• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Aspirin Terhadap Absorpsi Parasetamol Pada Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Yang Dihomogenkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Aspirin Terhadap Absorpsi Parasetamol Pada Usus Halus Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Yang Dihomogenkan"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ASPIRIN TERHADAP ABSORPSI

PARASETAMOL PADA USUS HALUS

KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

YANG DIHOMOGENKAN

SKRIPSI

OLEH:

ZULHA YENI

NIM 091524087

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH ASPIRIN TERHADAP ABSORPSI

PARASETAMOL PADA USUS HALUS

KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

YANG DIHOMOGENKAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ZULHA YENI

NIM 091524087

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

PENGARUH ASPIRIN TERHADAP ABSORPSI PARASETAMOL PADA USUS HALUS

KELINCI (Oryctolagus cuniculus) YANG DIHOMOGENKAN

OLEH: ZULHA YENI NIM 091524087

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 21 Agustus 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt.

NIP 195212041980021001 NIP 195201171980031002

Prof. Dr. M.T.Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001

Pembimbing II,

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 195409091982011001 Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan kasihNya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh aspirin terhadap absorpsi parasetamol pada usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, MSc., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Karsono., Apt., atas waktu bimbingan, kesabaran dan tanggung jawab kepada penulis selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi, Bapak Prof. Dr. Hakim Bangun., Apt., Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan petunjuk dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Dan pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Ayahanda dan Ibunda serta kakak-kakak serta keponakan-keponakan yang telah memberikan semangat, doa dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh Staf Pengajar, Pegawai Tata Usaha dan Teman-teman yang telah membantu selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih belum sempurna, sehingga penulis masih mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi.

Medan, Oktober 2013 Penulis,

(5)

PENGARUH ASPIRIN TERHADAP ABSORPSI PARASETAMOL PADA USUS HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

YANG DIHOMOGENKAN

ABSTRAK

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang lain tergantung pada faktor fisikokimia obat, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inhibisi aspirin terhadap absorpsi parasetamol dengan berbagai konsentrasi pada usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan, yang diharapkan akan dapat melengkapi informasi tentang parasetamol untuk keperluan preformulasi.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan. Larutan obat yang digunakan ada dua larutan yaitu larutan parasetamol dan larutan aspirin. Konsentrasi larutan parasetamol yang digunakan adalah 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM. Dan konsentrasi larutan aspirin yang digunakan adalah 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM yang dilakukan pada waktu 0,75 menit, 2 menit dan 5 menit. Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan Uji T menggunakan Statistical Program Servise Solution (SPSS).

Pada konsentrasi 1 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 0,2921 dan P2 = 0,2026, waktu 2 menit P1 = 0,5016 dan P2 = 0,3451, waktu 5 menit P1 = 0,8170 dan P2 = 0,5456; pada konsentrasi 2 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 1,2833 dan P2 = 1,2068; waktu 2 menit P1 = 1,3208 dan P2 = 1,1950; waktu 5 menit P1 = 1,4134 dan P2 = 1,2002; pada konsentrasi 3 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,0848 dan P2 = 1,9867; waktu 2 menit P1 = 2,1757 dan P2 = 1,9903; waktu 5 menit P1 = 2,5421 dan P2 = 2,2547; pada konsentrasi 5 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,2151 dan P2 = 2,1487; waktu 2 menit P1 = 2,3505 dan P2 = 2,1816; waktu 5 menit P1 = 2,8537 dan P2 = 2,5548; pada konsentrasi 10 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,2858 dan P2 = 2,2012; waktu 2 menit P1 = 2,4446 dan P2 = 2,2584; waktu 5 menit P1 = 2,8723 dan P2 = 2,6072. Hasil analisis data menggunakan Uji T menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah absorpsi parasetamol (P1) dengan parasetamol dengan penambahan aspirin (P2) dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspirin dapat menurunkan absorpsi parasetamol.

(6)

THE EFFECT OF ASPIRIN THROUGH PARACETAMOL ABSORPTION AT RABBIT’S (Oryctolagus cuniculus) SMALL INTESTINE

WHICH HOMOGENIZED

ABSTRACT

Systematical absorption of a drug from alimentary tract or place of other ekstravasculer depends on physicochemical drug factors, anatomy and physiology place of absorption. The aim of this research was to know the effect of aspirin inhibition through paracetamol absorption by some concentrations at rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized, so it hopefully can complete the information about paracetamol for preformulation needed.

This research was done in vitro by using rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized. The drug solution that is used there are two kinds of solutions, they are paracetamol solution and aspirin solution. The concentration of paracetamol solution that is being used are 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM, and 10 mM. And the concentration of aspirin solution is being used are 0.1 mM, 0.3 mM and 0.5 mM that was done at timing 0.75 minutes, 2 minutes, and 5 minutes. Result observations then performed data analysis with T Test Statistical Program Servise Solution (SPSS).

The at concentration 1 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 0.2921 and P2 = 0.2026, at timing 2 minutes P1 = 0.5016 and P2 = 0.3451, at timing 5 minutes P1 = 0.8170 and P2 = 0.5456; the at concentration 2 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 1.2833 and P2 = 1.2068; at timing 2 minutes P1 = 1.3208 and P2 = 1.1950; at timing 5 minutes P1 = 1.4134 and P2 = 1.2002; the at concentration 3 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.0848 and P2 = 1.9867; at timing 2 minutes P1 = 2.1757 and P2 = 1.9903; at timing 5 minutes P1 = 2.5421 and P2 = 2.2547; the at concentration 5 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.2151 and P2 = 2.1487; at timing 2 minutes P1 = 2.3505 and P2 = 2.1816; at timing 5 minutes P1 = 2.8537 and P2 = 2.5548; the at concentration 10 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.2858 and P2 = 2.2012; at timing 2 minutes P1 = 2.4446 and P2 = 2.2584; at timing 5 minutes P1 = 2.8723 and P2 = 2.6072. The result of data analysis using T Test showed there are significant difference from absorption paracetamol (P1) and absorption of paracetamol with increment aspirin (P2) in rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized. So that inferential be that of aspirin can degrade the paracetamol absorption.

