• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota Per Provinsi Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota Per Provinsi Di Indonesia"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TAPAK AIR SEJUMLAH BAHAN MAKANAN

MASYARAKAT MENURUT DESA-KOTA

PER PROVINSI DI INDONESIA

RISA PEBRIANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota Per Provinsi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Risa Pebriana

(4)
(5)

ABSTRAK

RISA PEBRIANA. Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota per Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh Hidayat Pawitan.

Tapak air didefinisikan sebagai total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat suatu negara. Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi tapak air sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat dengan fokus penelitian berupa pola konsumsi pada 34 provinsi di Indonesia menurut desa-kota. Tapak air konsumsi dihitung untuk tahun 2010 dan proyeksi 2030 berdasarkan jumlah penduduk dan pola konsumsi desa-kota. Pola konsumsi pada penelitian ini diasumsikan tetap yaitu menggunakan data pola konsumsi 22 bahan makanan terpilih/pokok berdasarkan publikasi BPS pada tahun 2013. Rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per kapita di Indonesia adalah sebesar 447 m³/kapita/tahun. Tapak air konsumsi per kapita di perkotaan (448 m³/kapita/tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan (446 m³/kapita/tahun). Jawa Barat merupakan provinsi dengan tapak air tertinggi yaitu sebesar 19 milyar m³ pada tahun 2010 dan 35 milyar m³ pada tahun 2030. Tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 106 milyar m³ dengan jumlah penduduk 239 juta jiwa. Proyeksi tapak air konsumsi nasional pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa adalah sebesar 132 milyar m³ dengan persentase peningkatan sebesar 19.5%. Peningkatan tapak air konsumsi nasional untuk penduduk perkotaan sebesar 36.8% (53 milyar m³ menjadi 84 milyar m³), sedangkan pada tapak air konsumsi nasional penduduk pedesaan mengalami penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³ menjadi 48 milyar m³). Sejauh ini, besarnya tapak air konsumsi nasional masih dapat tercukupi oleh ketersediaan air pada sungai yang daerah pengalirannya lebih dari 1000 km² mencapai 318 milyar m³ pada tahun 2010.

(6)

ABSTRACT

RISA PEBRIANA. Water Footprint Analysis of Community Food Supply by Urban-Rural per Province in Indonesia. Supevised by Hidayat Pawitan.

The water footprint is defined as the total volume of fresh water that used to produce goods and services that consumed by the society in a nation. The aim of this study is to estimate the water footprint of food consumed by people with focus study in rural-urban consumption patterns of each provinces in Indonesia. Water footpritnt consumption is calculated for the years 2010 and its projection in 2030 based on population and consumption pattern in rural-urban area. Consumption patterns in this study are assumed stabble as consumption patterns of 22 main foods in 2013. The average water footprint consumption per capita in Indonesia is 447 m³/capita/year and it is higher in urban area (448 m³/capita/year) than rural area (446 m³/capita/year). West Java has the highest water footprint amongst all province of Indonesia. Water footprint national consumption of Indonesian is 106 billion m³ in 2010 by population of 239 million. The 2030 projection show s the water footprint national consumption is 132 billion m³ with population 296 million. Water footprint of national consumption for urban area increase 36.8% (53 billion m³ to 84 billion m³), whereas the water footprint national consumption of the rural area decrease 9.2% (53 billion m³ to 48 billion m³). However, the amount of the water footprint national consumption fufilled with water availability in drainage basin more than 1000 km² is 318 billion m³ in 2010.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Program Studi Meteorologi Terapan

ANALISIS TAPAK AIR SEJUMLAH BAHAN MAKANAN

MASYARAKAT MENURUT DESA-KOTA

PER PROVINSI DI INDONESIA

RISA PEBRIANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NIM : G24090021

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Pawitan Pembimbing Skripsi

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya, sifat Rahman dan Rahim-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota per Provinsi di Indonesia.

Banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih terutama kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Hidayat Pawitan selaku pembimbing yang sudah sangat bersabar dalam membimbing, memberi arahan dan masukan.

2. Ibu Dr Tania June, MSc dan Bapak Dr Rahmat Hidayat yang telah memotivasi dan membantu dalam segala proses penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Dr Bambang Dwi Dasanto, MSi dan Ibu Fithriya YR, MSi selaku

penguji.

4. Ayah, Ibu, Kakak dan Adik-adik atas segala motivasi, doa, dan kasih sayangnya.

5. Pak Azis dan jajaran staf TU yang telah membantu secara administatif serta doa dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Saudari-saudari RQ 1 IPB yang telah membersamai dalam setiap suka duka. 7. Gemilang 46, GFM 46, dan adik-adik GFM 47-48 atas support doa, semangat

dan kebersamaannya.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pola Konsumsi dan Kesejahteraan Masyarakat 2

Air Maya Produk 2

Tapak Air 3

METODE 4

Alat dan Bahan 4

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Deskripsi Data dan Kajian 9

Analisis Tapak Air Konsumsi 12

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 19

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai air maya pada setiap jenis bahan makanan 6 2 Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030 11

DAFTAR GAMBAR

1 Skema representasi komponen tapak air 3

2 Pola konsumsi penduduk Indonesia pada beberapa bahan makanan

penting (kg/kapita/tahun) 9

3 Tapak air konsumsi per kapita perkotaan dan pedesaan 12 4 Tapak air konsumsi provinsi daerah pedesaan 2010 14 5 Tapak air konsumsi provinsi daerah perkotaan 2010 14 6 Proyeksi tapak air provinsi daerah pedesaan 2030 16 7 Proyeksi tapak air provinsi daerah perkotaan 2030 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030 21 2 Persentase penduduk perkotaan dan pedesaan tahun 2010 dan 2030 22 3 Air maya pada beberapa jenis bahan makanan terpilih 23 4 Kuantitas konsumsi beberapa jenis bahan makananan siap olah per

provinsi tahun 2013 24

5 Tapak air konsumsi per provinsi antara desa dan kota tahun 2010 dan

proyeksi tahun 2030 (liter/tahun) 36

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia namun keberadaannya sangatlah terbatas. Sebagaimana diketahui, bahwa keberadaan air dibumi sebesar 97% dan hanya 2.5% berupa air tawar. Disamping itu, air yang dapat diakses untuk kegiatan konsumsi kurang dari 1% dari air tawar tersebut (Sosrodarsono 2006). Ketersediaan air yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Artinya, pertambahan penduduk akan meningkatkan permintaan air dan semakin lama air akan menjadi langka. Terbatasnya ketersediaan air mengakibatkan banyak negara yang harus mengkaji ulang kebijakan pengelolaan airnya dan menemukan penyebab sekaligus solusi untuk masalah ini.

Saat ini telah hadir sebuah konsep yang dapat membantu dalam mengevaluasi penggunaan air yaitu water footprint. Pertama kali konsep ini diperkenalkan oleh Hoekstra (2003). Water footprint (tapak air) dapat dipergunakan untuk menghitung jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi barang/jasa yang dikonsumsi oleh seseorang, sektor atau negara (Hoekstra et al.

2011). Tapak air erat kaitannya dengan air maya yang merupakan representasi dari jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu produk. Banyak negara yang telah menggunakan konsep ini untuk menghitung besarnya tapak air dalam ranah konsumsi (Ercin dan Hoekstra 2014, Hoekstra dan Chapagain 2007b). Menurut Hoekstra dan Chapagain (2007a) penggunaan sumber daya air pada akhirnya berhubungan erat dengan konsumsi. Hal ini kemudian menjadikan pola konsumsi sebagai salah satu faktor yang perlu dianalisis (Bulsink et al. 2010, Liu dan Savenije 2008).

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan 34 provinsi membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing provinsi memiliki jumlah penduduk dan pola konsumsi yang berbeda. Perbedaan pola konsumsi juga dapat dilihat berdasarkan desa-kota yang tentunya dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan kondisi setempat. Oleh karena itu, perlu diketahui tapak air konsumsi masyarakat Indonesia hingga desa-kota.

