• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber dan Daur Ulang Material Kampung Naga

Bahan material bangunan yang digunakan memiliki andil dalam membantu konservasi lingkungan serta menjaga kesehatan penghuni rumah. Penggunaan material lokal memiliki nilai ekologis yang tinggi karena energi yang digunakan untuk pengangkutan (transportasi) rendah, tentunya dengan proses pemanfaatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahan bangunan yang secara kesehatan tidak direkomendasikan juga sebaiknya perlu dihindari. Hal ini akan berdampak pada penggunaan zat-zat kimia seperti obat-obatan maupun wewangian yang juga kurang menyehatkan dibanding dengan menjaga lingkungan tempat tinggal.

Material terbarukan seperti kayu dan bambu, merupakan material yang baik, dilihat dari sisi keberlanjutan karena dapat ditanam kembali. Namun dewasa ini, penebangan pohon mendapat pengawasan yang cukup ketat, dengan banyaknya kasus penebangan pohon yang tidak disertai penanaman kembali. Untuk mengatasi hal tersebut, penggunaan barang yang bersifat re-useable (dapat digunakan/dipasang kembali) dan barang bekas lebih disarankan untuk menjaga nilai-nilai konservasi. Nilai-nilai konservasi terhadap material bangunan pun ditunjukkan oleh masyarakat Kampung Naga (Gambar 32).

Material bangunan-bangunan yang terdapat dalam kampung adalah kayu dan bambu. Material tersebut didapat dari kebun masing-masing warga. Jika kekurangan material, mereka juga membeli kayu dari kampung terdekat. Untuk pengambilan kayu di kebun, mereka memilih pohon yang cukup tua dan memastikan adanya pohon pengganti terlebih dahulu. Begitu pula pada bambu yang dijaga ketersediaannya oleh warga. Dengan kapasitas areal permukiman yang sudah memasuki jumlah maksimal, maka diharapkan sumber daya material tersebut dapat berlanjut.

62

4.5.1 Penggunaan Alat Pendingin

Alat pendingin seperti refrigran memiliki keterlibatan cukup besar dalam menipisnya lapisan ozon karena penggunaan BPO (bahan perusak ozon) pada refrigran tersebut. Isu pemanasan global membuat penggunaan alat pendingin sangat diperhitungkan dalam menilai tingkat hijau bangunan. Dengan tidak digunakannya alat seperi refrigran yang mengeluarkan senyawa HCFC ke udara pada sistem AC, BPO pada bangunan dan kawasan tersebut menjadi berkurang.

Masyarakat Kampung Naga tidak memiliki alat pendingin seperti refrigran (kulkas) dan AC. Mereka memanfaat sirkulasi angin segar yang ditambah dengan kelembaban optimal untuk mendapatkan udara yang sejuk. Desain rumah panggung dan lubang-lubang angin pada Barat dan Timur bagian rumah juga mempengaruhi kesejukan di dalam rumah. Angin membawa udara segar dari hutan di bukit sebelah Barat areal permukiman. Air dari mata air pun sudah cukup dingin sehingga tidak lagi memerlukan alat pendingin. Warga juga tidak terbiasa meminum minuman dengan es dan menyimpan bahan masakan untuk didinginkan. Mereka terbiasa minum dengan air hangat dan untuk makan, mereka terbiasa membeli atau mengambil bahan masakan dari kebun secukupnya, sehingga tidak bersisa dan harus disimpan dalam lemari es. Tidak adanya jaringan listrik yang masuk ke dalam pemukiman membuat kehidupan warga tidak berlebihan dan stabil.

63 4.5.2 Penggunaan Material Lama

Penggunaan material lama yang dimaksud merupakan penggunaan material yang sudah dipakai sebelumnya. Syarat material tersebut menurut GBC Indonesia ialah;

a. masih layak dipakai, dengan indikator;

1. tidak mengganggu kesehatan, misalnya penggunaan material yanng mengandung B3 (bahan beracun dan berbahaya)

2. tidak mengganggu kenyamanan, misalnya memberi kesan kusam, kotor dan sebagainya, dan

3. tidak membahayakan keamanan pengguna, misalnya dapat melukai pengguna,

b. untuk elemen struktural, material bekas tidak mendapatkan apresiasi, kecuali merupakan bagian dari struktur bangunan lama yang difungsikan kembali dan

c. untuk elemen mekanika elektrikal, material bekas tidak mendapatkan apresiasi.

