• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 151

Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu

Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Ensefalitis Toksoplasmosis merupakan manifestasi utama pada penderita HIV-AIDS.

Manifestasi sistemik lainnya, retinitis dan peneumonitis jarang ditemukan. Toxoplasma gondii

merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada manusia sehat. Pada

penderita HIV-AIDS terjadinya ensefalitis toksoplasmosis lebih sering disebabkan reaktivasi dari

infeksi laten yang sudah ada sebelumnya dibanding infeksi yang baru didapat. Diagnosis ensefalitis

toksoplasmosis didasarkan pada gambaran klinis neurologis, pemeriksaan neuroimaging, serologis

dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak. Biopsi terutama dianjurkan untuk

kasus-kasus dengan pemeriksaan imajing yang tidak jelas atau pada keadaan terapi presumtif yang

menunjukkan kegagalan. Penatalaksanaan ensefalitis toksoplasmosis pada penderita HIV-AIDS

adalah pemberian anti toksoplasmosis dan sebagai terapi standar adalah pirimetamin dan

sulfadiazin.

Kata kunci: ensefalitis toksoplasmosis, toxoplasma gondii, HIV-AIDS

Abstract: Toxoplasmosis encephalitis is the main manifestation in HIV-AIDS patients. Other

sistemic manifestations, retinitis and pneumonitis are rare. Toxoplasma gondii is an intracellular

paracite that can cause asymptomatic infection on healthy humans. In HIV-AIDS patients,

toxoplasmosis encephalitis is more often caused by reactivation of laten infection that is already

exist before, compare to newly aquired infection. The diagnosis of toxoplasmosis is based on

clinical neurologic feature, neuroimaging, serologic and biopsy examination. The defenite

diagnosis is made by brain biopsy. Biopsy is specially recomennded on cases with unclear imaging

examination or on condition where presumtive therapy showed failure. The management of

toxoplasmosis encephalitis in HIV-AIDS patients is administration of anti toxoplasmosis, and as

standard therapy is primethamine and sulphadiazine.

Keywords: toxoplasmosis encephalitis, toxoplasma gondii, sulphadiazine

PENDAHULUAN

Aquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun

1981, dan

Human Immunodeficiency Virus

(HIV) telah diketahui sebagai penyebab pada tahun 1984. Pada bulan Desember 2002, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 42 juta penduduk hidup dengan HIV. Dalam tahun 2002, dtemukan 5 juta penderita baru yang terinfeksi HIV dan 3,1 juta meninggal dunia.1

Kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali.2,3

Secara kumulatif pengidap infeksi dan kasus HIV-AIDS 1 April 1987 sampai 30 September 2005, terdiri dari 4065 HIV dan 4186 AIDS

dengan jumlah total 7098 dengan jumlah kematian 1028 penderita.4

Berdasarkan data kasus HIV-AIDS dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari jumlah kasus HIV-AIDS di bulan Juli 286 penderita meningkat pada bulan Oktober menjadi 301 penderita dengan perincian 177 HIV positif dan 124 AIDS. Peningkatan penemuan kasus juga meningkat di RSU. H. Adam Malik Medan sampai bulan Oktober 2005 ditemukan 132 kasus

HIV/AIDS.5

Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak langsung akibat infeksi

oportunistik

immunocompromised

. Studi di

(2)

Dalton Silaban dkk. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 152 sistim saraf terjadi pada 30-70% penderita

HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik yang mendapat kelainan pada 90 spesimen post mortem dari penderita HIV yang di periksa.6

Infeksi oportunistik terhadap sistim saraf pada AIDS bisa oleh patogen viral atau non viral. Infeksi non viral tersering adalah ensefalitis toksolasmosis (ET) yang disebabkan oleh

Toxoplasma gondii (T.gondii)

. 7

Secara klinik ET dijumpai pada 30-40 % penderita AIDS, dimana penyakit ini lebih sering disebabkan reaktivasi dari infeksi laten yang sudah ada sebelumnya dibanding infeksi yang baru di dapat. 6,8

LAPORAN KASUS

Seorang pria (RN) usia 37 tahun, suku Tionghoa, Budha, belum menikah, tidak ada pekerjaan, alamat Jalan Pahlawan Gg. Sesama No. 26 Binjai. Datang ke RS. H. Adam Malik Medan, dengan keluhan penurunan kesadaran yang dialami penderita sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, berlangsung perlahan-lahan. Keadaan ini disertai demam turun naik dan mencret-mencret yang sudah berlangsung 3 minggu.