(14)

Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini diestimasi tapak air pada pola konsumsi masyarakat Indonesia dengan cakupan desa-kota setiap provinsi. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan air tidak langsung dapat dianalisis pada skala konsumsi yang mungkin dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air yang ada.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari studi ini adalah mengestimasi tapak air sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat dengan fokus penelitian berupa pola konsumsi setiap provinsi di Indonesia menurut desa-kota.

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Konsumsi dan Kesejahteraan

Menurut BPS (2014) pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut berpenghasilan rendah. Makin tinggi penghasilan rumah tangga, maka makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator sosial ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Masyarakat yang tinggal di pegunungan lebih banyak mengkonsumsi sayuran, sedangkan masyarakat yang tinggal di pantai umumnya mengkonsumsi ikan. Pola konsumsi makanan dapat dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat, namun untuk penyajian data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hanya berkaitan dengan pola makanan berupa kuantitas dari masing-masing jenis makanan yang dikonsumsi.

Air Maya Produk

Air maya (virtual water) yang terkandung dalam suatu produk didefinisikan sebagai total volume air tawar yang digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk menghasilkan produk (Allan 1998). Kandungan air maya dari suatu produk (komoditas, barang atau jasa) merupakan volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi produk, diukur dari tempat di mana produk tersebut diproduksi secara aktual (lokasi tempat produksi) dan berkaitan dengan “mata rantai” produksi (Hoekstra 2003, Renault 2002).

(15)

suatu produk tidak terkandung di produk itu sendiri. Kandungan air pada kondisi nyata dari produk tersebut umumnya dapat diabaikan.

Tapak Air

Tapak air didefinisikan sebagai total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat pada suatu negara (Hoekstra et al. 2011).Hoekstra (2003) menyebutkan tapak air sebagai alat yang dapat menunjukkan dampak kegiatan manusia terhadap sumber daya alam. Selanjutnya, Hoekstra et al. (2011) menerangkan bahwa penilaian tapak air terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1. Mengukur dan menemukan tapak air dari proses, produk, produsen atau konsumen di wilayah geografis tertentu.

2. Menilai kelestarian lingkungan, sosial dan ekonomi melalui tapak air ini. 3. Merumuskan strategi untuk merespon hal tersebut.

Hoekstra et al. (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsep ini berkaitan erat dengan konsep air maya sebagai penyumbang pemberian sumber daya alam pada konteks volume air yang dibutuhkan untuk konsumsi manusia (Hoekstra et al. 2009). Hoekstra dan Chapagain (2008) mengistilahkan tapak air sebagai kandungan air virtual atau air eksogen atau air maya yang terkandung dalam suatu produk. Sementara Liu dan Savenije (2008) mengatakan tapak air pada kategori produk yang spesifik, tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi jenis produk tersebut tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air maya dari produk. Tapak air pada produk pertanian umumnya diekspresikan dalam satuan m³/ton atau liter/kg.

Hoekstra et al. (2011) membagi tapak air menjadi tiga komponen yaitu

green water footprint (tapak air hijau), blue water footprint (tapak air biru), dan

grey water footprint (tapak air abu-abu) yang direpresentasikan pada skema Gambar 1. Berikut ini penjelasan skema tersebut.

(16)

1. Aliran balik (return flow) tidak termasuk komponen air biru.

2. Penggunaan air secara langsung tidak hanya pada komponen air biru, tetapi juga mencakup air hijau dan abu-abu.

3. Tapak air tidak terbatas pada penggunaan air secara langsung, tetapi juga mencakup penggunaan air tidak langsung.

(Flanchman et al. 2012) menjelaskan proses tapak air hijau tergantung pada curah hujan efektif dan evapotranspirasi dari tanaman, sedangkan tapak air biru tambahan dipengaruhi irigasi. Tapak air biru didefinisikan sebagai air irigasi dari air tanah dan air permukaan. Menurut konsep ini, definisi tapak air biru adalah air hujan yang merembes ke air tanah, atau curah hujan yang mengalir dari tanah ke sungai dan laut. Tapak air abu-abu merupakan volume air yang tercemar selama proses produksi. Hal ini dapat dikuantifikasikan dengan menghitung jumlah air yang dibutuhkan untuk mengencerkan polutan yang kembali ke sistem air alamiah Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya pada sumber daya alam tanah dan energi, beberapa penelitian tentang air telah dilakukan berkaitan dengan hubungan ketersediaan sumber daya terhadap pola konsumsi. Selain itu kajian mengenai dampak pola makan terhadap kebutuhan air telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan yang mengkaji dampak pola makan terhadap kebutuhan air. Zimmer dan Renault (2003) mengemukakan bahwa manusia membutuhkan air setidaknya 1000 liter/kapita/hari pada pola makan dalam standar bertahan hidup. Sementara pada konsumsi produk hewani, setidaknya dibutuhnya air sebanyak 10.000 liter air/kapita/hari.

Liu dan Savenije (2008) menganalisis kebutuhan air berdasarkan tapak air pada pola makanan di Cina. Pola makanan pada penelitian tersebut dibagi menajdi 3 tingkatan yaitu tingkat dasar, tingkat substansi dan tingkat budaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan air per kapita untuk makanan di Cina mengalami peningkatan dari 255 m³ kapita/tahun pada tahun 1961 menjadi 860 m³ kapita/tahun pada tahun 2030, terutama karena peningkatan konsumsi produk hewani dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun terus meningkat, kebutuhan air pada per kapita melalui konsumsi makanan di China masih jauh lebih rendah dibandingkan negara maju dengan prediksi pada tahun 2030 untuk makanan sebesar 1127 km3/tahun. Mekonnen dan Hoekstra (2011) menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk suatu negara, semakin besar pula tapak airnya. Sebagai contoh, China memiliki tapak air konsumsi tertinggi yaitu sebesar 1368 juta m³/tahun, kemudian India dan Uni Soviet sebesar 1145 juta m³/tahun dan 821 juta m³/tahun. Negara dengan tapak air terkecil yaitu UK dengan tapak air sebesar 1258 m³/tahun. Hal ini disebabkan jumlah penduduk China lebih banyak dibandingkan India dan Uni Soviet.

METODE

Alat dan Bahan

(17)

1. Data survei ekonomi nasional (Susenas) (BPS 2013b).

2. Data sensus penduduk tahun 2010 yang terdiri dari jumlah penduduk tahun 2010 dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata per provinsi untuk 34 provinsi (BPS 2015a).

3. Data proyeksi persentase penduduk di perkotaan tahun 2010 dan 2030 untuk 34 provinsi (BPS 2015b).

4. Data air maya tanaman dan produk tanaman berupa nilai air maya hijau, biru, dan abu-abu untuk setiap tanaman atau produk bahan makanan yang berasal dari tanaman (Mekonnen dan Hoekstra 2010a).

5. Data air maya hewan dan produk hewan berupa nilai air maya hijau, biru, dan abu-abu untuk setiap jenis hewan/produk yang berasal dari hewan (Mekonnen dan Hoekstra 2010a).

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain: Studi pustaka, pengumpulan data sekunder konsumsi penduduk Indonesia, analisis data pola konsumsi, proyeksi jumlah penduduk tahun 2030, estimasi tapak air konsumsi per kapita dan estimasi tapak air nasional. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing tahapan.

Analisis Data Konsumsi

Jenis data yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil survei yang dilakukan oleh BPS yaitu data Susenas. Data yang dianalisis adalah data volume konsumsi sebulan tahun pada bulan maret tahun 2013 dengan sampel sebanyak 75.000 rumah tangga. Data tersebut tersaji ke dalam jangkauan nasional dan provinsi yang dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Kuantitas konsumsi tersebut berupa bahan makanan penting yang dimasak/disiapkan rumah tangga, bukan makanan siap saji. Data bahan makanan ini berjumlah sebanyak 25 jenis. Namun, pada penelitian ini hanya diambil sebanyak 22 jenis bahan makanan karena menyesuaikan dengan ketersediaan data air maya dari bahan makanan tersebut (Tabel 1). Pada data kuantitas konsumsi, asumsi nilai dianggap sama untuk 2010 dan proyeksi tahun 2030 disebabkan ketersediaan data kuantitas konsumsi bahan makanan pokok per provinsi yang belum ditemukan untuk tahun sebelum tahun 2013.