(7)

DAFTAR ISI

2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat ... 8

2.2.2 Mekanisme lintas membran ... 9

2.3 Usus Halus ... 15

2.4 Kinetika Laju Absorpsi ... 17

2.5 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.4.2 Pembuatan larutan natrium dihidrogenfosfat 0,8 % ... 21

3.4.3 Pembuatan larutan dinatrium hidrogenfosfat 0,9 % ... 22

3.4.4 Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 22

3.4.5 Pembuatan larutan natrium klorida 0,9 % ... 22

3.4.6 Pembuatan usus halus kelinci yang dihomogenkan ... 22

3.4.7 Pembuatan Larutan Induk Baku I (LIB I) parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 23

3.4.8 Pembuatan Larutan Induk Baku II (LIB II) parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 23

3.4.9 Pembuatan larutan parasetamol dengan berbagai konsentrasi ... ... 23

(8)

3.4.11 Penentuan kurva absorpsi parasetamol dalam usus

halus kelinci yang dihomogenkan ... 24

3.4.12 Penentuan kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan ... 24

3.4.13 Penentuan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan ... 25

3.4.14 Penentuan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan dengan penambahan aspirin ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis ... 26

4.2 Hasil Penentuan Kurva Kalibrasi Parasetamol dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis ... 26

4.3 Penentuan Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis ... 27

4.4 Penentuan Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis dengan Penambahan Aspirin ... 29

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Data kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang

dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 26 Tabel 4.2 Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM ... 28 Tabel 4.3 Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan

5 menit ... 29 Tabel 4.4 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada

konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin pada waktu 0,75, 2 dan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Rumus bangun parasetamol ... 5

Gambar 2.2 Rumus bangun aspirin ... 6

Gambar 2.3 Fase biofarmasetik obat ... 7

Gambar 2.4 Transpor trans membran transpor konvektif ... 9

Gambar 2.5 Transpor trans membran difusi pasif ... 12

Gambar 2.6 Transpor aktif ... 13

Gambar 2.7 Difusi sederhana ... 13

Gambar 2.8 Transpor trans membran pinositosis ... 14

Gambar 2.9 Transpor trans membran transpor pasangan ion ... 14

Gambar 2.10 Usus halus ... 16

Gambar 4.1 Kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 27

Gambar 4.2 Grafik jumlah parasetamol yang diabsorpsi vs waktu pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM ... 28

Gambar 4.3 Grafik jumlah parasetamol yang diabsorpsi vs waktu pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mm, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit ... 30

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Flowsheet pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4

isotonis ... 36 Lampiran 2. Flowsheet pembuatan usus halus homogen ... 37 Lampiran 3. Flowsheet pembuatan Larutan Induk Baku I parasetamol

dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 38 Lampiran 4. Flowsheet pembuatan Larutan Induk Baku II parasetamol

dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis ... 39 Lampiran 5. Flowsheet pembuatan larutan parasetamol dengan

berbagai konsentrasi ... 40 Lampiran 6. Flowsheet pembuatan larutan aspirin dengan berbagai

konsentrasi ... 41 Lampiran 7. Flowsheet penentuan kurva absorbsi parasetamol dalam

usus halus yang dihomogenkan ... 42 Lampiran 8. Kurva absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci

yang dihomogenkan ... 43 Lampiran 9. Flowsheet penentuan kurva kalibrasi parasetamol dalam

usus halus kelinci yang dihomogenkan ... 44 Lampiran 10. Flowsheet penentuan absorpsi parasetamol dalam usus

halus kelinci yang dihomogenkan ... 45 Lampiran 11. Flowsheet penentuan absorpsi parasetamol dengan

penambahan aspirin dalam usus halus kelinci

yang dihomogenkan ... 46 Lampiran 12. Penentuan persamaan regresi dan kurva kalibrasi

parasetamol pada usus halus kelinci yang

dihomogenkan ... 47 Lampiran 13. Contoh perhitungan konsentrasi larutan parasetamol

2 mM ... 48 Lampiran 14. Contoh perhitungan konsentrasi parasetamol dalam usus

halus kelinci yang dihomogenkan ... 49 Lampiran 15. Contoh perhitungan Standar Deviasi (SD) ... 50 Lampiran 16. Gambar usus halus kelinci ... 51 Lampiran17. Gambar alat homogenizer mixer modifikasi dan

usus halus homogen ... 52 Lampiran 18. Hasil uji T-Test profil laju absorpsi parasetamol dalam

(12)

PENGARUH ASPIRIN TERHADAP ABSORPSI PARASETAMOL PADA USUS HALUS KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

YANG DIHOMOGENKAN

ABSTRAK

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang lain tergantung pada faktor fisikokimia obat, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inhibisi aspirin terhadap absorpsi parasetamol dengan berbagai konsentrasi pada usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan, yang diharapkan akan dapat melengkapi informasi tentang parasetamol untuk keperluan preformulasi.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan. Larutan obat yang digunakan ada dua larutan yaitu larutan parasetamol dan larutan aspirin. Konsentrasi larutan parasetamol yang digunakan adalah 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM. Dan konsentrasi larutan aspirin yang digunakan adalah 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM yang dilakukan pada waktu 0,75 menit, 2 menit dan 5 menit. Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan Uji T menggunakan Statistical Program Servise Solution (SPSS).

Pada konsentrasi 1 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 0,2921 dan P2 = 0,2026, waktu 2 menit P1 = 0,5016 dan P2 = 0,3451, waktu 5 menit P1 = 0,8170 dan P2 = 0,5456; pada konsentrasi 2 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 1,2833 dan P2 = 1,2068; waktu 2 menit P1 = 1,3208 dan P2 = 1,1950; waktu 5 menit P1 = 1,4134 dan P2 = 1,2002; pada konsentrasi 3 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,0848 dan P2 = 1,9867; waktu 2 menit P1 = 2,1757 dan P2 = 1,9903; waktu 5 menit P1 = 2,5421 dan P2 = 2,2547; pada konsentrasi 5 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,2151 dan P2 = 2,1487; waktu 2 menit P1 = 2,3505 dan P2 = 2,1816; waktu 5 menit P1 = 2,8537 dan P2 = 2,5548; pada konsentrasi 10 mM jumlah P1 yang diabsorpsi pada waktu 0,75 menit = 2,2858 dan P2 = 2,2012; waktu 2 menit P1 = 2,4446 dan P2 = 2,2584; waktu 5 menit P1 = 2,8723 dan P2 = 2,6072. Hasil analisis data menggunakan Uji T menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah absorpsi parasetamol (P1) dengan parasetamol dengan penambahan aspirin (P2) dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspirin dapat menurunkan absorpsi parasetamol.

