• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur

BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)

KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur Korban sipil yang mencapai ratusan ribu orang serta jumlah pengungsi

C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur

Afrika merupakan sebuah kawasan yang seringkali menghadapi konflik-konflik yang bersifat internal. Konflik-konflik-konflik tersebut secara tidak langsung menggangu stabilitas kawasan dan menjadi kendala tersendiri bagi pembangunan dan kemajuan negara-negara Afrika. Oleh sebab itu, para pemimpin Afrika dan Uni Afrika menyadari bahwa penyelesaian konflik di kawasan merupakan salah satu agenda yang mendapatkan prioritas utama, tidak terkecuali penyelesaian konflik etnis Darfur yang telah manjadi sorotan dan perhatian masyarakat internasional. (Baltrop, 2001: 10)

Komitmen para pemimpin Afrika untuk menyelesaikan konflik di kawasan dapat terlihat ketika mereka merumuskan prinsip-prinsip dan tujuan Uni Afrika. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pigam Uni Afrika dan Protokol Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki kesamaan dengan elemen-elemen konsep Responsibility to Protect. Piagam Uni Afrika memberikan batasan terhadap definisi kedaulatan negara anggotanya. Kedaulatan negara bersifat kondisional, dan didefinisikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warganegaranya. Akan tetapi jika negara tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka Uni Afrika berhak melindungi warganegara dengan cara menurunkan pasukan militer ke dalam yuridiksi negara bersangkutan. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)

Dalam kasus Darfur, Uni Afrika melihat pemerintah Sudan sudah tidak sanggup lagi untuk mengatasi konflik internal di negaranya, meskipun pemerintah Sudan telah berulang kali menyatakan bahwa stabilitas dan keamanan di Darfur telah sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat. Akan tetapi pernyataan yang

disampaikan pemerintah Sudan tersebut bertentangan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Media-media internasional terus membeberkan bukti-bukti mengenai kondisi Darfur dan penduduk Afrika yang mengalami berbagai tindakan kekerasan milisi Janjaweed, bahkan pemerintah Sudan dicurigai berusaha menghilangkan populasi Afrika di Darfur. (Badescu & Bergholm, 2010: 109)

Uni Afrika akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan krisis Darfur melalui semangat persatuan dan persaudaraan bangsa Afrika. Pasal 4 Piagam Uni Afrika ecara tegas menyatakan bahwa Uni Afrika berhak mengintervensi negara anggotanya berdasarkan keputusan Majelis setelah melihat adanya kejahatan perang, genosida dan pelanggaran terhadap kemanusian. Uni Afrika juga menekankan bahwa intervensi militer terhadap kedaulatan negara anggotanya merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya intervensi non-militer telah dilakukan. (AU, 2012)

Pada bulan Februari 2003, kepala-kepala negara dan pemerintahan anggota Uni Afrika mengamandemen pasal 4(h) dengan menambah bahwa :

“Kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman yang sangat serius terhadap perdamaiaan dan keamanan Afrika dan memberikan kekuasaan Kepala Dewan Keamanan Uni Afrika untuk memulihkan perdamaian dan keamanan.” (AU 2012)

Mengenai amandeman pasal 4 (h) Piagam Uni Afrika, Ben Kioko, penasehat resmi Uni Afrika ketika itu menyatakan:

“the addition af article 4 (h) was adopted with sole purpose of

enabling the African Union to resolve conflict more effectively on the continent, without ever hanging to sit back and do nothing because of the notion of non-interfence in the internal affairs of member states, it should be brne in mind that the peace and security council was intended, and should be abel to revolutionize the way conflicts are addressed on the continent.” (Kioko, 2003: 817)

Pasal 4 (j) Piagam Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota berhak mengajukan permohonan kepada organisasi untuk melakukan intervensi guna memulihkan perdamaiaan dan keamanan. Rumusan-rumusan seperti ini tentunya tidak akan dijumpai dalam Piagam OPA, sehingga dapat dimaklumi peran OPA dalam menyelesaikan berbagai konflik di kawasan Afrika seringkali mengalami kegagalan. Perubahan prinsip dari non-intervensi ketika prinsip non-indifference itu, menurut Kristina Powell, menjadikan Piagam Uni Afrika sebagai perjanjian internasional pertama yang mengakui adanya hak intervensi terhadap suatu negara anggota untuk tujuan-tujuan melindungi kemanusiaan. Inilah komitmen Uni Afrika untuk terlibat secara langsung dalam menyelesaikan berbagai konflik di negara anggotanya. (Powell, 2005: 1)

Duta Besar Said Dijimmit, komisioner Dewan Keamanan ketika Uni Afrika ketika itu menyatakan :

“No more, never again, African cannot….watch the tragedies

developing in the continent and say it is the UN’s Responsibility

or somebody else’s Responsibility. We have moved from the

concept of non-interference to non-indifference. We cannot as Africans remain indifferent to the tragedy of our people.” (Powell, 2005; 1)

Komitmen inilah yang pada akhirnya secara langsung mendorong Uni Afrika untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur, Sudan. Penyelesaian konflik tersebut merupakan tantangan pertama Uni Afrika dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Afrika secara keseluruhan. Jika Uni Afrika mampu melaksanakan tugas tersebut, maka bukan tidak mungkin Uni Afrika menjadi sebuah organisasi regional yang mendapat pengakuan internasional dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.

Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika oleh Majelis Uni Afrika sebagai badan utama organisasi merupakan sebuah bukti kongkret komitmen Uni Afrika dalam upaya menyelesaikan berbagai jenis konflik di kawasan. Untuk tugas ini, Uni Afrika akan membentuk pasukan Afrika (African Standby Force, ASF) yang akan diturunkan di wilayah konflik dan akan dikembangkan sepenuhnya mulai tahun 2010. ASF ditunjuk sebagai badan pelaksana (implementing mechanism) kebijakan-kebijakan Dewan Keamanan Uni Afrika yang berhubungan dengan menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)

Ide mengenai pembentukan Pasukan Uni Afrika sendiri sebenarnya bukan konsep baru dalam sejarah Uni Afrika. Ide ini telah muncul pada periode tahun 1960-an ketika Uni Afrika masih bernama OPA. Akan tetapi Piagam OPA tidak memiliki definisi yang jelas mengenai pasukan Uni Afrika, apakah dibentuk dan diturunkan untuk melindungi negara anggotanya dari serangan luar atau juga untuk menyelesaikan konflik-konflik internal yang terjadi di negara anggotanya. Begitu pula ketika Mekanisme Penyelesaian Konflik OPA yang dibentuk pada tahun 1993, negara-negara Afrika pada saat itu tidak menyepakati bentuk, struktur, mandat serta biaya operasi pasukan Afrika. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)

Meskipun OPA pernah membentuk pasukan penjaga perdamaian Afrika untuk menyelesaikan konflik-konflik di Chad, di Rwanda dan di Burundi, pasukan Afrika tersebut dapat dikatakan gagal karena beberapa alasan terentu. Akan tetapi kegagalan tersebut dijadikan pelajaran tersendiri bagi Uni Afrika untuk

membentuk sebuah pasukan Afrika yang permanen, sebagaimana ungkapan Cederic de Coning, “a useful learning experience”. (Coning, 1997: 20)

Pasukan Afrika (ASF) terdiri dari sebuah kontigen yang berjumlah 3000-4000 personel militer Afrika, 300-500 pengamat militer, polisi dan masyarakat sipil profesional yang akan diturunkan ke wilayah konflik dan beroperasi di bawah komando serta kontrol Uni Afrika dan PBB. Pasukan tersebut diambil dari 5 wilayah sub-regional Afrika serta diberi tugas untuk melakukan tugas-tugas berikut : (1) misi observasi dan pengamatan; (2) misi-misi yang mendukung perdamaian; (3) intervensi terhadap negara anggota untuk memulihkan perdamaiaan dan keamanan sesuai dengan pasal 4 (h) Piagam Uni Afrika; (5) misi pecegahan dalam rangka: mencegah eskalasi konflik, mencegah penyebaran konflik ke negara-negara tetangga, dan mencegah kemunculan kembali konflik setelah pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan damai; (6) Pembangunan perdamaian termasuk perlucutan senjata dan demobilisasi paska konflik; (7) melakukan bantuan kemanusiaan untuk mengurangi penderitaan masyarakat sipil di wilayah konflik dan membantu upaya-upaya mengatasi kerusakan lingkungan; (8) fungsi-fungsi lain yang ditugaskan oleh Dewan Keamanan atau Majelis Uni Afrika. (AU, 2012)

Meskipun pasukan Afrika ini baru sepenuhnya akan dibentuk dan dikembangkan pada tahun 2010, akan tetapi pasukan Rwanda dan Nigeria serta beberapa pasukan dari negara Afrika lainnya yang berada di Darfur menamakan diri sebagai pasukan penjaga perdamaiaan Afrika yang dibentuk oleh Uni Afrika dan mandat Dewan Keamanan Uni Afrika. Agar dapat menyelesaikan berbagai konflik di kawasan bukanlah sekedar teori yang tertuang dalam Piagam Uni

Afrika semata, akan tetapi mereka mengimplementasikannya di lapangan ketika suatu konflik yang mengancam stabilitas dan keamanan terjadi di kawasan sebagaimana konflik etnis Darfur. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)

C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur