• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga, Jawa Barat"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KONSEP ARSITEKTUR HIJAU

KAMPUNG NAGA, JAWA BARAT

FARIS HUSAINI EL SHABIR

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga Jawa Barat adalah benar karya Saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Faris Husaini El Shabir

(4)

ABSTRAK

FARIS HUSAINI EL SHABIR. Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga, Jawa Barat. Dibimbing oleh FITRIYAH NURUL H. UTAMI.

Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, termasuk energi, air dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Arsitektur hijau merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Terdapat banyak cara dan standar pengukuran arsitektur hijau, salah satunya adalah GREENSHIP dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakter lanskap di Kampung Naga, menghitung tingkat hijau bangunan tradisional, dan membuat rekomendasi model bangunan hijau berdasarkan karakteristik arsitektur tradisional Kampung Naga. Dari penilaian tingkat hijau didapat kesimpulan bahwa Kampung Naga termasuk kategori emas dalam peringkat GBCI. Hasil penilaian tingkat hijau ini kemudian dipadukan dengan nilai-nilai tradisional Kampung Naga untuk menghasilkan rekomendasi rancangan rumah hijau tradisional.

Kata kunci: greenship green level, GBCI, arsitektur tradisional Indonesia, Kampung Naga

ABSTRACT

FARIS HUSAINI EL SHABIR. Green Architecture Concept’s Study of Kampung Naga, West Java. Supervised by FITRIYAH NURUL H. UTAMI.

Green architecture is an architecture that has the minimal consumtion of natural resources, including energy, water and materials, as well as minimal cause negative effects for the environment. Green architecture is a step to realize a sustainable human life.There are many ways and measurement standards of green architecture, one of which is the GREENSHIPfrom Green Building Council Indonesia(GBCI). This study aims to identify and to analyze landscape characterin Kampung Naga, to measure the green level of traditional building, and to make green building recommendation models based on characteristics of traditional architecture of Kampung Naga. According to the green level assessment, obtained the conclusion that Kampung Naga is on GOLD category in the ranking of GBCI. Then, the result of the green level assessment combined with the traditional values of Kampung Naga, to produce an eco-traditional house as a recomendation.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

KAJIAN KONSEP ARSITEKTUR HIJAU

KAMPUNG NAGA, JAWA BARAT

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Penelitian : Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga, Jawa Barat Nama : Faris Husaini El Shabir

NIM : A44090088

Disetujui oleh

Fitriyah Nurul H Utami ST, MT Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara M.Agr Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nyalah penelitian ini berhasil penulis selesaikan. Penelitian ini dilaksanakan penulis mulai bulan Februari 2013 dengan judul Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga, Jawa Barat. Tema yang diteliti merupakan pengkajian kaidah-kaidah arsitektur hijau pada lanskap kampung tradisional Indonesia dan bagaimana kaidah tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi pembangunan modern.

Terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Fitriyah Nurul H. Utami, ST. MT selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan berupa saran dan kritik yang membangun sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta dalam membantu penyelesaian penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan berupa saran dan kritik untuk pelaksanaan penelitian yang lancar serta hasil penelitian yang baik dan bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Pikir Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau ... 5

2.2 Definisi dan Prinsip Arsitektur Hijau ... 6

2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau ... 7

2.4 Green Building Council Indonesia (GBCI) ... 9

2.5 Arsitektur Tradisional Indonesia ... 10

2.6 Kondisi Umum Permukiman Tradisional di Jawa Barat ... 11

2.7 Kondisi Permukiman Kampung Naga ... 12

METODOLOGI ... 14

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Metode Penelitian ... 14

3.3 Batasan Penelitian ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 Karakter Lanskap Kampung Naga ... 24

4.2 Tepat Guna Lahan Kampung Naga ... 29

(10)

4.4 Konservasi Air di Kampung Naga ... 56

4.5 Sumber dan Daur Ulang Material Kampung Naga ... 61

4.6 Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruang Permukiman ... 73

4.7 Manajemen Lingkungan Bangunan ... 83

4.8 Skor Hasil Penilaian Tolok Ukur GREENSHIP ... 91

4.9 Rekomendasi Bangunan Hijau ... 92

SIMPULAN DAN SARAN ... 104

5.1Simpulan ... 104

5.2Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

LAMPIRAN 1 ... 106

LAMPIRAN 2 - Glosarium ... 111

(11)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, Bentuk dan Sumber Data 16

2 GREENSHIP Home Checklist Assessment 17

3 Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah) 29

4 Daftar lahan bersifat positif 30

5 Jenis bangunan dan luasan kavling bangunan 33

6 Infrastruktur pada Kampung Naga berdasarkan GREENSHIP 38 7 Fasilitas umum pada Kampung Naga berdasarkan GREENSHIP 40

8 Hasil skoring kategori tepat guna lahan 45

9 Tarif pemakaian listrik untuk 2 buah lampu 49

10 Total tarif penggunaan 2 lampu/bulan 50

11 Nilai Absorbtansi (α) Radiasi Matahari untuk Dinding Luar dan Atap

Tak Tembus Cahaya 52

12 Nilai Absorbtansi (α) Radiasi Matahari untuk Cat Permukaan

Dinding 52

13 Penilaian kategori efisiensi dan konservasi energi 55 14 Skoring tiap alat keluaran air (menurut standar GBC Indonesia) 57

15 Hasil skoring kategori konservasi air 60

16 Daftar harga material bangunan Kampung Naga 63 17 Persentase Penggunaan Material Lama pada Bangunan Kampung

Naga 64

18 Persentase Penggunaan Material Terbarukan Bangunan Kampung

Naga 65

19 Persentase Penggunaan Material Daur Ulang Bangunan Kampung

Naga 66

20 Persentase Penggunaan Material SML Bangunan Kampung Naga 67 21 Persentase Penggunaan Kayu Bersertifikat Bangunan Kampung Naga 68 22 Persentase Penggunaan Material Prefabrikasi Bangunan Kampung

Naga 69

23 Persentase Penggunaan Material Lokal Bangunan Kampung Naga 70 24 Hasil skoring kategori sumber dan daur ulang material 72 25 Persentase luas ruangan reguler berventilasi 76

26 Persentase luas bukaan pada dinding 77

27 Jarak inlet dan outlet pada bangunan di Kampung Naga 78 28 Batas Nilai Maksimum Kadar VOC untuk Cat, Coating dan Pernis 79 29 Batas Nilai Maksimum Kadar VOC untuk Perekat dan Sealant 79 30 Hasil Pengamatan Intensitas Cahaya pada Bangunan di Kampung

Naga 80

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian 4

2 Pandangan dan Kearifan Lokal Sunda 12

3 Peta Orientasi Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat 14 4 Jenis bangunan dan letak bangunan yang dilakukan penilaian 15

5 Pembagian Tatanan Kampung 26

6 Pemilihan lokasi pembangunan kampung 30

7 Proses reduksi kelembaban pada vegetasi oleh angin 31 8 Hutan larangan, ruang terbuka sebagai area konservasi 31

9 Batas area permukiman inti Kampung Naga 32

10 Ukuran kavling 4 jenis bangunan di Kampung Naga 33

11 Lorong antar rumah Kampung Naga 34

12 Kebun dan hutan di sekitar areal permukiman Kampung Naga 35

13 Infrastruktur di dalam Kampung Naga 37

14 Fasilitas di dalam Kampung Naga 40

15 Pengendalian hama lalat pada rancangan bangunan 41 16 Pengendalian hama tikus pada rancangan bangunan 42

17 Pengendalian hama rayap 42

18 Pengendalian hama melalui rancangan rumah pintu 2 43 19 Pengendalian hama melalui rancangan rumah pintu 1 43 20 Pengendalian hama melalui rancangan bale patemon 44

21 Pengendalian hama melalui rancangan masjid 44

22 Penggunaan tenaga accu untuk menghidupkan televisi, dan

Penggunaan solar cell 48

23 Sirkulasi angin pada atap dan kolong bangunan 51 24 Kelembaban udara di sekitar rumah tereduksi oleh angin 51 25 Atap ijuk yang telah bertahan berpuluh-puluh tahun 53

