• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)

PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2004-2007)

E. Kendala dan Hambatan AMIS 1. Keterbatasan Mandat

E.3. Logistik dan Penempatan Personel AMIS

Operasi Uni Afrika di Darfur semakin menemui kendala karena tidak didukung dengan peralatan dan logistik yang memadai. Hal ini tentunya tidak lepas dari terbatasnya dana operasional Uni Afrika di Darfur. Jumlah peralatan-peralatan yang mendukung operasi militer seperti telepon satelit, kendaraan maupun perlengkapan kantor yang dimiliki AMIS sangatlah terbatas. Sampai akhir November 2004 setiap sektor komando CFC hanya diberikan empat kendaraan oprasional dan dua telepon satelit. Jumlah tersebut tentunya tidak cukup untuk menjangkau seluruh wilayah Darfur yang sangat luas. Untuk mengatasi kendala logistik, Uni Afrika akhirya meminta bantuan masyarakat internasional terutama kepada negara-negara donor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris dan Kanada. (Mensah, 2005: 12)

Keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika meningkatkan kekuatan AMIS menjadi 3.320 personel ternyata tidak dibarengi kenyataan di lapangan. Ketua CFC melaporkan pada Januari 2005, hanya 7 orang dari seharusnya 815 polisi sipil yang ada di Darfur. Uni Afrika sebelumnya menargetkan penempatan 3.320 personel terlaksana sepenuhnya pada pertengahan April 2005, kenyataannya hanya 2.200 personel yang ditempatkan. Oleh sebab itu pada Januari 2005, CFC membentuk Darfur Integrated Task Force (DITF) di kantor pusat Uni Afrika di Addis Ababa. Badan ini bertanggung jawab mengatur jadwal penempatan personel AMIS di Darfur. (Mensah, 2005: 12)

Pada bulan April 2005, ketua CFC menyatakan bahwa pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata tidak berjalan dan situasi keamanan di Darfur tidak membaik. Serangan terhadap pengungsi masih sering terjadi. Para perempuan di daerah pengungsian banyak yang menjadi korban perkosaan ketika mereka pergi mencari kayu bakar. Sedangkan pelaku serangan dan perkosaan dibiarkan begitu saja, meskipun bukti-bukti tindakan mereka sudah ada. Padahal satu bulan sebelumnya Uni Afrika mengirim tim peninjau bersama dengan PBB dan masyarakat internasional lainnya untuk melihat kondisi Darfur secara langsung. Tim peninjau ini juga dimaksudkan untuk melihat kinerja AMIS di lapangan serta berusaha memperkuat keberadan serta efektifitas AMIS. Dewan Keamanan Uni Afrika lalu memutuskan untuk menambah personel AMIS menjadi 7.731 perseonel yang terdiri dari 6.171 komponen militer dan 1.560 komponen sipil melalui keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika pada 28 April 2005 yang diharapkan akan terlaksana sepenuhnya pada September 2005. Misi Uni Afrika di Darfur beserta mandat dan tugas yang diberikan berdasarkan keputusan Dewan

Keamanan Uni Afrika 20 Oktober 2004 berakhir pada 19 Oktober 2005. .(Mensah, 2005: 14)

Meski masih terdapat gangguan kemananan terhadap penduduk sipil, sejak januari hingga Juli 2005 tidak ada konflik besar yang terjadi., dan jumlah serangan terhadap desa-desa yang menjatuhkan. Pada rentang waktu ini, ada sekitar 3.000 tentara AMIS untuk menjaga perdamaian, dan akhirnya mencapai 7.000 tentara pada bulan April. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh Dewan Keamanan Uni Afrika, Nigeria mengirim batalion yang beranggotakan 680 tentara pada Rabu, Juli 13 Desember 2005, ditambah dua batalion lagi segera setelahnya. Begitu pula Rwanda, Senegal, Gambia, Kenya dan Afrika Selatan. Kanada memberikan 105 kendaraan lapis baja, pelatihan dan pemeliharaan bantuan, dan alat pelindung diri dalam mendukung upaya AMIS. .(Mensah, 2005: 15)

