• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke Dan Hutan Lindung Angke Kapuk Dengan Burung Air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke Dan Hutan Lindung Angke Kapuk Dengan Burung Air"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)

HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA

MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

DENGAN BURUNG AIR

OLEH :

ARIES INDRA SUPARTHA

-PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGQR

(119)

ABSTRAK

ARIES INDRA SUPARTHA. Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air. Dibimbing oleh HAD1 S. ALIKODRA dan JARWADI B. HERNOWO.

Keberadaan burung air dalam suatu kawasan memiliki hubungan dengan komponen-kornponen pembentuk habitat. Dalam penelitian ini dipelajari hubungan beserta sebaran burung air di Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk pada bagian tambak. Komponen-komponen habitat yang diukur pada setiap titik pengamatan adalah, banyaknya jenis tumbuhan, banyaknya jenis dan individu pohon dengan tinggi diatas dan dibawah 3 m, Gosentase penutupan tajuk pohon, prosentase penutupan tumbuhan bawah dan prosentase perairan terbuka, dan profil vertikal dari plot contoh yaitu banyaknya lapisan tajuk, pohon tertinggi, terendah dan rata-rata tinggi pohon berdiameter diatas dan dibawah 12 cm, rata-rata tinggi tumbuhan bawah dan tinggi bertenggernya burung air, yang mempengaruhinya.

Banyaknya patches (sub habitat) temyata tidak mempengaruhi banyaknya jenis burung air yang menggunakan habitat tersebut. SM Muara Angke yang memiliki 16 patches dihuni oleh 27 jenis burung air dengan nilai keanekaragaman (H') sebesar 2.85, lebih besar dibandingkan HL Angke Kapuk yang hanya memiliki dua patches dan dihuni oleh 22 jenis burung air dengan nilai H' sebesar 2,76, tetapi perbedaan keduanya tidak nyata jika diuji melalui uji t.

Dengan menggunakan Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analisis (PCA) dalarn program SAS, diketahui bahwa keberadaan pohon yang tinggi sebagai tempat beristirahat, dan pohonan sedang dengan turnbuhan bawah sebagai tempat bersembunyi dan mengintai mangsanya merupakan komponen habitat utama bagi SM Muara Angke. Sedangkan pepohonan tinggi yang menjorok ke perairan terbuka dengan luasnya perairan terbuka sebagai tempat mencari makan dan berjemur, serta keberadaan tumbuhan bawah dekat SM Muara Angke sebagai tempat bersembunyi dan mencari makan merupakan komponen utama bagi HL Angke Kapuk.

Melalui dendrogram dengan menggunakan program SAS dapat dilihat hubungan antar jenis burung dari kedua kawasan, dimana hubungan tersebut didapatkan berdasarkan sebaran jenis b ~ N n g air dalam PCA. Dengan perpotongan pada 0,70, lima kelompok bIJNng air dapat dipisahkan pada SM. Dan pada HL dengan perpotongan 0,45, delapan kelompok burung air dihasilkan.

(120)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

"HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA

MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK DENGAN

(

71-

BURUNG AIR"

'6

adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Senlua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, 24 Maret 2002

(121)

HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA

MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

DENGAN BURUNG AIR

OLEH :

ARIES INDRA SUPARTHA IPK 9970108

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(122)

Judul Tesis : HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK DENGAN BURUNG AIR

Nama : Aries lndra Supartha

NRP : 9970108

Program Studi: llmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. ~adi$, Alikodra MS ~ e t u a l

~ r ~ a d i 6. Hemowo MScF Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi IPK Program Pascasarjana

*

-

d

Dodi Nandika MS
(123)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 April 1967 dari ayah Dadang Surya dan ibu Resmining Lotty Akil. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Sistim Penerimaan Murid Baru. Pada tahun 1986 penulis memilih Fakultas Kehutanan dan tahun 1988 memilih jurusan

K o n s e ~ a s i Sumberdaya Hutan. Tahun 1998 penulis diterima di Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa diperoleh dari PT Perhutani.

(124)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SVVT atas segala anugrah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2001 adalah Konsewasi Sumberdaya Hayati dengan judul Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air.

Ucapan terirna kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra dan Bapak Ir. Janvadi B. Hernowo selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ivan Y. Noor, Yuri Yuriana, Ronald G.

Suitela serta Bapak Naman penjaga kawasan Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung dan masyarakat nelayan sekitar kawasan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada lbu, saudara serta lstri tercinta yang rnenemani penulis selama ini beserta segala doa dan kasih sayang yang diberikan.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 24 Maret 2002

(125)

DAFTAR

IS1

Halarnan

DAFTAR TABEL

...

viii

DAFTAR GAMBAR

...

ix

DAFTAR LAMPIRAN

...

xi

PENDAHULUAN

...

Latar Belakang 1

Perurnusan Masalah

. .

...

3

...

Tujuan Penellt~an 3

...

Hipotesa

.

. 4

...

Manfaat penel~t~an

...

; 4

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

...

5 Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung

...

8 Burung Air

...

13 Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung ... 14 Keanekaragaman

...

15

METODOLOGI PENELlTlAN

Pernbatasan Masalah

...

18

WaMu dan Lokasi Penelitian ... 18 Bahan dan Alat

...

18 Pengurnpulan Data ... 19

Analisis Data

...

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas

...

24 Kornposisi Habitat Mikro di Kedua Kawasan

...

24 Keanekaragarnan Jenis Burung Air

...

30 Fungsi Habitat Mangrove bagi Burung Air

...

38

...

Analisis Hubungan antar Jenis Burung Air dalarn Komunitas 52

Penggunaan Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung oleh Berbagai

Jenis Burung

...

57

KESIMPULAN DAN SARAN

...

Kesimpulan 70

Saran

...

1

...

72
(126)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pernbagian patches yang dijurnpai di SM. Muara Angke

...

25

2. Hasil pengukuran vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa 26

3. Hasil pengukuran vegetasi pada HL. Muara Angke

...

27

4. Nilai keanekaragaman jenis burung air di kedua kawasan

...

30

5. PCA berdasarkan komponen habitat SM. Muara Angke

...

39

6. PCA berdasarkan komponen habitat HL. Angke Kapuk

...

46

7. Pengelompokan burung air dalam menggunakan ruang berdasarkan

PCA Suaka Margasatwa Muara Angke

...

52

8. Pengelompokan burung air dalam menggunakan ruang berdasarkan

PCA Hutan Lindung Angke Kapuk

...

53

9. Berbagai jenis burung yang berhubungan dengan mangrove diternukan di SM. Muara Angke dan HL. Angke Kapuk

...

64
(127)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

.

Contoh zonasi mangrove di Cilacap

...

7

2

.

Sebaran vegetasi dan patches di SM

.

Muara Angke ... 28

3

.

Sebaran vegetasi dan patches di HL . Angke Kapuk

...

29

4

.

Perbandingan jumlah individu dari masing-masing jenis burung air di Suaka

...

Margasatwa Muara Angke 31

5

.

Perbandingan jumlah individu dari masing-masing jenis burung air di Hutan Lindung Angke Kapuk

...

32

6

.

Sebaran burung air yang teramati di SM

. Muara Angke

...

33

7

.

Sebaran burung air yang teramati di HL

. Angke Kapuk

...

34

8 . Sebaran burung air dalam PC1 dan PC2 dari Suaka Margasatwa

...

41

9 . Sebaran burung air dalam PC1 dan PC2 dari Hutan Lindung

...

48

10 . Dendrogmm hubungan antarjenis burung air pada habitat Suaka

...

Margasatwa Muara Angke 54

11

.

Dendrogram hubungan antar jenis burung air pada habitat Hutan

Lindung Angke Kapuk

...

;

...

56

12

.

Profil vegetasi Suaka Margasatwa Barat

.

Timur (nipah ke arah belokan sungai mati) dan penggunaan ruang oleh burung air

...

58

13

.

