PERLAKUAN AIR PANAS UNTUK MEMPERTAHANKAN
MUTU BUAH JAMBU BIJI (
Psidium guajava
L.)
SELAMA PENYIMPANAN
LISTA EKA YULIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perlakuan Air Panas untuk Mempertahankan Mutu Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
LISTA EKA YULIANTI. Perlakuan Air Panas untuk Mempertahankan Mutu Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) selama Penyimpanan. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan NANIK PURWANTI.
Jambu biji (Psidium guajava L.) berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena kesesuaian iklim dan keragaman manfaatnya. Akan tetapi, jambu biji merupakan inang bagi lalat buah, salah satunya Bactrocera carambolae. Selain mengganggu produktifitas, lalat buah juga dapat menghambat ekspor. Dalam penanganan pascapanen terutama untuk tujuan ekspor diperlukan suatu perlakuan untuk membunuh lalat buah tersebut dengan tidak mempengaruhi mutu buah. Perlakuan air panas (Hot Water Treatment/HWT) merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk disinfestasi lalat buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan suhu buah jambu biji selama proses perlakuan air panas dan menganalisis pengaruh HWT terhadap mutu buah jambu biji selama penyimpanan.
Buah jambu biji merah diberi perlakuan air panas dengan suhu media 47 °C
untuk mencapai suhu pusat 46 oC. Perkembangan suhu buah jambu biji selama pemanasan direkam menggunakan hybrid recorder yang terhubung dengan buah melalui termokopel. Data hasil pengukuran langsung (observasi) digunakan untuk membangun model matematika yang dapat digunakan untuk menduga suhu buah jambu biji selama proses HWT. Setelah diketahui perkembangan suhu selama proses HWT, buah jambu biji kemudian diberi perlakuan air panas dengan suhu pusat 46 oC selama 10, 20, 30 menit dan kontrol kemudian disimpan di dua suhu,
yaitu suhu 10±1 oC dan 28±2 oC. Pengamatan laju respirasi dan pengujian mutu buah dilakukan selama 14 hari penyimpanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu HWT yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pusat 46 oC pada buah jambu biji merah dengan berat 200-250 g adalah 48 menit. Model logistik (47.08/(1+0.78 exp (-0.07*ϴ))) merupakan model matematika terbaik untuk menduga perkembangan suhu pusat buah jambu biji selama proses HWT. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pusat 46
oC hasil pendugaan model logistik adalah 49 menit. Model ini memiliki nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9988, koefisien korelasi sebesar 0.9993, dan
nilai RMSE sebesar 0.21. HWT pada suhu pusat 46 oC selama 10-30 menit tidak
berpengaruh terhadap laju respirasi, susut bobot, kekerasan, kadar air, total padatan terlarut, warna, dan kandungan vitamin C buah jambu biji. Suhu penyimpanan 10±1 oC dapat menekan laju respirasi dan susut bobot serta dapat
mempertahankan kadar air, kekerasan dan warna buah jambu biji. Buah jambu biji yang disimpan pada suhu 10±1 oC dapat bertahan selama 14 hari, sedangkan buah
jambu biji yang disimpan pada suhu 28±2 oC hanya dapat bertahan selama 5 hari.
SUMMARY
LISTA EKA YULIANTI. Hot Water Treatment for Maintaining Guava (Psidium guajava L.) Quality during Storage. Supervised by ROKHANI HASBULLAH and NANIK PURWANTI.
Guava (Psidium guajava L.) has potential to be developed in Indonesia because of its climate suitability and benefit diversity. However, guava is host for fruit flies, such as Bactrocera carambolae. The flies are not only responsible for low productivity of the fruit, but also restrict the export. In the postharvest handling, especially for export grade, the treatment for controlling fruit flies without affecting the fruit quality is required. Hot water treatment (HWT) is one of prospective methods used for disinfection of fruit flies. This research aimed to observe the development of guava fruit temperature during HWT processes, and analyze the effects of HWT on the quality of guava fruit during storage.
Red guava fruit was treated with hot water at 47 °C to reach fruit core temperature of 46 °C. The temperature change in guava fruit during heating was recorded using hybrid recorder connected to the fruit through the thermocouple. Data obtained from direct measurements were used to construct a mathematical model for estimating the fruit temperature during HWT. After temperature change during treatment was achieved, the fruit was then treated with hot water at core temperature of 46 °C for 10, 20, 30 min and control. The treated fruit was then stored at 10±1 °C and 28±2 °C. Respiration rate and fruit quality were observed for 14 days of storage.
The results showed that exposure time of HWT needed to reach core temperature of 46 °C in the red guava fruit (weight 200-250 g) was 48 min. Logistic model (47.08/(1+0.78 exp (-0.07*ϴ))) was the best mathematical model to predict the development of guava fruit core temperature during HWT. The time required to achieve core temperature (46 °C) based on logistic model was 49 min. The model had determination coefficient (R2) of 0.9988, correlation coefficient of
0.9993, and RMSE values of 0.21 °C. HWT at core temperature of 46 °C for 10-30 min showed no effects on the fruit quality parameters such as respiration rate, weight loss, hardness, moisture content, total soluble solids, color, and vitamin C content. The storage temperature at 10±1 °C could suppress respiration rate and weight loss and could maintain moisture content, hardness and color of guava fruit. Guava fruit stored at 10±1 °C was still acceptable for 14 days, but the guava fruit stored at 28±2 °C was only acceptable for 5 days.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
PERLAKUAN AIR PANAS UNTUK MEMPERTAHANKAN
MUTU BUAH JAMBU BIJI (
Psidium guajava
L.)
SELAMA PENYIMPANAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret hingga Juli 2015 ini ialah perlakuan panas, dengan judul Perlakuan Air Panas untuk Mempertahankan Mutu Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) selama Penyimpanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa BPPDN Calon Dosen tingkat Strata 2 (S2). Terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi dan Ibu Dr Nanik Purwanti, STP MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan serta bimbingan sejak awal hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku ketua program studi beserta staf program studi Teknologi Pascapanen Ibu Rusmayanti dan Bapak A. Mulyawatullah yang telah memberikan dukungan penuh kepada penulis selama masa pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para teknisi dan laboran, Bapak Ahmad Jumadi dari Laboratorium TLB, Bapak Sulyaden dan Baskara Edi Nugraha, SP dari Laboratorium TPPHP yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Tak lupa rekan-rekan TPP 2013 yang membantu selama persiapan dan pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Jambu Biji 3
Mutu Buah Jambu Biji 4
Laju Respirasi Buah Jambu Biji 6
Serangan Lalat Buah pada Buah Jambu Biji 7
Perlakuan Panas untuk Pengendalian Hama/Penyakit Pascapanen 8
Mortalitas Bactrocera carambolae Akibat Perlakuan Panas 9
Model Pendugaan Suhu Buah 10
METODE 12
Waktu dan Tempat 12
Bahan 12
Alat 12
Tahapan Penelitian 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Perkembangan Suhu selama Proses HWT 17
Pengaruh HWT dan Suhu Penyimpanan terhadap Pola Respirasi Buah
Jambu Biji 21
Pengaruh HWT dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Buah Jambu Biji 23
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 37
DAFTAR TABEL
1 Karakteristik fisik beberapa varietas jambu biji 3 2 Klasifikasi mutu buah jambu biji berdasarkan bobot 4
3 Nilai gizi dan komposisi kimia jambu biji 5
4 Mortalitas B. carambolae pada perendaman air bersuhu 46 oC 10
5 Nilai konstanta hasil program SAS 19
6 Hasil persamaan model matematika pada buah jambu biji 19
7 Nilai hasil verifikasi model matematika 20
DAFTAR GAMBAR
1 Buah jambu biji merah 4
2 Buah jambu biji yang diserang lalat buah 8
3 Titik pendugaan suhu pada buah jambu biji merah 13
4 Alur proses uji kerusakan mutu buah 14
5 Posisi termokopel pada buah jambu biji merah 18 6 Perkembangan suhu buah jambu biji selama proses HWT 18 7 Perkembangan suhu pusat buah jambu biji selama proses HWT hasil
observasi dan prediksi model 19
8 Hubungan antara suhu observasi dan prediksi model 20 9 Laju produksi CO2 jambu biji selama penyimpanan 22
10 Laju konsumsi O2 jambu biji selama penyimpanan 22
11 Susut bobot jambu biji selama penyimpanan 23
12 Kadar air jambu biji selama penyimpanan 24
13 Nilai kekerasan jambu biji selama penyimpanan 25 14 Perubahan nilai L jambu biji selama penyimpanan 27 15 Perubahan warna jambu biji setelah empat hari penyimpanan 28 16 Total padatan terlarut jambu biji selama penyimpanan 29 17 Kandungan vitamin C jambu biji selama penyimpanan 30 18 Buah jambu biji setelah empat hari penyimpanan: (a) HWT 10 menit;
(b) HWT 20 menit; (c) HWT 30 menit; (d) kontrol 31 19 Buah jambu biji setelah empat hari penyimpanan: (a) HWT 30’, 10±1
oC; (b) HWT 30’, 28±2 oC; (c) kontrol, 10±1 oC; (d) kontrol, 28±2 oC 32
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perkembangan suhu rata-rata buah jambu biji merah selama proses
HWT 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan buah yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan di Indonesia berdasarkan keragaman manfaat dan kesesuaian iklimnya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian pada tahun 2006, jambu biji merupakan salah satu komoditas buah binaan. Data yang diperoleh dari BPS (2014) menunjukan bahwa produksi dan ekspor buah jambu biji bersifat fluktuatif setiap tahunnya. Produksi pada tahun 2011, 2012, dan 2013 berturut-turut adalah 211.836, 208.151 dan 170.810 ton, sedangkan volume ekspor jambu biji tahun 2011, 2012, dan 2013 berturut-turut adalah 142.741, 56.370, dan 48.911 kg (BPS 2014).