26 Komposisi rancangan pereduksi panas 54

27 Penggantian tanaman baru 55

28 Sirkulasi air bersih dan kotor 57

29 Jamban tanpa alat keluaran hemat air 58

30 Bak penampungan air terbuka 59

31 Sistem irigasi dan penyaluran air Kampung Naga 60 32 Material pada 4 jenis bangunan Kampung naga 62

33 Daur pemilahan sampah 71

34 Kampung Naga mendapatkan sinar matahari pagi yang optimal 74 35 Area ruangan reguler pada bangunan Kampung Naga 75 36 Jarak antar bukaan pada bangunan Kampung Naga 77 37 Kapur pertanian digunakan untuk pengecatan dinding 80

38 Punduh Kampung Naga 86

39 Standar ukuran kebutuhan ruang 96

40 Konsep penanaman pada taman rumah tinggal Sunda 97

41 Sirkulasi udara dan matahari pagi-sore 98

42 Sirkulasi limpasan air hujan 98

43 Site plan model rumah hijau tradisional 99

(13)

45 Jenis material model rumah hijau tradisional 101

46 Tampak Perspektif 102

47 Tampak perspektif spot 103

DAFTAR LAMPIRAN

1 GREENSHIP Home Appendices dari GBCI 106

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertambahan penduduk dan perkembangan aktivitas manusia pada zaman modern ini, memicu perkembangan fisik kota sehingga meningkatkan jumlah bangunan untuk mengakomodasi pertambahan manusia dan aktivitasnya. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktivitas manusia memunculkan sejumlah bangunan dan fasilitas baru. Semakin banyak lahan terbuka hijau atau lingkungan alami diubah menjadi lingkungan binaan berupa bangunan dan infrastruktur. Pada akhirnya, terjadi penurunan daya dukung lingkungan untuk mendukung aktivitas manusia. Kualitas lingkungan menurun dan manusia semakin tidak nyaman sehingga mengubah gaya hidupnya.

Isu mengenai pemanasan global merupakan ancaman bagi kenyamanan manusia untuk tinggal dalam waktu yang lama. Lingkungan binaan di era modern ini tidak jarang dibangun mengikuti gaya yang berkembang tanpa mempertimbangkan kondisi iklim dan lingkungan. Bangunan-bangunan yang dituntut untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya justru memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan lingkungan di perkotaan. Perancangan lingkungan binaan masih dominan mementingkan nilai komersil dibanding nilai kesesuaian terhadap alam dan lingkungan, sehingga seringkali mengesampingkan nilai hemat energi. Rancangan arsitektur baik dari segi bangunan maupun lanskap secara kawasan memiliki andil dalam menentukan keberlanjutan suatu tapak. Lingkungan menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dalam rancangan arsitektur dan berdampingan dengan perkembangan fisik suatu tapak.

Konsep perancangan yang memperhatikan sisi ekologis pada suatu lahan binaan disebut arsitektur hijau. Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, termasuk energi, air, dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan (Karyono 2010). Konsep arsitektur ini merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Tujuan dari arsitektur hijau ini adalah untuk menciptakan struktur yang indah dan fungsional, selain itu juga memberikan kontribusi untuk keberlanjutan budaya dan kehidupan. Arsitek di masa lampau telah memiliki pengetahuan keberlanjutan ini selama beribu-ribu tahun lamanya. Arsitektur tradisional Indonesia merupakan warisan keilmuan sejak berabad-abad lampau yang luar biasa dan harus dipelajari sehingga keberlajutan arsitektur hijau dapat diteruskan.

(16)

2

kelestarian sumber daya alam agar alam tidak terganggu dan murka merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang mempengaruhi karya arsitektur tradisional. Larangan-larangan budaya serta hukum-hukum adat yang mengaturnya membuat masyarakat tradisional terus mempertahankan budayanya. Salah satu kampung adat tradisional Indonesia yang masih memegang teguh budaya dan kepercayaan dalam mengatur desanya adalah Kampung Naga.

Kampung Naga terletak di daerah perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Merunut pada letak secara geografis dan nilai sejarah, Kampung Naga merupakan salah satu dari wilayah Kerajaan Sunda, sehingga budaya dan bentukan arsitekturnya memiliki karakter arsitektur adat Sunda. Kampung ini memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi dalam membangun desanya. Sejumlah pantangan atau larangan terkait dengan rancangan dan penggunaan material bangunan yang mereka huni mencerminkan keyakinan-keyakinan yang positif terhadap kualitas lingkungan yang mereka harapkan bagi kehidupan mereka. Keyakinan semacam ini secara langsung memiliki arah yang sama dengan konsep arsitektur hijau, yaitu bagaimana material bangunan yang diharapkan berasal dari jenis material yang renewable, serta material yang memiliki kandungan energi rendah karena tidak diproduksi oleh industri yang banyak mengonsumsi energi.

Rancangan yang bersifat arsitektur hijau bukan hanya bangunan rumah tinggal saja. Elemen-elemen pembentuk lanskap yang lain juga dibuat berdasarkan keyakinan dan pantangan yang dijalankan masyarakat. Rancangan elemen-elemen pembentuk lanskap tersebut menjadi bahan penelitian mengenai bagaimana kesatuan yang dibentuk menjadi karya bangunan arsitektur yang berkelanjutan atau arsitektur hijau. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan manusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan alamnya menjadi sangat diperlukan (Frick dan Suskiyatno 2007). Arsitektur tradisional Indonesia seperti pada Kampung Naga merupakan suatu karya masa lampau yang telah bertahan di tengah perkembangan zaman. Ilmu-ilmu yang telah diwariskan melalui arsitektur tradisional kemudian ditelaah dan dipelajari dengan perkembangan teknologi modern. Keterpaduan sisi arsitektur antara bangunan dan lingkungan dapat diaplikasikan pada bangunan perkotaan sesuai kondisi alam seperti iklim tropis di Indonesia. Dengan demikian, rancangan arsitektur pada lanskap perkotaan dapat berkelanjutan dan memberikan kenyamanan serta keamanan bagi manusia penghuninya.

(17)

3 kemudian digunakan dalam pembuatan rekomendasi ideal bangunan hijau dan infrastrukturnya berdasarkan karakteristik arsitektur tradisional Kampung Naga. Rekomendasi ini diperlukan sebagai acuan pembuatan rancangan rumah seperti rumah adat Kampung Naga yang telah disesuaikan dengan nilai arsitektur hijau.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengidentifikasi dan menganalisis karakter lanskap yang sesuai dengan arsitektur hijau (fisik, biofisik, sosial dan budaya) di Kampung Naga, Jawa Barat;

2. mengukur tingkat kehijauan bangunan tradisional di Kampung Naga berdasarkan pengukuran tingkat kehijauan GREENSHIP.

3. membuat rekomendasi model ideal bangunan hijau berdasarkan arsitektur hijau dan karakteristik arsitektur tradisional Kampung Naga.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut:

1. menambah wawasan serta pengalaman penulis dalam menghadapi perkembangan arsitektur lanskap di Indonesia;

2. menjadi bahan pertimbangan bagi perkembangan arsitektur di Indonesia; 3. memberikan manfaat dalam melestarikan kehidupan masyarakat lokal dan

memberikan manfaat bagi pengembangan kebudayaan Kampung Naga; dan menjadi bahan kajian ilmiah dalam penelitian, perencanaan dan perancangan lanskap Indonesia beserta elemen-elemen pembentuknya.

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian diawali dengan mengamati obyek penelitian, yaitu Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tatanan lanskap Kampung Naga ini dinilai memiliki karakter vernakular yang kuat atau karakter yang mengikuti keadaan alam dan kepercayaan setempat. Karakter tersebut menyebabkan sedikitnya penggunaan material industri yang dapat merusak lingkungan. Kemudian penelitian mengenai konsep arsitektur hijau pada Kampung Naga ini dilanjutkan lebih dalam melalui studi pustaka, wawancara tokoh/pakar dan pengamatan lapang. Hasil dari pengamatan lapang ini nantinya akan dilakukan skoring terkait dengan parameter-parameter arsitektur hijau berdasarkan standar kehijauan Greenship. Parameter tersebut meliputi

(18)

4

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau

Pada akhir tahun 1980-an, dunia arsitektur mendalami suatu ilmu baru, yaitu ilmu mengenai arsitektur hijau (green architecture). Bidang ilmu ini muncul sebagai konsekuensi hadirnya formulasi Komisi PBB, Brundtland Commission

tahun 1987, tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development): “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Publikasi mengenai arsitektur

hijau berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Diantara publikator yang terkenal, terdapat pasangan suami-istri arsitek Inggris, Brenda dan Robert Vale yang menerbitkan berbagai buku dan artikel seperti „Green Architecture: Design for Suistainable Future‟ (Karyono 2010).

