• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dumbo Catfish Hatchery and Enlargement Integration Business Planning at Ciseeng Sub-district, Bogor Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dumbo Catfish Hatchery and Enlargement Integration Business Planning at Ciseeng Sub-district, Bogor Regency"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN BOGOR

PUTRI AMALIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Usaha Integrasi Pembenihan dan Pembesaran Lele Dumbo di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Agustus 2015

Putri Amalia

(4)
(5)

Lele Dumbo di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan AMZUL RIFIN

Lele merupakan satu dari sembilan komoditas unggulan di sektor perikanan budidaya yang produksinya meningkat tiap tahunnya (KKP 2013). Adapun beberapa sentra penghasil lele yang berperan penting dalam pemenuhan permintaan lele yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau dan Riau dengan Jawa Barat menduduki posisi tertinggi sebagai produsen utama lele (KKP 2013). Menurut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2012) menyatakan bahwa Kabupaten Bogor merupakan pusat sentra produksi yang berkontribusi sebesar 27.4% dari jumlah produksi di Jawa Barat. Adapun sentra perikanan budidaya lele yang terintegrasi baik benih ataupun berupa lele konsumsi berada di Kecamatan Ciseeng yang merupakan salah satu kawasan minapolitan (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2013). Produksi benih yang terjadi di Kecamatan Ciseeng yang mulai mengalami penurunan dikarenakan risiko yang dialami di sektor pembenih lebih dari 50% dibandingkan dengan sektor pembesaran yang mencapai 35% sehingga kepastian input benih untuk sektor pembesaran semakin menurun.

Untuk mengatasi hal tersebut, usaha budidaya lele perlu dikembangkan dengan baik agar kepastian input bagi pembesaran terjamin dan kebutuhan lele konsumsi bagi konsumen dapat terpenuhi. Adapun pengembangan usaha budidaya lele salah satunya dapat dilakukan dengan cara melakukan integrasi antara sektor pembenihan dan pembesaran. Dalam proses pengembangan usaha lele yang telah terintegrasi ini penting untuk dilakukan analisis perencanaan usaha pada pokdakan jumbo lestari karena pada prosesnya budidaya lele dipengaruhi oleh berbagai hal mulai dari kenaikan harga pakan, perubahan harga output, dan lainnya. Perencanaan usaha dibuat berdasarkan pemilihan kombinasi pemilihan skenario yang menghasilkan NPV optimum.

Terdapat lima skenario yang akan dianalisis yaitu usaha pembenihan yang dimulai dari indukan sampai benih 12 cm (skenario 1), usaha pembenihan yang dimulai dari indukan sampai benih 1-2 cm dan 12 cm (skenario 2), usaha pembenihan yang dimulai dari benih 1-2 cm sampai 12 cm (skenario 3), usaha pembesaran dimulai dari benih 12 cm (skenario 4), dan usaha pembesaran dimulai dari benih 1-2 cm (skenario 5). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelayakan non finansial dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Tujuan kedua menganalisis kelayakan finansial dilihat dari kriteria

investasi Net Present Value (NPV), Net B/C, Internal Rate of Return (IRR), dan

(6)

studi kelayakan bisnis dan zero one integer linear programming.

Hasil analisis menunjukan usaha pembenihan sebenarnya sudah layak, akan tetapi usaha pembesaran lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha pembenihan. Dari aspek non finansial yang terdiri dari aspek sosial, teknis, manajemen, ekonomi dan lingkungan budidaya lele sebelum terintegrasi sudah layak untuk dijalankan namun belum optimal. Kombinasi yang menghasilkan NPV optimum yaitu 200.73 juta rupiah selama umur proyek dimulai dari indukan sampai menghasilkan benih 1-2 cm dan 12 cm yang kemudian dilanjutkan sampai menghasilkan lele ukuran konsumsi. Namun kombinasi ini dapat digantikan oleh skenario lain apabila terdapat perubahan pada harga output, biaya pakan dan volume output yang dihasilkan. Peranan pokdakan menjadi penting dalam merancang konsep baik dalam segi aktivitas bisnisnya yang terbagi menjadi sektor pembenihan dikerjakan oleh 18 orang dan sektor pembesaran 10 orang dikarenakan sektor pembenihan risikonya lebih tinggi dibandingkan dengan

pembesaran. Sementara untuk layout produksi dirancang sesuai dengan kebutuhan

dimana kolam pembenihan, pembesaran, sortir dan kolam calon indukan berdekatan agar memudahkan proses pemindahan.

(7)

Business Planning at Ciseeng Sub-district, Bogor Regency. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan AMZUL RIFIN

Catfish is one of nine leading commodity in the aquaculture sector, whose production increased annually (KKP 2013). As for some catfish production centers which play an important role in meeting demand for catfish namely West Java, East Java, Central Java, Yogyakarta, North Sumatra, West Sumatra, South Sumatra, Lampung, Riau and Riau Islands West Java occupying the highest position as a major producer of catfish (KKP 2013). Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2012) states that the Bogor Regency is the center of production centers which accounted for 27.4% of total production in West Java. The center for integrated aquaculture catfish either seed or in the form of catfish consumption in Sub Ciseeng which is one of the Minapolitan (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2013). Seed production occurring in the Sub Ciseeng which began to decline due to the risks experienced in the seeding sector more than 50% compared to the considerable enlargement of the sector reached 35% so that the seed input certainty for enlargement sector decreased.

To overcome this, catfish farming need to be developed properly so that the certainty of guaranteed input for enlargement and the need for consumers catfish consumption can be met. The development of the cultivation of catfish one of which can be done by doing the integration between hatchery and rearing sectors. In the process of business development that has integrated catfish is

important to do the analysis of business planning on sustainable Jumbo’s

Pokdakan because the catfish farming process is influenced by a variety of things ranging from rising feed prices, changes in output prices, and more. Business planning is based on selection of a combination of the scenarios that generate optimum NPV.

(8)

Results of the analysis showed hatchery operations has actually been decent, but the effort enlargement is more profitable than hatchery operations. From the non-financial aspects of which consists of social, technical, management, economics and the environment before integrated catfish farming is feasible to run but not optimal. A combination that results in optimum NPV is 200.73 million dollars starting from breeders to produce seed 1-2 cm and 12 cm were then followed up to produce catfish the size of consumption. However, this combination can be replaced by other scenarios when there is a change in output

prices, feed costs and the volume of output produced. “Pokdakan” become an

important role in designing the concept both in terms of its business activities are divided into sectors seeding is done by 18 people and 10 people due to the enlargement of the sector hatchery sector risk is higher than with enlargement. As for the production layouts are designed according to the needs which the hatchery pond, enlargement, sorting and an adjacent prospective breeders in order to facilitate the transfer process

Keywords: Dumbo’s Catfish, Feasibility of Investment, Integration, Zero-One

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutka sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KABUPATEN BOGOR

PUTRI AMALIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr, Ir. Anna Fariyanti, MSi

(13)
(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Perencanaan Usaha Integrasi Pembenihan dan Pembesaran Lele Dumbo di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr. Ir. Ratna Winandi A, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.

Amzul Rifin, SP, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir Anna Fariyanti, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium

proposal penelitian dan Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains

Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yag diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

4. Dr Ir Suharno selaku Wakil Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

sekaligus Penguji dari Program Studi atas arahan dan kritik yang membangun untuk penulisan thesis ini.

5. Ketua dan anggota Pokdakan Jumbo Lestari dan Penyuluh Perikanan atas

bantuan informasi dan data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

6. Pemberi dana beasiswa Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri

(BPKLN) yang telah memberikan bantuan dana sehingga penulis dapat menyelesaikan program S2 dengan lancar.

7. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis

sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bapak Abdul Rahman dan Ibu Halimatussadiah serta keluarga besar yang memberikan doa dan dukungannya.

8. Terima kasih kepada Ricky Herdiyansyah yang selalu memberikan

dukungan dan pertolongan di setiap waktu, menemani penulis di waktu susah dan senang dan memberikan motivasi semangat.

9. Teman-teman seperjuangan Angkatan 4 dan Fasttrack Angkatan 2 pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis atas diskusi dan bantuan selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi pihak yang memerlukan.