Pada tanggal 15 September 2005, serangkaian perundingan antara perwakilan pemerintah Sudan dan dua kelompok pemberontak yang dimediasi Uni Afrika kembali dimulai di Abuja, Nigeria. Namun, faksi SLM menolak untuk hadir. Menurut laporan BBC, SLM menyatakan "tidak akan mengakui dan mematuhi apa pun yang disepakati dalam perundingan tersebut." Lalu pada tanggal 28 September 2005, milisi Janjaweed kembali menyerang kamp pengungsi di Aro Sharow, menewaskan sedikitnya 44 orang. Uni Afrika mengutuk tindakan pemerintah Sudan tersebut, yang menyebabkan kehancuran dan telah menewaskan sedikitnya 44 orang dan ribuan lebih pengungsi harus dievakuasi ke tempat lain dalam dua minggu. Pada tanggal 1 Oktober, Uni Afrika

menuduh kedua belah pihak, baik pemerintah Sudan dan maupun pemberontak telah melanggar perjanjian gencatan senjata. (BBC: 2009)

Peta konflik semakin kompleks dan buram ketika dalam tubuh kelompok pemberontak sendiri terdapat kelompok sempalan. Dalam tubuh JEM, ada kelompok yang dipimpin oleh Mohamed Saleh yang menyatakan keluar dari JEM dan menginkan tempat tersendiri dalam perundingan-perundingan berikutnya. Saleh adalah kepala militer JEM ketika menandatangani perjanjian gencatan senjata pada bulan April, tetapi kemudian tidak sejalan lagi dengan visi dan para pemimpin kelompok itu. Ia mengklaim membawahi ribuan pasukan di wilayah Darfur, karena itu ia pantas diperhitungkan dan mempeloeh tempat tersendir dalam perundingan perdamaian yang sedang dan akan berlangsung. Ia juga menuduh Uni Afrika telah berpihak terhadap salah-satu kelompok dan menyatakan bahwa ia tidak akan lagi menghormati gencatan senjata yang pernah disepakati. (Mensah, 2005: 16)

Di awal Oktober 2005, 38 personil AMIS disandera. Kelompok sempalan pimpinan Saleh yang dituduh melakukan penculikan, namun ia membantah tuduhan tersebut. Namun kepada Reuters ia mengatakan, "Kami ingin Uni Afrika pergi, dan kami telah memperingatkan mereka untuk tidak melakukan perjalanan ke daerah yang kami kuasai. Kami tidak tahu dan tidak peduli apa yang terjadi pada Uni Afrika, mereka adalah bagian dari konflik sekarang." Pasukan dari kelompok pemberontak JEM kemudian membantu Uni Afrika membebaskan 38 sandera tersebut pada tanggal 9 Oktober. Mereka sepenuhnya bebas keesokan harinya. (Reuters: 2005)

Eskalasi kekerasan di wilayah ini terus meningkat. Reporter BBC Jonah Fisher mencatat, sikap permusuhan terhadap pasukan penjaga perdamaian AU semakin menjadi dan tampak di permukaan. Dilaporkan, agen-agen penyalur bantuan menolak untuk bepergian dengan personil Uni Afrika, karena menurut mereka kehadiran pasukan perdamaian hanya menundang kontak senjata. Kofi Annan, pada konferensi pers di Jenewa, meresponss meningkatnya tindak kekerasan tersebut dengan menyarankan agar bantuan ke wilayah tersebut mungkin sebaiknya sebagian ditangguhkan. "Kedua belah pihak, baik pemberontak maupun pemerintah, harus memahami bahwa jika kejadian (kekerasan) ini terus berlangsung, hanya akan menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan." Pernyataan itu memicu untuk pertama kalinya jatuh korban dari pihak Uni Afrika. Tiga personel tewas dalam serangan yang diyakini dilakukan oleh Tentara SLA. (BBC: 2005)

Meskipun kekerasan terus berlangsung, pihak pemerintah Sudan, SLA, JEM dan Uni Afrika kembali berjanji untuk melanjutkan pembicaraan damai yang digelar di Abuja. Pada November 2005, sebagai responss atas serangan terhadap pasukan Uni Afrika, pemerintah Sudan menyetujui penyebaran 105 kendaraan lapis baja pengangkut personel dari Kanada yang harus tiba pada 17 November. Lalu pembicaraan damai putaran ketujuh dimulai pada tanggal 21 November 2005. Namun hasilnya tetap mengecewakan. (AU 2005)

