PERAN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK DARFUR
TAHUN 2004-2007
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Ihsan
107083001706
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
v NIM : 107083001706
Peran Uni Afrika Dalam Resolusi Konflik Darfur Tahun 2004 – 2007
Skripsi ini mencoba menganalisa sejauh mana upaya dan peran Uni Afrika dalam menyelesaikan konflik di negara anggotanya. Secara spesifik skripsi ini menyoroti bagaimana peran Afrika dalam usaha menyelesaikan konflik di Darfur, Sudan, pada tahun 2004-2007. Penelitian ditujukan untuk melihat bagaimana organisasi kawasan berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah domestik anggotanya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptis analitis.
Dalam temuan penulis, misi perdamaian Uni Afrika untuk Sudan, AMIS, tidak berhasil melakukan tugasnya dalam usaha mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perseteruan di Darfur, Sudan. Malahan, pertumpahan darah terus saja terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, keterbatasan mandat AMIS, kedua tidak diperbolehkannya personil penjaga perdamaian untuk menggunakan deadly force dan ketiga, peralatan dan logistik yang tidak memadai.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai peran Uni Afrika di Darfur tahun 2004-2007, penelitian ini menggunakan beberapa teori yang dapat menjelaskan berbagai temuan penelitian. Teori yang digunakan adalah teori Organisasi Internasional dan teori resolusi konflik, serta dibantu dengan konsep peran dalam Ilmu Hubungan Internasional.
vi
taufiq dan hidayahNYA yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan tugas skripsi dengan judul: “Peran Uni Afrika Dalam Resolusi Konflik Darfur 2004-2007”
Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan hanya hasil karya penulis seorang diri, melainkan juga karena bimbingan, saran, motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah setia mendukung dan memberi semangat dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Berbagai pihak diantaranya:
1. Keluarga penulis, khususnya kepada Ayahanda Jakfar Nasruddin Dalimunthe
dan Ibunda tercinta Rosmala Lubis, adik-adik Fadila, Hanief dan Rozana.
Terima Kasih atas dukungan dan doanya.
2. Pak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing skrispi saya. Terima kasih atas
bimbingan, motivasi, dan nasihatnya selama ini.
3. Pak Kiky Rizky selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas
waktu luang yang diberikan, juga motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ketua Prodi Hubungan Internasional sejak Bapak. Nazaruddin Nasution SH,
MA, kemudian Ibu Dina Afriyanti Ph.D, dan selanjutnya Bapak Kiky Rizky,
M.Si. Terima kasih atas support dan kepercayaannya selama di BEM maupun
menjadi mahasiswa.
5. Dosen-dosen Jurusan Hubungan Internasional: Bapak Agus Nilmada M.Si,
Bu Mutiara Pertiwi, Bapak Adian Firnas M.Si, Bapak Amein Daulay M.Si,
Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Badrus Sholeh, Bapak Aiyub Mohsin,
Kak Musa, Bapak Faisal Nurdin. Selain itu juga kepada Bapak Dr. Abdul
Rozak dan Bapak Ahmad Abrori.Terima kasih atas ilmu dan dukungan yang
vii
mahasiswa HI FISIP.
7. Kepada Duta Besar Sudan, Mr.Ambassador Abd Rahim, Terima kasih atas
kesediaan waktunya untuk diwawancarai sehingga dapat menambah kekayaan
dalam penulisan skripsi ini.
8. Teman-teman HI angkatan 2007, Arlian Buana Chrissandi, Dery Alfikry,
Subhan Jamil Baidlowi, Siska, Nia, Muammar, Tebry dan teman-teman
penulis yang banyak membantu mencarikan buku tentang Darfur dan Uni
Afrika, Faisal Mahyudin, Anwar bin Haydar, Muhammad Reza.
9. Teman-teman redaksi di Rakyat Merdeka Online.
10.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga segala
dukungan dan bantuan kalian mendapat imbalan dari Allah SWT dan menjadi
amal kebaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi
perbaikan di masa mendatang.Mudah-mudahan, skripsi ini dapat bermanfaat dan
menambah khazanah keilmuan bagi pembacanya dan studi Hubungan
Internasional.
x
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
D. Kerangka Pemikiran 9
D. 1. Konsep Peran 9
D. 2. Organisasi Internasional 10
D. 3. Resolusi Konflik 12
D.4. Konsep Responsibility to Protect 16
E. Tinjauan Pustaka 20
F. Metode Penelitian 25
G. Sistematika Penulisan 26
BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika 28
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika 33
A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika 36
B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan
Konflik di Kawasan 40
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad 41 B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda 43 B.2. Misi Uni Afrika di Burundi 44
BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR
A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur 48
B. Konflik dan Krisis Kemanusiaan Dalam Konflik Darfur
mulai Tahun 2003 55
C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika
di Darfur 59
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika
xi
A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai 81 B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai 83 C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata 87 D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur 90
E. Kendala dan Hambatan AMIS 94
E.1.Keterbatasan Mandat 94
E.2. Rules Of Engagement 97
E.3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS 98
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan 100
xii
xiii
Tabel I.I. Pasal 3 Piagam Uni Afrika 28
Tabel I.II. Pasal 4 Piagam Uni Afrika 35
xiv
AMIS : African Union Mission in Sudan
APF : African Peace Facility
APP : African Action Plan
ASF : African Standby Force
AU : African Union
DK PBB : Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-bangsa
DLF : Darfur Liberation Front
DPKO : Departement of Peace-Keeping Operation
EDF : European Development Fund
HRW : Human Right Watch
ICISS : The International Commission on Intervention and State Sovereignty
JEM : Justice and Equality Movement
OAU : Organization of African Unity
OPA : Organisasi Persatuan Afrika
R2P : Responsibility to Protect
SLM/A : Sudan Liberation Movement/Army
SPLA : Sudan People Liberation Army
xv
Lampiran I Wawancara Dengan Duta Besar Sudan untuk Indonesia xxii
Lampiran II Agreement on Humanitarian ceasefire on the conflict in Darfur
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Uni Afrika (African Union) merupakan sebuah organisasi internasional di
Afrika yang secara resmi berdiri pada tanggal 9 Juli 2002 di Durban, Afrika
Selatan. Organisasi ini berambisi untuk menyatukan seluruh negara di kawasan
Afrika serta berusaha untuk berperan lebih aktif dalam perekonomian global,
disamping juga berusaha menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan
politik negara-negara anggotanya. Sejak awal pembentukannya Uni Afrika sudah
memiliki 53 negara anggota.1 Kota Addis Ababa di Ethiopia dipilih sebagai kantor
pusat aktifitas organisasi Uni Afrika. (Sonu 2003:32)
Pada dasarnya, Uni Afrika merupakan kelanjutan dari Organisasi
Persatuan Afrika (Organization of African Unity, --selanjutnya disingkat OPA)
yang didirikan pada tanggal 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia. Pada tahun
2002 OPA merevitalisasi diri dan berubah menjadi African Union (Uni Afrika).
Terdapat perbedaan signifikan antara OPA dan Uni Afrika. OPA tidak memiliki
instrumen intervensi politik dan militer. Sementara Uni Afrika memilikinya dan
dapat digunakan jika terlibat dalam atau untuk melakukan resolusi konflik di
negara anggota, apabila terdapat kejahatan berat kejahatan berat meliputi
genosida, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Selain itu, beberapa
1
prinsip Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota berhak meminta
organisasi ini melakukan intervensi, dalam upaya memulihkan keamanan dan
meciptakan perdamaian. (AU 2012).