Produktifitas jambu biji dapat mengalami penurunan bila pemeliharaannya tidak dilakukan dengan benar dan adanya serangan hama. Dalam usaha tani secara komersial, hama merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil dan menghambat ekspor. Salah satu kendala dalam upaya peningkatan kualitas buah dan peningkatan daya saing buah-buahan menuju ekspor di Indonesia adalah kerusakan yang diakibatkan oleh lalat buah sehingga mengakibatkan banyak buah tidak lolos dalam proses karantina.
Lalat buah merupakan hama yang merusak komoditas hortikultura, khususnya buah-buahan dan sayuran. Jenis tanaman buah dan sayur yang riskan terserang lalat buah adalah jambu biji, belimbing, mangga, melon, apel, cabai merah dan tomat (Sunarno dan Popoko 2013). Lalat buah dengan spesies Bactrocera carambolae merupakan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang dilaporkan di berbagai tempat sebagai salah satu hama tanaman jambu biji yang sangat merugikan (Syahfari dan Mujiyanto 2013; Candra 2013; Astriyani 2014).
Lalat buah menginfestasi buah sejak pertanaman di lahan. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan lalat buah mencapai 10-30% bahkan kerusakan yang ditimbulkannya mencapai 100% pada saat populasi tinggi (Kementan 2002). Terbawanya larva lalat buah dan kandungan residu berbahaya di dalam buah menjadi hal utama ditolaknya produk pertanian Indonesia untuk memasuki suatu negara. Perhatian dunia cukup tinggi terhadap bahaya lalat buah ini, diantaranya adalah Australia, Korea, Jepang dan Eropa yang sejak tahun 2004 telah memberlakukan Zero Tolerant untuk hama lalat buah (Rohaeti et al. 2010).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan lalat buah adalah dengan menggunakan perlakuan panas (heat treatment). Cara ini semakin dikenal terutama sejak diupayakannya penggunaan bahan kimia seminimal mungkin terhadap produk-produk pertanian. Metode perlakuan panas yang biasa digunakan antara lain perlakuan dengan menggunakan air panas (hot water treatment), uap panas (vapor heat treatment), dan udara panas (hot air treatment) (Lurie 1998). Penelitian tentang perlakuan panas terus berlanjut dengan adanya penemuan metode-metode baru untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas (suhu tinggi) terhadap buah-buahan dan sayuran.
2
dibandingkan dengan udara panas atau semprotan air panas karena dapat menghantarkan panas dari air bersuhu tinggi ke seluruh bahan secara total bukan hanya permukaan saja (Lurie 1998). Prinsip dasar teknik perlakuan panas dengan menggunakan air bersuhu tinggi adalah pencelupan produk ke dalam air panas pada suhu dan waktu yang optimum sehingga diperoleh hasil yang lebih baik dibanding kondisi produk yang tidak diberi perlakuan.
Metode HWT diketahui dapat digunakan untuk disinfestasi hama pada berbagai jenis buah. Gould (1994) melaporkan bahwa pencelupan buah jambu varietas ‘Ruby’ yang telah diinfestasi oleh larva Caribbean fruit fly pada suhu air 46.1 oC selama 31 menit membuktikan keamanan karantina probit 9 dan tidak
mengurangi kualitas dari buah tersebut. Smith dan Lay-Yee (2000) mengaplikasikan metode HWT pada buah apel ‘Royal Gala’ dengan suhu 44 oC
selama 35 menit dan diikuti dengan penyimpanan suhu rendah pada 0.5 oC selama
7-10 minggu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode HWT tidak menimbulkan kerusakan pada mutu buah dan efektif dalam mengontrol hama karantina.
Penelitian mengenai HWT untuk disinfestasi lalat buah sudah banyak dilakukan, namun belum banyak yang secara khusus mengulas pengaruh yang ditimbulkan oleh perlakuan air panas terhadap mutu buah. Metode HWT untuk disinfestasi lalat buah pada buah jambu biji memerlukan kajian tersendiri agar dengan perlakuan tersebut tidak menyebabkan kerusakan dan dapat mempertahankan kandungan mutu pada buah selama penyimpanan.
Perumusan Masalah
Permasalahan lalat buah pada jambu biji memerlukan penanganan tepat yang tidak menyebabkan kerusakan pada mutu buah. HWT merupakan salah satu metode yang sudah banyak diterapkan untuk menekan hama dan penyakit pada berbagai macam buah-buahan. Efektifitas dari perlakuan ini dipertanyakan terkait dengan penggunaan suhu tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan kerusakan terhadap mutu buah. Suhu dan waktu HWT perlu dikaji agar diperoleh perlakuan optimum yang tidak menyebabkan kerusakan mutu buah jambu biji selama penyimpanan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perkembangan suhu selama proses HWT pada buah jambu biji serta menganalisis pengaruh HWT dan suhu penyimpanan terhadap mutu buah jambu biji.
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya mengkaji perubahan mutu buah jambu biji merah varietas getas yang dipanen pada umur ±100 hari setelah berbunga (HSB) setelah proses HWT pada suhu pusat 46 °C dengan beberapa waktu pemanasan dan
kemudian disimpan pada suhu yang berbeda, yaitu 10±1 °C dan 28±2 °C.
Parameter mutu buah yang diuji selama penyimpanan antara lain laju respirasi, susut bobot, kekerasan, warna, kadar air, total padatan terlarut, dan kandungan vitamin C.
TINJAUAN PUSTAKA
Jambu Biji
Jambu biji (Psidium guajava L.) adalah salah satu spesies dari famili Myrtaceae. Buah jambu biji memiliki variasi yag besar baik dalam ukuran buah, bentuk buah, maupun warnanya. Buah berbentuk bulat, bulat telur, lonjong atau berbentuk buah pir, dengan ukuran beragam bergantung pada sifat bawaan, umur pohon, kesuburan tanah, dan ketersediaan air.
Kulit buah jambu biji tidak rata, berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi hijau muda sampai hijau kekuning-kuningan setelah masak. Daging buahnya berwarna putih, kuning, merah muda atau merah dengan sel-sel batu sehingga bertekstur kasar, berasa asam sampai manis dan beraroma ‘musky’ ketika masak (Soetopo 1992). Daging dalamnya bertekstur lunak, berwarna lebih gelap dan berasa lebih manis dibanding daging luarnya, secara normal dipenuhi biji-biji yang keras berwarna kuning sekitar 1-2%. Buah jambu biji dapat bertahan lama (±12 bulan) dalam kondisi penyimpanan dengan suhu rendah (8 oC) dan kelembaban rendah (Ashari 2006).