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Produksi Lele dan Kelayakan Bisnis

(17)

Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

70

75

(18)

1 Potensi dan peluang pemanfaatan perikanan buddidaya

2 Karakteristik lele sangkuriang dan lele dumbo

3 Komposisi peruntukan luas wilayah Desa Babakan

4 Jumlah penduduk Desa Babakan berdasarkan usia

5 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok

6 Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Babakan 2013

7 Karakteristik pembudidaya responden di Pokdakan Jumbo Lestari

berdasarkan usia

8 Sebaran umum tingkat pendidikan pembudidaya lele dumbo di Pokdakan

Jumbo Lestari

9 Sebaran pengalaman membudidayakan lele dumbo di Pokdakan Jumbo

Lestari

10 Perkiraan kebutuhan larva (benih), produksi lele konsumsi dan induk lele di

Jawa Barat tahun 2011 – 2014

11 Perbandingan nilai output dari 5 skenario (Rp 000 )

12 Perbandingan hasil kelayakan finansial pada kelima skenario

13 Hasil perhitungan NPV dan penggunaan input pada keempat skenario

14 Nilai sensitivitas kombinasi scenario usaha dengan LINDO

15 Analisis switching value pada skenario 1, 3 dan 4

16 Kebutuhan rata – rata pakan pembesaran ikan lele konsumsi satu kali proses

produksi (1 kolam)

DAFTAR GAMBAR

1 Volume produksi perikanan Indonesia tahun 2003 - 2013

2 Volume produksi perikanan komoditas unggulan tahun 2009 - 2012

3 Jumlah ikan konsumsi ikan lele per kapita per tahun

4 Hubungan antara NPV dan IRR

5 Kurva kombinasi input

6 Kurva kombinasi output – output dan input - output

7 Kerangka pemikiran operasional

8 Tahapan pembenihan ikan lele dumbo

9 Struktur organisasi Pokdakan Jumbo Lestari

10 Layout produksi pembenihan dan pembesaran lele dumbo

11 Promosi produk melalui internet

12 Saluran pemasaran ikan lele dumbo Pokdakan Jumbo Lestari

(19)

1 Proses Produksi

2 Rincian Biaya Investasi pada Kelima Skenario

3 Rincian Biaya Tetap pada Kelima Skenario

4 Perhitungan Biaya Variabel Skenario 1

5 Perhitungan Biaya Variabel Skenario 2

6 Perhitungan Biaya Variabel Skenario 3

7 Perhitungan Biaya Variabel Skenario 4

8 Perhitungan Biaya Variabel Skenario 5

9 Hasil Swicthing Value Harga atau Volume Output Scenario 1 Terpilih

10 Hasil Swicthing Value Harga atau Volume Output Scenario 3 Terpilih

11 Hasil Swicthing Value Harga atau Volume Output Scenario 4 Terpilih

12 Hasil switching value biaya pakan agar skenario 4 dapat terpilih

13 Hasil switching value harga atau volume output skenario 5 tidak terpilih

14 Hasil switching value biaya pakan agar skenario 5 tidak terpilih

15 Hasil switching value harga atau volume output skenario 2 tidak terpilih

16 Hasil switching value biaya pakan agar skenario 2 tidak terpilih

17 Perhitungan pemilihan kombinasi menggunakan zero one integer

18 Hasil output pemilihan kombinasi optimum menggunakan zero one

integer

75 76 76 77 77 77 78 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87

(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan potensi perikanannya yang didukung oleh tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor perikanan yang meningkat

tiap tahunnya. Dalam periode 2009 – 2013 capaian PDB sub sektor perikanan mengalami

peningkatan rata – rata sebesar 21% (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013).

Perikanan pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan perikanan tangkap dilihat dari nilai produksi perikanan budidaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap yang tertera pada gambar 1.

Gambar 1 Volume produksi perikanan Indonesia tahun 2003 – 2013*

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013

Gambar 1 menunjukan volume produksi budidaya tahun 2003 lebih rendah dibandingkan dengan perikanan tangkap yaitu sebesar 1.223.192 ton sementara perikanan tangkap mencapai 4.692.796. Namun, ketika pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 (data sementara), volume produksi budidaya lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap. Hal ini diduga bahwa risiko perikanan budidaya lebih rendah dibandingkan dengan perikanan tangkap.

Budidaya perikanan berdasarkan tingkat pemanfaatannya dibagi menjadi lima, yakni sistem budidaya tambak, kolam, perairan umum, sawah (mina padi) dan laut. Pemanfaatan lahan budidaya masih belum optimal.

Volume (Ton)

(21)

Tabel 1 Potensi dan peluang pemanfaatan perikanan budidaya

Tabel 1 menunjukan bahwa perikanan budidaya kolam relatif lebih optimal dibandingkan dengan jenis budidaya yang lain. Hal ini terlihat dari presentase peluang yang tersisa lebih rendah yaitu 75% dibandingkan dengan jenis budidaya lainnya. Pemanfaatan perikanan budidaya kolam yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya sejalan dengan pelaku budidaya kolam yang meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, jumlah pelaku dalam sistem budidaya air tawar sistem kolam meningkat setiap tahunnya, yakni sebanyak 527.907 orang pada tahun 2011 menjadi 927.755 orang pada tahun 2012 dan 966.229 orang pada tahun 2013.

Gambar 2 Volume produksi perikanan komoditas unggulan tahun 2009 – 2012

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013

Gambar 2 menjelaskan mengenai jenis komoditas perikanan budidaya air tawar sistem kolam yang saat ini tengah marak dilakukan adalah ikan lele. Produksi ikan lele di Indonesia setiap tahunnya meningkat cukup signifikan. Berbeda dengan produksi

komoditas perikanan budidaya mas dan bawal yang cenderung berubah – ubah. Dapat

dilihat juga bahwa produksi ikan lele mengalahkan produksi komoditas perikanan budidaya lainnya. Hal tersebut mengindikasi bahwa jumlah produksi ikan lele yang meningkat merupakan dampak dari adanya peningkatan permintaan akan produk tersebut.

(22)

dikonsumsi oleh pembudidaya. Kini ikan lele menjadi komoditas yang unggul sehingga dapat dijadikan peluang bisnis. Jumlah konsumsi ikan lele beberapa tahun ini juga meningkat cukup pesat. Sejalan dengan tingkat permintaan lele per hari nya yang mencapai 150 ton akan tetapi hanya dapat terpenuhi 80 ton (Gunawan dan Harianto, 2013). Meningkatnya permintaan ikan lele akan memberikan dampak pada produsen ikan lele untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi ikan lele sangat diperlukan agar jumlah permintaan ikan lele di pasar dapat terpenuhi. Adapun beberapa sentra penghasil lele yang berperan penting dalam pemenuhan permintaan lele yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau dan Riau dengan Jawa Barat sebagai produsen lele tertinggi yaitu sebesar 197.783 ton per tahun (KKP 2013).

Menurut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2012) menyatakan bahwa Kabupaten Bogor merupakan pusat sentra produksi yang berkontribusi sebesar 27.4% dari jumlah produksi di Jawa Barat. Jawa barat memiliki produksi tertinggi sebesar 197.783 ton yang didalamnya terdapat peranan dari Bogor dan Jakarta pun masih belum mampu untuk memenuhi permintaan konsumen akan komoditas lele di wilayah Jabodetabek sehingga diperlukan pengelolaan budidaya yang intensif baik dari sisi irigasi, padat tebar, pemberian pakan, indukan bermutu, teknologi dan yang paling penting pengelolaan terhadap benih yang nantinya dibutuhkan sebagai input budidaya lele konsumsi.

Amalia (2014) menyatakan bahwa proporsi biaya input terbesar dalam proses budidaya lele adalah benih yang mencapai 47,03% disusul selanjutnya oleh pakan dan tenaga kerja. Oleh sebab itu, pengelolaan benih menjadi bagian terpenting dalam menghasilkan lele konsumsi. Penyediaan benih ikan dalam jumlah dan kualitas yang baik menyebabkan keberhasilan budidaya ikan dapat terpenuhi. Adapun sentra perikanan budidaya lele yang terintegrasi baik benih ataupun berupa lele konsumsi berada di Kecamatan Ciseeng yang merupakan salah satu kawasan minapolitan (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2013). Konsumsi ikan lele masih didominasi wilayah Jawa sebesar 250 ton per hari. Selain Jakarta konsumsi lele terbanyak berada di Yogyakarta (KKP 2012). Beberapa wilayah yang ada di Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi lele diantaranya Ciseeng, Parung, Gunung Sindur dan Gadog. Kabupaten Bogor mempunyai lokasi berdekatan dengan pusat pasar domestik yaitu kawasan Jabodetabek dengan kebutuhan pasokan lele 150 ton per hari (Ditjen P2HP 2010). Sedangkan kebutuhan lele di Bogor sudah menembus 30 ton per hari (Wibowo 2011).