Mekanisme intervensi Uni Afrika tersebut diatur melalui Peace and
Security Council, sebuah badan di bawah naungan organisasi. Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 3 Protocol Relating to the Establishment of the Peace and
Security Council of the African Union yang ditandatangani oleh negara anggota
Uni Afrika pada tanggal 9 Juli 2002. Dokumen tersebut diantaranya
mempromosikan: (1) perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika; (2)
memberikan peringatan dini dan diplomasi pencegahan, (3) peace-making
termasuk usaha-usaha mediasi, rekonsiliasi dan penyelidikan, (4) operasi
perdamaian dan intervensi serta peace-building dan rekonstruksi pasca konflik.
(AU, 2012)
Salah satu konflik internal yang telah ditangani melaui intervensi Uni
Afrika adalah konflik internal negara Sudan di Darfur. Selain merupakan konflik
separatisme, konflik ini memiliki nuansa konflik etnis. Dalam hal ini, etnis Arab
yang didukung pemerintahan Omar Al Bashir berseteru dengan etnis Afrika yang
merupakan identitas kelompok pemberontak. (Powell, 2005:80).
Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan yang dihuni oleh lebih dari 30
kelompok etnis, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Secara
garis besar, penduduk Darfur terbagi dalam dua golongan utama, suku Afrika dan
suku Arab. Masyarakat (suku) Afrika Darfur, merupakan penduduk lokal Darfur
yang menetap. Mereka telah tinggal di daerah ini sejak Darfur masih menjadi
diantaranya meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. Sedangkan,
suku Arab Darfur merupakan suku pendatang menempati wilayah Darfur bagian
utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang
dominan di daerah tersebut dan mereka beragama Islam. Mayoritas orang Arab
Darfur berkulit hitam yang merupakan hasil dari perkawinan campuran
Arab-Afrika. (Collins 2006:29)
Konflik etnis berakar setidaknya sejak Pemerintahan Sadiq al Mahdi
(1986-1989), ketika Darfur dibagi menjadi tiga wilayah: Utara, Selatan, dan Barat.
Pemerintah masa itu membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku
Messiriya dan Rezeiget, yang merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur
dan cikal-bakal dari Janjaweed, untuk mengamankan tiga wilayah tersebut dari
kelompok pemberontak. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika
terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an,
karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat.
Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling
ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. (Collins 2006:30)
Pemerintahan selanjutnya yang masih berkuasa hingga saat skripsi ini
ditulis, tidak melikuidasi milisi Janjaweed dan justru memperkuatnya. Bahkan,
Presiden Omar al Bashir berusaha menerapkan hukum Islam sebagai hukum
nasional dan merendahkan kepercayaan lain yang dianut suku-suku Afrika
pribumi. Pemerintah pusat Sudan di Khartoum pun lebih mementingkan
orang-orang Arab untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan dan pembangunan
daerah Darfur yang dihuni mayoritas Afrika semakin dikesampingkan begitu saja.
untuk mengambil akses sumber daya alam seperti minyak dan uranium, terutama
di kota-kota strategis Darfur, Al-fashir, Nyala dan Geneina. Ini mengakibatkan
pemerintah Khartoum kehilangan legitimasi di mata masyarakat etnis Afrika
Darfur. (Collins 2006:33)
Penduduk etnis Afrika Darfur akhirnya membentuk juga milisi-milisi
bersenjata dengan menggunakan ciri etnis non-Arab sebagai tandingan, untuk
menghadapi Janjaweed. Mereka mendeklarasikan Sudan Liberation
Movement/Army (SLM/A) pada tanggal 12 Maret 2003. Milisi ini merupakan hasil
peleburan dari dua kelompok pemberontak Darfur Liberation Front (DLF) dan
Sudan People Liberation Army (SPLA) dua organisasi subversif yang memiliki
jaringan nasional yang luas. SLM/A kemudian melakukan berbagai penyerangan,
diantaranya yang paling terkenal adalah serangan kota Gulu, yang dihuni
mayoritas suku Arab. Mereka terlibat baku tembak dengan polisi setempat
sebelum kemudian melarikan diri. Dalam peristiwa tersebut, 195 tentara militer
Sudan terbunuh. (Collins 2006:39)
Serang-menyerang semakin intens setelah Bandara Al Fashir menjadi
target SLM/A pada 25 April 2003. Serangan tersebut menghancurkan sejumlah
helikopter milik pemerintah, pesawat pembom Antonov, menduduki kantor pusat
militer, dan menangkap Mayor Jendral Ibrahim Bushara, kepala Angkatan Udara
Sudan. (Kastfur 2005:196) Sepuluh hari kemudian, SLM/A menangkap Kolonel
Mubarak Muhammad al-Saraj, Kepala Badan Intelejen Negara Sudan di Aynshiro,
sebelah utara Jabal Marra. Dalam serangan ini, muncul kelompok pemberontak
Darfur baru yang bernama Justice and Equality Movement (JEM) dan bergabung
Pemerintah Sudan kerap merespons serangan kelompok pemberontak
dengan cara-cara represif. Pemerintah juga memberikan kewenangan kepada
milisi Janjaweed untuk melakukan apapun demi mengamankan wilayah Darfur
dari serangan pemberontak. Janjaweed ikut bertanggungjawab atas pembunuhan
terhadap warga Afrika Darfur, memperkosa para perempuan, dan menyiksa
anak-anak kecil. Ini disertai dengan pembakaran perkampungan warga. Menurut
Pruiner, metode yang digunakan oleh Janjaweed menuju ke arah skema yang
sistematis guna menghilangkan populasi Afrika di Darfur, atau genosida. (Pruiner
2005:145)
Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis
Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch
melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan
tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke
negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara
yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000
pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan
wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang
berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi
Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.
Angka kematian suku Afrika yang mencapai puluhan ribu orang hanya
dalam periode kurang dari satu tahun, mengindikasikan adanya praktik genosida.
Hal ini mengundang perhatian internasional, khususnya Uni Afrika. Kecaman
dari masyarakat internasional bermunculan. Dewan Keamanan PBB bahkan
langkah-langkah kongkrit dan melucuti persenjataan Janjaweed. Uni Afrika pun
tak ketinggalan meminta pemerintah Sudan agar mau terbuka dengan kehadiran
pihak luar untuk mengakhiri konflik. (Human Rights Watch 2003)
Mediasi pertama yang melibatkan pihak luar antara pemerintah Sudan dan
kelompok pemberontak dilakukan pada tanggal 3 September 2003, di kota
Abache, Sudan, yang berbatasan dengan Chad. Mediasi ini terselenggara atas
inisiatif Presiden Chad, Idriss Deby, yang secara tidak langsung merasa dilibatkan
dalam pusaran konflik karena pengungsi Darfur banyak yang mendatangi wilayah
negaranya. Deby berkepentingan agar stabilitas keamanan di wilahnya tetap
terjaga. Kesepakatan yang dihasilkan kedua belah pihak adalah melakukan
gencatan senjata selama 45 hari. Mediasi ini juga dihadiri utusan Uni Afrika. (AU
2004)
Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa
perlu untuk menyelesaikan konflik Darfur. Negara-negara anggota menganggap,
masalah ini bisa mempengaruhi keamanan kawasan dan membuat permasalahan
antar bangsa Afrika menjadi lebih rumit dan pada akhirnya menghambat
pembangunan di Afrika. Chad, sebagai negara yang langsung terkena imbasnya
juga terus menyuarakan agar Uni Afrika turun tangan. (AU 2004)
Uni Afrika berhasil membuat perjanjian kesepakatan damai antara
pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak pada tanggal 8 April 2004 di
N’djamena, ibukota Chad. Perjanjian ini didukung dengan kehadiran kelompok
pemantau dan penjaga perdamaian African Union Mission in Sudan (AMIS) mulai
Mei 2004 dengan penempatan 7000 personil militer. (Adnan 2007:129) AMIS
langkah menindaklajuti Resolusi PBB No. 1564, yang menunjuk dan memberikan
Uni Afrika mandat untuk melakukan resolusi konflik dan menjalan misi
kemanusiaan di Darfur. Resolusi 1564, juga meminta kepada seluruh anggota
PBB untuk membantu Uni Afrika dengan memberikan bantuan perlengkapan
logistik, keuangan, bahan-bahan pokok, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Di Darfur,
AMIS melakukan misi perdamaian untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah
yang dilanda konflik tersebut. (Adnan 2007:130)
Misi Uni Afrika dimungkinkan diterima di Darfur karena pemerintah
Sudan menolak PBB dan negara-negara barat campur tangan langsung dalam
masalah internalnya. Pemerintah Sudan hanya bersedia menerima campur tangan
dari Uni Afrika. Maka Resolusi DK PBB 1564 yang memberikan mandat kepada
Uni Afrika diterima oleh Sudan. Pelaksanaan mandat ini berlangsung sampai
tahun 2007. Dalam perjalanannya, misi ini menemui berbagai kesulitan karena
perang dan tindak kekerasan ternyata tidak sepenuhnya dapat dihentikan. Pada
Juli 2007, DK PBB menetapkan resolusi 1769, yang mengakhiri mandat tunggal
Uni Afrika. Resolusi 1976 memberi mandat gabungan untuk PBB dan Uni Afrika.
