• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAWANAN MASYARAKAT SAMIN TERHADAP KEB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLAWANAN MASYARAKAT SAMIN TERHADAP KEB"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAWANAN MASYARAKAT SAMIN TERHADAP

KEBIJAKAN PAJAK PADA MASA KOLONIAL”

TUGAS AKHIR

Diajukan Guna Menyelesaikan

Tugas Ujian Akhir Semester

Oleh :

NAMA : DICKI ARIEF HARDIANSYAH

NIM : 3101411078

PRODI : PENDIDIKAN SEJARAH, S1

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis membahas mengenai “Perlawanan Masyarakat Samin Terhadap Kebijakan Pajak pada Masa Kolonial”.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari

berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama

mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran

serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat

kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita dan para

pembaca sekalian.

Semarang, Januari 2014

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Metode Pengumpulan Data ... 4

1.5. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 6

2.1. Samin Surosentika ... 6

2.1. Ajaran Kebathinan Samin Surosentika ... 14

2.3. Ajaran Politik Samin Surosentika ... 20

BAB III PENUTUP ... 26

3.1. Kesimpulan ... 26

3.2. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 33

BAB I

(4)

1.1 Latar Belakang

Perubahan sosial merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung di dalam suatu masyarakat, kelompok, golongan maupun etnis. Perubahan sosial tidak selalu mengarah ke perubahan yang positif saja terkadang juga negatif. Oleh karena itu persoalan ini menjadi menarik untuk dibicarakan. Pada hakikatnya perubahan sosial ini berlangsung dalam kurun waktu tertentu di dalam suatu masyarakat sebagai perubahan di dalam masyarakat yang berupa penolakan maupun dukungan masyarakat terhadap suatu hal yang berlangsung dalam masyarakat tersebut. Biasanya dalam perubahan masyarakat ini dipelopori oleh seorang tokoh yang memotori suatu pergerakan dan membuat wadah untuk masyarakat itu sendiri sehingga perubahan dalam masyarakat tersebut dapat berlangsung.

Pergerakan yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Baik atau buruknya perubahan sosial ini tergantung pada masalah ataupun suatu hal yang tengah dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial bisa juga hanya meliputi bidang tertentu saja dan terbatas pula kedalamannya. Ada pula perubahan sosial pada bidang tertentu tetapi dapat berlaku pada tingkat yang lebih luas, misalnya timbulnya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan dalam pembangunan.

Pada dasarnya ada empat perkara penting dalam teori perubahan sosial yaitu:

Solidaritas mekanik dapat ditemukan dalam organisasi sosial masyarakat tradisional, yang terdapat kecenderungan untuk mempertahankan ide bersama dan tata sosial yang seragam, untuk menjaga solidaritas kolektif tersebut.

c. Pembagian kerja

(5)

mengakibatkan peningkatan dalam pembagian kerja. Pembagian kerja dalam masyarakat menjadi penting karena dapat menghindari konflik.

d. Arah perkembangan masyarakat modern terjadi dari solidaritas mekanik ke solidarits organik. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Proses perubahan sosial budaya dapat berlangsung lambat atau juga dapat secara cepat tergantung pada kondisi masyarakatnya. Perubahan sosial Budaya ada yang direncanakan ada pula yang tidak direncanakan. Menurut Rogers (1989) perubahan sosial budaya yang terjadi di suatu masyarakat mengikuti tiga tahapan, yaitu:

a. Tahap pertama terjadi invensi yaitu proses dimana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan.

b. Tahap kedua, difusi yaitu penyebaran atau pengomunikasian ide-ide ke dalam sistem sosial.

c. Tahap ketiga, konsekuensi yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan.

Gerakan Samin sebagai salah satu cotoh perubahan sosial budaya di Jawa secara historis muncul pada abad ke-18, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora. Dimana politik etis Belanda yang diterapkan di Jawa mempunyai tiga pilar pokok yang mencakup: edukasi, irigasi, dan migrasi

Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

(6)

sangat merugikan bagi pihak belanda karena masyarakat pengikut ajaran samin ini menolak membayar pajak. Dalam hal ini tentunya membuat pihak pemerintah kolonial merasa dirugikan oleh masyarakat samin karena tidak adanya pemasukan pajak kepada pemerintah kolonial. Di pihak masyarakat pribumi ataupun pengikut ajaran samin ini tentunya merupakan suatu keuntungan baginya karena mereka dapat menikmati hasil pertanian-nya tanpa dikenakan pajak oleh pemerintah kolonial.

Pengertian diatas merupakan perubahan sosial yang mengarah pada perubahan yang positif maupun perubahan yang negatif tergantung pada pandangan masing-masing pihak itu sendiri. Oleh karena itu perubahan sosial ini sangat menarik karena pada saat itu terjadi perdebatan tentang pandangan dari pihak kolonial maupun dari pihak masyarakat pribumi.

