• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)

KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

A. Sejarah dan akar konflik Darfur

Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar, mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika, sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. (Pruiner 2005: 4)

Orang-orang Arab mulai tiba di Darfur pada abad ke-14. Pergaulan mereka dengan suku asli sangat baik. Terjadi koeksistensi damai antara pendatang dan penduduk pribumi, perselisihan yang tak terelakkan atas sumber daya alam diselesaikan melalui mediasi para pemimpin lokal. Pada perkembangan berikutnya hingga kini, Arab Darfur merupakan suku pendatang yang secara dominan menempati wilayah Darfur bagian utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang dominan di Darfur dan mereka beragama Islam. Kini, mayoritas orang Arab Darfur berkulit hitam, karena merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-Afrika. (Collins 2006:29)

Di jantung kawasan Darfur, terdapat sebuah gunung berapi yang disebut Jebel Marra. Tanah di lereng gunung tersebut sangat subur. Di daerah ini penduduk awal Darfur hidup – Dinasti Daju. Sangat sedikit yang diketahui tentang mereka. Sejarah Darfur mencatat, pada abad ke-14, dinasti Daju digantikan oleh dinasti Tunjur, yang membawa Islam masuk ke wilayah tersebut. (Pruiner 2005: 8)

Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Fur didirikan oleh dinasti Keyra, dan Darfur berkembang menjadi semakin makmur. Di masa kejayaannya pada abad 17 dan 18, karena lokasi geografisnya yang strategis, Kesultanan Fur menjadi pusat kegiatan komersial yang maju. Pada masa itu, telah terjadi perdagangan budak, gading, dan barang-barang perhiasan dengan orang-orang Mediterania. Kesultanan Fur juga menyerang dan melakukan penaklukkan terhadap beberapa wilayah di sekitarnya. (Pruiner 2005; 8-15)

Pada pertengahan abad ke-19, kesultanan Fur dikalahkan oleh pedagang budak terkenal, Zubair Rahma. Runtuhnya dinasti Keyra membuat keadaan Darfur

menjadi tak menentu, tak ada penegakkan hukum seperti di masa sebelumnya. Para bandit dan tentara lokal memangsa masyarakat yang rentan. (Pruiner: 15)

Di lain pihak, pasukan Islam Mahdi ingin melawan kekuasaan kolonial Inggris di wilayah tersebut dengan berusaha untuk menggabungkan Darfur menjadi republik Islam jauh lebih besar. Periode ini menimbulkan perang yang berkepanjangan. Sampai keturunan dari Sultan Keyra, Ali Dinar muncul kembali sebagai kekuatan yang dominan dan memimpin pasukan Islam untuk memerintah di Darfur. Hingga tahun 1899 ketika Mesir – yang berada di bawah kekuasaan Inggris – mengakui kedaulatan Ali Dinar, cucu dari salah satu sultan Keyra, sebagai Sultan Darfur. Pengakuan ini membuat Darfur secara de facto memiliki kemerdekaan, dan Darfur hidup dalam damai selama beberapa tahun. (Flint & de Wall 2005: 11)

Selamanya Ali Dinar menolak untuk tunduk pada keinginan baik Perancis maupun Inggris, yang sibuk membangun kerajaan mereka di sekitar wilayahnya. Gesekan diplomatik seringkali mewujud menjadi perang terbuka. Ali Dinar dengan berani menantang pasukan Inggris berperang. Setelah perang berlangsung selama enam bulan, Ali disergap dan dibunuh, bersama dengan dua anaknya, pada bulan November 1916. Pada Januari 1917, Darfur berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris dan memasukkannya menjadi bagian dari Sudan, membuat Sudan menjadi negara terbesar di Afrika. (Flint & de Wall 2005: 20)

Satu-satunya hasrat penguasa kolonial baru Darfur adalah untuk menjaga perdamaian. Inggris tidak untuk tertarik membangun dan memajukan kawasan ini, tidak ada investasi di sana. Sangat berbeda dengan Sudan bagian utara. Menurut catatan Julie Flint and Alex de Waal dalam buku Darfur: a Short History of a

