• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952)"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA

TIMUR (1917-1952)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA :SEPNO SEMSA

NIM : 100706030

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA

TIMUR (1917-1952)

Yang diajukan oleh: Nama : Sepno Semsa

NIM: 100706030

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian seminar proposal oleh:

Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum

NIP. 195707161985031003 tanggal,

Ketua Departemen Sejarah,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001 tanggal,

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERGERAKAN DOKTER TENGKU MANSOER DI SUMATERA TIMUR

(1917-1952)

Skripsi Sarjana

DIKERJAKAN

O

L

E

H

SEPNO SEMSA

100706030

Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP. 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui Oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN :

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (……….………)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)

3. Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum (……….…)

4. Drs. Sentosa Tarigan, M.SP (……….)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua

pertolongan yang diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu

merampungkan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua

pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini. Skripsi ini

ditulis sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan perkuliahan sekaligus

untuk meraih gelar kesarjanaan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah Pergerakan Dokter Mansoer di

Sumatera Timur (1917-1952). Tulisan ini mengulas pergerakan dr. Mansoer dimulai

dari tahun 1917 hingga 1952. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Masih diperlukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam agar sejarah

perkembangan pergerakan dr. Mansoer Sumatera Timur dapat dihimpun secara

komprehensif. Penulis sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran dari

pembaca untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi

pembaca.

Penulis

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulis mengalami

banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak

sehingga penulis mampu menghadapi kendala-kendala. Skripsi ini tidak akan dapat

selesai tanpa dukungan dan motifasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis

menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Jawilson Sitorus dan Ibu Manggindar

Sibarani. Mereka berdua dengan penuh kasih membesarkan, mendidik serta

selalu mendoakan penulis sehingga memungkinkan penulis mendapatkan

kesempatan untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Abang penulis Herianto dan adik-adik penulis Gerpasius, Siti Moyana, dan

Fernandus atas dukungan kalian kepada penulis.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, dan Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku

Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan saran kepada

penulis.

5. Ibu Dra. Nurhamidah, M.A dan Dra. Sri Pangestri Dewi Murni, M.A selaku

dosen wali penulis.

6. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum selaku pembimbing yang penuh perhatian

dan kesabaran serta tidak henti-hentinya memberikan dorongan dan bimbingan

kepada penulis, meluangkan waktu berharganya untuk mengoreksi serta

(8)

Meskipun demikian, begitu banyak rintangan dan tantangan yang silih berganti

yang mewarnai perjuangan penulis dalam merampungkan skripsi ini.

Akhirnya, dengan bimbingan pembimbing dan kasih-Nya, skripsi ini dapat

diselesaikan.

7. Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah mendidik penulis

selama menjadi mahasiswa.

8. Bang Amperawira yang telah memberikan pelayanan administrasi di

Departemen Sejarah USU.

9. Tengku Mansoer Adil Mansoer yang telah menyumbangkan

kepingan-kepingan sejarah kepada penulis. Terimakasih untuk keterbukaan informasinya

kepada penulis.

10.Wan Ulfa Nur Zuhra yang awalnya meyakinkan penulis bahwa tema yang

penulis angkat ini menarik.

11.Penulis pribumi maupun asing yang buku-bukunya dapat dijadikan referensi

dalam penyusunan skripsi ini. Secara khusus terimakasih dihaturkan kepada

Luckman Sinar, Anthony Reid, Karl J Pelzer, Suprayitno, Mahadi, Edi

Sumarno, Muhammad TWH, Osman Raliby, dan lain-lain.

12.Ucok Haleluya Sidebang, seseorang yang dari kejauhan selalu menyemangati

penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Terimakasih untuk semua kebersamaan

ini.

13.Saudara-saudaraku angkatan 2010 terkhusus kepada Ira Sela Tarigan,

Resmaulina Sipayung, Novita Butar-butar, Rina Hutabarat, Helma Melati, Ayu

(9)

Suherianto, Suharyana, Diaz Sembiring, Fahri Wahid. Khusus untuk kakak

senior Olive Manik, penulis ucapkan terimakasih. Penulis juga tak lupa

mengucapkan terimakasih kepada adik junior penulis yang juga turut mewarnai

hari-hari penulis di kampus diantaranya, Veronica Natalia, Natalia Sitorus,

Rani Sitorus, Roy Harianto Sitorus, Nelvida Panjaitan, dan lain-lain.

14.“Kost 64” terkhusus untuk Debora Blandina Sinambela, Dolse Sihombing,

Phila Bangun, Bunga Sona Simarmata, Novi Simarmata, dan Cece Yustiti Sari.

Terimakasih untuk motivasi, arahan, dan tawa yang selalu kalian berikan.

15.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang

tertarik pada pergerakan dr. Mansoer di Sumatera Timur.

Medan, Juli 2014

Penulis

(10)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Dalam perjalanan karirnya, dr. Mansoer merupakan orang yang cenderung kepada garis perjuangan nasional (republiken), namun bergeser pada aliran kaum federalis. dr. Mansoer merupakan salah satu tokoh asal Sumatera Timur yang berpengaruh dalam pengembangan maupun kemajuan Sumatera Timur dan juga Indonesia.

Skripsi ini ingin menunjukkan bagaimana perkembangan atau pergeseran sikap dr. Mansoer setelah terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur. Kiprah dr. Mansoer di Sumatera Timur dimulai dari pendirian Jong Sumatera Bond, ikut ambil bagian dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI), turut membangun Persatuan Sumatera Timur (PST), menjadi Wali Negara Sumatera Timur, dan yang terakhir sepak terjangnya dalam pendirian Universitas Sumatera Utara (USU).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial dan untuk menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup beberapa tahapan yaitu, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pergeseran sikap dr. Mansoer yang cenderung pada garis republiken menjadi federalis disebabkan adanya revolusi sosial pada Maret 1946.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR……….…..i

UCAPAN TERIMAKASIH………....ii

ABSTRAK………...v

DAFTAR ISI……….vi

DAFTAR TABEL………...vii

DAFTAR SINGKATAN………..ix

DAFTAR LAMPIRAN………....xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Rumusan Masalah.………8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9

1.4 Tinjauan Pustaka………...10

1.5 Metode Penelitian………...12

BAB II GAMBARAN UMUM KERESIDENAN SUMATERA TIMUR 2.1 Gambaran Wilayah Sumatera Timur………..15

2.2 Kependudukan di Sumatera Timur……….17

2.3 Pendidikan di Sumatera Timur………...27

BAB III EKSISTENSI SUMATERA TIMUR 3.1 Proklamasi di Sumatera Timur September 1945………30

(12)

3.3 Perkembangan Politik di Sumatera Timur Setelah Revolusi

Sosial………..55

3.4 Terbentuknya Negara Sumatera Timur (29 Januari 1948)……….52

3.5 Bersatunya Negara Sumatera Timur Dalam NKRI (Agustus 1950)……….54

BAB IV DR TENGKU MANSOER DAN PERGERAKANNYA DI SUMATERA TIMUR (1917-1952) 4.1 Sekilas Tentang dr.Tengku Mansoer……….62

4.2 Pergerakan dr Tengku Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952) 4.2.1 Bidang Organisasi……….68

4.2.2 Pemerintahan……….…...79

4.2.3 Pendidikan ………..117

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………123

5.2 Saran………..125

DAFTAR PUSTAKA………127

DAFTAR INFORMAN……….………131

(13)

DAFTAR TABEL

1. Pembagian Suku-Suku di Sumatera Timur Tahun 1930………..18

2. Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Onderneming Dan Persentase Terhadap Jumlah Penduduk Seluruhnya di Tahun 1930………...20

3. Penduduk Sumatera Timur Menurut Sensus 1930 Dan Data Jepang Sampai 10 Maret 1943………...21

4. Penduduk Sumatera Timur Dari Golongan-Golongan Suku Besar………...21

5. Komposisi Shu Sangi Kai Sumatera Timur Tahun 1943-1944………...78

(14)

DAFTAR SINGKATAN

ATR : Aksi Tuntutan Rakyat.

BPI : Barisan Pemuda Indonesia.

BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

BU : Budi Utomo.

DIST : Daerah Istimewa Sumatera Timur.

DSM : Deli Spoorweg Maatschappij.

Gerindo : Gerakan Rakyat Indonesia.

HIS : Hollandsch Inlandsche School.

HBS : Hogere Burger School.

KNI : Komite Nasional Indonesia.

KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah.

KRST : Kongres Rakyat Sumatera Timur.