Pokok bahasan ini merupakan perpaduan antara disiplin-disiplin ilmu sosial diantaranya: Sejarah, yang memusatkan pada aspek spasial dan temporal; Sosiologi, yang memusatkan perhatiannya pada hubungan antar individu, antar kelompok dan golongan dan segala yang berhubungan dengan hubungan sosial; serta Antropologi, yang memusatkan pada aspek budaya atau karya cipta manusia.

Pokok bahasan yang memadukan antara disiplin-disiplin ilmu sosial inilah yang dapat mendukung terciptanya pergerakan sebagai hasil dari perubahan sosial di dalam masyarakat yang berdasarkan pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perlawanan Masyarakat Samin Terhadap Kebijakan Pajak pada Masa Kolonial

1.2 Rumusan Masalah

1. Siapakah sosok Samin Surosentiko yang dianggap masyarakat sebagai Ratu Adil pada saat itu?

2. Bagaimana konsep ajaran yang disebarkan Samin Surosentiko terhadap masyarakat pedesaan di karesidenan Rembang?

3. Bagaimana Samin Surosentiko mengembangkan ajarannya kepada pengikutnya?

4. Bagaimana masyarakat Samin menolak kebijakan pajak Pemerintah Kolonial Belanda?

(7)

1. Untuk mengetahui dan lebih mengenal sosok Samin Surosentiko yang dianggap Ratu Adil oleh pengikutnya.

2. Untuk mengetahui bagaimana konsep ajaran yang disebarkan oleh Samin Surosentiko terhadap masyarakat pedesaan di karesidenan Rembang. 3. Untuk mengetahui bagaimana Samin Surosentiko megembangkan dan

menyebarluaskan ajarannya terhadap pengikutnya.

4. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Samin menolak kebijakan pemerintah Kolonial Belanda.

1.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikemukakan dalam Makalah ini hanya diperoleh melalui satu cara. Yaitu, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya dengan Masyarakat Samin. Metode ini diambil karena terdapat banyak buku yang mengulas tentang Masyarakat Samin. Di samping itu, data ini juga dianggap cukup efektif karena narasumber yang dijadikan objek tidak mudah untuk memberikan informasi yang cukup untuk penelitian ini. Maka dalam hal ini penulis mengambil metode kajian pustaka dikarenakan metode ini sangat efektif menurut penulis.

1.5 Sistematika Penulisan

Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut :

a. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, pembatasan masalah, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

b. Bab II Pembahasan, menjelaskan tentang temuan-temuan yang ada di lapangan berdasarkan metode kajian pustaka yang telah penulis pilih. c. Bab III Penutup, yang berisi tentang simpulan hasil penelitian, serta

saran-saran yang membangun senagai hasil dari penelitian.

(8)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Samin Surosentika

Di desa Tapelan, Samin Surosentiko dikenal sebagai petani, sesepuh1, guru kebathinan dan pemimpin pergerakan melawan pemerintah Belanda. Di samping itu, Samin Surosentika juga dikenal sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam2. (Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, 1996: 13). Penuturan ini juga telah banyak diungkap oleh para peneliti Geger Samin (Pergerakan Samin). Misalnya oleh Harry J. Bendadan Lance Castle, Victor T. King, A. Pictor E.Korver, The Siaw Giap, Onghokham, R.P.A. Suryanto Sastroatmojo, dan lain-lain.dari tulisan tulisan mereka ini dapat diruntut hal-hal sebagai berikut.

1859, Samin Surosentika lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora. Dia lima bersaudara. Semuanya laki-laki (seperti Pandahawa dalam cerita pewayangan). Ayahnya bernama Raden Surowijaya yang kemudian dikenal sebagai Samin Sepuh sedangkan nama asli dari Samin Surosentiko adalah Raden Kohar. Nama ini kemudian diganti menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan.kemudian setelah dia menjadi guru kebathinan namanya

1 Sesepuh, orang tua atau sesepuh yang dihormat

2 Menurut tradisi lisan, artnya yang menjabat sebagai Patih yang merangkap sebagai Senapati

(9)

berubah menjadi Samin Surontika dan anak didiknya (pengikutnya) menyebutnya Ki (Kyai) Samin Surontika atau Ki (Kyai) Samin Surosentika.

Samin Surontika masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro; dan juga masih mempunyai pertalian darah dengan Pangeran Kusumaningayu. Adapun Pangeran Kusumaningayu itu merupakan nama lain untuk Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang memerintah kadipaten Sumuroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung, pen) pada tahun 1802-1826. Samin Surosentika bukan tergolong petani miskin. Dia memiliki tiga bau sawah, satu bau ladang, dan enam ekor sapi.

