DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Muhammad TWH (Tok Wan Haria)
Umur : 84 tahun
Pekerjaan :Wartawan Senior
Alamat :Jl. Sei Alas No. 6 Darussalam Medan.
2. Nama : Sumbat Sembiring
Umur : 87 tahun
Pekerjaan : Ketua DPD LVRI SUMUT
Alamat : Jl. Jend. Gatot Subroto KM 7,5
3. Nama : Wara Sinuhaji
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jl. Amaliun Medan.
4. Nama : Rusmia Pasaribu
Umur : 86 tahun
Pekerjaan : pegawai Swasta
5. Nama : Erwin Tobing
Umur : 87 tahun
Pekerjaan : Dokter Spesialis THT
Alamat : Jl. Dr. Soemarsono No.8 Medan
6. Nama : Victor Hutabarat
Umur : 61 tahun
LAMPIRAN
Lampiran 1: Naskah perjanjian Linggarjati yang dilangggar oleh Belanda dan memunculkan serangan Agresi Militer Belanda I.
Lampiran 4 : Patung Djaga Depari yang terletak di tengah kota Medan tepatnya di ujung jalan Jamin ginting.
Lampiran 6 : Lukisan “persiapan gerillya oleh S. Sudjojono
Lampiran 7 : Rakyat Mengungsi, karya S.Sudjojono
Lampiran 9 : Upacara di lapangan Merdeka
Lampiran 12 : Foto bersama Victor Hutabarat, penyanyi legendaris yang juga pernah menyanyikan lagu “Butet” dan “Mariam Tomong”.
Lampiran 13 : Foto bersama Sumbat Sembiring (kanan), salah seorang pejuang kemerdekaan yang ikut bertempur di front pertempuran tahun 1945 di daerah tanah
karo.
DAFTAR PUSTAKA Arsip
ANRI, Kementrian Penerangan, No. 771/Um., Yogjakarta, 6 Oktober 1949.
Buku
A.B. Lapian, dkk., Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959, Jakarta: CV. Defit Prima Karya Jakarta, 1996.
Adeng, dkk., Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Jawa Barat, Bandung: Jurnal Penelitian BKSNT Bandung, 2011.
Arifin Pulungan, Kisah Dari Pedalaman, Medan: Diancorporation, 1974.
AR. Surbakti, Letkol, Perang Kemerdekaan di Karo Area, Medan: Yayasan pro patria Medan, tanpa tahun terbit.
Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.
DPD Seni Budaya Gakari-Golongan Karya TK.I Sumatera Utara, Dinamika Seni Budaya Sumatera Utara, Medan: DPD Seni Budaya Gakari-Golongan Karya TK.I Sumatera Utara, 1981.
Gintings, Djamin, Bukit Kadir, Medan: C.V. UMUM, 1968.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.
J. Pelzer, Karl, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1974, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Kahin, George Mc. Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran, 1980.
______Sumatera Utara Bergelora, Medan: Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI,1999.
______Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004.
______Sebelum dan Sesudah Proklamasi, Medan: Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2005.
Panglima Komando Daerah Militer II/BB, Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera (1945-1950), Medan: Dinas Sejarah Kodam Bukit Barisan, 1984.
Perangin-angin, Robert, Djaga Depari Komponis Dari Tanah Karo, Medan: Karo Press, 2009.
_____Djamin Gintings Maha Putra Utama, Medan: TB. MONORA SIMA KARITAMA, 1996.
Pulungan, B. Ar, dkk., Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara, Jilid I (1945-1949), Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1995.
Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Saputera, Edi, Simalungun Jogja-Nya Sumatera, Medan: U.P. Bina Sartika 45, 1978.
Sinar, Tuanku Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006.
Situmorang, B.P., Sejarah Sastera Indonesia Jilid I, Flores: Penerbit Nusa Indah, 1980.
Sjahnan, H.R., Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah KODAM-II/BB, 1982.
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Jogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001.
Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1991.
______Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan di Propinsi Jawa Timur Studi kasus Kota Surabaya Tahun 1945-1949, Jakarta: CV. Ilham Bagun Karya, 1999.
Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tetengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949 Jilid II), Medan: tanpa penerbit, 1996.
Tim Pendidikan dan Latihan Sumut, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1994.
Yusra, Abrar, Amir Hamzah 1911-1946, Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastera H.B. Jassin, 1996.
Surat Kabar
Muhammad TWH, 2003, “Mengenang Basuki Abdullah-nya Sumatera Utara”, ANALISA, 9 Maret 2003.
Website
http://www.mahasiswabatak.com
www.biografipedia.com
BAB III
MEDAN AREA DAN SEKITARNYA SETELAH PROKLAMASI
3.1 Sambutan Masyarakat Medan Terhadap Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia dilakukan pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan penuh tekad, keyakinan yang dilandasi serta dijiwai oleh suatu
cita-cita luhur sebagaimana telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945.
Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan UUD,
memilih presiden dan wakil presiden serta Komite Nasionalyang akan membantu
presiden. Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 dari Pegangsaan Timur 56 itu tidaklah
diterima di daerah-daerah lainnya seperti di Sumatera Timur, dalam waktu yang
bersamaan. Tiap-tiap daerah menerimanya dalam waktu yang berlain-lainan. Hal ini
dikarenakan alat-alat komunikasi dan media massa kita masih kurang memadai dan
sepenuhnya masih berada dibawah kontrol tentara Jepang. Tidak ada berita yang
disiarkan tanpa melalui sensor tentara Jepang, dan berita mengenai proklamasi
tersebut termasuk kedalam kategori berita yang dilarang untuk disiarkan.
Sebenarnya secara illegal berita proklamasi ini telah disiarkan lewat pemancar “Radio Morse Domei Jakarta” ke seluruh penjuru dunia pada tanggal 17 Agustus
1945 pagi hari. Berita proklamasi tersebut kemudian ternyata diterima dengan baik di
luar negeri. Pada malam harinya melalui siaran-siaran radionya juga, radio-radio
Republik Indonesia tersebut. Di daerah-daerah lain seperti di Pulau Jawa, siaran
Morse-cast Domei itu dapat diterima dengan baik dan disiarkan juga melalui surat
kabar.20
Pada awalnya berita megenai proklamasi tersebut kurang mendapat tanggapan
yang serius dari masyarakat Sumatera Timur. Masyarakat masih kebingungan dan
hanya mendengar desas-desus tentang kemerdekaan tersebut. Disamping itu berita
bahwa tentara sekutu akan mendarat di Kota Medan, semakin menambah
kebingungan masyarakat yang mendengar berita tersebut .21 Pada saat itu situasi
politik kota Medan masih kosong dan tanpa kepemimpinan yang sah. Sementara itu
utusan dari Sumatera yang menyaksikan secara langsung upacara proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta yaitu Mr. T. M Hasan, Dr. Amir dan Mr.
Abbas belum tiba di Medan. Dalam perjalanan pulang mereka ke Sumatera, para
utusan ini mendapat kabar bahwa Medan telah dikuasai oleh masyarakat yang pro
Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mr. T. M Hasan dan Dr. Amir tiba di kota
Medan.22 Setibanya di Medan situasi yang dijumpai pada saat itu yaitu munculnya
kelompok-kelompok dengan keinginan berbeda-beda, yakni;
20
Biro Sejarah Pima, op. cit., hlm. 87-89. 21 Tuanku luckman sinar, op. cit., hlm. 606. 22
1. Pihak pemerintah dan tentara pendudukan Jepang yang masih mempunyai
kekuatan dan kekuasaan walaupun mereka sudah menyerah secara resmi
kepada Sekutu, dan menunggu kedatangan Sekutu yang menentukan
kelanjutan nasib mereka selanjutnya.
2. Golongan pejuang bangsa Indonesia yang sudah tidak sabar lagi untuk
menanti komando perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia di
Sumatera Timur.
3. Golongan yang semenjak dahulu merupakan pendukung pemerintahan
Belanda di Indonesia yang terdiri dari kaum Raja-raja dan Bangsawan
Sumatera Timur yang pro Belanda dan mengharapkan datangnya kembali
kekuasaan Belanda setelah kekalahan Jepang.23
Dalam situasi yang tidak jelas seperti ini masyarakat sangat mudah
dipengaruhi oleh golongan-golongan yang sedang berkembang pada saat itu. Setiap
golongan berusaha untuk menjadi pemenang, kecuali Jepang yang hanya menunggu
komando dari Sekutu. Melihat kondisi yang demikian, Mr. T. M Hasan menghimpun
tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh-tokoh kerajaan untuk membicarakan apa yang
telah diperintahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yaitu
untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) yang nantinya akan
menyebarluaskan berita tersebut. Rapat sudah berulang kali dilakukan, akan tetapi
KNI belum juga berhasil dibentuk.
