• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi dan Konservasi Energi Kampung Naga

Masyarakat Kampung Naga seperti masyarakat tradisional Sunda lainnya, menjunjung tinggi nilai-nilai konservasi guna melestarikan kebudayaannya. Pandangan hidup masyarakat untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan sesuai tuntunan agama dan leluhur, menghasilkan siklus pemanfaatan energi yang efesien dan efektif bagi kebutuhan mereka. Dari pemilihan lokasi untuk areal permukiman, pemilihan material bangunan hingga kebiasaan dan gaya hidup, memiliki makna-makna filosofis yang kental dengan nilai-nilai konservasi lingkungan serta nilai-nilai keberlanjutan hidup. Setiap kegiatan primer dalam kehidupan sehari-hari memiliki siklus yang terintegrasi dengan kehidupan lainnya. Seperti siklus pertanian terpadu yang diaplikasikan untuk kegiatan MCK dengan kolam ikan, kandang ternak dengan kolam ikan, kotoran ternak dengan lahan pertanian dan sebagainya. Penguasaan kondisi alam dan lingkungan pemukiman membuat masyarakat Kampung Naga menentukan aturan-aturan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa aturan terlihat tabu dan hanya menjadi mitos bagi masyarakat, namun memiliki makna kearifan lokal tersendiri bagi keberlangsungan adat.

4.3.1 Pengonsumsian Energi Listrik

Listrik merupakan suatu kebutuhan primer bagi manusia moderen. Perkembangan teknologi berbanding lurus dengan pengonsumsian energi listrik. Namun penyediaan listrik membutuhkan bahan bakar untuk menjalankan pembangkit-pembangkit listrik. Bahan bakar yang terus menipis menekan manusia untuk melakukan penghematan dan inovasi pengelolaan listrik dengan cara lain. Penghematan inilah yang menjadi sorotan arsitektur hijau. Kontrol energi seperti pengadaan sub-meteran untuk pemantauan konsumsi listrik

48

merupakan salah satu standar dari GREENSHIP. Dengan adanya alat pemantau konsumsi listrik seperti sub-meteran untuk lampu, alat pendingin (AC) dan stop kontak, poin pada aspek ini menjadi tinggi.

Kampung Naga memiliki aturan tersendiri dalam pengonsumsian energi listrik. Masyarakat menghindari masuknya aliran listrik dengan daya yang besar seperti kabel listrik PLN. Penggunaan kayu dan daun sebagai material bangunan di Kampung Naga menjadi alasan utama mengapa hal tersebut dilakukan. Masyarakat menghindari potensi terjadinya kebakaran. Selain itu, masyarakat beranggapan bahwa dengan masuknya listrik akan mengubah gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan. Gaya hidup berlebihan akan membuat perbedaan di setiap manusia yang pada hakikatnya sama dihadapan Tuhan. Tidak adanya jaringan listrik yang masuk ke dalam kampung membuat penilaian pada aspek ini rendah atau tidak berpoin. Namun, meski dalam standar penilaian GREENSHIP hal ini tidak termasuk hijau, pada prinsipnya justru terdapat nilai-nilai ekologis yang tinggi diterapkan oleh masyarakat. Dari total 109 rumah tinggal yang dihuni, terdapat 9 rumah tinggal yang memiliki televisi dan radio. Artinya, warga tetap membutuhkan hiburan, teknologi dan juga pengonsumsian energi listrik. Namun energi listrik tersebut didapat dari sumber listrik berupa accu (7 rumah) dan solar panel (2 rumah) seperti pada Gambar 22. Daya yang dihasilkan memang tidak sebesar yang dialirkan jaringan listrik, namun inilah yang diharapkan warga agar tidak terus menerus mengonsumsi listrik. Dalam analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki kontrol konsumsi energi listrik yang tinggi sehingga menambah penghematan listrik negara.