Peningkatan permintaan lele konsumsi di Kecamatan Ciseeng menyebabkan adanya peluang bagi pembudidaya lele untuk membudidayakan lele konsumsi. Peningkatan permintaan tersebut harus sejalan dengan peningkatan produksi lele konsumsi yang juga dipengaruhi oleh peningkatan produksi benih. Dalam rangka peningkatan produksi perikanan budidaya 35% (KKP 2011), peranan bidang pembenihan menjadi sangat penting untuk menghasilkan benih bermutu baik dan produksi yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan benih untuk pembesaran. Ketersediaan benih lele di Kabupaten Bogor pada dua tahun terakhir (2011-2012) 54.684.000 ekor (5,25% dari ketersediaan benih lele di Provinsi Jawa Barat) dan 175.582.800 ekor (1,89% dari ketersediaan benih lele di Provinsi Jawa Barat), akan tetapi pada tahun 2012 produksi benih lele mengalami penurunan (Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2010, 2012). Kondisi tersebut juga sejalan

(23)

dibandingkan dengan sektor pembesaran yang cukup mencapai 35% sehingga kepastian input benih untuk sektor pembesaran semakin menurun.

Kecamatan Ciseeng memiliki dua jenis ikan lele yang dibudidayakan yaitu lele sangkuriang dan lele dumbo. Mahyuddin (2008) menyatakan bahwa lele sangkuriang lebih unggul dibandingkan dengan lele dumbo. Adapun beberapa karakter lele sangkuriangyang dibandingkan dengan lele dumbo tertera pada tabel 2

Tabel 2 menjelaskan bahwa secara keseluruhan lele sangkuriang lebih memiliki keunggulan dibandingkan dengan lele dumbo. Namun, lele sangkuriang juga terdapat kelemahan yakni perubahan tingkat keasaman yang sering terjadi saat air hujan masuk ke dalam kolam dan ikan lele sangkuriang hanya dapat dibudidayakan untuk kebutuhan lele konsumsi, bukan untuk dijadikan sebagai calon indukan baru karena akan mengakibatkan penurunan kualitas yang pada akhirnya produksi lele pun akan menurun (Mahyuddin 2008). Kondisi ini sejalan dengan yang terjadi di Kecamatan Ciseeng yang masih bertahan menggunakan lele dumbo meskipun tahun 2012 sempat menggunakan lele sangkuriang karena perolehan bantuan indukan berupa lele sangkuriang ke setiap pokdakan di Kecamatan Ciseeng oleh pemerintah setempat. Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014) terkait dengan pendapatan usahatani lele dumbo dan sangkuriang juga sejalan dengan kondisi yang terjadi di Kecamatan Ciseeng bahwa pembudidayaan lele dumbo jauh lebih menguntungkan dengan R/C ratio senilai 1,4 lebih besar dibandingkan dengan lele sangkuriang yang hanya mencapai 1.16 sehingga dapat disimpulkan bahwa pembudidayaan lele di wilayah Kecamatan Ciseeng lebih cocok menggunakan jenis lele dumbo dibandingkan dengan lele sangkuriang.

Disisi lain, Kecamatan Ciseeng mengalami kekurangan dalam pasokan benih lele, padahal benih lele berkaitan erat dengan skenario usaha pembesaran yang semakin

meningkat.Untuk mengatasi hal tersebut, usaha budidaya lele perlu dikembangkan dengan

(24)

dilakukan dengan cara melakukan integrasi antara sektor pembenihan dan pembesaran. Integrasi antara pembenihan dan pembesaran lele di Kecamatan Ciseeng baru mulai dilakukan pada awal tahun 2014 yang dilakukan oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Jumbo Lestari. Pokdakan Jumbo Lestari merupakan pokdakan pertama yang melakukan usaha lele terintegrasi antara pembenihan dan pembesaran serta menjadi pokdakan percontohan bagi pokdakan lainnya sehingga dalam proses pengembangan usaha lele yang telah terintegrasi ini penting untuk dilakukan analisis perencanaan usaha pada Pokdakan Jumbo Lestari karena pada prosesnya budidaya lele dipengaruhi oleh berbagai hal mulai dari kenaikan harga pakan, perubahan harga output, dan lainnya. Untuk dapat

melihat pengaruh hal – hal tersebut, maka perlu dilakukannya penelitian terkait dengan

perencanaan usaha integrasi pembenihan dan pembesaran lele dumbo dengan menggunakan alat analisis berupa kelayakan bisnis untuk mengetahui apakah usaha lele yang telah terintegrasi layak untuk dijalankan. Selain itu, terdapat pembudidayaan lain yang terpisah antara pembenihan dan pembesaran menyebabkan pentingnya dilakukan analisis optimalisasi guna memilih teknik pembudidayaan lele yang paling optimal sehingga pembudidaya dapat menghasilkan keuntungan yang optimal pula. Keterpaduan penggunaan alat analisis kelayakan dan optimalisasi usaha biasa digunakan untuk meninjau perencanaan suatu usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha (Scarpari dan Bauclair, 2010).

Perumusan Masalah

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyusun agenda nasional dalam pengembangan komoditas perikanan baik perikanan tangkap ataupun budidaya dengan program andalannya yaitu Program Minapolitan. Program minapolitan merupakan konsep pembangunan perikanan dan kelautan berbasis wilayah, melalui pendekatan sistem dan manajemen kawasan. Dalam pelaksanaannya konsep ini menganut prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi. Goal yang ingin dicapai dalam program tersebut yaitu dapat meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas, meningkatkan pendapatan nelayan ataupun pembudidaya pembudidaya perikanan, dan mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra sentra produksi perikanan yang menjadi penggerak ekonomi rakyat.

(25)

Gambar 3 Jumlah Ikan Konsumsi Ikan Lele per Kapita per Tahun

Sumber : BPS 2014

Hal ini menyebabkan pembudidaya mulai meningkatkan produktivitasnya sehingga dapat memenuhi keinginan konsumen lele. Pembudidaya lele konsumsi dapat meningkatkan produktivitasnya bila kebutuhan input terutama pasokan benih tetap terjaga. Ketersediaan benih lele di Kabupaten Bogor pada dua tahun terakhir (2011-2012) 54.684.000 ekor (5,25% dari ketersediaan benih lele di Provinsi Jawa Barat) dan 175.582.800 ekor (1,89% dari ketersediaan benih lele di Provinsi Jawa Barat), akan tetapi pada tahun 2012 produksi benih lele mengalami penurunan (Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bogor 2010, 2012). Kondisi tersebut juga sejalan dengan produksi benih yang terjadi di Kecamatan Ciseeng yang mulai mengalami penurunan dikarenakan risiko yang dialami di sektor pembenih lebih dari 50% dibandingkan dengan sektor pembesaran yang cukup mencapai 35% sehingga kepastian input benih untuk sektor pembesaran semakin menurun.

Selain itu, diindikasikan pula terdapat penyempitan luas lahan dikarenakan adanya alih fungsi dari komoditas lele ke komoditas lain yang menyebabkan pembudidaya kurang efisien dalam budidaya baik dari sisi pembenihan ataupun pembesaran. Pembesaran dan pembenihan lele diindikasikan masih belum efisien dikarenakan biaya input yang tinggi, tingkat pendapatan pembudidaya yang masih rendah dan produksi benih ataupun lele konsumsi yang masih di bawah potensi produksi. Sehingga menyebabkan pembudidaya lele konsumsi kekurangan pasokan benih lele. Untuk mengatasi hal tersebut, usaha budidaya lele perlu dikembangkan dengan baik agar kepastian input bagi pembesaran terjamin dan kebutuhan lele konsumsi bagi konsumen dapat terpenuhi. Adapun pengembangan usaha budidaya lele salah satunya dapat dilakukan dengan cara melakukan integrasi antara sektor pembenihan dan pembesaran. Integrasi antara pembenihan dan pembesaran lele di Kecamatan Ciseeng baru mulai dilakukan pada awal tahun 2014 yang dilakukan oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Jumbo Lestari. Pokdakan Jumbo Lestari merupakan pokdakan pertama yang melakukan usaha lele terintegrasi antara pembenihan dan pembesaran serta menjadi pokdakan percontohan bagi pokdakan lainnya

0 5 10 15 20 25 30 35 40

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun

(26)

Pokdakan Jumbo Lestari menggunakan input berupa indukan untuk menghasilkan benih 12 cm dan lele konsumsi yang menurut Pokdakan tersebut lebih menguntungkan dikarenakan input yang digunakan dapat digunakan 5 sampai 8 periode. Namun, menurut Penyuluh Perikanan di Kecamatan Ciseeng memberikan pernyataan bahwa usaha budidaya lele lebih menguntungkan jika pembudidaya menggunakan input benih 1-2 cm untuk menghasilkan lele konsumsi karena dapat meminimalisir risiko. Pernyataan yang berbeda tersebut menimbulkan hipotesis yang berbeda untuk mengusahakan budidaya lele. Oleh sebab itu, untuk memperoleh hasil yang optimal digunakanlah 5 skenario pada penelitian ini yaitu :

1. Usaha pembenihan lele dumbo dengan menggunakan input indukan untuk

menghasilkan benih 12 cm

2. Usaha Pembenihan lele dumbo dengan menggunakan input indukan untuk

menghasilkan benih 1-2 cm dan 12 cm

Walaupun pada usaha lele dumbo memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi karena ikan lele dumbo merupakan ikan yang mudah dibudidayakan, namun besaran biaya yang dilakukan harus diperhitungkan dengan hasil yang diperoleh. Hasil wawancara dengan ketua Pokdakan Jumbo Lestari, terjadi kenaikan pakan misalnya untuk pakan cacing sutera yang awalnya Rp 5.000 per takar naik menjadi Rp 7.000 per takar, kemudian untuk pakan konsumsi yang pada awalnya Rp 7.500 per kg menjadi Rp 9.000 per kg. Peningkatan biaya variabel seperti harga pakan yang merupakan biaya utama pada usaha lele dumbo ini dapat menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga harga jual output akan mengalami kenaikan. Ketika harga jual output menurun maka akan berdampak pada penurunan output tersebut yang dapat mempengaruhi penurunan keuntungan pokdakan.