23
Sementara itu lapisan masyarakat khususnya para pemuda sebagai mobilisasi
perjuangan semakin tidak sabar menunggu realisasi proklamasi di Sumatera Timur.
Di Medan terdapat pasukan Jl. Amplas – Taman Siswa Sugondo Kartoprojo dkk,
pasukan Jl. Istana 17A Ahmad Tahir dkk, B.H Hutajulu, Abdul Razak, Humala Sihite
aktivis bawah tanah, lasykar Jl. Tempel Amir Yusuf, Bustami serta 53 orang pemuda
mantan Gyugun, Heiho, Tokubetsu, Seinen Ronseisyo, Seinen Zyuku, Talapeta,
gerakan anti fasis Surya Wirawan, golongan pers, nelayan, dll.24 Mereka inilah yang
nantinya menjadi pelopor untuk pergerakan Sumatera Timur. suatau hal yang sulit
dimengerti oleh golongan muda ketika itu adalah sikap Mr. T. M Hasan yang masih
berdiam diri sejak Agustus 1945. Mengingat beliau sudah mendapat mandat untuk
merealisasikan kemerdekaan dan sekaligus ditetapkan sebagai wakil pimpinan bangsa
untuk Sumatera.
Kedatangan Sekutu yang dibonceng oleh NICA nampak jelas semakin
mengarah pada pemulihan kembali kekuasaan Belanda di Nusantara. Kerja sama
antara Sekutu dengan Belanda ini dinilai oleh pemuda sangat membahayakan dan
akan menghambat realisasi proklamasi di Medan. Melihat kondisi tersebut pera
pemuda dengan didorong rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara
melakukan tindakan yang tegas untuk mengadakan pertemuan dengan mengundang
golongan yang terdiri dari pemuda, organisasi anti fasis, wartawan, dan tokoh
pergerakan.
24
Pada awalnya rapat direncanakan akan diadakan pada tanggal 21 September
1945 di Jl. Istana No. 17 (sekarang Jl. Pemuda tepatnya gedung juang 45) tetapi gagal
karena larangan Jepang. Hal tersebut tidak mengahalangi para pemuda, kemudian
pada tanggal 23 September di Jl. Fuji Dori No. 6 dengan menempatkan beberapa
pemuda yang berjaga-jaga di luar, akhirnya rapat terlaksanakan.25 Kesepakatan yang
diperoleh yaitu menyusun Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sebagai mobilisir dalam
pernyataan kemerdekaan di Medan dan disusun suatu rencana untuk mengadakan
pertemuan selanjutnya seminggu kemudian.
Para pemuda yang merasakan betul betapa menderitanya hidup dibawah
penjajahan, zaman yang penuh dengan tantangan perang, sehingga mereka sangat
menghargai nilai kemerdekaan. Penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan, tidak
akan pernah berakhir selama kemerdekaan belum diproklamasikan. Menyadari hal itu
pemuda langsung bertindak dengan mengadakan rapat pada tanggal 30 September
1945 di Gedung Taman Siswa Jl. Amplas Medan oleh BPI.26 Dalam rapat ini Mr. T.
M Hasan mengumumkan secara resmi tentang proklamasi kemerdekaan serta
berdirinya Republik Indonesia kepada seluruh peserta rapat ketika itu.
25
Gedung Fuji Dori merupakan asrama pemuda, sehingga kecurigaan Jepang terhadap aktivitas pemuda di tempat ini tidak terlalu kuat. Saat Jepang mengintai aktivitas para pemuda ini, untuk mengelabuinya mereka mengadakn makan siang seolah-olah pertemuan tersebut tidak untuk membahas masalah penting.
26
Setelah pertemuan di Jl. Amplas berita proklamasi semakain ramai terdengar,
dalam setiap rapat bendera Merah Putih selalu dikibarkan dan pekikan kemerdekaan
nyaring terdengar. Sebagai reaksi masyarakat atas proklamasi maka pada tanggal 6
Oktober 1945 diadakan rapat umum dilapangan Fukuraido (sekarang Lapangan
Merdeka) yang dihadiri oleh ribuan penduduk. Dalam kesempatan itu kemerdekaan
Republik Indonesia secara resmi dikumandangkan di Medan oleh Mr. T. M Hasan.
Setelah berita itu secara resmi diumumkan oleh gubernur T.M.Hasan, pada tanggal 6
Oktober 1945 di Lapangan Fukuraido, barulah berita tersebut disambut dengan
kegembiraan yang meluap-luap karena menyadari bahwa proklamasi itu mengakhiri
penjajahan, perepecahan, dan penderitaan yang telah berlangsung selama
berabad-abad lamanya. Sejak saat itu, ucapan merdeka merupakan salam nasional bagi setiap
orang yang bertemu dengan yang lain.
3.2 Peristiwa-peristiwa di sekitar Proklamasi Kemerdekaan
“Lencana Merah Putih disentap dari dada seorang penjaja pekaian bekas,
disuruh telan, dan diinjak-injak oleh serdadu NICA itu. Apalagi mendapat kabar,
bahwa pemuda itu dipukuli oleh serdadu NICA itu. Ditambah lagi adanya penembakan dari dalam “Pension Wilhelmina” kearah kerumunan massa yang ada di
tepi jalan seperti yang telah kami kemukakan itu”.27
Demikian kutipan dari buku
Sumatera Utara Bergelora ciptaan Muhammad TWH. Keadaan tersebut merupakan
27
latar belakang meletusnya penyerbuan heroik terhadap “Pension Wilhelmina” di Jalan
Bali (Jl. Veteran) Medan, yang dikenal dengan “Peristiwa Jalan Bali” pada tanggal 13
Oktober 1945.
Sebenarnya keadaan sudah mulai panas sehari sebelum peristiwa itu. Para
pemuda sudah mulai marah dikarenakan orang-orang KNIL yang direkrut menjadi
tentara NICA makin sombong. Serdadu NICA itu melakukan penembakan ke arah
penjual sayur didepan stasiun Besar Medan, tetapi syuku1r tidak ada korban yang
jatuh. Para pemuda semakin geram melihat makin mangkak dan sombongnya mereka.
Penyerbuan tersebut dilakukan secara spontan tanpa ada yang mengkomandoi.
Rakyat datang dari berbagai penjuru kota Medan dengan membawa tombak, parang,
bambu runcing, kelewang, pedang, pisau, dan benda-benda tajam lainnya. Semua
ingin dahulu-mendahului menyerbu tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri.
peralatan-peralatan yang mereka gunakan mereka dapatkan dari para pedagang
alat-alat pertanian di pusat pasar, seperti Toko Pase milik Nyak Ubit, Toko Peusangan dan
toko alat-alat pertanian lainnya. Semuanya itu diserahkan secara sukarela kepada para
pemuda dan orang-orang yang turut serta dalam penyerbuan itu. Disamping hanya
beralatkan benda tajam dan beberapa pistol dan karaben, para pejuang kita
memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang dalam pertempuran yang
pertamakalinya meledak itu.28
Kemarahan rakyat untuk menghancurkan NICA tidak dapat dibendung oleh
Jepang selaku yang mendapat mandate dari Inggeris untuk melakukan pengamanan.
Mereka hanya dapat membawa korban yang luka-luka ke Rumah sakit dan Kamp
Polonia. Jumlah korban akibat dari peristiwa tersebut yang tercatat adalah; seorang
opsir Belanda, dua orang warga Swiss, dan 7 orang serdadu NICA. Mereka semuanya
tewas, sedangkan yang luka-luka ada sebanyak 96 orang. Dari pihak republik
menurut keterangan yang diperoleh, mengatakan bahwa jumlah korban pemuda Aceh
yang turut melakukan penyerbuan itu ada sebanyak 7 orang.
Secepat kilat berita pertempuran yang pertama kali di Medan ini sampai ke
daerah-daerah lainnya yang disambut rakyat dengan penuh kegembiraan. Peristiwa
berdarah di jalan Bali ini merupakan suatu ujian berat bagi pejuang-pejuang
kemerdekaan. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa yang menentukan.
Seandainya yang terjadi ketika itu adalah kemenangan berada di pihak Belanda, maka
pastilah jiwa dan semangat bangsa Indonesia akan sangat terpukul sekali. Akan tetapi
yang terjadi adalah kemenangan mutlak diperoleh oleh bangsa Indonesia sampai kubu
barisan NICA berhasil diduduki oleh barisan rakyat, maka moral dan semangat
kemerdekaan semakin memuncak tinggi. Bertambah yakinlah rakyat diseluruh
pelosok Sumatera Timur khusunya,bahwa jika persatuan kokoh dengan ludah bangsa
Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa itu sajapun, penjajah pastilah bisa
Setelah peristiwa di Medan, tepatnya di Jalan Bali tersebut, peristiwa yang
sama yang mengikutinya adalah peristiwa “Siantar Hotel”. Setelah dikibarkannya
Sang Saka Merah Putih secara resmi pada tanggal 4 Oktober, sejak itu juga telah
berkobar konfrontasi yang hangat antara pihak NICA dan pemuda Pematang Siantar.