Long War, Pada tahun 1935, Darfur hanya memiliki empat sekolah, tidak ada klinik bersalin, tidak ada kereta api atau jalan-jalan besar di luar kota terbesar. Darfur diperlakukan sebagai kawasan terpencil. Selalu begitu oleh penguasa-penguasa setelah kolonial Inggris, Darfur seperti pion dalam permainan kekuasaan oleh penguasa-penguasa yang datang dan pergi silih-berganti. (Flint & de Wall 35)

Meskipun dengan sedikit enggan, setelah perang dunia II Inggris memberi Sudan kemerdekaan secara damai pada 1 Januari 1956. Penjajahan inggris menyisakan perbedaan yang mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan, mengembangkan tanah yang subur di sekitar Lembah Nil di Utara, sementara mengabaikan daerah selatan, timur dan Darfur di barat. Mereka menyerahkan kekuasaan politik langsung ke minoritas elit Arab utara. Hal ini menyebabkan daerah Selatan melakukan pemberontakan pada tahun 1955, memulai perang pertama Utara-Selatan. Masyarakat Darfur banyak yang ikut berperang melawan pemerintah pusat dan sentimen Utara-Selatan mulai menguak. Perang berlangsung bertahun-tahun hingga tahun 1972 ketika kesepakatan damai ditandatangani di bawah Presiden Nimeiry. (Pruiner, 2005: 25-34)

Namun demikian, pemerintahan Sudan terus-menerus mencemooh perjanjian perdamaian tersebut. Hal ini tentu saja membuat masyarakat dan elit Selatan jengah. Faktor kejengahan, ditambah lagi faktor upaya pemaksakaan hukum Islam dan penemuan lahan minyak baru, menghidupkan kembali konflik di Selatan pada tahun 1983. Perjanjian Nimeiry nyaris tak berdampak apa-apa. Kekerasan tetap sering terjadi. Dalam buku Darfur: the Ambigious Genocide, Gerard Pruiner menyebut hubungan antara Darfur dan Khartoum pada periode

1956-1985 sebagai sebuah hubungan yang tak bahagia, seperti rumah tangga yang tak bahagia. (Pruiner, 2005: 36)

Selain itu, masyarakat Darfur sendiri juga terpecah menjadi dua kelompok dalam konflik tersebut. Sebagian memang terlibat dalam perjuangan pemberontakan melawan pemerintah karena wilayah mereka termarjinalkan, namun tidak sedikit pula yang berpihak pada pemerintah pusat dan mendaftarkan diri sebagai tentara nasional. Faktor destabiilisasi di Darfur ditambah dengan masuknya Kolonel Qadafhi Libya yang menggunakan kawasan Darfur sebagai pangkalan militer untuk perang Islam di Chad. Perang ini, dikenal sebagai Perang Arab-Fur (1987-1989), yang bertujuan mempromosikan supremasi Arab, membuat ketegangan etnis meradang dan membanjiri daerah ini dengan persenjataan. Akibat perang tersebut, ribuan tewas dan ratusan desa terbakar. Penderitaan rakyat diperburuk oleh kelaparan dahsyat di penghujung 1980-an, di mana pemerintah Khartoum tidak memperhatikan nasib warga Darfur. (Pruiner, 2004: 42-47)

Di masa inilah benih-benih pemberontakan terhadap pemerintah pusat semakin menguat di Darfur. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an, karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. Kemarahan karena termarjinalkan, diberi kesempatan memegang banyak senjata karena Perang Arab-Fur, membuat kelompok Afrika Darfur mulai melakukan berbagai perlawanan lokal kecil-kecilan Setidaknya dari sini konflik etnis di Darfur bermula. Untuk

melawan para pemberontak itu, Pemerintahan Sadiq al Mahdi (1986-1989), membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku Messiriya dan Rezeiget, yang merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur, untuk mengamankan Darfur. Milisi Arab bentukan pemerintah inilah asal-muasal dari Janjaweed yang kemudian membabi-buta melakukan pembantaian terhadap orang-orang Afrika Darfur. (Johnson, 2006: 23)