Tujuan dari penilaian pada aspek ini ialah mengetahui daur hidup material dan mengurangi sampah konstruksi. Dengan persentase penggunaan material lama/bekas yang besar (>45% dari total biaya penggunaan material), dimaksudkan bahwa bangunan tersebut telah mengurangi material tak terpakai yang menjadi limbah dan mengurangi pengonsumsian material baru.

Penghitungan persentase penggunaan material lama dapat digunakan dengan cara:

Penggunaan material lama = Harga material lama

Harga material keseluruhan x 100%

Untuk melakukan perhitungan ini, perlu diketahui perkiraan harga material keseluruhan yang digunakan sebuah bangunan di Kampung Naga (Tabel 16). Tabel 16 Daftar harga material bangunan Kampung Naga

Jenis material Satuan

Harga satuan (Rp)

Jumlah kebutuhan bangunan Rumah Pintu 2 Rumah Pintu 1 Masjid Bale Patemon

Hateup (daun tepus) Jalon 15 000 800 300 1 000 800

Injuk (ijuk) Kakab 2 500 4 000 1 500 6 000 4 000

Kai (kayu) Kibik 2 000 000 12 8 20 15

Awi (bambu) Batang 5 000 200 150 400 300

Bilik (anyaman

bambu) m2 27 000 60 40 75 60

Kaca m2 100 000 3.6 - - -

Total Harga Material (Rp) 48 980 000 26 080 000 92 025 000 55 120 000

Keterangan : 1 jalon = 2 meter; 1 kakab = 1 ikat; 1 kibik = 100 m2

Dari hasil wawancara (in-depth interview) pada seorang punduh (ahli bangunan) setempat, seluruh bangunan di Kampung Naga tidak ada yang menggunakan bahan atau material lama (Tabel 17). Seluruh material yang digunakan adalah material lokal baru yang diambil dari kebun pribadi maupun

64

dibeli dari kampung lain. Masyarakat beranggapan bahwa material yang sudah tidak digunakan tidak layak digunakan kembali sebagai material konstruksi. Hal ini karena usia material bekas tidak tahan lama, dan masih terdapat sumber material baru. Kayu atau bambu yang sudah tidak digunakan dijadikan sebagai kayu bakar untuk memasak menggunakan tungku.

Tabel 17 Persentase Penggunaan Material Lama pada Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material Lama Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Material Lama Rumah Pintu 2 0 48 980 000 0/(48 980 000) x 100% 0% Rumah Pintu 1 0 26 080 000 0/(26 080 000) x 100% 0% Masjid 0 92 025 000 0/(92 025 000) x 100% 0% Bale Patemon 0 55 120 000 0/(55 120 000) x 100% 0% Rata-rata 0%

Persentase yang didapat untuk material lama yang digunakan pada Kampung Naga adalah 0%. Material bekas atau lama yang kembali digunakan merupakan salah satu cara untuk mengurangi biaya dan energi pengangkutan (transportasi). Cara lainnya ialah dengan menggunakan material lokal yang didapat dari lingkungan sekitar. Masyarakat lebih memilih cara yang kedua untuk melakukan tindakan konservasi pada material bangunan.