Proyeksi Jumlah Penduduk

(18)

Analisis Air Maya pada Bahan Makanan

Air maya dari produk makanan berasal dari dua sumber yaitu sumber tanaman dan hewan. Air maya yang berasal dari tanaman dihitung mulai dari menghitung evapotranspirasi, presipitasi, infiltrasi, irigasi hingga air pollutan. Air maya produk makanan yang berasal dari hewan, untuk menghitung dimulai dari kebutuhan minum, kandang, pakan yang dimakan dan seterusnya. Sehingga untuk mengasilkan sebuah produk makanan akan membutuhkan berliter-liter air. Metode yang digunakan Mekonnen dan Hoekstra (2010a, 2010b) merujuk pada metode yang digunakan oleh Chapagain dan Hoekstra (2004) untuk menghitung air maya tanaman dan hewan serta metodologi yang digunakan oleh FAO Allen et al. (1998) yang lebih detail menjelaskan metodologi kebutuhan air pada tanaman.

Tabel 1 Nilai air maya pada setiap jenis bahan makanan

Jenis Bahan Makanan Nilai Air Maya (liter/kg) Hijau Biru Abu-abu Total Beras lokal/ketan* 2149 263 261 2673 Jagung basah dengan kulit* 1368 36 327 1731 Jagung pocelan/pipilan* 1471 38 352 1861

Ketela pohon* 420 28 448

Keterangan : * Mekonnen dan Hoekstra 2010a, ** Mekonnen dan Hoekstra 2010b

(19)

karena pada penelitian ini diasumsikan bahwa data kuantitas konsumsi dan nilai air maya beberapa jenis bahan makananan adalah tetap. Berikut ini adalah nilai air maya yang digunakan (tabel 1)

Estimasi Tapak Air Konsumsi

Tapak air konsumsi merupakan jumlah air yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa yang dikonsumsi oleh seseorang, sektor atau negara. Secara sederhana tapak air konsumsi merupakan air yang secara tidak langsug dikonsumsi manusia melalui makanannya. Estimasi tapak air konsumsi diawali dengan mengetahui nilai air maya per kelompok bahan makanan yang didapat dari hasil penelitian Mekonnen dan Hoekstra (2010a) yang kemudian dikalikan dengan kuantitas konsumsi produk tersebut. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Hoekstra 2011): Objek estimasi tapak air konsumsi tergantung pada sasaran konsumen. Estimasi tapak air pada penelitian ini terbagi menjadi tiga sasaran kajian yaitu tapak air konsumsi per kapita, tapak air konsumsi penduduk per provinsi menurut desa-kota dan tapak air nasional menurut desa-kota.

1. Tapak air konsumsi per Kapita

Tapak air konsumsi per kapita pada penelitian ini dibagi menjadi tapak air konsumsi per kapita untuk desa dan tapak air konsumsi per kapita untuk kota. Estimasi tapak air desa-kota tergantung pada pola konsumsi di dua daerah tersebut. Data pola konsumsi yang digunakan berasal dari data BPS (2013b). Pola konsumsi berdasarkan data ini kemudian diasumsikan tetap sehingga dapat digunakan untuk tahun 2010 dan 2030.

2. Tapak Air Konsumsi Provinsi

Tapak air konsumsi per provinsi dibedakan antara desa-kota. Estimasi tapak air berhubungan dengan jumlah penduduk setiap provinsi. Perhitungan jumlah penduduk desa kota didapat jika tapak air per kapita telah diketahui maka dapat diakumulasi berdasarkan jumlah penduduk. Maka tapak air disetiap provinsi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(20)

Keterangan : Pola konsumsi yang berbeda menunjukkan bahwa pola konsumsi dipengaruhi oleh faktor budaya dan lingkungan setempat. Secara tidak langsung, hal ini dapat menggambarkan kondisi tapak air setiap provinsi dapat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Namun, kajian ini lebih difokuskan untuk melihat seberapa besar tapak air meningkat dengan semakin bertambahnya penduduk. Oleh karena itu, estimasi tapak air dihitung untuk tahun 2010 dan 2030 setiap provinsi yang terbagi atas desa-kota dengan asumsi pola konsumsi di tahun 2010 dan 2030 dianggap tetap dengan data yang digunakan adalah pola konsumsi tahun 2013. Jumlah penduduk provinsi didapat dari BPS (2015b) untuk tahun 2010 dan proyeksi 2030 yang diketahui persentase penduduk perkotaan, sehingga jumlah penduduk desa-kota dapat dihitung.

3. Tapak Air Konsumsi Nasional

Estimasi tapak air nasional merupakan akumulasi total tapak air per provinsi atau total tapak air konsumsi per kapita. Dapat dirumuskan sebagai berikut.

Keterangan :

= Tapak air konsumsi produk dalam skala nasional (kg/tahun) = Tapak air pada konsumsi produk per kapita nasional (liter/kg) ∑ = Kuantitas konsumsi produk dalam skala nasional (kg/tahun)

Estimasi tapak air konsumsi dilakukan untuk menunjukkan nilai kebutuhan air secara tidak langsung di Indonesia. Kemudian perbedaan tapak air desa-kota tersebut dianalisis. Perbedaan tapak air pada desa-kota diindikasikan oleh pola konsumsi antar desa-kota yang berbeda. Menurut BPS (2014) pola konsumsi merupakan salah satu faktor yang menunjukan kondisi ekonomi suatu daerah dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat.

(21)

HASIL DAN PEMBAHASAN

DESKRIPSI DATA DAN KAJIAN

Pola dan Jenis Konsumsi

Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator sosial ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Artinya pola konsumsi dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui proporsi pengeluaran pangan atau non pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan maka kesejateraan akan semakin rendah atau rentan Secara umum, BPS (2013a) mencatat proporsi pengeluaran masyarakat untuk makanan di Indonesia sebesar 50.66% dengan proporsi di desa 59.19% dan di kota 40.81%. Kondisi masyarakat Indonesia sebagai negara agraris secara otomatis menempatkan beras sebagai makanan utama sehingga kuantitas konsumsinya akan lebih tinggi dibandingkan makanan lain (Gambar 2).

Provinsi dengan kuantitas beras tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat dengan volume konsumsi sebesar 115 kg/kapita/tahun (Lampiran 4). Angka konsumsi beras teredah adalah Papua dengan volume konsumsi 42 kg/kapita/tahun. Akan tetapi provinsi Papua memiliki volume konsumsi tertinggi pada ketela rambat sebesar 128 kg/kapita/tahun. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki volume konsumsi tertinggi pada bahan makanan jagung basah (7 kg/kapita/tahun) dan jagung pipilan (20 kg/kapita/tahun). Provinsi Kepulauan riau

(22)

memiliki volume konsumsi tertinggi di beberapa bahan makanan yaitu daging sapi/kerbau (1,3 kg/kapita/tahun), daging ayam (11 kg/kapita/tahun), telur (16 kg/kapita/tahun), susu kental manis (3 kg/kapita/tahun), susu bubuk (7 kg/kapita/tahun), dan gula pasir (15 kg/kapita/tahun). Provinsi Maluku memiliki volume konsumsi tertinggi pada bahan makanan ketela pohon (23 kg/kapita/tahun) dan gaplek (0,5 kg/kapita/tahun). Provinsi Sumatera Barat memiliki volume konsumsi tertinggi pada bahan makan bawang merah (4 kg/kapita/tahun), cabe merah (7 kg/kapita/tahun), dan kelapa (42 kg/kapita/tahun). beberapa komoditas lain seperti tahu, dikonsumsi tertinggi di Jawa Timur (13 kg/kapita/tahun), tempe di Yogyakarta (12 kg/kapita/tahun), minyak kelapa di Jambi (11 kg/kapita/tahun).