Profil vegetasi Suaka Margasatwa Utara . Selatan (menara ke arah sungai

...

mati) dan penggunaanruang oleh burung air 59

14 . Profil vegetasi Hutan Lindung Barat

.

Timur (Utara Suaka Margasatwa) dan penggunaan ruang oleh burung air

...

59

15 . Cangak abu dan cangak merah sedang mencari makan di tepian

sungai

...

60

16

.

Salah satu tempat belibis kembang dan burung air lainnya mencari

makan di Suaka Margasatwa (pandangan dari menara pengamat)

...

61

17

.

Pecuk padi sedang berjemur pada tunggak pohon di tambak ... 61

18 . Kukuk seloputu. sejenis burung hantu yang ditemukan sedang

bertengger pada pohon pidada di siang hari

...

63
(128)

20

.

Hamparan lumpur di perumahan PIK yang digunakan berbagai jenis burung air besar

...

66

21

.

Kuntul kerbau pada eceng gondok di mulut S . Pandan

...

67

22

.

Perairan terbuka pada bekas belokan S

. .

.

Angke saat eceng keluar setelah pasang t ~ n g g ~

...

67

23

.

Profil vegetasi di sekitar menara pengamat Suaka Margasatwa

...

68

24

.

Perairan terbuka pada tambak Hutan Lindung

...

68
(129)

DAFTAR LAMPIRAN

Halarnan

1

.

Pengukuran turnbuhan bawah dengan Line intercept pada Suaka

Margasatwa Muara Angke

...

80

2 . Pengarnatan vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa

Muara Angke

...

81

3

.

Pengarnatan vegetasi pada Hutan Lindung Angke Kapuk

...

82

4

.

Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di Suaka Margasatwa Muara

Angke

...

83

5 . Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Angke Kapuk .... 84

6

.

Pengamatan burung air di SM

.

Muara Angke dan HL . Angke Kapuk

....

85

7

.

Pengamatan burung di Suaka Margasatwa Muara Angke

...

86
(130)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat

perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau

mendapat tekanan yang besar dari masyarakat sekitamya berupa penebangan

secara liar untuk diambil kayunya atau daunnya (Noor, Khazali dan Suryadiputra

1999). Luas hutan mangove yang tersisa sekarang diperkirakan 2,49

-

4,25 juta

hektar (Departemen Kehutanan 1997), sedangkan menurut perhitungan Giesen

(dalam Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999) luas sekarang diperkirakan 2,49

juta hektar dan perkiraan luas pada lima sampai sembilan tahun lalu sebesar

4,13 juta hektar.

Sebagai hutan mangrove yang tersisa di Pantai Jakarta, Suaka Margasatwa

Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan suatu daerah yang

menyatu, tetapi berada di bawah pengawasan dua departemen yang berbeda

yaitu Departemen Kehutanan untuk SM Muara Angke, dan Pemerintah Daerah

tingkat Satu DKI Jakarta untuk HL Angke Kapuk. Kedua kawasan sekarang ini

dikelilingi oleh perumahan yaitu Perumahan Pantai lndah Kapuk.

Departemen Kehutanan menetapkan SM Muara Angke, sesuai dengan

namanya, sebagai kawasan suaka bagi berbagai jenis burung terutama burung

air dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 7551Kpts-1111998 dengan

luas 25,02 hektar. Sedangkan Pemda DKI Jakarta menjadikan HL Angke Kapuk

sebagai kawasan perlindungan pantai yaitu suatu kawasan yang dikhususkan

sebagai pelindung pantai dari abrasi air laut, intrusi air laut dan sebagainya,

berdasarkan SK Dirjen lnventarisasi dan Tata Guna Hutan No. 08IKptsNII-4/94

(131)

Hutan mangrove merupakan tempat wisata yang sedang berkembang. Di

negara seperti Thailand dan Australia, hutan mangrove dibangun dengan

mernbuat jalan setapak atau dengan menggunakan perahu, sehingga para

wisatawan dapat rnasuk jauh ke dalam hutan tersebut, kebanyakan wisatawan

yang berkunjung adalah pelajar dan pengarnat burung terutama burung air yang

juga rnerupakan burung migran (Macintosh and Zisrnan 1995).

Pengelolaan hutan mangrove untuk tujuan wisata didasarkan pada hubungan

antara hutan mangrove sebagai habitat dan burung air sebagai target bagi

pengamat burung (bird watcher). Wisatawan jenis ini dapat mencapai 20

-

40%

dari pariwisata internasional, bahkan di negara-negara tertentu seperti Thailand,

India dan Afrika Selatan wisatawan jenis ini dapat mencapai 90% dari total

wisatawan yang berkunjung, sedangkan di Australia dapat mencapai 32%, di

Afrika (selain Afrika Selatan) mencapai 80%, di Arnerika Utara berkisar antara 30

-

64%. dan di Amerika Selatan berkisar antara 9

-

60% (Roe et a1 1997). Dari

sekian banyak wisatawan ini pengamat burung (bird watcher) menduduki ternpat

tertinggi (Filion et al 1992).

Pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung air, seperti kuntul,

bangau, pecuk dan raja udang adalah karena mangrove merupakan tempat

untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi berbagai jenis

burung air migran (terutarna dari suku Charadriidae dan Scolopacidae), hutan

mangrove sangat penting artinya dalarn perjalanan sebagai tempat beristirahat

dan mencari makan sebelum mencapai tempat untuk berkembangbiak (Noor,

Khazali dan Suryadipura 1999). Avenzora (1988) mendapatkan 61 jenis burung

dengan 22 jenis diantaranya adalah burung air dalarn penelitiannya di Cagar

(132)

Burung air di hutan mangrove, seperii juga pada lahan basah lainnya,

menggunakan berbagai sub habitat yang ada, yaitu berupa sub habitat

pepohonan, tanah tirnbul, tanah rawang (turnbuhan bawah) dan perairan terbuka

(Alikodra 1997; Alikodra 1990; Mustari 1990).

Perumusan Masalah

Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk

mengalami tekanan yang berasal dari daerah sekitarnya, seperti perumahan,

kampung nelayan rnaupun berbagai bahan beracun berbahaya yang masuk

melalui Sungai Angke. Dengan tekanan yang sedemikian besar kedua kawasan

masih memiliki keanekaragaman burung air yang cukup tinggi, ha1 ini

diperkirakan ada hubungannya dengan kondisi habitat di kedua kawasan

sehingga perlu untuk mengidentifikasi komponen habitat yang berupa komposisi

dan jenis vegetasi baik vertikal maupun horizontal, dan hubungannya dengan

berbagai jenis burung air.

Pengetahuan mengenai hubungan kornponen habitat dengan burung air akan

mempermudah pengelolaan habitat dengan tujuan menarik lebih banyak burung

air yang merupakan satwa target pengamatan di hutan mangrove, dan

mempermudah pengamatan bagi wisatawan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa

Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air adalah

(133)

1. Habitat mikro (patches) yang ada baik di Suaka Margasatwa Muara Angke

maupun Hutan Lindung Angke Kapuk,

2. Keanekaragaman jenis burung air yang bukan jenis burung air migran dari

Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk,

3. Hubungan berbagai jenis burung air dengan habitatnya, dengan melihat

penggunaan berbagai kornponen habitat pembentuk habitat di kedua

kawasan.

Hipotesa

Semua jenis burung air menggunakan paling tidak dua sub habitat yang ada di

Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan pertirnbangan bagi pengelola, terutama jika hutan mangrove

tersebut akan direhabilitasi, dimana dari data hasil penelitian ini dapat

diketahui kondisi habitat yang bagaimana yang disukai burung air sebagai

satwa target,

2. Menyediakan data bagi perencana pengembangan tapak dalam ekowisata,

sehingga jalur-jalur yang dibuat dapat melalui tempat-tempat yang disukai

oleh burung target, disamping mengatur pengunjung untuk rnenghindarkan

(134)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan di tepi pantai berlurnpur yang sangat

penting dan hanya ada pada kedudukan antara 32' lintang Utara dan 38" lintang

Selatan, yaitu antara Bermuda (32'20' lintang Utara) dan Selandia Baru (3B003'

lintang Selatan), rnenyebar dari pantai Barat dan Timur Afrika hingga pantai

Barat Amerika, kecuali pada berbagai pulau di laut Pasifik (Spalding eta/ 1997).