Ketika itu, serdadu NICA dibawah pimpinan Letnan Groenenberg telah menjadikan
Siantar Hotel sebagai kubu atau markas mereka. Sikap para serdadu ini sangat angkuh
luar biasa, karna mereka yakin akan kekuatan persenjataan yang mereka miliki, dan
mereka yakin pula bahwa suatu kekuatan besar yang di Medan akan siap sedia
membantu mereka. Meskipun demikian, rakyat simalungun pada khususnya tidak
merasa gentar dengan keadaan tersebut.
Sejak tanggal 10 Oktober markas BKPI dipindahkan ke samping kantor
Pemerintahan Kota, yang berhadap-hadapan langsung dengan kubu NICA (Siantar
Hotel) sehingga konfrontasi semakin hari semakin memanas. Dalam situasi
konfrontasi itulah Groenenberg menerima instruksi dari atasannya di Medan untuk
melakukan tindakan-tindakan propokatip menerbitkan kerusuhan-kerusuhan. Dalam
hal ini, para serdadu NICA melancarkan aksi propokatipnya dengan menurunkan
Sang Saka Merah Putih di beberapa tempat di Pematang Siantar termasuk di depan
asrama-I BKPI. Hal tersebut tentu saja mendapat tantangan yang keras dari pemuda
dan rakyat Indonesia di Siantar. Perkelahian-perkelahian yang keras terjadi antara
kemudian mearikan diri ke kubunya (Siantar Hotel) sambil melepaskan
tembakan-tembakan dengan pistol.
Setelah itu, segera diadakan rapat kilat dan melakukan serangan balasan
sehingga serdadu yang melakukan penembakan itu, lari menyelamatkan diri ke
gedung Siantar Hotel. Melihat kenyataan yang demikian, maka pimpinan pemuda
mengambil keputusan untuk menghancurkan Siantar Hotel yang merupakan kubu
NICA. Persis seperti yang terjadi di Medan, dengan terjadinya tindakan gila-gilaan
oleh tentara NICA itu, meledaklah kemarahan pemuda dan massa rakyat. Dalam
waktu yang singkat, beribu-ribu pemuda dan rakyat sekitarnya datang menyerbu ke
satu sasaran yaitu Siantar Hotel. Dibarengi dengan semangat yang meluap-luap
dengan senjata bambu runcing, tombak, pedang, parang bengkok, golok, geranat
botol, senapang dan lain-lain. Pihak NICA dalam kepanikannya melihat serbuan
massa yang demikian besar, lalu melepaskan tembakan-tembakan secara
membabibuta. Seorang pemuda bernama Muda Rajaguk-guk terkena tembakan dan
gugur. Hal tersebut tidak dapat membubarkan massa yang marah itu, bahkan
sebaliknya membuat mereka semakin bartambah marah. Bal-bal getah
ditumpuk-tumpuk disekitar hotel, dan bensin disebarkan lalu dibakar sehingga menimbulkan
asap tersebut, enam orang serdadu NICA terpaksa keluar dari persembunyiannya dan
akhirnya tewas dikeroyok massa rakyat.29
Karena merasa tidak sanggup lagi mempertahankan diri dengan kekuatan
sendiri, Tentara Belanda/NICA dengan cepat meminta bantuan kepada tentara Jepang
agar segera mengatasi peristiwa itu. Kemudian Butaicho Jepang Kolonel Orita yang
merasa bertanggung jawab atas keamanan di daerah itu beserta 25 truck penuh
serdadu Jepang tiba di Siantar Hotel. Kemudian pemuda-pemuda Indonesia disuruh
mundur dengan bayonet terhunus. Kolonel Orita beserta beberapa perwira stafnya dan
seorang jurubahasa menghadap ke markas besar BKPI dan segera mengadakan
perundingan. Pemimpin pemuda/BKPI yang dikepalai oleh Burhanudin Kuncoro
ketika itu tidak merasa keberatan dengan memberikan syarat bahwa: seluruh orang
Belanda dan senjata yang ada di Siantar Hotel, harus segera diserahkan kepada BKPI
dalam waktu setengah jam.
Ketika hendak menuju Siantar Hotel untuk melakukan perundingan, tiba-tiba
terdengar suara tembakan yang mengakibatkan seorang pemuda Indonesia gugur pada
saat itu juga. Tembakan selajutnya kini diarahkan kepada Burhanuddin, akan tetapi
cepat-cepat dilindungi oleh tentara Jepang yang mengawalnya. Tanpa pikir panjang
lagi, Burhanuddin langsung memerintahkan “gempur!!!”. Pada saat itu juga, massa
rakyat yang sejak tadi telah siap meyerbu, dengan pekikan merdeka serta semangat
juang yang demikian hebat, langsung menyerbu Siantar Hotel dari berbagai jurusan.30
Dalam peristiwa itu, tentara Jepang dengan bersusah payah menyelamatkan
orang-oramg Belanda/NICA dan dengan pengawalan, segera melarikannya ke
Medan. Pertempuran itu berlangsung sekitar 6 jam lamanya yang dimulai dari pukul
12.15-18.30. setelah pertempuran berakhir, para pemuda menyelidiki hotel itu
ternyata dijumpai ruangan-ruangan bawah tanah yang kemungkinan dipergunakan
sebagai tempat persembunyian serdadu-serdadu Belanda. Kedalam ruangan itu,
kemudian dituang air untuk mengeluarkan kalaku-kalau masih ada sisa serdadau
Belanda yang bersembunyi di dalam. Sementara bendera Belanda yang berhasil
dirampas pemuda diletakkan dilantai pintu masuk markas, sehingga setiap orang yang
lalu lintas kaluar masuk pasti menginjaknya. Kemenangan pemuda dan rakyat
Indonesia di jalan Bali dan Siantar Hotel member pengaruh yang cukup besar dalam
menyalakkan semangat juang rakyat.
30
Perundingan dengan BKPI telah gagal sebelum perundingan itu dilakukan, akibat dari nafsu penjajahan kaum imperialis itu sendiri. Dalam pertempuran itu, mengakibatkan:
1. Hancurnya Siantar Hotel, (kubu pertahanan Belanda/NICA di P.Siantar)
2. Tujuhbelas orang serdadu Belanda/NICA tewas, dan banyak yang menderita luka berat dan ringan.
Sebaliknya di pihak Indonesia telah gugur: 1. Muda Raja guk-guk.
2. Ismail Situmorang.
3.3Revolusi Sosial di Sumatera Timur
Revolusi Sosial atau sering juga disebut dengan “Peristiwa Malam Berdarah”
merupakan peristiwa pembunuhan terhadap raja-raja dan kaum bangsawan di
Sumatera Timur. Saat Belanda masih menjajah Indonesia, bangsa Belanda
memperkenalkan konsesi tanah. Maka para sultan bertugas untuk mengutip pajak dari
masyarakat dan mereka akan mendapat imbalan dari Belanda. Semakin banyak pajak
yang diperoleh dari rakyat maka semakin besar pula imbalan yang akan diterimanya.
Raja yang menikmati ketenangan hidup semakin memperdalam jurang pemisah
dengan rakyat jelata yang menderita dibawah pendudukan Belanda. Menjelang
berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942, banyak terdapat daerah yang berdiri
sendiri berkuasa penuh atas tanah dan seisinya. Daerah tersebut dikuasai oleh
sultan-sultan yang berkuasa secara mutlak.
Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan para sultan ini bersikap
ragu-ragu dalam menerima kemerdekaan Republik Indonesia dan mengharapkan
datangnya kembali Belanda sehingga kaum feodal kurang berpartisipasi dalam
perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, meletuslah Revolusi Sosial di Sumatera
Timur pada bulan Maret 1946 yang dikarenakan oleh kaum feodal yang tidak mau
bergabung dengan kaum revolusioner, bahkan mereka menciptakan lingkungannya
sendiri dengan mengikuti gaya hidup orang-orang Eropa yang “exclusive” dan tidak
mau bergabung dengan kaum pergerakan yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya
khusus dari sekutu, dengan harapan dengan adanya perlakuan istimewa ini, akan ada
pertikaian atau kecemburuan antar suku yang ada di Medan dan akan mengakibatkan
perpecahan.