4.5.3 Penggunaan Material dari Sumber yang Ramah Lingkungan

Material dari sumber yang ramah lingkungan berarti juga material yang tidak menimbulkan dampak negatif dalam proses pengolahannya (mengeluarkan limbah) maupun pemakaiannya. Terdapat dua jenis material ramah lingkungan yang perlu dipertimbangkan dalam pengkajian tolok ukur ini, yaitu;

 Material dari sumber yang terbarukan  Material daur ulang

Material dari sumber yang terbarukan adalah material yang bahan mentahnya berasal dari hasil pertanian yang membutuhkan masa panen jangka pendek (maksimal 10 tahun). Contoh bahan mentah tersebut di antaranya:

 Serat kapas  Serabut kelapa  Ijuk  Jerami  Bambu  Rotan  Kayu sengon/albasia  Eceng gondok, dll

Dalam proses penilaiannya, perlu dihitung persentase penggunaan material dari sumber yang terbarukan dan material daur ulang. Formula penghitungan persentase penggunaan material dari sumber yang terbarukan sebagai berikut;

65 Penggunaan material terbarukan =Harga material dari sumber terbarukan

Harga material keseluruhan x 100%

Sedangkan formula untuk penghitungan persentase penggunaan material daur ulang adalah sebagai berikut;

Penggunaan material daur ulang = Harga material daur ulang

Harga material keseluruhan x 100% Dari hasil wawancara (in-depth interview) kepada punduh setempat, hampir seluruh material bangunan di Kampung Naga berasal dari material terbarukan karena berasal dari hasil pertanian lokal. Material-material tersebut di antaranya;

 Daun tepus dan ijuk (penutup atap) dengan masa panen setahun sekali  Kayu sengon/albasia (kusen dan rangka) dengan masa panen 5 – 7

tahun sekali

 Bambu tali (lantai dan dinding) dengan masa panen 2 – 5 tahun sekali  Batu kali (pondasi dan penahan tanah) dapat diperoleh di sungai sesuai

kebutuhan

 Untuk pengikat antar unit material digunakan kayu pancang (paku kayu) dan serat ijuk.

Namun terdapat material kaca pada bangunan rumah pintu 2 yang bukan merupakan material terbarukan, sehingga harga material terbarukan pada rumah pintu 2 adalah Rp 48.620.000,00. Rincian penggunaan material dari sumber terbarukan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Persentase Penggunaan Material Terbarukan Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material Terbarukan Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Material Terbarukan Rumah Pintu 2 48 620 000 48 980 000 (48 620 000)/(48 980 000) x 100% 99% Rumah Pintu 1 26 080 000 26 080 000 (26 080 000)/(26 080 000) x 100% 100% Masjid 92 025 000 92 025 000 (92 025 000)/(92 025 000) x 100% 100% Bale Patemon 55 120 000 55 120 000 (55 120 000)/(55 120 000) x 100% 100% Rata-rata 99,75%

Nilai persentase yang mencapai 99,75% menyimpulkan bahwa seluruh material yang digunakan pada bangunan-bangunan di Kampung Naga menggunakan material terbarukan. Selanjutnya menurut punduh, tidak terdapat material yang mengalami proses daur ulang pada bangunan di Kampung Naga. Semua proses persiapan material dilakukan di dalam kampung, seperti pencucian, perendaman, penjemuran dan pemotongan, serta material dalam keadaan baru. Artinya, tidak terdapat biaya untuk mendapatkan material daur ulang bagi semua bangunan (Tabel 19).

66

Tabel 19 Persentase Penggunaan Material Daur Ulang Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material Daur ulang Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Material Daur Ulang Rumah Pintu 2 0 48 980 000 0/(48 980 000) x 100% 0% Rumah Pintu 1 0 26 080 000 0/(26 080 000) x 100% 0% Masjid 0 92 025 000 0/(92 025 000) x 100% 0% Bale Patemon 0 55 120 000 0/(55 120 000) x 100% 0% Rata-rata 0%

Penilaian pada tolok ukur ini berkesimpulan bahwa Kampung Naga menggunakan material dari sumber yang ramah lingkungan (terbarukan) serta tidak menggunakan bahan yang sifatnya daur ulang. Tidak menunjangnya teknologi yang terdapat di dalam kampung menjadi salah satu alasan proses daur ulang tidak dilakukan, selain karena material daur ulang (bekas) dianggap tabu oleh masyarakat Kampung Naga untuk diolah kembali. Di samping itu, proses penggunaan material terbarukan mengajarkan masyarakat untuk terus hidup berdampingan dengan alam, mengambil dari alam harus diikuti dengan memberi pada alam, begitu juga sebaliknya.