Mandat AMIS akan habis pada tanggal 31 Maret 2006, dengan kondisi di lapangan bahwa sebenarnya telah masuk ke dalam misi penjaga perdamaian PBB. Namun demikian, pada pertemuan 10 maret 2006, Dewan Keamanan dan

Perdamaian Uni Afrika tetap memutuskan untuk memmperpanjang misi selama enam bulan, sampai dengan 30 September 2006.(AU 2006)

Upaya mediasi Uni Afrika di Abuja, Nigeria mencapai titik kritisnya pada akhir pada 5 Mei2006 yang lebih dikeanal dengan nama Darfur Peace Agreement. Draft kesepakatan berjumlah 115 halaman ini, dirancang Uni Afrika masih mencakup “security, power sharing dan wealth sharing”. Dua pasal krusial dituntut SLM/A adalah : 1) Pelucutan senjata kelompok Janjaweed 2) Pengintegrasian sebagian pasukan pemeberontak ke dalam angkatan bersenjata Sudan.Namun kesepakatan ini hanya ditandatangi oleh Pemerintah Sudan dan SLM/A kubu Minnawi.Sedangkan JEM dan SLM/A kubu Abdul Wahid Al-Nur tidak mau sepakat.Akibatnya kesepakatan ini kembali gagal.(Sudan Tribune, 2006)

Pada tanggal 31 Agustus, setelah Dewan Keamanan PBB gagal mengimplementasikan Resolusi 1706 karena penolakan yang keras dari pemerintah Sudan, Uni Afrika lagi-lagi memperpanjang misinya lebih lanjut hingga 31 Desember 2006. Resolusi 1706 itu mengusulkan untuk mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian PBB. Setelah Desember berakhir, kemudian misi AMIS diperpanjang lagi sampai 30 Juni 2007. (AU 2007)

Pada bulan Mei 2007, Uni Afrika menyatakan bahwa AMIS telah berada pada titik keruntuhannya. Dalam bulan-bulan sebelumnya, tujuh personil pasukan penjaga perdamaian tewas, ditambah lagi kekurangan dana yang menyebabkan gaji prajurit tak dibayar selama beberapa bulan. Rwanda dan Senegal memperingatkan bahwa mereka akan menarik pasukan mereka jika negara-negara anggota PBB tidak memenuhi komitmen mereka mengenai dana dan persediaan

logistik. John Predergast dari International Crisis Group mencatat: “masalah uang menjadi besar karena Amerika dan Eropa berjanji untuk membantu membayar gaji prajurit dan mengirim perlengkapan selama Afrika dalam situasi semacam ini. Tapi Amerika dan Eropa tidak menepati janjinya. (Washington Post: 2007)

Pada tanggal 31 Juli 2007, Dewan Keamanan Uni Afrika akhirnya menyetujui Resolusi DK PBB 1769 yang memberi 1769 mandat kepada African Union/United Nations Hybrid Operation in Darfur (UNAMID) untuk menciptakan dan menjaga perdamaian di Darfur. UNAMID mengambil alih operasi dari AMIS per tanggal 31 Desember 2007. (UN: 2008)

BAB V Kesimpulan

Penelitian ini telah panjang-lebar menjelaskan bagaimana organisasi kawasan menyelesaikan konflik di negara anggotanya. Dalam hal ini, bagaimana upaya dan peran Uni Afrika dalam menyelesaikan konflik internal Sudan di Darfur. Uni Afrika dalam resolusi konflik di Darfur pada periode 2004-2007 mengirimkan pasukan dengan misi perdamaian dan melakukan berbagai upaya untuk menghentikan konflik berkepanjangan. Keterlibatan Uni Afrika untuk melakukan resolusi konflik di Darfur adalah keterlibatan pihak luar pertama di wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu berusaha mencegah terjadinya internasionalisasi konflik dalam negerinya. Dan AMIS adalah pasukan yang pertama kali boleh masuk untuk menjalankan misi penghentian kekerasan dan perlindungan warga sipil di Darfur.