Kuantitas konsumsi makanan khususnya makanan pokok yang berasal dari tumbuhan (nabati) lebih tinggi di Desa. Sebaliknya, kuantitas makanan yang bersumber dari hewan (hewani) rendah. Umumnya penduduk pedesaan dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai petani lebih mudah mengakses bahan makanan nabati sehingga secara kuantitas konsumsi bahan makanan nabati di desa lebih tinggi. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat desa lebih rendah daripada kota.

Pola konsumsi akan berubah seiring dengan adanya perubahan pendapatan rumah tangga. Berdasarkan selera, menurut Hukum Engel menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan. Mengikuti Hukum ini, proyeksi pola konsumsi di tahun 2030 diasumsikan sama dengan pola konsumsi di tahun 2013 dengan faktor perubahan pendapatan diabaikan.

Laju dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 238 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan menigkat sebesar 29.5% menjadi 296 juta jiwa. Tahun 2010 pulau Jawa memiliki penduduk sekitar 238.5 juta jiwa. Pada tahun ini jumlah penduduk terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebanyak 43.2 juta jiwa. Proyeksi penduduk Pulau Jawa di tahun 2030 meningkat sebesar 16.3% menjadi 163.8 juta jiwa. Pulau Sumatera menduduki peringkat jumlah penduduk terbesar kedua. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Pulau Sumatera sebanyak 50.9 juta jiwa. Kemudian di tahun 2030 jumlah penduduk Pulau Sumatera diproyeksi meningkat sebesar 22.9% menjadi 65.9 juta jiwa. Provinsi dengan penduduk yang terbanyak di pulau Sumatera adalah Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 13 juta jiwa dan diproyeksi akan meningkat di tahun 2030 menjadi 15.8 juta jiwa. Kemudian penduduk paling sedikit di Pulau ini yaitu provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan jumlah penduduk sebanyak 1.2 juta jiwa pada tahun 2010 dan diproyeksi meningkat sebanyak 1.8 juta jiwa pada tahun 2030.

(23)

sebelumnya 13.9 juta jiwa menjadi 19.3 juta jiwa. Pulau Maluku diproyeksi akan mengalami peningkatan penduduk sebesar 28.3% dari total penduduk di tahun 2010 sebanyak 2.6 juta jiwa menjadi 3.6 juta jiwa. Pulau Papua akan mengalami peningkatan jumlah penduduk di tahun 2030 sebanyak 5.1 juta jiwa. Pertambahan penduduk ini meningkat sebesar 29.5% dari tahun 2010 dengan jumlah penduduk sebesar 3.6 juta jiwa.

Tabel 2 Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030

Provinsi Tahun

Laju pertumbuhan penduduk akan memberikan efek secara langsung yaitu

demand konsumsi makanan meningkat dan efek tidak langsung yaitu terhadap pemukiman dan tapak air. Bertambahnya pemukiman secara otomatis akan mengubah lahan menjadi tempat tinggal. Sedikitnya lahan akan mengurangi produktivitas sehingga ketersediaan bahan makanan dari hasil pertanian akan sedikit. Tapak air yang notabene-nya merupakan interpretasi kebutuhan air dari konsumsi sebuah produk/makanan akan meningkat seiring pertambahan penduduk. Sumber daya air jika tidak dikelola dengan baik tidak akan mencukupi kebutuhan air masyarakat. Akhirnya hal ini perlu menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk mengantisipasi krisis makanan dan air.

Air Maya

Masing-masing jenis bahan makanan pada penelitian ini telah dihitung kandungan air maya oleh Mekonnen dan Hoekstra (2010a, 2010b). Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan air maya pada produk nabati dan hewani memiliki perbedaan nilai yang cukup tinggi. Kandungan air maya pada produk nabati tertinggi terdapat pada produk makanan yang berasal dari kedelai yaitu berupa tempe sebanyak 10% (7421 liter/kg). Kemudian berikutnya terdapat pada tahu sebanyak 7% (4976 liter/kg) dan kedelai 6% (4230 liter/kg). Padi yang menjadi komoditas utama di Indonesia memiliki kandungan air maya sebanyak 4% (2673 liter/kg). Pada produk hewani kandungan air maya memberikan kontribusi sebesar 56% dari total ke 22 jenis bahan makanan tersebut.

(24)

supply chain air maya pada produk hewani berasal dari alur yang lebih panjang. Air maya produk hewani berawal dari air maya konsumsi pakan (tanaman). Kemudian ditambah air minum dan jasa pelayanan air sepanjang hidup hewan tersebut. Air maya pada bahan makanan nabati (tanaman) dihitung berdasarkan kebutuhan air tanaman (KAT) terhdadap produktifitas. Namun demikian, kandungan air maya bagi berbagai produk sangat bervariasi dari tempat ke tempat, tergantung pada cuaca, teknologi yang digunakan untuk memproduksi pertanian dan besaran masing-masing produksinya.

ANALISIS TAPAK AIR KONSUMSI

Tapak air konsumsi per kapita

Tapak air konsumsi per kapita merupakan akumulasi dari banyaknya air maya terhadap kuantitas dan jenis bahan makanan yang di konsumsi. Sebanyak 22 jenis bahan makanan dihitung berdasarkan air maya untuk 34 provinsi di Indonesia menurut desa-kota. Gambar 3 menunjukkan rata-rata tapak air pada konsumsi produk makanan yang digolongkan berdasarkan asal produknya yaitu berasal dari tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani).

Rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per kapita di Indonesia adalah sebesar 447 ribu liter/kapita/tahun yang terinci sebagai berikut. Sebesar 372 ribu liter/kapita/tahun untuk makan nabati dengan rata-rata untuk pedesaan dan perkotaan sebesar 390 liter/kapita/tahun dan 352 ribu liter/kapita/tahun. Rata-rata tapak air konsumsi bahan makanan hewani masyarakat Indonesia adalah sebesar 76 ribu liter/kapita/tahun dengan rata-rata di pedesaan dan perkotaan sebesar 270

(25)

ribu liter/kapita/tahun dan 95 ribu liter/kapita/tahun. Prediksi tapak air konsumsi per kapita untuk tahun 2010 dan tahun 2030 menggunakan data tahun 2013. Hal ini disebabkan data tidak tersedia secara lengkap, sehingga diasumsikan pola konsumsi untuk tahun 2010 dan 2030 tidak jauh berbeda dengan pola konsumsi tahun 2013. Secara umum, tapak air konsumsi per kapita untuk 22 jenis bahan makanan terpilih di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan.

Daerah pedesaan umumnya memiliki tapak air pada konsumsi bahan makanan nabati yang lebih tinggi kecuali di Jawa dan Papua. Tapak air konsumsi bahan makanan perkapita di pedesaan tertinggi terdapat di wilayah Bali dan Nusa tenggara sebesar 399 ribu liter/kapita/setahun. Tapak air terendah terdapat di wilayah Papua sebesar 269 ribu liter/kapita/tahun. Tapak air di daerah pedesaan untuk bahan makanan hewani tertinggi terdapat di Kalimantan (83 ribu liter/kapita/tahun) dan terendah terdapat di Maluku (29 ribu liter/kapita/tahun).

Perbedaan nilai tapak air pada bahan makanan di desa dan kota disebabkan oleh perbedaan pola konsumsi. Masyarakat kota memiliki tapak air konsumsi pada bahan makanan nabati yang lebih rendah sedangkan tapak air bahan makanan hewani lebih tinggi. Kondisi ini dapat dikarenakan masyarakat pedesaan lebih dominan mengkonsumsi bahan makanan nabati dibandingkan bahan makanan hewani.