(13)

THE EFFECT OF ASPIRIN THROUGH PARACETAMOL ABSORPTION AT RABBIT’S (Oryctolagus cuniculus) SMALL INTESTINE

WHICH HOMOGENIZED

ABSTRACT

Systematical absorption of a drug from alimentary tract or place of other ekstravasculer depends on physicochemical drug factors, anatomy and physiology place of absorption. The aim of this research was to know the effect of aspirin inhibition through paracetamol absorption by some concentrations at rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized, so it hopefully can complete the information about paracetamol for preformulation needed.

This research was done in vitro by using rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized. The drug solution that is used there are two kinds of solutions, they are paracetamol solution and aspirin solution. The concentration of paracetamol solution that is being used are 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM, and 10 mM. And the concentration of aspirin solution is being used are 0.1 mM, 0.3 mM and 0.5 mM that was done at timing 0.75 minutes, 2 minutes, and 5 minutes. Result observations then performed data analysis with T Test Statistical Program Servise Solution (SPSS).

The at concentration 1 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 0.2921 and P2 = 0.2026, at timing 2 minutes P1 = 0.5016 and P2 = 0.3451, at timing 5 minutes P1 = 0.8170 and P2 = 0.5456; the at concentration 2 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 1.2833 and P2 = 1.2068; at timing 2 minutes P1 = 1.3208 and P2 = 1.1950; at timing 5 minutes P1 = 1.4134 and P2 = 1.2002; the at concentration 3 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.0848 and P2 = 1.9867; at timing 2 minutes P1 = 2.1757 and P2 = 1.9903; at timing 5 minutes P1 = 2.5421 and P2 = 2.2547; the at concentration 5 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.2151 and P2 = 2.1487; at timing 2 minutes P1 = 2.3505 and P2 = 2.1816; at timing 5 minutes P1 = 2.8537 and P2 = 2.5548; the at concentration 10 mM amount of P1 which in absorption at timing 0.75 minutes = 2.2858 and P2 = 2.2012; at timing 2 minutes P1 = 2.4446 and P2 = 2.2584; at timing 5 minutes P1 = 2.8723 and P2 = 2.6072. The result of data analysis using T Test showed there are significant difference from absorption paracetamol (P1) and absorption of paracetamol with increment aspirin (P2) in rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) small intestine which homogenized. So that inferential be that of aspirin can degrade the paracetamol absorption.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Parasetamol merupakan derivat para amino fenol yang merupakan

metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Obat ini digunakan untuk

menghilangkan nyeri ringan sampai sedang termasuk sakit kepala serta

menurunkan demam yang disertai infeksi bakteri dan virus. Parasetamol memiliki

efek samping yang jarang terjadi dan biasanya ringan, hanya pada penggunaan

kronis dapat menimbulkan kerusakan hati yang fatal (Tan dan Kirana, 2007).

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna dalam saluran cerna.

Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh

plasma antara 1-3 jam, dengan rute pemberian peroral tersedia dalam bentuk

tablet, sirup dan suspensi (Tan dan Kirana, 2007).

Demikian juga aspirin merupakan obat anti nyeri tertua yang sampai kini

paling banyak digunakan di seluruh dunia. Selain itu, zat ini juga berkhasiat

anti-demam kuat dan pada dosis rendah berdaya menghambat agregasi trombosit (Tan

dan Kirana, 2007).

Efek samping dari aspirin yang sering terjadi berupa iritasi mukosa

lambung dengan resiko tukak lambung. Anak-anak kecil yang menderita cacar air

atau flu sebaiknya jangan diberikan aspirin (melainkan parasetamol), karena

beresiko terkena rye sindroma yang berbahaya. Resorpsinya cepat dan praktis

lengkap, terutama dibagian pertama duodenum dan masa paruhnya 2-3 jam pada

(15)

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler

yang lain tergantung pada faktor fisikokimia obat, anatomi dan fisiologi tempat

absorpsi (Shargel dan Yu, 1988).

Ada beberapa cara terjadinya absorbsi dalam menembus membran yaitu

transpor pasif, transpor aktif, difusi sederhana, pinositosis dan transpor oleh

pasangan ion. Transpor pasif menyangkut senyawa yang dapat larut dalam

komponen penyusun membran, penembusan terjadi karena adanya perbedaan

konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai

keseimbangan di kedua sisi membran (Aiache, 1993).

Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan

membran dengan intensitas yang besar, dan lebih banyak terjadi difusi pasif.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi

obat-obat yang tinggi dalam liang usus sebelah bawah dan pada penyerapan

susjacent (Aiache, 1993).

Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan

mekanisme perbedaan konsentrasi. Konsentrasi zat aktif, seperti halnya pada

mekanisme difusi pasif juga merupakan faktor penentu laju penyerapan (Aiache,

1993).

Menurut penelitian sebelumnya (Lisa, 2011) hasil absorpsi dari obat

golongan NSAID pada usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang

dihomogenkan memperlihatkan bahwa perbedaan konsentrasi mempengaruhi

jumlah absorpsi obat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk memeriksa

(16)

yang dihomogenkan dan pengaruh penambahan aspirin terhadap absorpsi

parasetamol pada usus halus kelinci yang dihomogenkan.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan

masalahnya adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh perbedaan konsentrasi parasetamol terhadap

jumlah absorpsi pada usus halus kelinci yang dihomogenkan?

2. Apakah aspirin mempengaruhi jumlah absorpsi parasetamol pada usus

halus kelinci yang dihomogenkan?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesisnya

adalah:

1. Perbedaan konsentrasi parasetamol dapat mempengaruhi jumlah absorpsi

pada usus halus kelinci yang dihomogenkan.

2. Aspirin dapat menurunkan jumlah absorpsi parasetamol pada usus halus

kelinci yang dihomogenkan.

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian

ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi

parasetamol terhadap jumlah absorbsi pada usus halus kelinci yang

(17)

2. Untuk mengetahui pengaruh aspirin terhadap jumlah absorbsi parasetamol

pada usus halus kelinci yang dihomogenkan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai efek absorpsi parasetamol dengan penambahan

aspirin pada usus halus kelinci yang dihomogenkan, dan dapat memberikan

informasi kepada industri farmasi mengenai absorpsi parasetamol dengan

konsentrasi berbeda dan dengan penambahan aspirin pada usus halus kelinci yang

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

2.1.1 Parasetamol

a. Rumus bangun parasetamol (dapat dilihat pada Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Rumus bangun parasetamol (Ditjen POM, 1995).

b. Rumus molekul : C8H9NO2 c. Berat molekul : 151,16

d. Sifat fisika

- Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

- Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium

hidroksida 1N, mudah larut dalam etanol (Ditjen

POM,1995).

e. Farmakologi

- Kegunaan : analgetik dan antipiretik(Tan dan Kirana, 2007).