Mangrove dalam konvensi lahan basah Rarnsar merupakan bagian dari lahan

basah, dimana definisi lahan basah dalarn apendik A dari konvensi lahan basah

Ramsar (Ramsar 1999) adalah daerah rawa-rawa, kerangas, rawa-rawa berair

asin atau payau (terrnasuk mangrove), baik terjadi secara alami rnaupun buatan,

perrnanen rnaupun temperer, dengan air yang diam atau rnengalir, berair tawar,

payau rnaupun asin dan daerah tepi pantai dengan pasang surut kurang dari

enam meter, termasuk daerah tepi sungai, pantai berkarang, dan laut dengan

kedalaman lebih dari enam meter yang berada diantara lahan basah lainnya.

Hutan mangrove sangat penting bagi keberadaan ekosistem pantai. Serasah

dari berbagai daun clan ranting yang jatuh dari berbagai jenis tumbuhan di hutan

mangrove rnenyediakan makanan bagi lingkungan laut, merupakan sumber

energi bagi berbagai jenis kehidupan di laut dan merupakan penunjang bagi

rantai makanan di pantai dan laut (Quarto 2000).

Menurut Tomlinson (Quarto 2000), hutan mangrove tersusun dari 16-24 famili

dan 54-75 jenis tumbuhan. Menurut Ellison (Macintosh and Zisman 1995)

mangrove asii berupa pohon dan tumbuhan bawah rneliputi 80 jenis, dengan 50-

60 jenis merupakan penyusun struktur hutan, dengan jenis terbanyak berada di

(135)

Menurut Spalding et a1 (1997) luas hutan mangrove di dunia adalah 181.077

krnz atau 18.107.700 ha dengan luas hutan di lndonesia mencapai 4.542.100 ha,

dan rnenurut Aksormkoae (2000), luasnya rnencapai 18.148.000 ha dengan luas

hutan di lndonesia hanya 2.500.000 ha, sedangkan menurut Departemen

Kehutanan (1997) luas hutan mangrove di lndonesia mencapai 3.533.000 ha.

Menurut Departernen Kehutanan (1997), 1.099.400 ha dari luasan hutan

mangrove di lndonesia rnerupakan kawasan konservasi. Sebagian kawasan

konservasi hutan mangrove telah mengalami kerusakan maupun penurunan

mutu akibat dari berbagai gangguan. Kondisi hutan mangiove yang paling

mernprihatinkan berada di Pulau Jawa, dirnana luas hutan mangrove di pulau

Jawa tinggal 18.077 ha.

Mangrove asii menempati daerah yang dibatasi oleh pasang surut air laut, dan

dalam kondisi yang optimal biasanya dapat diternukan pada muara sungai dan

teluk yang terlindung di daerah tropis dengan tinggi pohon dapat mencapai 45 m

(Watson dalam Macintosh and Zisman 1995).

Menurut Sukardjo (1997), struktur komunitas mangrove yang berupa zonasi,

bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Secara urnum struktur kornunitas

mangrove digambarkan dalarn zonasi suksesi kearah darat sebagai berikut:

.

Avicennia/Sonneratia

-

Rhizophora

-

BruguieralCeriops

-

Oncospenna (Sukardjo 1999). Sedangkan rnenurut Chapman (Sukardjo 1992), di lndo-Pacific

zonasi tersebut rnengikuti susunan Avicennia albaYSonneratia alba (dorninan

yang berhadapan langsung dengan laut)

-

Rhizophora, Bruguiem dan

Xylocarpus (pada rawa di belakang bagian dorninan)

-

Lumnitzera dan Avicennia

(pada bagian darat yang lebih kering)

-

Nypa Fruticans dan Sonneratia
(136)
[image:136.556.95.494.65.300.2]

Gambar 1. Contoh zonasi mangrove di Cilacap (sumber : Noor, Khazali & Suryadiputra 1999 setelah White dkk 1989)

Hubungan antara zonasi dan suksesi telah diperdebatkan sejak lama oleh para

ahli, dimana banyak ahli rnenyangsikan bahwa zonasi dibentuk berdasarkan

suksesi jenis. Perkernbangan terakhir rnernperkirakan, bahwa zonasi suksesi

pada mangrove adalah respon ekologis mangrove dari berbagai faktor ekternal

vegetasi tersebut yang kompleks terhadap berbagai faktor lingkungan, daripada

perkembangan berdasarkan waktu (van Steenis dalarn Sukardjo 1992;

Tornlinson 1986; FA0 1994).

Karena zonasi sering tidak dapat diketahui dengan pasti, Sukardjo (1992), dari

hasil penelitiannya di berbagai ternpat rnenyirnpulkan, bahwa mangrove daerah

Indo-Pacifik Barat dapat dibedakan rnenjadi 1) Hutan di sepanjang sungai, 2)

Hutan pada delta sungai, biasanya terdapat pada areal rnuara yang kornpleks,

3) Hutan yang berhadapan langsung dengan laut pada pantai yang terlindung, 4)

Hutan rendah, biasanya berupa tegakan yang rnasih rnuda pada harnparan

lurnpur, hamparan koral dan lain-lain yang berbatasan langsung dengan laut, dan

(137)

Di berbagai ternpat, mangrove yang berbatasan dengan daratan (landwanl)

dan tepian sungai sering dipenuhi oleh rurnput dan turnbuhan bawah. Sukardjo

(1987; 1990), dalarn penelitiannya di Delta Cirnanuk dan berbagai ternpat di

Pulau Jawa rnendapatkan bahwa bagian ini dipenuhi oleh prurnpung (Cyperus

rnalaccensis dan Scirpus littoralis), Panicurn repens, Paspalurn cornmersonii dan

P. vaginaturn, dengan tegakan berbagai jenis pepohonan mangrove tersebar

tidak rnerata.

Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung

Morrison et a1 (1992) rnenjelaskan bahwa penelitian tentang hubungan

satwaliar dengan habitatnya dimulai dari keingintahuan rnanusia akan interaksi

satwaliar dengan lingkungannya. Penelitian-penelitian tersebut selanjutnya

rnendapatkan apa yang dikenal sebagai hubungan secara ekologis (ecological

relationships). Pada awalnya hubungan tersebut digambarkan sebagai sebaran

satwaliar dalarn berbagai tingkatan lingkungan atau tingkatan kornunitas

vegetasi, baik berupa perbedaan ketinggian rnaupun tingkatan suksesi.

Penelitian Hernowo dan Prasetyo (1989), rnendapatkan bahwa kornposisi dan

struktur vegetasi rnernpengaruhi jenis dan jurnlah burung yang terdapat pada

suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung rnernpunyai relung

yang berbeda dan kornposisi jenis vegetasi yang beragarn cenderung

rnernpunyai kernarnpuan untuk rnenarik lebih banyak jenis burung.

Menurut Orians (1969), banyaknya jenis burung dapat berbeda-beda

tergantung pada karakteristik lingkungannya, selain itu struktur dari vegetasi

yang ada, terutarna distribusi vertikal, rnerupakan ha1 yang penting bagi

(138)

Tornoff (1974) pada penelitiannya mengenai keanekaragaman jenis burung di

berbagai semak gurun rnenunjukkan, bahwa rnakin kompleks suatu habitat dapat

rnenyebabkan rneningkatnya jenis dan banyaknya burung. Menurut James dan

Warner (1982), pada daerah temperate jenis dan banyaknya burung akan rnakin

rneningkat seiring dengan meningkatnya keanekaragarnan jenis dan lapisan tajuk

vegetasi hutannya, juga dengan rnenurunnya jenis daun jarum.