Koleksi plasma nutfah jambu biji banyak terdapat di Indonesia. Beberapa jenis atau varietas jambu biji yang banyak dikenal masyarakat antara lain jambu biji kecil, jambu biji bangkok, jambu biji susu, jambu biji merah, dan jambu biji merah getas (Agromedia 2009). Karakteristik fisik beberapa varietas jambu biji dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik fisik beberapa varietas jambu biji
Sifat fisik Bangkok Varietas Susu Merah Berat (g)
Diameter (cm) : Panjang Lebar Tebal daging (mm)
4
Gambar 1 Buah jambu biji merah (sumber: http://www.google.com)
Buah jambu biji biasanya dipanen pada tiga tingkat kematangan: mature-green (tingkat 1), ketika pertumbuhan maksimum buah ditandai dengan perubahan warna kulit buah dari hijau gelap menjadi hijau terang; turning (tingkat 2), ketika kulit buah berwarna hijau terang sampai kuning (biasanya tingkat ini merupakan tingkat panen komersial); dan fully ripe (tingkat 3), ketika buah telah berwarna kuning secara keseluruhan dan siap untuk dimakan (Roberto et al. 1990).
Mutu Buah Jambu Biji
Klasifikasi/pengkodean buah jambu biji di Indonesia dilakukan berdasarkan bobot buah. Kode ukuran jambu biji tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Klasifikasi mutu buah jambu biji berdasarkan bobot
Kode Bobot (gram)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
>450 351-450 251-350 201-250 151-200 101-150 61-100
35-60 <35 Sumber: SNI 7418-2009
5 Tabel 3 Nilai gizi dan komposisi kimia jambu biji
Komponen gizi dan kimia Nilai Kadar air (%) Sumber: Satuhu S dan Sjaifullah (1991)
Bobot buah
Salah satu parameter mutu yang mencerminkan kesegaran buah adalah bobotnya. Selama penyimpanan buah mengalami susut bobot sebagai akibat dari hilangnya air dalam buah oleh proses transpirasi dan respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu buah (Muchtadi 1992). Transpirasi merupakan proses perpindahan massa air, dimana uap air berpindah dari permukaan buah ke lingkungan sekitarnya. Sedangkan respirasi merupakan proses perombakan senyawa kompleks dalam sel (pati, gula dan asam organik) dengan bantuan oksigen (oksidasi) menjadi molekul yang lebih sederhana seperti CO2, air dan energi (Widjanarko 2012). Kedua proses ini mengakibatkan buah
kehilangan substrat dan air yang ditandai dengan kelayuan.
Kadar air
Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan terutama pada penyimpanan bahan-bahan segar karena kadar air berpengaruh terhadap konsistensi dan keawetan bahan (Winarno 2002). Selama penyimpanan kadar air suatu bahan mengalami perubahan, baik berupa kenaikan maupun penurunan tergantung kepada kondisi bahan dan lingkungan penyimpanan bahan tersebut.
Kekerasan
6
Warna
Warna adalah salah satu indeks mutu bahan pangan yang memiliki peran penting dan perlu diperhatikan karena pada umumnya konsumen terlebih dahulu tertarik pada warna bahan sebelum mempertimbangkan parameter lain (Muchtadi et al. 2010). Untuk kebanyakan buah, tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau karena kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang. Pada umumnya sejumlah zat warna hijau tetap terdapat dalam buah, terutama dalam jaringan bagian-bagian dalam buah. Buah jambu biji muda memiliki warna hijau tua, kemudian akan berubah menjadi warna hijau terang saat mulai matang dan berubah menjadi hijau kekuningan atau kuning pada saat terlampau matang.
Total padatan terlarut (TPT)
Total padatan terlarut (TPT) merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai tanda berlangsungnya proses pematangan buah. Buah dalam proses pematangan akan mengalami kenaikan total padatan terlarut sebagai akibat dari terjadinya perombakan senyawa kompleks menjadi molekul sederhana. Total padatan terlarut mencakup semua padatan yang terlarut dalam buah, termasuk gula, vitamin, dan komponen lainnya. Komponen terlarut yang paling banyak dalam buah adalah kandungan gula, sehingga banyaknya TPT yang terukur merupakan gambaran banyaknya kandungan gula total pada buah yang diukur. Selama pematangan kandungan gula bertambah akibat adanya proses hidrolisa pati, sedangkan jika terjadi penurunan TPT buah selama penyimpanan mungkin disebabkan oleh adanya penguraian sukrosa oleh enzim invertase menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa, fruktosa, sakarosa dan monosakarida.
Kandungan vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu jenis vitamin yang banyak dikandung oleh buah dan sayur. Kandungan vitamin C pada buah dan sayur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan genotip, kondisi iklim saat pertanaman, cara budidaya, tingkat kematangan dan cara panen, serta metode penanganan pascapanen (Lee dan Kader 2000). Buah jambu biji mengandung banyak nutrisi, salah satunya adalah vitamin C yang mana kandungannya 3-6 kali lebih banyak dibandingkan jeruk dengan berat sampel yang sama (Temple 2000). Kehilangan vitamin C dapat diakibatkan oleh peningkatan suhu, rendahnya RH, kerusakan fisik, chilling injury, panjangnya masa simpan, tingginya konsentrasi CO2, serta
perlakuan lainnya terhadap produk (Lee dan Kader 2000).
Laju Respirasi Buah Jambu Biji
Respirasi merupakan aktifitas metabolisme yang penting karena selama prosesnya terjadi perubahan secara fisik, kimia dan biologi pada produk segar yang disimpan. Respirasi secara umum ditandai dengan adanya proses pengeluaran gas CO2 dan penyerapan gas O2. Laju respirasi dapat digunakan
sebagai ukuran aktivitas fisiologis buah dan merupakan indikator penting masa simpan suatu produk setelah panen karena berhubungan erat dengan perubahan mutu dan tingkat kesegaran.
7 dapat mengalami proses pematangan meskipun sudah dipetik dari pohonnya. Perubahan yang dapat menjadi tolak ukur suatu produk pertanian termasuk pada kelompok klimakterik/non klimakterik biasanya didasarkan pada peningkatan laju respirasi yang cepat selama proses pematangan. Laju respirasi pada buah klimakterik memiliki bentuk yang khas, yaitu terjadi peningkatan produksi CO2
dan konsumsi O2 secara mendadak dan kemudian terus menurun secara perlahan.
Menurut Broto (2011), laju respirasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada masing-masing buah. Semakin tinggi laju respirasi, semakin cepat terjadi perombakan substrat maka semakin cepat pula berlangsungnya kemunduran kualitas dan kesegaran buah. Adanya korelasi yang erat antara laju respirasi dengan kemunduran kualitas dan tingkat kesegaran, maka laju respirasi digunakan sebagai indikator penting masa simpan suatu produk.
Serangan Lalat Buah pada Buah Jambu Biji
Lalat buah merupakan salah satu hama potensial yang sangat merugikan produksi buah-buahan dan sayuran, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hama ini menjadi key pest pada buah-buahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan, akibat serangan lalat buah ini, beberapa jenis buah-buahan yang diekspor ke Jepang pada tahun 1981 semuanya ditolak karena terinfestasi hama ini (Susanto 2010). Hasil pemantauan lalat buah yang dilakukan oleh Pusat Karantina Pertanian sejak tahun 1979/1980 menunjukkan bahwa lalat buah ditemukan hampir di semua wilayah di Indonesia. Sasaran utama serangan lalat buah ini antara lain belimbing manis, jambu air, jambu biji, mangga, semangka, melon dan cabai (Kementan 2002).
Lalat buah merupakan masalah utama petani buah di dunia. Dampak serangannya dirasakan dalam pemeliharaan tanaman di lapang maupun dalam upaya ekspor ke negara lain. Pada aspek perdagangan, keberadaan lalat buah menimbulkan kesulitan suatu negara untuk memasarkan produk buah segar ke negara lain (Drew 2001). Serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat buah dilaporkan menimbulkan kerusakan pada mangga hingga kisaran 10-50% di Benin (Vayssieres et al. 2005). Bactrocera dorsalis merupakan hama penting pada tanaman mangga ‘Namdokmai Si Thong’ di Thailand (Varith et al. 2007) dan mengakibatkan kerusakan serius pada jambu (Psidium guajava) dan jambu stroberi (Psidium cattleianum) di Hawaii (Vargas et al. 2007).
8
menjadi vektor bakteri Escherichia coli, penyebab penyakit pada manusia (Balitro 2007).