- Efek Samping : reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada

penggunaan kronis dapat terjadi kerusakan hati.

Overdosis dapat menimbulkan mual, muntah dan

(19)

2.1.2 Aspirin

a. Rumus bangun aspirin (dapat dilihat pada Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Rumus bangun aspirin (Ditjen POM, 1995).

b. Rumus molekul : C9H8O4 c. Berat molekul : 180,16

d. Sifat fisika

- Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak

berbau atau hampir tidak berbau, rasa asam.

- Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol

(95%) P, larut dalam kloroform P dan dalam eter P.

(Ditjen POM,1995).

e. Farmakologi

- Kegunaan : analgetik dan antipiretik(Tan dan Kirana, 2007).

- Efek Samping : reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada

penggunaan kronis dapat terjadi kerusakan hati.

Overdosis dapat menimbulkan mual, muntah dan

(20)

2.2 Absorbsi

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul

obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah setelah melewati sawar

biologik (Aiache, dkk, 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk

akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat

mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati

berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur

lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel dan

Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan

biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat

terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah

cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke

peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk

sediaannya. Secara ringkas proses biofarmasetik dapat dilihat pada Gambar 2.3

(Joenoes, 2002).

Gambar 2.3 Fase Biofarmasetik Obat(Joenoes, 2002).

Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi:

kalau obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat

sampai tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi.

(21)

saluran darah baru itu disebut absorpsi (Joenoes, 2002). Berarti suksesnya

perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral kedalam sirkulasi umum

bisa dicapai dengan empat langkah proses yaitu :

1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya

2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan

3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna

4. Pergerakan obat dari tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Syukri, 2002).

Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari

sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila

pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi

dan absorpsinya juga lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara

keseluruhan (Joenoes, 2002).

2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat

1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat

Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang

kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas

permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002).

2. Pengaruh daya larut obat

Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:

a. Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat

b. Sifat fisik: modifikasi fisik obat

c. Prosedur dan teknik pembuatan obat

(22)

3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat

a. pKa dan derajat ionisasi obat

b. Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002).

2.2.2 Mekanisme Lintas Membran

Mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan membran) bersaing

dalam proses perlintasan zat aktif melalui membran (Aiache, dkk, 1993).

a. Filtrasi

Filtrasi atau yang disebut juga “difusi secara konvensi” adalah mekanisme

penembusan pasif melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa yang

berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran.

Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus halus dan lain-lain)

berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot

molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih

kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Syukri, 2002). Difusi

pasif melalui pori dapat dilihat pada Gambar 2.4

(23)

b. Difusi pasif “pH partisi hipotesis”

Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun

membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau

elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua

sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut

mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002).

V = P (Ce – Ci)

Dimana P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada kedua kompartemen.

Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada

proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat

aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat

aktif-protein yang terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot

molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein

merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui

membran (Syukri, 2002).

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam

keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian

dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal

membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat

proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut

dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya

(24)

(derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “Teori Difusi

Non Ionik atau Hipotesa pH Partisi” (Syukri, 2002).

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau

basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran.

Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah

atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung

kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi),

serta derajat ionisasi molekul (Syukri, 2002).

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson

Hasselbach) yaitu:

a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa

b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif

Untuk asam :

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran

molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penembusan transmembran oleh

mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat

menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan

sangat cepat (Syukri, 2002). Transport transmembran difusi pasif dapat dilihat

(25)

Gambar 2.5 Transpor trans membran difusi pasif(Joenoes, 2002).

c. Transpor aktif

Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran

sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya

pembawa. Pembawa ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada

permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya

molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke

permukaan asalnya (Syukri, 2002).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu

kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu

dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat

menghambat kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah.

Transpor dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan

mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh

dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri,

2002). Transport aktif dapat dilihat pada Gambar 2.6.

(26)

Gambar 2.6 Transpor aktif(Joenoes, 2002).

d. Difusi sederhana

Difusi ini merupakan cara pelintasan membran yang memerlukan suatu

pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).

Pembawa tersebut bertanggungjawab terhadap transpor aktif, tetapi di sini

perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi

(Syukri, 2002). Difusi sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Difusi sederhana(Joenoes, 2002).

e. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh

molekul-molekul besar dan terutama oleh molekul-molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi

dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).

(27)

Gambar 2.8 Transpor trans membran pinositosis(Joenoes, 2002).

f. Transpor oleh pasangan ion

Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari

suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan

terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan

senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya

difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002). Transport oleh

pasangan ion dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Transpor trans membran transpor pasangan ion (Joenoes,

(28)

2.3 Usus Halus

Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan

penyerapan. Dengan panjang sekitar 6,3 m dengan diameter yang kecil yaitu

2,5cm/1 inch. Bergulung di rongga abdomen dan terbentang dari lambung sampai

usus besar. Usus halus terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Duodenum

Duodenum disebut juga usus dua belas jari. Bagian pertama usus halus

yang berbentuk sepatu kuda melingkari pankreas.

b. Jejunum

Disebut juga usus kosong. Terjadi pencernaan secara kimia, menghasilkan

enzim pencernaan.

c. Ileum

Ileum disebut juga usus penyerapan. Terjadi penyerapan makanan

(absorpsi) (Fawcett, 1994).

Bagian pertama duodenum memegang peranan yang sangat penting pada

proses penyerapan. Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya

perlintasan membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi

difusi pasif. Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena

konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradient

difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada

(29)

Anatomi usus halus dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Usus Halus(Deferme, et al, 2008).

Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal

abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C,

mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang

terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat

digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya.

Kelokan-kelokan jejunum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati

bagian bawah rongga. Terdapat perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga

segmen usus halus itu, namun batas di antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus

halus terdiri atas empat lapis konsentris: mukosa, submukosa, muskularis, dan

serosa (Fawcett, 1994).

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum

dan bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua

(30)

duodenum 4-6, jejunum 6-7, ileum 7-8. Usus halus merupakan tempat absorpsi

yang penting untuk obat-obat karena pHnya yang cocok dan permukaan yang luas

(Ansel, 1989).