4.3.2 Pencahayaan / Penerangan Buatan dalam Kampung

Penerangan buatan adalah penerangan yang menggantikan cahaya langsung matahari. Penerangan buatan berkaitan erat dengan sumber energi listrik seperti yang disebutkan sebelumnya. Pada standar GREENSHIP, penerangan buatan dinilai mendapatkan poin yang tinggi ketika dapat diketahui berapa besaran pengeluaran daya dari lampu yang digunakan dengan perhitungan satuan Watt/m2. Selain itu juga menggunakan fitur otomatis seperti sensor gerak, timer, atau sensor cahaya minimal 1 ruangan di dalam rumah. Dengan perhitungan yang pengeluaran daya yang tidak terlalu tinggi dan kontrol pemakaian melalui teknologi sensor, diharapkan mampu mengurangi besarnya energi yang dikonsumsi oleh pemakaian lampu. Rumus perhitungan untuk mengetahui besaran Watt/m2 :

Gambar 22 Penggunaan tenaga accu untuk menghidupkan televisi, dan Penggunaan solar cell

49

Daya pencahayaan =(jumlah lampu x daya lampu)α + . . + (jumlah lampu x daya lampu)n Luasan area

Standar tingkat hijau yang dibuat dengan penerapan teknologi di dalamnya tidak terpenuhi oleh Kampung Naga. Dengan tidak terdapatnya jaringan listrik, maka jaringan penerangan lampu dalam rumah maupun kampung tidak dapat dibangun. Oleh karena itu, sebagai pengganti lampu, masyarakat Kampung Naga menggunakan lampu petromak berbahan bakar minyak tanah untuk menerangi rumah. Walaupun terangnya berkisar antara 2-5 lux, sangat kecil sekali dibanding dengan lampu bohlam, namun dirasa cukup untuk menerangi kegiatan malam seperti berkumpul bersama dan sholat di masjid. Dengan redupnya cahaya yang ditimbulkan, dipercaya dapat menambah keakraban dalam bercengkerama di malam hari, menimbulkan perasaan tenang dan membantu untuk beristirahat dengan rileks sehingga siap beraktifitas keesokan harinya. Penggunaan lampu petromak ini menggunakan bahan bakar minyak tanah yang didapatkan warga di luar areal permukiman dengan jarak 500 meter, seharga Rp 4000,-/liter. Satu liter minyak tanah dapat digunakan hingga satu minggu atau 7 hari. Setiap rumah rata- rata menggunakan 2 buah lampu petromak untuk penerangan. Sehingga biaya yang diharus dikeluarkan per bulan ialah,

Biaya minyak tanah = 4 minggu x 2 petromak x Rp 4000,- = Rp 32.000,-/bulan

= Rp 1066,-/hari

Biaya penggunaan ini perlu dibandingkan dengan biaya pemakaian energi listrik untuk 2 buah lampu. Pemakaian daya listrik untuk dua buah lampu per bulan pada rumah hunian konvensional dapat dihitung dengan rumusan,

Pemakaian per hari = Besaran Watt Lampu/1000 x Jumlah jam Sebagai contoh,

Pemakaian per hari = 5 Watt/1000 x 12 jam = 0,06 KwH

Dengan besaran watt lampu yang berbeda (5 Watt, 25 Watt, 40 Watt) dan jenis rumah yang berbeda (Gol. R-1, Gol. R-2, Gol. R-3) didapat biaya pemakaian listrik 2 buah lampu berkisar antara Rp 1.494,- untuk lampu 5 watt pada rumah sederhana Gol. R-1 dengan daya 450 VA, hingga Rp 38.937,- untuk lampu 40 watt pada rumah Gol. R-3 dengan daya lebih dari 6600 VA (Tabel 9 dan 10). Tabel 9 Tarif pemakaian listrik untuk 2 buah lampu

Besaran Daya Lampu Rata-rata Jumlah Jam per Hari Besaran KwH per hari/2 lampu Besaran KwH per Bulan/2 lampu

Tarif Listrik Tahap Akhir (Oktober 2013)/ KwH Rumah Gol. R-1 Daya 450 VA- 2200VA Rumah Gol. R-2 Daya 3500 VA- 5500 VA Rumah Gol. R-3 Daya > 6600 VA 5 Watt 12 jam 0,12 KwH 3,6 KwH Rp415 - Rp979 Rp1.145 Rp1.352 25 Watt 12 jam 0,6 KwH 18 KwH 40 Watt 12 jam 0,96 KwH 28,8 KwH