4.5.4 Penggunaan Material dengan Proses Ramah Lingkungan

Material dengan proses ramah lingkungan merupakan material yang manufakturnya memiliki Sertifikat Manajemen Lingkungan (SML) untuk penggunaan sumber daya dan pengolahan limbah. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya sertifikat yang resmi baik berskala nasional maupun internasional. Persentase penggunaan material dengan proses ramah lingkungan dapat dihitung dengan formula sebagai berikut;

Pengunaan material dengan SML = Harga material dengan SML

Harga material keseluruhan x 100% Penggunaan material dengan sertifikat nampaknya tidak terdapat dalam Kampung Naga. Menurut wawancara (in-depth interview) dengan punduh, seluruh kayu dan bahan lain yang digunakan oleh warga untuk membangun rumah diperoleh dari sumber daya lokal yang tidak bersertifikat. Segala jenis pohon yang diperlukan ditanam sendiri oleh warga atau sudah ada sejak sebelumnya di kebun masing-masing atau pun kampung terdekat. Hal tersebut berarti bahwa tidak terdapat harga material yang memiliki SML, sehingga perhitungan dapat diasumsikan seperti pada Tabel 20.

Oleh karena itu, dalam penilaian penggunaan material dengan proses ramah lingkungan yang tolok ukurnya berupa SML, Kampung Naga tidak mendapatkan poin. Namun jika melihat proses penggunaan dan pengolahan materialnya, masyarakat Kampung Naga memiliki pengetahuan untuk kelestarian lingkungan yang diwariskan secara turun temurun. Pada proses pengolahannya, warga hanya memilih pohon sesuai kebutuhan dan sudah dewasa atau agak tua. Jika pohon dinilai tidak mempengaruhi ekosistem dan jumlah pohon tersebut, maka warga akan menebangnya. Setelah ditebang, pohon tersebut direndam terlebih dahulu di

67 dalam air kolam selama 40 hari. Selanjutnya, pohon tersebut dipotong sesuai kebutuhan dan tidak ada material sisa. Penjemuran dilakukan setelah proses pemotongan. Penjemuran ini dilakukan di sisi-sisi rumah yang terkena asap dari lubang angin dekat dapur. Setiap ampas atau sisa dari proses tersebut dapat dimanfaatkan. Misalnya ranting pohon dapat dijadikan kayu bakar, dedaunannya dapat dijadikan kompos, serta serbuk kayu sisa pemotongan dapat dijadikan bahan kerajinan dan kompos. Pada kesimpulannya, proses pengolahan yang ramah lingkungan sebenarnya telah diterapkan melalui sistem yang tersirat secara adat Kampung Naga dengan sangat baik.

Tabel 20 Persentase Penggunaan Material SML Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material SML Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Material SML Rumah Pintu 2 0 48 980 000 0/(48 980 000) x 100% 0% Rumah Pintu 1 0 26 080 000 0/(26 080 000) x 100% 0% Masjid 0 92 025 000 0/(92 025 000) x 100% 0% Bale Patemon 0 55 120 000 0/(55 120 000) x 100% 0% Rata-rata 0%

4.5.5 Penggunaan Kayu Bersertifikat

Kayu merupakan material yang sangat sensitif terhadap jalannya nilai-nilai arsitektur ekologis. Penggunaan material kayu yang berasal dari hasil penebangan illegal merupakan tindakan yang secara kasat mata tidak mencerminkan perilaku ekologis. Hal ini dikarenakan penebangan yang tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang (legal), tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan.