MULO : Meer Uitegebreid Lager Onderwijs.

N.I.A.S. : Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda.

NIT : Negara Indonesia Timur.

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia.

NRI : Negara Republik Indonesia.

NST : Negara Sumatera Timur.

Parindra : Partai Indonesia Raya.

(15)

Pesindo : Pemuda Sosialis Indonesia.

PI : Perhimpoenan Indonesia.

PIR : Partai Indonesia Raya

PKI : Partai Komunis Indonesia.

PNST : Partai Negara Sumatera Timur.

PPKI : Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

PRSST : Permusyawaratan Rakyat se-Sumatera Timur

PST : Persatoean Soematera Timoer.

P4SU : Panitia Penyelenggara Pembentukan Propinsi Suamtera Utara.

RIS : Republik Indonesia Serikat.

SI : Serikat Islam.

SS : Siap Sedia.

STOVIA : School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Dokter Pribumi.

TNI : Tentara Nasional Indonesia.

UU : Undang-Undang.

UUD : Undang-Undang Dasar.

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kunjungan Presiden Negara India Sri Pandit Nehru ke Negara Sumatera Timur di Kota Medan pada 1949.

2. dr. Mansoer menyampaikan pidato “kenegaraan”nya.

3. dr. Mansoer menyampaikan pidatonya dihadapan anggota “Dewan Perwakilan” dan undangan.

4. Setelah mengesahkan berdirinya NST pada 8 Oktober 1947, van Mook, Prof. Husein Jayadiningrat dan dr. Mansoer berbindang-bincang di luar gedung. 5. Upacara pemakaman tentara-tentara di Taman Makam Pahlawan, kelihatan dr.

Tengku Mansoer (wali negara Negara Sumatera Timur) sedang menyampaikan pidatonya dan bendera Inggris, Belanda, dan Sumatera Timur dikibarkan setengah tiang.

6. Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook adalah Mayor Jenderal Scholten kiri, dan dr. Mansoer di sebelah kanan karangan bunga di Bidang Kehormatan Sumatera Utara selama seminggu perayaan di Medan, di hadapan Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook dan dr. Mansoer.

7. Lambang Negara Sumatera Timur

8. dr. Mansoer menghadiri resepsi perayaan pembukaan Konferensi Federal di Bandung.

9. Pidato Wali-Negara Soematera Timoer. 10. Jajasan Universitas Sumatera Utara.

11. Pidato Gubernur Sumatera di depan para sultan dan radja-radja Sumatera-Timur pada tanggal 3 Febuari 1946.

(17)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pergerakan Dokter Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952). Dalam perjalanan karirnya, dr. Mansoer merupakan orang yang cenderung kepada garis perjuangan nasional (republiken), namun bergeser pada aliran kaum federalis. dr. Mansoer merupakan salah satu tokoh asal Sumatera Timur yang berpengaruh dalam pengembangan maupun kemajuan Sumatera Timur dan juga Indonesia.

Skripsi ini ingin menunjukkan bagaimana perkembangan atau pergeseran sikap dr. Mansoer setelah terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur. Kiprah dr. Mansoer di Sumatera Timur dimulai dari pendirian Jong Sumatera Bond, ikut ambil bagian dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI), turut membangun Persatuan Sumatera Timur (PST), menjadi Wali Negara Sumatera Timur, dan yang terakhir sepak terjangnya dalam pendirian Universitas Sumatera Utara (USU).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi sosial dan untuk menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup beberapa tahapan yaitu, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pergeseran sikap dr. Mansoer yang cenderung pada garis republiken menjadi federalis disebabkan adanya revolusi sosial pada Maret 1946.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Sumatera Timur merupakan daerah yang penduduknya terdiri dari beberapa

suku diantaranya suku Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun yang mata

pencaharian utamanya adalah petani.1 Di daerah Sumatera Timur terdapat beberapa

kerajaan yaitu Kerajaan Melayu, Deli, Serdang, Asahan, Langkat, Bilah, Panai, Kota

Pinang, Inderapura, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, Suku Dua, Pelalawan,

Bedagai, Padang, dan Kerajaan Rokan, Tambusai, Kepenuhan, Rambah, Kuntur Dar

Es Salam dan Senggigi, dan Lima Urung, Sinembah, Sunggal, Percut, dan Hamparan

Perak.2

Sumatera Timur telah melahirkan banyak tokoh yang dahulunya memegang

peranan penting dalam perkembangannya hingga menjadi seperti saat sekarang ini.

Tokoh-tokoh tersebut melakukan pergerakan tidak hanya di kawasan Sumatera

Timur, bahkan sampai skala nasional. Salah satu tokoh yang dimaksudkan dalam

tulisan ini adalah dr. Tengku3 Mansoer atau lebih dikenal dengan nama dr. Mansoer.

dr. Mansoer (1897-1955) merupakan putera dari pasangan Tengku

Mohammad Adil dan Raden Ayu Sariah. Beliau adalah salah satu putera dari Sultan

1 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat, Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal.87.

2 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia; Dari Federalisme ke Unitarisme; Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hal. 18.

(19)

Asahan.4 Sebagai putera sultan, beliau mendapat kemudahan dalam akses pendidikan.

dr. Mansoer mengawali sekolahnya di Batavia dan setelah menyelesaikan sekolah

tingkat menengahnya, kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di bidang ilmu

kedokteran yang pada masa itu dikenal dengan nama STOVIA.5

Pada masa pendidikan di STOVIA tersebut, dr. Mansoer mulai berkecimpung

dalam dunia organisasi pergerakan. Ia mulai mengikuti beberapa organisasi

diantaranya Budi Utomo dan Serikat Islam. dr. Mansoer juga menjadi pendiri dan

ketua yang pertama dari perkumpulan Jong Sumatera Bond (1917-1919) di Jakarta.6

Organisasi tersebut muncul sebagai wujud kesadaran di kalangan pelajar-pelajar di

Jakarta yang berasal dari Sumatera akan pentingnya organisasi. Kiprahnya di Jong

Sumatera Bond membuat dr. Mansoer menjadi seorang tokoh asal Sumatera Timur

yang berpengaruh dalam proses menuju kemerdekaan Republik Indonesia.

Hal ini diperkuat dengan usaha dr. Mansoer dalam menyatukan semua

pemuda yang berasal dari Sumatera Timur yang diwujudnyatakan dalam sebuah

organisasi yang bernama Jong Sumatera Bond. Dimana seperti yang kita ketahui,

Jong Sumatera Bond merupakan salah satu organisasi yang ikut menggagas

tercetusnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

4 Hasil wawancara dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu dr. Tengku Mansoer tanggal 26 Januari 2014.

5 STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Pribumi bermula dari Sekolah Dokter Djawa yang telah ditingkatkan statusnya. Pemerintah kolonial juga menerapkan syarat calon siswa STOVIA adalah lulusan Sekolah Dasar Eropa dan juga memahami pengetahuan bahasa Belanda. Lulusan STOVIA diberi gelar Inlandsche-Arts yang dapat digunakan untuk memasuki sekolah dokter di negeri Belanda untuk mendapatkan gelar dokter Eropa setelah menyelesaikan pendidikannya selama satu setengah tahun.

(20)

Setelah menyelesaikan studinya di STOVIA sebagai ahli bedah dr. Mansoer

kemudian menjadi asisten dari beberapa orang dokter bedah dan kemudian menjadi

asisten guru di Sekolah NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), Sekolah

Kedokteran Hindia Belanda7 di Surabaya. Beberapa waktu kemudian, dr. Mansoer

melanjutkan pendidikan kedokteran bedah ke Kota Leiden pada tahun 1923 dan

sewaktu mengikuti studi, ia juga menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia, gabungan

mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Setelah menamatkan studinya sebagai dokter bedah, pada tahun 1928 dr.

Mansoer beserta istinya Amalia Gesina Wempe, wanita berkebangsaan Belanda,

kembali ke Tanjung Balai. Setelah beberapa waktu di Tanjung Balai, ia menjadi

dokter di Medan. Selain menjadi dokter dan bekas aktivis, pada tahun 1938 dr.

Mansoer tertarik untuk mendirikan organisasi yang bernama Persatoean Soematera

Timoer (PST) di Kota Medan, sebuah organisasi yang sifatnya etnosentris yang

bertujuan untuk memperhatikan nasib dan kondisi sosial penduduk asli Sumatera

Timur serta untuk melawan dominasi para pendatang di daerah Sumatera Timur.