50

Tabel 10 Total tarif penggunaan 2 lampu/bulan

Total Tarif Penggunaan 2 lampu/Bulan

Rumah Gol. R-1 Rumah Gol. R-2 Rumah Gol. R-3

Rp 1.494 – Rp 3.524 Rp 4.122 Rp 4.867

Rp 7.470 – Rp 17.622 Rp 20.610 Rp 24.336

Rp 11.952 – Rp 28.195 Rp 32.976 Rp 38.937

(Sumber: Lampiran Peraturan Menteri ESDM No. 30 Tahun 2012 Tanggal 12 Desember 2012)

Dari hasil penghitungan biaya pemakaian lampu petromak di Kampung Naga dan lampu bohlam konvensional, didapat hasil bahwa penggunaan lampu petromak dalam sebulan masih lebih mahal dibanding penggunaan lampu bohlam konvensional. Dengan semakin langkanya bahan bakar minyak dapat dikatakan nilai penghematan biaya dan energi listrik untuk penerangan di Kampung Naga pada aspek ini rendah.

4.3.3 Pengkondisian Udara

Pengkondisian udara yang dimaksud dalam standar ini adalah penggunaan teknologi air conditioner (AC) di dalam rumah. Penggunaan AC untuk tingkat hijau yang baik adalah penggunaan dengan perencanaan yang sesuai kebutuhan ruangan. Persentase penggunaan AC dari total luas lahan dan koefesien kinerja (COP) dari AC yang digunakan, menjadi pertimbangan dalam penilaian pada aspek ini. Penggunaan lebih rendah dari atau maksimum 50% dari total luas lantai bangunan merupakan kriteria yang baik. Pemaksimalan penyebaran kondisi sejuk dan dingin pada ruangan rumah dari sumber dingin, menjadi solusi bagi kesejukan seluruh ruangan rumah.

Pada Kampung Naga, penilaian pada aspek ini dibuat TIDAK BERLAKU. Sesuai dengan ketentuan GREENSHIP sendiri, penilaian mengenai pengkondisian udara ini dapat tidak dilakukan bila rumah tidak menggunakan AC. Rumah-rumah adat di Kampung Naga memiliki kondisi udara yang cukup sejuk tanpa menggunakan AC. Udara sejuk ini didapat dengan memaksimalkan kondisi topografi di areal permukiman yang berupa lembah. Rumah-rumah ini menghadap ke arah Utara dan Selatan (saling berhadapan) dan sejajar dengan arah angin berhembus dari arah Barat (atas bukit) ke arah Timur (sungai). Rapatnya jarak antar rumah yang menggunakan material kayu dan daun ini, membuat kelembaban lingkungan tinggi. Kelembaban lingkungan yang tinggi ini tereduksi oleh angin yang berhembus sehingga menyebabkan kondisi sejuk yang nyaman untuk aktivitas dalam rumah (Gambar 23).

Pembuatan lubang angin pada sisi Barat dan Timur, serta desain bangunan yang berupa rumah panggung juga berpengaruh pada perputaran udara yang optimal menyejukkan ruang dalam. Angin masuk ke dalam langit-langit melalui lubang angin yang kecil di sebelah Barat. Angin ini kemudian terperangkap dan berputar di dalam langit-langit sebelum keluar melalui lubang angin di sebelah Timur. Proses ini membuat plafon (para) di langit-langit rumah menjadi dingin ketika siang hari, dan menimbulkan kesejukan di dalam rumah. Begitu pula dengan desain rumah panggung. Angin yang terpecah datang dari Barat, masuk ke

51 bagian kolong rumah dan melakukan sirkulasi yang sama seperti angin yang masuk melalui langit-langit (Gambar 24).