Dari permasalahan – permasalahan tersebut, maka diperlukan analisis kelayakan

usaha untuk memperoleh nilai NPV di masing – masing skenario untuk menilai

kelayakannya. Setelah diperolehnya NPV untuk masing – masing skenario, selanjutnya di

analisis kembali dengan uji optimalisasi untuk menilai skenario yang relatif efisien diantara 5 skenario yang telah dinilai. Skenario yang paling optimal, dilakukan analisis sensitivitas yang merupakan batas kepekaan dari setiap aktivitas penggunaan sumberdaya. Adanya asumsi sifat deterministic pada analisis program linier menyebabkan model yang akan dikembangkan dibentuk dalam situasi penuh kepastian. Sementara, pada kenyataannya,

situasi benar – benar pasti jarang terjadi. Untuk itu diperlukan analisis sensitivItas untuk

(27)

Dari uraian tersebut, maka pertanyaan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana kelayakan finansial dilihat dari kriteria investasi Net Present Value

(NPV), Net B/C, Internal Rate of Return (IRR), dan Discounted Payback Period

(DPP) pada lima skenario?

2. Bagaimana konsep integrasi usaha budidaya lele dumbo yang dapat menghasilkan

kondisi optimum?

3. Bagaimana pengaruhnya jika terjadi penurunan harga jual output, penurunan

produksi dan peningkatan biaya pakan pada budidaya lele dumbo?

4. Bagaimana rancangan pengembangan bisnis usaha lele dumbo yang telah

terintegrasi dan peranan Pokdakan Jumbo Lestari dalam menjalankan aktivitas bisnisnya setelah dilakukan integrasi usaha budidaya lele dumbo?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan maka tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis kelayakan non finansial dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek

manajemen, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan

2. Menganalisis kelayakan finansial dilihat dari kriteria investasi Net Present Value

(NPV), Net B/C, Internal Rate of Return (IRR), dan Discounted Payback Period

(DPP) pada lima skenario dan kombinasi usaha budidaya lele yang dapat menghasilkan kondisi optimum

3. Menganalisis sensitivitas dari usaha ikan lele dumbo apabila terjadi penurunan

harga jual output (benih lele dan ikan lele dumbo ukuran konsumsi), penurunan produksi (benih lele dan ikan lele dumbo ukuran konsumsi) dan peningkatan biaya pakan pada usaha lele dumbo terhadap perubuhan pilihan kombinasi.

4. Menyusun rancangan pengembangan bisnis usaha lele dumbo dan peranan

Pokdakan Jumbo Lestari dalam menjalankan aktivitas bisnisnya setelah dilakukannya integrasi usaha budidaya lele dumbo yang dimulai dari pembenihan hingga pembesaran.

Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain

1. Pokdakan Lele Jumbo Lestari, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam

mencapai produksi yang optimal pada usaha budidaya lele yang telah terintegrasi

2. Pembaca, baik sebagai tambahan pengetahuan maupun informasi untuk

melaksanakan studi yang relevan di masa mendatang

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berjudul “Perencanaan Usaha Integrasi Pembenihan dan Pembesaran

Lele Dumbo di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor”. Penelitian ini dibatasi pada

(28)

non integrasi yang kemudian dianalisis optimalisasi usaha yang merupakan aktivitas mendasar yang perlu dilakukan dalam bisnis pertanian karena dapat meningkatkan penerimaan dari skenario operasional untuk menentukan skenario yang lebih optimal. Setelah itu, dianalisis pula tingkat kepekaan terhadap kenaikan biaya pakan, harga jual dan penurunan penjualan output terhadap keberlanjutan usaha lele dumbo dengan menggunakan analisis sensitivitas.

Pada penelitian ini difokuskan pada budidaya lele yang ditinjau dari lima skenario untuk menentukan skenario yang paling optimal untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi pembudidaya lele dumbo. Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) yang dijadikan responden pada penelitian ini terbatas pada Pokdakan Jumbo Lestari yang melakukan

budidaya lele yang terintegrasi pada periode 2014 – 2015. Data yang digunakan adalah data

penggunaan input dan penjualan lele pada periode 2014-2015 dilakukan di Kecamatan Ciseeng, Bogor.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Komoditas Ikan Lele

Lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang

potensial dilihat dari sisi periode pertumbuhannya yang cepat, tolerir terhadap suhu, mudah dibudidayakan, tingkat konversi pakan yang baik dan mudah dalam mencari pasar dengan

harga yang kompetitif (Alawode O.O. dan A.O. Jinad 2014). Selain itu, Olagunju et al.

(2007) dalam penelitiannya di Nigeria menyatakan bahwa ikan lele juga memiliki pangsa pasar yang lebih luas dibandingkan dengan ikan nila. Hal tersebut dapat terwujud bila pembudidaya mampu mengelola manajemen pembudidayaan dengan baik dari sisi kecepatan mengadopsi penggunaan bibit unggul dan teknologi, pemberian pakan yang intensif dan tercapainya tingkat efisiensi teknis di tingkat pembudidaya (Ugwumba COA 2011).

Pertumbuhan lele akan lebih cepat pada suhu yang berkisar antara 27o sampai

dengan 28o celcius. Pertumbuhan lele juga tergantung dengan frekuensi pemberian pakan

(Buantello et al. 2000). Pemberian pakan untuk lele juga harus sesuai dengan suhu di dalam

kolam. Ketika suhu di dalam kolam mencapai lebih dari 28o celcius, intensitas pemberian

pakan pun juga lebih sering dibandingkan dengan suhu kolam yang hanya mencapai 22o

celcius. Jika pembudidaya terlalu intens memberikan pakan untuk lele akan sangat berisiko pada produksi lele. Pemberian pakan yang tidak sesuai akan menimbulkan munculnya endapan di dasar kolam yang akhirnya dapat menyebabkan penyakit kulit bagi lele bila pakan yang diberikan terlalu banyak. Sedangkan, jika pakan yang diberikan kurang maka akan menyebabkan lele akan memakan lele yang lain yang ukurannya lebih kecil (kanibal)

(Nikolski 1963; Brett and Groves 1979; Dutta 1994; Burel et al.. 1996; Flowerdew and

Grove 1979; Kaushik 1981).

(29)

2014). Ugwumba COA (2011) dalam penelitiannya di Nigeria, efisiensi teknis pada komoditas lele tidak hanya ditinjau dari pengelolaan manajemen dan kepastian input akan tetapi juga dilihat dari skala usahanya. Skala usaha yang kecil lebih efisien dikarenakan pembudidaya lebih mudah dalam mengatur kebutuhan pakan, tenaga kerja dan pengelolaan

manajemennya. Akan tetapi Tsue et al. (2013) menyatakan bahwa efisiensi teknis pada

komoditas lele tercermin dari luasnya skala usaha yang dimiliki.

Namun, komoditas lele memiliki harga yang fluktuatif dikarenakan harga input yang mudah berubah. Naiknya harga input menyebabkan harga lele juga meningkat begitu pula sebaliknya. Fluktuasinya harga lele mempengaruhi tingkat efisiensi teknis budidaya lele. Aloyce R.K dan Carole RE (2004) dalam penelitiannya di Chicot County menyatakan bahwa menurunnya harga lele menyebabkan inefisiensi teknis pada usaha pembudidayaan

lele dikarenakan belum efisiennya penggunaan input – input seperti pakan, benih dan belum

optimalnya pengelolaan manajemen. Hal ini menyebabkan pembudidaya harus mampu untuk meningkatkan produksi dengan cara menata kembali penggunaan benih, pemberian pakan yang tepat, penggunaan tenaga kerja sesuai skala usaha, pembagian tugas kerja yang tepat, memperluas ukuran lahan lele, dan meningkatkan kualitas tenaga kerja dengan cara

memberikan pelatihan terkait pembudidayaan lele yang benar (Tsue et al. 2013). Issa et al.