2.4Kinetika Laju Absorbsi

a. Persamaan Michaelis Menten (Inui, et al, 1988)

V =

Dimana; V = Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml.menit)

Vmaks = Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml.menit) Km = Tetapan Michaelis Mentens (M)

[C] = Konsentrasi (M)

Kd = Koefisien Difusi

b. Lineweaver Burk

Kurva hubungan konsentrasi [C] dan kecepatan absorpsi [V] yang

dikemukakan oleh Michaelis mentens dapat diubah ke dalam kurva garis lurus

apabila digunakan harga resiproknya (1/V dan 1/C) (Armstrong, 1995).

(31)

2.5 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel

Spektrofotometer UV-vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi

UV-vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam

larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif.

Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur

absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum

Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm

sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm

(Dachriyanus, 2004).

Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut

akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi

yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang cahaya yang

diserap. Sinar ultraviolet dan sinar tampak akan menyebabkan elektron tereksitasi

ke orbital yang lebih tingi. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi

cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan

semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar

ultraviolet dan sinar tampak (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer (Beer’s law) adalah hubungan linieritas antara

absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis

(32)

A = ε. b. C

A = absorban (serapan)

ε = koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1)

b = tebal kuvet (cm)

C = konsentrasi (M)

Pada beberapa buku ditulis juga:

A = E. b. C

E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1cm-1)

b = tebal kuvet (cm)

C = konsentrasi (gram/100 ml)

Hubungan antara E dan ε adalah:

E=

massa molar 10. ε

Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan sebagai

berikut:

T = I/Io

I = intensitas cahaya setelah melewati sampel

Io = intensitas cahaya awal

Hubungan antara A dan T adalah:

A = -log T = -log (I/Io)

Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang

gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama; dan absorbansi masing-masing

larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan teramati

(33)

Lambert-Beer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat

dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca listrik

(Sartorius), homogenizer mixer (Modifikasi), sentrifuge (Health), touch mixer

(Health), spektrofotometer ultraviolet (Shimadzu), stopwatch, politube,

mikropipet, pH meter, alat-alat gelas, satu set alat bedah, dan alat-alat lain yang

dibutuhkan.

3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah parasetamol

baku, aspirin baku, aquadest, natrium dihidrogen fosfat, dinatrium hidrogen fosfat,

natrium klorida, etanol, kloroform, es batu, usus halus kelinci.

3.3 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,5-2 kg.

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pembuatan aquadest bebas CO2

Aquadest dididihkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai

dingin dan tidak boleh menyerap CO2 dari udara (Ditjen POM, 1995).

3.4.2 Pembuatan larutan natrium dihidrogenfosfat 0,8%

(35)

3.4.3 Pembuatan larutan dinatrium hidrogenfosfat 0,9%

Larutkan 0,9 g dinatrium hidrogenfosfat dalam aquadest bebas CO2 secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.4 Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4 Isotonis

Campur 20,0 ml natrium dihidrogenfosfat 0,8% dengan 80,0 ml dinatrium

hidrogenfosfat 0,9% dan ditambahkan dengan 0,44 g/100 ml natrium klorida

(Ditjen POM, 1979) (Flowsheet dapat dilihat pada Lampiran 1).

3.4.5 Pembuatan larutan natrium klorida 0,9 %

Larutkan 0,9 g natrium klorida dalam aquadest hingga 100 ml (Ditjen

POM, 1995).

3.4.6 Pembuatan usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan

Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam.

Kemudian kelinci tersebut dianastesi, lalu dilakukan pembedahan pada bagian

perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Setelah usus halus dikeluarkan

dan dibersihkan bagian dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang

mengikat pembuluh darah halus, dan sebagiannya dengan bantuan pinset dan

gunting, dan dicuci dengan natrium klorida fisiologis dingin. Lalu usus halus

ditimbang, dipotong kecil-kecil, dimasukkan kedalam alat homogenizer mixer dan

ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sebanyak 5 kali berat usus halus lalu

dihomogenkan. Dipipet 50 µl usus homogen dan dimasukkan kedalam politube

(36)

3.4.7 Pembuatan Larutan Induk Baku I (LIB I) parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis

Timbang seksama 100 mg parasetamol baku dimasukkan ke dalam labu

tentukur 50 ml, dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis lalu ditambahkan

dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda dan dikocok hingga homogen,

sehingga diperoleh konsentrasi 2000 mcg/ml (LIB I) (Flowsheet dapat dilihat

pada Lampiran 3).

3.4.8 Pembuatan Larutan Induk Baku II (LIB II) parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis

Dari LIB I dipipet masing-masing 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml, 3,5 ml, 4,5 ml,

5,5 ml, 6,5 ml, 7,5 ml kemudian masukkan kedalam labu tentukur 10 ml,

ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda hingga diperoleh

konsentrasi 100 mcg/ml, 200 mcg/ml, 300 mcg/ml, 400 mcg/ml, 700 mcg/ml, 900

mcg/ml, 1100 mcg/ml, 1300 mcg/ml, 1500 mcg/ml ( LIB II ) (Flowsheet dapat

dilihat pada Lampiran 4).

3.4.9 Pembuatan larutan obat parasetamol dengan berbagai konsentrasi

Ditimbang seksama 7,5 mg, 15,1 mg, 22,6 mg, 37,8 mg dan 75,5 mg

parasetamol baku, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Dilarutkan dengan

dapar fosfat pH 7,4 isotonis, dicukupkan sampai garis tanda hingga diperoleh

konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM (Flowsheet dapat dilihat pada

Lampiran 5).

3.4.10 Pembuatan larutan obat aspirin dengan berbagai konsentrasi

Ditimbang seksama 0,9 mg, 2,7 mg dan 4,5 mg aspirin baku, dimasukkan

(37)

cukupkan sampai garis tanda hingga diperoleh konsentrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan

0,5 mM (Flowsheet dapat dilihat pada Lampiran 6).

3.4.11 Penentuan kurva absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

Politube yang berisi 50µl usus halus homogen disimpan pada temperatur

0-40C dengan bantuan es yang dimasukkan kedalam bakerglass, kemudian diprainkubasi selama 3 menit pada temperature 27ºC. Lalu dilakukan percobaan

up take dengan cara memasukkan LIB I parasetamol dengan konsentrasi 2000

mcg/ml sebanyak 100 µl kedalam politube, dan dihomogenkan dengan bantuan

touch mixer (pencampur sentuh) kemudian diinkubasi selama 3 menit pada

temperatur 27ºC. Lalu ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel, dicampur homogen dengan bantuan touch mixer (pencampur sentuh) dan

disentrifugasi selama 30 detik, 3000 rpm. Dipipet supernatan sebanyak 0,5 ml,

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml dan ditambahkan dengan dapar fosfat

pH 7,4 isotonis sampai garis tanda. Kemudian diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer uv pada panjang gelombang 200-400 nm (Flowsheet dapat

dilihat pada Lampiran 7).