Peningkatan pembangunan fisik menyebabkan menurunnya kemampuan alam untuk menyuplai air bersih, menurunnya kemampuan lingkungan memproses limbah cair menjadi air tanah yang layak dikonsumsi manusia, dan menurunnya kemampuan lingkungan memproses limbah padat dan gas yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Selain itu, terjadi pencemaran tanah akibat timbunan limbah padat, kontaminasi air, tanah dan polusi udara. Perubahan lingkungan buatan semakin memicu penurunan kualitas lingkungan seperti diuraikan di atas jika dalam pembangunan lingkungan binaan tidak dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangan faktor lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam. Diperlukan suatu langkah pembangunan yang mengarah kepada upaya meminimalkan perusakan lingkungan.

Meningkatnya jumlah kandungan CO2 di atmosfer sangat mencemaskan

semua kalangan. Upaya menghentikan jumlah emisi CO2 telah dilakukan oleh

banyak pihak. Bangunan merupakan salah satu sektor dominan yang mengemisi CO2 terbanyak ke atmosfer. Untuk itu diperlukan suatu gerakan dalan arsitektur

untuk membatasi emisi CO2 yang dihasilkan bangunan. Arsitektur hijau

merupakan suatu gerakan yang mencoba ke arah tersebut, membantu meminimalkan emisi CO2 yang ditimbulkan bangunan (Karyono 2010).

(20)

6

menjawab semua permasalahan lingkungan, baik alamiah maupun buatan yang sedang dalam proses degradasi menuju kehancuran. Diakui atau tidak, gerakan ini muncul dan menyadarkan manusia akan adanya pergeseran titik tolak dan tujuan manusia dalam berarsitektur (Karyono 2010).

2.2 Definisi dan Prinsip Arsitektur Hijau

Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, termasuk energi, air dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Arsitektur hijau merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Ketika komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan menghasilkan suatu deklarasi yang populer dengan Brundtland report, dimana di dalamnya diformulasikan definisi Pembangunan Berkelanjutan, para arsitek mulai memahami dan mengambil sikap terhadap kandungan deklarasi tersebut. Di negara maju, gerakan arsitektur berkelanjutan sudah mengarah kepada perundangan, sehingga pada saatnya hanya arsitek yang merancang dengan konsep keberkelanjutan yang diberi izin bekerja sebagai perancang (Karyono 2010).

Arsitektur hijau merupakan konsekuensi dari konsep arsitektur berkelanjutan. Bahwa dengan merancang arsitektur hijau, diharapkan manusia dapat hidup dan melakukan aktivitas di muka bumi ini secara berkelanjutan. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau juga menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, dimana manusia hidup (Priatman 2002).

Robert dan Brenda Vale (1991) mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan, semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material, bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der Ryn dan Calthorpe (1996) menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk, bangunan, dan lanskap.

Menurut Brenda dan Robert Vale (1991), terdapat 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture, yaitu :

1. conserving energy, yang berarti sebuah bangunan seharusnya didesain atau dibangun dengan pertimbangan operasi bangunan yang meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil,

2. working with climate, bangunan seharusnya didesain untuk bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam,

3. minimizing new resources, bangunan seharusnya didesain untuk meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaannya bisa digunakan untuk hal arsitektur lainnya,

4. respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia yang terlibat didalamnya,

(21)

7 6. holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai

pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.

Selain pengertian mengenai arsitektur hijau di atas, ada pula yang menyebutkan bahwa arsitektur hijau adalah arsitektur ekologis. Salah satu kebutuhan dasar kehidupan adalah papan (rumah) di samping pangan dan sandang. Papan berarti perumahan atau pemukiman. Pemuasan kebutuhan dasar di bidang arsitektur sebaiknya dilaksanakan dengan pembangunan yang sehat, yang ekologis, dan yang menurut Rudolf Doernach pada bukunya Biohaus fur Dorf und Stadt tahun 1981, merupakan „bangunan hidup‟, dan bukan dengan pembangunan

teknis saja yang menantang kehidupan, yang menurut Rudolf Doernach adalah bangunan mati (Frick dan Suskiyatno 2007).

Arsitektur hijau atau arsitektur ekologis tersebut mengandung juga bagian-bagian dari arsitektur biologis (arsitektur kemanusiaan yang memperhatikan kesehatan penghuni), arsitektur alternatif, arsitektur matahari (dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionik (teknik sipil dan konstruksi yang memperhatikan pembangunan alam), serta pembangunan berkelanjutan. Maka, istilah arsitektur ekologis adalah istilah holistic yang sangat luas dan mengandung semua bidang tersebut. Arsitektur ekologis tidak menentukan apa yang seharusnya terjadi dalam arsitektur karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau ukuran baku, melainkan arsitektur ekologis menghasilkan keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur ekologis juga mengandung dimensi lain seperti waktu, lingkungan alam sosial budaya, ruang serta teknik bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur ekologis bersifat lebih kompleks, padat dan vital dibandingkan arsitektur pada umumnya (Frick dan Suskiyatno 2007).

2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau

Sejumlah standar yang dikeluarkan oleh sejumlah institusi, baik pemerintah maupun swasta di negara maju, mengisyaratkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh karya arsitektur agar masuk ke dalam kategori hijau. Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan dalam level yang dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan atau standar tertentu. Diperlukan suatu alat ukur dan tolok ukur untuk mengukur level kehijauan suatu bangunan atau kawasan. Berbagai acuan, alat ukur, dan standar telah banyak dirumuskan di negara-negara maju untuk mengukur tingkat kehijauan suatu rancangan kawasan dan bangunan. Menurut Karyono (2010), terdapat beberapa standar pengukuran tingkat kehijauan, di antaranya:

1. BREEAM (Building Research Establishment’s Environmental Assessment

(22)

8

2. LEED (Leadership in Energy and Environmental Design). Standar LEED ini dicetuskan oleh United States Green Building Council (USGBC) tahun 1988. LEED digunakan untuk menilai bangunan atau lingkungan binaan, baik dalam tahap pra perancangan maupun sudah terbangun. Parameter yang dinilai dalam LEED adalah keberlanjutan tapak, penghematan air, energi dan atmosfer, material dan sumber daya, kualitas lingkungan ruang dalam, inovasi dan proses desain. Sistem penilaian LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas, atau bangunan, yakni bangunan baru, bangunan eksisting, ruang (interior) komersil, inti bangunan dan selubung bangunan, rumah, pengembangan lingkungan perumahan, sekolah, dan bangunan perbelanjaan. Empat penggolongan sertifikasi yang diberikan LEED adalah

Certified, Silver, Gold, dan Platinum.

3. Green Star (Standar Bangunan Hijau Australia). Standar penilaian Green Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia (GBCA) tahun 2002. Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, perkantoran eksisting dan interior kantor. Beberapa standar untuk tipe bangunan lainnya dikembangkan GBCA di antaranya untuk bangunan industri, convention centre, dan bangunan campuran.

4. NABERS (the National Australian Built Environment Rating System). NABERS merupakan penilaian kinerja bangunan eksisting terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pengoperasian bangunan tersebut terhadap lingkungan. Saat ini tipe bangunan yang masuk ke dalam lingkup pengukuran NABERS adalah bangunan perkantoran dan bangunan rumah tinggal. Sementara masih dalam perkembangan adalah bangunan hotel, sekolah dan bangunan perbelanjaan. Standar NABERS mengukur tingkat hijau bangunan eksisting atas dasar empat parameter, yaitu; penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca, penggunaan air, penanganan limbah dan kualitas lingkungan ruang dalam. Untuk memberikan gambaran tentang tingkat hijau suatu bangunan, diperkenalkan penggunaan „jumlah bintang‟ dari satu bintang hingga empat bintang sebagai indikasi tingkat hijau.

5. Green Mark (Standar Bangunan Hijau Singapura). Green Mark dikeluarkan oleh Building Council Association (BCA) Singapura pada tahun 2005. Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman baru dan lama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan platinum.