Menurut Orians (1969), pada vegetasi temperate di Utara, struktur vegetasi

yang teibaik dapat dibagi ke dalarn tiga lapisan yaitu 0

-

0,6 rn, 0,6

-

7,6 rn dan

diatas 7,6 rn, sedangkan di Panama yang merniliki keanekaragaman jenis burung

yang lebih tinggi, struktur vegetasinya dapat dibagi atas ernpat lapisan yaitu 0

-

0,6 rn, 0,6

-

3,O rn, 3,O

-

15,2 rn dan diatas 15,2 rn. Pernbagian struktur vegetasi

secara vertikai tersebut didasarkan pada kegiatanlperilaku rnencari rnakan.

kawin, bersarang dan berbagai kegiatan lainnya.

Penelitian lanjutan rnengenai hubungan satwaliar dan habitatnya rnernbuat

para peneliti sadar bahwa distribusi berbagai jenis satwaliar ternyata tidak dapat

dijelaskan hanya dengan dasar perbedaan iklim dan surnberdaya penting saja

(Morrison et a1 1992). Dari berbagai penelitian rnengenai burung, David Lack

(dalarn Morrison eta1 1992) rnenemukan bahwa burung rnemerlukan kornbinasi

lingkungan yang tepat untuk dapat rnernpertahankan hidupnya, konsep ini

selanjutnya disebut sebagai seleksi habitat (habitat selection). Penelitian terus

beilanjut sarnpai diternukannya konsep relung (niche), dimana seleksi habitat

tidak hanya dipengaruhi lingkungan tempat hidupnya tetapi dipengaruhi juga oleh

persaingan dalarn jenis, persaingan antar jenis dan keberadaan predator

Menu,rut Morrison, et a1 (1992) lebih lanjut, salah satu aspek dari penyebaran

habitat yang sangat rnernpengaruhi populasi dan kernarnpuan berkernbang biak

(139)

meningkatnya isolasi terhadap suatu habitat satwa liar, dan menurunnya ukuran

habitat yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari makan satwa liar

(resources patches). Fragmentasi habitat menyebabkan akibat yang berbeda-

beda untuk setiap jenis satwa liar, terhadap jenis satwa yang menyukai kondisi

"intenof, yaitu suatu tempat yang berada di dalam suatu habitat yang jauh dari

batas pertemuan habitat (edge), akan menyebabkan menurunnya populasi, tetapi

pada jenis satwa yang menyukai kondisi edge, ha1 tersebut dapat meningkatkan

populasinya.

Penelitian Hawrot dan Niemi (1996) memperlihatkan hubungan antara

banyaknya edge, yaitu sentuhan antara habitat tersebut dengan habitat lainnya,

luasnya habitat (Patch size) dan bentuk dari habitat (Patch shape) sangat

mempengaruhi banyaknya jenis burung yang menggunakannya. Banyaknya

edge mempengaruhi banyaknya komponen habitat yang membentuk habitat

tersebut, ha1 ini menjadikan habitat tersebut makin kompleks sehingga makin

banyak jenis burung yang menyukai kondisi edge menggunakan habitat tersebut.

Luasnya habitat mempengaruhi besarnya daya dukung habitat tersebut sehingga

makin luas habitat tersebut, makin banyak jenis burung yang dapat

menggunakannya. Sedangkan bentuk habitat dipengaruhi oleh habitat

sekitamya, biasanya bentuk habitat makin kompleks jika makin banyak habitat

lain disekitarnya, ha1 ini mempengaruhi banyaknya edge sehingga membentuk

habitat yang makin kompleks.

Berbagai penelitian yang dilakukan di Afrika, Amerika Tengah d a n ' ~ s i a Tropis

menunjukkan bahwa berbagai jenis burung yang menggunakan hutan mangrove

berasal dari zona temperate baik dari Selatan maupun Utara daerah tersebut

(140)

Menurut Saenger et a1 dalarn F A 0 (1994) sebanyak 150

-

250 jenis burung

rnenggunakan mangrove sebagai habitatnya, 65 jenis dari burung tersebut

rnerupakan jenis langka atau terkikis. Ford dalarn Hutchings and Saenger (1987)

rnenyebutkan bahwa di beberapa daerah banyak jenis burung hanya

menggunakan hutan mangrove sebagai ternpat hidupnya, sernentara pada

daerah geografis lainnya jenis-jenis tersebut rnalah tidak terdapat pada hutan

mangrove.

Di Australia lebih dari dua ratus jenis burung diternukan pada hutan mangrove,

14 jenis diantaranya rnerupakan jenis yang hanya dapat dilihat di hutan

mangrove, 12 jenis rnenggunakan mangrove sebagai habitat utamanya, dan 60

jenis menggunakan hutan mangrove pada rnusirn-musirn tertentu saja (Hutchings

and Saenger 1987).

Berbagai penelitian di hutan mangrove di Indonesia rnemperlihatkan

pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung air. Alikodra (1990) pada

penelitiannya tahun 198911990 mencatat 28 jenis burung air terdapat di Muara

Cirnanuk dan 30 jenis burung air tercatat di Segara Anak. Sedangkan Mustari

(1990), dalarn penelitiannya di hutan mangrove Delta Cirnanuk menernukan 59

jenis burung, 28 jenis diantaranya merupakan burung air, dan dari 28 jenis

burung air tersebut 12 jenis diantaranya rnerupakan jenis burung wader rnigran.

Burung air rnenggunakan habitat pada tanah tirnbul dan rawang sebagai tempat

mencari rnakan, sedangkan habitat bervegetasi hutan rnanggrove digunakan

sebagai ternpat istirahat dan berlindung.

Menurut Hutchings and Saenger (1987), keberadaan berbagai jenis satwa,

terutarna burung air, di mangrove tarnpaknya dipengaruhi oleh keberadaan dua

tipe habitat, yaitu: 1) habitat rawa asin pasang surut yang teriindung, dan 2)

(141)

daratan dan lautan (berupa koridor), rnenarik berbagai jenis burung air. Menurut

Sukardjo (1992), berbagai jenis burung air yang rnenggunakan mangrove erat

hubungannya dengan adanya pepohonan dan turnbuhan bawah sebagai

pelindung, ternpat beristirahat dan bersarang, dan perairan terbuka dengan

hamparan lurnpur sebagai teypat rnencari rnakan.

Menurut Alikodra (1997) dalarn usaha rnernpertahankan burung air di habitat

rawa, dimana hutan mangrove terrnasuk di dalamnya, ditentukan tiga zona

pengelolaan, yaitu zona bervegetasi pohon,, turnbuhan bawah dan perairan

terbuka. Masing-masing zona berperan dalarn mernpertahankan keberadaan

burung air. Zona bervegetasi pohon digunakan sebagai ternpat bersembunyi,

tidur dan beristirahat, zona turnbuhan bawah digunakan oleh berbagai janis

burung air sebagai ternpat bersarang dan bersernbunyi, sedangkan zona

perairan terbuka digunakan sebagai ternpat rnencari rnakan, bermain dan

rnengasuh atau rnembesarkan anak bagi berbagai jenis itik liar.

Hutan mangrove yang rnerupakan daerah pasang-sunrt rnerupakan ternpat

yang cocok bagi perlindungan berbagai jenis burung dimana beberapa jenis

burung tersebut rnerupakan jenis burung migrant (FA0 1994).

Konvensi Rarnsar di Iran tahun 1971 (Rarnsar 1999) rnenetapkan bahwa lahan

basah (terrnasuk di dalamnya hutan mangrove) dapat diakui penting secara

lnternasional jika di dalarnnya rnendukung kehidupan jenis-jenis terkikis, harnpir

punah atau berada dalam keadaan kritis atau komunitas yang secara ekologis

terancarn, atau yang mendukung jenis tanarnan dan atau satwa penting untuk

rnernelihara keanekaragarnan jenis biologis dari daerah biogeografili tertentu,

dan atau rnendukung kehidupan jenis-jenis tanarnan dan satwa yang dalam

(142)

yang memerlukan hutan mangrove sebagai tempat benstirahat dalam

perjalanannya menghindari musim dingin atau sebagai tempat bersarang.