Lalat buah merupakan hama utama pada jambu biji di berbagai negara penghasil jambu biji. Larva dari lalat buah ini merusak buah dari tanaman inang, dan menyebabkan buah menjadi busuk dengan lebih cepat. Pada masa perkembangannya, khususnya jika populasinya tinggi larva akan masuk sampai ke bagian dalam (pulp) buah jambu biji (Gould dan Raga 2002). Gambar 2 berikut menunjukkan serangan lalat buah pada buah jambu biji.
(a) (b)
Gambar 2 Buah jambu biji yang diserang lalat buah (a) dan larva lalat buah pada daging buah jambu biji (b)
(sumber: (a) http://www.agnet.org (b) http://www.dinonline.org)
Bactrocera carambolae merupakan salah satu spesies lalat buah yang berpotensi sebagai hama penting tanaman jambu biji. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Himawan et al. (2013) yang menunjukkan bahwa betina B. carambolae lebih banyak bertelur pada tempat peneluran dengan aroma buah jambu biji. Spesies ini ditemukan sebagai organisme pengganggu tanaman penting pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan Kampus IPB Dramaga (Faridah 2011).
Pengendalian lalat buah dapat dilakukan dengan menggunakan perlakuan panas. Perlakuan perendaman air panas terbukti efektif dalam membunuh telur dan larva B. carambolae dengan suhu air 46 oC selama 20 menit untuk telur dan 10 menit untuk larva (Nusantara 2012). Rohaeti et al. (2010) juga melaporkan bahwa mortalitas telur B. carambolae mencapai 100% pada perendaman dengan suhu air 46 oC selama 15 menit.
Perlakuan Panas untuk Pengendalian Hama/Penyakit Pascapanen
Hama dan penyakit pascapanen merupakan hal penting yang harus dikendalikan agar produk hasil pertanian tidak mengalami susut kualitas dan kuantitas. Terdapat berbagai metode disinfestasi hama dan penyakit pascapanen yang telah banyak dilakukan, antara lain fumigasi, iradiasi, perlakuan kimia, perlakuan dingin (cold treatment), perlakuan panas (heat treatment), dan atmosfir terkendali (controlled atmosphere). Masing-masing teknik tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Aplikasi teknik disinfestasi harus disesuaikan dengan komoditas yang akan diperlakukan dan tujuannya.
9 pengendalian penyakit. Terdapat tiga metode perlakuan panas berdasarkan medianya, yaitu perlakuan air panas (hot water treatment/HWT), perlakuan uap panas (vapor hot treatment/VHT), dan perlakuan udara panas (hot air treatment/HAT) (Lurie 1998). Sebelum penerapan teknologi perlakuan panas ini, biasanya buah-buahan diberi perlakuan fumigasi menggunakan etilen dibromida (EDB) atau metil bromida (MB). Penggunaan bahan kimia tersebut cukup efektif untuk disinfestasi lalat buah, namun residu kimia pada buah-buahan dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan konsumen. Perlakuan panas (heat treatment) menjadi alternatif utama semenjak adanya larangan penggunaan bahan kimia untuk disinfestasi hama dan penyakit.
Hot water treatment (HWT) merupakan teknik yang biasa digunakan untuk disinfestasi hama dan penyakit pascapanen. Menurut Lurie (1998) metode pencelupan dengan air panas lebih efisien sebagai wadah pemindah panas daripada udara panas atau semprotan air panas sebab dapat menghantarkan panas dari air yang bersuhu tinggi ke seluruh bahan secara total bukan hanya pada permukaan saja dengan waktu pencelupan dapat dilakukan selama 1 jam atau lebih dengan suhu dibawah 50 oC. Air merupakan medium penghantar panas yang
paling baik karena mudah diperoleh dan tidak meninggalkan residu pada produk. Sebelum proses perendaman dilakukan harus dipastikan bahwa produk/bahan yang akan diberi perlakuan dalam kondisi yang baik dan tidak memiliki luka di permukaannya. Suhu perendaman sebaiknya tidak melebihi batas ketentuan, karena hal ini dapat merusak kualitas bahan baik tampilan maupun kandungan nutrisinya.
Aplikasi HWT pada berbagai produk buah telah banyak dilakukan. Teknologi ini terbukti efektif dalam mengontrol hama dan penyakit pascapanen pada berbagai buah (Follett dan Sanxter 2001; Smith dan Lay Yee 2000; Gould 1994). Selain itu, penggunaan teknologi HWT juga dilaporkan efektif dalam mengurangi kehilangan pascapanen, memperlambat kematangan dan kebusukan serta menjaga kualitas buah selama penyimpanan (Jing et al. 2008; Fallik 2004; Fallik et al. 2000; McGuire 1997).
Mortalitas Bactrocera carambolae Akibat Perlakuan Panas
10
Tabel 4 Mortalitas B. carambolae pada perendaman air bersuhu 46 oC Sumber Waktu (menit) Telur Mortalitas (%) Larva
Nusantara
Berdasarkan data sekunder mortalitas B. carambolae yang tersaji dalam Tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai mortalitas telur 100% adalah minimal 15-20 menit. Waktu minimal 15-20 menit dihitung semenjak suhu target pada pusat buah tercapai. Gangguan yang terjadi dalam tubuh serangga akibat perlakuan panas dapat bervariasi dalam stadia hidup berbeda. Denlinger dan Yocum (1998) menjelaskan bahwa kematian serangga akibat perlakuan panas terjadi karena denaturasi protein, terganggunya keseimbangan ion, pH, dan aktifitas enzim dalam tubuh. Kemungkinan lainnya adalah kerusakan di lapisan kutikula sehingga tubuh serangga mudah kehilangan air.
Neven (2000) menyatakan bahwa beberapa faktor fisikokimia yang menentukan mortalitas serangga adalah perubahan metabolisme, penurunan respirasi, gangguan syaraf, sistem endokrin, dan produksi heat shock protein (HSP). HSP merupakan polipeptida yang disintesis oleh semua organisme sebagai respon terhadap temperatur tinggi. Sintesis protein ini meningkat seiring dengan peningkatan temperatur hingga mencapai titik tertentu. Denlinger dan Yocum (1998) menjelaskan bahwa kematian serangga ditandai dengan adanya kerusakan membran plasma yang selanjutnya diikuti oleh denaturasi protein. Hal ini mengakibatkan gangguan enzimatis pada DNA. Sel dapat mati apabila DNA mengalami kerusakan parah.
Model Pendugaan Suhu Buah
11
matematika untuk menggambarkan penetrasi panas telah diaplikasikan pada buah-buahan dan sayuran.
Model pendugaan suhu buah yang terbentuk merupakan hasil dari analisis regresi non linear jenis regresi eksponensial. Regresi non linear adalah bentuk hubungan atau fungsi dimana variabel bebas dan atau variabel tak bebas dapat berfungsi sebagai faktor atau variabel dengan pangkat tertentu. Selain itu, variabel bebas dan atau variabel tak bebas dapat berfungsi sebagai penyebut (fungsi pecahan) maupun sebagai pangkat fungsi eksponen. Regresi eksponensial ialah regresi dimana variabel bebas berfungsi sebagai pangkat atau eksponen. Modifikasi dari regresi eksponensial antara lain model logistik, asimtotik, dan Gompertz. Persamaan-persamaan yang umum digunakan antara lain (Hasbullah 2014):
1. Model Logistik
Tϴ = 1 B exp k ………...….. (1)
2. Model Asimtotik
Tϴ = A – B exp (-kϴ) ………..…………... (2)
3. Model Eksponensial
Tϴ = (A–B) (1-exp (-kϴ)) + B………...……….………... (3)
Proses perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS). Nilai-nilai konstanta yang ada pada model diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan program SAS. Nilai konstanta A diperoleh dari suhu media, konstanta B diperoleh dari suhu awal buah, dan konstanta k diperoleh dari rata-rata kenaikan suhu setiap satu menit.
Verifikasi Model
Verifikasi dilakukan dengan membandingkan besarnya suhu hasil pengukuran dan pendugaan menggunakan:
1. Koefisien determinasi (R2). Dinamakan demikian karena nilai R2 dari variasi yang terjadi dalam variabel tak bebas (Y) dapat dijelaskan oleh adanya regresi linier Y atas X. Dari nilai koefisien regresi dapat diperoleh nilai koefisien korelasi (r) yaitu dengan mengambil akar dari nilai R2 (Sudjana 1975).