Gambar 24 Sirkulasi angin pada atap dan kolong bangunan

Proses pemaksimalan kondisi lingkungan yang salah satunya dilakukan dengan merancang bangunan berupa rumah panggung ini sangat efektif dan efesien menambah kesejukan ruang dalam, tanpa perlu menggunakan AC. Dari pengamatan, didapat rata-rata suhu dalam rumah ketika siang hari ialah sekitar 180-220C. Nilai suhu demikian dapat dikatakan sejuk bagi ruang dalam bangunan. Oleh karena itu, pada aspek ini, meskipun penilaian tidak berlaku, seharusnya mendapat poin yang tinggi karena masyarakat telah melakukan penghematan energi dan konservasi lingkungan yang baik.

4.3.4 Reduksi Panas

Kondisi panas di dalam ruangan dan di lingkungan rumah menjadi hal yang harus bisa diatasi oleh penghuni rumah tersebut. Selain penggunaan AC seperti

52

yang dijelaskan sebelumnya, pemilihan material bangunan menjadi pertimbangan selanjutnya. Material bangunan berpengaruh pada proses penyerapan energi panas dan pelepasannya ke lingkungan. Bahan-bahan seperti seng dan alumunium membuat kesan panas bagi pengguna karena memiliki nilai absorbtansi radiasi yang rendah, sehingga kondisi di sekitar benda tersebut menjadi panas (Tabel 11). Lain halnya dengan warna, pemilihan warna cat gelap seperti hitam dan abu-abu memiliki nilai absortansi (α) tinggi, sehingga mampu penyerap panas dan mengalirkannya ke dalam ruangan (Tabel 12).

Tabel 11 Nilai Absorbtansi (α) Radiasi Matahari untuk Dinding Luar dan Atap Tak Tembus Cahaya

Bahan α

Beton berat 0,91

Bata merah 0,86

Beton ringan 0,86

Kayu permukaan halus 0,78

Beton ekspos 0,61

Atap putih 0,50

Seng putih 0,26

Lembaran alumunium yang dikilapkan 0,12

Sumber: SNI 03-6389-2000: Konservasi Energi Selubung Bangunan Pada Bangunan

Tabel 12 Nilai Absorbtansi (α) Radiasi Matahari untuk Cat Permukaan Dinding

Cat Luar α

Hitam merata 0,95

Pernis hitam 0,92

Abu-abu tua 0,91

Pernis biru tua 0,91

Cat minyak hitam 0,9

Coklat tua 0,88 Abu-abu/biru tua 0,88 Biru/hijau tua 0,88 Coklat medium 0,84 Pernis hijau 0,79 Hijau medium 0,59 Kuning medium 0,58 Hijau/biru medium 0,57 Hijau muda 0,47

Putih semi kilap 0,3

Putih kilap 0,25

Perak 0,25

Pernis 0,21

53 Pada bangunan Kampung Naga, baik pada rumah maupun bangunan adat lainnya seperti masjid dan balé patémon, material yang digunakan ialah material yang berasal dari lingkungan sekitar. Untuk atap, digunakan material daun eurih, yaitu sebangsa ilalang, atau daun tepus yang lalu ditutupi ijuk. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap. Bahan ini juga menyerap panas matahari maksimal namun tidak menyebabkan panas di dalam ruangan karena panas yang melewati ijuk masih tereduksi oleh daun tepus di bawahnya. Selain itu panas juga tereduksi oleh aliran angin yang berputar di langit-langit rumah. Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa menggunakan jenis atap dari genteng adalah tabu, karena pada hakikatnya tanah letaknya tetaplah di bawah. Namun di samping itu, melalui hasil pengalaman dan penelitian, material ijuk dinilai lebih tahan lama dibanding genteng (Gambar 25).