3.4.12 Penentuan kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

Dilakukan perlakuan yang sama dengan melakukan percobaan up take

dengan cara memasukkan LIB II parasetamol dengan konsentrasi 100 mcg/ml,

200 mcg/ml, 300 mcg/ml, 400 mcg/ml, 700 mcg/ml, 900 mcg/ml, 1100 mcg/ml,

1300 mcg/ml, 1500 mcg/ml sebanyak 100µl kedalam politube. Kemudian

ditetapkan absorbansinya dengan spektrofotometer ultraviolet pada panjang

(38)

3.4.13 Penentuan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

Dilakukan perlakuan yang sama dengan melakukan percobaan up take

dengan cara memasukkan larutan parasetamol dengan konsentrasi 1 mM sebanyak

100 µl kedalam politube, dan dihomogenkan dengan bantuan touch mixer

(pencampur sentuh) kemudian diinkubasi dengan variasi waktu 30 detik, 45 detik,

1 menit, 2 menit, 3 menit, 5 menit, 7 menit, 10 menit dan 15 menit pada

temperatur 27ºC. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer ultraviolet dengan panjang gelombang 243,5 nm. Diulangi perlakuan dengan

variasi konsentrasi 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM (Flowsheet dapat dilihat pada

Lampiran 10).

3.4.14 Penentuan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan dengan penambahan aspirin

Dilakukan perlakuan yang sama dengan melakukan percobaan up take

dengan cara memasukkan larutan parasetamol dengan konsentrasi 1 mM sebanyak

100 µl kedalam politube lalu ditambahkan aspirin dengan konsentrasi 0,1 mM, 0,3

mM dan 0,5 mM ke dalam politube yang sama, dan dihomogenkan dengan

bantuan touch mixer (pencampur sentuh) kemudian diinkubasi dengan variasi

waktu 30 detik, 2 menit, dan 5 menit pada temperatur 27ºC. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer ultraviolet dengan panjang gelombang

243,5 nm. Diulangi perlakuan dengan variasi konsentrasi 2 mM, 3 mM, 5 mM dan

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis

Hasil penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol dalam usus

halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis yang

dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat spektrofotometer uv adalah

243,5 nm (kurva absorbsi dapat dilihat pada Lampiran 8).

Panjang gelombang yang diperoleh dapat digunakan untuk pengukuran hasil

karena sudah berada pada rentang sinar ultraviolet spektrofotometer dengan

panjang gelombang 200 – 400 nm.

4.2 Hasil Penentuan Kurva Kalibrasi Parasetamol dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis

Hasil penentuan kurva kalibasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang

dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis

(40)

Dari data kalibrasi tersebut, diperoleh kurva kalibrasi yang dapat dilihat

pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis

Dari gambar grafik di atas diperoleh hubungan yang linier antara

konsentrasi dengan absorbansi. Dengan peningkatan konsentrasi maka absorbansi

yang diperoleh juga semakin besar (perhitungan persamaan regresi dapat dilihat

pada Lampiran 12).

4.3 Penentuan Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis

Pengujian jumlah parasetamol yang diabsorpsi dalam usus halus kelinci

yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis yang dilakukan secara

(41)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM, 2 mM,

Dari Tabel 4.2 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.

(42)

Pada Gambar 4.2 menunjukkan hubungan jumlah parasetamol yang

diabsorpsi vs waktu pada variasi konsentrasi terjadi peningkatan jumlah obat yang

diabsorpsi pada menit ke 3 dan menit ke 5 kemudian pada menit ke 7, menit ke 10

dan menit ke 15 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan sel-sel usus halus

homogen yang digunakan sebagai medium absorpsi tidak optimal lagi sehingga

terjadi penurunan jumlah absorpsi parasetamol.

4.4 Penentuan Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan pada Dapar Fosfat pH 7,4 Isotonis dengan Penambahan Aspirin

Pengujian jumlah parasetamol yang diabsorpsi dalam usus halus kelinci

yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis yang dilakukan secara

uptake dengan waktu 0,5; 0,75; 1, 2, 3, 5, 10 dan 15 menit pada konsentrasi

1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mM,

0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit.

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM,

5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada

waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Waktu

(menit) 1 mM 2 mM 3 mM 5 mM 10 mM

0,75 0,2026 1,2068 1,9867 2,1487 2,2012

2 0,3451 1,1950 1,9903 2,1816 2,2584

(43)

Dari Tabel 4.3 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Grafik jumlah parasetamol yang diabsorpsi vs waktu pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM dengan penambahan aspirin 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Pada Gambar 4.3 menunjukkan hubungan jumlah parasetamol yang

diabsorpsi dengan penambahan aspirin vs waktu pada variasi konsentrasi

mengalami penurunan pada menit ke 0,75, menit ke 2 dan menit ke 5. Hal ini

disebabkan aspirin bersifat lebih asam daripada parasetamol sehingga dapat

menghambat absorpsi parasetamol.

4.5 Perbandingan Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan Tanpa dan Dengan Penambahan Aspirin pada Waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM,

(44)

konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat

dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM, 5 mM dan 10 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Dari Tabel 4.4 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.

(45)

4.5.2 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 2 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin

Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

2 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM

dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat dilihat pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 2 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Waktu (menit)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa penambahan

aspirin (mM)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi dengan penambahan

aspirin (mM)

0,75 1,2833 1,2068

2 1,3208 1,1950

5 1,4134 1,2002

Dari Tabel 4.13 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.13.

(46)

4.5.3 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 3 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin

Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

3 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM

dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat dilihat pada Tabel 4.14.

Tabel 4.14 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 3 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Waktu (menit)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa penambahan

aspirin (mM)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi dengan penambahan

aspirin (mM)

0,75 2,0848 1,9867

2 2,1757 1,9903

5 2,5421 2,2547

Dari Tabel 4.14 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.14.

(47)

4.5.4 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 5 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin

Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

5 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM

dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 5 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Waktu (menit)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa penambahan

aspirin (mM)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi dengan penambahan

aspirin (mM)

0,75 2,2151 2,1487

2 2,3505 2,1816

5 2,8537 2,5548

Dari Tabel 4.15 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.15.