2. Root Mean Square Error (RMSE) adalah suatu indikator yang digunakan untuk menghitung perbedaan nilai antara hasil pengukuran sebenarnya dengan hasil simulasi model. Semakin kecil nilainya, maka akan semakin baik. Rumus untuk menghitung nilai root mean square error yaitu:
∑ , ,
12
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2015 bertempat di Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem (TLB) dan Laboratorium Teknik Pengolahan Hasil Pertanian (TPPHP), Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah jambu biji merah varietas getas yang sudah matang fisiologis dengan umur petik ± 100 hari setelah berbunga (HSB), dengan berat 200-250 g yang diperoleh dari perkebunan di daerah Tanah Sareal Bogor. Buah jambu biji diambil langsung setelah dipanen dan disortasi berdasarkan keseragaman ukuran dan warna. Buah hasil sortasi kemudian dibawa ke kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga dengan menggunakan keranjang buah untuk meminimalisir kerusakan karena pengangkutan. Selain buah jambu biji, penelitian ini juga menggunakan air destilata, amilum dan iodin 0.01 N.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: water bath untuk perlakuan HWT, termokopel, hybrid recorder (Yokogawa, MV-1000, Jepang), refrigerator (Mitsubishi, Jepang), continuous gas analyzer (Shimadzu, IRA-107, Jepang), portable oxygen tester (Shimadzu, POT-101, Jepang) rheometer (Sun Scientific, CR-300, Jepang), chromameter (Konica Minolta Sensing, CR-400, Jepang), refractometer (Atago, Jepang), oven (Isuzu, 2-2120, Jepang) ,neraca analitik (AE Adam, PW 184), neraca (Mettler, PM-4800), chamber (toples), cawan alumunium, desikator, erlenmeyer, burette, clamp stand, kertas saring, pipet, pisau stainless steel.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahap pertama yaitu proses HWT untuk mengetahui perkembangan suhu pada buah. Tahap kedua yaitu pengujian mutu buah selama penyimpanan.
Tahap I Proses HWT untuk mengetahui perkembangan suhu buah
Tahap pertama dilakukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga tercapai suhu yang diinginkan pada pusat buah. Perlakuan air panas dilakukan pada suhu media 47 oC untuk mencapai suhu pusat 46 oC yang
13 daging buah (T2), dan pusat buah (T3). Titik yang akan diukur perkembangan suhunya selama proses perlakuan air panas tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3 Titik pendugaan suhu pada buah jambu biji merah
Data perkembangan suhu buah (suhu pusat buah) yang diperoleh kemudian digunakan untuk membangun model matematika pendugaan suhu. Model ini dibuat untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan agar suhu target tercapai tanpa melakukan pengukuran secara langsung. Metode empiris yang digunakan dalam penelitian ini antara lain model asimtotik, eksponensial, dan logistik. Data suhu pendugaan (prediksi) diperoleh dari simulasi metode empiris dengan analisis statistika non linear menggunakan program SAS. Penentuan model terbaik dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai
RMSE dari setiap model.
Tahap II Pengujian mutu buah
Penelitian tahap kedua dilakukan dengan dua batch yang diperlakukan sama yaitu HWT pada suhu pusat 46 oC dengan 3 perlakuan waktu yaitu 10, 20, dan 30
14
Gambar 4 Alur proses pengujian mutu buah
Pengamatan laju respirasi dan mutu buah
Pengamatan dilakukan selama 14 hari penyimpanan. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk parameter laju respirasi dan susut bobot sedangkan parameter lainnya (kekerasan, warna buah, kadar air, total padatan terlarut dan kandungan vitamin C) dilakukan setiap 2 hari. Untuk setiap pengamatan pada tiap kombinasi perlakuan, digunakan 2 sampel yang masing-masing diukur secara duplo.
1. Pengukuran laju respirasi
Pengukuran respirasi dilakukan secara closed system (sistem tertutup) dengan menggunakan alat pengukur gas analyzer. Hasbullah (2007) mengemukakan bahwa dalam metode sistem tertutup bahan ditempatkan dalam suatu wadah tertutup dimana gas CO2 yang dihasilkan terakumulasi dan gas O2
yang dikonsumsi menjadi berkurang konsentrasinya. Laju respirasi dihitung dengan mengetahui berat bahan, volume bebas wadah dan perbedaan konsentrasi gas setelah selang waktu tertentu.
15 menggunakan persamaan 5 dan 6 sebagai berikut (Mannaperuma dan Singh 1990 dalam Hasbullah 2007):
………... (5) ………... (6)
Dimana:
R : Laju respirasi (ml /kg.jam) V : Volume bebas wadah (ml) W : Berat bahan (kg)
x : Konsentrasi gas (%) t : Waktu (jam)
subskrip 1,2 : masing-masing menyatakan gas O2 dan CO2
2. Susut bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan neraca digital. Pengukuran dilakukan sebelum buah jambu biji disimpan (bo) dan setiap hari saat
masa simpan (bt). Susut bobot ditentukan berdasarkan presentase perubahan berat
sampel selama penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah sebagai berikut:
... .. (7)
Dimana: b0 = berat bahan awal penyimpanan (g)
bt = berat bahan pada hari ke-t penyimpanan (g)
3. Kekerasan
Kekerasan sampel buah jambu biji diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap penusuk berbentuk silinder pejal dari rheometer yang diatur dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 30 mm/m dan diameter probe 5 mm. Pengujian kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda. Nilai hasil pengukuran terbaca dalam satuan kg-force yang kemudian dikonversikan menjadi satuan Newton (N) dengan cara mengalikan nilai tersebut dengan nilai gravitasi.
4. Perubahan warna
16
satuan kromatis C* dan derajat hue (ohue) dengan menggunakan persamaan 8 dan 9. Nilai C* menunjukkan intensitas suatu warna sedangkan nilai ohue
menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna.
√ ………... (8) ohue ………... (9)
5. Kadar air
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven (AOAC 1990). Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu 100-105°C dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang (A). Sebanyak ±5 g bahan kemudian dimasukkan kedalam cawan dan ditimbang (B). Cawan yang berisi bahan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105°C sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Persentase kadar air diukur menggunakan persamaan:
... (10) Dimana:
Ka : Kadar air (%)
A : Berat cawan (g)
B : Berat cawan dan bahan sebelum dikeringkan (g) C : Berat cawan dan bahan setelah dikeringkan (g) 6. Total padatan terlarut
Pengukuran total padatan terlarut (TPT) dilakukan dengan menggunakan alat refractometer. Sampel buah jambu biji dihancurkan untuk mendapatkan sarinya. Sari buah kemudian diteteskan pada prisma refractometer untuk pembacaan nilai TPT. Pengukuran dilakukan pada tiga bagian buah, yaitu ujung, tengah dan pangkal. Besarnya padatan terlarut dinyatakan dalam satuan oBrix.
7. Kandungan vitamin C
Kandungan vitamin C atau asam askorbat ditentukan melalui titrasi menggunakan larutan iod 0.01 N (AOAC 1990). Sampel buah jambu biji dihancurkan kemudian ditimbang sebanyak 10 gram. Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditambahkan air suling sampai tanda tera kemudian labu ukur diputar agar campuran menjadi homogen. Setelah campuran teraduk kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian diberi larutan indikator amilum sebanyak 1 ml. Selanjutnya filtrat dititrasi dengan menggunakan larutan iod 0.01 N hingga terjadi perubahan warna yang stabil (muncul warna biru keunguan). Kandungan vitamin C (asam askorbat) dihitung dengan menggunakan rumus:
17 Dimana:
A = jumlah iodin yang digunakan (ml) B = berat sampel (g)
K = konstanta (0.88) P = faktor pengenceran
Rancangan percobaan
Tahap uji mutu buah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama HWT yang terdiri dari 4 taraf yaitu 10 menit, 20 menit, 30 menit dan tanpa perlakuan (kontrol). Faktor kedua yaitu suhu penyimpanan setelah perlakuan HWT yang terdiri dari 2 taraf yaitu 10±1 oC dan 28±2 oC. Penelitian dilakukan dengan 4 ulangan, sehingga
diperoleh 32 satuan percobaan. Berikut adalah model linear dari rancangan acak lengkap 2 faktor yang digunakan dalam penelitian.
