 menit

dipisahkan campuran DMAc dan α-selulosa

ditambahkan 4 g LiCl yang telah divakum selama 1 jam pada suhu 80oC kedalam larutan DMAc secara perlahan-lahan sambil dipanaskan pada suhu 60oC

ditambahkan α-selulosa yang telah diaktifkan ke dalam campuran DMAc dan LiCl

distirer sambil dipanaskan pada suhu 60oC selama 45 menit

didinginkan

ditambahkan 25 mL aquabidest

dibiarkan selama 1 malam

dipisahkan suspense yang terbentuk

dimasukkan ke dalam kuvet

disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 20 menit hingga pH netral

diultrasonifikasi selama 10 menit

dimasukkan ke dalam membran dialisis yang telah direndam dalam 100 ml aquabidest pada suhu 40oC

distrirer selama 4-8 hari

diuapkan aqubidest pada suhu 70° C 2 gram α-selulosa

Suspensi Larutan

(49)

3.4.4 Karakterisasi Nanokristal Selulosa

Dikarakterisasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nanokristal selulosa

Analisa Degradasi Termal

(TGA)

Analisa Gugus Fungsi

(FTIR) Analisa Marfologi

(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Isolasi α-selulosa dari tongkol jagung

Berdasarkan serangkaian proses delignifikasi, pulping atau pembuburan, dan proses

pemutihan maka didapatkan α-selulosa yang berwarna putih. Pada proses isolasi α

-selulosa digunakan 75 gram serbuk tongkol jagung, dan menghasilkan α-selulosa murni

sebanyak 19,30 gram. Alfa selulosa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Alfa selulosa yang diisolasi dari tongkol jagung

(51)

Alfa selulosa yang diperoleh dihidrolisis dengan menggunakan pelarut dimetil

acetamida/litium klorida (DMAc/LiCl) untuk menghasilkan nanokristal selulosa yang

berbentuk kristal jarum dan berwarna bening seperti ditunjukkan pada gambar 4.2. Dari

2 gram α-selulosa yang digunakan diperoleh nanokristal selulosa sebanyak 0,20 gram,

hal ini menunjukkan hanya sekitar 10% dari massa awal α-selulosa yang membentuk

nanokristal.

Gambar 4.2 Nanokristal selulosa

4.2 Pembahasan

4.2.1. Proses isolasi α-selulosa dari tongkol jagung

Sebelum proses isolasi, tongkol jagung terlebih dahulu dicuci dengan air bersih,

kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga bebas air. Setelah itu dipotong

kecil-kecil kemudian dihaluskan dengan blender hingga halus untuk mempermudah

proses delignifikasi selulosa. Ada beberapa tahapan dalam isolasi α-selulosa yaitu

delignifikasi dengan menggunakan campuran HNO3 3,5% dan NaNO2 kemudian

(52)

zatnya, meninggalkan sisa padat dan berserat yang dinamakan selulosa. Proses yang

kedua yaitu pulping atau pembuburan ditambahkan campuran NaOH 2% dan Na2SO3

2% dengan perbandingan 2:1. Warna dari hasil delignifikasi ini adalah putih

kekuningan sampai putih kecoklatan kemudian disaring dan dicuci hingga netral. Untuk

menghilangkan warna coklat dari selulosa maka dilakukan pemutihan dengan NaOCl

1,75%. Ion hipoklorit merupakan oksidan kuat yang mampu memecah ikatan eter

dalam struktur lignin, akibatnya derajat putih pulp naik secara cepat. Agar α-selulosa

yang dihasilkan benar-benar murni, maka dilakukan penambahan dengan NaOH 17,5%

untuk menghilangkan β-selulosa, dimana β-selulosa akan larut dalam NaOH 17,5%

kemudian disaring dan dinetralkan. Hasil dari penambahan ini pulp kembali menjadi

kuning kecoklatan. Untuk menghilangkan warna coklat dari α-selulosa maka dilakukan

pemutihan dengan menggunakan H2O2 10%. α-selulosa yang dihasilkan dari proses ini

memiliki bentuk berupa pulp yang berwarna putih yang kemudian dikeringkan di dalam

oven pada suhu 60oC selama 4 jam.

(53)

Nanokristal selulosa yang diperoleh dari isolasi α-selulosa berupa kristal jarum

yang berwarna bening. Pembuatan nanokristal selulosa terdiri atas beberapa tahapan,

yaitu hidrolisis dengan menggunakan pelarut dimetil asetamida (DMAc/LiCl) tujuan

dari proses ini adalah untuk memecah daerah amorf dari selulosa, sehingga daerah

kristalin yang diperoleh. Kemudian proses sentrifugasi untuk menghilangkan pelarut

organik, serta ultrasonifikasi.