Adanya perbedaan tapak air ini salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan pola konsumsi yang mencerminkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan (BPS 2014). Kondisi ekonomi masyarakat pedesaan yang umumnya lebih rendah dibandingkan perkotaan pun dapat menjadi penyebab adanya perbedaan nilai tapak air bahan makanan. Akibatnya daya beli atau pengeluaran untuk konsumsi makanan pokok masyarakat pedesaan cenderung pada bahan makanan nabati. Sedangkan masyarakat perkotaan cenderung memiliki pengeluaran pada bahan makanan hewani yang lebih besar sehingga kuantitas konsumsinya pun lebih banyak (BPS 2013b). Berdasarkan besar kecilnya tapak air konsumsi per kapita tergantung pada jenis dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi. Contohnya, daging memiliki nilai air maya paling besar, namun karena kuantitas konsumsinya sedikit sehingga tapak air per kapita pada daging kecil. Berbeda dengan beras misalnya yang merupakan bahan makanan pokok penduduk Indonesia. Meskipun nilai air maya kecil, dengan kuantitas konsumsi yang besar makan nilai tapak air per kapita akan besar pula.

Tapak air konsumsi provinsi

Nilai tapak air konsumsi setiap provinsi tergantung pada pola konsumsi dan jumlah penduduk. Tapak air provinsi dihitung pada tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030 dengan asumsi pola konsumsi tetap, mengikuti data pola konsumsi 2013 (BPS 2013b). Kemudian tapak air konsumsi penduduk per provinsi sebanding dengan jumlah penduduk di tiap provinsi tersebut.

(26)

hanya 17.2% dari total penduduknya yang tercatat sebesar 1.6 juta jiwa. Disamping itu, tapak air konsumsi penduduk perkotaan tahun 2010 tertinggi terdapat di Jawa Barat sebesar 12.4 milyar m³/tahun (Gambar 5) dengan persentase penduduk kota sebesar 65.7%. Tapak air konsumsi penduduk terendah di perkotaan terdapat di Kep. Riau sebesar 68 milyar m³/tahun dan persentase penduduk kota sebesar 82.8%. Secara umum, Jawa Barat memiliki prosi tapak air

Gambar 4 Tapak air provinsi daerah pedesaan tahun 2010

(27)

tertinggi sebesar 17.7% berbeda tipis dengan jawa Timur sebesar 17.5%. Hal ini dominan dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Lebin lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Proporsi penduduk perkotaan di tahun 2010 mayoritas lebih dari 50% jumlah penduduk masing-masing provinsi. Tentunya jumlah penduduk tidak menjadi satu-satunya faktor. Namun hal ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain yaitu kuantitas konsumsi dan jenis konsumsi. Semakin banyak jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, semakin besar pula tapak air konsumsi. Begitupun dengan jenis konsumsi. Beberapa jenis bahan makanan memiliki kebutuhan air (air maya) yang tinggi. Jika dikonsumsi semakin banyak, maka akan meningkatkan tapak air konsumsi suatu daerah (Hoekstra dan Chapagain 2007).

Secara umum, tapak air konsumsi di Indonesia akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi BPS, pada tahun 2030 beberapa provinsi terjadi peningkatan jumlah penduduk hingga lebih dari 20% (Lampiran 1). Berdasarkan Gambar 6 dan 7, diproyeksi terjadi peningkatan tapak air konsumsi di seluruh provinsi pada tahun 2030. Jika dibedakan antara desa-kota, terdapat beberapa penurunan nilai tapak air konsumsi penduduk desa di tahun 2030. Beberapa desa tersebut terdapat di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan dengan penurunan dari tahun 2010 masing-masing sebesar 30.9%, 30.6%, 11.5%, 32,3%, 22%, 32%, 11.1%, 18.7%, 22% dan 7.6%, 46.7%. Sebaliknya, tapak air konsumsi penduduk perkotaan secara keseluruhan meningkat. Hal ini sebanding dengan proyeksi peningkatan penduduk di kota pada tahun 2030.

Persentase peningkatan tapak air konsumsi di perkotaan tertinggi yaitu provinsi Kep. Riau (94%), sedangkan persentase peningkatan tapak air terendah yaitu provinsi DKI Jakarta (20.5%). Kemudian persentase peningkatan tapak air konsumsi penduduk pedesaan tertinggi yaitu Kep. Riau (93.2%), persentase peningkatan terendah yaitu Kalimantan Barat (3.69%). Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Proyeksi penduduk di tahun 2030 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Semua provinsi mengalami peningkatan kuantitas penduduk kota, yang berakibat menurunnya jumlah penduduk di desa (BPS 2015b). Hal ini dapat terjadi disebabkan adanya migrasi peduduk desa ke kota. Namun, beberapa provinsi masih memiliki proporsi penduduk desa dengan angka lebih dari 50%. Diantaranya adalah provinsi Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua (Lampiran 2).

(28)
(29)

Tapak Air Konsumsi Nasional

Tapak air konsumsi nasional secara umum akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Diketahui bahwa pada tahun 2010 tercatat jumlah penduduk Indonesia sebesar 239 juta jiwa (BPS 2015). Jika diperhitungkan, tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebesar 106 milyar m³ dengan asumsi pola konsumsi tetap menggunakan pola konsumsi tahun 2013. Proyeksi tapak air konsumsi nasional pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa adalah sebesar 132 milyar m³ dengan persentase peningkatan sebesar 19.5%. Peningkatan tapak air konsumsi nasional untuk penduduk perkotaan sebesar 36.8% (53 milyar m³ menjadi 84 milyar m³), sedangkan pada tapak air konsumsi nasional penduduk pedesaan mengalami penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³ menjadi 48 milyar m³). Hal ini disebabkan karena diproyeksi akan terjadi penurunan jumlah penduduk desa pada provinsi tersebut. Sebaliknya, jumlah penduduk diproyeksi diproyeksi bertambah akibat kemungkinan adanya migrasi desa-kota.

Berdasarkan data BPS (2015a) di tahun 2010 pasokan air tersedia pada beberapa sungai yang pengalirannya lebih dari 1000 km³ sebanyak 318 milyar m³. Jika dibandingkan dengan total tapak air konsumsi, volume air ini masih mencukupi untuk memenuhi tapak air konsumsi masyarakat di tahun 2010 dan tahun 2030. Namun, meskipun pasokan air masih tersedia, masih tetap diperlukan upaya penghematan air. Hal ini disebabkan pada penelitian ini terbatas pada konsumsi 22 jenis bahan makanan saja, belum termasuk konsumsi air secara langsung dan konsumsi air pada sektor lain.

Sejauh ini total tapak air pada konsumsi 22 jenis yang dibahas pada penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara pola konsumsi (dengan asumsi pola konsumsi menggunakan pola tahun 2013) dan pertumbuhan penduduk terhadap kebutuhan air baik di level kota-desa, provinsi maupun nasional. Total tapak air umumnya dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu volume konsumsi, pola konsumsi, kondisi iklim, dan efisiensi penggunaan air pada kegiatan pertanian (Hoekstra dan Chapagain 2007). Menurut Ercin dan Hoekstra (2014) faktor yang mempengaruhi total tapak air yaitu pertumbuhan penduduk, perubahan produksi dan perdagangan produk pertanian serta pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian hanya dibahas faktor pertumbuhan penduduk dan volume konsumsi memiliki pengaruh dominan untuk menentukan total tapak air sehingga faktor-faktor lainnya tidak dibahas secara detail.

(30)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Estimasi tapak air pada konsumsi 22 jenis bahan makanan dilakukan terhadap 34 provinsi di Indonesia menurut desa-kota. Berdasarkan hasil estimasi tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per kapita di Indonesia adalah sebesar 447 ribu liter/kapita/tahun dengan asumsi pola konsumsi dianggap tetap, menggunakan pola konsumsi yang tercatat di BPS pada tahun 2013. Tapak air konsumsi per kapita di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan dengan nilai 448 ribu liter/kapita/hari dan 446 ribu liter/kapita/hari. Adanya perbedaan tapak air konsumsi per kapita disebabkan karena kuantitas konsumsi. Konsumsi di daerah pedesaan lebih tinggi pada bahan makanan nabati sedangkan konsumsi di perkotaan tinggi di bahan makanan hewani.