Untuk melakukan misi perdamaian dibentuklah United Nations-African Union
peacekeeping operation in Darfur (UNAMID) hingga 2013. (AU 20012)
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas peran
Uni Afrika dalam resolusi konflik di Darfur pada periode 2004-2007, ketika
organisasi tersebut mulai mulai mengirimkan pasukan dengan misi perdamaian
dan melakukan berbagai upaya untuk menghentikan konflik berkepanjangan.
Tema ini penting diteliti untuk memahami kontribusi organisasi regional ini dalam
untuk melakukan resolusi konflik di Darfur adalah keterlibatan pihak luar pertama
di wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu berusaha mencegah terjadinya
internasionalisasi konflik dalam negerinya. AMIS adalah pasukan yang pertama
kali boleh masuk untuk menjalankan misi penghentian kekerasan dan
perlindungan warga sipil di Darfur.
B. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah :
Bagaimana peran Uni Afrika dalam resolusi konflik internal di Darfur Sudan
pada tahun 2004-2007?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menjelaskan bagaimana peran organisasi kawasan, Uni Afrika,
menyelesaikan konflik internal negara anggotanya, Sudan, 2004-2007
b. Mengaplikasikan konsep Resolusi konflik dan Responsibility to Protect
dalam sebuah kasus yang bisa dijadikan sebagai karya tulis ilmiah.
Manfaat penelitian ini adalah:
a. Memberikan wawasan kepada penulis terkait strategi konflik
berkepanjangan di Darfur dan berbagai upaya penyelesaiannya.
b. Meningkatkan kemampuan analisis penulis terhadap penyelesaian
sengketa di sebuah wilayah.
c. Menambah bahan pustaka bagi penelitian Ilmu Hubungan Internasional
D. Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan judul penelitian ini, Peran Uni Afrika dalam Upaya
Penyelesaian Konflik di Darfur Tahun 2004-2007, maka penulis menggunakan
beberapa konsep dalam hubungan internasional, diantaranya konsep peran,
organisasi internasional, dan teori resolusi konflik.
D.1. Konsep Peran
Konsep peran didefinisikan sebagai orientasi atau konsepsi dari bagian
yang dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Sang pelaku peran, baik
itu individu maupun organisasi, akan berprilaku sesuai dengan harapan orang atau
lingkungannya. Dalam hal ini peranan menjalankan konsep melayani untuk
menghubungkan harapan-harapan yang terpola, dari orang lain atau lingkungan,
dengan pola yang menyusun struktur sosial. Peran sendiri merupakan seperangkat
perilaku yang dapat terwujud dari perorangan sampai dengan kelompok, baik
kecil maupun besar, yang kesemuanya menjalankan berbagai peran. Baik perilaku
yang bersifat individual maupun jamak dapat dinyatakan sebagai struktur
(Kusumohadimojo,1987:32).
Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari seseorang
atau dari struktur yang menduduki suatu posisi dalam sistem. Peran dari struktur
tunggal, maupun bersusun, ditentukan oleh harapan orang lain atau perilaku peran
itu sendiri, juga ditentukan oleh pemegang peran terhadap tuntutan dan situasi
yang mendorong dijalankannya peran tadi. Peran merupakan aspek dinamis
kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan suatu peran (Soekanto, 2001:
yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik; kedua, harapan juga bisa muncul
dari cara pemegang peran menafsirkan peranan yang dipegangnya, yaitu
harapannya sendiri tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan.
Sedangkan kegunaan teori peranan ini, sebagai alat analisis, yang paling penting
adalah untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik (Mas’oed, 1990: 46
-47).
Jadi, peran dapat dipahami sebagai fungsi yang dimainkan aktor dalam
suatu arena. Dalam skripsi ini, aktor yang dimaksud Uni Afrika sebagai organiasi
Internasional, sedangkan arena yang dimaksud adalah resolusi konflik di Darfur.
D.2. Organisasi Internasional
Sebagaimana yang tercantum pada pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian 1969, Organisasi internasional adalah organisasi
antar-pemerintah. Organisasi internasional adalah subjek buatan, subjek hukum yang
diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional
melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam satu
perjanjian Internasional. Oleh karena itu organisasi-organisasi internasional
memiliki ikatan antara negara-negara yang mendirikannya dan dalam banyak hal
sangat tergantung pada negara-negara tersebut. (Mauna 2005:462-463)
Organisasi internasional adalah wadah yang memiliki tujuan demi
tercapainya satu kesepakatan dan hukum yang dapat dipatuhi publik Internasional.
Organisasi Internasional merupakan asosiasi permanen, yang berdasarakan
perjanjian multirateral, diatas perjanjian bilateral, dengan kriteria dan tujuan yang
sudah disepakati dan ditetapkan bersama. (Bowet 1970:6). Organisasi
berbagai bidang, dimana kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi
sebagian besar ataupun keseluruhan anggotannya. Selain sebagai tempat dimana
keputusan tentang kerjasama dibuat juga menyediakan perangkat administratif
untuk menerjemahkan keputusan tersebut menjadi tindakan. (Bennet 1995:3)
Secara umum Organisasi internasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Organisasi permanen yang memiliki beberapa fungsi yang sifatnya
berkelanjutan. 2) Keanggotannya bersifat sukarela dan setiap anggotanya
memiliki kedudukan yang sama. 3) Memiliki alat atau perangkat yang memiliki
dasar tujuan yang sama, memiliki struktur yang jelas dan sistem metode operasi
yang sistematis. 4) Setiap negara memiliki posisi yang terwakilkan dalam setiap
konferensi tingkat organisasi antar negara anggota. 5) Memiliki sekretariat yang
bersifat permanen untuk menyelesaikan berbagai masalah administrasi,
melakukan penelitian berbagai kasus dan wadah informasi bagi
anggota-anggotanya yang berdaulat. (Bennet 1979:30)
Eksplorasi dan analisis aktivitas organisasi internasional akan
menampilkan sejumlah peranannya seperti mediator dan rekonsiliator. Mediator
yakni aktor yang menjadi pihak ketiga, baik itu negara atau organisasi
internasional, yang turut serta dalam sebuah negoisasi yang dilangsungkan oleh
pihak-pihak bersengketa. Rekonsiliator yakni organ atau pihak yang dibentuk atas
kesepakatan pihak yang bersengkata, atau yang sudah ada sebelumnya, dalam
melakukan resolusi konflik. (Situmorang 1999:35)
D.3. Resoulusi Konflik
Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam
konflik. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam resolusi konflik dalam
mengurangi konflik yang telah mengakar dalam. (Burton 1990:115)
Resolusi konflik mengandung tiga prinsip penting. Pertama, adanya
kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang
ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya bagi semua pihak. Kedua,
setiap pihak menerima atau mengakui eksistensi dari pihak lain sebagai subjek.