(2014) juga menyatakan bahwa budidaya lele menguntungkan di Kota Kaduna, Nigeria

yang dibuktikan dari rata – rata profit margin sebesar 44.8% dengan syarat pembudidaya

mampu mengatur sumberdaya yang dimiliki yang mendukung dalam menghasilkan output berupa ikan lele.

Namun, berbeda halnya dengan penelitian mengenai budidaya lele di Kota

Anambra, Nigeria oleh Nnabuife et al. (2010) yang menyatakan bahwa budidaya lele belum

menguntungkan bila tidak terintegrasi antara sektor pembenihan, pembesaran dan pemasaran. Nilai R/C rasio untuk sektor pembesaran tanpa integrasi yaitu 0,95, sementara untuk budidaya lele yang terintegrasi antara pembenihan, pembesaran dan pemasaran memiliki R/C rasio sebesar 11,90. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya lele yang terintegrasi jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang tidak terintegrasi.

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Produksi Lele dan

Kelayakan usaha Budidaya Lele

Pada awalnya, pemeliharaan ikan lele hanyalah sebagai kegiatan sambilan saja. Jaja

et al. (2013), dulu ikan lele dipelihara di kolam pekarangan dan tempat penampungan limbah rumah tangga, karena sifatnya yang tahan hidup dalam lingkungan yang kotor dan kekurangan oksigen. Namun kini, ikan lele mulai dibudidayakan di beragam jenis kolam, baik berupa kolam tanah ataupun kolam beton. Pembudidayaan ikan lele di kolam tanah memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dan tidak berlemak. Berbeda dengan ikan lele yang dibudidayakan pada kolam beton menghasilkan daging yang berlemak dan tidak tahan terhadap penyakit. Namun demikian kolam tanah mempunyai kekurangan yaitu mudah mengalami kebocoran yang disebabkan karena ikan lele memiliki sifat menggali tanah. Di lain pihak, kolam beton dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama karena dinding kolam tidak mudah bocor, mudah dalam penanganan dan pembersihan kolam (Shafitri dan Hafsaridewi, 2012).

(30)

usaha ikan Lele sering tidak dibarengi dengan strategi proses produksi dan pemasaran yang baik. Pada akhirnya tidak sedikit dari kalangan pembudidaya ikan lele mengalami kerugian. Banyak orang beranggapan bahwa usaha budidaya ikan lele sangat mudah dilakukan. Anggapan ini tidak semuanya salah dan juga tidak semuanya benar. Ferazuma

et al. (2011) dikatakan benar, manakala hanya ditinjau dari faktor teknis, sebab ikan lele merupakan ikan yang mudah dibudidayakan, dapat hidup dengan mutu air kurang baik, tahan terhadap penyakit, dapat ditebar dengan kepadatan tinggi, cepat pertumbuhannya, tahan terhadap perlakuan fisik yang kasar saat panen dan tentu saja rasa dagingnya cukup disukai oleh masyarakat. Berdasarkan kemudahan di atas, usaha pembesaran ikan lele, semakin hari semakin banyak diminati. Tetapi setelah dilakukan usaha budidaya ikan lele, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orang yang terjun di usaha pembesaran ikan lele dapat memperoleh keuntungan sesuai yang diharapkan (Prihartono, Juansyah dan Usnie, 2010).

Keberhasilan bisnis perikanan budidaya (akuakultur) tidak lepas dari ketersediaan benih ikan. Benih ikan merupakan awal dari suatu proses budidaya dan oleh karena itu kualitas benih ikan harus berkualitas. Dengan kata lain, mutlak diperlukan suatu jaminan yang menyatakan bahwa kondisi benih suatu ikan sesuai standar benih yang berkualitas ketika akan digunakan dengan jaminan yang tertulis atau bersertifikat (Husen, 2012). Kegiatan pembenihan merupakan awal dalam budidaya yang diperlukan penanganan dengan baik. Tanpa pembenihan yang baik maka untuk kegiatan yang lain seperti pendederan dan pembesaran tidak akan terlaksana dengan baik juga.

Kegiatan pembesaran ikan lele adalah segmen usaha yang mengkhususkan pembesaran lele hingga mencapai ukuran konsumsi. Pemilihan lokasi yang tepat untuk budidaya pembesaran ikan lele merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan pembesaran ikan lele. Meskipun sebenarnya tidak ada persyaratan yang rumit dalam pemilihan lokasi budidaya pembesaran ikan ini, karena secara umum termasuk ikan yang bisa hidup di sembarang tempat, meski demikian dalam budidayanya pemilihan lokasi yang tepat harus diperhatikan. Penguasaan teknologi pembesaran ikan lele dan penguasaan pasar menjadi sangat penting, apabila ingin melakukan usaha pembesaran ikan lele. Efisiensi dan efektivitas usaha pembesaran ikan lele perlu dipelajari dengan seksama untuk menunjang keberhasilan usaha tersebut. Interaksi dengan sesama pembudidaya ikan lele sangat penting untuk menunjang keberhasilan pembesaran dan pemasaran ikan lele. Hal ini dapat dilakukan dengan bertukar informasi tentang benih yang baik, pakan bermutu dan pasar yang pembayarannya tunai. Selain hal itu, dalam usaha budidaya ikan lele, diperlukan strategi yang tepat dalam hal persiapan kolam, pemilihan benih, pengisian air, manajeman

pakan, manajemen mutu air, manajemen panen dan pemasaran (Jaja et al. 2013; Olagunju

et al. 2007; Aloyce et al. 2004)

Menurut Ramli (2009) masalah penting dalam budidaya lele yaitu menurunnya produksi benih. Penurunan produksi benih dan peningkatan produksi ikan konsumsi disebabkan pembudidaya mengalihkan usaha dari produksi benih ke produksi ikan konsumsi dengan memanfaatkan kolam dan lahan sawah yang ada selama ini sebagai tempat pendederan dijadikan tempat pembesaranikan. Namun, produksi dan produktivitas

lele dapat ditingkatkan dengan cara mengetahui faktor – faktor apa saja yang dapat

mempengaruhinya. Tarigan et al. (2013) menyatakan bahwa benih dan pakan memiliki

pengaruh positif terhadap produksi ikan lele dumbo dengan menggunakan meotde Backward Elimination. Senada dengan penelitian tersebut, Tenaya (2010) juga menyatakan benih dan pakan berpengaruh positif terhadap produktivitas lele dumbo, akan tetapi tidak

hanya itu saja, padat tebar, pemilihan waktu pemberian pakan, obat – obatan dan

(31)

Usaha budidaya ikan yang semakin intensif juga menuntut tersedianya pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan. Fungsi utama pakan adalah untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan pakan terutama untuk budidaya intensif dapat mencapai 60% dari biaya produksi (Afrianto dan Evi, 2005). Oleh karena itu pemberikan jumlah pakan, frekuensi pemberian pakan dan waktu yang tepat dalam pemberikan pakan pada ikan setiap harinya mempunyai pengaruh yang sanga besar terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan hasil produksi berbanding lurus dengan biaya pakan yang telah dikeluarkan. Sementara, dari faktor input tenaga kerja, budidaya ikan lele yang melibatkan banyak tenaga kerja adalah tenaga kerja pemeliharaan, persiapan kolam, panen, pemasaran dan perdagangan sarana produksi perikanan.

Adapun pendekatan kuantitatif yang dilakukan untuk mengukur kelayakan usaha

lele dengan menggunakan beberapa parameter, seperti NPV (Net Present Value), Net

Benefit Cost Ratio (Net B/C), PBP (Pay Back period), BEP (Break Even Point), dan IRR

(Internal Rate of Return) banyak dilakukan oleh Lutfiyah et al. (2012), Rosalina (2014), Nainggolan (2009), Dedi (2014), Yulinda (2012), Ugwumba (2010), Made (2005). Penelitian yang dilakukan oleh Yulinda (2012) menyatakan bahwa usaha budidaya lele layak untuk dikelola dengan nilai NPV yang positif, IRR yang melebihi suku bunga bank, dan B/C ration yang lebih dari 1. Namun, menurut Amalia (2014), usaha budidaya yang hanya khusus menangani pembenihan lele masih belum optimal karena nilai R/C ratio nya

masih 1.40 dengan masa periode 1 bulan. Sementara, aspek – aspek non finansial yang

umumnya digunakan untuk mengukur kelayakan usaha lele yaitu aspek hukum, aspek pemasaran, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi dan aspek dampak lingkungan (Dedi, 2014; Rosalina 2014; Yulinda 2012). Di samping itu, menurut Sudana

et al. (2013) menyatakan bahwa aspek sosial berpengaruh signifikan terhadap pendapatan pembudidaya ikan lele.

Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Lele

Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya tentu akan mengeluarkan biaya – biaya

tertentu yang diharapkan dapat mendatangkan sejumlah penerimaan tertentu, termasuk pada usaha integrasi pembenihan dan pembesaran lele. Biaya investasi yang umumnya dikeluarkan dalam usaha budidaya lele yaitu kolam dan peralatan. Biaya variabel yang

dikeluarkan dalam usaha lele meliputi biaya pembelian benih, pakan dan obat – obatan,

tenaga kerja, sedangkan biaya tetap dalam usaha lele yaitu biaya sewa lahan, biaya penyusutan kolam dan peralatan, dan biaya listrik.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, biaya variabel dan biaya tetap merupakan komponen dalam biaya operasional atau biaya produksi dalam usaha budidaya lele. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa dalam usaha budidaya lele, besaran biaya variabel yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan biaya tetapnya. Budidaya lele sangat sensitif terhadap perubahan harga jual lele, padat tebar benih dan tingkat hidup (survival) lele sampai dapat dijual ke konsumen akhir (Okechi, 2004).

(32)

Kontribusi biaya yang paling besar dikeluarkan untuk operasional budidaya lele yaitu biaya pakan yaitu berkisar 60% (Afrianto dan Evi, 2005). Senada dengan penelitian tersebut, Ugwumba (2010) juga menyatakan bahwa biaya pakan memiliki kontribusi paling besar yaitu 70% dari total biaya operasional budidaya lele. Berbeda halnya dengan Amalia (2014) menyatakan bahwa biaya benih juga berkontribusi besar yaitu sebesar 47.03% dari biaya operasional setelah itu biaya pakan sebesar lebih dari 22%. Di samping itu, penerimaan penjualan pembenihan lele yang memberikan proporsi terbesar adalah benih yang berukuran 7-8 cm dan 11-12 cm dibandingkan dengan benih ukuran lainnya.

Optimalisasi dan Pemrograman Linear

Penelitian mengenai optimalisasi telah banyak dilakukan baik di dalam negeri

maupun di luar negeri, dengan tujuan yang berbeda – beda. Beberapa penelitian

optimalisasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kombinasi optimal dari produk

pertanian yang diusahakan (Nefri 2000; Diatin et al. 2006; Reynisdottir 2012; Majeke et

al. 2013). Beberapa penelitian lainnya bertujuan untuk mengalokasikan penggunaan lahan

atau sumber daya secara optimal untuk memaksimumkan penerimaan maupun keuntungan

(Puklala dan Pohjonen 1990; Asmara 2002; Minh et al. 2007; Wankhade dan Lunge 2012),

menentukan kombinasi unit atau aktivitas produksi optimal (Handayani 2009; Purba 2010), perencanaan jadwal pemanenan yang optimal (Scarpari dan Beauclair 2010) serta formulasi

pakan yang meminimumkan biaya (Nefri 2000; Hadrich et al. 2005; Nabasirye et al. 2011).

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa optimalisasi tidak hanya dapat berguna dalam menjawab pertanyaan apa, tetapi juga dapat menjawab pertanyaan bagaimana dan kapan skenario produksi tersebut dilakukan.

Pukkala dan Pohjonen (1990) mengatakan bahwa manfaat dari optimalisasi akan sangat tergantung pada akurasi dan realibilitas data yang digunakan dalam analisis. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa data yang digunakan dalam analisis optimalisasi harus merupakan data yang sesuai dengan keadaan riil di lapangan, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi. Apabila data yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, dikhawatirkan hasil optimalisasi yang dilakukan akan semu, sehingga akan menghadapi kesulitan pada saat akan diterapkan. Umumnya data yang dibutuhkan dalam analisis optimalisasi produksi adalah data input output produksi, data tingkat harga input-output, biaya produksi dan penguasaan sumberdaya (Nefri 2000;

Asmara 2002; Diatin et al. 2006; Handayani 2009).

Pemrograman linear banyak digunakan oleh peneliti dalam memecahkan masalah optimalisasi. Wankhade dan Lunge (2012) menyatakan bahwa pemrograman linear merupakan teknik yang paling relevan dalam optimalisasi alokasi sumberdaya dan pencapaian efisiensi dalam perencanaan produksi. Jauh sebelum Wankhade dan Lunge (2012), Pukkala dan Pohjonen (1990) menyatakan bahwa pemrograman linear biasa digunakan untuk memilih kombinasi yang paling menguntungkan dari beberapa produk yang berbeda pada suatu usaha. Selain itu, pemrograman linear juga dapat digunakan dalam alokasi penggunaan lahan untuk mencari kombinasi terbaik dari beberapa alternatif produksi. Beberapa penelitian yang menggunakan pemrograman linear dalam memecahkan masalah optimasi, khususnya di bidang pertanian di antaranya dilakukan oleh (Pukkala dan

(33)

Handayani 2009; Purba 2010; Scarpari dan Beauclair 2010; Nabasirye et al. 2011;

Reynisdottir 2012; Wankhade dan Lunge 2012; Majeke et al. 2013).

Suatu model linear diperlukan dalam pemecahan masalah optimalisasi dengan pemrograman linear. Model tersebut terdiri atas fungsi tujuan yang memuat variabel keputusan dan fungsi kendala. Umunya, dalam penelitian terkait optimalisasi produksi pertanian, fungsi tujuan yang dibentuk berupaya untuk memaksimumkan penerimaan ataupun keuntungan bersih dari skenario produksi yang dijalankan (Pukkala dan Pohjonen

1990; Asmara 2002; Diatin et al. 2006; Minh et al. 2007; Handayani 2009; Purba 2010;

Scarpari dan Beauclair 2010; Wankhade dan Lunge 2012; Reynisdottir 2012; Majeke et al.

2013). Fungsi tujuan lainnya adalah untuk meminimumkan biaya produksi, sebagaimana

penelitian yang dilakukan oleh Nefri (2000), Hadrich et al. (2005) dan Nabasirye et al.

(2011).

Selain fungsi tujuan, dalam model pemrograman linear juga terdapat fungsi kendala. Fungsi kendala merupakan pembatas dari optimalisasi yang akan dilakukan. Fungsi kendala yang umumnya digunakan dalam penelitian optimalisasi produksi pertanian adalah luas lahan, tenaga kerja, modal (Asmara 2002; Handayani 2009), biaya benih, biaya pupuk, hasil panen, upah harian tenaga kerja dan harga jual komoditi (Wankhade dan Lunge 2012). Solusi dari pemrograman linear memberikan nilai optimal dari variabel

keputusan yang dibentuk (Pukkala dan Pohjonen 1990). Hasil penelitian Majeke et al.

(2013) menunjukan bahwa kombinasi optimal yang dihasilkan dari pemrograman linear dapat meningkatkan keuntungan pembudidaya sebesar 72.79 persen. Senada dengan hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Reynisdottir (2012) menunjukan bahwa model yang digunakan mampu menghasilkan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kondisi aktual pada kuantitas produksi yang sama. Dual price dan reduced cost dapat

digunakan untuk menganalisis sensitivitas solusi dari kendala dan koefisien fungsi tujuan (Pukkala dan Pohjonen 1990).

Pemecahan masalah optimalisasi juga dapat dilakukan dengan pendekatan lainnya,

diantaranya adalah goal programming (program tujuan ganda). Goal programming dipilih

karena perusahaan ingin mencapai beberapa macam tujuan, yang tidak menutup

kemungkinan tujuan – tujuan tersebut saling berlawanan (Nefri 2000). Linear

programming umumnya digunakan untuk mengoptimumkan produksi. Model ini

mongkombinasikan input – input produksi atau sumberdaya yang digunakan secara tepat

yang tujuannya dapat meminimalkan biaya sehingga dapat memperoleh keuntungan maksimum. Pemilihan kombinasi sumberdaya yang digunakan harus disesuaikan dengan risiko yang diakibatkan sehingga dapat meminimalkan risiko (kerugian). (Mauro dan Batalha 2014; Mohammad 2011; dan Kyle 1993).