1890, Pada tahun ini Samin Surosentika mulai mengembangkan ajarannya di desa Klopodhuwur, Blora. Orang-orang desa di sekitarnya, antara lain dari desa Tapelan, banyakorang yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebathinan atau agama baru yang tidak menggangu keamanan.

1903, Pada tahun ini Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 772 orang. Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan di daerah Bojonegoro mereka giat mengembangkan ajaran Samin.

1905, Pada tahun ini mulai ada perkembangan baru. Orang-orang desa yang menganut ajaran Samin Surosentika mulai mengubah tata cara hidup mereka dari pergaulan sehari-harinya di desanya. Mereka tak mau lagi menyetor padi kelumbung desa dan tak mau lagi membayar pajak; serta menolak mengandangkan sapi dan kerbau mereka di kandang umum bersama-samadengan orang desa lainnya yang bukan orang samin.

(10)

Adam) sikap yang demikian itu memang dipelopori oleh Samin Surosentika. Dia sendiri tidak mau membayar pajak.

Pada tahun 1907, masyarakat Samin berjumlah 5.000 orang. Pemerintah Belanda terkejut dan merasa takut, apalagi mereka mendengar bahwa tanggal 1 Maret 1907 mereka akan berontak. Pada waktu itu di desa Kedungtuban, Blora ada orang Samin menyelenggarakan Selamatan. Orang Samin yang datang menghadiri selamatan di desa Kedungtuban tersebut lalu ditangkap sebab mereka dainggap mempersiapkan pemberontakan.

Pada tanggal 8 November 1907, Samin Surosentika diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian, setelah 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentika ditangkap oleh Raden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) di Randublatung, Blora; dan ditahan di bekas tobong bekas pembakaran batu gamping. Sesudah itu dia dibawa ke Rembang. Di rembang dia diinterogasi. Kemudian bersama delapan pengikutnya dia dibuang diluar Jawa. Samin Surosentika meninggal di Padang pada tahun 1914.

Pada tahun 1908, penangkapan Samin Surosentika tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, pengikut Samin Surosentika, giat menyebarkan ajaran Samin di distrik Jiwan, Madiun. Di sini orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar pajak pada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian dia bersama dua orang temannya ditangkap dan dibuang.

1911. Surohidin, menantu Samin Surosentika; dan Engkrak; murid Samin Surosentika, menyebarkan ajaran Samin di daerah Kabupaten Grobogan (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Samin Surosentika mengembangkan ajaran Samin di Kajen, Pati.

(11)

pajak yang dinaikkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Di Grobogan (Purwodadi) orang-orang Samin sudah tak mau lagi menghormati Pamong Desa dan Pemerintah Kolonial Belanda.

Di Distrik Balareja, Madiun orang-orang Samin mengibuli aparat pemerintah Kolonial Belanda. Tujuan mereka yang utama adalah: tak mau membayar pajak.

Di Kajen, Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendhang Janur, dan menghimbau orang-orang desa agar tidak membayar pajak. Di desa Larangan, Pati, orang-orang Samin menyerang Lurah dan Polisi.

Di desa Tapelan, Bojonegoro, orang-orang Samin tidak mau membayar pajak. Mereka mengancam Asisten Wedono. Kemudian mereka ditangkap dan dipenjara.

Tahun 1915, usaha penyebaran ajaran Samin di Jatirogo, Tuban gagal lagi. Kemudian tahun 1916, orang Samin mencari daerah baru. Ajaran Samin mulai dikembangkan di daerah Undaan, Kabupaten Kudus.

Tahun 1917. Para pengikut Pak Engkrak meningkatkan peralawanannyaterhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan apa yang dinamakan ‘Partikel Pasip’. Peningkatan perlawanan ini sangat menjengkelkan Belanda. Perlawanan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial Belanda.

1930, pergerakan Samin tampak terhenti dikarenakan ketiadaan pemimpin yang tangguh.

(12)

Kusmawinahyu). Hal ini dapat dibenarkan oleh tradisi tulis warga Samin di desa Tapelan. Dan dibenarkan dalam manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul Serat Punjer Kawitan (ditulis dengan aksara Jawa, ukuran folio).

Apa yang dinamakan Serat Punjer Kawitan itu, yang artinya kurang lebih: ‘buku perihal silsilah keluarga yang pokok atau utama’, berisi silsilah adipati-adipati di Jawa Timur dan garis-garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di pulau Jawa.

Di belakang nanti terbukti bahwa dengan bacaannya yang luas dan kemampuannya untuk menyusun ajaran-ajaran dalam bentuk puisi tembang macapat. Samin Surosentika tidak saja bertindak sebagai seorang intelektual yang tangguh akan tetapi dia juga telah bertindak sebagai seorangPujangga Jawa Pesisiran yang hidup sesudah pujangga Ronggowarsita (1802-1873). Pujangga ini dikenal sebagai pujangga rakyat. Dengan begitu Samin Surosentika dapat disebut sebagai penerus tradisi pujangga Ronggowarsita, yaitu sebagai pemberontak jamannya, sebagaimana hal itu juga pernah dilakukan oleh pujangga Ronggowarsita dalam karya-karyanya.