Gambar 25 Atap ijuk yang telah bertahan berpuluh-puluh tahun

Selanjutnya, material yang digunakan untuk dinding luar ialah anyaman bambu atau bilik. Bilik dari bambu ini memiliki karakter yang unik dalam hal penyerapan panas. Menurut H. Jatnika Nanggamihardja, BBA, seorang pakar bambu, pada siang hari material dari bahan bambu menyerap panas dan mengeluarkannya pada malam hari. Sebaliknya, pada malam hari, bambu menyerap dingin dan melepaskannya pada siang hari. Dengan siklus demikian, kondisi dalam rumah yang menggunakan material bambu terbilang sejuk dan nyaman, karena penghuni mendapatkan dingin pada siang hari dan panas pada malam hari. Nilai absorbtansi untuk material ini sama dengan material kayu permukaan halus, yaitu α sekitar 0,78. Cat yang digunakan oleh rumah-rumah di Kampung Naga adalah kapur dolomit putih yang dicampur air. Warna rumah menjadi lebih terang dan cerah. Untuk pemakaian cat dengan warna putih, nilai absorbtansinya adalah 0,3. Cukup tingginya nilai absorbtansi pada dinding dan rendahnya nilai absorbtansi pada warna cat memungkinkan penyerapan radiasi panas yang terkendali dan nyaman bagi penghuni. Kaca jendela dan sky light

menggunakan kusen kayu yang menyerap panas atau radiasi matahari. Panasnya sinar yang masuk melalui kaca juga direduksi dengan pemasangan kain gordin. Secara keseluruhan, perbedaan komposisi material pada 4 jenis bangunan di Kampung Naga seperti pada Gambar 26.

Rumah-rumah adat di Kampung Naga mampu mereduksi radiasi matahari dengan material-material yang mereka gunakan. Di samping itu, penataan orientasi rumah yang melintang dari arah barat ke arah timur, dipercaya juga menjadi salah satu faktor penambah kesejukan ruang dalam rumah. Efek orientasi bangunan terhadap suhu udara di dalam bangunan juga tampak jelas. Suhu yang terdapat pada sisi Timur dan Barat lebih tinggi 10C dibandingkan dengan suhu di

54

ruangan tengah (Karyono 2010). Pada rumah Kampung Naga, sisi Timur berupa

tepas atau ruang tamu, dan pangkeng atau kamar tidur. Ruang tengah merupakan

tengah imah, tempat berkumpul keluarga, dan pada sisi Barat merupakan gowah

atau tempat penyimpanan padi. Penataan ruang dalam ini menyesuaikan dengan kondisi panas matahari sehingga penghuni tetap nyaman dan terjaga kesehatannya. Dengan uraian demikian, Kampung Naga memiliki poin tinggi pada aspek reduksi panas ini.

.

4.3.5 Sumber Energi Terbarukan

Pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi sangat penting dalam suatu keberlanjutan hidup. Sumber energi terbarukan seperti radiasi sinar matahari, aliran air dan angin mulai banyak dimanfaatkan dan diubah menjadi energi listrik. Sumber energi listrik yang didapat dari proses pembangkit listrik sendiri memerlukan bahan bakar non-terbarukan seperti minyak bumi dan gas bumi. Maka, apabila terdapat pemanfaatan sumber energi terbarukan dalam suatu kawasan permukiman, kawasan tersebut sudah dapat dikatakan memiliki nilai ekologis (save material, save land, save energy).

Standar GREENSHIP menyebut bahwa sebuah kawasan memenuhi poin ini bila rumah pada kawasan tersebut menggunakan pemanas air tenaga surya dan kawasan tersebut memiliki fitur pembangkit listrik alternatif untuk energi listrik. Pada Kampung Naga, masyarakat tidak memerlukan air hangat. Mereka menggunakan air yang cukup dingin dari mata air untuk aktifitas sehari-hari. Keperluan air hangat untuk diminum didapat dengan memasak air pada tungku dari kayu bakar yang jatuh di kebun masing-masing. Mereka tidak menebang

55 pohon untuk mendapatkan kayu bakar. Sekalipun menebang pohon, mereka menggantinya dengan pohon baru untuk regenerasi lahan (Gambar 27).

Sedangkan untuk sumber energi listrik alternatif, beberapa rumah (9 rumah) menggunakan sumber energi terbarukan seperti accu dan solar cell. Tidak semua rumah menggunakan energi listrik alternatif, karena masyarakat memang tidak mengkonsumsi listrik. Energi listrik yang dihasilkan oleh sumber energi listrik terbarukan ini menghasilkan jumlah daya yang terbatas. Sehingga hal ini dapat mengendalikan kehidupan agar tidak berlebihan sesuai denga prinsip mereka. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga mampu mengurangi ketidakberlanjutan energi non-terbarukan dengan menggunakan air langsung dari mata air, menggunakan tungku kayu bakar dan menggunakan sumber listrik alternatif.