Burung Air

Burung merupakan satwa yang telah berkembang selama seratus lima puluh

juta tahun yang lalu. Dimulai sejak reptil terbang Archaeopteryx lithografica,

yang fosilnya ditemukan pada lapisan Pleitosen, hingga tercipta 28 Ordo, 155

famili dengan lebih dari 8.000 jenis burung yang dikenal dewasa ini (Scott 1989).

Penyebaran burung meliputi seluruh Dunia, kecuali di pusat Benua Antartik,

rnulai dari Gurun Gobi yang selalu panas dan kering hingga ke Pegunungan

Himalaya dan Andes yang selalu tertutup salju, dari Katulistiwa hingga Kutub

Utara dan Selatan (Peterson 1983).

Di Pulau Jawa dan Bali terdapat sebanyak 494 jenis burung dengan 368 jenis

merupakan jenis yang menetap dan sisanya sebanyak 126 jenis merupakan jenis

burung migrant, yang kebanyakan merupakan jenis burung air (MacKinnon

1990). Jenis-jenis burung tersebut merupakan sebagian dari 234 jenis burung

migrant di Asia-Pasifik, dari total 404 jenis burung air yang merupakan

pengunjung dari, paling tidak, 57 negara di Asia Pasifik region (Asia-Pasific

Migratory Waterbird Conservation Committee).

Definisi burung air dari konvensi Ramsar (Mundkur and Matsui 1997; Rose and

Scott 1994) adalah, jenis-jenis burung yang secara ekologis hidupnya sangat

tergantung pada lahan basah, baik dalam mencari makan, minum, istirahat dan

berlindung, serta berbagai aktifitas yang berhubungan dengan air. .lenis-jenis

burung air di Indonesia berasal dari suku Podicididae, Phalacrocoracidae,

Anhingidae, Pelacanidae, Ardeidae, Ciconiidae, Threskiomithidae, Anatidae.

(143)

Recurvirostridae, Burhinidae dan berbagai jenis burung migrant jenis wader dari

suku Charadriidae dan Scalopacidae, juga sebagian dari suku Alcedinidae.

Cangak abu (Ardea cinerea), cangak rnerah (A. purpurea), kowak rnaling

(~ycticorax nycticorax), kuntul besar (Egrefta alba), kuntul pera k (E. intermedia),

kuntul kecil (E. garretfa), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kokokan laut (Butorides

striatus), blekok sawah (Ardeola speciosa), pecuk padi (Phalacrocorax

sulcirostris), pecu k hitarn (P. niger), pecu k ular asia (Anhinga melanogasfer),

bangau bluwok (Mycteria cinerea), ibis cucuk besi (Threskiornis

melanocephalus), barnbangan kuning (lxobrychus sinensis), itik benjut (Anas

gibberifrons), kareo padi (Amauromis phoenicurus) dan tikusan rnerah (Porzana

fusca), rnerupakan jenis-jenis burung air yang diternukan bersarang, berlindung

atau rnencari rnakan di hutan mangrove (Pakpahan 1993; Mustari 1990) .

Barnbangan, rnandar, kareo dan tikusan rnencari rnakan berupa pucuk muda

berbagai turnbuhan bawah, biji-bijian, cacing, serangga air, ulat dan keong.

Pecuk, kuntul dan cangak bersarang di berbagai pepohonan dan rnencari rnakan

di harnparan lurnpur dan perairan terbuka berupa ikan, serangga air, vertebrata

kecil dan keong. Bebek dan belibis rnenggunakan perairan terbuka dan

harnparan lurnpur berturnbuhan bawah untuk rnencari rnakan dan berlindung,

rnakanan jenis ini berupa biji-bijian, pucuk rnuda tanarnan air, serangga, cacing

dan berbagai jenis invertebrata (Pakpahan 1993; MacKinnon 1990; MacKinnon

dkk 2000).

Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung

International Union for Conservation o f Nature and Natural Resources (IUCN)

(1994) rnendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu areal daratan danlatau

(144)

keanekaragarnan hayati, surnber daya alarn lainnya dan kebudayaan seternpat.

Sedangkan Indonesia sendiri, dalarn definisi yang dibuat oleh Departernen

Kehutanan dan Perkebunan rnenyatakan bahwa kawasan konservasi adalah

suatu kawasan hutan yang karena keadaannya perlu dikonservasi (dilindungi,

diawetkan dan dirnanfaatkan secara lestari) sehingga keberadaan kawasan

tersebut dapat rnendukung terselenggaranya proses-proses ekologis yang

penting bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.

Dalarn Undang-undang (UU) no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Surnber

Daya Alarn Hayati dan Ekosisternnya; Suaka Margasatwa rnerupakan bagian dari

kawasan konservasi, dirnana definisi Suaka Margasatwa rnenurut UU no 5 tahun

1990 adalah kawasan suaka alarn yang rnernpunyai ciri khas berupa

keanekaragarnan danlatau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan

hidupnya dapat dilakukan pernbinaan terhadap habitatnya. Sedangkan Hutan

Lindung tidak terrnasuk dalarn UU no 5 Tahun 1990 tetapi diuraikan dalarn

KEPRES no 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dirnana

definisi yang diberikan adalah kawasan hutan yang rnerniliki sifat khas yang

marnpu rnernberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya

sebagai pengatur tata air, pecegah erosi serta rnernelihara kesuburan tanah

(Direktorat Jenderal PHPA 1996).

Keanekaragaman

Menurut Odurn (1971), keanekaragaman rnerupakan ha1 yang paling penting

dalarn rnernpelajari suatu kornunitas baik turnbuhan rnaupun hewan. Seorang

peneliti akan rnengalarni kesulitan dalam rnenganalisa struktur kornunitas secara

global karena rnengidentifikasi sernua organisrne dalam kornunitas rnerupakan

ha1 yang'tidak rnungkin dilakukan (Odurn 1971; Morrison et a1 1992). Sebaiknya

(145)

klas yaitu penggolongan dari hewan dan turnbuhan, rnisalnya dari hewan,

pernbagiannya berupa rnarnalia, reptil atau burung.

Menurut Mac Arthur (1984) keanekaragarnan jenis ditentukan oleh luas

kawasan yang rnerupakan hubungan antara kawasan dengan keanekaragarnan

habitat dan keanekaragarnan habitat dengan keanekaragarnan jenis di

dalarnnya. Keanekaragarnan jenis akan berubah-ubah rnenurut waktu, dimana

berbagai jenis datang dan pergi hingga rnencapai titik keseirnbangan.

Pada dasarnya konsep keanekaragarnan secara urnurn dapat dibagi kedalarn

dua kornponen yaitu banyaknya jenis (species richness) atau dapat juga disebut

kekayaan jenis dan distribusi individu dalarn tiap jenisnya (evenness), yang

seringkali disebut equitability atau gabungan keduanya atau disebut juga

keanekaragaman (diversity) (Morrison et a1 1992; Krebs 1978). Pengukuran

distribusi individu dalarn tiap jenis rnenjadi penting, karena dapat terjadi pada dua

ternpat yang sarna keanekaragarn jenisnya tetapi sebaran individu dalarn tiap

jenisnya berbeda maka kedua ternpat tersebut dapat sangat berbeda.

Menurut Perrins dan Birkhead (1983). rnakin. sedikit jenis akan rnakin

rnernpertinggi jurnlah individu per jenis yang rnenggunakan suatu kawasan, jika

ha1 tersebut terjadi rnaka kornpetisi antar jenis akan berkurang tetapi kornpetisi

antar individu dalarn setiap jenisnya akan bertarnbah.