Sikap ini sangat penting karena tanpa pengakuan tersebut, mereka tidak bisa
bekerjasama selanjutnya untuk menyelesaikan konflik secara tuntas. Ketiga,
pihak-pihak yang bertikai juga sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan
sehingga proses pembangunan rasa saling percaya bisa berjalan sebagai landasan
untuk transformasi sosial, ekonomi dan politik yang didambakan. (Wellensten
2002 :9)
Menurut John Galtung, ada tiga proses yang harus dilalui sebelum
perdamaian dapat dibangun melalui pihak ketiga. Ketiga proses tersebut adalah
peace-making, peacekeeping, peace-building. Peace-making adalah proses yang
tujuannya mempertemukan atau melakukan rekonsiliasi sikap politik dan strategis
dari pihak-pihak yang bertikai melaui mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada
level elit atau pimpinan. (Ramsbotham 2005:162)
Peace-making adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengakhiri
konflik Internal dengan menitik beratkan pada penggunaan cara-cara diplomatik
dan membujuk setiap pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan damai
secara sukarela. Peace-making adalah suatu upaya guna memisahkan
kekuatan-kekuatan dan kelompok bersenjata yang sedang berperang yang seringkali
damai serta mendukung intervensi kemanusiaan. (Miall dan Ramsbotham
2002:32)
Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi
kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga
perdamaian netral. Menurut PBB, penjagaan perdamaian atau peacekeeping
adalah sebuah instrumen yang unik dan dinamis yang dikembangkan oleh
organisasi sebagai cara untuk membantu negara-negara yang terkoyak oleh
konflik, dan menciptakan kondisi untuk perdamaian abadi. (Miall dan
Ramsbotham 2002:32) Peacekeeper (penjaga perdamaian) akan memberikan
kontribusi untuk memajukan proses perdamaian. Penjaga perdamaian itu tidak
mutlak adalah tentara, karena pasukan ini tidak berkewajiban untuk terlibat dalam
pertempuran. Pasukan ini ditempatkan pada daerah yang berstatus gencatan
senjata yang telah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yang sedang
bertikai. Pada saat inilah ruang untuk mengatasi konflik lewat upaya diplomatik
dapat dijalankan. Pasukan penjaga perdamaian memantau dan mengamati proses
perdamaian di daerah pasca konflik dan membantu mantan kombatan dalam
melaksanakan kesepakatan damai. Bantuan tersebut datang dalam berbagai
bentuk, termasuk langkah-langkah membangun rasa percaya diri, pengaturan
pembagian kekuasaan, dukungan pemilu, penguatan supremasi hukum, dan
pembangunan ekonomi sosial. (Miall dan Ramsbotham 2002:32)
Peace-building adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi
sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui
proses peace-building, diharapkan negative peace (absennnya kekerasan) berubah
dalam jangka panjang dan merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraaan
ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif. (Ramsbotham 2005:162)
Dalam upaya menyelesaikan sebuah konflik internal, organisasi
internasional atau regional memiliki keuntungan dan kelebihan dalam hal
kedekatan dengan sumber konflik serta mengenal dekat pelaku utama konflik,
nilai budaya mereka serta kondisi lokal wilayah konflik. Kondisi semacam ini
lebih lebih memungkinkan bagi organisasi regional untuk turun tangan lebih
dahulu sebelum keterlibatan PBB secara menyeluruh dalam penyelesaiaan
konflik. Apalagi peran organisasi regional dalam upaya penciptaan perdamaiaan
juga diakui oleh Piagam PBB yang terangkum dalam Bab VIII2. (Miall dan
Ramsbotham 2002:33)
Intervensi pihak ketiga ke dalam sebuah konflik berfungsi untuk
memulihkan komunikasi antara pihak yang berselisih, mendinginkan suasana,
menyelidiki keadaan di wilayah yang berkonflik dan memberikan jasa kepada
pihak yang berkonflik. Pihak ketiga yang dapat diterima bersama dengan tujuan
mencapai penyelesaian akan dirasakan sebagai agen perundingan yang dapat lebih
dipercaya. Intervensi pihak ketiga berperan meneruskan pesan antara kedua belah
pihak yang bertikai untuk terlibat aktif dalam perundingan, dan mencoba
menekankan kepada pihak-pihak yang bermusuhan untuk menerima usul-usul
perdamaian yang telah dirumuskan oleh pihak yang melakukan intervensi atau
yang disebut sebagai mediator. (Holsti 1998:192)
2
Ada dua tahap yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk melakukan
intervensi dalam prosedur resolusi konflik menurut John W Burton. Pertama,
menentukan masalah-masalah dan membuat suatu pilihan tentatif terhadap
pihak-pihak yang bertikai. Kedua, mengundang pihak-pihak-pihak-pihak yang terlibat untuk bertemu
dan berdiskusi, sementara pada saat yang sama pihak ketiga mengambil langkah
untuk memastikan bahwa semua pandangan dan kepentingan pihak-pihak yang
bertikai tidak akan diabaikan dan menjadi bahan pertimbangan pada perjanjian
atau kesepakatan damai yang dihasilkan. (Burton 1986:107)
Dalam menyelesaikan sebuah konflik, pihak ketiga juga dapat menempuh
metode mediasi, arbitrasi dan ajudikasi. Di dalam mediasi, pihak ketiga membawa
pesan namun juga dapat memberi saran dan anjuran bagi penyelesaian konflik. Di
dalam mediasi ada istilah konsiliasi yang mempelajari permasalahan dan membuat
laporan. Dari hasil mediasi dan konsiliasi, akan ada kesepakatan yang mengikat.
Sedangkan arbitrasi adalah penyelesaian oleh pihak ketiga dimana masing-masing
pihak setuju untuk menerima putusan pihak ketiga. Ajudikasi merupakan
penyelesaian perselisihan-persilihan dalam pengadilan atau mahkamah
Internasional. (Ziegler 1984:294)
D.4. Konsep Responsibility To Protect
Masyarakat internasional banyak menaruh harapan pada konsep
Responsibility ti protect (selanjutnya disebut R2P). Sejauh eksistensinya sebagai
sebuah norma yang mengikat negara-negara di dunia, prinsip R2P sering dipahami
sebagai perlindungan terhadap warga dari seluruh ancaman yang mengintai. Tidak
salah jika R2P, oleh banyak kalangan dianggap mengakomodir seluruh isu
terkait konsep R2P yang nantinya akan berpengaruh pada proses
implementasinya, ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu pemahaman konsep
dan implementasinya.
Konseptualisasi ide R2P diputuskan Dalam World Summit 2005. Pada
pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa konsep R2P tidak
dimaksudkan dalam konteks perlindungan terhadap seluruh ancaman
kemanusiaan. Kurang tepat jika dipahami bahwa R2P mencakup permasalahan
non-mass atrocity, seperti misalnya isu pencegahan global warming, penyebaran
penyakit global (hiv/aids, antrhax, ebola), bencana alam dan perlindungan
terhadap suku-suku terasing. Cakupan R2P, seperti tertulis dalam pilar pertama
R2P yang disepakati dan didukung oleh komunitas internasional dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005 adalah tanggung jawab
negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide),
kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala
macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Evans
2008:46)
Dari poin pertama dari tiga pilar tersebut dinyatakan bahwa cakupan R2P
hanya terbatas pada keempat jenis mass atrocities (genocide, war crimes, ethnic
cleansing, crimes against humanity) serta tindakan-tindakan yang mengarah pada
kejahatan tersebut. Diluar tindakan tersebut, bukanlah bidang kajian yang hendak
digarap R2P. Poin yang hendak disampaikan disini adalah bahwa situasi yang
memungkinkan untuk diterapkannya R2P adalah keempat kejahatan yang
luas yang mencakup realisasi dari freedom from fear dan freedom from want,
lebih tepat jika digunakan konsep human security. (Evans 2008:39)
Sebagai sebuah norma, R2P memberikan framework dan asas pijakan
untuk merespons situasi pra konflik (responsibility to prevent), ketika konflik
berlangsung (responsibilty to react), dan pasca konflik (responsibility to building).