4.3.6 Hasil Skoring Kategori Efisiensi & Konservasi Energi Kampung Naga Hasil penilaian dengan metode skoring standar tingkat hijau GREENSHIP untuk kategori efisiensi dan konservasi energi disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13 Hasil skoring kategori efisiensi dan konservasi energi

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI ANALISIS GREENSHIP

CHECK

LIST KETERANGAN EEC1 Sub Meteran (Sub-Metering) 2

Memfasilitasi agar mudah dalam pemantauan konsumsi listrik

1A Menyediakan sub metering untuk lampu

1 Tidak terdapat sub metering lampu di dalam areal permukiman. − Kampung Naga tidak memiliki jaringan listrik untuk mempertahankan bangunan dan adat kampung 1B Menyediakan sub metering

untuk AC

1 Tidak terdapat sub metering AC dalam areal permukiman.

1C Menyediakan sub metering untuk kotak kontak (stop kontak)

1 Tidak terdapat sub metering untuk kotak kontak (stop kontak)

EEC2 Pencahayaan Buatan 4

Mengetahui besar konsumsi energi dari sistem pencahayaan buatan.

1 Mengetahui penggunaan rata- rata penggunaan lampu dalam perhitungan satuan Watt/m2

2 Tidak terdapat jaringan listrik sehingga tidak ada penggunaan lampu listrik di areal permukiman − Masyarakat menggunakan lampu petromak dengan bahan bakar minyak tanah yang lebih mahal dibanding mengonsumsi listrik untuk 2 buah lampu Gambar 27 Penggantian tanaman baru

56

KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI ANALISIS GREENSHIP

CHECK

LIST KETERANGAN 2 Menggunakan fitur otomatis

seperti sensor gerak, timer, atau sensor cahaya minimal pada 1 area/ruangan rumah

2 Tidak terdapat fitur otomatis di dalam area/ruangan rumah. − Fitur otomatis memerlukan energi listrik yang tidak terdapat di kampung ini

EEC 3 Pengkondisian Udara 2

Menghemat penggunaan energi dari perencanaan penggunaan AC sesuai kebutuhan.

TIDAK BERLAKU bila pemilik rumah tidak menggunakan AC di area rumahnya.

TIDAK

BERLAKU TB TB

1 Hanya menggunakan AC maksimum 50% dari total luas lantai

2 TIDAK BERLAKU

TB TB

2 Mengetahui koefesien kinerja (COP) dari AC yang digunakan BONUS 1 TIDAK BERLAKU TB TB

EEC 4 Reduksi Panas 1

Mengurangi panas rumah beban AC/alat penyejuk ruangan

1 Menggunakan bahan bangunan yang dapat mereduksi panas pada seluruh atap (tidak termasuk skylight)

1 Bahan untuk atap yaitu daun eurih dan tepus serta ijuk, mereduksi panas. √ Penggunaan material dari tumbuhan (bukan isolator) menyebabkan suhu sejuk di dalam bangunan 2 Menggunakan bahan

bangunan yang dapat mereduksi panas pada seluruh kaca dan skylight

BONUS 2

Penggunaan material bambu dan kayu kusen jendela dan

skylight mereduksi dan menyerap panas.

EEC 5 Sumber Energi Terbarukan 6

Mengurangi

ketidakberlanjutan energi non-terbarukan

1 Menggunakan pemanas air tenaga surya yang tidak mengkonsumsi energi listrik

2 Masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan pemanas air tenaga surya

− Pemanas air menggunakan tungku dengan bahan kayu bakar dari ranting jatuh di hutan/kebun 2 Adanya fitur pembangkit

listrik alternatif untuk energi listrik

4 Beberapa warga menggunakan solar panel dan accu untuk mendapatkan energi listrik

√ Daya yang dihasilkan solar panel atau accu tidak seberapa sehingga warga tetap pada konsep kesederhanaan

TOTAL NILAI KATEGORI EEC 13 (15) 7

Dokumen terkait