………..….. (12)
i = 1,2,3 ; j = 1,2 ; k = 1,2 Keterangan :
Yijk = Parameter pengamatan pada kombinasi perlakuan taraf ke-i dari waktu
hot water treatment, dan taraf ke-j dari suhu penyimpanan, ulangan ke-k µ = Rataan umum
αi = Pengaruh taraf ke-i dari waktu hot water treatment
βj = Pengaruh taraf ke-j dari suhu penyimpanan
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i dari waktu hot water treatment dan
taraf ke-j dari suhu penyimpanan
εijk = Pengaruh acak pada kombinasi perlakuan taraf ke-i dari waktu hot water
treatment dan taraf ke-j dari suhu penyimpanan, ulangan ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka akan dilakukan pengujian lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Suhu Buah Selama Proses HWT
Proses HWT dilakukan pada suhu media 47 oC untuk mencapai suhu pusat buah 46 oC. Suhu 46 oC diketahui dapat mematikan larva dan telur lalat buah jenis
18
Gambar 5. Data perkembangan suhu selama proses HWT ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 5 Posisi termokopel pada buah jambu biji merah
Gambar 6 Perkembangan suhu buah jambu biji selama proses HWT
Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan suhu dapat diketahui bahwa suhu pusat buah 46 oC rata-rata dapat dicapai dengan waktu HWT selama 48 menit. Dengan demikian, waktu kondisioning HWT untuk mencapai suhu pusat 46 oC pada buah jambu biji merah berukuran 200-250 gram adalah selama 48
menit.
Data perkembangan suhu buah yang diperoleh secara pengukuran langsung (observasi) kemudian digunakan untuk membentuk data pendugaan (prediksi) suhu dengan menggunakan model matematika metode empiris. Model matematika yang digunakan untuk metode empiris ini adalah model Asimtotik, Eksponensial, dan Logistik. Ketiga model tersebut dibentuk oleh beberapa parameter, yaitu parameter A yang dihitung dengan estimasi awal adalah suhu media pemanasan (47 oC), parameter B yang dihitung menggunakan kisaran suhu awal buah jambu biji sebelum pemanasan (26-28 oC), dan parameter k yang nilainya diperoleh
dengan perhitungan menggunakan nilai rata-rata kenaikan suhu buah selama proses pemanasan setiap satu menit (0 – 0.9 oC). Nilai konstanta prediksi hasil program SAS untuk setiap model dapat dilihat pada Tabel 5.
10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 10 20 30 40 50 60 70
Su
hu
(
oC)
Waktu (menit)
19 Tabel 5 Nilai konstanta hasil program SAS
Parameter Asimtotik Eksponensial Model Logistik A 47.96±0.14 47.96±0.14 47.08±0.06 B 23.19±0.17 24.77±0.18 0.78±0.00 k 0.05±0.00 -0.05±0.00 0.07±0.00
Setelah semua nilai konstanta prediksi diperoleh, selanjutnya dilakukan penyusunan model matematika yang dapat dilihat pada Tabel 6. Model matematika yang diperoleh kemudian digunakan untuk mendapatkan data suhu prediksi buah selama proses perlakuan air panas.
Tabel 6 Hasil persamaan model matematika pada buah jambu biji
Model Persamaan Observasi Prediksi Waktu (menit) Asimtotik 47.96 – 23.19 exp (-0.05*ϴ) 48 50 Eksponensial (47.96 – 24.77)(1 – exp (0.05*ϴ)) 48 50 Logistik 47.08 / (1 + 0.78 exp (-0.07*ϴ)) 48 49 Data hasil observasi menunjukkan bahwa suhu pusat buah jambu biji sebesar 46 oC dapat dicapai dengan waktu 48 menit. Sedangkan data hasil prediksi menunjukkan bahwa suhu pusat buah jambu biji sebesar 46 oC dapat dicapai pada
waktu 50 menit untuk model asimtotik dan eksponensial, dan 49 menit untuk model logistik. Hubungan antara suhu observasi dengan suhu prediksi model pada titik pengukuran pusat buah tersaji pada Gambar 7.
Gambar 7 Perkembangan suhu pusat buah jambu biji selama proses HWT hasil observasi dan prediksi model
20 25 30 35 40 45 50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
Su
hu
(
°C)
Waktu (menit)
20
Gambar 7 menunjukkan bahwa hasil prediksi suhu pusat buah selama proses HWT menggunakan model asimtotik, eksponensial, dan logistik memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan terlihatnya titik yang berhimpitan antara nilai observasi dengan nilai prediksi setiap model. Titik yang berhimpitan ini menandakan bahwa suhu hasil prediksi tidak berbeda jauh dengan suhu hasil observasi. Hubungan antara suhu observasi dengan suhu prediksi pada buah jambu biji tersaji pada Gambar 8.
Gambar 8 Hubungan antara suhu observasi dan prediksi model
Model matematika yang telah disusun kemudian diverifikasi untuk mengetahui apakah model tersebut akurat dan dapat digunakan untuk menduga suhu buah jambu biji selama proses HWT. Verifikasi model dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi yang nantinya akan menghasilkan nilai koefisien determinasi. Dari nilai koefisien determinasi (R2) dapat diketahui nilai koefisien
korelasi (r). Selain itu, dilakukan pula perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) untuk mengetahui perbedaan nilai pada masing-masing waktu pengukuran sebenarnya dengan hasil prediksi model. Nilai hasil verifikasi model tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai hasil verifikasi model matematika
Model Determinasi (RKoef. 2) Korelasi (r) Koef. RMSE
Asimtotik 0.9964 0.9981 0.37
Eksponensial 0.9964 0.9981 0.37
21 Hasil verifikasi menunjukkan bahwa ketiga model yang digunakan memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi. Model asimtotik dan eksponensial
memiliki nilai koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang sama, yaitu sebesar 0.9964 dan 0.9981 yang berarti 99.81% nilai observasi dapat dijelaskan oleh nilai prediksi model. Sedangkan model logistik memiliki nilai koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang lebih besar daripada kedua model sebelumnya, yaitu 0.9988 dan 0.9993 yang berarti 99.93% nilai observasi dapat dijelaskan oleh nilai prediksi model. Nilai R2 pada masing-masing model
mendekati 1 (positif) yang berarti suhu observasi bisa dijelaskan dengan baik oleh suhu prediksi dan hubungan antara dua variabel tersebut termasuk dalam kategori kuat. Hasil verifikasi menggunakan RMSE, diketahui bahwa model logistik memiliki nilai RMSE yang paling kecil dibanding model asimtotik dan eksponensial. Nilai RMSE model logistik sebesar 0.21, sedangkan model asimtotik dan eksponensial memiliki nilai RMSE yang sama yaitu 0.37.
Berdasarkan hasil verifikasi ketiga model dapat diketahui bahwa model logistik (47.08 / (1 + 0.78 exp (-0.07*ϴ))) merupakan model yang paling baik untuk menduga perkembangan suhu pusat buah jambu biji selama proses HWT. Hal ini dibuktikan oleh nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi yang tinggi serta nilai RMSE yang rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasbullah et al. (2001) bahwa model logistik dapat menduga dengan baik penyebaran suhu buah mangga ‘irwin’ pada proses HWT selama 90 menit dan VHT selama 150 menit pada suhu 46.5 oC.
Pengaruh HWT dan Suhu Penyimpanan terhadap Pola Respirasi Buah Jambu Biji
Buah jambu biji merah termasuk dalam kelompok buah klimakterik yang memiliki fase khas dalam perubahan laju respirasinya ditandai dengan adanya kenaikan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2. Pola kenaikan tersebut terlihat
pada buah jambu biji yang disimpan pada suhu 28±2 oC seperti yang tersaji dalam
Gambar 9 dan 10. Buah jambu biji yang disimpan pada suhu 28±2 oC mengalami
puncak klimakterik pada hari ke-3 penyimpanan. Laju respirasi jambu biji pada saat puncak klimakterik yang tertinggi mencapai 65.47 ml/kg-jam untuk produksi CO2 dan 63.61 ml/kg-jam untuk konsumsi O2. Setelah mengalami fase klimakterik
laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 mengalami penurunan. Hal ini dapat
22
Gambar 9 Laju produksi CO2 jambu biji selama penyimpanan
Gambar 10 Laju konsumsi O2 jambu biji selama penyimpanan
Laju respirasi pada buah jambu biji yang disimpan pada suhu 10±1 oC tidak
mengalami kenaikan tajam selama penyimpanan. Perubahan nyata laju respirasi terjadi antara hari ke-0 dan hari ke-1 penyimpanan. Pada hari ke-0 penyimpanan pengukuran laju respirasi dilakukan empat jam setelah buah diberi perlakuan air panas dan dikeringanginkan. Lurie dan Klein (1991) melaporkan bahwa laju respirasi pada buah yang sedang dalam proses pematangan akan meningkat oleh paparan suhu tinggi. Penurunan laju respirasi langsung terjadi sehari setelah buah disimpan pada suhu 10±1 oC. Hal tersebut membuktikan bahwa penyimpanan
suhu rendah dapat menurunkan laju respirasi buah melalui penghambatan reaksi enzimatis yang secara langsung memperlambat proses pematangan sehingga masa simpan buah dapat lebih lama.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam laju produksi CO2 dan laju konsumsi
O2, HWT dan interaksinya dengan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh
terhadap laju respirasi buah jambu biji. Sedangkan suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 buah
jambu biji selama penyimpanan.