R2P berusaha mengambil tindakan tegas dan efektif dalam menangani tragedi
kemanusiaan. (Responsibility to Potect 2009)
Setelah komunitas internasional mengambil alih tanggung jawab yang
gagal diperankan suatu negara, maka mereka harus mulai merumuskan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan atau memulihkan
situasi. Perihal kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan karena azas
sovereignty as responsibility yang harus dilaksanakan negara tidak terpenuhi.
(Responsibility to Potect 2009)
Untuk menilai situasi lapangan, komunitas internasional melalui PBB
harus memfokuskan diri menyelidiki kebenaran informasi yang menyebutkan
terjadinya pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Tim pencari fakta yang
diutus PBB kemudian dapat bekerja sama dengan pemerintah bersangkutan,
organisasi regional maupun internasional dan melaporkan situasi yang
berkembang. Dengan adanya kerjasama tersebut maka semua pihak terkait dapat
memberikan peringatan dini (early warning) dan mendiskusikan pembagian
kapasitas (sharing-capacity) yang diemban guna mencegah terjadinya
kemungkinan terburuk. (Responsibility to Potect 2009)
Melihat cakupannya yang luas dalam menangani tragedi kemanusiaan,
menggunakan sejumlah pendekatan untuk mendorong efektifitas pelaksanaannya.
Pendekatan yang digunakan R2P melibatkan pendekatan militer dan non-militer.
Intervensi militer merupakan opsi terakhir yang dipilih dan terbatas pada situasi
ekstrem dan tak terkendali. Mengacu pada 3 pilar R2P, pilihan tersebut mau tidak
mau harus dilaksanakan jika seluruh pendekatan non-militer (sanksi ekonomi,
pengutukan dunia internasional, diplomasi, pembekuan aset, dll) telah diupayakan
namun tidak ada kemajuan signifikan dalam perkembangannya. Selain itu,
penerjunan kekuatan militer harus memepunyai legalitas hukum, yaitu dilakukan
atas dasar mandat DK PBB dan atau legitimasi dunia internasional. (Evans 2008:
129-139) Selain itu ditambah juga dengan kalkulasi cermat bahwa situasi akan
terkendali setelah dilakukan intervensi militer.
R2P merupakan norma yang secara bersama disepakati oleh komunitas
internasional. Ide R2P mengemuka sebagai respon atas banyaknya tragedi
kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. sebagai respons atas tragedi
kemanusiaan, ide R2P dimaksudkan untuk mengatasi masalah genocide, war
crimes, ethnic cleansing, crimes against humanity, dan segala macam tindakan
yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Responsibility to Potect
2009)
Implementasi R2P diterapkan pada saat suatu negara melakukan
pelanggaran kemanusiaan, atau gagal melindungi rakyatnya dari kejahatan
tersebut. Tanggung jawab melindungi rakyat diambil alih komunitas internasional
untuk kemudian merumuskan langkah-langkah strategis, meliputi pendekatan
militer ataupun non-militer. Intervensi militer diletakkan sebagai opsi terakhir
Untuk itu, membedah konflik Darfur juga berarti melihat sejauh mana konsep
R2P diimplementasikan.
E. Tinjauan Pustaka
Permasalahan Darfur memang menggundang banyak perhatian dari
pelbagai penjuru dunia. Banyak ilmuwan yang turut khawatir atas kondisi
kemanusiaan di Darfur sehingga meneliti permasalahan tersebut. Namun
demikian, di Indonesia belum ada guru besar atau penulis kawakan yang menulis
buku utuh mengenai konflik Darfur. Untuk membuat tinjauan pustaka, tidak ada
pakar yang bisa dirujuk karyanya. Berikut ini akan ditinjau beberapa karya yang
menjadikan penyelesaian konflik Darfur sebagai pokok permasalahannya. Satu di
antaranya adalah tesis. Dua lainnya adalah makalah ilmiah di jurnal.
Pertama, ”Peacekeeping Operation PBB Pada Konflik Darfur Tahun
2004-2008.” Studi ini adalah tesis Fierda Milasari Rahmawati di program Hubungan Internasional FISIP UI. Penelitian ini merupakan salah-satu studi yang
cukup komprehensif mengenai Darfur. Ia membahas mengenai usaha penghentian
konflik etnis di Darfur, Sudan, melalui peacekeeping operation yang dilakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama tahun 2004 hingga 2008. Dan
langkah-langkah apa saja yang diambil oleh PBB sebagai pihak ketiga yang
mengintervensi konflik dengan melakukan peacekeeping operation yang
bekerjasama dengan Uni Afrika.
Fokus penelitian Rahmawati, seperti terlihat jelas dari judulnya adalah
peran PBB. Peran Uni Afrika dalam penelitiannya bukan masalah utama, tapi
hanya dibahas sekilas dan sebagai pelengkap saja. Padahal, peran PBB dalam
langsung dan hanya mau menerima organisasi regional, Uni Afrika. PBB
benar-benar berperan langsung dengan porsi yang lebih besar, baru setelah Misi Uni
Afrika untuk Sudan (AMIS) dinyatakan gagal pada akhir tahun 2007. Setelah itu,
PBB mengeluarkan mandat operasi untuk misi gabungan PBB dan Uni Afrika di
Darfur (UNAMID)
Hasil penelitian Rahmawati ini menyarankan agar PBB melakukan
perubahan-perubahan mendasar pada badan organisasi PBB sendiri. Dan menurut
Rahmawati, PBB sebaiknya menyusun mandat peacekeeping operation secara
menyeluruh yang meliputi masa terjadinya konflik serta masa paska-konflik agar
benar-benar dapat menyelesaikan konflik di negara anggota. Tesis ini meski
merupakan studi yang cukup komprehensif mengenai Darfur, namun bukan
penelitian yang lengkap untuk dirujuk mengenai peran Uni Afrika.
Kedua, “Ethnic and International Conflict: Causes and Implications,”
yang ditulis oleh Michael E. Brown dalam buku Turbulent Peace: The Challenges
of Managing International Conflict (Crocker: 2001) (Chester a Crocker, 2001)
Washington DC: United States of Peace Press, 2001). Penelitian ini menjelaskan
penyebab dari terjadinya ethnic conflicts dan internal conflicts dan bagaimana
dampak internal serta eksternalnya. Brown menyebutkan bahwa Sudan termasuk
negara yang mengalami ethnic conflict disuatu negara. Ia membagi ethnic conflict
kedalam empat faktor diantaranya structural factors, political factors,
economic/social factors, dan cultural/perceptual factors.
Structural Factors terdiri dari weak states, intrastate security concerns,
ethnic geography. Weak states dimana situasi politik di Sudan yang mengalami
pemerintah tidak mampu membangun ekonomi yang baik, dan kompetisi antar
aktor. Intrastate security concerns merupakan persepsi ancaman yang timbul dari
kelompok-kelompok pemberontak Sudan sehingga digunakannya kekuatan militer
oleh pemerintah yang akhirnya menciptakan security dilemma. Ethnic geography
dalam arti setiap negara yang memiliki berbagai macam etnik sangat rawan, hal
ini yang terjadi di Sudan dengan banyaknya etnik yang ada membuat etnik yang
satu dengan yang lain saling bertikai. Karena setiap etnik suku memiliki adat
budaya, agama dan kehidupan yang berbeda.