Sementara itu, untuk integer programming di dalam konsep linear programming

merupakan kendala solusi optimal dari linear programming. Integer programming terbagi

menjadi tiga bagian yaitu pure integer programming, mixed integer programming, dan zero

one integer programming. Pure Integer merupakan model yang semua variabelnya basis

bernilai integer (bulat positif atau nol). Mixed Integer Programming merupakan model

yang hanya mengharapkan variabel – variabel tertentu bernilai integer. Sementara, untuk

zero one integer programming merupakan model yang mengharapkan nilai nol atau satu

untuk variabelnya. Masalah zero one integer programming (binary integer programming)

(34)

keputusan. Zero one integer programming merupakan model yang tepat dalam mewakili

permasalahan capital budgeting, karena zero one integer programming hanya

menghasilkan solusi satu atau nol. Solusi ini dapat diartikan sebagai ya dan tidak. Menurut

Hutomo et al. (2011), Integer Linear Programming merupakan suatu pendekatan

kombinatorial yang dapat melakukan analisis pada seluruh search space yang terdefinisi

dalam ruang lingkup masalah.

Wang (2014) menyatakan bahwa zero-one integer programming berfungsi untuk

mengoptimalkan varietas produk dengan memaksimalkan utilitas pelanggan secara

keseluruhan serta mempertimbangkan biaya manufaktur. Pada segmentasi yang berbeda,

zero-one integer programming mampu mengoptimalkan varietas produk dengan

memaksimalkan utilitas pelanggan secara keseluruhan serta mempertimbangkan kebijakan

harga perusahaan. Integer linear programming banyak digunakan untuk menentukan

kondisi maksimum maupun minimum dari sebuah model matematis yang melibatkan

banyak variabel – variabel yang menjadi syarat dan batasan dalam menghitung kondisi

maksimum maupun minimum (Fogle dan Lovett 1991). Menurut Papadomanolakis dan

Airamaki (2007) perhitungan integer linear programming dimulai dengan menentukan

asumsi, decision variabel, problem constrain, dan fungsi objektif sebelum akhirnya

ditemukan solusi optimalnya. Adapun kelebihan dari integer linear programming yaitu

dapat digunakan dalam constrain dan data yang sangat besar, dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi dan terbukti lebih unggul dibandingkan fungsi algoritma yang

lainnya dan Algoritma ILP juga dapat mengolah data dalam jumlah besar dan constraint

dalam jumlah banyak (Hutomo et al. 2011). Sementara kekurangannya yaitu membutuhkan

parameter yang fix dan tidak berubah. Integer linear programming biasanya menggunakan

software LINDO sebagai alat analisisnya. (Ribic dan Konjicija 2010)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Studi Kelayakan Usaha

Studi kelayakan usaha merupakan analisis suatu kegiatan yang memberikan manfaat jika dilaksanakan dan dijadikan sebagai dasar penilaian kegiatan bisnis layak untuk

dijalankan (Nurmalina et al. 2010). Menurut Kasmir dan Jakfar (2010), studi kelayakan

usaha merupakan kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu usaha atau bisnis yang dijalankan untuk menentukan layak tidaknya bisnis tersebut dijalankan. Menurut Subagyo (2007), studi kelayakan usaha merupakan penelitian terhadap suatu bisnis tentang layak tidaknya bisnis tersebut untuk dijalankan. Studi kelayakan usaha dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu bisnis sehingga dapat memberikan gambaran

prospek bisnis dan kemungkinan tingkat manfaat (benefit) yang dapat diterima dari suatu

bisnis yang dapat digunakan oleh pihak investor atau lembaga keuangan dalam

pengambilan keputusan investasi, penanaman modal, atau peminjaman dana (Nurmalina et

al. 2010).

(35)

yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu skenario usaha. Tujuan studi kelayakan usaha menurut Kasmir dan Jakfar (2012) adalah :

a. Menghindari risiko kerugian

Risiko kerugian untuk masa yang akan datang yang penuh dengan ketidak pastian, dalam hal ini fungsi studi kelayakan untuk meminimalkan resiko baik yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan.

b. Memudahkan Perencanaan

Perencanaan meliputi berapa jumlah dana yang diperlukan, kapan usaha akan dijalankan, dimana, bagaimana pelaksanaannya, berapa besarkeuntungan yang akan penyimpangan.

c. Memudahkan Pelaksanaan Pekerjaan

Dengan rencana yang telah tersusun maka sangat memudahkan pelaksanaan bisnis, pengerjaan usaha dapat dilakukan secara sistematik.

d. Memudahkan Pengawasan

Dengan melaksanakan usaha sesuai rencana maka memudahkan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha.

e. Memudahkan Pengendalian

Jika dapat diawasi maka jika terjadi penyimpangan akan mudah terdeteksi, sehingga mudah untuk mengendalikan penyimpangan tersebut.

Menurut Hansen dan Mowen (2005), studi kelayakan usaha dikembangkan menjadi dua metode dasar yang mencakup pendekatan keputusan nondiskonto (mengabaikan nilai waktu dari uang) maupun diskonto (mempertimbangkan nilai waktu dari uang). Model nondiskonto mengabaikan nilai waktu dari uang namun banyak perusahaan yang masih terus menggunakannya dalam pengambilan keputusan (Hansen dan Mowen, 2005).

Model diskonto ini secara eksplisit mempertimbangkan nilai waktu dari uang dan, oleh karena itu, memasukkan konsep diskonto baik arus kas masuk maupun arus kas keluar.

Survey – survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa model ini mulai banyak

digunakan oleh banyak perusahaan sebagaimana yang dilaporkan oleh Hansen dan Mowen (2005), Graham dan Harvey (2002), Pike (1996) serta Klammer dan Walker (1984). Penenlitian ini menggunakan kelayakan investasi yang menggunakan model diskonto karena mempertimbangkan nilai waktu dari uang.

William F.S dalam Kasmir dan Jakfar (2010) menyebutkan bahwa investasi adalah menanamkan sejumlah dana dalam suatu usaha saat sekarang kemudian mengharapkan pengembalian dengan disertai tingkat keuntungan yang diharapkan di masa yang akan datang. Pengorbanan sekarang mengandung kepastian bahwa dana yang digunakan untuk investasi sudah pasti dikeluarkan, sedangkan hasil di masa yang akan datang bersifat tidak

pasti, tergantung pada kondisi di masa yang akan datang. Gray et al (1992) dalam

Nurmalina et al (2010) mendefinisikan investasi sebagai kegiatan yang dapat direncanakan

dan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai sumber seperti barang modal, bahan mentah, bahan setengah jadi, tenaga kerja serta waktu, untuk mendapatkan manfaat

(benefit). Investasi dapat dilakukan dalam banyak bidang usaha. Dalam praktiknya investasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu investasi nyata dan investasi finansial (Kasmir dan Jakfar 2010). Investasi nyata merupakan investasi yang dibuat dalam harta tetap seperti tanah, bangunan, peralatan, dan mesin-mesin. Sedangkan investasi finansial merupakan investasi dalam bentuk kontrak kerja, pembelian saham, obligasi, atau surat berharga lainnya. Analisis kelayakan investasi dilihat dari dua aspek yaitu aspek non finansial dan

(36)

Aspek Nonfinansial

Aspek-aspek nonfinansial yang dianalisis dalam kelayakan investasi ini meliputi:

1. Aspek teknis

Gittinger (1986) analisa secara teknis menguji hubungan teknis yang ada dalam satu investasi pertanian, seperti lokasi investasi dan potensinya bagi pembangunan pertanian, ketersediaan air, varietas benih dan bibit yang cocok dengan areal investasi, pengadaan produksi, potensi dan keinginan penggunaan mekanisasi, pemupukan, dan alat-alat yang dibutuhkan dalam menjalankan investasi. Analisis secara teknis juga menguji fasilitas-fasilitas pemasaran dan penyimpanan yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan investasi dan pengujian sistem pengolahan yang dibutuhkan. Analisis ini mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam informasi yang harus dipenuhi, caranya dengan melakukan survei mengenai keadaan investasi.

2. Aspek pasar

Aspek pasar adalah inti dari penyusunan studi kelayakan. Kendatipun secara teknis telah

menunjukkan hasil yang feasible untuk dilaksanakan, tapi tidak ada artinya apabila tidak

dibarengi dengan adanya pemasaran dari produk yang dihasilkan. Oleh karenanya, dalam membicarakan aspek pemasaran harus benar-benar diuraikan secara baik dan realistis, baik mengenai masa lalu maupun prospeknya di masa yang akan datang, serta melihat bermacam-macam peluang dan kendala yang mungkin akan dihadapi.

Nurmalina et al.. (2010) aspek pasar mempelajari tentang permintaan total maupun

terperinci, penawaran dalam dan luar negeri, harga yang dibandingkan dengan barang impor dan produksi dalam negeri lainnya, serta program pemasaran yang mencakup bauran pemasaran dan siklus hidup produk.