23 perubahan fisik dan kimia suatu produk hortikultura. Peningkatan maupun penurunan laju respirasi dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu sangat berpengaruh terhadap aktifitas metabolik jaringan dan organ tumbuhan, seperti buah (Bron et al. 2005). Reaksi metabolik seperti respirasi sangat penting bagi proses pematangan buah yang pada umumnya meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Winarno (2002) menyatakan bahwa laju respirasi dikendalikan oleh suhu, dimana setiap kenaikan suhu 10 oC proses enzimatis dan fisiologis meningkat hingga dua atau tiga kali mengikut hukum Van’t Hoff.
HWT tidak merubah mutu fisiologis buah jambu biji. Hal ini dapat dilihat dari data hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa fase klimakterik buah jambu biji selama penyimpanan berlangsung secara normal. Sejalan dengan Jacobi et al. (1995) yang melaporkan bahwa perlakuan panas tidak mempengaruhi waktu klimakterik buah mangga Kensington. Paull dan Chen (2000) juga menyatakan bahwa setelah perlakuan panas, laju respirasi buah akan menurun mendekati tingkat laju respirasi buah yang tanpa perlakuan panas.
Pengaruh HWT dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Buah Jambu Biji
Pengamatan perubahan mutu buah juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan air panas dan suhu penyimpanan terhadap buah jambu biji. Parameter mutu yang diamati antara lain susut bobot, kekerasan, kadar air, total padatan terlarut, warna, dan kandungan vitamin C.
Susut Bobot
Selama masa penyimpanan setelah diberi perlakuan air panas, buah jambu biji mengalami susut bobot yang bersifat gradual yang berarti persentase susut bobotnya semakin tinggi selama penyimpanan seperti yang tersaji dalam Gambar 11.
Gambar 11 Susut bobot jambu biji selama penyimpanan
24
menyatakan bahwa HWT tidak memberikan pengaruh terhadap susut bobot jambu biji selama penyimpanan. Sejalan dengan Hasbullah (2002) yang menyatakan bahwa perlakuan panas tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap susut bobot mangga irwin selama masa simpan.
Perlakuan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap susut bobot buah jambu biji. Hal ini dapat diketahui dari grafik sebelumnya, yang menunjukkan perbedaan persentase susut bobot dari buah jambu biji yang disimpan pada suhu 10±1 oC dan 28±2 oC. Persentase tertinggi susut bobot buah
jambu biji pada hari terakhir pengamatan yaitu 11.22% pada suhu penyimpanan 10±1 oC dan 23.69% pada suhu penyimpanan 28±2 oC. Chace dan Pantastico
(1975) menyatakan bahwa produk sayuran dan buah-buahan segar dianggap tidak layak dipasarkan bila mengalami susut bobot lebih dari 10%. Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa perlakuan suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap susut bobot jambu biji. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa suhu penyimpanan 10±1 oC lebih baik dalam menekan susut
bobot buah jambu biji setelah diberi perlakuan HWT. Menurut Muchtadi et al. (2010), susut bobot buah akibat respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan cara menaikkan kelembaban nisbi udara (RH), menurunkan suhu, mengurangi gerakan udara dan penggunaan kemasan.
Kadar Air
Buah jambu biji setelah proses HWT dan disimpan mengalami perubahan kadar air yang bersifat fluktuatif. Terjadi kenaikan dan penurunan kadar air pada jambu biji selama penyimpanan. Hal ini terjadi karena pada proses pengukuran kadar air, sampel yang digunakan tidak berasal dari buah yang sama. Penggunaan buah yang berbeda pada setiap pengamatan dikarenakan pengukuran kadar air bersifat destruktif atau merusak bahan sehingga tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan buah yang sama. Karena kandungan kadar air pada setiap buah pasti berbeda, maka hasil pengukuran akan variatif. Namun secara umum kadar air buah jambu biji selama penyimpanan mengalami penurunan seperti yang tersaji pada Gambar 12.
Gambar 12 Kadar air jambu biji selama penyimpanan
25 90.46% pada HWT 30 menit, dan 86.43% - 89.28% pada kontrol. Secara umum, terjadi kenaikan kadar air pada jambu biji setelah proses HWT. Hal ini kemungkinan terjadi karena terjadi pelemahan ikatan antar sel pada jaringan setelah buah diberi perlakuan panas. Karena ikatan antar sel pada jaringan menjadi lemah, maka kandungan air yang terdapat dalam buah menjadi mudah teruapkan pada saat pengukuran kadar air. Pengukuran kadar air pada hari ke-0 dilakukan beberapa jam setelah HWT, sehingga air dalam buah belum sempat teruapkan ke lingkungan akibat pengaruh penyimpanan.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa HWT dan interaksinya dengan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air jambu biji selama penyimpanan. Grafik juga menunjukkan hal yang sama, kadar air jambu biji pada keempat taraf lama HWT tidak mengalami perbedaan berarti selama penyimpanan. Hasil ini sejalan dengan yang Hasbullah (2002) laporkan, bahwa tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada perubahan kadar air mangga irwin setelah mendapat perlakuan panas.
Perlakuan suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kadar air jambu biji selama penyimpanan. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis sidik ragam dan grafik pada gambar sebelumnya yang menunjukkan perbedaan kadar air jambu biji. Pada akhir penyimpanan, buah jambu biji memiliki kadar air yang berkisar antara 83.17% - 84.24% pada suhu penyimpanan 28±2 oC sedangkan
pada suhu penyimpanan 10±1 oC kadar air jambu biji berkisar antara 85.43% - 86.89%. Suhu penyimpanan 10±1 oC dapat mempertahankan kandungan air jambu
biji lebih baik hingga hari ke-14 dibanding suhu penyimpanan 28±2 oC. Hal ini
dikarenakan pada penyimpanan suhu 10±1 oC aktifitas respirasi dan transpirasi berjalan lebih lambat dibanding pada suhu 28±2 oC, sehingga buah tidak
mengalami kehilangan kandungan air yang banyak akibat kedua proses tersebut.
Kekerasan
Kekerasan merupakan salah satu indikator perubahan mutu buah yang akan semakin menurun seiring lamanya penyimpanan. Terjadi perubahan kekerasan pada buah jambu biji selama penyimpanan setelah proses HWT seperti yang tersaji dalam Gambar 13.
26
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa HWT dan interaksinya dengan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kekerasan jambu biji selama penyimpanan. Sedangkan perlakuan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan kekerasan buah jambu biji. Suhu penyimpanan 10±1 oC diketahui dapat mempertahankan kekerasan buah jambu
biji lebih baik dibanding suhu penyimpanan 28±2 oC. Kitinojo dan Kader (2003)
menyatakan bahwa suhu rendah sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah suhu penyimpanan, maka semakin lambat aktifitas enzim pendegradasi dinding sel sehingga penurunan kekerasan akan semakin lambat.
Faktor yang berpengaruh penting terhadap perubahan kekerasan antara lain adalah proses pematangan, suhu, dan RH. Perubahan tekstur buah yang semula keras menjadi lunak dikarenakan selama proses pematangan terjadi perubahan komposisi dinding sel sehingga menyebabkan turunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun (Winarno 2002). Secara kimiawi dinding sel tersusun dari senyawa-senyawa kompleks, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel, dimana sifat terpenting dari pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada saat proses pematangan, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan ikatan dinding sel sehingga kekerasan buah akan berkurang (Winarno 2002).