Sentrifugasi dalam proses ini diperlukan agar nanokristal yang dihasilkan menjadi

netral setelah dihidrolisis dengan pelarut dimetil asetamida/litium klorida. Proses

penetralan menggunakan aquabidest agar dihasilkan nanokristal yang lebih murni

dengan terbentuknya suspensi, suspensi adalah suatu campuran fluida yang

mengandung partikel padat atau dengan kata lain campuran heterogen dari zat cair dan

zat padat yang dilarutkan dalam zat cair tersebut, partikel padat dalam sistem suspensi

umumnya lebih besar dari 1 mikrometer sehingga cukup besar untuk memugkinkan

terjadinya sedimentasi. Reaksi hidrolisis alfa selulosa : (Spange, 1998).

Dimana R= C4H9NO

X= Cl

Tahap selanjutnya adalah proses dialisis dengan menggunakan membran dialisis,

disertai dengan perendaman dengan aquabidest dan distirer agar nanokristal labih cepat

keluar dari membran. Proses ini dilakukan selama 8 hari, setelah itu dilakukan

penguapan agar diperoleh nanokristal.  

(54)

morfologi dengan menggunakan TEM

Analisa Transmisi electron microscopy (TEM) adalah alat yang digunakan untuk

melihat ukuran terkecil dari suatu obyek, mikroskop elektron dapat melihat struktur

yang lebih kecil dimana diperoleh ukuran kuantitatif partikel, distribusi ukuran, dan

marfologi dari sampel yang digunakan. Karakterisasi ini dilakukan dengan cara sampel

disinari dengan electron yang menggunakan berkas elektron untuk mengiluminasi

obyek Elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada

panjang gelombang cahaya.

Dengan menggunakan TEM dapat dilihat hasil dari analisa marfologi

nanokristal selulosa yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Dari gambar tersebut ukuran

nanokristal selulosa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1).

=

jadi ukuran nanokristal yang diperoleh adalah:

,

2x = (200 nm) x (0,6071)

= ,4

(55)
(56)

perubahan massa dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu daerah pertama penurunan massa

awal terjadi pada suhu 160oC. Daerah kedua terjadi pada suhu 310oC, dan daerah ketiga

yaitu pada suhu 404oC dan % residu nanokristal selulosa yaitu sebesar 33,47%.

0 200 400 600 800 1000

0 20 40 60 80 100

Ma

ss

a

(%)

Temperatur (oC)

-selulosa

Nanokristal selulosa

Gambar 4.4 Kurva TGA α-selulosa dan Nanokristal selulosa

Thermogravimetri menggunakan atmosfer nitrogen untuk mencegah terjadinya

degradasi dini. % residu dari nanokristal selulosa adalah 33,47%. Hal ini menunjukkan

bahwa nanokristal selulosa tidak dapat melebur secara permanen. Ukuran partikel serta

banyaknya rantai tunggal yang terdapat pada nanokristal menyebabkan senyawa ini

terdekomposisi pada suhu yang rendah dan menyebabkan jumlah residu meningkat.

Gambar

Tabel 2.1. Komposisi kimia jagung (% bobot kering)
Gambar 2.1 Struktur kimia selulosa (Streitweiser, 1986).
Gambar 4.1 Alfa selulosa yang diisolasi dari tongkol jagung
Gambar 4.2 Nanokristal selulosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

The book opens with a Summary and Review of all the chapters followed by the synthesis by Herman Daly of his work on Sustainable Devel- opment.. Daly makes a series of points similar

Adapun profil tenaga kerja wanita di Usaha Kecil Menengah Kuliner di Kecamatan Medan selayang dari segi umur rata-rata tenaga kerja wanitanya berumur 21 tahun sampai dengan 55

Berdasarkan hal tesebut maka dilakukan penelitian untuk mengekstraksi pektin pod husk kakao secara kering menggunakan asam klorida pada berbagai konsentrasi larutan

Dari perbedaan diatas, maka dapat disimpulkan definisi ‘urf, sesuai dengan pernyataan Muhammad Zakariya al-Bardisiy bahwa ‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan

SPP Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TU adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan tambahan uang persediaan

Absrak - Fokus permasalahan adalah bagaimanakah;struktur dan fungsi frase verba bahasa Kaili dialek Ledo, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan frase verba

card sort dalam mata pelajaran matematika materi peluang pada siswa kelas. VIII MTsN Jambewangi adalah suatu kemampuan pemahaman

Ibu hamil primigravida memiliki faktor risiko lebih besar untuk terkena pre-eklampsia dibandingkan ibu dengan hamil multigravida, hal ini disebabkan pada primigravida