Berbagai prinsip ekologi yang penting tercakup dalarn konsep

keanekaragarnan ini. Tarnpaknya konsep keanekaragarnan digunakan oleh pa'ra

ahli ekologi sebagai cara untuk melihat kernungkinan system feedback, karena

rnakin tinggi keanekaragarnan akan rnakin rnernperpanjang rantai makanan dan

rnernpertinggi kernungkinan simbiosis baik rnutualisrna, kornensalisrna,

(146)

yang negatif (Odurn 1971; Magurran 1983). Konsekuensi dari ha1 ini adalah

bahwa suatu kornunitas yang stabil rnisalnya yang rnerniliki cuaca yang relative

lebih teratur akan rnerniliki keanekaragarnan yang lebih tinggi, dibandingkan

dengan yang yang rnerniliki cuaca yang lebih beragarn atau terganggu oleh

berbagai kegiatan rnanusia (Odurn 1971; Krebs 1978).

Alikodra (1990) dalarn penelitiannya di hutan mangrove Muara Cirnanuk

rnendapatkan 23 jenis burung air, dengan indeks keanekargarnan tertinggi

terdapat pada hutan rawang (H'= 2,5296), habitat tanah tirnbul (H'= 2,4246) dan

yang terendah adalah hutan mangrove (H'= 2,1810). Sedangkan Mustari (1990)

dalarn penelitian di Delta Cirnanuk rnendapatkan indeks keanekaragarnan burung

air tertinggi terdapat di hutan mangrove (H'= 2,9873), tanah rawang di ernpang

parit (H'= 2,7558) dan tanah tirnbul (H'= 2,5226). Avenzora (1988) rnendapatkan

61 jenis burung dengan 22 jenis diantaranya adalah burung air dalarn

penelitiannya di Cagar Alarn (sekarang Suaka Margasatwa) Muara Angke,

dengan indeks keanekaragarnan (H'= 3,353).

~eanekaragarnan yang rnakin tinggi rnerupakan cerrninan dari stabilnya

kornunitas, artinya setiap jenis atau bahkan individu telah rnerniliki ternpat

tersendiri dalarn habitatnya tersebut'(niche), sehingga jika terdapat gangguan

sekecil apapun akan rnengganggu stabilitas tersebut. Rentannya hutan tropis

yang rnerniliki keanekargarnan tinggi rnisalnya, disebabkan oleh sebaran individu

per jenisnya relatif lebih rnerata tetapi kebanyakan dari jenis-jenis tersebut

rnerniliki individu per jenis yang sedikit sehingga jika gangguan tersebut terjadi

pada niche jenis-jenis tersebut maka jenis tersebut dapat punah, sedangkan jenis

yang dorninan yaitu yang rnerniliki individu perjenis yang lebih banyak akan lebih

(147)

METODOLOGI PENELITIAN

Pembatasan Masalah

Penelitian Hubungan Kornponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke

dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air selarna enarn bulan adalah

untuk rnengetahui :

1. Habitat rnikro (patches) yang ada di S. M. Muara Angke dan H. L. Angke

Kapuk,

2. Keanekaragarnan jenis burung air pada S. M. Muara Angke dan H. L. Angke

Kapuk,

3. Hubungan berbagai jenis burung air dengan habitatnya, dengan rnelihat

penggunaan berbagai kornponen habitat pernbentuk habitat di kedua

kawasan.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selarna 6 bulan di lapangan, pada bulan Juni sarnpai

Desernber 2001, dengan lokasi di Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan

Lindung Angke Kapuk terutarna pada bagian tarnbak yang rnasih digunakan.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalarn penelitian ini rneliputi:

a. Peta dan potret udara S. M. Muara Angke dan H. L. Angke Kapuk,

b. Binokuler (teropong) 7x50 rnrn

c. Karnera SLR, lensa tele 200 rnrn beserta film-nya

(148)

e. Sunto

f. Meteran berukuran 50 m

g. Alat perekam suara burung beserta kasetnya

h. Kompas

i. GPS (Global Positioning System)

j. Buku pengenal jenis burung (MacKinnon, Phillipps dan van Balen 2000)

Pengumpulan Data

Jenis data dan inforrnasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

Data Primer

a. Jenis-jenis burung air dan kelimpahannya di S. M. Muara Angke dan H. L.

Angke Kapuk. Pengamatan burung dilakukan dengan menggunakan jalur

yaitu pengamatan yang dilakukan dengan berjalan dari satu titik ketitik lainnya

(Buckland et a1 1992), setiap individu burung air yang dapat diamati secara

langsung maupun suaranya, dicatat baik frekuensinya maupun kegiatan yang

dilakukan dan diplotkan kedalam peta beserta ketinggian burung tersebut

menggunakan titik tersebut. Aktiiitas penggunaan habitat yang dicatat antara

fain aktiiitas rnakan, beristirahat, berlindung dan lain-lain (Rotenberry and

Wiens 1981). Pengamatan dilakukan 2 kali setiap minggu dalam cuaca yang

baik.

b. Pengukuran habitat dilakukan adalah:

Pengukuran lansekap

Pengukuran lansekap dilakukan dengan mengukur batas masing-masing

tipe-tipe vegetasi, yang ditentukan berdasarkan penampakannya dan jenis

(149)

Pengukuran vegetasi

Pengukuran vegetasi dilakukan pada tiap-tiap jenis lansekap dengan

*

rnenggunakan plot berukuran 20 x 20 rn untuk pohon, 10 x 10 m untuk

tiang, 5 x 5 rn untuk pancang dan 1 x I rn untuk sernai, dan untuk

turnbuhan bawah digunakan metode line intercept dengan panjang garis

tergantung pada luas patches (purposife sampling) (Mueller-Dornbois

1974). Penggunaan habitat baik secara horizontal dan vertikal dari

vegetasi pada tiap-tiap titik pengarnatan, yang berupa titik pertemuan

dengan burung air, diambil dengan jari-jail 11,4 rn (0,04 ha) (Raphael 1980;

Noon 1980). Profil horizontal yang diukur adalah banyaknya jenis vegetasi

yang ada dengan rnenganalisanya secara langsung rnaupun rnelalui

contoh herbarium yang diidentifikasikan di Herbarium Bogoriense,

banyaknya jenis dan individu pohon yang tingginya diatas dan dibawah 3 rn

dan prosentase rata-rata penutupan tajuk dari pohon, prosentase

penutupan tumbuhan bawah dan prosentase perairan terbuka.

Sedangkan profil vertikal yang di ambil adalah banyaknya lapisan tajuk,

pohon tertinggi, terendah dan rata-rata tinggi pohon yang berdiarneter

diatas dan dibawah 12 cm dan rata-rata tinggi pohon turnbuhan bawah,

serta tingginya bertengger burung yang diternukan

Data Sekunder

a. Peta dan potret udara S. M. Muara Angke dan H. L. Angke Kapuk,

b. Data vegetasi,

c. Data lain yang dianggap perlu dan rnenunjang penelitian ini, rnisalnya data

(150)

Analisis Data

Perhitungan jumlah dari tiap jenis burung dalam masing-masing plot

rnenggunakan nilai kelirnpahan tiap jenis (pi) (van Balen 1984), yaitu:

Keterangan:

ZSpi = banyaknya burung jenis i

ZSp = banyaknya burung dari sernua jenis

Nilai pi ini juga menunjukkan dominansi, jika nilainya > 0,05 merupakan jenis

dominan, nilai diantara 0,02

-

0,05 rnerupakan jenis sub-dorninan dan nilai <

0,02 merupakan jenis yang jarang (van Helvort dalam van Ballen 1984).