Pelunakan buah pada saat pematangan merupakan hasil dari proses degradasi dinding sel secara enzimatis. Abu-goukh dan Bashir (2003) melaporkan bahwa proses degradasi dinding sel pada buah jambu melibatkan beberapa enzim seperti pektinesterase, poligalakturonase, dan selulase. Kekerasan jambu biji berbanding terbalik dengan aktifitas enzim poligalakturonase dan selulase, dimana semakin tinggi aktifitas kedua enzim tersebut maka tingkat kekerasan buah akan semakin rendah. Jain et al. (2003) juga menyatakan bahwa penurunan ketegaran dinding sel buah jambu biji merupakan tanda bahwa aktifitas enzim penghidrolisis dinding sel sedang meningkat.
Berdasarkan hasil pengamatan, buah jambu biji setelah proses HWT selama 10-30 menit kemudian disimpan pada suhu 10±1 oC memiliki nilai
kekerasan yang lebih tinggi dibanding kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan panas dapat memperlambat proses pelunakan buah. Hal ini sejalan dengan Chan et al. (1981) yang melaporkan bahwa perlakuan panas metode HWT dengan suhu 46 oC dapat mempertahankan kekerasan buah pepaya. Paull dan
Chen (2000) juga menyatakan bahwa perlakuan panas dapat merusak dan terkadang menghambat produksi enzim pendegradasi dinding sel.
Perubahan Warna
Warna pada jambu biji diukur menggunakan chromameter sehingga menghasilkan nilai warna L, a*, dan b*. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki rentang mulai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Buah jambu biji selama penyimpanan mengalami perubahan nilai L yang berbeda berdasarkan suhu penyimpanannya. Buah jambu biji yang disimpan pada suhu 28±2 oC
27 jambu biji yang disimpan pada suhu 10±1 oC secara umum mengalami penurunan nilai L, walaupun terdapat beberapa data yang fluktuatif. Perubahan nilai L pada buah jambu biji tersaji dalam Gambar 12.
Gambar 14 Perubahan nilai L jambu biji selama penyimpanan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa HWT tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai L buah jambu biji selama penyimpanan. Sedangkan suhu penyimpanan dan interaksinya dengan HWT berpengaruh terhadap perubahan nilai L buah jambu biji. Meskipun HWT tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai L, namun kedua grafik di atas menunjukkan bahwa pada akhir penyimpanan buah jambu biji setelah proses HWT selama 30 menit memiliki nilai L yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa HWT selama 30 menit dapat menurunkan kecerahan kulit buah jambu biji selama penyimpanan. Tingkat kecerahan pada buah jambu biji akan naik ketika kulit buah mulai berubah dari hijau tua menjadi hijau terang. Perubahan warna ini berlangsung seiring proses pematangan buah. Perubahan warna dari hijau tua menjadi hijau terang merupakan hasil dari sintesis karotenoid. Karotenoid merupakan senyawa pembawa pigmen warna merah dan kuning. Sehingga ketika karotenoid disintesis, warna kulit jambu biji yang semula berwarna hijau tua akan berubah menjadi hijau terang. Penurunan nilai L yang terjadi pada buah jambu biji setelah proses HWT diduga karena terhambatnya sintesis karotenoid sehingga warna buah tidak dapat berubah menjadi lebih terang.
Penentuan derajat warna diketahui melalui nilai kromatis (C*) yang diperoleh dari hasil transformasi nilai a* dan b*. Nilai kromatis didefinisikan sebagai intensitas warna atau kemurnian dari rona. Setelah diperoleh nilai kromatis selanjutnya dilakukan pemetaan warna dengan menggunakan diagram warna Munsell seperti yang dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil pemetaan warna buah jambu biji sebelum diberi perlakuan dan setelah empat hari penyimpanan, dapat diketahui bahwa warna buah yang sebelumnya berada pada kategori green yellow berubah menjadi kategori yellow pada suhu penyimpanan 28±2 oC. Sedangkan pada suhu penyimpanan 10±1 oC warna buah tidak berubah
28
Gambar 15 Perubahan warna buah jambu biji setelah empat hari penyimpanan Perubahan warna dari hijau kekuningan menjadi kuning terjadi akibat adanya degradasi klorofil sebagai pembawa pigmen warna hijau dan sintesis karotenoid sebagai pembawa pigmen warna merah dan kuning. Jain et al. (2003) melaporkan bahwa kandungan total klorofil, klorofil a, dan klorofil b pada buah jambu biji menurun seiring adanya peningkatan kandungan karotenoid selama proses pematangan. Penurunan kandungan klorofil terjadi sebagai akibat dari peningkatan aktifitas enzim pendegradasi klorofil, seperti klorofilase, klorofil oksidase, dan peroksidase selama proses pematangan (Tucker 1993).
Buah jambu biji setelah proses HWT cenderung berwarna lebih hijau dibanding buah kontrol selama penyimpanan. Pada buah yang diberi perlakuan air panas, pembentukan senyawa karotenoid dapat dihambat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Lurie et al. (1996) bahwa suhu diatas 30 oC diketahui dapat menghambat sintesis karotenoid. Penurunan kandungan klorofil dan peningkatan kandungan karotenoid merupakan fenomena normal yang terjadi selama proses pematangan buah. Suhu rendah diketahui dapat menekan proses pematangan dengan menghambat aktifitas metabolisme yang terjadi pada buah. Pada kondisi penyimpanan dengan suhu rendah, kerja enzim pendegradasi klorofil dan sintesis karotenoid akan terhambat sehingga warna buah tidak akan mengalami banyak perubahan.
Total Padatan Terlarut (TPT)
Bagian terbesar dari total padatan terlarut (TPT) adalah kandungan total gula dalam buah, sehingga banyaknya TPT yang terukur merupakan gambaran banyaknya kandungan gula total pada buah jambu biji yang diukur. Perubahan kandungan TPT pada jambu biji selama penyimpanan tersaji dalam Gambar 16. Sebelum HWT
HWT dan kontrol (10±1 oC)
29
Gambar 16 Total padatan terlarut jambu biji selama penyimpanan
Kandungan total padatan terlarut buah jambu biji setelah proses HWT mengalami perubahan yang bersifat fluktuatif. Terjadi kenaikan dan penurunan TPT jambu biji selama penyimpanan. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengukuran TPT pada setiap pengamatan menggunakan sampel yang berasal dari buah yang berbeda. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa HWT, suhu penyimpanan dan interaksinya tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan total padatan terlarut jambu biji. Hasil ini sejalan dengan Hasbullah (2002) yang melaporkan bahwa perlakuan panas tidak berpengaruh nyata pada perubahan TPT mangga irwin hingga 14 hari penyimpanan. Jacobi et al. (1995) juga mengemukakan bahwa perlakuan panas metode VHT dengan suhu 47 oC selama
30 menit tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan TPT buah mangga.
Berdasarkan grafik perubahan TPT pada Gambar 16, secara umum kandungan TPT jambu biji mengalami kenaikan selama penyimpanan walaupun tidak banyak. Kenaikan total padatan terlarut merupakan hal yang umum terjadi pada buah yang sedang dalam proses pematangan. Winarno (2002) menyatakan bahwa peningkatan total gula terjadi karena akumulasi gula sebagai hasil degradasi pati, karena selama pematangan terjadi hidrolisa polisakarida menjadi gula-gula sederhana. Perubahan tersebut terjadi secara enzimatik dengan bantuan enzim seperti intervertase, fosforilase, hidrolase, dan enzim lainnya. Besarnya laju degradasi pati menjadi gula sederhana dipengaruhi oleh suhu dan enzim sehingga semakin tinggi suhu, maka degradasi pati akan semakin cepat sampai batas tertentu dimana aktifitas enzim hidrolase akan terhambat (Pantastico 1989).
Buah jambu biji yang digunakan pada penelitian ini adalah buah jambu biji yang sudah tua secara fisiologis dan masih mengalami proses pematangan selama penyimpanan. Bashir dan Abu-Goukh (2003) melaporkan bahwa TPT dan total gula pada buah jambu biji meningkat selama pematangan seiring dengan penurunan tingkat kekerasan. Jain et al. (2003) juga melaporkan bahwa kandungan pati pada buah jambu biji menurun signifikan pada saat peralihan dari tingkat kematangan mature green ke tingkat kematangan overripe. Seiring dengan menurunnya kandungan pati karena proses degradasi, total gula pada buah jambu biji mengalami peningkatan yang signifikan.