3. Aspek sosial

Aspek sosial termasuk aspek yang penting dalam menganalisis kelayakan suatu usaha, karena aspek ini langsung berhadapan dengan masyarakat sekitar tempat usaha didirikan yang akan memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak sosial positif dapat berupa penyerapan tenaga kerja masyarakat disekitar lokasi usaha, sehingga menimbulkan naiknya pendapatan masyarakat sekitar. Dampak sosial negatif yang sering muncul yaitu adanya ketidakpuasan masyarakat sekitar lokasi, baik mengenai kompensasi yang mereka terima ataupun adanya kecemburuan kepada tenaga kerja asing yang datang. Dampak lain, adanya sifat masyarakat yang acuh tak acuh terhadap investasi ini, jika jumlah mereka banyak maka akan berbahaya untuk usaha dikemudian hari (Umar 2009).

4. Aspek lingkungan

Aspek lingkungan disini menganalisis tentang bagaimana pengaruh usaha terhadap lingkungan hidup tempat sekitar usaha, apakah dengan adanya usaha tersebut lingkungan semakin menjadi baik atau malah semakin buruk. Studi aspek lingkungan ini bertujuan untuk menentukan apakah secara lingkungan hidup, misalnya dari sisi udara, air, dan tanah, rencana bisnis dapat dilaksanakan secara layak atau sebaliknya (Umar 2009).

5. Aspek Manajemen

(37)

Aspek Finansial

Aspek finansial dalam studi kelayakan usaha merupakan aspek yang digunakan untuk menilai kondisi finansial (keuangan) perusahaan secara keseluruhan. Aspek finansial sangat berkaitan dengan keuntungan perusahaan sehingga sangat penting untuk diteliti kelayakannya. Selain berkaitan dengan keuntungan perusahaan, aspek finansial juga sangat berkaitan dengan modal bagi perusahaan, baik kebutuhan modal maupun cara penyediaannya. Penilaian terhadap aspek keuangan meliputi sumber dana yang diperoleh, kebutuhan biaya investasi, estimasi pendapatan dan biaya investasi yang dibutuhkan selama

umur bisnis, investasisi aliran kas (cashflow) dan laporan laba/rugi, dan kriteria penilaian

investasi (Kasmir dan Jakfar 2010). Kebutuhan modal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu modal investasi dan modal kerja. Modal investasi merupakan modal yang digunakan untuk pembelian aktiva tetap seperti tanah, bangunan, mesin dan peralatan, kendaraan, dan aktiva tetap tidak berwujud seperti perijinan, lisensi, paten, biaya studi pendahuluan, dan biaya latihan atau produk percobaan.

Modal kerja merupakan modal yang digunakan untuk aktivitas operasional seperti pembelian bahan baku, pembayaran gaji karyawan, biaya pemeliharaan, dan kegiatan operasional lainnya. Baik modal investasi maupun modal kerja dapat bersumber dari dana pribadi (modal sendiri) ataupun dari dana pinjaman (modal pinjaman). Umumnya, untuk modal investasi yang bersumber dari dana pinjaman, periode pengembaliannya di atas satu tahun sehingga merupakan pinjaman jangka panjang. Sedangkan untuk modal kerja yang berasal dari dana pinjaman umumnya periode pengembaliannya lebih singkat (Kasmir dan Jakfar 2010).

Cashflow (arus kas) merupakan aliran kas yang ada pada suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu. Arus kas adalah jumlah uang yang masuk dan keluar dalam suatu perusahaan mulai dari investasi dilakukan hingga berakhirnya investasi tersebut (Kasmir dan Jakfar 2010). Unsur-unsur yang terdapat di dalam arus kas antara lain arus penerimaan (inflow), arus pengeluaran (outflow), dan manfaat bersih (net benefit). Arus penerimaan terdiri dari nilai produksi total, pinjaman, hadiah atau hibah, nilai sewa, dan nilai sisa. Arus pengeluaran merupakan biya-biaya yang harus dikeluarkan dalam suatu bisnis yang dapat mengurangi kas, meliputi pengeluaran untuk biaya investasi, biaya operasional, pembayaran bunga dan pinjaman dan pembayaran pajak. Manfaat bersih merupakan hasil pengurangan antara arus penerimaan dengan arus pengeluaran. Berbeda dengan arus kas, laporan laba/rugi menggambarkan tentang total penerimaan dari penjualan produk yang dihasilkan dalam suatu bisnis dan pengeluaran serta kondisi keuntungan yang diperoleh perusahaan pada masing-masing tahun produksi. Laporan laba/rugi juga menggambarkan kinerja perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya selama periode tertentu. Unsur-unsur yang terdapat pada laporan laba/rugi meliputi penjualan produk barang atau jasa, beban produksi (biaya operasional), beban administrasi dan pemasaran (biaya untuk skenario pemasaran dan biaya administrasi), dan beban keuangan seperti bunga dari modal pinjaman. Komponen biaya investasi tidak dimasukkan dalam laporan laba/rugi, biaya terkait dengan investasi yang dimasukkan hanya biaya penyusutan barangbarang investasi

yang ada (Nurmalina et al. 2010).

Kriteria penilaian investasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu kegiatan investasi dalam suatu bisnis layak atau tidak untuk

dilaksanakan, ditinjau dari aspek finansialnya. Kriteria penilaian investasi

mempertimbangkan time value of money atau pengaruh waktu terhadap nilai uang yaitu

sejumlah uang pada masa sekarang nilai uangnya lebih besar dibandingkan dengan sejumlah uang yang sama pada masa yang akan datang, sehingga dalam penghitungannya

(38)

sekarang dengan sejumlah uang yang sama pada masa yang akan datang (Nurmalina et al.

2010). Beberapa kriteria penilaian investasi yang dapat digunakan adalah Net Present

Value (NPV), Net Benefit Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (Kasmir dan Jakfar 2010).

NPV dikatakan layak apabila nilainya lebih besar dari nol, IRR layak apabila lebih besar dari tingkat suku bunga, Net B/C layak apabila nilainya lebih besar dari satu dan payback periode layak apabila lebih kecil dari umur bisnis. Hasil nilai IRR akan menghasilkan nilai NPV yang nol. Hubungan antara IRR dan NPV dapat dilihat pada gambar 4

Gambar 4 Hubungan antara NPV dan IRR

Sumber : Nurmalina et al (2010)

Kriteria investasi kelayakan usaha diatas dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan apakah bisnis layak atau tidak untuk dilaksanakan. Selain itu, setiap kriteria

kelayakan dapat dipakai untuk menentukan urutan – urutan berbagai alternative bisnis dari

investasi yang sama (Nurmalina et al. 2010)

Teori Investasi

Investasi adalah pengaitan sumber – sumber dalam jangka panjang untuk

menghasilkan laba di masa yang akan datang. Investasi juga dapat didefinisikan sebagai

penanaman modal atau pemilikan sumber – sumber dalam jangka panjang yang akan

bermanfaa pada beberapa periode akuntansi yang akan datang. Investasi dapat pula didefinisikan sebagai penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Umumnya investasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Investasi pada financial assets

Investasi pada financial assets dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu :

a. Investasi pada financial assets yang dilakukan di pasar uang, misalnya berupa

Gambar

Gambar 1 Volume produksi perikanan Indonesia tahun 2003 – 2013*
Tabel 1 Potensi dan peluang pemanfaatan perikanan budidaya
Gambar 3 Jumlah Ikan Konsumsi Ikan Lele per Kapita per Tahun
gambar 4 Discount Rate (i)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ihwal penting dari gagasan membangun koperasi multi-stakeholders adalah ikhtiar untuk memutus rantai sirkulasi kapitalisme yang, dalam konteks agraria, menurut Rachman (2015),

Kelompok pertama (garis berwarna biru) dengan objek 57 dan pembobotan sebesar 57, nilai varians dalam class sebesar 0.00, jarak minimum perpotongan 0.00, jarak rata-rata

Peran Ibu Rumah Tangga dalam keluarga adalah mendidik, memelihara, mengasuh, mengayomi. Ibu bukan saja menjadi tempat bernaung yang harus dihormati dan menjadi

[r]

Jika anda tertarik untuk membudidayakan tanaman buah berwarna merah ini, anda tidak perlu khawatir karena pada kesempatan kali ini JualBenihMurah.com akan memberikan ulasan

Berdasarkan kerangka berfikiir diatas maka hipotesis penelitian in adalah pengembangan LKS dengan model pembelajaran problem based learning berbasis Certainly of Response

Untuk itu berikan pelayanan prima bagi setiap pelanggan, agar mereka merasa senang dan nyaman dengan jasa yang ditawarkan Baristand Industri Medan...

Membangunkan satu persembahan multimedia interaktif tak linear yang mempunyai elemen multimedia dengan tidak melebihi had saiz fail persembahan yang ditentukan. Menilai