Political Factors terdiri dari discriminatory political institutions,
exclusionary national ideologies, intergroup politics, elite politics. Discriminatory
political institutions dimana kelompok pemberontak SPLM/A dan JEM yang
berada di Sudan berasal dari etnis yang tertindas oleh pemerintah. Mereka merasa
tidak puas dengan sikap pemerintah Sudan yang diskriminatif, adanya pembedaan
perlakuan antara Sudan Selatan dan Utara, sehingga mereka melakukan
pemberontakan. Exclusionary national ideologies merupakan nasionalisme etnis
atau agama yang sangat kuat, masyarakat sudan yang berbagai macam etnis dan
agama sangat menjunjung tinggi adat dan keyakinan mereka masing-masing.
Intergroup politics merupakan kompetisi antar kelompok, yang mana
kelompok-kelompok yang ada di Sudan mempunyai ambisi masing-masing terutama didalam
pemerintahan, dan mereka memilik kekuatan identitas. Elite politics yang mana
provokasi dilakukan oleh para elit-elit politik, khususnya saat terjadi kekacauan
dalam situasi politik, ekonomi, untuk menghadapi para lawan-lawan politik
Economic/social Factors terdiri dari economic problems, discriminatory
economic systems, economic development and modernization. Economic problems
merupakan situasi negara yang tidak stabil dan ditambah dengan keadaan sosial
masyarakat yang tidak baik. Perekonomian Sudan sangat buruk dengan menjadi
negara termiskin pasca merdeka, dan kondisi sosial masyarakat yang bersengketa
sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan. Discriminatory economic
systems yakni adanya kesenjangan akses ekonomi antara wilyah Sudan Selatan
dan Sudan Utara, yang mana Sudan Selatan tidak mendapatkan akses ekonomi
yang baik seperti yang didapatkan oleh Sudan Utara. Economic development and
modernization yakni dengan keadaan yang telah dijelaskan diatas membuat
pembangunan ekonomi berjalan lambat, khususnya untuk melakukan modernisasi.
Cultural/ perceptual Factors terdiri dari patterns of cultural
discrimination, problematic group histories. Patterns of cultural discrimination
dimana adanya pembatasan terhadap akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan yang
diberikan oleh pemerintah kepada Sudan Selatan. Problematic group histories
yakni sejarah permusuhan antar etnis, dimana permusuhan yang terjadi tidak lepas
dari sejarah masa lalu Sudan saat masih dijajah oleh Inggris. Karena pemerintah
Inggris telah melakukan pembedaan sikap dan kebijakan bagi dua wilayah Sudan
yaitu Utara dan Selatan. Kedua wilayah tersebut sengaja dipisahkan sehingga
masing-masing wilayah berdiri dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka
dapatkan selama pemerintahan Inggris. Faktor-faktor tersebutlah yang dinilai
sebagai penyebab terjadinya ethinc conflicts atau internal conflicts.
Brown terlihat sangat fasih dan analitis ketika menjelaskan penyebab
konflik Darfur, makalah brown ini sangat penting karena analisanya lengkap.
Namun ia terlihat kurang bisa menjelaskan apa saja implikasi dari berbagai sebab
konflik tersebut. Terlebih lagi, Brown sama sekali tak menyinggung bagaimana
konflik itu diselesaikan. Terutama keterlibatan pihak luar seperti Uni Afrika, luput
dari perhatian Brown.
Dan ketiga, makalah Touko Piiparinen yang berjudul The lessons of
Darfur for the future of humanitarian intervention. Makalah ini dimuat di jurnal
Global Governance edisi Juli-September 2007. Ia membahas tentang operasi
militer dalam konteks intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga multilateral. Piiparinen telah dengan sangat lengkap menganalisis
bagaimana peran organisasi-organisasi internasional dalam usaha menyelesaikan
konflik Darfur. Respons yang lambat dari masyarakat internasional dalam
menghadapi kekejaman yang terjadi di Darfur, telah secara luas dianggap karena
lemahnya norma dan regulasi yang dianut oleh masyarakat internasional dalam
melindungi warga sipil. Piiparinen berpendapat bahwa PBB, Uni Afrika, Uni
Eropa, dan NATO sebenarnya telah merancang dan melaksanakan dua strategi
perdamaian yang inovatif di Darfur, dan telah memberikan preseden yang lebih
optimis untuk intervensi kemanusiaan, yaitu, sebuah divisi kerja baru antara
organisasi-organisasi regional dan internasional dan pada gilirannya nanti akan
sangat berguna dalam penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian.
Namun demikian, Piiparinen juga menyoroti kelemahan inovasi yang baru
dicoba di Darfur ini. Di akhir tulisannya, ke depan, ia menyarankan
antar-organisasi regional dan internasional yang berkomitmen melakukan intervensi
NATO dan Uni Afrika harus menandatangani Memorandum of Understanding
(MoU) antara kedua organisasi yang lebih konkret, responsif dan permanen,
bukan hanya bersifat ad hok seperti yang terjadi di Darfur. MoU tersebut harus
menetapkan sistem peralatan dan logistik yang siap-sedia kapan saja untuk
digunakan. Piiparinen dengan jeli melihat gagalnya operasi UNAMIS disebabkan
karena sistem peralatan dan logistik yang terbatas dan lamban. Selain juga karena
negara-negara Eropa tidak memenuhi komitmennya untuk memberikan bantuan
finansial bagi AMIS.
Sayangnya, Piiparinen terlalu berat melihat masalah ini dalam kacamata
masyarakat internasional, tanpa mencoba memahami konflik ini dari sudur
pandang pemerintah Sudan. Untuk itu, skripsi ini akan mencoba juga melihat
pandangan pemerintah Sudan mengenai Darfur dan mengelaborasinya lebih
dalam..
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui peran Uni Afrika sebagai organisasi regional dalam resolusi konflik
internal di Darfur, Sudan. Menurut Cresswell (1998:67) pendekatan kualitatif
adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena
sosial dan masalah manusia.