Sewaktu meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur pergolakan terjadi dan
keluarga sultan ada yang ditawan bahkan ada yang dibunuh. Peristiwa ini merupakan
satu bentuk revolusi sosial yang dilakukan oleh kelompok radikal yang berada di
dalam tubuh Persatuan Perjuangan (PP) yang mencakup pimpinan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia
(PKI), disamping Laskar Barisan Harimau Liar (BHL) dan tentara Sabibillah.31
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Maret 1946, disamping untuk melenyapkan
raja-raja serta kaum bangsawan revolusi sosial ini juga bertujuan untuk menguasai harta
kekuasaan yang luar biasa yang dimiliki oleh raja-raja dan kaum bangsawan yang
mereka peroleh dari keistimewaan yang diberikan oleh Kolonial Belanda. Dengan
alasan tersebut mereka melakukan serangkaian perampokan, penculikan, dan
pembunuhan di hampir seluruh daerah Sumatera Timur seperti Karo, Simalungun,
Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tanjung Balai dan lain-lain.
Di Tanah Karo, dengan alasan menghadiri rapat PP di kota Berastagi, para
pemuda laskar-laskar tersebut menangkap dan mengasingkan para raja Urung dan
Sibayak yang hadir dalam rapat tersebut, sebagian diasingkan ke Aceh sebanyak 17
31
orang. Di daerah Simalungun anggota BHL yang sebagian merupakan pemuda
Simalungun pada tanggal 3 Maret malam harinya, mereka menangkap raja Pane serta
keluarganya lalu merampas harta bendanya. Raja dan keluarganya ini lalu dibawa ke
suatu tempat yang sedang diadakan pesta, kemudian mereka dibunuh. Selanjutnya
para pemuda tersebut terus melancarkan aksinya dengan menangkap raja-raja
Simalungun lainnya, membunuh mereka dan merampas harta bendanya.
Di tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, dengan menyerahkan ribuan orang
bersenjata, pada tanggal 3 Maret mereka mengepung istana kotanya. Tidak luput pula
para aristokrat antara lain Teuku Musa, pejabat pendukung kerajaan yang beristrikan
orang Belanda serta keluarganya, semuanya dibunuh. Keesokan harinya semua
bangsawan Melayu dibunuh, hingga dalm beberapa hari terdapat sekitar 140 orang
yang dibunuh di kota itu. Demikian juga di Labuhan Batu yang raja-rajanya terkenal
sangat kejam dalam menindas rakyat, juga tidak terlepas dari sasaran pemuda. Pada
tanggal 3 Maret istana Sultan di Tanjung Pasir dikepung juga, diserbu, dan semua
penghuninya ditawan. Keesokan harinya Sultan tersebut bersama dengan puteranya
ditemukan sedang sekarat kerena tusukan tombak di suatu lokasi pekuburan Cina.
Sementara di daerah itu juga, Wakil Pemerintah Negara Republik Indonesia, Tengku
pinggir sungai untuk dibunuh. Tengku Hasan dan seorang pembantunya dipenggal
kepalanya dan dua orang pembantu lainnya melarikan diri.32
Demikianlah kejadian itu menyebar keseluruh wilayah Sumatera Timur
termasuk kesultanan Langkat yang megah. Salah satu korban Revolusi Sosial dari
daerah Kesultanan Langkat adalah salah satu sasterawan asal Sumatera Timur yaitu,
Amir Hamzah. Amir Hamzah dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 dari kalangan
bangsawan di Tanjungpura, Langkat. Ia adalah putera Tengku Bendahara Paduka
Raja Kerajaan Langkat. Di pertengahan Maret 1946, Amir Hamzah mati dibunuh.
Pada usia 35 tahun, beliau dipancung oleh sekelompok pemuda dalam “revolusi
sosial” Langkat.33
Sementara di Kesultananan Deli Revolusi berlangsung aman. Revolusi yang
terjadi disini tidak sekejam dibanding daerah lain, dikarenakan anggota PADI serta
benteng pertahanan pasukan Inggris di Medan cukup kuat untuk melindungi keluarga
Sultan dari amukan massa. Sultan Deli meminta perlindungan dari Sekutu karena
pada masa Kolonial Belanda hubungan antara Belanda dengan Melayu itu sangat
dekat, sehingga pada masa perang kemerdekaan mereka berharap Belanda dapat
berkuasa kembali di Nusantara untuk mendapatkan kembali keistimewaan mereka
yang pernah diberikan oleh Belanda.
32Ibid., hlm. 43-45. 33
Revolusi Sosial yang dimulai pada tanggal 3 Maret berlangsung selama
hampir pada keseluruhan bulan Maret. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya berakhir
setelah pada tanggal 11 April 1946, PP memutuskan untuk beridiri teguh di belakang
pemerintah dan menyerahkan masalah penangkapan. Usaha penyelesaian revolusi
sosial tersebut tidak luput dari peranan para pemuda yang bergabung dalam
organisasi-organisasi pemuda yang kuat di tiap daerah seperti NAPINDO, PESINDO,
dan sebagainya.
3.4Agresi Militer Belanda I
Sebelum dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati, sebelumnya sudah pernah
dilakukan perundingan-perundingan yang mengarah ke perjanjian tersebut. Dalam
rangka melaksanakan diplomasi tersebut diambil suatu keputusan bahwa akan berlaku
penghentian tembak-menembak di seluruh Indonesia yang dimulai pada tanggal 15
Februari 1947 pukul 12.00 tengah malam. Perundigan seperti ini sudah sering
dilakukan akan tetapi pertempuran masih tetap saja ada. Melihat situasi yang terus
berperang akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui meja perundingan, sehingga pada tanggal 27 Maret 1947 ditandatanganilah
Perjanjaian Linggarjati.34 Salah satu isi dari persetujuan Linggarjati itu adalah bahwa
34
pemerintah Belanda mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia atas
Jawa, Madura dan Sumatera.35
Meskipun perjanjian Linggarjati telah ditandatangani, namun hubungan
Indonesia dengan Belanda tidak bertambah baik. Belanda tidak senang melihat
kemajuan-kemajuan perjuangan diplomatik RI untuk merdeka dan berdaulat penuh.
Keinginan Belanda untuk menjajah Indonesia kembali mendorongnya untuk
mengutak-atik isi perjanjian Linggarjati dengan tafsir sendiri yang tidak logis. Ketika
ingin melaksanakan perjanjian linggarjati, Nampak bahwa mereka tidak jujur dan
ikhlas dalam menyetujui perjanjian tersebut. Akan tetapi pelaksanaan diplomasi
tersebut didorong oleh rasa angkuh untuk menjadikan jalur diplomasi sebagai selang
waktu untuk membangun kekuatan militernya.
Agresi atau serangan Militer Belanda I adalah serangan serentak yang
dilakukan Belanda terhadap daerah-daerah Republik Indonesia. Serangan ini
dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947, perbedaan penafsiran terhadap persetujuan
Linggarjati, yang ditandatangani pada bulan Maret 1947 merupakan penyebab
serangan ini. Di satu pihak Belanda menganggap “kerjasama” yang terdapat di dalam
pasal 2 persetujuan tersebut sebagai kedaulatan Belanda di Indonesia tetap
berlangsung sampai terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).36 Sementara di
pihak lain Indonesia mengartikan “kerjasama” dalam pasal tersebut sebagai suatu
kerjasama dengan pertanggungjawaban bersama dalam membentuk federasi dengan
kedudukan yang setaraf.
Sementara itu Belanda mengeluarkan nota yang merupakan ultimatum yang
harus dijawab pemerintah RI, 14 hari sejak tanggal 27 Mei 1947. Dalam notanya itu,
Belanda menuntut pembentukan pemerintahan ad interim bersama, mengeluarkan
uang bersama, menyelenggarakan pemilikan ekspor dan impor bersama, disamping
menuntut agar RI mengirim beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki
Belanda. Hal ini tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. RI bersedia mengakui
kedaulatan Belanda hanya selama masa peralihan dan menolak gendamarie bersama.
Belanda yang tidak puas dengan jawaban tersebut kembali mengirim nota
pada tanggal pada tanggal 15 Juli 1947, yang isinya tetap menuntut gendamare
bersama dan menuntut agar RI menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Dalam
nota itu, Belanda juga memberikan ultimatum bahwa dalam waktu 32 jam RI sudah
harus member jawaban terhadap tuntutan-tuntutan Belanda. Oleh karena RI tetap
menolak tututan tersebut, akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 dini hari Belanda
melakukan serangan Militernya yang dikenal dengan Agresi Militer. Serangan
berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Dalam serangannya Belanda berhasil
36
menggempur jalan-jalan besar dan pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa dan
Sumatera.
Di Medan area, tentara Belanda melancarkan serangan besar tahap yang
pertama di sektor Barat dan Utara pada tanggal 21 Juli 1947. Dalam serangan ini
Belanda mengerahkan empat buah pesawat mustangnya dan berhasil menaklukkan
kota Binjai tepatnya di Markas Batalyon XII Resimen I Divisi IV Gajah II TRI.