Organisasi ini dinilai cooperatif terhadap pemerintah Kolonial Belanda sehingga

organisasi tersebut berkembang pesat sampai kedatangan pasukan-pasukan bala

tentara Jepang ke Sumatera Timur. Adapun etnis yang tergabung dalam organisasi ini

adalah Melayu, Simalungun, dan Karo, sedangkan etnis lain tidak dapat masuk ke

dalam organisasi ini.

(21)

Selain aktif dalam kegiatan organisasi dan politik, dr. Mansoer juga dikenal

oleh masyarakat sebagai dokter yang berjiwa sosial tinggi dan ilmunya kerap kali

digunakan untuk menolong orang-orang pribumi yang miskin tanpa dipungut biaya.

Di kalangan masyarakat “deliaan” (orang-orang asing yang tinggal di Deli) ia juga

dikenal dan sangat dihormati.8

Ketika Jepang mulai kalah, atas permohonan kaum nasionalis Indonesia,

Jepang mengangkat dr. Mansoer untuk tugas di Dewan Kesehatan Jepang di Kota

Medan. Walaupun tidak setuju ia harus ikut dan pekerjaanya adalah menerbitkan

buku-buku kecil tentang kesehatan untuk masyarakat.

Delapan bulan setelah Proklamasi, tepatnya 3 Maret 1946 meletus revolusi

sosial di Sumatera Timur yang banyak menelan keluarga sultan-sultan maupun

raja-raja termasuk keluarga dr. Mansoer. Bangsawan-bangsawan Melayu banyak dibunuh

dan ditawan. Sebenarnya, sebelum peristiwa revolusi sosial tersebut terjadi,

Kesultanan Deli telah memberitahu kepada keluarga Kesultanan Asahan agar segera

mengasingkan diri ke Kota Medan karena sudah beredar kabar bahwa akan ada

semacam gerakan revolusi. Namun, pihak Kesultanan Asahan tidak menanggapi dan

mengabaikan permintaan tersebut karena situasi di Kota Tanjung Balai biasa-biasa

saja.9 Di Asahan semua anak laki-laki dari masyarakat Melayu yang berumur 15

tahun keatas dengan tidak memperhatikan apakah dia keluarga Sultan ataupun orang

(22)

biasa, asal dia memakai gelar Tengku didepan namanya, semuanya dibunuh oleh

pelaku revolusi sosial.10 Karena peristiwa revolusi sosial ini, dr. Mansoer menolak

hubungan dengan kaum republiken.

Sebelum revolusi sosial meletus, seorang polisi memberitahu tentang rencana

revolusi itu akan meletus. Untuk itu, beliau bersama dengan keluarganya dapat lari

dan berlindung ke British English camp di kawasan Polonia. Disana ia melakukan

kontak dan berhubungan dengan kaum Republiken yang tidak setuju dengan revolusi

sosial tersebut. Kecewa dan marah terhadap kaum Republiken yang tidak berhasil

mencegah revolusi sosial, maka setelah agresi Belanda I (aktie politionele) Juli 1947

dr. Mansoer memulai sebuah gerakan dengan tujuan untuk membangkitkan kembali

Sumatra Timur dengan cara menjadikannya sebagai sebuah Daerah Istimewa.11 Hal

itu didasari oleh perjanjian Linggarjati antara pemimpin-pemimpin RI dengan

Belanda, yang mana dalam perjanjian tersebut diputuskan bahwa Belanda

memberikan pengakuan secara de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Jawa,

Madura, dan Sumatera.12

Pada 2 Oktober 1947, Letnan Gubernur Jenderal H.J Van Mook mengadakan

pertemuan Komite DIST. Dalam pertemuan itu, diambil kesimpulan sementara,

bahwa tidak dikehendaki dipulihkannya kembali swapraja (kerajaan-kerajaan) bumi

putera di Sumatera Timur. Berdasarkan staatsblad No. 176 tahun 1947 jo Stbld. No.

10 Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie Publicatie Pandji ra’jat, 2 September 1947 (Akibat Revolusi Sosial di Soematera Timoer 34 Orang Familie Sultanaat Langkat Diboenoeh).

(23)

217 tahun 1947, DIST diubah menjadi Dewan Sementara Sumatera Timur. Pada

tanggal 15-17 November 1947, Dewan Sementara Sumatera Timur mengadakan

sidang mengenai statuen dan memilih dr. Mansoer sebagai Wali Negara Sumatera

Timur dan Raja Kalimsyah Sinaga sebagai Wakil Wali Negara. Dengan staatsblad

No.14 tahun 1948 terbentuklah Negara Sumatera Timur.13

Tanggal 27 Januari 1948, diumumkan peraturan susunan tata Negara

Sumatera Timur. Dua hari berikutnya, tepatnya tanggal 29 Januari 1948, NST

diproklamasikan secara resmi dalam sebuah upacara resmi dalam sebuah upacara di

Kota Medan. Dalam upacara itu dilakukan pengambilan sumpah terhadap wali

Negara Sumatera Timur. Turut hadir dalam upacara tersebut Jenderal H. J Van Mook

mewakili pemerintah Belanda.14

Dalam kasus pembentukan Negara Sumatera Timur (NST), faktor revolusi

sosial tampaknya begitu dominan dalam mendorong lahirnya NST.15 Pembentukan

NST mendapat keceman pedas dari pemerintah republik. Republik memandang para

pemimpin negara federal sebagai boneka Belanda. Dari sindiran inilah kemudian

dikenal dengan sebutan negara boneka untuk semua negara bagian pemerintah

Federal Sementara Indonesia. Tokoh-tokoh Republik juga memandang semua pejabat

13 T. Luckman Sinar, Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Medan: Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang 1986/1897, Tanpa tahun terbit, hal. 312.

14 Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara, Medan: 1995, hal. 93

(24)

pemerintah NST sebagai pengkhianat Republik yang hanya mencari keuntungan

sendiri.

Selain dikenal sebagai tokoh pendiri NST, dr. Mansoer juga dikenal sebagai

salah satu tokoh yang mendukung kemajuan pendidikan di Sumatera Timur. Hal ini

ditunjukkan dengan sepak terjangnya dalam upaya mendirikan lembaga pendidikan

tinggi di Sumatera Timur dengan harapan untuk memperbaiki dan memajukan taraf

pendidikan masyarakat di Sumatera Timur. Hal ini dapat dilihat dari kegigihan dr.

Mansoer untuk mengajukan usulan pendirian perguruan tinggi di Sumatera Timur

kepada pihak penguasa. Setelah mengalami beberapa kali penolakan16, akhirnya

perguruan tinggi tersebut berhasil didirikan pada tahun 1952 dengan nama

Universitas Sumatera Utara yang telah menghasilkan ribuan sarjana.

Oleh karena jasa-jasanya bagi masyarakat Sumatera Utara, namanya

kemudian diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan di Kota Medan, yaitu jalan

dr. Mansoer. Jalan dr. Mansoer menjadi nama salah satu ruas jalan di kawasan

Universitas Sumatera Utara. Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa dr.

Mansoer. Pandangan yang beragam mengenai dr. Mansoer juga cukup menarik untuk

dikaji lebih dalam. Ada yang beranggapan bahwa dr. Mansoer adalah “pengkhianat”

karena telah mendirikan negara dalam negara. Namun, di sisi lain, dr. Mansoer juga

dianggap salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan

Sumatera Timur.

(25)

Berdasarkan hal yang disebutkan diatas, dr. Mansoer merupakan seorang

tokoh yang berpengaruh dalam mendirikan Negara Sumatera Timur dan memajukan

Indonesia. Adapun alasan lain adalah banyak orang yang beranggapan dr. Mansoer

bukan seorang repubiliken, karena berpihak pada pemerintah kolonial Belanda.

Atas dasar pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk mengulas perjuangan

dan pergerakan dr. Mansoer dengan merangkumnya kedalam sebuah skripsi yang

berjudul Pergerakan Dokter Tengku Mansoer di Sumatera Timur (1917-1952).