Riwayat sakit kepala sudah dialami penderita sejak 1 bulan yang lalu, pada seluruh kepala, hilang timbul dan sejak 1 minggu ini semakin memberat dan tidak hilang lagi dengan obat-obat sakit kepala. Riwayat jalan terseret dijumpai pada sisi tubuh sebelah kanan sudah berlangsung sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat kejang ditemukan satu minggu sebelum masuk rumah sakit seluruh tubuh menghentak-hentak frekwensi 2 kali per hari, berlangsung kira-kira 5 menit, muntah menyembur ditemukan.

Riwayat pemakaian narkoba dijumpai sejak 8 tahun yang lalu, dengan menggunakan jarum suntik.

Riwayat perilaku seksual bebas tidak jelas. Riwayat batuk-batuk sudah. Dialami penderita sejak 2 minggu belakangan ini. Riwayat penurunan berat badan drastis dijumpai.

Dari pemeriksaan fisik dijumpai sensorium apatis, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 88 X/menit, pernafasan 28 X/menit dan temperatur febris. Pemeriksaan fisik paru dijumpai ronkhi basah pada kedua lapangan paru.

Pemeriksaan neurologis dijumpai sensorium apatis, tanda peninggian tekanan intrakranial, dari saraf kranial dijumpai pupil anisokor, refleks cahaya (+) menurun pada mata kiri, mata kiri tidak bisa dibuka, dan digerakkan. Sudut mulut kesan tertarik ke kiri. Hipertonus, kekuatan motorik sulit dinilai kesan parese ke empat ekstremitas didapati peninggian refleks biceps, APR/KPR. Refleks patologis Babinski kiri dan kanan (+).

Pemeriksaan laboratorium darah dijumpai Hb 11, 7 gr/dl. LED 45 mm/jam. Pemeriksaan test narkoba (-), pemeriksaan Imuno-Serologi HIV Test: Positif 20,21. Ig M Anti Toksoplasma Negatif 0,0, Ig G Anti Toksoplasma Positif >300 UI/mL.

Pemeriksaan penunjang lain pada foto thorax dijumpai infltrat pada paru kanan tengah. Pada Head CT Scan dijumpai kesan sesuai gambaran ensefalitis. Pasien diberi terapi dengan injeksi Ceftriaxon 2 gr/12 jam/ IV, injeksi deksamethason 2 ampul bolus kemudian di-

taffering off,

Fansidar 3 X tab 1, Klindamisin 4 X 300 mg

,

Asam folat 3 X tab 1.

DISKUSI KASUS

T. gondii

merupakan parasit intraselluler

yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada penderita HIV-AIDS. ET merupakan manifestasi utama toksoplasmosis pada penderita HIV-AIDS.8, 9, 10

Pada kasus ini dilaporkan seorang penderita Pria, RN, 37 tahun, Tionghoa, didiagnosa ET dengan HIV-AIDS berdasarkan anamnese, pemeriksaan fisik, neurologis dan pemeriksaan penunjang serologis dan imajing. Ada 4 kategori prosedur diagnostik dalam mendiagnosa ET. Pemeriksaan neuroradiologi, histologi, serologi, dan

PCR based assays

.11

(3)

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 153

tanda neurologik fokal sebagai akibat proses infeksi yang progresif.1

Riwayat pemakaian narkoba jarum suntik ditemukan pada pasien ini yang mungkin sebagai penularan HIV.

Pada pemeriksaan neurologis pada pasien ditemukan simptom dan tanda neurologis fokal berupa hemiparese dupleks, kranial

nerve palsi,

seizure.