Sementara itu, politik di Khartoum juga bergolak. Pada tahun 1989, National Islamic Front (Front Islam Nasional, NIF), yang dipimpin oleh Jenderal Omar al-Bashir, merebut kekuasaan di Sudan dari pemerintah yang terpilih secara demokratis Sadiq al Mahdi, dalam kudeta tak berdarah. NIF mencabut konstitusi, melarang partai-partai oposisi, dan alih-alih berusaha memantapkan langkah menuju perdamaian, sebaliknya Bashir menyatakan jihad melawan Afrika non-Muslim di Selatan. Secara teratur ia menggunakan milisi etnis untuk melakukan pertempuran. NIF semakin jauh meminggirkan populasi Afrika di Darfur. (Pruiner, 2004: 42-47)

Bisa ditebak, pemerintahan Al- Bashir juga semakin meningkatkan sokongan mereka untuk milisi Janjaweed. Milisi yang memiliki filosofi supremasisme Arab ini tak henti-hentinya memerangi ras Afrika dengan kekerasan. Janjaweed pertama kali memiliki peran aktif di Darfur di masa perang Arab-Fur pada tahun 1989. Direkrut terutama dari suku-suku nomaden Arab, milisi ini dimobilisasi untuk tindakan-tindakan premanisme. Kata janjaweed berarti 'gerombolan' atau 'bajingan', atau seperti 'setan menunggang kuda' dalam bahasa Arab. (Pruiner, 2004: 54-58)

Pemerintahan Sudan, di bawah Al-Bashir, yang kejam dan opotunis, pertama kali melatih, mempersenjatai Janjaweed secara massif pada tahun 1996. Pada periode 1996-1998, Janjaweed memerangi rakyat Massalit yang beretnis Afrika di Darfur. Al-bashir sengaja menggunakan milisi etnis untuk melawan resistensi di daerah sebagai kekuatan proksi bagi mereka. Ini memungkinkan pemerintah memadamkan perang lokal dengan murah, selain untuk menyangkal keterlibatan mereka di balik konflik, meski banyak bukti menunjukkan sebaliknya. (Pruiner, 2004: 42-47)

Menurut Alex de Wall, dalam tulisannya di majalah African Affairs, pemerintah Sudan kemudian secara konsisten menggunakan milisi Arab Janjaweed untuk menyerang kelompok-kelompok pemberontak Darfur dan memberikan kekebalan hukum bagi milisi Arab tersebut. Pemerintah Sudan, menurut Alex, juga menyediakan senjata serta bantuan udara bagi Janjaweed ketika menyerang kelompok pemberontak dan melakukan pembunuhan terhadap warga Afrika Darfur. Tindakan seperti ini jelas melanggar hukum humaniter internasional yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia (pembunuhan warga sipil) merupakan sebuah kejahatan serius dan pelakunya harus diasdili di Peradilan Pidana Internasional (International Criminal Court). (De Wall, 2005: 129)

Rezim Al-bashir dikenal memfasilitasi beberapa organisasi fundamentalis Islam, termasuk menyediakan rumah bagi Osama bin Laden mulai tahun 1991 sampai tahun 1996, ketika AS memaksa pengusiran. Sudan terlibat dalam upaya pembunuhan Presiden mesir Hosni Mobarak pada Juni 1995. Setelah serangan rudal AS di pabrik farmasi Sudan pada tahun 1998, menyusul teror bom dari

kedutaan besar AS di Nairobi dan Dar el Salam, dukungan Sudan terhadap kelompok teroris semakin terang dan puncaknya meningkatkan isolasi internasional. (Pruiner, 2004: 54-58)