Alasan pembatasan periodesasi penelitian ini dari tahun 1917-1952, dikarenakan pada

tahun 1917 adalah awal pergerakan dari dr. Mansoer dengan mendirikan Jong

Sumatera sebagaimana yang telah disebutkan diatas memiliki pengaruh penting

dalam kemerdekaan Indonesia. Sedangkan tahun 1952 akan dijadikan sebagai batas

akhir penelitian, guna melihat sejauh mana peranan dr. Mansoer dalam memajukan

dan meningkatkan pendidikan masyarakat di Sumatera Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam sebuah penulisan karya ilmiah, dibutuhkan sebuah rumusan masalah, hal

ini dimaksudkan agar penulisan yang dilakukan menjadi lebih terarah dan tepat

sasaran sesuai dengan objek yang telah ditentukan. Sesuai dengan latar belakang

diatas, maka ditentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi

(26)

2. Bagaimana perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam mempertahankan

eksistensi Keresidenan Sumatera Timur?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian tentunya memiliki tujuan dan manfaat dari penelitian yang

dilakukan. Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang sudah

terlebih dahulu dirumuskan kedalam sebuah rumusan masalah. Dengan demikian

penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan kondisi Sumatera Timur sebelum dan setelah terjadi revolusi

sosial.

2. Menjelaskan perjuangan dan pergerakan dr. Mansoer dalam dalam

mempertahankan eksistensi Keresidenan Sumatera Timur .

Selanjutnya, adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah pembendaharaan referensi khazanah penelitian sejarah lokal

Sumatera Timur.

2. Menambah referensi masyarakat akan tokoh yang pernah berjuang untuk

kemajuan Sumatera Timur.

3. Memberikan masukan atau sumbangan dalam bentuk data yang dapat digunakan

untuk kajian-kajian atau penelitian yang berkaitan dengan Sumatera Timur.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan karya ilmiah memerlukan pembahasan dari berbagai disiplin

(27)

penulis memakai beberapa buku dari disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan

permasalahan.

Adapun buku yang dipakai dalam penulisan proposal skripsi ini adalah buku

karya Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia; Dari Federalisme ke

Unitarisme: Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950. Buku ini mengulas

situasi politik di Sumatera Timur hingga lahirnya Negara Sumatera Timur. Bukan

hanya itu, buku ini juga mengulas dinamika pemerintahan Negara Sumatera Timur

hingga hancurnya Negara Sumatera Timur. Negara Sumatera Timur sempat dipimpin

oleh seorang wali negara Sumatera Timur yaitu dr. Mansoer. Selain itu, dibahas juga

kebijakan pemerintah NST, seperti dibidang politik, ekonomi, sosial, dan juga

pendidikan.

Karl J. Pelzer dalam buku Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947 (1985), menggambarkan kondisi

wilayah Sumatera Timur secara umum. Selain itu, data-data mengenai kependudukan

di Sumatera Timur juga dijelaskan.

Anthony J. S. Reid dalam buku Perjuangan Rakyat Revolusi Dan Hancurnya

Kerajaan di Sumatera menceritakan gambaran wilayah ataupun kependudukan

Sumatera Timur termasuk mengenai revolusi sosial yang pernah terjadi di Sumatera

Timur. Selain itu, buku ini juga menceritakan bagaimana kondisi Sumatera Timur

hingga munculnya PST (Persatuan Sumatera Timur) pada April 1938, sebuah

(28)

menceritakan mengenai Shu Sangi Kai, sebuah dewan penasihat provinsi yang ada di

Sumatera Timur ketika masa pendudukan Jepang. Hal ini dipaparkan secara umum

dan menyeluruh.

Anthony J. S. Reid dalam buku Revolusi Nasional Indonesia mengulas

tentang berbagai peristiwa seputar revolusi, termasuk revolusi yang terjadi di

Sumatera Timur yang merupakan revolusi terbesar di Indonesia. Revolusi merupakan

salah satu penyebab munculnya NST yang sempat di pimpin oleh dr. Mansoer.

Edi Sumarno dkk. dalam buku 60 tahun Universitas Sumatera Utara (20

Agustus 1952-20 Agustus 2012) menceritakan bagaimana sepak terjang dr. Mansoer

dalam upaya mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Sumatera Timur dengan

harapan dapat memperbaiki taraf pendidikan masyarakat Sumatera Timur.

Tengku Lukman Sinar dalam buku Revolusi Sosial 1946 dan Runtuhnya

Kerajaan Melayu di Sumatera Timur juga menceritakan secara rinci bagaimana

terjadinya revolusi sosial 3 Maret 1946, gambaran revolusi setiap daerah di Sumatera

Timur, serta bagaimana perkembangan politik di Sumatera Timur setelah revolusi,

pembentukan NST, hingga bersatunya NST kedalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

T. Luckman Sinar dalam buku Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II

Deli Serdang menceritakan bagaimana kinerja dari dr. Mansoer dalam menjalankan

(29)

T. Luckman Sinar dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di

Sumatera Timur juga menceritakan bagaimana kepemimpinan dr. Mansoer dalam

memimpin Negara Sumatera Timur. Selain itu, buku ini juga menceritakan

bagaimana terbentuknya NST dan bersatunya kedalam Negara Kesatuan Republi8k

Indonesia (NKRI).

Tengku Ferry Bustamam dalam Bunga Rampai Kesultanan Asahan

menggambarkan bagaimana kondisi revolusi sosial 3 Maret 1946, termasuk revolusi

sosial yang terjadi di Asahan.

A. R. Surbakti dalam bukunya yang berjudul Perang Kemerdekaan II di

Tanah Karo; Karo Jahe menuliskan secara jelas bagaimana demonstrasi-demonstrasi

yang terjadi di Sumatera Timur yang menuntut bergabungnya Negara Sumatera

Timur ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam mencari data melalui literatur, penulis sedikit mengalami kesulitan

karena buku yang tersedia mengenai dr. Mansoer masih terbatas, namun penulis

berusaha untuk mendapatkannya melalui wawancara kepada informan yang

berkompenten dalam hal ini.

1.5 Metode Penelitian

Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menganalisis serta

mengungkapkan kembali fakta-fakta masa lampau. Sejumlah sistematika penulisan

(30)

rekonstruksi kejadian pada masa lampau. Adapun prosedural dalam pengumpulan

data penelitian ini tidak terlepas dari empat tahapan penelitian yaitu heuristik

(pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi

(penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). 17

a. Heuristik

Heuristik merupakan tahapan awal dalam metode sejarah untuk mencari dan

menemukan sumber yang diperlukan. Pada tahapan ini peneliti akan mencari

data-data melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan

(library research). Pada studi lapangan (field research) nantinya peneliti akan lebih

menekankan pada metode wawancara. Hal ini dapat dilakukan karena masih

terdapatnya informan yang memahami bagaimana sosok dr. Mansoer ini sendiri.

Beliau adalah Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu dari dr. Mansoer. Untuk studi

lapangan (library research) peneliti berkeyakinan tidak terkendala karena beberapa

sumber yang dapat dijadikan informasi antara lain dokumen-dokumen yang masih

disimpan oleh informan. Sedangkan untuk buku-buku penunjang penelitian dapat

ditemukan di Perpustakaan Tengku Lukman Sinar, Arsip Nasional Indonesia,

Perpustakaan USU, ataupun di Perpustakaan Daerah di Kota Medan.

b. Verifikasi

Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahapan kedua dalam penelitian

sejarah. Pada tahapan kedua ini, peneliti harus menyeleksi sumber atau bahan yang

(31)

dikumpulkan, sehingga akan dihasilkan suatu nilai kebenaran dan keaslian sumber.

Dengan kata lain sumber atau data-data akan objektif.

Dalam tahap ini, sumber-sumber yang telah dikumpulkan akan melalui proses

kritik internal, data-data yang di dapat baik dari sumber lisan maupun tulisan akan

diklasifikasikan menjadi sumber primer atau sumber sekunder. Selanjutnya sumber

primer dan sekunder melalui proses kritik eksternal, yaitu pengujian untuk

menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara narasumber. Hal ini

dilakukan demi menjaga keobjektifan suatu data.

Dengan demikian kritik intern maupun kritik ekstern merupakan bagian

penting dalam proses penelitian sumber sejarah. Sehingga dari proses penilaian

tersebut dapat diperoleh keaslian dan kebenaran terhadap sumber sejarah baik yang

berhubungan dengan isi atau materi maupun bahan yang akan digunakannya.

c. Interpretasi

Interpretasi merupakan tahapan ketiga dalam metode sejarah. Setelah fakta

untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian

dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil kritik

sumber. Dalam tahap ini, data primer dan sekunder akan dianalisis secara mendalam

untuk mendapatkan keobjektifan sumber.

d. Historiografi

Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh

rangkaian metode sejarah. Peneliti akan menuliskan hasil penelitiannya secara

sistematis, sehingga menghasilkan penulisan sejarah mengenai perjuangan dr.