Selain markas Batalyon XII, ada beberapa sasaran yang menjadi korban bombardier
mustang Belanda pada pagi itu, antara lain:
1. Markas RIMA (Resimen Istimewa Medan Area), yang kena hantaman
voltreffer dan hancur lebur berlobang yang memiliki diameter 5 meter.
Beberapa prajurit RIMA juga ikut menjadi korban.
2. Sejumlah rumah penduduk yang berada disekitar asrama Polisi Militer
ikut rusak akibat dijatuhi bom. Sebuah rumah milik pegawai perkebunan
juga menjadi hancur lebur dan semua penghuninya (suami-isteri, dan
empat orang anaknya) ikut menjadi korban penyeranagan ini.
3. Rumah penjara Landschap yang biasanya digunakan Polisi Tentara
sebagai rumah tahanan hancur juga dihantam voltreffer. Semua yang
berada di rumah tahanan tersebut hancur babak belur, disana-sini
berserakan kepala, paha dan bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi
4. Kantor dan Rumah kediaman Wedana Binjai juga menjadi sasaran bom
mustang Belanda, namun tidak rusak parah karena pelurunya kurang tepat
pada sasarannya.37
Setelah korban pemboman pesawat terbang Belanda itu dikumpulkan,
terdapat sebanyak 26 orang yang meninggal dunia, dan 30 orang yang menderita luka
berat. Aksi serangan udara Belanda tersebut juga tidak hanya ditujukan ke kota Binjai
saja. Pemboman besar-besaran juga diarahkan ke Two Rivers di sektor Medan
Selatan. Setelah dari Two Rivers, serangan dilanjutkan ke sektor Utara yakni
sasarannya adalah Labuhan Deli, Hamparam perak, Kelumpang, Kelambirlima,
Buluhcina, selanjutnya ke Tandem Hilir.
Dalam melancarkan aksinya, pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan Poh
An Tui, yang berkhianat dan menyamar menjadi pasukan lasykar rakyat.38
Panser-panser yang mengangkutnya dihiasi dengan nama-nama besar pimpinan laskar rakyat
37 Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949 jilid II), (Medan: Tanpa penerbit, 1996), hlm.25-26.
38 Pasukan Poh An Tui adalah penduduk Tionghoa yang bekerja sama dengan
Inggeris/Belanda. Barisan “Poh An Tui” berdiri pada tanggal 1 Januari 1946, atas bantuan
Inggeris/Belanda dengan dilengkapi dengan persenjataan yang ringan dan yang berat. Kementerian Penerangan Propinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia, (Medan: Tanpa penerbit, 1953), hlm. 49-50.
Bukti penghianatan lainnya oleh pasukan Poh An Tui ini adalah, setelah berdirinya pasukan ini, intuk memperlihatkan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat kota Medan, Poh An Tui pernah mengadakan “Show of force” dengan melakukan demonstrasi anti Indonesia dengan membawa spanduk-spanduk dan poster-poster yang menghina bangsa Indonesia. Poster-poster itu beraksara Cina
seperti Bedjo, Timur Pane, Jacob Lubis, Hamid Nasution, Malim Zainal dan Yahya
Aceh. Diatas panser yang paling depan mereka kibarkan bedera Merah Putih,
sehingga pasukan-pasukan tersebut mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat
sambilmeneriakkan kata MERDEKA!!!. Namun setelah melihat jeep-jeep dan
truk-truk yang menyusuli ringan panser tersebut, rakyat sadar bahwa mereka sedang
dikelabui oleh Belanda.
Serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda ini tentunya tidak dapat
diterima oleh pejuang Republik Indonesia, sehingga pada tanggal 23 Juli 1947
Komando Medan Area melancarkan serangan merebut Medan kembali dari sektor
Selatan dan Timur. dalam aksi balas dendam ini pasukan Republik mengalami
kegagalan yang kedua kalinya setelah tanggal 22 Juli 1947 juga telah melakukan
serangan namun mengalami kegagalan dan tidak berhasil merebut Medan Area.
Dalam perjuangan yang dilakukan oleh pasukan kita ini yang dapat dicatat adalah
bahwa pasukan kita mengalami banyak kendala dalam melakukan penyerangan balik
terutama di bidang Logistik, dan angkutan.39
Sementara itu setelah peyerangan yang dilakukan oleh pasukan Republik,
Belanda kembali melakukan penyerangan serangan besar tahap kedua pada sektor
Selatan dan Timur serta mendaratkan pasukan di Pantai Cermin pada tanggal 28 Juli
1947.Dalam serangan besar tahap kedua ini Belanda juga menerapkan pola “gerakan
39
kilat” (blitzkrieg) yang sifatnya „menggunting dan mengepung‟ yang tujuannya
adalah agar pasukan kita kacau-balau, dihancurkan atau menyerah. Serangan ini
berhasil menjadikan Perbaungan, Tanjung Morawa dan Lubuk Pakam takluk kepada
tangan pasukan Belanda.
Dengan jatuhnya daerah-daerah tersebut ke tangan Belanda maka
tentara-tentara Laskar rakyat harus melewati perjuangan yang sangat heroik untuk keluar dari
kepungan tentera Belanda. Perjuangan yang kita kenal saat itu yakni perjuangan Aras
kabu dan pertempuran di Sungai Ular. Dalam perjuangan heroik tersebut, dengan
bermodalkan persenjataan yang minim pasukan Republik yang dipimpin oleh Manaf
Lubis berhasil merebut stasiun Kereta Api Lubuk Pakam dan membakar stasiun
tersebut. Dalam waktu yang bersamaan juga pasukan Bedjo dan pasukan Lahiraja
Munthe memasuki kota Lubuk Pakam. Pasukan Belanda mengundurkan diri dari kota
itu tetapi pada pukul 03.00 dini hari mereka meluncurkan kembali serangan balasan
dengan menggunakan beberapa Tank. Pasukan kita memberikan perlawanan sengit bahkan seorang anggota pasukan yang bernama Simbon melakukan “serangan
jibaku” terhadap tank-tank musuh. Simbon gugur dalam peristiwa tersebut, akan
tetapi berkat serangan sengit itu tentara musuh berhasil dipukul mundur. Kemudian
jasad Simbon dikuburkan, dan pagi harinya rakyat Lubuk Pakam keluar dari rumah
mereka menyambut pasukan-psukan kita denga luapan kegembiraan. Pada sore
mengakiatkan pasukan Munthe menyingkir ke daerah Dolok Masihol, dan pasukan
Bedjo menyingkir menyususri Sungai Ular.
Demikian serangan demi serangan terjadi terhadap pasukan Republik, yang
mana dalam Agresi Militer Belanda yang pertama ini, mereka berhasil menduduki
daerah-daerah dan pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa dan Sumatera. Akhirnya
setelah mendapat perintah dari dewan PBB (atas permintaan Australia dan India) agar
menhentikan aksi tembak-menembak, pada tanggal 4 Agustus 1947 keduan Negara
yang bertikai diumumkan untuk melakukan gencatan senjata. Dengan diumumkannya
pengumuman ini, maka berakhirlah Agresi Militer I Belanda.
3.5Berdirinya Pemerintahan Republik di Sumatera Timur
Masa antara tahun 1945-1949 merupakan masa yang kritis bagi bangsa
Indonesia, dimana terjadi pergolakan disana-sini. Masa ini juga merupakan masa
dimana Belanda sedang giat-giatnya melakukan federalisasi, yang bertujuan untuk
menjadikan negara Indonesia sebagai negara boneka atau negara bagian. Usaha
terus-menerus dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda untuk menghapuskan kerajaan
bumiputera, tetapi terhenti ketika pecahnya perang dunia ke-II. Kita lihat ketika
pemerintahan NICA Belanda menduduki beberapa wilayah Indonesia tahun
1946-1949, pemerintahan kerajaan Bumiputera tidak lagi direhabilitirnya meskipun
(yang diciptakan Van mook) dan bukan kaum raja-raja yang feodal, untuk
mengimbangi pihak Republik Indonesia.
Dalam kegiatan federasinya, Belanda berhasil menghimpun 15 negara, yang
dibagi kedalam dua kelompok. Pertama, yang disebut dengan Negara, yaitu; Negara
Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara
Pasundan, Negara Madura, dan Negara Djawa Timur. Kedua, disebut kelompok
Daerah Istimewa, yaitu; Bangka dan Biliton, Riau, Djawa Tengah, Distrik Federal
Batavia dan sekitarnya, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Barat, Kalimantan Barat Daya (Kota Waringin) dan Kalimantan Timur.40
Ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945) status kerajaan Bumiputera
tetap tidak berubah dan mereka tunduk kepada sembarang pemerintah militer Jepang
karena dalam keadaan perang. Proses pembentukan NST tidak terlepas dari dinamika
berbagai kelompok etnis yang ada di wilayah Sumatera Timur sejak masa
Kolonialisme Belanda hingga revolusi kemerdekaan.