(23)

9 aspek dibagi ke dalam butir-butir penilaian yang lebih detail di mana masing-masing butir memiliki skor tertentu. Tingkat hijau bangunan ditentukan oleh total skor. Nilai skor tinggi menunjukkan bangunan mengarah kepada pemenuhan kriteria hijau, sementara skor rendah berarti sebaliknya.

2.4 Green Building Council Indonesia (GBCI)

Salah satu pencetus penilaian tingkat hijau di Indonesia adalah Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia). GBC Indonesia yang berdiri pada tahun 2009 ini merupakan lembaga mandiri (non pemerintah) dan nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutann. GBC INDONESIA merupakan Emerging Member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada. WGBC saat ini beranggotakan 97 negara dan hanya memiliki satu GBC di setiap Negara. GBC Indonesia merumuskan standar-standar khusus untuk menilai tingkat hijau bangunan berdasarkan parameter-parameter yang telah disesuaikan dengan kondisi wilayah Indonesia yang disebut GREENSHIP. Penilaian ini berfungsi untuk sertifikasi bangunan hijau di Indonesia.

Sistim Rating GREENSHIP dipersiapkan dan disusun oleh Green Building Council yang ada di negara-negara tertentu yang sudah mengikuti gerakan bangunan hijau. Setiap negara tersebut mempunyai sistem rating masing-masing, sebagai contoh Amerika Serikat - LEED, Singapura - Green Mark, Australia - Green Star dan sebagainya. GREENSHIPmerupakan suatu tolak ukur atau rating tools yang digunakan untuk mendapatkan nilai tingkat hijau pada kategori tertentu (platinum, emas, perak, perunggu) dan dengan melihat pada aspek-aspek tertentu. Aspek-aspek yang menjadi standar dalam GBC Indonesia telah disesuaikan dengan keadaan alam dan sosial budaya di Indonesia, sehingga menjadi perangkat penilaian yang khas yang mengakomodasi kepentingan lokal Indonesia

GREENSHIP sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam parameter yang terdiri dari :

1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD)

2. Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER)

3. Konservasi Air (Water Conservation/WAC)

4. Sumber & Siklus Material(Material Resources & Cycle/MRC)

5. Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC)

6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management/BEM)

(24)

10

2.5 Arsitektur Tradisional Indonesia

Arsitektur tradisional dapat disebut juga dengan arsitektur vernakular. Beberapa menyebutkan bahwa arsitek vernakular adalah arsitektur “setempat”, “primitif” atau “asli”. Akan terlihat, bahwa penyebutan “primitif” yang seringkali dikaitkan dengan kesederhanaan yang dimiliki oleh bentuk suatu arsitektur menurut cara pandang konvensional, banyak mengandung kesalahan. Kata vernakular sendiri memang berarti “setempat” (native). Suatu arsitektur adalah vernakular apabila memenuhi kriteria-kriteria yang terkait dengan lingkungan masyarakat tertentu dilihat dari pengaturan material, teknologi, aturan, dan sistem sosial atau sistem budayanya (Wiranto 1999).

Aturan dan sistem sosial budaya setempat yang berlaku dalam menghasilkan arsitektur vernakular, dengan sendirinya menyiratkan adanya sebuah tradisi. Hal ini dikarenakan, untuk membuat adanya peran sistem sosial atau budaya setempat di dalam pembentukan arsitektur vernakular, diperlukan waktu yang panjang, yang selanjutnya diturunkan pada generasi-generasi berikutnya. Tradisi dan kondisi kebersamaan komunitas adalah dua faktor penting dalam penciptaan bentuk-bentuk dasar dari permukiman dan penciptaan unsur-unsur dari suatu kelompok budaya, walaupun banyak faktor lain yang menghasilkan bentuk dan tatanan rumah permukiman vernakular (Harun et al. 2011). Sebagai contoh, pendirian rumah di permukiman adat mengikuti aturan-aturan adat tentang penggunaan bahan, peletakkan rumah, bentuk rumah, dan sebagainya. Aturan-aturan ini mengandung “sanksi”, bisa yang kongkrit berupa sanksi adat, atau berupa tabu yang menyiratkan akibat-akibat apabila dilanggar.

Menurut Turan (1990) dalam Harun et al. (2011), melalui bentuk rumah atau permukiman yang dihasilkan melalui alur-alur tersebut, arsitektur tradisional atau vernakular adalah hasil aktivitas dan upaya mencapai kesesuaian lingkungan ketimbang suatu pengetahuan yang diaplikasikan. Aktivitasnya merupakan cara untuk merespon kondisi yang ada, memenuhi kebutuhan-kebutuhan lingkungan tertentu bagi sekelompok manusia tertentu atau komunitas tertentu. Sedangkan lebih jauh lagi, menurut Oliver (1997) dalam Harun et al. (2011), arsitektur vernakular umumnya mengandung bentuk (embodies) nilai-nilai suatu komunitas, bahkan menyimbolkan konsep kosmos. Atau bertindak sebagai suatu analogi untuk suatu abstraksi kepercayaan tertentu. Oleh karena itu bahkan suatu rumah atau hunian yang sederhana dalam suatu tradisi vernakular mungkin merefleksikan suatu dunia material dan spiritual dari pembangun dan penghuninya.

(25)

11 2.6 Kondisi Umum Permukiman Tradisional di Jawa Barat

Permukiman tradisional tersebar di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, baik di wilayah pesisir (dataran rendah) yang lebih panas suhunya maupun di wilayah pegunungan (dataran tinggi) yang dikenal sebagai daerah sejuk. Perbedaan geografis dan perbedaan kondisi sosio-ekonomi wilayahnya, perdesaan atau perkotaan, memberi warna tersendiri pada sifat fisik wilayahnya serta kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya termasuk perkembangan dan perubahannya (Harun et al. 2011).

Kearifan-kearifan adalah “kekayaan” yang terdapat di banyak permukiman tradisional Sunda di Jawa Barat. Ada pemeo yang berbunyi Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana. Pemeo ini mengandung makna bahwa lahan yang subur harus tetap terjaga dan tetap subur, sumber air tidak tercemar, udara terjaga bersih, semua makhluk hidup mendapat ruang hidup masing-masing sesuai dengan waktu dan tempatnya. Hal ini yang menjadi dasar bagaimana masyarakat adat Sunda memanfaatkan lahan (Depdikbud 1982).

Dalam kearifan lokal, air menjadi titik pusat kehidupan (sanghyang udel) layaknya raga yang berpusat pada perut di tengah-tengah. Mata air sendiri dalam kearifan Sunda akan disebut sebagai sanghyang pertiwi karena keluar dari perut bumi. Pandangan-Pandangan yang berkaitan dan yang mendasari terhadap pemahaman lingkungan dalam adat Sunda adalah:

- Pandangan tentang alam. Masyarakat sunda memiliki falsafah, bahwa antara manusia dan alam merupakan sebuah bagian yang menyatu. Manusia merupakan sebuah bagian dari sub sistem alam “seke seler

hingga memiliki kesamaan rasa dan ikatan batin dan lahir yang sangat kuat. - Pandangan tentang gunung. Selain memandang sebagai sumber utama

kehidupan, gunung juga diyakini sebagai salah satu tempat yang memberikan unsur sistem tubuh bagi manusia dalam wujud “sari pati” yang ditransformasikan melalui “air”. Maka penamaan bagian-bagian gunung pun sama dengan penamaan bagian tubuh manusia.

Pandangan-pandangan tersebut diatas sesuai dengan konsep ekologi, yaitu dimana hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan suatu wilayah. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi, pertanian, ekonomi dan sosial budaya. Penggambaran dari pandangan dan pemahaman kearifan lokal Sunda di atas, dapat dilihat pada Gambar 2.

(26)

12

Gambar 2 Pandangan dan Kearifan Lokal Sunda (Renovatio 2011)

2.7 Kondisi Permukiman Kampung Naga

Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung Adat Naga sekitar 30 km, sedangkan dari Garut 26 km. Pencapaian ke lokasi tidak sulit karena dekat dari jalan raya Garut-Singaparna. Luas kawasan kampung ini sekitar 10 Ha, terdiri dari kawasan hunian seluas 1,5 Ha, hutan lindungan atau hutan larangan (3,5 Ha), dan lahan kebun serta pertanian (5 Ha). Mata pencaharian penduduk Kampung Naga adalah bertani dengan sistem tadah hujan atau irigasi air pegunungan. Lahan pertanian diolah dengan cara dan peralatan tradisional serta menggunakan pupuk kandang. Sebagian penduduk juga menekuni pembuatan barang-barang kerajinan, seperti bakul (boboko), kukusan (aseupan), kipas, tampah (nyiru), dan barang kreasi „baru‟. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir

yang berarti kampung yang berada di tebing (Harun et al. 2011).