Tak semua warga Samin dapat membaca Serat Punjer Kawitan ini, sebab banyak warga Samin yang buta huruf akan aksara jawa. Bagi murid-muridnya yang dapat membaca dan menulis aksara jawa sajalah yang diperkenankan membaca dan menyalin buku-buku karya Samin Surosentika. Dengan jalan disalin itulah maka ajaran-ajaran Samin dapat dipelajari dengan baik oleh murid-muridnya. Buku-buku salinan ini kemudian tersebar di berbagai daerah Samin.

Bagi warga Samin yang buta huruf akan aksara Jawa, Samin Surosentika mengajari mereka secara lisan, atau melalui sesorah3 di rumah dan di tanah lapang. Yang diajarkan oleh Samin Surosentika secara lisan atau swsorah itu adalah hal-hal yang pokok (intisari ajaran). Oleh karena yang dianggap

(13)

pokoknya saja, maka ajaran itu kelihatannya kurang lengkap dan membingungkan orang. Hal ini tercermin dalam tradisi lisan orang Samin.

Dalam tradisi lisan itu ada ucapan-ucapan sebagai berikut:

1. “Agama iku gaman, adam pangucap , man gaman lanang.”ee 4

2. “Aja drengki sr i, tukar padu, dahp n kem r n. Aja kutil jumput,ee ee ee ee bedhog-colong.”5

3. “Sabar lan trokal empun ngantos jrengkisr i empun ngantos riya sapadaee empun nganti p k-pin k kulit jumput bedhog colong. Napa malihee ee bedhog colong, napa malih milik barang, nemu barang teng dalam mawon kula simpangi.”6

4. “Wong urip kudu ngerti ing urip , sebab urip siji digawa salawas .”ee ee 7

5. “Wong enom mati urip titip sing urip. Bayi uda nangis ng r nikuee ee suksma ketemu raga.

Dadi mmulan wong niku mboten mati. n k ninggal sandhangan nikuee ee nggih. Kedah sabar lan trokal sing diarah turun temurun. Dadi ora mati nanging kumpul sing urip. Apik wong selawas sapisan dadi wongee selawas dadi wong.”ee 8

4 Maksudnya, “Agama Adam merupakan senjata hidup.”

5 Maksudnya, “janganlah mengganggu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hat, jangan suka mengambil (mencuri) barang milik orang tanpa ijin pemiliknya.”

6 Maksudnya, “Berbuatlah sabar dan trokal (?), janganlah mengganggu orang, janganlah takabur pada sesama orang, janganlah mengambil (mencuri) barang milik orang tanpa seijin pemiliknya. Apalagi mencuri, apalagi mengambil barang, sedangkan menjumpai barang tercecer di jalan itupun dijauhi.”

7 Maksudnya, “Manusia hidup di dunia haruslah memahami kehidupannya, sebab ‘hidup’ (sukma, roh) itu hanya sebuah dan dia pun akan abadi selamanya.”

(14)

6. “Dh k jaman Landa niku njaluk pajeg boten trima sak legan nggihee ee mboten diw hi. b bas boten seneng. Ndandani ratan nggih b bas. Gakee ee ee gelem wis dib baske. ken k jagaya orang nyang. Jaga omah dh w .ee ee ee ee ee Nyengkah ing negara telung taun dikenek kerja paksa.”9

7. “Pangucap saka lima bundhelan ana pitu lan pangucap saka sangaee bundhelan ana pitu.”ee 10

8. “Wit jeng nabi kula lanang damel kula rabi tata jeneng w dok pengaranee Sukini kukuh dhemen janji buk bikah mpun kula lakoni.”11

9. “turun”, “pangaran”, “sedulur lanang”, “sedulur w dok”, “salinee sandhangan”.12

Ajaran-ajaran lisan tersebut diataslah, menurut pengamatan penulis banyak banyak diungkap oleh para peneliti Geger Samin. Hal ini misalnya dapat dibaca pada tulisan Hary J. Benda dan Lance Castles (Benda, 1969:226), begini bunyinya:

“Djeneng lanang, damel rabi,ee ee

berkali-kali bergant pakaian). Jadi sukma (roh) itu tdak mat, melainkan berkumpul dengan sukma (roh) lain-lainnya yang masih hidup. Sekali orang itu berbuat kebaikan, selamanya dia akan menjadi orang baik.”