(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM KERESIDENAN SUMATERA TIMUR

2.1 Gambaran Wilayah Sumatera Timur

Pada tanggal 15 Mei 1873, Sumatera Timur termasuk Siak dijadikan residen

tersendiri yang berkedudukan di Bengkalis. Sumatera Timur dibatasi oleh Aceh di

barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis di tenggara, dan Selat Malaka di timur

laut. Luas wilayah Sumatera Timur meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari

seluruh daerah Sumatra. Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di

puncak-puncak barisan bukit (yang dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga

barisan Bukit Simanuk-manuk dan dari sana berangsur-angsur menurun, menyentuh

pantai timur Danau Toba, terus ke dataran-dataran rendah dan rawa-rawa pantai

sepanjang Selat Malaka.

Sumatera Timur terletak antara Selat Malaka dan pantai timur Danau Toba

yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: dataran rendah, pegunungan, dan

dataran-dataran tinggi Karo dan Simalungun. Sumatera Timur terletak antara garis

khatulistiwa dan garis lintang utara 4° dengan iklim pantai tropik yang dalam sifat

iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “tumor

Batak” yang luas, dataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun dan Pegunungan

(33)

Sedangkan Di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun sampai rata-rata 12°C

dan berkisar antara 5,5°C dan 18°C.

Menurut klasifikasi iklim oleh Koppen, daerah-daerah Sumatera Timur

dengan ketinggian antara permukaan laut dan 1.000 meter mempunyai jenis iklim

hutan tropik, atau Af, sebaliknya pegunungan dengan ketinggian di atas 1.000 meter

mempunyai jenis iklim mesotermal yang lembab, atau Cf. Tumbuh-tumbuhan alam

Sumatera Timur terdiri dari berbagai jenis hutan, meliputi hutan pasang surut

sepanjang pantai melalui hutan rawa-rawa berair tawar, dan hutan-hutan tropik yang

selalu hijau sampai hutan-hutan pegunungan dan hutan kaki-pegunungan di

daerah-daerah pegunungan.

Perkebunan di Sumatera Timur tersebar ke pedalaman sampai ketinggian 300

meter, kecuali di Simalungun. Di Simalungun perkebunan-perkebunan teh mencapai

ketinggian 1.000 meter. Berbeda halnya dengan daerah hutan gunung di Langkat dan

Deli yang berakhir pada ketinggian 1.400 meter, sama tingginya dengan bagian utar

dataran tinggi Karo.18

Sumatera Timur merupakan daerah yang penduduknya terdiri dari beberapa

suku diantaranya suku Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun yang mata

pencaharian utamanya adalah petani.19

18 Lihat Karl Pelzer, Toean Keboen Dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 – 1947, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 31-49.

(34)

2.2 Kependudukan di Sumatera Timur

Menjelang tahun 1930, orang-orang Melayu yang merupakan suku asli dari

penduduk Sumatera Timur hanya 15 % dari seluruh penduduk. Kira-kira 88 % dari

penduduk ini terdiri dari orang Indonesia lainnya, diantaranya terdapat

orang-orang Jawa sebanyak 43%, suku Karo 9%, Simalungun 6%, dan Batak Toba 5%. Di

antara orang-orang bukan Indonesia, Cina adalah paling banyak dan merupakan tidak

kurang 10% dari seluruh penduduk. Di Kota Medan tidak kurang dari 35 %

penduduknya adalah orang Cina. Orang-orang Eropa kurang dari 1 % di Sumatera

Timur tetapi merupakan 5% dari penduduk Medan. Berikut ini merupakan tabel

pembagian suku-suku di Sumatera Timur 1930.

Tabel 1

Pembagian Suku-Suku di Sumatera Timur Tahun 1930 Suku-Suku di Sumatera Timur Banyak % Jumlah %

Eropa 11.079 0,7

Cina 192.822 11,4

India , dan lainnya 18.904 1,1

Sub total non Indonesia 222.805 13,2

Jawa 589.836 35,5

Batak 74.226 4,4

Mandailing – Angkola 59.638 3,5

Minangkabau 50.677 3,0

Sunda 44.107 2,6

Banjar 31.226 1,9

Aceh 7.759 0,5

(35)

Sub total kaum pendatang 882.189 52,3

Melayu 334.870 19,9

Batak Karo 145.429 8,6

Batak Simalungun 95.144 5,6

Lain – Lain 5.436 0,3

Sub total pribumi Sumatera Timur 580.879 34,5

Jumlah Seluruhnya 1.685.873 100,0

Sumber: Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 85.

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah suku terbanyak di Sumatera

Timur di tahun 1930 didominasi oleh suku pendatang (suku Jawa) sekitar 589.836

jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 35 % dari penduduk Sumatera Timur dan penduduk

Melayu sebagai penduduk asli hanya menempati posisi kedua setelah penduduk suku

Jawa , yaitu sekitar 334.870 jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 19,9 % dari jumlah

keseluruhan penduduk Sumatera Timur. Orang-orang Cina, dengan berbagai

penyebab, mereka sedikit sekali ambil bagian dalam kehidupan politik dan sosial

keresidenan Sumatera Timur. Berikut tabel jumlah penduduk yang tinggal di

(36)

Tabel 2

Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Onderneming Dan Persentase Terhadap Jumlah Penduduk Seluruhnya di Tahun 1930

Distrik Pria Wanita Total Persentase Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947: Sinar Harapan,

1985, hal. 87.

Tabel 2 di atas menunjukkan jumlah penduduk onderneming berdasarkan

distrik dan jenis kelamin. Semua distrik mempunyai lebih banyak pria daripada

wanita di perkebunan-perkebunan. Simalungun mempunyai jumlah mutlak terbanyak

buruh perkebunan berikut sanak keluarga mereka (105.000), jumlah ini merupakan

sedikit lebih banyak dari sepertiga seluruh penduduk. Di Langkat Hulu dan

Padang-Bedagai unsur perkebunan berjumlah kurang dari 45,8 dan 45,7% dari seluruh

(37)

Tabel 3

Penduduk Sumatera Timur Menurut Sensus 1930 Dan Data Jepang Sampai 10 Maret 1943.

Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947: Sinar Harapan, 1985,

hal. 156.

Dari tabel 3 tersebut tampak sensus semasa perang tidak mungkin mempunyai

ketepatan yang sama seperti sensus 1930, tetapi dalam keseluruhan sensus ini lebih

dapat dipercaya daripada perkiraan-perkiraan sesudah perang.

Tabel 4

Penduduk Sumatera Timur Dari Golongan – Golongan Suku Besar

Golongan Suku 1930 1943 Persen (%)

Sumber: Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863–1947, hal. 157.

Dari tabel 4 diatas tampak perbandingan jumlah antara orang-orang Jawa,

(38)

telah bertambah dengan 24%. Orang Jawa telah bertambah dengan 32,6%. Orang

Batak dengan 39,8%, dan orang Melayu dengan 15,5% antara tahun 1930 dan 1943.

2.3 Kondisi Politik di Sumatera Timur

Dalam sejarah pergerakan, terdapat dua aliran besar dalam dunia perpolitikan

zaman kolonial, yaitu:

a. Aliran cooperatif (mau bekerjasama dengan kolonial);

b. Aliran non cooperatif (tidak mau bekerjasama dengan kolonial)

Pada dasarnya aliran cooperatif dan noncooperatif itu sama, hanya taktik

perjuangannya yang berbeda aliran cooperatif memandang bahwa kemerdekaan

ekonomi sangat penting dan harus lebih dahulu dicapai daripada kemerdekaan politik.

Aliran ini tidak begitu keras, sehingga dapat bekerjasama dengan pemerintah jajahan.

Berbeda dengan aliran cooperatif, aliran non cooperatif menganggap

bekerjasama dengan pemerintah jajahan hanya akan memperkuat kedudukan

penjajah. Sikap non cooperatif ini selalu dicela oleh pemeritah jajahan, mereka

dijuluki “kaum ekstrim”, sedangkan aliran cooperatif disebut “loyal”.20 Dalam

perjalanan dunia perpolitikan di daerah Sumatera Timur, terdapat beberapa organisasi

yang turut memberikan pengaruh.

(39)

Budi Utomo (BU) merupakan organisasi pertama yang ada di Sumatera

Timur. Pembentukan cabang BU di Medan pada tahun 1908 dipimpin oleh dr

Pringadi. BU merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum, wartawan,

dan pegawai pemerintah. Dalam pergerakannya, BU tergolong kepada organisasi

yang beraliran nonkooperatif. BU fokus mengangkat isu-isu lokal khususnya

penderitaan kuli kebun menjadi perhatian publik secara nasional bukan hanya itu, BU

juga mengkritik perlakuan buruk terhadap kuli kontrak di perkebunan di Sumatera

Timur.