(27)

13 Kampung Naga merupakan salah satu pemukiman tradisional yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi dalam membangun desanya. Sejumlah pantangan atau larangan terkait dengan rancangan dan penggunaan material bangunan yang mereka huni mencerminkan keyakinan-keyakinan yang positif terhadap kualitas lingkungan yang mereka harapkan bagi kehidupan mereka. Keyakinan semacam ini secara langsung memiliki arah yang sama dengan konsep arsitektur hijau, yakni bagaimana material bangunan diharapkan berasal dari jenis material yang

(28)

14

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perkampungan tradisional Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat (Gambar 3). Kampung adat Sunda ini terletak di jalan raya Tasikmalaya-Garut, di perbukitan kaki Gunung Galunggung. Jarak dari Kabupaten Tasikmalaya ke kampung ini sekitar 30 km dan jarak dari Kabupaten Garut sekitar 26 km. Kampung Naga memiliki luas tanah hak ulayat (tanah adat) lebih dari 10 Ha, termasuk areal permukiman seluas 1,5 Ha. Pelaksanaan pengambilan data penelitian dimulai pada Bulan Februari 2013 sampai dengan Bulan Mei 2014 dan pengolahan data penelitian sampai dengan Bulan Juni 2014.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan inventarisasi, analisis, dan penilaian berdasarkan standar GREENSHIP dari Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia) versi tahun 2011, serta sintesis. Adapun penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan sebagai berikut:

1. Persiapan berupa perumusan masalah, penentuan tujuan, pemilihan lokasi penelitian dan pengurusan perizinan pada pihak-pihak terkait penelitian. 2. Inventarisasi atau pengumpulan data dengan metode survei dan pengamatan

langsung pada tapak (area permukiman inti Kampung Naga, Jawa Barat). Data yang dikumpulkan meliputi data aspek penilaian bangunan hijau GREENSHIP, aspek fisik, aspek biofisik, dan aspek sosial budaya (Tabel 1). Data didapatkan melalui pengamatan lapang, wawancara, dan studi pustaka. Proses wawancara

(29)

15 ini melalui metode in-depth interview kepada 4 orang narasumber, yaitu kepala adat (kuncen), tokoh masyarakat adat (pemandu adat), ahli bangunan adat (punduh) dan ahli arsitektur hijau. Pengambilan data dilakukan pada skala makro (komunal) yaitu area permukiman inti Kampung Naga seluas 1,5 Ha yang dibatasi oleh pagar bambu (kandang jaga), dan skala mikro (bangunan adat) per masing-masing kavling bangunan. Penilaian mengenai kondisi rumah tinggal dalam area permukiman inti Kampung Naga dilakukan pada jenis bangunan adat Kampung Naga yang memiliki bentuk fisik berbeda. Fisik itu didasarkan pada fungsi bangunan. Bangunan yang dinilai berjumlah 4 bangunan yang mewakili masing-masing jenis bangunan (Gambar 4). Pemilihan 4 jenis bangunan ini karena memiliki bentuk fisik dan ruangan dalam yang berbeda dengan penjelasan berikut:

- masjid : Ruhang netepan (ruang shalat) dan ruhang salasar (salasar) - balé patémon: Ruhang patémon dan gudang

- rumah pintu 2: Tepas (ruang tamu), pangkéng (kamar tidur), tengah imah

(ruang keluarga), pawon (dapur) dan goah (lumbung padi)

- rumah pintu 1: Tepas dan tengah imah (tidak disekat), pangkéng (kamar tidur), pawon (dapur) dan goah (lumbung padi)

(30)

16

Tabel 1 Jenis, Bentuk dan Sumber Data

Jenis Data Bentuk

Data Cara Pengambilan Sumber Aspek tepat guna lahan

Foto, teks Survei, studi pustaka, wawancara

Foto, teks Survei, studi pustaka, wawancara

Lapang, kepala adat, tokoh adat, literatur Kebijakan pengelolaan air,

pengendalian air bersih, efisiensi air bersih, kualitas air, daur ulang air bersih, filtrasi air minum, reduksi sumur dalam, efisiensi air public

Aspek sumber daya material dan siklusnya

Foto, teks Survei, studi pustaka, wawancara

Foto, teks Survei, studi pustaka, wawancara

Lapang, kepala adat, tokoh adat, literatur Peringatan asap berbahaya,

optimalisasi udara luar bangunan, kontrol karbon, polusi fisik dan kimia, polusi biologis

Kenyamanan visual dan pengguna Peta, foto, teks

Survei, wawancara Lapang, masyarakat

Level kebisingan Peta, teks Survei Lapang

Aspek pengelolaan lingkungan bangunan

Foto, teks Survei, wawancara Lapang, kepala adat, tokoh adat, literatur

(31)

17

Jenis Data Bentuk

Data Cara Pengambilan Sumber Aspek Biofisik

Habitat satwa setempat Foto, teks Survei, wawancara Lapang, kepala adat, tokoh adat

Vegetasi lokal

Pemanfaatan vegetasi lokal

Aspek Sosial Budaya

Bangunan cagar budaya Foto, Teks

Survei, wawancara Tokoh adat, masyarakat Adat dan budaya masyarakat

Kearifan lokal

3. Analisis dan Penilaian arsitektur hijau dilakukan terhadap arsitektur bangunan. Penilaian dimensi arsitektur bangunan menggunakan standar GREENSHIP dari Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia). Pada standar ini dilakukan penilaian terhadap 6 parameter yang telah ditentukan GBC Indonesia sebagai karakteristik bangunan hijau. Parameter-parameter tersebut yaitu (1) tepat guna lahan (appropriate site development/ASD), (2) efisiensi energi dan refrigeran (Energy Efficiency and refrigerant/EER), (3) konservasi air (water conservation/WAC), (4) sumber dan siklus material

(material resources and cycle/MRC), (5) kualitas udara dan kenyamanan udara (indoor air health and comfort/IHC), dan (6) manajemen lingkungan bangunan (building and environment management). Selain itu, pada tahap analisis dikaji pula kearifan lokal yang berlaku di Kampung Naga sebagai dasar pertimbangan dalam penilaian arsitektur hijau. Kriteria-kriteria yang digunakan sebagai dasar dari parameter tersebut tercantum pada Tabel Ringkasan Greenship Home Checklist Assessment (Tabel 2) dengan rumus-rumus sesuai ketentuan GREENSHIP (lampiran 1). Greenship Home Checklist Assessment merupakan penilaian tingkat hijau pada skala lingkungan rumah tinggal. Implementasi dari Greenship Home Checklist Assessment ini mempunyai konsep self assessment yang dengan mudah dapat diakses secara on-line, dan dapat dijangkau masyarakat Indonesia secara luas. Konsep tersebut juga untuk meningkatkan kesadaran kepada penghuni rumah untuk menciptakan rumah yang sehat dan ramah lingkungan.