Sertifikat legal yang dimaksud berupa FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan) atau FAKB (Faktur Angkutan Kayu Bulat). Persentase penggunaan kayu bersertifikat didapat melalui formula sebagai berikut;

Penggunaan kayu bersertifikat = Harga kayu bersertifikat

Harga material keseluruhan x 100%

Menurut keterangan punduh Kampung Naga, sama seperti halnya untuk sertifikat material dengan SML, Kampung Naga juga tidak menggunakan kayu bersertifikat seperti halnya standar bangunan hijau yang dianjurkan. Hal tersebut membuat penilaian pada aspek ini tidak mendapat poin. Perhitungan persentase penggunaan kayu bersertifikat dimana harga kayu bersertifikat diasumsikan nol disajikan pada Tabel 21.

Penggunaan kayu tanpa sertifikat tersebut bukanlah suatu tindakan ilegal dan tidak bertanggung jawab. Masyarakat tradisional tidak memiliki kesulitan untuk memanfaatkan apa yang menjadi bagian dari tanah adat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang berbunyi, “Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber

68

daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat tersebut dengan wilayah yanng bersangkutan”. Artinya, pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, termasuk pepohonan kayu.

Tabel 21 Persentase Penggunaan Kayu Bersertifikat Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Kayu Bersertifikat Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Kayu Bersertifikat Rumah Pintu 2 0 48 980 000 0/(48 980 000) x 100% 0% Rumah Pintu 1 0 26 080 000 0/(26 080 000) x 100% 0% Masjid 0 92 025 000 0/(92 025 000) x 100% 0% Bale Patemon 0 55 120 000 0/(55 120 000) x 100% 0% Rata-rata 0%

Pertimbangan mengenai pemberian hak ini didasarkan pada kearifan lokal dan kehidupan holistik yang diterapkan masyarakat adat Indonesia, termasuk masyarakat adat Kampung Naga. Pemanfaatan yang disertai dengan pemeliharaan lingkungan yang bertanggung jawab ditunjukkan dengan kehidupan masyarakat adat yang sederhana dan tetap lestari. Pengambilan material kayu di wilayah adat bagi kebutuhan masyarakat adat tersebut dianggap legal dan bertanggung jawab. 4.5.6 Penggunaan Material Prefab

Material prefabrikasi merupakan material yang telah diproduksi sesuai dengan kebutuhan secara detail di lapangan. Sistem prefabrikasi ini lebih didefinisikan pada material dengan sistem pengolahan manufaktur industri. Diharapkan melalui sistem prefabrikasi ini, pekerja konstruksi hanya melakukan pemasangan saja tanpa harus memotong sehingga menghasilkan sampah konstruksi. Persentase penggunaan material prefabrikasi ini dapat diperoleh dengan perhitungan;

Penggunaan material prefabrikasi = Harga material prefabrikasi

Harga material keseluruhan x 100% Menurut punduh¸ kebutuhan material untuk pembuatan bangunan di Kampung Naga telah melalui penghitungan matematis sesuai kebutuhan. Ilmu penghitungan matematis ini hanya punduh yang mengetahui secara turun temurun dan dipercaya sangat sesuai sehingga tidak ada material yang berlebih. Penggunaan material prefab diasumsikan sebagai material pabrik dengan sistem pengolahan yang menggunakan energi besar dan didapat melalui sistem produksi

off site (di luar kampung) sesuai kebutuhan pada bangunan. Dari 6 jenis material yang digunakan untuk membuat sebuah bangunan adat (daun tepus, ijuk, kayu sengon, bambu, bilik dan kaca) hanya material kaca pada bangunan rumah pintu 2 yang pengolahannya dilakukan dengan proses manufaktur pabrik dan menggunakan sistem off site. Kebutuhan kaca pada rumah pintu 2 ini adalah 3,6

69 m2, dengan harga per m2-nya adalah Rp 100.000,-. Total Harga material prefabrikasi ini sebesar Rp 360.000,-. Persentase penggunaan material prefab dapat diketahui seperti pada Tabel 22 berikut:

Tabel 22 Persentase Penggunaan Material Prefabrikasi Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material Prefabrikasi Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Penggunaan Rumah Pintu 2 360 000 48 980 000 (360 000)/(48 980 000) x 100% 0,75% Rumah Pintu 1 0 26 080 000 (0)/(26 080 000) x 100% 0% Masjid 0 92 025 000 (0)/(92 025 000) x 100% 0% Bale Patemon 0 55 120 000 (0)/(55 120 000) x 100% 0% Total 0,75%