9 Maksudnya, “Pada jaman pemerintah kolonial Belanda pembayaran pajak bukan didasarkan pada kesukarelaan, tapi atas dasar paksaan (ditentukan besarnya), sehingga orang-orang samin tdak mau membayarnya. Mereka tak senang. Memperbaiki jalan juga tak mau. Mereka juga tak senang. Dikenai ronda malam juga ditolaknya. Lebih baik menjaga rumahnya sendiri. Berselisih pendapat dengan pemerintah Kolonial Belanda dikenai kerja paksa.”

10 Maksudnya, “Dalam berbicara kita harus menjaga mulut kita. Hal ini diibaratkan bagi orang berbicara dan angka lima yang berhent pada angka tujuh, dan dari angka sembilan berhent pada angka tujuh juga. Jadi angka tujuh memegang peranan pentng untuk pegangan, sebab angka ini terletak ditengah-tengah antara angka lima dan sembilan.”

11 Maksudnya, “Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (kali ini) mengawini seorang perempuan bernama (Sukini). Saya berjanji seta padanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

(15)

Toto-toto w dak janji demen,ee

Tetep nabi Adam kandeg wekasa.ee ee

Sing kulu nit ni tatan sikep rabi.ee ee

Wong sikep weruh t k d w .”ee ee ee ee

Pengungkapan ajaran-ajaran Samin dari segi tradisi lisan ini disebabkan ajaran-ajaran tertulis tidak dijumpai sama sekali. Menurut cerita warga Samin, pada waktu Samin Surosentika diselong (ditangkap dan dibuang ke luar pulau Jawa), buku-bukunya dirampas dan dibakar oleh Belanda. Untung kata warga Samin, murid-murid Samin Surosentika yang terpercaya masih menyimpan salinan buku-buku tersebut; walaupun anak cucunya kini tidak bisa membaca buku-buku itu, buku-buku itu dismpan sebagai pusaka (benda keramat dan suci).

Di desa Tapelan, buku-buku peninggalan Samin Surosentiko disebut Serat Jamuskalimada atau Layang Jamuskalimada. Buku ini dianggap berasal dari Prabu Puntadesa di negeri Ngamarta. Serat Jamuskalimasada itu terdiri dari beberapa buku. Buku-buku itu antara lain berjudul:

1. Serat Punjer Kawitan;

2. Serat Pikukuh Kasajat n;ee

3. Serat Uri-uri Pambudi;

4. Serat Jati Sawit;

5. Serat Lampahing Urip.

(16)

“Samin Surosentika suka sekali bersemedi di tempat-tempat sepi atau di tempat-tempat yang dianggap keramat. Pada waktu sedang bersemedi dia menerima wangsit (wahyu). Wangsit atau wahyu tersebut berisi ajaran agar dia segera mencari buku kuna. Buku tersebut masih terpendam di tanah di dekat tempat semedinya.

Samin Surosenttika segera bangun dari semedinya. Dia mematuhi anjuran sang wangsit. Benar apa yang dikatakan sang wangsit. Buku tersebut tersimpan di gundukan tanah (rumah anai-anai). Dengan tanpa pikir panjang lagi buku kuna itu diambilnya. Ke mana saja ia pergia buku kuna itu senantiasa dibawanya.

Buku kuna itulah yang bernama Kalimasada. Buku ini pernah dimiliki oleh Prabu Puntadewa. Isi buku inilah yang kini dijadikan pedoman hidup warga samin sampai sekarang.”

Cerita rakyat di atas merupakan cerita mitos. Dari sini dapatlah dilihat betapa besarnya penghormatan warga Samin pada pemimppinnya. Dia dianggap sebagai orang suci dan pemimpin yang kharismatis. Dia bagaikan “cahaya terang” yang datang menerangi hati orang-orang yang telah kehilangan pegangan pada jaman pemerintah Kolonial Belanda.

Mulai saat itulah Samin Surosentiko menjadi orang sikep, artinya menjadi orang yang sempurna (menurut ukuran ajaran orang Samin/Sikep) seperti apa yang telah dikatakan oleh suara gaib tersebut di atas. Dan kemudian Samin Surosentiko meluaskan ajarannya ke desa-desa lainnya yang letaknya jauh dari desa Plosokedhiren. Sehingga makin lama makin banyak pengikut ajaran Samin/Sikep.

(17)

pemerintah Kolonial Belanda. Mereka dipaksa ikut blandhongan13. Kalau mereka menolak, mereka akan didatangi Pamong Desa dan Pelpulisi14. Mereka ditangkap dan disiksa. Disamping itu tanah pertanian mereka banyak yang dirampas oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanami pohon jati.