Pada Bab II, penelitian ini menelusuri sejarah dan latar belakang pembentukan Uni Afrika. Sebelum bernama resmi Uni Afrika, organisasi ini dikenal dengan Jika dibandingkan dengan sebutan OPA yang hanya memiliki lima badan. Uni Afrika memiliki lebih banyak badan dengan tugas-tugas dan fungsi yang lebih spesifik. Hal ini mencerminkan keseriusan para pemimpin Afrika untuk membangun kawasan Afrika ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan. Badan-badan Uni Afrika tersebut adalah sebagai berikut. Perubahan yang paling penting adalah dibentuknya Dewan Keamanan (The Security Council) yang memungkinkan Uni Afrika melakukan intervensi terhadap negara anggotanya.

Salah-satu alasan yang mendasari para pemimpin Afrika untuk mengubah OPA menjadai Uni adalah untuk memiliki sebuah badan yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan serta stabilitas kawasan Afrika secara keseluruhan. Para pemimpin Afrika sadar betul bahwa kawasan Afrika adalah kawasan yang memiliki potensi konflik sangat tinggi, baik konflik antar-negara maupun konflik yang terjadi dalam wilayah suatu negara anggotanya. (Powell & Tieku 2006: 10) Alasan inilah yang pada akhirnya menjadikan landasan bagi Uni Afrika untuk membentuk Dewan Keamanan (Peace and Security Council), sebuah badan Uni Afrika yang bertugas untuk mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengatasi dan mencegah perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengantisipasi dan mencegah timbulnya konflik, mempromosikan penerapan pembangunan perdamaiaan pasca-konflik, memerangi terorisme, mengembangkan kebijakan pertahanan bersama serta mempromosikan demokrasi. (AU 2012)

Terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam upaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke dalam faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal merupakan faktor yang secara langsung berasal dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di Negara-negara anggotanya melelui mekanisme dan penyelesaian konflik yang dimiliki Uni Afrika. Sedangkan faktor eksternal berasal dari beberapa organisasi internasional (PBB, Uni Eropa, dan G-8) yang terus mendorong Uni Afrika untuk dapat mangatasi masalah dihadapi bangsa Afrika dan untuk mencapai tujuan-tujuannya. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)

Di bab III, sebelum menganalisa peran Uni Afrika di Dafrur, penelitian ini terlebih dahulu menguraikan bagaimana akar konflik di Darfur. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konflik di Darfur, dibutuhkan penjelasan sekomprehensif mungkin mengenai sejarah dan akar berbagai konflik yang terjadi di sana. Menurut Guy Martin, dalam artikel Conflict Resolution in Africa, untuk menjelaskan dan menganalisa konflik-konflik yang terjadi di kawasan Afrika, maka dibutuhkan sebuah pandangan dan pendekatan yang sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri. (Martin, 2006)

Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar, mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika, sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. (Pruiner 2005: 4) Kedua suku ini kelak saling bermusuhan karena tercipta ketidakpuasan penduduk Afrika asli terhadap pemerintah pusat yang kebanyakan berkebangsaan Arab. Berbagaui ekspresi dan bentuk pemberontakan dipadamkan oleh pemerintah pusat dengan membentuk milisi sipil, Janjaweed, yang bertugas membantai penduduk sipil di selatan.

Dalam kategori konflik-konflik modern, tregedi Darfur seringkali dikategorikan sebagai bentuk konflik campuran yang disebut complex political emergency. Menurut Andi Purwono ada beberapa karakter yang membuat konflik semacam ini membutuhkan perhatian yang sangat serius. Pertama, secara geografis ini bukan saja hanya merupakan urusan dalam negeri Sudan, akan tetapi

juga telah melintasi dan menjadi urusan negara-negara lain. Chad, misalnya merasakan dampak dari konflik tersebut dengan banyaknya pengungsi Darfur yang lari ke negaranya. Kedua, konflik ini biasanya ditandai dengan karakternya yang berjangka panjang, karena telah menjadi masalah yang kompleks, maka tidak jelas masalah pokok yang menjadi akar pertikaian, sehingga juga tidak jelas kapan konflik tersebut akan berakhir. Yang jelas menurut Purwono, pertikaian ini selalu berkaitan dengan upaya perebutan kekuasaan politik.