Diketahui bahwa pada tahun 2010 tercatat jumlah penduduk Indonesia sebesar 239 juta jiwa. Tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebesar 106 milyar m³ dengan asumsi pola konsumsi tetap menggunakan pola konsumsi tahun 2013. Proyeksi tapak air konsumsi nasional pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa adalah sebesar 132 milyar m³ dengan persentase peningkatan sebesar 19.5%. Peningkatan tapak air konsumsi nasional untuk penduduk perkotaan sebesar 36.8% (53 milyar m³ menjadi 84 milyar m³), sedangkan pada tapak air konsumsi nasional penduduk pedesaan mengalami penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³ menjadi 48 milyar m³). Sejauh ini, besarnya tapak air konsumsi nasional masih dapat ditutupi dengan ketersediaan air pada sungai yang pengalirannya lebih dari 1000 km m³ mencapai 318 milyar meter kubik pada tahun 2010. Namun, upaya penghematan air tetap harus dilakukan mengingat kajian dalam penelitian ini terbatas pada 22 jenis bahan makanan pokok saja.

Saran

Perhitungan tapak air pada penelitian ini hanya terbatas konsumsi pangan pokok manusia. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai berdasarkan estimasi tapak air pada produksi bahan makanan tersebut agar dapat dilakukan penilaian terhadap surplus/defisit air di suatu tempat.

DAFTAR PUSTAKA

Allan JA.1998. Virtual water: a strategic resource. Global solutions to regional deficits. Groundwater. 36(4):545-546.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013a. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, Maret 2013. Katalog BPS:3201004.

(31)

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014a. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2014.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015c. Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi 2010-2035. [diunduh 4 November 2015]. Tersedia pada: http//bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1276

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015c. Proyeksi Penduduk Menurut Provinsi 2010-2035. [diunduh 4 November 2015]. Tersedia pada:http//bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274;

[BSN] Badan Standar Nasional. 2002. Penyusunan Neraca Sumber Daya Bagian 1. SNI 19-6728.1-2002. ICS 13.060.10

Bulsink F, Hoekstra AY, dan Booij MJ. 2010. The water footprint of Indonesian provinces related to the consumption of crop products. Hydrol. Sci. Vol 14: 119–128.

Ercin AE dan Hoekstra AY. 2014. Water footprint scenarios for 2050: A global analysis. Science Direct. 64 (2014) 71–82.

Flanchman et al. 2012. Water Footprint of Food Product in Germany. Statistisches Bundesamt. Article number: 5851302 – 12900 – 4

Hoekstra dan Hung. 2002. Virtual Water TradeA Quantification Of Virtual Water Flows Between NationsIn Relation To International Crop Trade. Value Of Water Research Report Series No. 11. IHE DELFT: Netherlands.

Hoekstra AY. 2003. Virtual Water : an Introduction. Proceedings of the International Expert Meeting on Virtual Water Trade. IHE Delft (NL). Netherlands.

Hoekstra AY dan Chapagain AK. 2007a. Water footprints of nations: Water use by people as a function of their consumption pattern. Water Resour Manage.

Vol 21:35–48.

Hoekstra AY dan Chapagain AK. 2007b. The water footprints of Morocco and the Netherlands: Global water use as a result of domestic consumption of agricultural commodities. Elsevier. Vol. 64:143-151

Hoekstra AY, Chapagain AK, Aldaya MM dan Mekonnen MM. 2009. Water Footprint Manual. State of the Art. Water Footprint Network. Enschede, the Netherlands

Hoekstra AY, Chapagain, AK, Aldaya MM dan Mekonnen MM. 2011. The Water Footprint Assessment Manual: Setting the global standard. London (UK): Earthscan.

Liu J dan Savenije HHG. (2008). Food consumption patterns and their effect on water requirement in China. Earth Syst. Vol 12 : 887–898.

(32)

Mekonnen MM dan Hoekstra AY. 2010b. The Green, Blue and Grey Water Footprint of Farm Animals and Animal Products. Report 48. Delft (NL): UNESCO-IHE Institute for Water Education.

Renault D. 2002. Value of Virtual Water for Food: Principles and features. Delft (NL): FAO.

Rusli Said. 2010. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta (ID): LP3ES.

Sosrodarsono Suyono. 2006. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita.

(33)

Lampiran 1 Jumlah penduduk Indonesia 2010 dan prediksi 2030

Provinsi Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah Penduduk

2000-2010 2010 2030

Aceh 2.36 4523100 6227600

Sumatera Utara 1.10 13028700 15763700

Sumatera Barat 1.34 4865300 5968300

Riau 3.58 5574900 8643300

Jambi 2.56 3107600 4142300

Sumatera Selatan 1.85 7481600 9345200

Bengkulu 1.67 1722100 2264300

Lampung 1.24 7634000 9026200

Kepulauan Bangka Belitung 3.14 1230200 1788900

Kepulauan Riau 4.95 1692800 2768500

DKI Jakarta 1.41 9640400 11310000

Jawa Barat 1.90 43227100 55193800

Banten 2.78 10688600 15201800

Jawa Tengah 0.37 32443900 36751700

DI Yogyakarta 1.04 3467500 4220200

Jawa Timur 0.76 37565800 41077300

Bali 2.15 3907400 4765400

Nusa Tenggara Barat 1.17 4516100 5583800

Nusa Tenggara Timur 2.07 4706200 6402200

Kalimantan Barat 0.91 4411400 5679200

Kalimantan Tengah 1.79 2220800 3273600

Kalimantan Selatan 1.99 3642600 4814200

Kalimantan Timur 3.81 3576100 5497000

Sulawesi Utara 1.28 2277700 2696100

Sulawesi Tengah 1.95 2646000 3480600

Sulawesi Selatan 1.17 8060400 9521700

Sulawesi Tenggara 2.08 2243600 3237700

Gorontalo 2.26 1044800 1370200

Sulawesi Barat 2.68 1164600 1647200

Maluku 2.80 1541900 2104200

Maluku Utara 2.47 1043300 1499400

Papua Barat 3.71 765300 1200100

Papua 5.39 2857000 3939400

INDONESIA 1.49 238518800 296405100

(34)
(35)

Lampiran 3 Air maya pada beberapa jenis bahan makanan terpilih

Jenis Bahan Makanan Air Maya (liter/kg) TOTAL

Hijau Biru Abu

Beras lokal/ketan 2149 263 261 2673

Jagung basah dengan kulit 1368 36 327 1731

Jagung pocelan/pipilan 1471 38 352 1861

Ketela pohon 420 28 448

Ketela rambat 564 17 37 618

Gaplek 420 28 448

Bawang merah 176 44 51 271

Bawang putih 1421 27 189 1637

Cabe merah 1003 13 207 1223

Cabe rawit 1003 13 207 1223

Kacang kedelai 3938 210 82 4230

Tahu 4632 247 97 4976

Tempe 6908 369 144 7421

Minyak kelapa/jagung/lainnya 4067 16 4083

Kelapa 1161 5 1166

Gula pasir 166 48 12 226

Daging sapi/kerbau* 14414 550 451 15415

Daging ayam ras/kampung* 3545 313 467 4325

Telur ayam ras/kampung* 2592 244 429 3265

Telur itik/manila/asin* 2592 244 429 3265

Susu kental manis* 3622 157 145 3924

Susu bubuk bayi* 9054 393 362 9809

(36)

Lampiran 4 Kuantitas konsumsi beberapa jenis bahan makananan siap olah per provinsi tahun 2013 (sebulan)

No Jenis Bahan Makanan Satuan ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT

Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata

1 Beras lokal/ketan Kg 84,88 101,62 96,89 78,83 107,06 93,17 75,11 97,81 89,02

2 Jagung basah dengan kulit Kg 0,39 0,16 0,23 0,27 0,08 0,18 0,05 0,02 0,03

3 Jagung pocelan/pipilan Kg 0,04 0,00 0,01 0,00 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01

4 Ketela pohon Kg 0,83 1,11 1,03 1,89 4,38 3,15 1,02 1,14 1,09

5 Ketela rambat Kg 0,37 0,30 0,32 0,37 0,93 0,65 1,06 1,13 1,10

6 Gaplek / Dried cassava Kg 0,00 0,04 0,03 0,02 0,01 0,01 0,02 0,06 0,05

7 Daging sapi/kerbau Kg 0,74 0,07 0,26 0,23 0,04 0,13 0,89 0,32 0,54

8 Daging ayam ras/kampung Kg 4,10 1,31 2,10 4,30 2,14 3,21 6,94 4,12 5,21

9 Telur ayam ras/kampung Kg 9,63 9,33 9,42 12,01 9,67 10,82 12,26 11,42 11,75

10 Telur itik/manila/asin Kg 0,28 0,21 0,23 0,22 0,19 0,21 0,30 0,19 0,23

11 Susu kental manis Kg 0,63 0,29 0,38 0,90 0,72 0,81 0,82 0,74 0,77

12 Susu bubuk bayi Kg 2,75 1,31 1,72 2,78 1,43 2,09 2,58 1,32 1,81

13 Bawang merah Kg 3,07 2,48 2,65 2,85 2,74 2,80 3,96 3,71 3,81

14 Bawang putih Kg 0,96 0,62 0,72 0,96 0,83 0,89 1,12 0,64 0,83

15 Cabe merah Kg 3,32 2,83 2,97 3,89 3,43 3,66 6,61 6,33 6,44

16 Cabe rawit Kg 0,80 0,85 0,83 0,54 0,79 0,67 0,26 0,53 0,42

17 Kacang kedelai Kg 0,01 0,01 0,01 0,05 0,00 0,03 0,03 0,01 0,02

18 Tahu Kg 2,47 1,64 1,87 3,82 3,33 3,57 6,17 4,39 5,08

19 Tempe Kg 3,78 2,74 3,04 3,87 3,01 3,43 3,15 2,60 2,81

20 Minyak kelapa/jagung Kg 9,25 8,15 8,46 9,91 8,89 9,39 10,73 9,60 10,04

21 Kelapa Kg 18,93 26,54 24,39 16,57 34,26 25,56 23,50 42,22 34,97

22 Gula pasir Kg 9,09 8,55 8,70 8,06 7,95 8,01 6,47 7,33 7,00

(37)

(lanjutan)

NO Jenis Bahan Makanan Satuan R I AU KEPULAUAN RIAU J A M B I

Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata

1 Beras lokal/ketan Kg 71,43 90,64 83,12 61,85 77,45 64,72 67,61 88,99 82,43

2 Jagung basah dengan kulit Kg 0,17 0,16 0,17 0,38 1,15 0,52 0,02 0,10 0,08

3 Jagung pocelan/pipilan Kg 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00

4 Ketela pohon Kg 2,91 3,46 3,25 2,47 4,35 2,81 2,85 2,70 2,74

5 Ketela rambat Kg 0,74 0,89 0,83 0,60 0,81 0,64 0,82 1,14 1,05

6 Gaplek / Dried cassava Kg 0,01 0,01 0,01 0,16 0,00 0,13 0,18 0,11 0,13

7 Daging sapi/kerbau Kg 0,84 0,06 0,36 1,35 0,14 1,13 0,24 0,21 0,22

8 Daging ayam

ras/kampung Kg 8,93 5,09 6,59 10,78 3,57 9,46 8,00 5,10 5,99

9 Telur ayam ras/kampung Kg 12,64 10,08 11,08 15,91 11,53 15,10 8,51 10,02 9,56

10 Telur itik/manila/asin Kg 0,07 0,05 0,05 0,06 0,00 0,05 0,05 0,10 0,09

11 Susu kental manis Kg 1,74 1,78 1,76 2,77 2,83 2,78 1,41 2,07 1,87

12 Susu bubuk bayi Kg 4,58 1,84 2,91 6,91 4,04 6,39 2,98 1,78 2,15

13 Bawang merah Kg 3,12 3,20 3,17 3,54 2,76 3,39 2,81 3,07 2,99

14 Bawang putih Kg 1,25 1,33 1,30 2,21 1,54 2,09 1,21 0,96 1,03

15 Cabe merah Kg 4,38 3,38 3,77 2,98 1,27 2,66 4,46 5,24 5,00

16 Cabe rawit Kg 0,71 1,30 1,07 1,33 1,42 1,35 0,44 0,89 0,75

17 Kacang kedelai Kg 0,02 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,02 0,01 0,01

18 Tahu Kg 5,01 3,55 4,12 5,16 4,17 4,97 5,62 5,12 5,27

19 Tempe Kg 4,24 3,31 3,67 4,30 2,94 4,05 4,47 4,78 4,69

20 Minyak kelapa/jagung Kg 10,57 10,52 10,54 10,48 10,67 10,51 9,65 10,76 10,42

21 Kelapa Kg 18,02 26,14 22,96 7,85 15,45 9,25 9,38 14,88 13,19

22 Gula pasir Kg 7,66 10,71 9,52 8,05 15,34 9,39 8,67 9,29 9,10

(38)

(lanjutan)

NO Jenis Bahan Makanan Satuan SUMATERA SELATAN KEP BANGKA BELITUNG BENGKULU

Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata

1 Beras lokal/ketan Kg 70,19 96,58 87,12 75,63 85,60 80,68 78,93 103,66 96,01

2 Jagung basah dengan kulit Kg 0,27 0,15 0,20 0,16 0,07 0,11 0,21 0,39 0,33

3 Jagung pocelan/pipilan Kg 0,08 0,01 0,03 0,00 0,12 0,06 0,06 0,02 0,03

4 Ketela pohon Kg 2,23 3,27 2,90 2,20 1,11 1,65 1,24 2,69 2,24

5 Ketela rambat Kg 0,97 0,90 0,93 0,53 0,28 0,40 0,82 1,15 1,05

6 Gaplek / Dried cassava Kg 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,01 0,02

7 Daging sapi/kerbau Kg 0,42 0,15 0,25 0,45 0,25 0,35 0,92 0,25 0,45

8 Daging ayam ras/kampung Kg 5,94 3,43 4,33 6,42 4,17 5,28 6,76 3,51 4,52

9 Telur ayam ras/kampung Kg 11,86 7,95 9,35 15,37 9,38 12,34 14,20 7,59 9,64

10 Telur itik/manila/asin Kg 0,08 0,14 0,12 0,06 0,11 0,08 0,08 0,11 0,10

11 Susu kental manis Kg 2,04 1,85 1,92 2,05 1,92 1,98 1,30 1,55 1,47

12 Susu bubuk bayi Kg 3,98 1,44 2,35 4,40 2,94 3,66 2,77 1,35 1,79

13 Bawang merah Kg 2,02 2,52 2,34 2,15 2,21 2,18 2,00 2,24 2,17

14 Bawang putih Kg 1,50 1,63 1,58 1,08 0,74 0,91 1,24 1,37 1,33

15 Cabe merah Kg 2,35 2,52 2,46 1,37 1,07 1,22 4,99 4,55 4,69

16 Cabe rawit Kg 0,42 0,88 0,71 0,93 1,18 1,06 0,32 0,83 0,67

17 Kacang kedelai Kg 0,02 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

18 Tahu Kg 5,99 4,37 4,95 4,02 2,56 3,28 3,82 3,65 3,70

19 Tempe Kg 5,60 5,81 5,73 3,63 2,40 3,01 5,81 5,31 5,46

20 Minyak kelapa/jagung Kg 8,52 9,02 8,84 8,14 7,82 7,98 9,75 8,09 8,61

21 Kelapa Kg 3,13 4,20 3,82 3,19 3,45 3,32 20,24 35,35 30,67

22 Gula pasir Kg 8,91 10,95 10,22 8,46 10,32 9,40 5,97 7,89 7,30

(39)