Perlakuan pemerintah Kolonial Belanda yang kejam itu mengakibatkan mereka kekurangan makan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak mempunyai keberanian melawan pemerintah Kolonial Belanda, sebab mereka tidak mempunyai semangat dan senjata. Untunglah pada waktu itu desa Klopduwur, Blora, ada Perguruan Adam yang mengajarkan tentang Agama Adam yang dipimpin oleh Samin Surosentika. Ke peguron inilah mereka dulu datang berguru.

Ke peguron Adam inilah mereka dulu mendapatkan kedamaian dan ketenangan hati. Di peguron ini di samping Samin Surosentika mengajarkan perilaku hidup di dunia dan di akherat, dia juga mengajarkan cara bagaimana melawan pemerintah Kolonial Belanda. Ajaran itu adalah nggendheng15. Sifat nggendheng adalah siafat Prabu Puntadewa.

2.2 Ajaran Kebatinan Samin Surosentika

Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya. Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut Serat Jamuskalimasada, Serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Diantara buku-buku Serat Jamuskalimasada adalah berikut ini:

Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning

13 Blandhongan, artnya bekerja rodi atau kerja paksa di hutan-hutan jat untuk menebangi pohon jat kemudian diserahkan kepada pemerintah Kolonial Belanda.

14 Pelpulisi, artnya polisi Pemerintah Kolonial Belanda

(18)

dumadi. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ).

Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut : Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hidup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.

(19)

Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya.

Hal ini akan mengakibatkan penderitaan. Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.

Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa. Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan.

Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi : Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah keindahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya.

(20)

juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut: Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan.

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger-angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi: Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong. Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu. Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

(21)

Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih mati senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :

Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia).

(22)

Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada.

Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati. Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.

Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini : Saha malih dadya garan, anggegulang gelunganing pembudi, palakrama nguwoh mangun, memangun traping widya, kasampar kasandhung dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugu dadi kanthi. Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan Atmaja Tama (anak yang mulia).

Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua. Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

2.3 Ajaran Politik Samin Surosentika

Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :

(23)

b. Penolakan memperbaiki jalan

c. Penolakan jaga malam (ronda)

d. Penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Buku Serat Punjer Kawitan di samping berisi silsilah adipati-adipati di Jawa Timur dari garis-garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di pulau Jawa, buku ini juga memuat uraian perihal hubungan raja-raja Jawa dengan dunia pewayangan. Adapun “punjer kawitan”-nya adalah Nabi Adam. Oleh karena itulah di bidang ajaran spiritualnya disebut-sebut adanya “Agama Adam”, yaitu agama yang pertama kali dianut oleh Nabi Adam.

Sepintas apabila kita membaca Serat Punjer Kawitan kita tentu akan teringat pada Babad Tanah Jawi, tapi apabila kita lihat dengan teliti, ternyata cara penuturannya berbeda. Mengapa begitu? Inilah kode yang harus ditafsirkan.

Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan sebagian isi Serat Punjer Kawitan yang ditulis dalam bentuk metrum sinom. Metrum ini beraturan: I (8a), II (9i), III (8a), IV (8i), V (7i), VI (8u), VII (7a), VIII (8i), dan IX (12a). Begini wujudnya:

“Brawijaya kang kapisan,

Prabu Bra Tanjung sesiwi,

Nama Prabu Brawijaya,

Kang kaping gangsal mungkasi,

(24)

Brawijawa susunu,

Rad n Bondan Kajawan,ee

Lembu Peteng wau nenggih,

Apuputra Ki Ageng Getas Pandhawa

Puputra Ki Ageng S la,ee

Anulya ki Ageng Enis,

Putra Kyageng Pamanahan,

Iya Ki Ageng Mentawis,

Puputra S nopati,ee

Alaga nulya sinuwun,

Kang s da ing Krapyak,ee

Anulya putri nir ki,ee

Sultan Agumg puputra Sunan Mangkurat

Paku Buwana kaping tiga,

Anulya Buwana nir ki,ee

Sinuwun Kanjeng Susunan,

Ingkang ayasa semani,

Semare ing Mogiri,

Iya Jeng Susuhunan Bagus,

Paku Buwana Kapisan,

Ratu ambeg wali mukmin,

Apuputra Pangeran Dipati Purbaya.”16

(25)

Kita lalui dua pada (bait) kemudian tertulis lagi sebagai berikut:

“Kuneng malih kang winarna,

Sejarah Wiratha nagri,

Kumalunn lawan ee Ngastina,

Putranira Hyang Pamesthi,

Bathara Wismumurti,

Apuputra nama prabu,

Basurata anama,

Nulya prabu Basupati,

Nulya prabu Basukesti apuputra.”17

Plot (struktur penceritaan) Serat Punjer Kawitan boleh dikatakan merupakan penjumgkirbalikan plot Babad Tanah Jawi, sebab dalam Serat Punjer Kawitan antara “cerita sejarah” dan “cerita wayang” disusun secara berseling-seling dan satu sama lain dikaitkan. Hal ini tampak pada kutipan di atas. Perkataan “Kuneng” (tersebutlah) digunakan untuk tanda pergantian bahan cerita.