Pada Agustus 1945 Medan diterpa oleh konflik politik dan sosial yang serius
karena kekosongan kekuasaan setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Beberapa
golongan-golongan masyarakat yang ada di Sumatera Timur tidak dapat dipersatukan
oleh sebuah kepemimpinan sehingga terdapat berbagai pertikaian diantara golongan
40
masyarakat. Ada yang masih mengharapakan hadirnya kembali penguasa lama dan
tidak ingin bergantung kepada Republik yang belum jelas.
Setelah dibacakannya proklamasi kemerdekaan secara resmi oleh Mr. T.
Moehammad Hasan di Sumatera Timur, maka beliau selaku Gubernur Sumatera
ketika itu mencoba untuk mengatasi persoalan yang ada dalam golongan-golongan
masyarakat dengan menampung aspirasi kaum bangsawan melalui kebijaksanaan
rekonsiliasinya.41 Kebijaksanaan ini pada akhirnya tidak berhasil untuk menyatukan
golongan-golongan masyarakat Sumatera Timur dimana para pendukung Republik
mengambil jalan pintas untuk melenyapkan golongan Bangsawan dengan sistem
feodalnya melalui revolusi sosial 1946. Raja-raja Sumatera Timur turut mendudkung
N.R.I. atas hasutan dan disponsori oleh kaum komunis, maka pada tanggal 3 Maret
1946 terjadilah apa yang disebut “Revolusi Sosial” dimana raja-raja diturunkan dan
kerajaan diambil alih. Banyak terjadi pembunuhan, perampokan harta benda, dan
perkosaan terhadap kaum bangsawan, dan mana yang masih hidup ditangkap dan
dimasukkan kedalam kamp tawanan. Sejak itu status kerajaan bumiputera di
Sumatera sudah dihapus.42
Dalam kondisi yang tidak menentu ini, masyarakat Sumatera Timur
seakan-akan menjadi terbagi dalam tiga kelompok yaitu Republik, Belanda, dan Kerajaan.
41
Pada tanggal 31 September 1945 peristiwa Proklamasi Kemerdekaan secara resmi diumumkan oleh Mr. T.M. Hasan selaku Gubernur Sumatera ketika itu, dihadapan 700 rakyat pada rapat Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I) di Sekolah Taman Siswa Medan.
42
Kelompok Republik adalah orang-orang yang mendukung dan ingin berlindung
dibawah pemerintahan Republik Indonesia. Kelompok Belanda adalah orang-orang
Belanda yang ingin menanamkan kedudukannya kembali di Indonesia. Sementara
setelah proklamasi kemerdekaan raja-raja Melayu ada yang sebagian mendukung
republik dan ada juga mendukung dan masih berlindung kepada Belanda. Dapat
dikatakan sikap para raja-raja dan Sultan setelah proklamasi adalah bersikap
“menunggu dan lihat” tanpa menyatakan dukungan kepada siapa pun. Diantaranya
yang mendukung Republik adalah Sultan Langkat, Serdang, dan Asahan. Sultan Deli
secara terang-terangan tidak mengakui akan kedaulatan Republik.43
Dengan pecahnya masyarakat kedalam beberapa kelompok ini, sehingga
meletuslah revolusi sosial tahun 1946 yang susah dikendalikan dan menyerang siapa
saja yang berbau feodal dan kolonial, termasuk didalamnya birokrat-birokrat republik
yang hanya memakai “dasi”. Revolusi sosial ini telah membawa puluhan korban
bangsawan Sumatera Timur diantaranya adalah Amir Hamzah. Untuk menumpas
tindakan Revolusi Sosial ini maka Belanda melakukan aksinya lewat Agresi Militer
Belanda tahun 1947.
Keberhasilan Agresi Militer Belanda dalam menumpas unsur-unsur Republik
dari Sumatera Timur, telah memperkuat moral kaum Bangsawan untuk merealisasi
ide-ide otonomi Sumatera Timur. Gagasan pembentukan Daerah Istimewa Sumatera
43
Timur akhirnya berlanjut ke arah pembentukan sebuah Negara Sumatera Timur. Pada
tanggal 5 Oktober 1947, berangkatlah utusan dari Sumatera Timur ke Jakarta untuk
rencana pembentukan Daerah Istimewa Sumatera Timur.44 Pada tanggal 8 Oktober
1947 tugas mereka berhasil dan dikeluarkanlah Besluit Letnan Gubernur Jendral H.H.
Van Mook, yaitu Staatblad No. 176 tahun 1947 jo Stbld No. 217 tahun 1947 yang berisi bahwa komite DIST dirubah menjadi “Dewan Sementara Sumatera Timur”
yang akan merancang Statuen (Undang-undang Dasar).45 Dengan Staatsblad No.14
tahun 1948 terbentuklah “Negara Sumatera Timur” (N.S.T.). Adapun yang menjadi
Wali Negara Sumatera Timur ketika itu yang terpilih adalah Dr. Tengku Mansyur,
dan Raja Kaliamsyah Sinaga sebagai Wakil Wali Negara.
Ada 7 buah departemen yang dibentuk dan ditetapkan untuk mengisi struktur
pemerintahan N.S.T. saat itu, yakni;
Kepala Departemen Kehakiman : Mr. Tan Tjeng Bie.
Kepala Departemen Keuangan : M. Lalisang.
Kepala Departemen Pekerjaan Umum : Tengku Sulong Habitullah.
Kepala Departemen Kebudayaan : J. Keulemans.
44
Utusan Sumatera Timur yang berangkat ke Jakarta ketika itu adalah Tengku Dr. Mansyur, T. Mr. Dzulkarnain, Datuk Hafidz Haberham, Tuan Jomat Purba, M. Lalisang, dan Dr. F.J. Nainggolan. Tuanku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 566.
45
Adapun isi Undang-undang Ketatanegraan Sumatera Timur itu adalah:
1. Adanya suatu Dewan Perwakilan terdiri dari 38 anggota yang dipilih dan 12 orang yang diangkat.
2. Adanya suatau BADAN AMANAH terdiri dari sebanyak-banyaknya 7 orang.
Kepala Departemen Ekonomi :Mr. T. Bahriun (Merangkap
Sementara).
Kepala Departemen Pemerintahan : Tengku Hafas
Kepala Departemen Keamanan : Tuanku Sultan Saibun.
Kemudian sebagai Panglima Barisan Pengawal Sumatera Timur diangkat Kolonel
Jomat Purba. Selanjutnya Badan Amanah terdiri dari Raja Kaliamsyah Sinaga sebagai
ketua dan anggotanya terdiri dari; Ngerajai Meliala, T.M. Nahar, Tan Bun Jin, D.P.
Van Meerten, Dt. Kamil,dan F. Rotty. Pada tanggal 12 Maret 1948 diadakanlah
upacara peresmian N.S.T. yang dihadiri oleh utusan dari berbagai wilayah lainnya di
Indonesia dan pembesar-pembesar dari Jakarta.46
3.6Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II adalah peristiwa penyerangan Belanda terhadap
Republik Indonesia untuk kedua kalinya. Pada tanggal 18 Desember 1948 tepatnya
malam hari Tentara Belanda melancarkan aksi Militer terhadap daerah kekuasaan
Republik Indonesia. Perjanjian Renville yang disepakati bersama antara Indonesia
dengan Belanda yang ditandatangani di atas kapal Amerika Serikat Renville pada
tanggal 18 Januari 1948, merupakan kemenangan politik dan militer bagi Belanda.
Dari pihak Indonesia, sebenarnya tidak menerima pokok-pokok isi Perjanjian
Renville tersebut, namun untuk menjamin posisi RI di mata Internasional maka
46
perjanjian renville-pun diterima. Dengan diterimanya perjanjian tersebut berarti
pasukan-pasukan RI harus mengosongkan daerah-daerah yang akan menjadi wilayah
kekuasaan Belanda menurut isi perjanjian tersebut. Dengan demikian paling lambat
pada tanggal 7 Februari 1948, seluruh pasukan RI harus sudah keluar dari garis
statusquo. Selanjutnya berlangsunglah pengunduran besar-besaran pasukan RI ke
daerah Republik yang semakin sempit. Pelaksanaan perjanjian Renville yang oleh
pemerintah RI dikatakan sebagai “perjuangan dari peluru ke suara rakyat “from the
bullet to the ballot”, ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan karena Belanda
selalu megajukan tumntutan yang tidak mungkin diterima oleh pihak RI.
Semenjak permulaan Desember 1948, suasana politik sudah semakin keruh.