Tabel 2 GREENSHIP Home Checklist Assessment

1. KATEGORI TEPAT GUNA LAHAN / APPROPRIATE SITE DEVELOPMENT (ASD)

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

1A Memiliki vegetasi minimum 30% dari luas tanah 1

Atau

1B Memiliki vegetasi minimum 50% dari luas tanah 2

2 Penggunaan 100% tanaman yang berasal dari

nursery lokal dengan jarak maksimum 500 km. 1

3

Adanya penanaman pohon pelindung pada pekarangan rumah lebih banyak dari standar minimum. (lampiran ASD 1)

(32)

18

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

ASD 2 Infrastruktur Pendukung 2

Untuk mendorong

1A Membangun di dalam kawasan yang dilengkapi

minimal 5 (lima) dari prasarana sarana kota 1

Atau

1B Membangun di dalam kawasan yang dilengkapi

minimal 8 (delapan) dari prasarana sarana kota 2

ASD 3 Aksesibilitas Komunitas (Community Accesibility) 2

Untuk menghargai lokasi

Terdapat minimum 5 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 1 km dari tapak

1

Atau

1B

Terdapat minimum 10 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 1 km dari tapak

1 Adanya upaya desain rumah untuk

penanggulangan nyamuk 1

2 Adanya upaya desain rumah untuk

penanggulangan tikus 1

3 Adanya upaya desain rumah untuk

penanggulangan lalat 1

4 Adanya upaya manajemen penanggulangan rayap 1

ASD 5 Transportasi umum 1

Mengupayakan pengurangan emisi dari kendaraan pribadi

1A Adanya halte atau stasiun transportasi umum

dalam jangkauan 500 m. 1

Atau

1B Adanya akses menuju rute angkutan umum

dalam jangkauan 500 m. 1

ASD 6 Penanganan air limpasan hujan 2

Mengurangi beban limpasan air hujan ke jaringan drainase kota yang berpotensi menyebabkan banjir

1 Adanya penanganan limpasan air hujan untuk

atap 1

2 Adanya penanganan limpasan air hujan untuk

halaman 1

TOTAL NILAI KATEGORI ASD 13

2. KATEGORI EFISIENSI DAN KONSERVASI ENERGI / ENERGY EFFICIENCY & CONSERVATION (EEC)

1A Menyediakan sub metering untuk lampu 1

1B Menyediakan sub metering untuk AC 1

1C Menyediakan sub metering untuk kotak kontak

(33)

19

1 Mengetahui penggunaan rata-rata penggunaan

lampu dalam perhitungan satuan Watt/m2 2

2

Menggunakan fitur otomatis seperti sensor gerak, timer, atau sensor cahaya minimal pada 1 area/ruangan rumah

TIDAK BERLAKU bila pemilik rumah tidak menggunakan AC di area rumahnya

1 Hanya menggunakan AC maksimum 50% dari total

luas lantai 2

2 Mengetahui koefesien kinerja (COP) dari AC yang

digunakan

Menggunakan bahan bangunan yang dapat mereduksi panas pada seluruh atap (tidak

termasuk skylight)

1

2 Menggunakan bahan bangunan yang dapat

mereduksi panas pada seluruh kaca dan skylight

BONUS

1 Menggunakan pemanas air tenaga surya yang

tidak mengkonsumsi energi listrik 2

2 Adanya fitur pembangkit listrik alternatif untuk

energi listrik 4

TOTAL NILAI KATEGORI EEC 15

3. KATEGORI KONSERVASI AIR / WATER CONSERVATION (WAC)

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

WAC 1 Alat Keluaran Hemat Air 3

Menghemat air dari teknologi alat keluaran air

1A Memiliki total skor penghematan air sebesar 2-3 1

1B Memiliki total skor penghematan air sebesar 4-5 2

1C Memiliki total skor penghematan air sebesar 6-7 3

WC 9 L untuk seluruh shower (Skor 2)

Keran

(34)

20

1A Menyediakan fasilitas penampungan air hujan

berkapasitas minimum 200 liter 1

Atau

1B Menyediakan fasilitas penampungan air hujan

berkapasitas minimum 500 liter 2

Atau

2 Memenuhi poin 1 dan menggunakan flushing toilet 3

WAC 3 Irigasi Hemat Air 2

Menggunakan strategi penghematan dalam penyiraman tanaman

1 Tidak menggunakan sumber air primer (PDAM atau

air tanah) untuk penyiraman tanaman 1

2 Memiliki strategi penghematan air untuk penyiraman

tanaman 1

TOTAL NILAI KATEGORI WAC 8

4. KATEGORI SUMBER DAN DAUR ULANG MATERIAL / MATERIAL RESOURCE AND CYCLE (MRC)

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

MRC 1 Refrigran Bukan Peruzak

Ozon 1

Menghindari penipisan lapisan ozon karena penggunaan BPO pada refrigran

1 Tidak menggunakan refrigran HCFC untuk sistem AC 1

MRC 2 Penggunaan Material Lama 3

Memperpanjang daur hidup material dan mengurangi sampah konstruksi

1 Menggunakan material lama sebesar minimum 15%

dari total biaya material yang digunakan 1

2 Menggunakan material lama sebesar minimum 30%

dari total biaya material yang digunakan 2

3 Menggunakan material lama sebesar minimum 45%

dari total biaya material yang digunakan 3

MRC 3 Material dari sumber yang ramah lingkungan 2

Mendorong penggunaan

Menggunakan material dari sumber terbarukan sebesar minimum 20% dari total biaya material yang digunakan

1

2

Menggunakan material yang berasal dari proses daur ulang sebesar minimum 30% dari total biaya material yang digunakan

1

MRC 4 Material dengan Proses Produksi Ramah Lingkungan 1

Menghindari kerusakan ekologis dari produksi produk material

1

Menggunakan material yang proses produksinya memiliki sistem manajemen lingkungan, sebesar minimum 30% dari total biaya material yang digunakan

1 Penggunaan kayu bersertifikat legal 1

Atau

2 Penggunaan kayu dengan sertifikat lembaga

(35)

21

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

MRC 6 Material Prefab 3

Mengurangi sampah dari

aktifitas konstruksi 1

Menggunakan material yang menggunakan sistem off site prefabrikasi, sebesar minimum 30% dari total biaya material yang digunakan

3

MRC 7 Material Lokal 2

Mengurangi jejak karbon dan meningkatkan ekonomi setempat

1 Menggunakan bahan material dari dalam negeri 1

2 Maenggunakan bahan material dari radius 1000 km 1

MRC 8 Pemilahan Sampah 1

1 Pemilahan sampah organik dan anorganik 1

TOTAL NILAI KATEGORI MRC 15

5. KATEGORI KESEHATAN DAN KENYAMANAN DALAM RUANG / INDOOR HEALTH AND COMFORT (IHC)

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

IHC 1 Sirkulasi Udara Bersih 6

Menjaga sirkulasi udara bersih di dalam rumah dan mempertahankan kebutuhan

1 Luas ventilasi minimum 5-10% dari luas lantai 1

2A 50% dari jumlah luas ruangan reguler didesain

dengan ventilasi silang 1

2B 75% dari jumlah luas ruangan reguler didesain

dengan ventilasi silang 2

2C 100% dari jumlah luas ruangan reguller didesain

dengan ventilasi silang 3

Ventilasi Mekanis

3 Memasang exhaus fan untuk seluruh kamar

mandi 1

4 Memasang exhaus fan untuk dapur 1

IHC 2 Minimalisasi sumber polutan 3

mengurangi kontaminasi udara dalam ruang dari emisi material interior yang dapat membahayakan kesehatan

1 Menggunakan cat dengan VOC rendah 2

2 Menggunakan sealant dan perekat dengan kadar

VOC rendah 1

IHC 3 Memaksimalkan Pencahayaan Alami 2

Meningkatkan kualitas hidup dalam rumah dengan pencahayaan alami yang baik dan mengurangi penggunaan lampu pada siang hari

1 Cahaya matahari dapat menerangi area ruang

keluarga sebanyak 200 lux dari 50% luas ruangan 1

2 Cahaya matahari dapat menerangi area ruang

tidur sebanyak 200 lux dari 50% luas ruangan 1

IHC 4 Tingkat Akustik 1

Memberikan kenyamanan dari gangguan suara luar ruangan

1 Tingkat bising udara di kamar tidur maksimum 40

Db 1

(36)

22

6. KATEGORI MANAJEMEN LINGKUNGAN BANGUNAN / BUILDING ENVIRONMENT MANAGEMENT (BEM)

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI

BEM 1 Aktifitas Ramah Lingkungan 1

Meningkatkan perilaku

TIDAK BERLAKU bila rumah belum memasuki tahap okupansi

1

Mengikuti aktifitas rutin di sekitar kawasan rumah sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian lingkungan dan menjaga

1 Adanya buku panduan berisi informasi dasar

dan panduan teknis rumah dan lingkungan 2

BEM 3 Keamanan 1

Meningkatkan keamanan dan kenyamanan penghuni rumah

1 Terdapat sistem alarm manual atau otomatis

pada rumah 1

BEM 4 Desain dan Konstruksi Berkelanjutan 5

Menjaga kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan akibat pembangunan rumah

1

Melibatkan minimal seorang tenaga ahli yang memiliki kompetensi dalam pembangunan rumah mulai dari tahapan perencanaan (desain) sampai selesainya tahapan konstruksi (termasuk

aktifitas fit out)

*Keterangan: Contoh tenaga ahli bangunan: arsitek, ahli lanskap, desainer interior, sipil

1

2

Adanya sistem kesehatan dan keselamatan baik untuk pekerja maupun penghuni rumah selama masa konstruksi berlangsung

2

3 Adanya sistem manajemen lingkungan di dalam

lahan selama masa konstruksi berlangsung 2

BEM 5 Inovasi 3

Inovasi dalam desain, teknologi maupun performa rumah sehingga dapat mencapai poin yang lebih tinggi dari poin maksimum yang ada dalam GREENSHIP home, dengan menggunakan metode yang sama dengan kriteria pada GREENSHIP Home

1 s/d 3

Atau

1B

Inovasi dalam desain, teknologi maupun performa rumah sehingga dapat memenuhi tolok ukur yang ada dalam kriteria GREENSHIP Home dengan menggunakan metode lain di luar tolok ukur

1 Adanya sebuah perencanaan yang

mengantisipasi rumah tumbuh 2

(37)

23 4. Sintesis merupakan tahapan pengolahan hasil analisis dan penilaian berdasarkan GREENSHIP dari GBCI (Green Building Council Indonesia).