Nilai keanekaragaman kedua kawasan dihitung dengan menggunakan indeks

keanekaragaman (H') (Odum 1971; Legendre and Legendre 1983), yaitu:

Untuk membandingkan indeks keanekaragaman kedua kawasan dilakukan uji

t

(Magurran 1983), dengan

t ~ ,

didapat dari

f =

H;

-

H;

(Var

H ;

+

Var

H;)"~

nilai Var H'didapat dari

CPi(hpi)2-&~i~~i)2

S-1

Var

H'=

+-

(151)

dirnana N adalah banyaknya individu diternukan dan S adalah banyaknya jenis

yang diternukan, selanjutnya nilai t tersebut dibandingkan dengan nilai tkkl

dengan derajat bebas ditentukan dengan rnenggunakan rumus

Jika thitu, 2 ttabel rnaka keanekaragaman kedua kawasan berbeda secara

nyata, tetapi bila thitung < tkbel rnaka keanekaragaman kedua kawasan tidak nyata

(tidak signifikan).

Untuk mengetahui struktur komunitas burung dalam setiap tipe vegetasi

dihitung nilai keseragarnan antar jenis burung (e) (Pielou 1969; Odurn 1971;

Ludwig and Reynolds 1988; Krebs 1989, ), sebagai berikut:

Keterangan:

e = lndeks keseragaman atau J' dalam Pielou (1969) S = banyaknya jenis burung dalam satu tipe vegetasi

Sebaran penggunaan komponen habitat dan sebaran burung air dianalisa

dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component

AnalysislPCA) (Carey 1980; Rotenberry and Wiens 1980) dengan bantuan

program pengolahan statistik SAS (Statistical Analysis System) (Maurer e l a/

1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan Aunuddin 1992; SAS Institute lnc 1987).

Untuk rnengetahui hubungan antara komponen habitat dengan berbagai jenis

burung air yang menggunakan kedua kawasan, dilakukan analisa juga dengan

(152)

pada dua PC pertama yang rnemiliki nilai total penggunaan kornponen habitat

yang terbesar yang akan ditampilkan, dan dibandingkan dengan peta sebaran

individu burung air (Rotenberry and Wiens 1980; Morrison et al 1992; Ludwig and

Reynolds 1988).

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antar jenis burung air dalam

rnenggunakan kedua kawasan, dilakukan dengan menggunakan dendrogram

dari pengelompokan hasil dari PCA dengan menggunakan cluster metoda

average dalam SAS (Maurer et a1 1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan

(153)

HASlL DAN PEMBAHASAN

Luas

Surat Keputusan Menteri .Kehutanan dan Perkebunan Nomor 755lKpts-1111998

tentang Perubahan Fungsi Kelompok Hutan Hutan Angke Kapuk dari Cagar Alam

Muara Angke Menjadi Suaka Margasatwa dengan luas 25,02 ha, dan Surat

Keputusan Dirjen lnventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor 08IKptsNll-4/94

rnenetapkan luas kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk adalah 44,76 ha.

Hasil pengamatan baik dari foto udara yang dirniliki Pantai lndah Kapuk (PIK)

dan pengarnatan langsung di lapangan didapat, luas dari Suaka Margasatwa tanpa

tarnbak adalah sekitar 28,96 ha, sedangkan luas tambak Hutan Lindung ditambah

tambak dari Suaka Margasatwa yang diteliti adalah sekitar 15,80 ha yang terdiri dari

13,29 ha tambak Hutan Lindung dan 2,51 ha tarnbak Suaka Margasatwa.

Perbedaan yang terjadi pada Suaka Margasatwa tersebut dirnungkinkan karena

pengukuran lapangan yang dilakukan dengan menggunakan batas penutupan

vegetasi bukan pada batas kawasan sebenarnya, sedangkan pada Hutan Lindung

yang diarnbil hanyalah bagian yang berupa tambak yang dikelola secara intensif.

Komposisi Habitat Mikro d i Kedua Kawasan

Kehidupan burung air di hutan mangrove sangat berkaitan dengan komposisi

habitat rnikro yang ada di kawasan tersebut. Secara urnurn habitat mikro

pendukung kehadiran burung air tersebut dapat dikelornpokkan dalam 4 sub habitat,

yaitu pepohonan, turnbuhan bawah, harnparan lumpur dan perairan terbuka.

Habitat-habitat rnikro secara visual terlihat berupa patches yaitu bagian yang

rnemiliki jenis vegetasilkondisi yang hampir sama. Dari pengamatan jenis vegetasi

(154)

belas (16) patches yang diberi nama berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi

patches tersebut. Ke enam belas patches tersebut adalah pidada, nipah, glagah,

eceng, alamandaan, campuran 1, campuran 2, campuran 3, campuran 4, oyod,

oyod galing, rurnput, busetan, eceng paku, jeruju dan rotan, luas dan pernbagian

patches dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pernbagian patches yang dijurnpai di SM. Muara Angke

Patches pidada dan nipah dengan luas total 6,22 ha atau 21,47% dari luas

kawasan merupakan sub habitat pepohonan di Suaka Margasatwa, sedangkan

patches yang lain rnerupakan sub habitat turnbuhan bawah dengan total luas 22,75

ha atau 78,53% dari luas total kawasan. Sub habitat perairan terbuka hanya ada

pada patches campuran 1, carnpuran 3, campuran 4, oyod-galing setelah hujan

lebat, pada patches eceng gondok setelah terjadi pasang tinggi yang

me'nghanyutkan sebagian eceng di bekas belokan sungai Angke, dan Sungai

Pandan. Sedangkan sub habitat harnparan lurnpur hanya terjadi di sepanjang

Sungai Angke, Sungai Pandan dan bekas belokan Sungai saat air sungai surut.

Pada patches pidada yang rnerniliki luas 4,77 hektar dengan penguasaan

(155)

indeks nilai penting

(INP)

sebesar 246,35% pada tingkat pohon dan 207,14% pada

tingkat tiang, sedangkan pada tingkat pancang dan semai jenis ini juga memiliki nilai

tertinggi. Hasil Pengamatan pohon pada patches pidada untuk lebih jelas dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa

4 Lagerslroemia speciosa I 1 4,55 1 12.50 I 1 17.05 Tdal

1

100 1 100 1 1 200.00

Patches yang paling menguasai kawasan adalah glagah sebesar 29,42%

dengan luas 8,52 hektar, didominasi oleh jenis glagah (Saccharum spontaneum).

Pada patches busetan yang terlihat didominasi oleh busetan (Mimosa pudica) dan

rotan yang didominasi oleh rotan (Calamus sp.) tidak dilakukan pengamatan, ha1 ini

disebabkan karena sulitnya untuk berjalan diantara busetan dan rotan dan

tampaknya jenis-jenis tumbuhan ini tidak digunakan oleh burung air. Sebaran dari

[image:155.547.66.469.31.570.2]
(156)

Dengan keberadaan nipah dan pidada, letaknya yang berada di tepi sungai dan

banyaknya tumbuhan bawah, Suaka Margasatwa dapat dimasukkan kedalam

mangrove zona transisi di tepian sungai (Sukardjo 1992; Sukardjo 1994; Noon dkk

1999; Tomlinson 1986).