Akibat dari pertikaian antar etnis tersebut tidak lain adalah jatuhnya korban dari masing-masing pihak. Warga sipil yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan konflik seringkali manjadi korban konflik karena dianggap sebagai salah satu dari pihak yang bertikai. Dalam hal ini, warga Afrika Darfur menjadi korban terbesar dari pertikaian etnis yang terjadi di daerahnya sendiri. Baik pemerintah Sudan maupun milisi Arab Janjaweed seringkali menganggap warga Afrika Darfur adalah bagian dari kelompok pemberontak SLM/Amaupun JEM, atau mereka dituduh melindungi keberadaan kelompok pemberontak dan kemudian dijadikan sasaran perang. (Purwono, 2006)

Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000 pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang

berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.

Angka kematian suku Afrika yang mencapai ratusan ribu orang hanya dalam periode kurang dari satu tahun, meng. (Human Rights Watch 2003)

Di bab IV, keterlibatan Uni Afrika, melalui AMIS, untuk menghentikan konflik Darfur dianalisa lebih mendalam. Penelitian ini membatasi pembahasan hingga tahun 2007 dengan kondisi akhir AMIS tidak berhasil mencapai tujuan misinya. Peperangan masih terjadi, pembunuhan warga sipil dan pembakaran desa-desa tak terhenti, serta belum ada kesepakatan final antara pihak-pihak yang bertikai karena kesepakatan-kesepatan yang pernah dibuat selalu dilanggar.

Mengenai berbagai kegagagalan AMIS dalam misinya, di antaranya karena mandat yang diberikan kepada AMIS sangatlah terbatas dan tidak mendukung upaya menyeluruh bagi pemulihan situasi kemanan di Darfur. Menurut Seth Appiah-Mensah, keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika pada 20 Oktober 2004 untuk memperluas mandat AMIS dibuat berdasarkan asumsi bahwa pemerintah Sudan akan memikul tanggung jawab utama dalam memberikan perlindungan dan keamanan kepada penduduk sipil Darfur serta memimpin pelaksanaan perjanjian HCFA. (Mensah, 2005: 8) Namun sayangnya, pemerintah Sudan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut sehingga kekerasan terhadap penduduk sipil mesaih sering terjadi.

Disamping keterbatasan mandat, AMIS tidak memiliki aturan perang yang jelas. Personel AMIS ditekankan untuk lebih mengutamakan penggunaan non-deadly force daripada deadly face ketika berhadapan dengan kelompok pemberontak Darfur maupun milisi Janjaweed. Penggunaan deadly force hanya

diperbolehkan untuk mempertahankan diri. Pasukan AMIS juga hanya bertanggung jawab untuk melindungi pengamat militer Uni Afrika dalam melaksanakan tugas beserta peralatan-peralatan Uni Afrika di Darfur. Sedangkan perlindungan terhadap penduduk sipil tidak dimandatkan secara spesifik. Kendala tersebut akhirnya tidak dapat mencegah berbagai pelanggaran terhadap kesepakatan yang semestinya berjalan.

Kendala terakhir Operasi Uni Afrika di Darfur, dan yang paling menentukan hingga akhir 2007, adalah peralatan dan logistik yang tidak memadai. Hal ini tentunya tidak lepas dari terbatasnya dana operasional Uni Afrika di Darfur. Jumlah peralatan-peralatan yang mendukung operasi militer seperti telepon satelit, kendaraan maupun perlengkapan kantor yang dimiliki AMIS sangatlah terbatas. Bahkan di akhir-akhir misi, para personil tidak mendapatkan gaji yang menjadi hak mereka. Pada bulan Mei 2007, Uni Afrika menyatakan bahwa AMIS telah berada pada titik keruntuhannya. Dalam bulan-bulan sebelumnya, tujuh personil pasukan penjaga perdamaian tewas, ditambah lagi kekurangan dana yang menyebabkan gaji prajurit tak dibayar selama beberapa bulan.

xii Afrika. Bandung : Angkasa Bandung.