Dalam perundingan-perundingan terdapat banyak perbedaan paham antara delegasi
RI dengan delegasi Belanda. Ketika itu memang sudah jelas Nampak sikap Belanda
yang berniat untuk menghancurklan RI. Kegentingan semakin meningkat, Belanda
merasa dan memandang bahwa perselisihan antara Indonesia dan Belanda adalah
masalah dalam negeri, dengan demikian Belanda tidak memandang lagi adanya KTN
(Komisi Tiga Negara).
Pada tanggal 11 Desember 1948, Dr. Bell yang berkedudukan sebagai Wakil
Tinggi Mahkota mengirim ultimatum kepada RI, yang berbunyi : “supaya RI ikut
dalam interi pemerintahan interim federal dan harus mengakui kedaulatan Belanda sepenuhnya”. Ultimatum tersebut dijawab oleh pihak RI dengan mengatakan :
pemerintah RI sekedar hanya untuk mempertahankan de facto RI dan
mempertahankan TNI. Setelah itu beberapa hari kemudian Belanda menjawab dengan
: Bahwa hanyalah satu keterangan yang cepat serta mengikat dari pemerintahan RI
yang dapat memberikan jalan lagi untuk memulai perundingan.
Pada tanggal 18 Desember 1948, sekitar pukul 23.30 menyusul sebuah
pengumuman Belanda yang ditujukan baik kepada RI maupun KTN, yang isinya
antara lain : Bahwa Belanda tidak mengakui dan terikat lagi dengn persetujuan
Renville dan merasa bebas untuk melakukan tindakan apa saja yang diinginkannya.
Demikianlah maka pada pagi-pagi buta tanggal 19 Desember 1948, sejumlah
tentara payung Belanda di drop di sekitar Lapangan Maguwo dan sekitar ibu kota
perjuangan Joyakarta. Pada saat genting tersebut cabinet mengadakan sidang dengan
tokoh-tokoh politik, dan pembesar-pembesar militer. Sidang cabinet tersebut
memutuskan, bahwa pimpinan Negara serta orang-orang pemerintah tetap tinggal di
ibu kota, kemudian memberikan mandate kepada Syafruddin Prawiranegara untuk
memimpin Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
Sementara TNI berpendapat bahwa apapun yang terjadi terhadap orang-orang
pemerintahan, perjuangan akan tetap diteruskan sampai cita-cita proklamasi tercapai.
Panglima Besar Angkatan Perang, Jenderal Sudirman47 sebelum meninggalkan kota
untuk bergabung dengan para gerilya pada tanggal 19 Desember 1948 mengeluarkan
perintah harian sebagai berikut:
Perintah kilat Panglima Besar Angkatan Perang:
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948, angkatan perang Belanda menyerang
kota Jogyakarta dan Lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan tersebut.
Demikianlah perintah Panglima Besar Angkatan Perang yang berarti perintah
kepada seluruh pasukan RI untuk berperang melawan Agresi Militer Belanda ke II,
tidak terkecuali di Sumatera. 48
langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Pada tanggal 18 Desember 1945 dia memperoleh pangkat Jenderal lewat pelantikan Presiden. Pangkat itu diterimanya bukan melalui Akademi Militer atau Pendidikan Tinggi, melainkan karena prestasinya.
Jenderal Sudirman merupakan pahlawan pembela kemerdekaan yang tidak peduli dengan keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal Pertama dan termuda di Republik Indonesia. Dimasa perjuangannya Jenderal Sudirman mengidap penyakit TBC. Dalam keadaan sakit ia memimpin dan memberi semangat kepada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerillya. Ia berpindah dari hutan ke hutan dan dari gunung ke gunung tanpa peduli sakit yang dideritanya. itulah sebabnya mengapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
48
Di daerah Sumatera Timur perlawanan Gerilya dilakukan di semua daerah
yang dimulai dari Asahan-Labuhan Batu yang dilakukan pada tanggal 19 Desember
1948 pada pukul 06.00 pagi. Di daerah Langkat berita tentang terjadinya Agresi
Militer Belanda ke II ini diketahui lewat radio pada malam harinya. Dari siaran radio
tersebut dapat diketahui bahwa ibu kota perjuangan Yogjakarta telah diduduki oleh
Belanda, Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa menteri ditawan, dan
Pemerintahan Darurat telah diserahkan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara
dengan berkedudukan di Sumatera.
Dengan didahului oleh Perintah-Harian Panglima Besar Sudirman yang dapat ditangkap melalui siaran “All India Radio” pada sore hari tanggal 19 Desember 1948
tentang perintah gerakan bumi hangus dan perintah “perang gerilya”. Berdasarkan
perintah harian Panglima Besar itu lalu komandan Divisi X TNI meneruskan perintah
harian tersebut kepada mayor M. Nasir selaku Komandan Resimen V KSBO,
kemudian dengan segera pula perintah harian itu disampaikan kepada semua
batalyon-batalyon yang berada dibawah komando Resimen V KSBO Divisi X TNI
untuk melaksanakan perintah melakukan gerilya ke daerah-daerah pendudukan
Belanda.
Di daerah Karo dalam upaya menghadapi aksi-aksi militer Belanda, pada
mulanya daerah Karo dimasukkan dalam komando Sektor III yang dipimpin oleh
Mayor Selamat Ginting. Pada tanggal 25 Desember Mayor Selamat Ginting dan
sebagai markas Komandan Sektor IV sehingga seluruh pasukan telah lama
mengetahui bahwa dalam keadaan perang, Komandan sektor dapat ditemukan disana.
Dari tempat itulah aksi-aksi gerilya di sector III yang meliputi Tanah Karo dan Dairi
dilancarkan.
Sementara di daerah Simalungun, menurut perjanjian Renville daerah
Simalungun termasuk dalam wilayah kekuasaan Belanda. Ketika pecahnya perang
kemerdekaan tidak ada lagi pasukan kita yang berada di Simalungun, oleh karena itu
TNI melakukan “wingate”49
ke Simalungun. Pelaksanaan wingate ke daerah ini dapat
dilakukan karena telah terjadi hubungan baik antara pasukan-pasukan kita dengan
masyarakat, sehingga diharapkan dengan bantuan rakyat, pasukan-pasukan kita akan
sukses melakukan perang gerilya. Pelaksanaan wingate ke Simalungun telah dimulai
sejak tanggal 21 Desember 1948 oleh Pasukan Istimewa yang dipimpin oleh Alfred
Simatupang.
BAB IV
KETERLIBATAN SENIMAN PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA TIMUR
Tahun 1945-1949 merupakan masa revolusi fisik di Indonesia. Fase ini
menuntut bangsa Indonesia untuk kembali harus berjuang melawan Belanda.
Kedatangan Belanda setelah proklamasi bertujuan untuk menguasai Indonesia
kembali. Peristiwa ini berpengaruh besar terhadap bidang kenegaraan, sosial
ekonomi, politik, dan seni budaya Indonesia. Revolusi didukung dari berbagai
kalangan dan terjadi hampir diseluruh Indonesia, termasuk Sumatera Timur.
Serentak dengan perputaran roda revolusi nasional yang berputar
terus-menerus, mental bangsa Indonesia yang selama penjajahan Belanda dan Jepang
sebahagian besar berjiwa budak, kini secara drastis telah berubah menjadi jiwa
bangsa yang merdeka. Semua suku dan golongan masyarakat yang ada di Sumatera
Timur, telah bergabung menjadi satu kekuatan massal yang bersedia gugur untuk
kemerdekaan. Bahkan karna fanatiknya terhadap kemerdekaan, siapa saja yang
mereka anggap mau mencoba menghalang-halangi, pasti dengan segera mereka akan
berhadapan dengan roda revolusi. Perubahan jiwa dan semangat yang demikian besar
dan hebat, tentu saja tak mungkin terjadi tanpa adanya suatu pengarahan, bimbingan,
Salah satu peranan penting yang sangat berpengaruh dalam kemerdekaan
Indonesia adalah peranan yang dilakukan oleh para seniman. Seniman lagu, sastera,
teater, dan lukis telah mempersembahkan dharma baktinya sesuai dengan profesinya
yang ternyata sangat menonjol dalam penggugahan dan pembinaan semangat
merdeka itu. Lagu-lagu perjuangan yang muncul digaris depan Medan Area
menghadapi Sekutu (Inggris), Belanda, NICA dan segala antek-anteknya telah dapat
di rekam oleh seniman-seniman kita melalui karya-karya mereka.
Pada masa-masa pemerintahan Kolonial, Belanda tidak pernah memberi ruang
kepada para seniman Indonesia untuk mengembangkan diri. Belanda tidak pernah
menghargai karya-karya kesenian putra-putra Indonesia. Belanda berhasil
menjatuhkan mental para seniman Indonesia sehingga mereka merasa tidak dihargai.