Pada tahap ini dilakukan penjumlahan semua nilai scoring untuk didapatkan suatu tingkat hijau dari bangunan tradisional Kampung Naga.

5. Model dengan mempertimbangkan aspek kearifan lokal pada penilaian tingkat hijau Kampung Naga, diperoleh suatu rekomendasi model perancangan bangunan hijau bagi perkembangan arsitektur di Indonesia.

3.3 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi oleh penilaian tingkat hijau (green level) menggunakan standar dari Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia), yaitu GREENSHIP Home Checklist Assessment versi tahun 2011 yang merupakan metode skoring GREENSHIP untuk lingkungan rumah tinggal di areal permukiman Kampung Naga, Jawa Barat. Metode ini memiliki 6 parameter penilaian, yaitu aspek tepat guna lahan (appropriate site development/ASD), aspek efisiensi energi dan refrigeran (Energy Efficiency and refrigerant/EER), aspek konservasi air (water conservation/WAC), aspek sumber dan siklus material

(material resources and cycle/MRC), aspek kualitas udara dan kenyamanan udara (indoor air health and comfort/IHC), dan aspek manajemen lingkungan bangunan

(38)

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakter Lanskap Kampung Naga

4.1.1 Aspek Fisik a) Geografis

Kampung Naga atau Kampung Adat Naga merupakan wilayah adat yang secara administratif terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung Naga sekitar 30 km, sedangkan dari arah Kabupaten Garut sekitar 26 km. Tidak disebutkan jelas mengenai batas kampung karena masyarakat Kampung Naga tidak hanya berada di satu wilayah dan masih memiliki keterikatan adat. Namun, terdapat area inti yang merupakan permukiman pusat dari Kampung Adat Naga dengan batasan jelas berupa pagar yang disebut kandang jaga. Luas area kawasan Kampung Naga sekitar 10 Ha, terdiri dari kawasan hunian (batas kandang jaga) seluas 1,5 Ha, hutan lindung atau hutan larangan seluas 3,5 Ha, dan lahan kebun serta pertanian seluas 5 Ha. Secara fisik, batas Kampung Naga ini meliputi:

Utara : Kampung Nangtang, Kecamatan Cigalontang Barat : Lahan kebun dan pemakaman leluhur

Timur : Sungai Ciwulan, Hutan Larangan, Kampung Babakan Selatan : Bukit dan Jl. Raya Tasikmalaya-Garut

Secara umum, Kampung Naga dikelilingi oleh ruang terbuka hijau seperti hutan yang luas (radius >200 m dari areal permukiman), berada di lereng lembah dan memiliki sumber air dari resapan Sungai Ciwulan yang terdapat di Barat dan Timur kawasan. Untuk memasuki permukiman pusat Kampung Naga, masyarakat harus menuruni anak tangga yang jumlahnya 439 buah. Oleh karena itu warga tidak dapat membawa kendaraan ke dalam kampung. Jarak antara Kampung Naga dengan akses kendaraan terdekat adalah 1000 langkah (sekitar 500 meter).

b) Topografi

Kampung Naga terletak di Desa Neglasari dengan topografi dominan perbukitan dan pegunungan. Desa Neglasari sendiri memiliki luas 305 Ha yang terdiri dari 121,05 Ha lahan topografi datar dan 183,95 lahan dengan topografi perbukitan dan pegunungan. Kampung Naga berada di suatu lembah berketinggian rata-rata 500 meter di atas permukaan laut (Suryani 2013). Jenis tanah di wilayah ini adalah tanah latosol (lempung berpasir kemerahan) yang berasal dari erupsi Gunung Galunggung. Kondisi kampung yang berada pada lereng curam (dari Barat ke Timur) membuat penduduk Kampung Naga merekayasa lahan permukiman dengan membentuk undakan-undakan (sistem teras) datar untuk dibangun rumah dan fasilitas-fasilitas kampung lainnya.

c) Tata Guna Lahan

(39)

25 bagian dunia, yaitu Dunia Atas (buana nyungcung), Dunia Bawah (buana larang) dan Dunia Tengah (buana panca tengah). Dunia atas bersifat perempuan (kebijaksanaan dan penuh pertimbangan), dunia bawah bersifat laki-laki (tanggung jawab dan pemenuhan kebutuhan) dan dunia tengah bersifat campuran (persatuan fungsi yang bisa dilakukan bersama) (Harun et al 2011).

Berdasarkan Soeganda (1982), pada aplikasinya terhadap penggunaan lahan,

Tri Tangtu tersebut berimplikasi terhadap pembagian tatanan kampung, yaitu Kawasan Suci, Kawasan Bersih, dan Kawasan Kotor (Gambar 5).

1. Kawasan Suci, adalah suatu kawasan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang. Kawasan itu harus dijaga kesucian dan kelestariannya dari pengaruh-pengaruh luar dan diawasi secara bersama. Secara konkrit kawasan ini berupa makam leluhur yang terletak di bukit hutan larangan, sebelah Barat areal permukiman. Selain itu juga terdapat hutan tutupan yang berisi beragam tumbuhan yang berperan terhadap iklim mikro Kampung Naga.

2. Kawasan Bersih, adalah areal permukiman Kampung Naga. Areal ini dibatasi oleh pagar batas yang disebut kandang jaga. Di dalam areal permukiman, terdapat 113 bangunan yang terdiri dari 109 bangunan rumah, 1 balai pertemuan (bale patemon), 1 masjid, 1 rumah pusaka (Bumi Ageung) dan 1 lumbung padi (saung lisung). Rumah-rumah di Kampung Naga sejajar, menghadap ke Utara-Selatan dan memanjang Barat-Timur, serta tidak membelakangi bagian depan rumah lainnya. 3. Kawasan Kotor, adalah daerah permukaan tanah yang lebih rendah.

Kawasan ini terletak di dekat Sungai Ciwulan. Kawasan kotor umumnya berisi fasilitas-fasilitas penunjang yang dianggap tabu (pamali) jika kegiatan di dalamnya dilakukan di areal permukiman (kawasan bersih), seperti jamban, kolam (balong), pancuran, tempat mencuci, saung lisung, tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan kandang ternak.

(40)

26

d) Iklim

Pemilihan lokasi di daerah lembah dan hutan rimbun, berdampak langsung pada penyesuaian iklim di Kampung Naga. Suhu rata-rata di wilayah sekitar kampung ini berkisar antara 21,5o-23o Celcius saat siang dan sore serta 18o-20o Celcius saat pagi dan malam. Angka curah hujan setiap tahun mencapai 3.468 mm. Kelembaban udara di daerah ini berkisar antara 61% - 73%.

4.1.2 Aspek Sejarah

Kampung Naga memiliki cerita historis yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya sampai saat ini. Ada banyak versi mengenai sejarah berdirinya Kampung Naga, namun tidak terdapat catatan resmi. Salah satu cerita yang paling kuat di masyarakat, Kampung Naga berdiri pada masa kewalian Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sekitar abad 15-16 Masehi. Seorang abdinya yang bernama Singaparana, yang juga putra bungsu Prabu Rajadipuntang, ditugasi untuk menyebarkan agama Islam dan membawa pusaka ke sebelah Barat. Suatu hari Singaparana mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersembunyi dari kejaran pemberontak yang mengincar pusaka yang dibawanya dan mendiami satu tempat di lereng bukit yang sekarang disebut Kampung Naga. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir”, yang berarti kampung yang berada di

lereng/tebing. Sebutan ini tampaknya lama kelamaan menjadi kampung na ga -(wir), yang kemudian menjadi “Kampung Naga” (Harun et al, 2011).