Hasil perhitungan material prefabrikasi tersebut tidak sesuai tolok ukur GREENSHIP. Kampung Naga memiliki persentase penggunaan material prefabrikasi sebesar 0,75%, jauh lebih kecil dari batas minimum sebesar 30%. Penilaian tersebut mempunyai kesimpulan bahwa permukiman Kampung Naga tidak memenuhi tingkat hijau pada kriteria material prefabrikasi ini. Namun, meskipun demikian, material lain yang dibutuhkan seperti hateup, ijuk, dan bilik, tetap dikerjakan di luar lokasi (off site) walaupun tanpa proses pabrikasi. Material- material tersebut merupakan material terbarukan dan dikerjakan secara manual oleh pengrajin. Pengrajin ini berada di kampung tetangga, di luar Kampung Naga.

Penggunaan material lainnya, seperti kayu dan bambu, diolah dalam areal permukiman. Namun pengolahan tersebut dilakukan secara holistik sesuai kebutuhan dan tidak menimbulkan sampah pengolahan. Serbuk- serbuk kayu sisa pengolahan dikumpulkan untuk dibuat barang kerajinan seperti teko poci, gelas dan lain-lain. Dalam proses pengolahan, warga cukup menggunakan benda-benda tajam seberti kapak dan bedog (golok). Warga tidak menggunakan mesin yang menggunakan energi listrik untuk menyala. Sisa kayu yang tidak terpakai direndam dan dijemur kembali untuk keperluan sewaktu-waktu.

4.5.7 Penggunaan Material Lokal

Suatu proses pengangkutan material dari sumbernya menuju lokasi pembuatan bangunan memerlukan biaya penggunaan energi. Semakin jauh material didapat, maka semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan sehingga akan membuat bangunan tersebut semakin jauh dari konsep hijau. Material lokal yang dimaksud adalah material yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 Bahan mentah atau bahan bakunya berasal dari dalam wilayah radius 1000 km dari lokasi proyek atau dalam negeri,

 Proses produksi atau manufakturnya berasal dari dalam wilayah radius 1000 km dari lokasi proyek atau dalam negeri.

Menurut punduh Kampung Naga, bahan material seluruhnya didapat dari lingkungan sekitar kampung. Jika pun terdapat material yang harus dibeli, dapat

70

dibeli dari kampung tetangga yang maksimal jaraknya 3–5 km. Perhitungan persentase penggunaan material lokal dilakukan dengan formula sebagai berikut:

Penggunaan material lokal = Harga material lokal

Harga material keseluruhan x 100%

Harga material lokal kemudian diasumsikan sama dengan harga keseluruhan material yang digunakan, karena seluruh material adalah material lokal, termasuk material kaca yang diperoleh dari radius 1000 km sesuai standar, sehingga didapat hasil perhitungan seperti pada Tabel 23. Dari hasil penghitungan pada empat jenis bangunan yang terdapat pada Kampung Naga, dapat disimpulkan bahwa seluruh bangunan di Kampung Naga menggunakan material lokal dan memenuhi poin yang tinggi pada tolok ukur ini. Dengan tidak adanya akses bagi kendaraan beroda ke dalam areal permukiman Kampung Naga, maka proses pengangkutan material dengan skala besar pun akan sulit dilakukan.