(48)

4.5.5 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 10 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin

Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi

10 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM

dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit dapat dilihat pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 Perbandingan jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 10 mM tanpa dan dengan penambahan aspirin dengan konsetrasi 0,1 mM, 0,3 mM dan 0,5 mM pada waktu 0,75, 2 dan 5 menit

Waktu (menit)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa penambahan

aspirin (mM)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi dengan penambahan

aspirin (mM)

0,75 2,2858 2,2012

2 2,4446 2,2584

5 2,8723 2,6072

Dari Tabel 4.16 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs waktu yang dapat dilihat pada Gambar 4.16.

(49)

4.6 Jumlah Parasetamol yang Diabsorpsi dalam Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan dengan Berbagai Konsentrasi pada Waktu 5 menit

Data konsentrasi parasetamol pada waktu 5 menit dapat dilihat pada Tabel

4.17.

Tabel 4.17 Data konsentrasi parasetamol pada waktu 5 menit

Variasi konsentrasi (mM)

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa penambahan aspirin pada

waktu 5 menit

Jumlah parasetamol yang diabsorpsi dengan

penambahan aspirin pada waktu 5 menit

0 0 0

1 0,8170 0,5456

2 1,4134 1,2002

3 2,5421 2,2547

5 2,8537 2,5548

10 2,8723 2,6072

Dari Tabel 4.17 di atas, diperoleh grafik dengan menghubungkan jumlah

parasetamol yang diabsorpsi vs konsentrasi parasetamol yang dapat dilihat pada

Gambar 4.17.

(50)

Pada grafik (Gambar 4.12 – 4.16) menunjukkan perbandingan

jumlah parasetamol yang diabsorpsi tanpa dan dengan penambahan aspirin vs

waktu yang menunjukkan bahwa dengan penambahan aspirin terjadi absorpsi

yang lebih kecil dibandingkan dengan absorpsi parasetamol tanpa penambahan

aspirin.

Pada grafik (Gambar 4.17) menunjukkan hubungan antara jumlah obat

yang diabsorpsi dengan konsentrasi terlihat bahwa pada proses tersebut terdapat

jumlah maksimum pada konsentrasi tertentu. Ini membuktikan bahwa carier sudah

jenuh, sehingga tidak mungkin menampung atau mengikat senyawa lagi

(Poedjiadi, 1994). Selain itu, pada grafik (Gambar 4.17) juga memperlihatkan

perbandingan antara absorpsi parasetamol dengan penambahan aspirin dengan

absorpsi parasetamol tanpa penambahan aspirin, yang menunjukkan hasil yang

(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Perbedaan konsentrasi parasetamol mempengaruhi jumlah absorpsi dalam usus

halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan pada dapar fosfat

pH 7,4 isotonis.

2. Aspirin dapat menurunkan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci

(Oryctolagus cuniculus) yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4

isotonis.

5.2 Saran

1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk membandingkan absorpsi

parasetamol pada usus halus kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H.M. (1989). Dissolution, Bioavailability and Bioequivalence. Pennsylvania: Mack Printing Company. Hal. 308-312.

Aiache, J.M., Ddevissaguet, J., dan Guyot H.A.M. (1993). Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi Kedua. Penerjemah: Widji Soeratri. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 35, 247, 238.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Penerjemah: Farida Ibrahim. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 59.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Padang: Andalas University Press. Hal. 1, 5, 8, 9.

Deferme, S., Annaert, P., dan Augustijns, P. (2008). In Vitro Screening Models to Asses Intestinal Drug Absorption and Metabolism. New York: Biomedical and Life Sciences. Hal. 184.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 37.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 1124, 1154, 1157, 1195.

Fawcett, D.W. (1994). Buku Ajar Histologi. Edisi Keduabelas. Alih Bahasa: Jan Tambayong. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal. 552-553.

Joenoes, N.Z. (2002). Ars Prescribendi – Penulisan Resep Yang Rasional. Cetakan Ketiga. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 27, 33-46.

Lisa, R.H. (2011). Pengaruh Absorpsi Asam Mefenamat dengan Berbagai Konsentrasi pada Usus Halus Kelinci yang Dihomogenkan. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hal. 32.

Moffat, A.C., Jackson, J.V., Moss, M.S., dan Widdop, B. (1986). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi Kedua. London: The Pharmaceutical Press. Hal. 697.

Poedjiadi, A. (1994). Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press. Hal: 146.

(53)

Shargel, L., dan Yu, A.B.C. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi Kedua. Penerjemah: Fasich dan Siti Sjamsiah. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 88, 136.

Siswandono, M.S., dan Soekarjo, B. (1995). Kimia Medisinal. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 21-23.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UI Press. Hal. 7, 10-18.

Sweetman, S.C. (2005). Martindale The Complete Drug Reference. Edisi Ketigapuluh empat. London: Pharmaceutical Press. Hal. 46, 51.

Wilmana, P.F. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 214.

Tamai, I., Ling, H.Y., Simanjuntak, M.T., Nishikido, J., dan Tsuji, A. (1987). Stereospesific Absorption and Degradation of Cephalexin. Journal Pharmacy and Pharmacology. Hal. 320-324.

(54)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Flowsheet pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis

ditimbang 0,8 g ditimbang 0,9 g

dilarutkan dengan 100 ml aquadest dilarutkan dengan

bebas CO2 100 ml aquadest

bebas CO2

dipipet 20 ml dipipet 80 ml

ditambahkan 0,44 g/100 ml NaCl

diaduk sampai larut dan dihomogenkan Natrium

dihidrogen fosfat

Dinatrium hidrogen fosfat

campuran

(55)

Lampiran 2.Flowsheet pembuatan usus halus homogen

dipuasakan selama 20-24 jam

dianastesi

dibedah pada bagian perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada

dibersihkan bagian dalam dan bagian luarnya

dicuci dengan NaCl fisiologis dingin

ditimbang

dipotong kecil-kecil

dimasukkan kedalam alat homogenizer mixer

ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis dingin sebanyak 5 kali berat usus halus

dihomogenkan

dipipet 50 µl

dimasukkan kedalam politube

disimpan pada temperature 0-40C dengan bantuan es Kelinci jantan

Usus halus

Usus halus homogen

(56)

Lampiran 3. Flowsheet pembuatan LIB I parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis

dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml

dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis

ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda

dikocok homogen 100 mg parasetamol

(57)

Lampiran 4. Flowsheet pembuatan LIB II parasetamol dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis

dipipet masing-masing 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 3,5 ml; 4,5 ml; 5,5 ml; 6,5 ml dan 7,5 ml