Hal diatas tercermin juga dalam salah satu ceramah Samin Surosentika di tanah lapang. Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan

Enis/berputera Ki Ageng Pemanahan/yaitu Ki Ageng Mataram/berputera Senapat Ing Ngalaga/Kemudian sang prabu yang meninggal di Krapyak/kemudian puteranya bernama Sultan Agung/dia berputera Sunan Mangkurat/Paku Buwana ketga/kemudian puteranya/sang prrabu Kanjeng Susuhan/yang mendirikan “semani” (?)/yang dimakamkan di Imogiri/yaitu Kanjeng Susuhan Bagus/Paku Buwana pertama/raja yang bersifat wali mukmin/berbutera Pangeran Adipat Purbaya.”

(26)

bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Yang antara lain berkata sebagai berikut:

“Gur tam h ling bilih sira kab h horak san s turun Pandhawa, lan huwisee ee ee ee nyipati kabrokalan krandhah Majapahit sak ng kakrag wadya musuh.ee ee Mula sakuwit liy n kala nira Puntad wa titip tanah Jawa marang hingee ee Sunan Kalijaga. Hiku maklumat tuwila kajantaka.”18

Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik wong Jawa19. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.

Mengenai kenegaraan, Samin Surosentika memberi ajaran sebagai berikut:

“nagaratnta niskala anduga arum,

Apraja mulwikang gati,

g n ngaub miwah sumungku,ee

nuriya anggemi ilmu,

rukunarga tan ana blekuthu.”20

18 Maksudnya, “Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Puntadewa, yang sudah mengeahui kehancuran keluarga Majapahit yang disebabkan oleh serangan musuh. Maka dari itu sejak peristwa tersebut Puntadewa menitpkan tanah Jawa pada Sunan Kalijaga. Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan.”

19 Wong jawa maksudnya orang Jawa

(27)

Ajaran tersebut di atas ada pada Serat Pikukuh Kesajat nee . Ajaran ini ditulis dalam metrum Dudukwuluh (Megatruh). Metrum ini dalam sastra Jawa termasuk ke dalam tembang Tengahan (Tembang Dhagelan). Aturannya: I (12a), II (8i), III (8u), IV (8i), dan V (8o); tapi dalam kutipan di atas ada penyimpangan (akhir baris keempat) berakhir dengan suara i, dan akhir baris kelima berakhir dengan suara u.

Dalam ajaran tersebut di atas Samin Surosentika mengatakan bahwa sebuah negara itu akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung rakyatnya, apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian. Setiap “sujana”21 diharapkan oleh Samin Surosentika untuk “suka bukti mring praj gwangee ”22 demi “angrengga jagat agung”23.

Begitulah ajaran Samin di bidang politik. Dari ajaran ini dapatlah kita ketahui bahwa Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentika sebenarnya bukan saja disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi saja akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas adalah pemberontakan umum melawan pemerintah Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius. Dengan begitu ajaran Samin Surosentika bukanlah ajaran yang pesimistis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.

21 Sujana, mempunyai art orang cerdik dan pandai 22 Maksudnya, “berbakt pada negara”

(28)

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung

mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan

pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani

yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin. Kemudian

masyarakat Samin mempunyai lima pokok ajaran yang sangat bijaksana diantaranya:

a. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak

membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau

membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.

b. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan

(29)

c. Bersikap sabar dan jangan sombong.

d. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama

dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh

orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan

pakaiannya.

e. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati.

Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur

“ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Masyarakat Samin mempunyai ajaran yang sangat unik. Menurut ajaran Saminisme

orang itu harus rajin bekerja, jangan mencuri milik orang lain. Apabila ada seseorang

minta sesuatu barang milik orang lain, maka orang itu wajib memberi. Ajaran Saminisme

ini mengandung arti kemurahan hati, sabar dan rajin. Unsur-unsur dari ajaran Saminisme

ini merupakan bagian dari gerakan Samin menentang kekuasaan kolonial Belanda. Suku

Samin sering menjadi bahan cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguannya

dan kepolosannya. Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam

area hutan milik negara dan terletak di sebelah Selatan Kabupaten Blora yaitu tepatnya di

Desa Klopoduwur.

Dari keseluruhan ajaran Samin Surosentika tersebut di atas dapatlah disimpulkan

bahwa ajaran Samin Surosentika itu bermacam ragam. Hal itu membuktikan bahwa

Samin Surosentika sangatlah luas pengetahuannya mengenai kebudayaan bangsanya.

