• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)

A.1. Latar Belakang Uni Afrika

Uni Afrika (African Union) didirikan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 9 Juli 2002. Sejak awal pembentukannya hingga saat ini Uni Afrika memiliki 53 negara anggota. Sebagai organisasi regional, organisasi ini bertujuan untuk menyatukan seluruh negara di kawasan Afrika dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Di samping itu, Uni Afrika juga berusaha untuk berperan lebih aktif dalam perekonomian global. Segala kegiatan organisasi ini berpusat di kantor pusat di kota Addis Abba, Ethiopia. (AU 2012)

Sebelum Uni Afrika resmi berdiri, adalah Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity –selanjutnya disingkat OPA ) yang merupakan cikal-bakalnya. OPA didirikan oleh 32 negara Afrika pada tanggal 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia. Ide dasar pembentukan OPA bermula dari pandangan presiden Ghana, Kwame Nkrumah pada akhir tahun 1950-an. Saat itu Kwame Nkrumah berpendapat bahwa negara-negara di Afrika terlalu kecil dan lemah dalam bidang ekonomi, maka dari itu dibutuhkan sebuah kerjasama dan solidaritas tidak hanya dalam bidang politik melainkan juga dalam bidang ekonomi agar kesejahteraan dapat dirasakan seluruh bangsa Afrika. (Triveldi 2003: 39)

Untuk mewujudkan impian tersebut, menurut Nkrumah, menyatukan seluruh negara Afrika ke dalam satu wadah organisasi menjadi sangat penting dan

merupakan langkah strategis yang harus ditempuh. Ketika pertama kali dibentuk pada tahun 1963, tujuan utama OPA adalah melindungi kedaulatan dan menjaga integritas wilayah negara anggotanya, tidak hanya dari pihak barat, tapi juga dari satu anggota terhadap anggota lainnya melalui prinsip tidak mencampuri urusan internal (non-intervention) yang termuat dalam pasal 3 Piagam OPA. Selain itu, OPA juga memiliki lima tugas pokok yaitu; perjuangan melawan kolonialisme dan rasisme, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional, penanganan konflik di dalam dan antar-negara Afrika, kerjasama ekonomi antar negara Afrika dan membentuk Piagam Afrika untuk Hak Asasi Manusia. (Triveldi 2003: 41)

Selama sepuluh tahun sejak pembentukannya, OPA menganggap dirinya telah berhasil dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi di Afrika melalui semangat persatuan dan solidaritas bangsa Afrika tanpa adanya intervensi dari pihak asing. OPA pernah menamakan dirinya sebagai penjaga perdamaiaan nomor satu di kawasan. Bahkan PBB sempat memberikan penghargaan bagi OPA atas perannya dalam membantu memelihara perdamaiaan dan keamanan internasional. (AU 2012)

Dalam rangka mempromosikan kemerdekaan beberapa negara di Afrika misalnya, OPA memberikan bantuan-bantuan diplomasi, keuangan, militer dan logistik kepada gerakan-gerakan kemerdekaan di Guinea Bissau, Angola dan Mozambique untuk mendapatkan kemerdekaannya secara penuh. OPA juga secara aktif bersuara di Majelis Umum PBB guna mempromosikan kemerdekaan beberapa negara baru di Afrika. (AU 2012)

Dalam rangka menyelesaikan sengketa secara damai antar-negara anggotanya, misalnya antara Algeria dan Maroko pada bulan Oktober 1963, OPA

memutuskan untuk mengirim pejabat militer guna mengetuai pengawasan gencatan senjata, penarikan mundur pasukan dan menciptakan zona demiliterisasi antar keduanya. Adapun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara anggotanya dari luar, misalnya ketika Israel melakukan agresi militer untuk merebut salah-satu kawasan Mesir pada tahun 1967, OPA secara tegas mengutuk agresi militer Israel dan menuntut penarikan mundur semua pasukan Israel dari wilayah-wilayah yang telah diduduki di Mesir. (AU 2012)

Keberadaan OPA sebagai organisasi regional pada dasarnya tidak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas Afrika yang secara ekonomi tidak hanya lemah, akan tetapi dalam bidang politik pun mereka juga terpecah-belah. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para pemimpin Afrika untuk melakukan sejumlah perubahan di organisasi termasuk melakukan amandemen terhadap Piagam OPA. Amandemen ini mulai dibicarakan mulai tahun 1999. (AU 2012)