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml

ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda

dikocok homogen

LIB I parasetamol

LIB II dengan konsentrasi 100 mcg/ml, 200 mcg/ml, 300 mcg/ml, 400 mcg/ml, 700 mcg/ml, 900 mcg/ml,

(58)

Lampiran 5. Flowsheet pembuatan larutan parasetamol dengan berbagai konsentrasi

dimasukkan masing-masing ke dalam labu tentukur 50 ml

dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis

dicukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda

dikocok sampai homogen 7,5 mg; 15,1 mg; 22,6 mg; 37,8

mg; 75,5 mg parasetamol baku

Larutan parasetamol dengan konsentrasi 1 mM, 2 mM, 3 mM,

(59)

Lampiran 6. Flowsheet pembuatan larutan aspirin dengan berbagai konsentrasi

dimasukkan masing-masing ke dalam labu tentukur 50 ml

dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis

dicukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda

dikocok sampai homogen 0,9 mg; 2,7 mg, 4,5 mg

aspirin baku

(60)

Lampiran 7. Flowsheet penentuan kurva absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

disimpan pada temperatur 0-40C dengan bantuan es diprainkubasikan selama 3 menit pada suhu kamar

dimasukkan 100 µl LIB I kedalam politube

dihomogenkan dengan touch mixer

diinkubasi selama 3 menit pada suhu kamar

ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel

dihomogenkan dengan touch mixer

disentrifuse selama 30 detik, 3000 rpm

dipipet 0,5 ml

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml cukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis dingin

diukur absorbansinya pada panjang gelombang 200-400 nm

Supernatan Endapan

(dibuang)

Panjang gelombang maksimum

(61)
(62)

Lampiran 9.Flowsheetpenentuan kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

disimpan pada temperature 0-40C dengan bantuan es diprainkubasi selama 3 menit

dimasukkan 100 µl LIB II kedalam politube

dihomogenkan dengan touch mixer

diinkubasi selama 3 menit pada temperatur 270C ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel

dihomogenkan dengan touch mixer

disentrifuse selama 30 detik, 3000 rpm

dipipet 0,5 ml

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml

cukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis dingin sampai garis tanda

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 243,5 nm 50µl Usus halus homogen

Supernatan Endapan

(dibuang)

(63)

Lampiran 10. Flowsheet penentuan absorpsi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

disimpan pada temperatur 0-40C dengan bantuan es diprainkubasi selama 3 menit

dimasukkan 100 µl larutan obat berbagai konsentrasi kedalam politube

dihomogenkan dengan touch mixer

diinkubasi selama 3 menit pada suhu kamar

diinkubasi dengan variasi waktu 0,5 menit, 0,75 menit, 1 menit, 2 menit, 3 menit, 5 menit, 7 menit, 10 menit dan 15 menit

ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel

dihomogenkan dengan touch mixer

disentrifuse selama 30 detik, 3000 rpm

dipipet 0,5 ml

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml

cukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis dingin sampai garis tanda

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 243,5 nm

Supernatan Endapan

(dibuang)

Hasil

(64)

Lampiran 11. Flowsheet penentuan absorpsi parasetamol dengan penambahan aspirin dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan

disimpan pada temperatur 0-40C dengan bantuan es diprainkubasi selama 3 menit

dimasukkan 100 µl larutan obat parasetamol berbagai konsentrasi kedalam politube

dimasukkan 100 µl larutan aspirin berbagai konsentrasi ke dalam politube yang sama

dihomogenkan dengan touch mixer

diinkubasi selama 3 menit pada suhu kamar

diinkubasi dengan variasi waktu 0,75 menit, 2 menit dan 5 menit

ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel

dihomogenkan dengan touch mixer

disentrifuse selama 30 detik, 3000 rpm

dipipet 0,5 ml

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml

cukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis dingin sampai garis tanda

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 243,5 nm

Supernatan Endapan

(dibuang)

Hasil

(65)

Lampiran 12. Penentuan persamaan regresi dan kurva kalibrasi parasetamol pada usus halus kelinci yang dihomogenkan dalam dapar fosfat pH 7,4 isotonis

700 0,2861 490000 0,08185321 200,2700

900 0,3546 810000 0,12574116 319,1400

1100 0,4327 1210000 0,18722929 475,9700

1300 0,4954 1690000 0,24542116 644,0200

1500 0,5742 2250000 0,32970564 861,3000

Σx = 6500 Σy = 2,5582 Σ x

b = 0,25582– (0,0003)(650)

b = 0,0200

Jadi, persamaan regresi adalah y = 0,0003x + 0,0200

(66)

Lampiran 13. Contoh perhitungan konsentrasi larutan obat parasetamol 2 mM

Contoh perhitungan konsentrasi larutan obat parasetamol dengan

menggunakan rumus sebagai berikut sehingga diperoleh konsentrasi 2 mM :

V x BM

mg

C = 1000

50 1000 16

, 151

11 , 15

x C =

Gambar

Gambar 2.3 Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002).
Tabel 4.1 Data kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis
Gambar 4.1 Kurva kalibrasi parasetamol dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan pada dapar fosfat pH 7,4 isotonis
Tabel 4.2 Jumlah parasetamol yang diabsorpsi pada konsentrasi 1 mM, 2 mM,       3 mM, 5 mM dan 10 mM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat dilakukan pengujian dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 pada bagian duodenum, jejunum, dan ileum

Pengujian iritasi kronik secara mikroskopik menunjukkan bahwa pada saluran cerna (lambung, usus halus, usus besar) semua kelinci yang diberi sediaan aspirin dalam kapsul alginat

Selain volume urin total, dapat dilihat hasil frekuensi urinasi (kali) dari kelinci jantan (Oryctolagus cuniculus) pada infus rambut jagung (Zea mays L.) total

Pengujian keamanan teh daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) pada jenis kelinci albino (Oryctolagus cuniculus) dengan empat dosis yang berbeda yaitu 1,3%, 2,6%, 3,9%, dan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seduhan daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) pada Kelinci Jantan (Oryctolagus cuniculus) yang diberi seduhan daun

Efek Antiinflamasi Ekstrak Jahe Merah ( Zingiber officinalle roscoe ) pada Gigi Kelinci ( Oryctolagus cuniculus ) (Penelitian In Vivo).. xi +

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seduhan daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) pada Kelinci Jantan (Oryctolagus cuniculus) yang diberi seduhan daun

EFEK PROTEKSI DIET OAT (Avena sativa L.) TERHADAP STRES OKSIDATIF PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE (Oryctolagus.. cuniculus) YANG TERPAPAR