Pada awal pembangunan Kampung Naga, Singaparana beserta pengikutnya telah memiliki pengetahuan lokal mengenai lingkungan di tanah Sunda. Pemilihan mengenai tapak yang baik atau yang buruk telah dibukukan dalam warugan lemah, yaitu sebuah ketentuan pemilihan tapak Sunda wiwitan (Sunda kuno). Masyarakat Sunda adat menjalankan kehidupan dengan pemahaman ekologis yang sangat kuat serta tunduk terhadap aturan alam. Masyarakat percaya hidup

(41)

27 berdampingan dengan alam, dan tidak melawan siklus alam, maka alam turut menjaga kelestarian kehidupan mereka.

Kampung Naga pernah mengalami rekontruksi massal setelah masa pemberontakan separatis islam DI/TII pada tahun 1956. Pemberontak pada masa itu membakar habis Kampung Naga yang menjadi tempat persembunyiannya, untuk menghapus jejak keberadaannya. Namun setelah polemik DI/TII usai, masyarakat membangun kembali kampungnya sesuai dengan tata letak semula. Beruntung, semua material yang digunakan untuk membangun kampung berasal dari lingkungan sekitar, sehingga rekontruksi berjalan lancar dan sesuai kondisi kampung semula. Masyarakat semakin menyadari bahwa rentannya fisik kampung terhadap penyebab bencana seperti api. Oleh karena itu, listrik yang diketahui sebagai salah satu pemicu kebakaran, dilarang masuk ke areal permukiman Kampung Naga.

4.1.3 Aspek Sosial dan Budaya

Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat di Indonesia yang memiliki lingkungan arsitektural khas, yaitu lingkungan arsitektur tradisional Sunda. Lingkungan arsitektural ini terbentuk oleh banyak sebab. Pada kasus Kampung Naga, aspek sosial, budaya dan agama sangat kuat mempengaruhi perkembangan kampung yang relatif lambat dalam puluhan tahun terakhir. Masyarakat Kampung Naga membentengi cara hidup mereka dengan aturan adat yang kuat. Pola kampung yang sederhana dan unik secara arsitektural, mencerminkan sistem organisasi sosial kemasyarakatan komunal. Sistem ini menjelaskan bahwa kepentingan bersama berada di atas kepentingan pribadi. Aturan yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, tata lingkungan dan arsitektur dilaksanakan dengan relatif patuh oleh masyarakatnya.

Penduduk asli areal permukiman Kampung Naga dikenal dengan sebutan

Sanaga. Pada data tahun 2013, jumlah sanaga di kampung ini sekitar 315 jiwa atau sekitar 112 KK dan mengisi sekitar 109 bangunan rumah tinggal adat di areal permukiman. Keseluruhan masyarakat adat Kampung Naga dipimpin oleh seorang

kuncen yang disebut Kuncen Naga atau disebut juga juru kunci. Seorang Kuncen

yang biasanya seorang laki-laki, mengemban tugas untuk menjaga dan melestarikan pusaka dan adat Kampung Naga, di antaranya ialah menjadi utusan kampung dan memimpin upacara ritual adat Kampung Naga (Suryani 2013).

Masyarakat adat Kampung Naga memiliki sistem upacara ritual adat sesuai penanggalan islam. Terdapat enam kali upacara adat yang berlangsung dalam setahun. Upacara tersebut disebut juga dengan upacara Hajat Sasih yang merupakan upacara ziarah makam leluhur. Hajat Sasih dilaksanakan pada:

a. Bulan Muharam, tanggal 26, 27 atau 28 b. Bulan Maulud, tanggal 12, 13 atau 14 c. Bulan Jumadil Akhir, tanggal 16, 17 atau 18 d. Bulan Ruwah (Sya‟ban), tanggal 14, 15 atau 16 e. Bulan Syawal, tanggal 1, 2 atau 3

f. Bulan Rayagung (Zulhijah), tanggal 10, 11 atau 12

Di samping itu juga terdapat upacara lain di luar Hajat Sasih, seperti upacara Mauludan yakni merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, upacara atau tradisi Nyiram, yakni upacara pembersihan pusaka di Kampung Naga, tradisi

(42)

28

perkawinan atau upacara sawer. Di luar upacara tersebut, terdapat juga aturan menyepi bagi masyarakat Kampung Naga, yakni tabu sifatnya jika membicarakan hal yang berkaitan dengan adat istiadat. Aturan ini bertujuan memberi kesempatan pada warga untuk berinstropeksi dan bertenang diri pada kehidupan yang telah dilakukan, serta menjaga amanat dan wasiat agar tidak dilanggar dan tidak menimbulkan malapetaka.

4.1.4 Aspek Ekonomi

Mata pencaharian pokok masyarakat Kampung Naga adalah bertani. Bertani merupakan pemenuhan kebutuhan yang dilakukan secara turun temurun. Hampir setiap warga memiliki lahan pertanian yang dapat mereka garap sendiri. Warga mengolah lahan yang tidak begitu luas dan sesuai dengan skala tenaga manusia. Aspek pertanian ini pula yang mempengaruhi penataan lanskap kampung seperti adanya lahan yang lapang untuk proses penjemuran padi dan upacara panen, adanya saung lisung (lumbung padi), sampai penataan ruang dalam rumah tinggal di mana terdapat gowah, yaitu ruang untuk menyimpan hasil panen dalam rumah.

Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga masih sangat sederhana dan tradisional. Masyarakat tidak pernah melakukan intensifikasi, selain karena tradisi, sistem pertanian tradisional dinilai lebih ekonomis. Oleh karena petakan lahan pertanian yang tidak begitu luas dan sesuai dengan skala manusia, maka peralatan yang diperlukan pun hanya cangkul dan tenaga manusia. Pola tanam di Kampung Naga juga menggunakan pola tanam serentak, sehingga memilimalisir serangan hama dan penggunaan pestisida. Kondisi lahan yang berundak-undak dan ketersedian mata air, membuat pengairan sawah-sawah di kampung ini tidak memiliki masalah. Hasil dari bertani ini pada umumnya menjadi konsumsi pribadi warga Kampung Naga, namun beberapa warga juga menjualnya ke luar kampung.

Selain bertani, warga juga memiliki keterampilan untuk berdagang dan membuat kerajinan tangan berupa pernak-pernik untuk cinderamata. Kegiatan semacam ini didukung oleh pariwisata yang berkembang di Kabupaten Tasikmalaya. Pemerintah daerah mempromosikan kampung ini sebagai tujuan wisata dan memberikan penyuluhan pada warga bagaimana bersikap menghadapi wisatawan dan memanfaatkan pariwisata. Penduduk dalam kampung memanfaatkan pariwisata dengan menjual hasil karya kerajinan mereka yang mayoritas berupa anyaman bambu. Beberapa penduduk lain menjajakan makanan dan jajanan untuk melayani wisatawan. Kondisi ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada keadaan sosial budaya masyarakat. Aturan adat yang kuat dan dipegang erat oleh tetua adat tidak boleh dilanggar oleh masyarakat adat.

Kebanyakan pemuda Kampung Naga yang tidak bertani dan berdagang di dalam kampung, memiliki pengalaman merantau ke luar kampung untuk berdagang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung. Beberapa warga memiliki hewan ternak seperti domba, ayam, itik atau ikan. Pada umumnya, kebutuhan primer masyarakat Kampung Naga, dapat mereka penuhi sendiri melalui sistem pertanian terpadu dan perdagangan. Masyarakat mengolah lingkungan alam dengan agroforestry (perpaduan sawah dan pohon produksi di kebun), agropastural (perpaduan sawah dan ternak) dan livestockfishery

Gambar

Tabel 1 Jenis, Bentuk dan Sumber Data
Gambar 5 Pembagian Tatanan Kampung (Padma et. al, 2011)
Tabel 3 Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah)
Tabel 4 Daftar lahan bersifat positif
+7

Referensi

Dokumen terkait