Sehubungan dengan hal di atas maka tak mengherankan kita apabila dalam buku

(30)

Bahasa Kawi. Disamping itu disebutkan beberapa nama buku yang telah dibaca oleh

Samin Surosentika. Misal sebagai berikut:

1. “(7) ....Mangertos dhateng larasing sekar ageng ingkang asri kagem ambawani

gendhing.”24

2. “(7) ....sarta mangertos dhateng tembung Kawi punika kasaged anggampilaken

pangertosan anggenipun remen maos buku-buku karanganipun para

linangkung ing jaman kina.”25

3. “(7) ....Umpaminipun kedos d n serat punika utawi ee ee Wedhatama kawedhar.”26

4. “(8) Tumrap Ronggowarsitan piyambak sampun nglampahi, ngebleng kanthi

angeningaken cipta....”27

5. “(8) ....T kadipun dhateng kasidan sang wiku jamadagni punika dipunee

cariyosaken wonten ing Serat Rama.”28

Selain itu Samin Surosentika juga mengajarkan para pengikutnya dengan ajaran yang mudah dan dapat dimengerti oleh pengikutnya yang sebagian besar adalah rakyat jelata atau petani berdasarkan pengetahuan tentang gejala alam. Diantara ajarannya yang berdasarkan pada kearifan tentang tentang kehidupan manusia sehari-hari. Diantara ajarannya adalah yang tertuang pada buku Serat Jamuskalimasada adalah sebagai berikut:

24 Maksudnya, “Mengert akan irama Sekar Ageng (Tembang Gedhe) yang bagus sekali mengawali lagu.”

25 Maksudnya, “....serta mengert kata-kata bahasa kawi agar dapat memudahkan kita membaca buku-buku karangan orang cerdik pandai jaman dulu.”

26 Maksudnya, “....sepert buku yang telah kalian baca atau sepert buku Wedhatamayang telah dikupas.”

(Keterangan: Wedhatama adalah karya pujangga KGPAA Mangkunegara IV)

(31)

Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ).

Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut : Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hidup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.

(32)

Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya.

Hal ini akan mengakibatkan penderitaan. Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.

Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa. Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan.

Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi : Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah keindahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya.

(33)

juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut: Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan.

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger-angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi: Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong. Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu. Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

(34)

Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih mati senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.

3.2. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dijelaskan oleh penulis di atas maka penulis menyarankan kepada semua pihak yaitu:

1. Pemerintah Kabupaten Blora, dimana keberadaan masyarakat samin yang menamakan dirinya sebagai saudara sikep bernaung pada wilayah administratif Kabupaten Blora untuk melestarikan keberadaan masyarakat Samin sebagai bagian dari “Kearifan Lokal” Kabupaten Blora.

2. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Kebudayaan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Blora, untuk mempromosikan Padepokan Samin di desa Klopoduwur Kabupaten Blora sebagai tempat yang dapat dikunjungi wisatawan yang sedang berwisata di Kabupaten Blora

3. Masyarakat Kabupaten Blora, untuk membantu pemerintah Kabupaten Blora dalam melestarikan “Kearifan Lokal” masyarakat Samin.

4. Pemerintah Republik Indonesia, untuk mengangkat nama “Samin Surosentika” sebagai pahlawan Nasional karena Samin Surosentika mempelopori rakyat jelata untuk memperjuangkan nasibnya saat terjadi penindasan yang berupa pajak yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

________. 1987, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora. Blora: Pemerintah Kabupaten Blora

Hutomo, Suripan Sadi. 1970, Masyarakat Samin (Sebuah Tinjauan Sosio Kulturil) . Surabaya: Kantor Pembinaan Permuseuman Perwakialn P & K

Hutomo, Suripan Sadi. 1996, Tradisi dari Blora. Semarang: Citra Almamater

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji hipovirulensi menunjukkan bahwa isolat cendawan yang bersifat hipovirulen adalah isolat yang tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan bibit

Hasil pengujian pada struktur mikro dengan menggunakan mikroskop metalurgi dapat disimpulkan bahwa baja AISI 1045 tanpa elektroplating mudah terpapar korosi dibandingkan

Oleh kerana dalam Agama Hindu terdapat ramai dewa dan dewi maka setiap seorang dewa atau dewi berkenaan mempunyai perayaanya yang tersendiri.. Ganesa juga terdapat tidak

Dari hasil rekaman server, user memasukkan data username dan password yang sudah benar, tetapi server juga merekam bahwa mac address dari perangkat 2 tidak sesuai

No Nama Tmp Lahir Tgl Lahir Tgl Menikah

Produksi Minuman Sari Apel... Pusat

Peninjauan terhadap penyajian data dan catatan di lapangan melalui diskusi tim peneliti, selalu dilakukan dalam penarikan kesimpulan dan verifikasi. 9 Selain itu,

Latar belakang penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis matematika siswa kelas III SD Negeri Plaosan 1 Pada materi operasi hitung