Selanjutnya, Serikat Islam (SI). Cabang-cabang SI mulai muncul di Sumatera

Timur pada tahun 1919. SI tersebut diketuai oleh Mohammad Samin. Peran penting

SI adalah pelopor dalam membangkitkan sentimen anti kolonial dengan kerangka

idealisme Islam SI dalam surat kabar “Benih Merdeka” juga mengangkat

persoalan-persoalan seperti kebencian kepada poenale sanctie, buruknya kondisi kuli-kuli

diperkebunan dan rendahnya upah buruh di Sumatera Timur. Selain itu, ada juga

Taman Siswa. Taman Siswa membuka cabangnya yang pertama di Sumatera Timur

(Medan) pada tahun 1929. Taman Siswa Sumatera Timur dipimpin oleh Sugondo

Kartoprodjo21 sejak tahun 1934. Taman Siswa mendasarkan pendidikannya kepada

cita-cita nasional sepertinya berhasil menjangkau penduduk asli setempat, seperti

Melayu, Karo, dan Simalungun. Pada tahun-tahun 1930-an, Taman Siswa telah

(40)

memiliki jaringan luas sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertamanya

yang mengajarkan bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia di Sumatera Timur.

Selanjutnya, pada tahun 1927, lahir gerakan Muhammadiyah di Sumatera

Timur. Gerakan ini telah mengembangkan sejumlah besar sekolah-sekolah dasar dan

menengah berbahasa Belanda dan Indonesia, serta sekolah-sekolah pendidikan guru,

tetapi juga mendirikan perkumpulan-perkumpulan penting untuk kaum wanita

(Aisyah), kepanduan (Hisbul Wathan) dengan 400 anggota dalam 10 cabang, dan

pemuda (Pemuda Muhammadiyah).

Pada tahun 1930 organisasi Jamiatul Wasliyah berdiri di Medan. Jamiatul

Wasliyah merupakan organisasi Islam terbesar di Sumatera Timur dengan 12.500

murid yang tersebar pada 242 sekolah dan madrasah. Awalnya, Jamiatul Wasliyah

bersifat tradisional dan didukung sebagian besar oleh penududk di pedesaan , namun,

dalam perkembangannya Jamiatul Wasliyah berhasil menjadi organisasi yang bersifat

nasional yang mempunyai kepentingan yang sama dengan Muhammadiyah.22

Selanjutnya, pada tahun 1920 Partai Komunis Indonesia (PKI) masuk ke

Sumatera Timur. Kekuatan partai ini tidak hanya terletak pada kepiawaiannya dan

keterampilan para tokohnya, tetapi terletak pada programnya yang secara langsung

dapat mengancam kepentingan kolonial dan kerajaan di Sumatera Timur. Partai ini

berhasil mengorganisasi pemogokan buruh di Pelabuhan Belawan pada tahun 1925.

PKI tidak hanya mendapat simpati dari buruh kota tetapi juga dari buruh perkebunan.

(41)

Kegiatan PKI akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda.

Tahun 1927, pemerintah kolonial secara resmi melarang pegawainya menjadi anggota

PKI. Pemerintah Belanda juga mengizinkan jaringan mata-mata untuk mengawasi

PKI. Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) mengumumkan bahwa setiap pegawai

DSM yang terlibat didalam kegiatan melanggar ketertiban umum akan diberhentikan.

Partai ini akhirnya dibubarkan pemerintah Belanda akibat keterlibatannya dalam

pemberontakan di Jawa Barat dan di Silungkang Sumatera Barat. Di Sumatera Timur,

PKI telah melangkah diluar batas-batas primordialisme untuk menghimpun dukungan

rakyat. PKI telah membangun sikap militan dan konfrontatif antikolonial.

Setelah PKI hancur, Partai Nasional Indonesia (PNI) muncul di Sumatera

Timur. PNI diketuai Mr. Iwa Kusumantri. PNI menekankan perhatian yang besar

pada konsep Negara Nasional Indonesia, Bahasa Nasional Indonesia, Kebudayaan

Nasional Indonesia, Bendera Nasional Indonesia, dan Lagu Nasional. Namun,

aktivitas PNI tidak berlangsung lama, PNI dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada

tahun 1931. PNI memberi kontribusi dalam mengembangkan ideologi nasional di

Sumatera Timur. Pendukung PNI sebagian besar adalah kalangan buruh-buruh Jawa

di perkebunan. Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera

Timur. Tahun 1938, cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa.

Gerinda aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur.

Kembalinya sejumlah aktivis pergerakan nasional dari Boven Digul, akhirnya

membangkitkan kembali gerakan nasionalis di Sumatera Timur. Pelopor pergerakan

(42)

Gerindo menunjukkan organisasi massa yang bersifat nasional dan radikal.

Orang-orang pergerkan bekas PKI, Partindo, dan PNI bergabung dengan Gerindo. Gerindo

di Sumatera Timur dipimpin leh M. Jhoni. Gerindo menuntut kemerdekaan nasional,

penghancuran ariskorat feodal, nasionalisasi semua perusahaan asing, pengakuan hak

tanah pribumi. Hak-hak tanah dengan cepat menjadi isu utama program partai untuk

memobilisasi dukungan melawan dukungan melawan pemerintahan Belanda,

raja-raja, dan pengusaha perkebunan. Melalui program distribusi tanah, kepada para

petani, Gerindo mendapat dukungan kuat dari buruh-buruh Jawa, petani Karo dan

Simalungun. Gerindo mampu membangkitkan semangat nasionalisme, khususnya di

kalangan masyarakat Karo di Langkat dan Deli-Hulu.

Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur.

Cabang-cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa (1938),

Kisaran dan Sunggal (1939), Tanjung Balai dan Kabanjahe (1940). Gerindo aktif

memberikan kursus-kursus politik secara teratur. Gerindo termasuk partai besar dan

paling efektif di Sumatera Timur. Cabang-cabang Gerindo mengadakan

kursus-kursus politik secara teratur beberapa kali dalam sebulan. Sekitar 1.500 orang

menghadiri rapat Gerindo di gedung Bioskop Medan.23

Sebuah laporan pemerintah Belanda pada tahun 1935 dengan ringkas

menyimpulkan faktor-faktor yang menghambat gerakan nasional Indonesia di

Sumatera Timur, yaitu:

(43)

a. Perbedaan besar dalam sifat-sifat nasional, ras dan agama, serta pertentangan

kepentingan ekonomi di kalangan penduduknya.

b. Ketiadan yang tetap akan barisan cendekiawan dan pemimpin-pemimpin yang

terpelajar yang berasal dari anak negeri, dibanding dengan mereka yang sebagian

besar berasal dari daerah lain;

c. Kesulitan kontak langsung dengan masing-masing pengurus pusat gerakannya di

tempat lain;

d. Penduduk suku-suku pribumi yang konservatif itu pada umumnya tidak

mempunyai selera dalam masalah-masalah politik;

e. Sikap yang dijalankan Kerajaan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersifat

“ekstem” khususnya dan terhadap setiap pernyataan politik pada umumnya;

f. Akhirnya, tapi tidak kurang pentingnya, tindakan-tindakan lebih ketat yang

dijalankan gubernemen sejak Agustus 1933, yang telah melengkapi alat-alat

kekuasaan gubernemen.24

2.3 Pendidikan di Sumatera Timur

Masuknya pemerintah kolonial Belanda dan perkebangan perkebunan di

Sumatera Timur adalah berkembangnya lembaga pendidikan. Hal ini berhubungan

dengan meningkatnya ekonomi Sumatera Timur dan perlunya tenaga kerja yang tahu

membaca dan menulis untuk dipekerjakan sebagai pegawai rendah di pemerintahan

(44)

kerajaan, perusahaan perkebunan dan pemerintahan gubernemen. Adapun sekolah

yang didirikan oleh pihak pemerintah adalah: Volk School, Vervolg School, Normaal

School, dan Hollandsch Inlandsche School (HIS).

Volk School merupakan sekolah rakyat yang lama pendidikannya tiga tahun.

Sekolah ini berguna untuk memberantas buta huruf, mengisi posisi pegawai rendahan

di kantor pemerintahan kerajaan, perusahaan perkebunan sebagai mandor. Guru Volk

School diambil dari Jawa dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa dan

Melayu.