Tabel 3. Hasil pengukuran vegetasi pada Hutan Lindung

Pengamatan vegetasi yang dilakukan di bagian tambak Hutan Lindung Angke

Kapuk mendapatkan tiga (3) sub habitat yang juga merupakan patches, yaitu sub

habitat pepohonan yang memiliki luas sekitar 6,38 hektar didominasi jenis api-api

(Avicennia marina) dengan INP sebesar 187,23% pada tingkat pohon, 100,42%

pada tingkat tiang, selain itu jenis ini juga mendominasi pada tingkat pancang dan

pada tingkat semai didominasi oleh bakau (Rhizophora mucronata). Sub habitat

perairan terbuka dengan luas 9,42 hektar yang merupakan bagian terluas dari

kawasan ini. Kawasan ini hanya memiliki sedikit sub habitat tumbuhan bawah yaitu

(157)

n

-

Pidada Nipah

n Pohon Tepi Jalan

Pi Tancang

5 Ficus spp.

U Ketapang

r Waru

bM&

Air

Sa.3:

-LEGENDA hn*rr:fob.t-nr.-i:m

d.nhqmrtndiav-s=

I r a b x b n Bawah

Glagah

-

Rumput

-

Eceng Busetan

Atamandean

-

Eceng + Paku Rawa

n Campuran 9 Jeruju

W8 Campu-an 2 Rotan

P Campuran 3

-

Campuran 4

fi oyot

[image:157.541.78.457.56.677.2]

O. Oyot + Galing

(158)

Bakau+sernara+Acacia Air I* Waru

[image:158.541.61.483.46.591.2]
(159)

Tabel 4. Nilai keanekaragaman jenis burung air di kedua kawasan

Keanekaragaman Jenis Burung Air

Pengamatan burung yang dilakukan dengan berjalan kaki sepanjang tepi Suaka

Margasatwa dan Hutan Lindung serta sepanjang jembatan dan Sungai Pandan

[image:159.541.31.494.81.644.2]
(160)

Margasatwa dan dan di Hutan Lindung mendapatkan 22 jenis burung air. Tabel 4

merupakan tabel pengarnatan burung untuk melihat nilai keanekaragarnan burung

di kedua ternpat.

Secara umurn didapatkan fakta di lapangan nilai indeks keanekaragarnan (H')

Suaka Margasatwa adalah 2,85 lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai indeks

keanekaragaman Hutan Lindung adalah 2,76, tetapi jika melihat banyaknya patches

seolah-olah tidak ada pengaruhnya terhadap keanekaragaman burung air. Jika

kedua kawasan diperbandingkan dengan uji t, didapatkan nilai thituns sebesar 0,6835.

tarnpaknya perbandingan kedua kawasan tidak signifikan, karena nilai ini lebih kecil

dibandingkan nilai dari ttabel yaitu 3,291 pada selang kepercayaan p<0,001, dengan

derajat bebas hasil perhitungan sebesar 128.

Kedua kawasan tampaknya saling berhubungan terlihat dari tidak signifikannya

hasil uji kedua kawasan dan jarak keduanya yang saling berdekatan, terlebih jika

dilihat 20 jenis burung air yang menggunakan kedua kawasan adalah jenis yang

sarna.

I

Jenis Burung Air

I

[image:160.550.71.474.24.785.2]
(161)

I

Jenis Burung Air

I

Garnbar 5. Perbandingan jurnlah individu dari masing-masing jenis burung air di Hutan Lindung Angke Kapuk (kode burung seperti Tabel 4)

Dari Garnbar 4 dan Tabel 4 dan berdasarkan pernbagian dorninansi jenis dari

van Helvort (van Ballen 1984) terlihat bahwa 7 jenis burung air rnerupakan jenis

dorninan di Suaka Margasatwa, 6 jenis terrnasuk jenis sub-dorninan dan 14 jenis

terrnasuk jenis jarang. Dari Garnbar 5 dan Tabel 4 rnernperlihatkan 6 jenis burung

air di Hutan Lindung rnerupakan jenis dorninan, 14 jenis terrnasuk jenis sub-

dorninan dan hanya 2 jenis termasuk jenis jarang.

Nilai keseragarnan (e) nienunjukkan struktur komunitas dalarn setiap jenis

burung air dirnana makin rnendekati angka 1 (satu), rnaka banyaknya individu dalarn

tiap jenisnya akan makin seimbang dan kornunitas burung yang ada pada ternpat

tersebut akan makin stabil (Magurran 1983; Kreb 1989). Nilai e pada Hutan

Lindung (0,8938) lebih tinggi dibandingkan nilai

e

pada Suaka Margasatwa (0,8652)

tetapi nilai H' Suaka Margasatwa lebih tinggi dibandingkan nilai H' Hutan Lindung.

Jika kedua nilai keseragarnan tersebut dipadukan dengan pernbagian dorninansi

jenis diatas, terlihat bahwa walaupun keanekaragaman burung air pada Hutan

Lindung lebih kecil tetapi kornunitas burung air di dalarnnya lebih stabil. Hal ini

terjadi karena pada Hutan Lindung sebaran individu burung air per jenisnya relatif

(162)

Margasatwa, sehingga Hutan Lindung akan lebih bertahan terhadap perubahan

yang terjadi dibandingkan Suaka Margasatwa.

(163)
[image:163.541.70.502.50.524.2]

Gambar 7. Sebaran burung air yang teramati di HL. Angke Kapuk (kode burung seperti Tabel 4).

Berbagai jenis burung air menggunakan Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung

sebagai tempat mencari makan, beristirahat dan berlindung. Dari Gambar 6 dan 7

ditunjukan bahwa burung-burung tersebut tersebar pada hampir semua tempat, baik

di Suaka Margasatwa maupun Hutan Lindung, walau tampak mengelompok pada

(164)

habitat pepohonan sebagai ternpat istirahat dan berlindung, dan rnulut Sungai

Pandan dan bekas belokan Sungai Angke yang rnerupakan sub habitat turnbuhan

bawah dengan sedikit perairan terbuka sebagai ternpat rnencari rnakan. Pada

Hutan Lindung pengelornpokan terjadi pada tarnbak yang rnerupakan bagian dari

Suaka Margasatwa dengan tegakan bakau carnpur api-api. Hal ini ada

kernungkinan karena lebih dekat dengan Suaka Margasatwa sebagai ternpat

berlindung dan pada tegakan bakau dan api-api yang rapat dekat dengan Hutan

Lindung yang tidak digunakan sebagai tarnbak atau bekas tarnbak yang

ditinggalkan:

Pecuk hitarn (Phalacrocorax niger), terlihat rnenggunakan kedua kawasan

terutarna untuk beristirahat pada berbagai jenis pohon pada ketinggian 5

-

8 rn.

Pecuk padi (Phalacrocorax sulcirosfris) hanya terlihat pada kawasan tarnbak

sedang rnencari rnakan di air atau sedang beristirahat sarnbil rnenjernur sayapnya.

Pecuk ular (Anhinga melanogaster), rnenggunakan kedua kawasan untuk

beristirahat pada pepohonan pidada (Sonneratia caseolaris) yang paling tinggi di

Suaka Margasatwa (> 20 m) atau pada pepohonan bakau (Rhizophora mucronata)

yang juga paling tinggi di tarnbak (>7 rn).

Cangak laut (Ardea sumatrana) hanya terarnati satu kali pada pohon pidada

dekat Sungai rnati dengan ketinggian 9 rn.

Gambar

Gambar 1. Contoh zonasi mangrove di Cilacap (sumber : Noor, Khazali & Suryadiputra 1999
Tabel 2. Hasil pengukuran vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa
Gambar 2. Sebaran vegetasi dan patches di SM. Muara Angke.
Gambar 3. Sebaran vegetasi dan patches di HL. Angke Kapuk.
+7

Referensi

Dokumen terkait

World Health Organization (2011) Health

Under PFRS 3 (Business combination), the allocation of the negative difference to the non-current assets, excluding long-term investments in marketable securities is no

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode purposive sampling, dengan pertimbangan bahwa kelompok tani ini sudah lama terbentuk dan masih eksis

Panjaitan-Jalan Slamet Riyadi-Jalan Cut Nyak Dien adalah alternatif terbaik sebagai trase jalan lingkar barat utara Kota Blitar, (3) Dengan menggunakan metode AHP

Namun, untuk mengetahui tercapainya tujuan itu perlu dilakukan penelitian yang secara khusus menganalisis pengaruh sikap nasabah BNI dalam penerapan program

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai koefisien korelasi F sebesar (F=6,514; p &gt; 0,05), hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara layanan bimbingan di sekolah dan

Status of Treaties Depositary Notifications Certified True Copies Opening for Signature UN Journal Photographs Reference-Links Titles and Recent Texts UNTS UNTS Database

Berdasarkan hasil analisis dari variasi debit dan konsentrasi, serta kondisi maksimum reaktor dengan volume total reaktor sebesar 1 L, efisiensi penurunan