Setelah pertemuan tahunan OPA di Algeria pada bulan Juli 1999, Presiden Libya, Moammar Khadafi, yang yang memiliki cita-cita untuk membentuk suatu organisasi regional guna menyatukan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa Afrika, meminta Majelis Umum OPA untuk mengadakan pertemuan luar biasa di negaranya pada tanggal 9 September 1999. Pertemuan luar biasa tersebut bertujuan untuk mengamandemen Piagam OPA guna meningkatkan efesiensi dan efektifitas OPA . Hal itu tercermin dalam tema pertemuan yang berbunyi

“Strengthening OAU Capacity to Enable it to Meet The Challenges of The New

Pertemuan tingkat tinggi OPA di Sirte, Libya, ini menghasilkan penandatanganan Deklarasi Sirte (AU 2012) dengan tujuan-tujuan antara lain: Pertama, mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan politik di Afrika. Kedua, memenuhi aspirasi masyarakat Afrika untuk bersatu sesuai dengan tujuan-tujuan Piagam OPA dan Perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Afrika. Ketiga, merevitalisasi organisasi untuk berperan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan rakyat Afrika. Keempat, mengurangi dan menghilangkan konflik di Afrika. Kelima, menjawab dan menghadapi tantangan global. Keenam, memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam kawasan untuk meningkatkan kondisi kehidupan bangsa Afrika.

Sejak Deklarasi Sirte di Libya, kepala-kepala negara dan pemerintahan anggota OPA mengadakan tiga kali pertemuan tingkat tinggi untuk membahas implementasi pembentukan Uni Afrika. Pertemuan pertama dilaksanakan di Lome, Togo pada tahun 2000. Pada pertemuan tersebut, 27 kepala-kepala negara dan pemerintahan OPA menandatangani Constitutive Act of the African Union (Piagam Uni Afrika) dan menyepakati Piagam tersebut sebagai landasan organisasi sekaligus merumuskan prinsip-prinsip, tujuan serta badan-badan Uni Afrika. Piagam Uni Afrika secara resmi berlaku pada tanggal 26 Mei 2001 setelah Nigeria meratifikasi Piagam Uni Afrika untuk memenuhi kuota 2/3 persetujuan negara-negara anggota.

Pertemuan selanjutnya diadakan di Lusaka, Naimibia pada tahun 2001. Pertemuan tersebut membahas mengenai tata cara teknis peresmian Uni Afrika. Pertemuan di Lusaka, Sekretariat Jendral OPA ini, diberikan mandat untuk membuat aturan-aturan mengenai peresmian Uni Afrika serta badan-badannya

termasuk menyiapkan draf aturan mengenai kewenangan dan tanggung jawab, serta menjamin efektifitas badan-badan tersebut. Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam pertemuan di Lusaka adalah mekanisme untuk mengelola, mencegah dan menyelesaikan konflik harus masuk sebagai badan tersendiri dalam Uni Afrika dan Sekretariat Jendral OPA diminta membuat rancangan mengenai struktur, prosedur dan wewenang termasuk mengganti nama mekanisme tersebut. (AU 2012)

Pertemuan yang terakhir sejak Deklarasi Sirte adalah pertemuan di Durban, Afrika Selatan, (2002) guna meresmikan berdirinya Uni Afrika sebagai organisasi regional yang baru di Afrika dan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Afrika untuk pertama kalinya sejak OPA berubah menjadi Uni Afrika. Dalam KTT pertama Uni Afrika di Durban, kepala-kepala negara dan pemerintahan menyepakati beberapa keputusan penting. Keputusan pertama, menyepakati Piagam Uni Afrika sebagai landasan hukum organisasi. Kedua, memutuskan program bersama untuk memulihkan ekonomi di Afrika dan membentuk kerjasama baru untuk pembangunan Afrika (New Partnership for African Development --NEPAD). Ketiga, menyepakati MOU mengenai pelaksanaan konferensi dalam bidang keamanan, stabilitas, pembangunan dan kerjasama di Afrika. Keempat, menyetujui protokol pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika. (Triveldi 2003: 40)

Pembentukan Uni Afrika sebagai organisasi yang baru di kawasan disambut baik oleh para pemimpin Afrika. Hal ini tercermin dari pernyataan presiden Libya, Moammar Khadafi, yang mengatakan pembentukan Uni Afrika merupakan sebuah impian yang menjadi kenyataan. Sementara itu, presiden

Afrika Selatan ketika itu, Thabo Mbeki, pada pembentukan sidang Uni Afrika untuk pertama kalinya menyatakan:

“Kita telah mencapai suatu saat yang membanggakan, namun juga

merupakan tantangan… dengan ini saya menyatakan sidang puncak pertama Uni

Afrika dibuka”. (Kompas 2006)