Menurut Bogdan dan Taylor, yang dikutip oleh Moleong (2004:3) metode
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan suatu masalah yang
interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data,
dan untuk meneliti sejarah perkembangan. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan studi terhadap data-data dengan menggunakan berbagai sumber
kepustakaan seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dokumen-dokumen, dan
lainnya. Oleh karena itu, penelitian akan menggunakan data sekunder sebagai data
utama. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan data-data dari situs
internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan
dalam penelitian ini, salah satunya informasi keterlibatan Uni Afrika di Darfur
dalam situs resmi Organisasi Uni Afrika di www.africanunion.org
G. Sistematika Penulisan
BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika
B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan
Konflik di Kawasan
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad B.2. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda B.2. Misi Uni Afrika di Burundi
BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur
mulai Tahun 2003
C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur
C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan
Uni Afrika di Darfur
BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)
A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur E. Kendala dan Hambatan AMIS
1. Keterbatasan Mandat 2. Rules Of Engagement
3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS
BAB II
Komitmen Uni Afrika dalam Resolusi Konflik A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika
Uni Afrika (African Union) didirikan di Durban, Afrika Selatan, pada
tanggal 9 Juli 2002. Sejak awal pembentukannya hingga saat ini Uni Afrika
memiliki 53 negara anggota. Sebagai organisasi regional, organisasi ini bertujuan
untuk menyatukan seluruh negara di kawasan Afrika dalam rangka menyelesaikan
berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Di
samping itu, Uni Afrika juga berusaha untuk berperan lebih aktif dalam
perekonomian global. Segala kegiatan organisasi ini berpusat di kantor pusat di
kota Addis Abba, Ethiopia. (AU 2012)
Sebelum Uni Afrika resmi berdiri, adalah Organisasi Persatuan Afrika
(Organization of African Unity –selanjutnya disingkat OPA ) yang merupakan
cikal-bakalnya. OPA didirikan oleh 32 negara Afrika pada tanggal 25 Mei 1963 di
Addis Ababa, Ethiopia. Ide dasar pembentukan OPA bermula dari pandangan
presiden Ghana, Kwame Nkrumah pada akhir tahun 1950-an. Saat itu Kwame
Nkrumah berpendapat bahwa negara-negara di Afrika terlalu kecil dan lemah
dalam bidang ekonomi, maka dari itu dibutuhkan sebuah kerjasama dan solidaritas
tidak hanya dalam bidang politik melainkan juga dalam bidang ekonomi agar
kesejahteraan dapat dirasakan seluruh bangsa Afrika. (Triveldi 2003: 39)
Untuk mewujudkan impian tersebut, menurut Nkrumah, menyatukan
merupakan langkah strategis yang harus ditempuh. Ketika pertama kali dibentuk
pada tahun 1963, tujuan utama OPA adalah melindungi kedaulatan dan menjaga
integritas wilayah negara anggotanya, tidak hanya dari pihak barat, tapi juga dari
satu anggota terhadap anggota lainnya melalui prinsip tidak mencampuri urusan
internal (non-intervention) yang termuat dalam pasal 3 Piagam OPA. Selain itu,
OPA juga memiliki lima tugas pokok yaitu; perjuangan melawan kolonialisme
dan rasisme, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional, penanganan
konflik di dalam dan antar-negara Afrika, kerjasama ekonomi antar negara Afrika
dan membentuk Piagam Afrika untuk Hak Asasi Manusia. (Triveldi 2003: 41)
Selama sepuluh tahun sejak pembentukannya, OPA menganggap dirinya
telah berhasil dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi di Afrika melalui
semangat persatuan dan solidaritas bangsa Afrika tanpa adanya intervensi dari
pihak asing. OPA pernah menamakan dirinya sebagai penjaga perdamaiaan nomor
satu di kawasan. Bahkan PBB sempat memberikan penghargaan bagi OPA atas
perannya dalam membantu memelihara perdamaiaan dan keamanan internasional.
(AU 2012)
Dalam rangka mempromosikan kemerdekaan beberapa negara di Afrika
misalnya, OPA memberikan bantuan-bantuan diplomasi, keuangan, militer dan
logistik kepada gerakan-gerakan kemerdekaan di Guinea Bissau, Angola dan
Mozambique untuk mendapatkan kemerdekaannya secara penuh. OPA juga secara
aktif bersuara di Majelis Umum PBB guna mempromosikan kemerdekaan
beberapa negara baru di Afrika. (AU 2012)
Dalam rangka menyelesaikan sengketa secara damai antar-negara
memutuskan untuk mengirim pejabat militer guna mengetuai pengawasan
gencatan senjata, penarikan mundur pasukan dan menciptakan zona demiliterisasi
antar keduanya. Adapun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara
anggotanya dari luar, misalnya ketika Israel melakukan agresi militer untuk
merebut salah-satu kawasan Mesir pada tahun 1967, OPA secara tegas mengutuk
agresi militer Israel dan menuntut penarikan mundur semua pasukan Israel dari
wilayah-wilayah yang telah diduduki di Mesir. (AU 2012)
Keberadaan OPA sebagai organisasi regional pada dasarnya tidak dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat luas Afrika yang secara ekonomi tidak
hanya lemah, akan tetapi dalam bidang politik pun mereka juga terpecah-belah.
Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para pemimpin Afrika untuk
melakukan sejumlah perubahan di organisasi termasuk melakukan amandemen
terhadap Piagam OPA. Amandemen ini mulai dibicarakan mulai tahun 1999. (AU
2012)
Setelah pertemuan tahunan OPA di Algeria pada bulan Juli 1999, Presiden
Libya, Moammar Khadafi, yang yang memiliki cita-cita untuk membentuk suatu
organisasi regional guna menyatukan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa
Afrika, meminta Majelis Umum OPA untuk mengadakan pertemuan luar biasa di
negaranya pada tanggal 9 September 1999. Pertemuan luar biasa tersebut
bertujuan untuk mengamandemen Piagam OPA guna meningkatkan efesiensi dan
efektifitas OPA . Hal itu tercermin dalam tema pertemuan yang berbunyi
“Strengthening OAU Capacity to Enable it to Meet The Challenges of The New
Pertemuan tingkat tinggi OPA di Sirte, Libya, ini menghasilkan
penandatanganan Deklarasi Sirte (AU 2012) dengan tujuan-tujuan antara lain:
Pertama, mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan politik di Afrika. Kedua,
memenuhi aspirasi masyarakat Afrika untuk bersatu sesuai dengan tujuan-tujuan
Piagam OPA dan Perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Afrika. Ketiga,
merevitalisasi organisasi untuk berperan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan
rakyat Afrika. Keempat, mengurangi dan menghilangkan konflik di Afrika.
Kelima, menjawab dan menghadapi tantangan global. Keenam, memanfaatkan
sumber daya manusia dan sumber daya alam kawasan untuk meningkatkan
kondisi kehidupan bangsa Afrika.
Sejak Deklarasi Sirte di Libya, kepala-kepala negara dan pemerintahan
anggota OPA mengadakan tiga kali pertemuan tingkat tinggi untuk membahas
implementasi pembentukan Uni Afrika. Pertemuan pertama dilaksanakan di
Lome, Togo pada tahun 2000. Pada pertemuan tersebut, 27 kepala-kepala negara
dan pemerintahan OPA menandatangani Constitutive Act of the African Union
(Piagam Uni Afrika) dan menyepakati Piagam tersebut sebagai landasan
organisasi sekaligus merumuskan prinsip-prinsip, tujuan serta badan-badan Uni
Afrika. Piagam Uni Afrika secara resmi berlaku pada tanggal 26 Mei 2001 setelah
Nigeria meratifikasi Piagam Uni Afrika untuk memenuhi kuota 2/3 persetujuan
negara-negara anggota.
Pertemuan selanjutnya diadakan di Lusaka, Naimibia pada tahun 2001.
Pertemuan tersebut membahas mengenai tata cara teknis peresmian Uni Afrika.
Pertemuan di Lusaka, Sekretariat Jendral OPA ini, diberikan mandat untuk
termasuk menyiapkan draf aturan mengenai kewenangan dan tanggung jawab,
serta menjamin efektifitas badan-badan tersebut. Salah satu keputusan penting
yang dihasilkan dalam pertemuan di Lusaka adalah mekanisme untuk mengelola,
mencegah dan menyelesaikan konflik harus masuk sebagai badan tersendiri dalam
Uni Afrika dan Sekretariat Jendral OPA diminta membuat rancangan mengenai
struktur, prosedur dan wewenang termasuk mengganti nama mekanisme tersebut.
(AU 2012)
Pertemuan yang terakhir sejak Deklarasi Sirte adalah pertemuan di
Durban, Afrika Selatan, (2002) guna meresmikan berdirinya Uni Afrika sebagai
organisasi regional yang baru di Afrika dan mengadakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Uni Afrika untuk pertama kalinya sejak OPA berubah menjadi Uni
Afrika. Dalam KTT pertama Uni Afrika di Durban, kepala-kepala negara dan
pemerintahan menyepakati beberapa keputusan penting. Keputusan pertama,
menyepakati Piagam Uni Afrika sebagai landasan hukum organisasi. Kedua,
memutuskan program bersama untuk memulihkan ekonomi di Afrika dan
membentuk kerjasama baru untuk pembangunan Afrika (New Partnership for
African Development --NEPAD). Ketiga, menyepakati MOU mengenai
pelaksanaan konferensi dalam bidang keamanan, stabilitas, pembangunan dan
kerjasama di Afrika. Keempat, menyetujui protokol pembentukan Dewan
Keamanan Uni Afrika. (Triveldi 2003: 40)
Pembentukan Uni Afrika sebagai organisasi yang baru di kawasan
disambut baik oleh para pemimpin Afrika. Hal ini tercermin dari pernyataan
presiden Libya, Moammar Khadafi, yang mengatakan pembentukan Uni Afrika
Afrika Selatan ketika itu, Thabo Mbeki, pada pembentukan sidang Uni Afrika
untuk pertama kalinya menyatakan:
“Kita telah mencapai suatu saat yang membanggakan, namun juga
merupakan tantangan… dengan ini saya menyatakan sidang puncak pertama Uni
Afrika dibuka”. (Kompas 2006)
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika
Dalam merumuskan pembentukan Uni Afrika, para pemimpin Afrika
merumuskan semua tujuan yang termuat dalam piagam OPA ditambah dengan
beberapa tujuan lainnya guna memberikan kemampuan yang lebih besar bagi
organisasi untuk dapat berperan aktif dalam mencapai tujuan-tujuan bangsa
Afrika. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Piagam Uni Afrika:
dan institusi-institusi demokrasi,
Berbeda dengan OPA yang memiliki prinsip tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara anggotanya, Uni Afrika justru sebaliknya. Organisasi baru ini
dapat mengancam stabilitas (perdamaian) serta keamanan kawasan secara
keseluruhan. Namun intervensi tersebut tetap diatur melalui prosedur dan
mekanisme yang ada di dalam organisasi. Salah-satu bentuk kongkret ancaman
terhadap stabilitas keamanan kawasan adalah munculnya konflik-konflik internal
yang bernuansa etnis maupun perebutan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya perang sipil di sebuah negara.
Prinsip-prinsip Uni Afrika secara lengkap termuat dalam pasal 4 Piagam
Uni Afrika sebagai berikut:
Tabel I.II. Pasal Piagam Uni Afrika. Sumber: AU 2012.
Pasal 4 Piagam Uni Afrika
Persamaan Kedaulatan dan saling ketergantungan semua Negara anggota. Penghormatan atas betas-batas kehidupan dalam mencapai kemerdekaan.
Partisipasi masyarakat Afrika dalam kegiatan-kegiatan organisasi. bersenjata atau ancaman bersenjata terhadap negara anggota.
Organisasi berhak untuk mengintervensi negara anggota dengan persetujuan Majelis jika terjadi situasi-situasi tertentu yang memungkinkan organisasi untuk melakukan intervensi seperti : kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap perang.
Perdamaiaan di antara negara anggota dan hak untuk hidup dalam keadaan aman dan damai.
Negara anggota berhak untuk meminta organisasi melakukan intervensi dalam upaya memulihkan keamanan dan perdamaian.
Persamaan gender.
Penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, HAM, hukum dan pemerintah yang baik.
Keadilan sosial untuk menjamin pelaksanaan pengembangan ekonomi. Penghormatan atas kehidupan manusia, hukuman dan penolakan terhadap kekebalan politik, pembunuhan, terorisme dan aktivitas subversif. Mengutuk dan menolak perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional.
spesifik. Hal ini mencerminkan keseriusan para pemimpin Afrika untuk
membangun kawasan Afrika ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal
pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan. Badan-badan Uni Afrika antara
lain : (1) Majelis (The Assembly the Union); (2) Dewan Eksekutif (The Executive
Council); (3) Parleman Afrika (The Pan-African Parliament); (4) Mahkamah
Peradilan (The Court of Justice); (5) Komisi (The Commission), merupakan
Sekjen Organisasi; (6) Dewan Keamanan (The Security Council); (7) Komite
Perwakilan Tetap (The Parliamint Represenatives Committee); (8) Komisi-komisi
Khusus (The Specialized Technical Committees); (9) Dewan Ekonomi, Sosial dan
Budaya (The Economic, Social and Cultural Council); (9) Badan-badan Keuangan
(The Financial Institutions) yang terdiri dari : Bank Sentral Afrika (The African
Central Bank), Badan Keuangan Afrika (The African Monetary Fund), Bank
Salah-satu alasan yang mendasari para pemimpin Afrika untuk mengubah
OPA menjadai Uni Afrika selain guna mempercepat proses integrasi kawasan,
adalah untuk memiliki sebuah badan yang bertugas menjaga perdamaian dan
keamanan serta stabilitas kawasan Afrika secara keseluruhan. Para pemimpin
Afrika sadar betul bahwa kawasan Afrika adalah kawasan yang memiliki potensi
konflik sangat tinggi, baik konflik antar-negara maupun konflik yang terjadi
dalam wilayah suatu negara anggotanya. Kesadaran para pemimpin Afrika (OPA)
tersebut tercermin dari pembentukan suatu mekanisme (badan) untuk mengelola
dan menyelesaikan konflik (Mechanism for Conflict Preservation, Mangement,
and Resolution) di Afrika pada tahun 1993. (Powell & Tieku 2006: 10)
Melalui mekanisme tersebut, OPA mulai terlibat dalam setiap konflik
negara-negara anggotanya, akan tetapi keberhasilan serta efektivitasnya masih
sangat kurang. (Powell & Tieku 2006: 10) Alasan inilah yang pada akhirnya
menjadikan landasan bagi Uni Afrika untuk membentuk Dewan Keamanan
(Peace and Security Council), sebuah badan Uni Afrika yang bertugas untuk
mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengatasi dan
mencegah perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengantisipasi dan
mencegah timbulnya konflik, mempromosikan penerapan pembangunan
perdamaiaan pasca-konflik, memerangi terorisme, mengembangkan kebijakan
pertahanan bersama serta mempromosikan demokrasi sebagaimana yang tertuang
dalam pasal 3 Protocol Relating To The Estabilishment of The Peace and Security
Council of The African Union yang ditandatangani anggota-anggotanya pada
Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika merupakan hasil dari
keputusan yang dirumuskan para kepala negara dan pemerintah OPA dalam
pertemuan tingakat tinggi OPA ke 37 di Lusaka, Namibia pada tahun 2001.
Dalam pertemuan tersebut Majelis OPA memutuskan untuk menggabungkan
badan OPA, yang memiliki mekanisme untuk mengelola, mencegah dan
menyelesaikan konflik ke dalam badan Uni Afrika sebagai badan yang berdiri
sendiri. (AU 2012)
Dewan Keamanan Uni Afrika terdiri dari 15 anggota dipilih untuk masa
jabatan selama 2 tahun, sedangkan 5 anggota sisanya dipilih untuk periode tiga
tahun guna menjamin kelangsungan Dewan Keamanan Uni Afrika. Setiap anggota
Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki satu suara dan tidak ada hak veto bagi
anggotanya sebagaimana Dewan Keamanan PBB. Dewan ini dibantu oleh komisi
Uni Afrika, Penasehat Panel, Sistem Peringatan Dini, Pasukan Afrika dan Badan
Kuangan yang semuanya diatur dalam Protocol Relating to The Establishment of
The Peace And Security Council of The African Union. (AU 2012)
Tujuan pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika sendiri adalah sebagai
berikut: (1) Mempromosikan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan di
Afrika untuk melindungi kehidupan dan kekayaan masyarakat Afrika serta
menciptakan kondisi yang kondusif guna menopang pembangunan kawasan; (2)
Mengantisipasi dan mencegah konflik yang terjadi, Dewan Keamanan Uni Afrika
bertanggung jawab untuk megeluarkan resolui berupa menciptakan perdamaian
(peace-making) dan membangun perdamaian (peace-building) terhadap konflik
tersebut; (3) Mempromosikan dan menerapkan kegiatan-kegiatan rekonstruksi