Tabel 23 Persentase Penggunaan Material Lokal Bangunan Kampung Naga

Jenis Bangunan Harga Material Lokal Harga Material Keseluruhan Formula Persentase Penggunaan Rumah Pintu 2 48 980 000 48 980 000 (48 980 000)/(48 980 000) x 100% 100% Rumah Pintu 1 26 080 000 26 080 000 (26 080 000)/(26 080 000) x 100% 100% Masjid 92 025 000 92 025 000 (92 025 000)/(92 025 000) x 100% 100% Bale Patemon 55 120 000 55 120 000 (55 120 000)/(55 120 000) x 100% 100% Rata-rata 100%

Oleh karena itu, material yang didapat dari luar kampung tidak terlalu banyak dan sesuai dengan kapasitas tenaga manusia untuk mengangkut, sehingga warga tidak tergiur untuk melakukan pemborongan material yang berlebihan. 4.5.8 Pemilahan Sampah

Sistem pemilahan sampah termasuk dalam penilaian konservasi material yang terdapat di Kampung Naga. Material sisa konstruksi, sampah rumah tangga dan sampah lingkungan dapat diolah kembali sesuai kebutuhan dan tidak menumpuk di sembarang tempat sehingga mengganggu keindahan. Menurut penilaian GREENSHIP, dengan adanya sistem pemilahan sampah organik dan anorganik, maka lingkungan tersebut dapat memperoleh poin tinggi.

Pada pengamatan di lapang, terdapat sistem pembuangan sampah yang terkendali di Kampung Naga. Sampah organik sisa makanan yang kecil dapat dibuang langsung ke sela-sela lantai dapur yang disebut lantai palupuh dan dimakan oleh ayam ternak di kolong rumah. Sampah padat dibuang ke carangka

(wadah sampah khas Kampung Naga) yang terdapat di setiap sudut kampung dan di setiap bagian depan rumah. Setelah sampah terkumpul, maka akan dipilah mana yang organik (sisa makanan dan dedaunan) dan yang anorganik (plastik dan beling). Sampah organik kemudian diolah menjadi kompos atau pakan ternak. Sampah anorganik dipilah kembali menjadi sampah plastik dan beling. Sampah

71 plastik dan beling ini dikumpulkan pada bak penampungan sampah berbeda yang terdapat di tepi sungai Ciwulan bagian Timur areal permukiman. Sampah plastik kemudian dilebur dengan cara dibakar. Sedangkan sampah beling dikumpulkan guna dimanfaatkan oleh pemulung dari luar kampung yang ingin menjualnya. Daur pemilahan sampah dapat dilihat pada Gambar 33. Sistem penanganan sampah seperti ini telah dilakukan sejak dahulu dan masih bertahan dan diaplikasikan sampai generasi sekarang.

Pemilahan sampah yang diaplikasikan dengan baik oleh masyarakat kampung menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Alasan kenyamanan, keindahan dan kepedulian terhadap larangan sesepuh

(pamali) terhadap aktivitas membuang sampah sembarangan, membuat warga tetap menjalankan sistem sirkulasi sampah tersebut. Namun, meskipun terdapat sistem pemilahan sampah organik dan anorganik, limbah abu dari hasil pembakaran yang dibuang ke sungai kurang mendapat perhatian. Masyarakat hanya bergantung pada proses filtrasi alam, yaitu dari tanaman di tepian sepanjang sungai untuk mereduksi limbah abu tersebut.

4.5.9 Hasil Skoring Kategori Sumber dan Daur Ulang Material

Hasil penilaian dengan metode skoring standar tingkat hijau GREENSHIP untuk kategori sumber dan daur ulang material disajikan dalam Tabel 24 berikut.

72

Tabel 24 Hasil skoring kategori sumber dan daur ulang material KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI ANALISIS

GREENSHIP

CHECK

LIST KETERANGAN MRC

1 Refrigran Bukan Perusak Ozon 1

Menghindari penipisan lapisan ozon karena penggunaan BPO pada refrigran 1 Tidak menggunakan refrigran HCFC untuk sistem AC 1 Masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan alat pendingin apa pun untuk menyejukkan makanan, hanya mengandalkan kelembaban udara dalam ruangan yang cukup

√ Tidak terdapat energi listrik untuk penggunaan alat pendingin. Makanan yang diolah dihitung secukupnya oleh wanita, sehingga yang dibutuhkan tidak berlebihan dan menimbulkan sisa

MRC

2 Penggunaan Material Lama 3

Memperpanjang daur hidup material dan mengurangi

Dokumen terkait