(lanjutan)

NO Jenis Bahan Makanan Satuan LAMPUNG DKI JAKARTA JAWA BARAT

Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata

1 Beras lokal/ketan Kg 77,04 94,30 89,87 65,55 0,00 65,55 82,01 98,90 87,81

2 Jagung basah dengan kulit Kg 0,20 0,33 0,30 0,51 0,00 0,51 0,30 0,48 0,36

3 Jagung pocelan/pipilan Kg 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,05 0,05

4 Ketela pohon Kg 2,71 3,42 3,24 1,18 0,00 1,18 2,36 4,63 3,14

5 Ketela rambat Kg 1,22 1,62 1,52 0,43 0,00 0,43 1,04 0,98 1,02

6 Gaplek / Dried cassava Kg 0,03 0,09 0,07 0,05 0,00 0,05 0,06 0,01 0,04

7 Daging sapi/kerbau Kg 0,22 0,03 0,08 0,63 0,00 0,63 0,29 0,09 0,22

8 Daging ayam ras/kampung Kg 3,49 2,72 2,92 6,55 0,00 6,55 5,74 3,46 4,95

9 Telur ayam ras/kampung Kg 7,55 7,04 7,17 8,43 0,00 8,43 7,78 6,81 7,45

10 Telur itik/manila/asin Kg 0,07 0,14 0,12 0,08 0,00 0,08 0,10 0,12 0,11

11 Susu kental manis Kg 1,34 1,61 1,54 1,74 0,00 1,74 1,67 1,18 1,50

12 Susu bubuk bayi Kg 1,62 1,25 1,35 4,44 0,00 4,44 2,17 0,68 1,66

13 Bawang merah Kg 2,04 2,45 2,35 1,52 0,00 1,52 1,50 1,25 1,41

14 Bawang putih Kg 1,54 1,78 1,71 1,02 0,00 1,02 0,86 0,53 0,74

15 Cabe merah Kg 1,94 1,53 1,64 1,61 0,00 1,61 1,22 0,61 1,01

16 Cabe rawit Kg 1,30 2,31 2,05 0,79 0,00 0,79 0,97 1,15 1,03

17 Kacang kedelai Kg 0,00 0,02 0,02 0,01 0,00 0,01 0,03 0,01 0,02

18 Tahu Kg 5,20 4,36 4,57 8,20 0,00 8,20 8,13 6,57 7,60

19 Tempe Kg 8,65 9,12 9,00 8,97 0,00 8,97 7,39 6,36 7,03

20 Minyak kelapa/jagung Kg 8,12 9,16 8,90 8,55 0,00 8,55 8,06 7,67 7,93

21 Kelapa Kg 7,59 15,85 13,73 3,21 0,00 3,21 1,78 1,58 1,71

22 Gula pasir Kg 6,70 7,91 7,60 4,34 0,00 4,34 3,49 2,57 3,17

(40)

(lanjutan)

NO Jenis Bahan Makanan Satuan BANTEN JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA

Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata Perkotaan Pedesaan Rata-rata

1 Beras lokal/ketan Kg 76,36 104,63 85,72 70,75 78,85 75,15 66,63 85,46 73,05

2 Jagung basah dengan kulit Kg 0,11 0,03 0,08 0,16 0,17 0,16 0,15 0,03 0,11

3 Jagung pocelan/pipilan Kg 0,02 0,00 0,01 0,23 2,16 1,28 0,03 0,46 0,18

4 Ketela pohon Kg 1,82 4,63 2,75 2,51 4,22 3,44 3,21 5,20 3,89

5 Ketela rambat Kg 0,92 1,77 1,20 1,07 0,97 1,02 0,77 1,12 0,89

6 Gaplek / Dried cassava Kg 0,00 0,00 0,00 0,02 0,04 0,03 0,01 0,42 0,15

7 Daging sapi/kerbau Kg 0,43 0,03 0,30 0,21 0,05 0,12 0,22 0,10 0,18

8 Daging ayam ras/kampung Kg 6,25 3,18 5,23 3,70 2,61 3,11 4,69 3,81 4,39

9 Telur ayam ras/kampung Kg 7,46 5,42 6,78 8,89 7,80 8,30 10,94 13,33 11,76

10 Telur itik/manila/asin Kg 0,09 0,23 0,13 0,18 0,13 0,15 0,32 0,13 0,26

11 Susu kental manis Kg 2,12 1,04 1,76 1,44 1,05 1,23 1,43 1,28 1,38

12 Susu bubuk bayi Kg 3,05 0,99 2,37 2,39 1,17 1,73 2,92 1,04 2,28

13 Bawang merah Kg 2,14 1,77 2,02 1,92 2,10 2,02 1,94 2,33 2,07

14 Bawang putih Kg 1,24 0,98 1,15 1,44 1,56 1,50 1,41 1,60 1,48

15 Cabe merah Kg 1,79 1,33 1,64 1,25 1,05 1,14 1,06 0,60 0,90

16 Cabe rawit Kg 1,10 1,54 1,24 1,12 1,67 1,42 0,81 1,49 1,04

17 Kacang kedelai Kg 0,02 0,00 0,01 0,02 0,03 0,02 0,02 0,01 0,02

18 Tahu Kg 8,22 5,64 7,37 8,72 8,50 8,60 8,87 7,27 8,32

19 Tempe Kg 9,00 8,17 8,72 10,62 10,79 10,71 11,92 9,04 10,93

20 Minyak kelapa/jagung Kg 8,36 8,88 8,53 7,16 7,68 7,44 6,31 6,77 6,47

21 Kelapa Kg 1,74 2,24 1,90 7,39 11,23 9,47 13,53 26,51 17,96

22 Gula pasir Kg 4,34 5,28 4,65 6,41 6,08 6,23 7,60 5,44 6,86

Gambar

Gambar 1 Skema representasi komponen tapak air (Hoekstra et al. 2011)
Tabel 1  Nilai air maya pada setiap jenis bahan makanan
Gambar 2  Pola konsumsi penduduk Indonesia pada beberapa bahan makanan penting  (kg/kapita/tahun)
Tabel 2  Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030
+4

Referensi

Dokumen terkait

Jika diperlukan, Forbo Siegling dapat menyediakan belt yang dapat digunakan dalam lokasi yang mudah timbul ledakan. Karena kami terus menambah ragam produk ATEX kami, silahkan

Pengelolaan sampah di bank sampah mempunyai tujuan yang tidak lain adalah untuk menumbuhkan suatu pemahaman baru kepada masyarakat bahwa sampah bukanlah suatu

Alokasi risiko seringkali merupakan permasalahan yang sulit. Pertanggung jawaban atas suatu risiko membawa kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan atau kerugian. Secara

Sedangkan pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.17 terlihat bahwa nilai presisi, recall, dan akurasi tertinggi terdapat pada metode HOGHC, sehingga HOGHC lebih baik digunakan dalam

sebagai pembimbing skripsi II yang juga telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam penelitian serta penyusunan karya tulis kepada penulis.. Bambang Supriatno,

Dari hasil uji data perdimensi kualitas hidup didapatkan hasil yang tidak signifikan antara Volume Oksigen Maksimum (VO2max) dengan kualitas hidup dimensi hubungan sosial

Bahwa penderita cacat kejiwaan yang melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP, tidaklah dipidana karena penderita cacat kejiwaan tidak mampu

Dengan katekese model biblis, para suster SFD usia lanjut pada jaman sekarang dalam segala permasalahannya dapat mengenali kehadiran dan karya Allah yang menyelamatkan seperti yang