Selanjutnya, didirikanlah Vervolg School (Sekolah Sambungan) sebagai

sekolah lanjutan dari Volk School. Selain itu, untuk mengisi kekurangan tenaga guru

maka didirikanlah sekolah guru yang bernama Normaal School. Selain itu, Belanda

juga mendirikan sekolah HIS guna untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang

terampil menggunakan bahasa Belanda sekaligus untuk menolak pengaruh sekolah

yang didirikan oleh para tokoh gerakan kebangsaan. HIS terdapat di Medan, Siantar,

Tanjung Balai, Binjai, dan Perbaungan. Terdapat diskriminasi dalam HIS dan tidak

semua orang dapat bersekolah di HIS. Anak yang diterima di HIS adalah anak-anak

raja, pegawai, dan anak pedagang kaya. Selain itu, didirikan juga Meer Uitegebreid

Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS), Ambacht School (Sekolah

Pertukangan), dan sekolah khusus untuk anak-anak Eropa yang disebut Europese

(45)

Di samping itu, golongan swasta juga tidak mau ketinggalan dalam upaya

mencerdaskan masyarakat. Pihak swasta seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan

Al-Washliyah membangun sekolah dengan cita-cita untuk membangun bangsa yang

cerdas dan memupuk semangat kebangsaan. Pada umumnya mereka adalah

organisasi sosial dan keagamaan. Sekolah Taman Siswa, Muhammadiyah, dan

Al-Washliyah tersebar luas di seluruh daerah Sumatera Timur. Sekolah ini mengajarkan

bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan Inggris, serta menyanyikan lagu Indonesia

Raya. Oleh sebab itu, sekolah-sekolah ini tentunya memberikan dampak yang besar

bagi perkembangan gerakan kebangsaan di Sumatera Timur.25

Pada masa Jepang, sekolah-sekolah umum juga didirikan, misalnya Sekolah

Rakyat enam tahun (Kokumin Gakko) dan Sekolah Desa. Di samping itu, khusus

untuk sekolah lanjutan dibentuk pula Sekolah Menengah tiga tahun dan Sekolah

Menengah Tinggi tiga tahun, Sekolah Guru dua tahun, Sekolah Guru empat tahun,

dan Sekolah Guru 6 tahun. Selain itu, baik sekolah-sekolah Islam dan pribumi tetap

diizinkan, namun dengan syarat memasukkan kurikulum pendidikan Jepang, seperti

pelajaran wajib Bahasa Jepang, latihan kemiliteran, serta melakukan kerja bakti untuk

kepentingan perang.

Berbeda halnya setelah proklamasi, pendidikan di Sumatera Utara ditata

ulang. Pendidikan dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu pendidikan rendah (Sekolah

Rendah) 6 tahun, pendidikan menengah pertama (Sekolah Menengah Atas) tiga

tahun, dan pendidikan tinggi tiga sampai enam tahun. Selain itu, juga didirikan

(46)

sekolah-sekolah kejuruan, yaitu Sekolah Teknik Pertama, Sekolah Teknik Menengah,

Sekolah Kepandaian Putri, Sekolah Guru Menengah, Sekolah Pertanian Menengah,

dan Sekolah Dagang Menengah, sekolah lanjutan kejuruan tinggi tinggi, seperti

Sekolah Menengah Tinggi, Sekolah Menengah Tinggi Teknik, Sekolah Pertanian

Menengah Tinggi, Sekolah Guru Kepandaian Putri, dan Sekolah Guru Tinggi.

Pada periode 1948-1949, di NST terjadi peningkatan jumlah sekolah, guru

dan siswa, baik tingkat sekolah dasar, menengah, dan kejuruan. untuk sekolah dasar

yang menggunakan Bahasa Indonesia terjadi peningkatan dari 218 sekolah, 708 guru,

dan sekitar 36 ribu menjadi 392 sekolah, 1.559 guru, dan sekitar 92 ribu siswa. Untuk

sekolah berbahasa Belanda, di tahun 1948 terdapat 11 sekolah dengan 93 guru, 3.272

siswa, meningkat menjadi 19 sekolah, 124 guru, dan 4.370 siswa. Di sekolah

menengah di tahun 1948 terjadi peningkatan dari tujuh buah menjadi 20 buah, dan

tujuh di antaranya berbahasa Belanda.26

(47)

BAB III

EKSISTENSI SUMATERA TIMUR

3.1 Proklamasi di Sumatra Timur (30 September 1945)

Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dua buah bom dijatuhkan Amerika

Serikat di Hirosima dan Nagasaki. Hal ini membuat pemerintah militer Jepang

bertekuk lutut. Presiden Truman dan Perdana Mentri Attlee mengumumkan bahwa

Jepang menyerah tanpa syarat. Hal ini diperkuat dengan adanya siaran radio Tokyo

dan pidato Kaisar Hirohito yang menjelaskan bahwa Jepang mengakhiri perlawanan.

Kemudian keputusan ini dikawatkan kepada panglima tentara Jepang di wilayah

selatan termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia mempergunakan peristiwa

kekalahan Jepang tersebut. Proklamasi dikumandangkan dan berita tersebut sampai

ke berbagai pelosok tanah air. Dari Jakarta berita proklamasi tersebar dengan

bermacam fasilitas, baik dari Doomei, surat kabar, atau dari mulut ke mulut.27

Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamasi oleh

Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, tidak sampai ke seluruh Indonesia

secara bersamaan. Tiap-tiap wilayah menerimanya dalam waktu yang berbeda. Hal

ini disebabkan seluruh alat komunikasi dikuasai oleh tentara Jepang. Tidak ada satu

berita pun yang dapat disiarkan tanpa melalui sensor yang ketat dari tentara Jepang.

Berita proklamasi termasuk dalam kategori berita yang dilarang untuk

(48)

disebarluaskan. Bahkan operator kantor Doomei di Medan yang berkebangsaan

Indonesia dilarang masuk keruangan kerja.

Tanggal 22 Agustus 1945 Tyokon Sumatra Timur (Residen Sumatera Timur)

mengeluarkan maklumat resmi bahwa Jepang kalah dalam perang melawan Sekutu.

Pada hari yang sama, para anggota Syu Sangi Kai Sumatera Timur mengadakan

sidang di bawah pimpinan ketuanya dr. Mansoer, dimana turut hadir seluruh

anggotanya yang merupakan kalangan kerajaan dan pemimpin-pemimpin rakyat

seperti Abdul Xarim MS dan lain-lain. Selain itu sidang tersebut juga dihadiri

petinggi Jepang untuk menentukan cara untuk menjamin keamanan dan ketertiban

umum dalam masa pemerintahan peralihan sebelum tibanya tentara Sekutu.

Tanggal 25 Agustus, diadakan pertemuan antara raja-raja, sultan-sultan dan

para pamongpraja yang terkemuka di kediaman dr. Mansoer di sudut Jalan Raya

Medan (Jalan Amaliun). Pertemuan ini diadakan untuk membicarakan penyambutan

kedatangan Belanda. Dalam pertemuan ini dibentuk comite van ontvangst dengan

ketua Sultan Langkat dan dr. Mansoer sebagai wakil ketuanya. Hal ini menjadi berita

desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, semakin

berbeda isi dan artinya. Selanjutnya, tanggal 2 September T. M. Hasan28 dan dr. Amir

(49)

bersepakat untuk menyampaikan instruksi pemimpin besar Indonesia Ir. Soekarno

tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah dan perealisasi

proklamasi kepada Ketua Syu Sangi Kai Sumatera Timur, dr. Mansoer. Beliau

dianggap sebagai pemimpin rakyat yang terkemuka dan berwenang untuk

menanggulangi persoalan tersebut.

Tanggal 3 September, dr. Amir menemui dr. Mansoer dan didampingi oleh

pembantu-pembantunya yang terdekat yang juga terdiri unsur-unsur kerajaan. dr.

Amir mengajukan kepada dr. Mansoer tuntutan-tuntutan proklamasi kemerdekaan

dan langkah pertamanya membentuk KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah)

Sumatera Timur. Namun, usaha dr. Amir ini mengalami kegagalan. Hal ini

disebabkan tokoh-tokoh yang ditemuinya itu masih menginginkan dipulihkannya

kembali kekuasaan Belanda kembali.