Alex J. Bellamy. 2005. “Responsibility to Protect of Tojan House? The Crisis in Darfur and Humanitarian Intervention After Iraq”. Ethnic and Internastional Relations, vol. 5. United States:Blackwell Pulishing.

Barbara Harff dan Ted Robert Gurr. 2004. Ethnic Conflict in World Politics. Washington:Westview Press.

Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations. New York: Oxford Unversity Press.

Bennet, A. Lerroy. 1979. International Organization. New Jersey : Prentice Hall Inc.

Badescu & Bergholm, The African Union, dalam Black, David & Williams, 2010. The International Politics Of Mass Atrocities:The Case Of Darfur. New York:Routledge.

Bowet, DW. 1970. The Law of International Institution. 2nd ed , London:Butterworth.

Cockett, Richard. 2010. Sudan:Darfur and The Failure Of an African State. Yale:Yale University Press.

Cresswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California:Sage Publications.

D.W. Ziegler. 1984. War Peace and International Politics. Boston:Little Brown and Company.

Edmon J. Keller, Rethinking African Regional Security dalam David Lake dan Patrick Morgan, 1997. Regional Order : Building Security In A New World. Pensylvania:The Pensylvanian State University Press.

Evans, Gareth. “The Responsibility to Protect”, ( Washington, D.C: Brookings Institution Press, 2008)

Holsti, K.J. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Teoritis. Bandung: Binacipta.

xiii

Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhous. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial dan Ras. Jakarta : Rajawali Pers.

John Burton 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York : St. Martin’s Press Inc.

Kusumohamidjojo, Budiono. 1987. Hubungan Internasional : Kerangka Studi Analisis. Bandung:Binacipta.

Mauna Afrikana, Boer. 2005. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni:Bandung.

Mamdani, Mahmood. 2009. Saviours And Survivors "Darfur, Politics And

The War On Terror”, Cape Town:HSRC Press.

Mas’oed, Mohtar & Colin Mcandrews. 1978. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif (Edisis Revisi). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Pruiner, Gerard. 2005. Darfur:The Ambigious Genocide. London : C.Hurst & Co.

Rahman, Agus R. 2000. “Budaya Politik Islam : Studi Khasus Sudan”

dalam Syamsur Dam, Perkembangan Sejarah dan Budaya Politik Afrika, Jakarta: PPW-LIPI.

Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse and Hugh Miall. 2005. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflict. Second Edition. Cambrige:Polity Press.

Situmorang dalam Andre Pareira (ed). 1999. Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Bandung:Citra Aditya Bakti

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Keempat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wallesnten, Peter. 2002. Undestranding Conflict Resolution : War, Peace, And The Global System. London : SAGE Publication Ltd.

xiv

Cilliers, Jakkie and Kathryn Sturman. The Right Intervention ; Enforcement Challenges for The African Union. Vol. 11 no 3 2002. African Security Review.

Collins, Robert O. Disaster in Darfur. terdapat pada http://journals.hil.unb.ca/index.php/JCS/article/view/4511 diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

“Genoside di Jantung Afrika”, Gatra, No. 33, Tahun X, 3 Juli 2004

E. Brow, Michael “Ethnic and International Conflict: Causes and

Implications,” dalam The Challenges of Managing International Conflict

(Chester a Crocker) (Washington DC: United States of Peace Press, 2001)

Human Right Watch. Sudan Darfur in Flames: Atrocities in Western Sudan. Vol. 16 no. 5 April 2004.

Human Right Watch. Imperative for Immediate Change The African Union Mission in Sudan. Vol. 18 no. 1 (A) 2006.

Katsfur, Nelson. Sudan’s Darfur : Is It Genoside ?. Current History, Mei 2005.

Lynch, Colum. African Union Force Low on Money, Supplies and Morale," Washington Post 13 Mei 2007 http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/05/12/AR2007051201567.html?hpid=moreheadlines

Legum, Collin. “The Crisis Over Chad : Colonel Gaddafy’s Sahelian

Dream”, dalam Colin Legum (ed), Africa Contemporary Record, vol. 13. 2002

Martin, Guy. Conflict Resolution in Africa 2006 Dec Vol. 4 No. 2 - Africa Peace and Conflict Journal.

Mathew, K. Is Afro-Pessimis on The Wane? Prospect for Africa in The