Alasan yang tidak pernah diketahui mengapa Belanda melakukan hal itu adalah
adanya kekhawatiran akan munculnya karya seni ciptaan kaum seniman yang berjiwa
merdeka. Ini membuktikan bahwa sekecil apapun karya dari para seniman pada masa
penjajahan sangat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang.
Pada zaman pendudukan Jepang merupakan saat pematangan bagi
pertumbuhan seni dan budaya. Pemerintah Jepang dalam menanggapi kehidupan seni
kehidupan seni tampak lebih memasyarakat dibandingkan pada masa Kolonial
Belanda. Banyak pemuda pelajar mulai ikut aktif dalam bidang seni budaya.50
Memasuki periode revolusi kemerdekaan, para seniman mulai menunjukkan
keberadaannya. Seniman-seniman era 1945-1949, tidak terlepas dari pengaruh Jepang
yang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. seniman yang mulai
menonjolkan keberadaannya pada masa Jepang yang kita kenal secara Nasional
adalah seperti; Affandi,51 Amir Hamzah,52 Armin Pane,53 Djajakusuma,54 Ibu Soed,55
Kusbini,56 S. Sudjojono,57 Chairil Anwar,58 Usmar Ismail,59 dan lain-lain.
50 Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1991), hlm. 29-30.
51Affandi adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia. Ia lahir di Cirebon pada tahun 1907 dengan aliran lukisannya adalah ekspresionisme dan romantisme. Affandi telah melahirkan lebih kurang dari dua ribu lukisan. Pada tahun 1950-an pernah melakukan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Salah satu karyanya adalah poster propaganda
“Boeng Ajo Boeng” yang dilukisnya pada tahun 1945. (www.biografipedia.com). 52
Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Pujangga Baru, lahir pada tahun 1911. Keturunan bangsawan Langkat Sumatera Timur.
53Armin Pane adalah organisator Pujangga Baru, Penulis novel yang berjudul Belenggu. 54Djajakusuma adalah pemeran dan sutradara film Indonesia.pada saat peristiwa revolusi Indonesia, ia berperan sebagai militer dan mendapat gelar kapten. Ia berjuang didaerah joyakarta. Film
pertama yang diproduksinya adalah “Darah dan Doa” yang menceritakan tentang perjalanan Divisi
Siliwangi dari Jogyakarta menuju Jawa Barat pada tahun 1948.
55Ibu soed, bernama asli Saridjah Niung adalah seorang pemusik, guru musik, pencipta lagu anak-anak, penyiar radio, dramawan dan seniman batik Indonesia. Ibu soed dikenal dengan lagu
ciptaannya yaitu; “Berkibarlah Benderaku” dan “Tanah Airku “. http//www. Indonesiaberdendang.com
diakses pada tanggal 03 Januari 2016.
Kekuasaan Jepang tidak bertahan lama di Indonesia. Setelah kota Hiroshima
dan Nagasaki dijatuhi bom Atom oleh Amerika, akhirnya Jepang menyerah.
Berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia merupakan awal kebebasan bagi bangsa
Indonesia. Hal ini juga sangat berdampak bagi perkembangan kebudayaan dan
kesenian Indonesia. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk berekspresi
melalui karya seni yang diciptakan.
Seluruh masyrakat telah mendengar bahwa Indonesia telah merdeka.
Demikian juga para seniman mulai bergerak dengan lagu-lagu perjuangan dan
coretan-coretan perjuangan. Para pelukis membuat coretan berbentuk tulisan dan
karikatur di gerbong kereta api, gedung-gedung, dinding-dinding toko dan
tempat-tempat strategis lainnya dengan slogan perjuangan. Pada saat revolusi fisik yang
dialami rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut
oleh Belanda kembali, para seniman selain berkarya ada pula yang turut berjuang di
front-front pertempuran. Berikut akan dibahas mengenai perjuangan-perjuangan serta
keterlibatan seniman Sumatera Timur dalam mempertahankan kemerdekaan.
57S. Sudjojono merupakan pelukis asal Sumatera Utara, yang lahir di Kisaran pada tanggal 14 Desember 1913. Karya lukisannya pada masa revolusi, banyak bertemakan tentang semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda.
58Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1992, dia adalah seorang penyair. Contoh karyanya yang terkeal adalah puisi yang berjudul Aku dan Krawang Bekasi.
59
4.1 Seniman Musik
Pada umumnya musik menuntut kecerdasan dan perasaan yang lebih tinggi
dari penonton atau pendengar. Hal ini dikarenakan musik melukiskan sesuatu secara
abstrak. Pada masa kemerdekaan, musik yang dibutuhkan rakyat adalah musik yang
praktis, mudah dipahami, dan mudah dihafalkan, musik yang bernuansakan
kerakyatan, yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian seniman menjadikan seni budaya sebagai alat propaganda untuk
mempengaruhi masyarakat.
Lagu-lagu propaganda di masa pendudukan Jepang dan revolusi di Indonesia
dikenal dengan istilah musik fugsional yang diciptakan untuk mencari dukungan
politik. Fungsi utama lagu-lagu propaganda adalah alat penyebarluasan pendapat
yang bersifat simpel, tetapi dampaknya bersifat kompleks. Pada masa itu, teknik
bernyanyi tidaklah begitu penting, yang diutamakan adalah makna serta isi teks lagu
yang bersifat mengajak, mempengaruhi pikiran rakyat yang mudah dinyanyikan dan
dihayati seluruh masyarakat. Para seniman menyadari kondisi masyarakat pada masa
revolusi banyak yang belum melek huruf. Musik dan lagu yang diciptakan harus
disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Tahun 1945-1949 merupakan tahun yang sangat berat untuk Indonesia, hal ini
dapat kita nilai dari karya-karya seni yang lahir pada kurun waktu tersebut. Dari
waktu tertentu. Pada umumnya, seniman itu peka dengan apa yang terjadi disekitar
mereka. Apa yang dituangkan dalam sebuah lagu merupakan gambaran suasana
kurun waktu tersebut. Seniman itulah yang menginterpretasikan situasi dan kondisi
pertempuran sehinggga dijadikan menjadi sebah lagu untuk menambah spirit.60
Contoh lagu perjuangan yang lahir pada masa revolusi perjuangan adalah lagu
yang berjudul “Butet”. Bukan hanya orang batak, lagu ini bahkan sudah familiar bagi
bnayak orang diluar suku batak. Lagu butet, lagu yang mengalun dengan tempo yang
mendayu ini sudah menjadi sebuah lagu yang melegenda.
Dari lirik tersebut dapat kita rasakan bagaimana kondisi saat peperangan itu
terjadi. Ayahnya rela meninggalkan istri dan ankanya demi mempertahankan
kemerdekaan republik Indonesia. Dalam kehidupan, harta yang paling berharga
adalah keluarga kita, namun itu pun ditinggalkan bahkan nyawa sekalipun
dikorbankan untuk tanah air Indonesia tercinta.
Selain lagu Butet, terdapat sebuah lagu dari Tanah Karo yang berjudul
“Erkata Bedil”, yang merupakan sebuah lagu perjuangan yang lahir pada saat
mempertahankan kemerdekaan.
Erkata Bedil adalah salah satu lagu perjuangan dari daerah Karo yang
diciptakan oleh almarhum Djaga Depari. Jika lagu ini diterjemahkan kedalam bahasa
kuta Medan (bunyi/dentuman senjata di kota Medan) adalah kalimat pembuka dari
syair lagu ini, serta di baris kedua dilanjutkan dengan kalimat ngataken kami maju
ngelawan (sebagai pertanda/panggilan bagi kami untuk maju melawan). Itulah dua
baris kalimat pada bait pembuka dari lagu karya Djaga Depari ini.
Berkobarnya peperangan di kota Medan menjadi rasa tanggung jawab bagi
pemuda/pemudi karo di wilayah-wilayah Tanah Karo lainnya untuk membantu
saudara-saudaranya yang di Kota Medan. Perang di Medan adalah perang bagi
seluruh wilayah dan masyarakat Karo, sehingga sering dikatakan “dari Medan Area menuju Karo Area”. Dari makna lagu tersebut kita dapat melihat gambaran betapa
pentingnya kemerdekaan tersebut untuk dipertahankan.
Selain lagu-lagu diatas, terdapat beberapa lagu yang lahir pada saat
mempertahnkan kemerdekaan di Sumatera Timur, diantaranya adalah Mariam
Tomong, awaslah NICA/Belanda, Letnan Kadir (lagu yang didedikasikan khusus
untuk Letnan Kadir), O turang, O bayangan, Marilah Pemuda-pemudi, Sora Mido dan
lain-lain.
Di dalam buku yang berjudul Djaga Depari Seorang Komponis dari Tanah
Karo diceritakan bagaimana kondisi setela