Menurut laporan dr. Amir kepada T. M. Hasan, orang-orang yang diajaknya

berunding itu tidak berani mendirikan badan politik seperti KNI, karena tentara

Jepang masih berkuasa dan wakil-wakil Belanda dan Inggris saat itu telah berada di

Kota Medan. Dengan kata lain T. M. Hasan tidak memperoleh dukungan yang

diharapkan sehingga ia tidak memiliki alat-alat yang diperlukan untuk melaksanakan

dan merampungkan tugasnya yaitu mewujudkan tuntutan-tuntutan proklamasi

kemerdekaan keseluruh Sumatera kedalam Republik Indonesia dalam waktu yang

singkat. dr. Amir pesimis kalau proklamasi dapat diwujudkan di Sumatera Timur.

(50)

Kai Sumatera Timur sejumlah pemimpin rakyat dan orang-orang terkemuka

berkumpul. Pada rapat tersebut T. M. Hasan tidak didampingi dr. Amir

menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan dan instruksi Soekarno untuk

membentuk KNID serta merealisasikan proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur.

Dr. A. K. Gani yang notabenenya adalah Ketua / Koordinator PNI Sumatera

memiliki wewenang untuk mengeluarkan instruksi-instruksi untuk merealisasikan

proklamasi ke seluruh daerah-daerah di Pulau Sumatera. Selain itu, Dr. A. K. Gani

juga sempat mengirimkan telegram pada tanggal 15 September 1945 kepada dr.

Pringadi di Medan yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia sudah resmi

diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.

Proklamasi di Sumatera Selatan juga telah terealisasi, dengan demikan Sumatera

Timur juga harus segera merealisasikan proklamasi, membentuk KNID dan

mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang.

Selanjutnya, Achmad Tahir29 berpikir untuk membentuk sebuah organisasi

pemuda revolusioner guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini

diberi nama Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Tanggal 22 September di Gedung

Taman Siswa Jalan Amplas Medan, diadakan kegiatan penting, yaitu:

a. Pengambilan janji dan sumpah Sugondo Kartoprodjo.

b. Mengesahkan anggaran dasar BPI.

(51)

c. Meresmikan berdirinya BPI.

Pada tanggal 30 September, BPI merencanakan pengumuman proklamasi

kemerdekaan di Kota Medan. Di Pematang Siantar terjadi kegiatan-kegiatan

tersembunyi untuk merealisasikan proklamasi kemerdekaan. Mereka membentuk

sebuah organisasi di bawah pimpinan Abdul Aziz, lalu mengirimkan utusan ke

Medan untuk mengadakan kontak dengan kelompok Abdul Manan.

Pada tanggal 30 September, bertempat di Gedung Perguruan Taman Siswa

lebih dari 250 orang berkumpul. Pertemuan ini awalnya hanya untuk meresmikan

berdirinya BPI, namun dengan sendirinya menjadi rapat umum untuk menyiarkan

berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga hadir

T. M. Hasan, sebagai utusan dari Soekarno.

Awalnya, Achmad Tahir membuka rapat pukul 08.30 dan Sugondo sebagai

pembicara kedua yang membicarakan azas dan tujuan BPI dan disusul T. M. Hasan

sebagai pembicara ketiga dan ditutup dengan pidato dari B. H. Hutajulu30. Dalam

pidatonya T. M. Hasan mengatakan bahwa Indonesia merdeka dan diproklamasikan

pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. “Saya dapat pastikan,” kata beliau

lebih lanjut, “Bahwa sekarang ini seluruh Jawa dan Madura telah berada dibawah

kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia.” Berita harian Pewarta Deli yang

mengabarkan bahwa Soekarno-Hatta telah ditangkap Sekutu adalah berita bohong

sama sekali. Jangan percaya kepada berita-berita musuh yang merugikan perjuangan.

(52)

Sekarang ini nasib kita benar-benar berada dalam tangan kita sendiri, terutama pada

pemuda-pemudanya.

Dengan berakhirnya pidato T. M. Hasan ini, maka berita proklamasi telah

resmi diumumkan kepada rakyat Sumatera Timur. Selanjutnya, Abdul Xarim M. S

dalam pidatonya mengatakan seluruh pemuda untuk mempertaruhkan segenap jiwa

raga dalam mempertahankan kemeredekaan tanah air.

Semangat rakyat Sumatera Timur menjadi menyala-nyala. Tidak sedikit

diantara para hadirin meloncat-loncat dan memukul-mukul dinding. Seluruh yang

hadir pada saat itu tampaknya sudah dimasuki jiwa baru, jiwa merdeka yang

meluap-luap dengan hebatnya. Inilah gambaran yang representatif dari jawaban rakyat

Sumatera Timur terhadap proklamasi. Suatu semangat berjuang yang berkoar-koar.

Tak cukup sampai disitu, B. H. Hutajulu dalam pidatonya mengatakan bahwa tak ada

dan tak mungkin perjuangan yang seberat ini hanya dimodali dengan bicara saja.

Disamping nyawa dan darah, uang, pakaian, bahan makanan, dan alat-alat lainnya

sangat kita perlukan. Semuanya itu sangat dibutuhkan untuk membiayai perjuangan

ini.

Setelah Hutajulu berbicara, berhamburanlah uang yang dilemparkan hadirin.

dr. Pringadi berjanji akan menyerahkan sebulan gajinya untuk dana BPI. Jumlah uang

(53)

sekitar Rp 5.000,-. Tepat pukul 12.30 rapat peresmian berdirinya BPI ini berakhir.

Para hadirin kembali ketempatnya masing-masing dengan semangat yang bergelora.31

Pada tanggal 3 Oktober 1945, T. M. Hasan mengumumkan bahwa dirinya

secara resmi telah diangkat menjadi Gubernur Sumatera. Selain itu, beliau juga

mengangkat para Residen se-Sumatera, para walikota dan pembantunya atau pegawai

tinggi.

Tanggal 4 Oktober 1945, bendera merah putih dihalaman atau puncak gedung

pemerintahan dikibarkan. Di Balaikota Medan, bendera yang dikibarkan dilarang

bahkan diturunkan oleh Walikota Jepang Nakasima. Akibatnya, terjadilah

tarik-menarik antara pihak Jepang dan para pemuda yang akan menaikkannya kembali.

Pada tanggal 6 Oktober 1945, diadakan rapat raksasa di Lapangan Esplanade

Medan (Lapangan Merdeka). Rapat raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat,

Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar. Ditempat ini

secara resmi dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung

oleh T. M. Hasan. Sebelum pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan

upacara penaikan bendera Sang Saka Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia

Raya.32

31 Biro Sejarah PRIMA, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hal. 87-116.

(54)

Repro: Sepno Semsa Tanggal 9 Oktober 1945 diadakan pawai mendukung proklamasi

kemerdekaan seperti yang terlihat dalam gambar di atas.

Sumber: Muhammad TWH, Perjuangan Rakyat Sumatera Dalam Gambar: YKP/Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan, 1991, hal. 189.

Dengan adanya pengumuman T. M. Hasan tentang kemerdekaan Indonesia

tersebut, ada berbagai tanggapan dari pihak kerajaan mengenai proklamasi di

Sumatera Timur ini. Ada yang masih pasif, ada yang masih bersifat menunggu

keadaan, tetapi ada pula yang secara tegas menanggapinya seperti Sultan Siak dan

Sultan Serdang. Sultan Serdang sudah menaikkan bendera Merah Putih di istana dan

di kantor-kantor kerajaan serta menganjurkan penduduk untuk menaikkan bendera

Merah Putih dan serta menganjurkan pemuda-pemuda bangsawan untuk masuk

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan partai-partai serta organisasi massa lainnya dan

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 5
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia khususnya di Perairan Pantai Timur Sumatera, pemerintah hendaknya membentuk forum

Peneliti menggunakan teknik tersebut dalam mencari-cari sumber-seumber data sesuai dengan permasalahan yang diangkat yaitu Tinjauan Historis Agresi Militer I di Sumatera

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dikeluarkannya kebijakan mengganti perkebunan tembakau menjadi perkebuna karet di Sumatera Timur serta mengetahui

Hasil penelitian menunjukan kepadatan populasi belangkas di Pantai Timur Sumatera Utara telah mengalami penurunan populasi, berdasarkan data kepadatan populasi dan

Penduduk asli Sumatera Timur adalah suku bangsa Melayu, Batak Karo, 18 dan Batak Simalungun. Suku bangsa Melayu banyak mendiami daerah Pantai

Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara yang terletak di sistem lahan KJP dan PTG disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah A..

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui potensi sumberdaya arkeologi laut di wilayah Perairan Timur Sumatera didasarkan pada hasil studi literatur terhadap data dan

Penelitian ini mengkaji morfologi dan habitat kepiting bakau (Scylla paramamosain) di hutan mangrove di sepanjang pantai timur