AIDS dengan

toksoplasmosis SSP dijumpai defisit neurologis dalam 50-89 % dari pasien, seizure dalam 15-25 % pasien, perubahan status mental dan peninggian tekanan intrakranial.12

Toksoplasmosis harus selalu dipertimbangkan pada penderita AIDS bila ditemukan defisit neurologis fokal terutama

jika ditemukan

seizure,

nyeri kepala dan

demam.12

Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil imunoserologi HIV test positif 20,21 (ELISA). Pemeriksaan serologis ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 98%.13 Pemeriksaan serologis lainnya yang dijumpai pada pasien ini adalah Ig M anti toksoplasma dengan hasil negatif 0,0 dan Ig G anti Toksoplasma positif > 300 IU / ml. Di RSCM titer Ig G anti Toksoplasma yang dianggap positif bila lebih besar dari 300 IU/ml.6

Pemeriksaan head CT scan tanpa kontras pada pasien ini menunjukkan lesi hipodens yang luas sesuai gambaran ensefalitis. Hasil ini tidak banyak membantu untuk menegakkan diagnosa ET sebab tidak dilakukan kontras. Pemeriksaan imajing pada pasien ET memperlihatkan lesi otak multipel dengan cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan disekitarnya.6 Ensefalitis toksoplasmosis jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi. MRI lebih sensitif dibanding CT scan, sehingga teknik ini lebih disukai, khususnya pada pasien-pasien tanpa gangguan neurologik fokal. Pasien-pasien dengan hanya satu lesi atau tidak tampak pada CT scan harus dilakukan MRI untuk menentukan apakah lebih dari satu lesi muncul. 14,15

Pada saat masuk rumah sakit pasien didiagnosa banding dengan ensefalitis HIV, SOL (abses serebri, limfoma, tumor) dan stroke berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium.

Diagnosa banding dengan HIV disingkirkan dengan pemeriksaan serologis ditemukannya IgG anti toksoplasma positif >

300 UI/ml. Meskipun sebenarnya pemeriksaan kadar CD4 sangat diperlukan, dimana biasanya nilai CD4 dibawah 100 sel/µL untuk ET sebagai diagnosa

presumtif

. 6.9

Diagnosa banding dengan SOL (limfoma SSP, abses, tumor) dibuat karena gambaran klinis, radiologis yang menyerupai ET. Limfoma SSP merupakan neoplasma yang lazim dijumpai pada penderita HIV-AIDS. Pemeriksaan SPECT, PET, dan MR spektroskopi dapat digunakan untuk

membedakan lesi ET dengan limfoma SSP.9

Diagnosa banding dengan stroke iskemik dibuat, karena AIDS sendiri merupkan faktor risiko untuk terjadinya stroke iskemik, adanya defisit neurologis fokal. Meskipun dapat disingkirkan dengan onsetnya yang perlahan-lahan, dan tidak adanya riwayat penyakit metabolik.

Penanganan kasus ini dilakukan melalui diagnosis presumtif dengan memberikan

terapi anti toksoplasmosis.

European

Federation of Neurological Societes (EFNS)

mengeluarkan paduan tatalaksana yaitu secara praktis pada semua penderita HIV-AIDS dengan massa intrakranial dapat diberikan terapi empiris anti toksoplasmosis selama 2 minggu, walaupun serologisnya negatif atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan klinis ataupun radiologis berulang dianjurkan biopsi.9

Diagnosis defenitif pada penderita ini hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak, atau ditemukannya DNA toksoplasma melalui metode PCR.

Prognosis pasien ini adalah jelek dimana penderita meninggal setelah dirawat selama 2 minggu. ET yang berat sering terjadi pada

penderita

immunocompromised,

dan sering

menimbulkan kematian.13

KESIMPULAN

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan

anamnese, gambaran klinis, pemeriksaan neurologi, pemeriksaan penunjang/ serologis.

2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnosa

presumtif mengingat pemeriksaan histopatologi dan PCR tidak dilakukan.

3. Dengan semakin banyaknya kasus infeksi

(4)

Dalton Silaban dkk. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 154 SARAN

1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang

ulang Head CT Scan kontrast, CD4, untuk keperluan diagnostik dan evaluasi pengobatan.

2. Perlu dilakukan biopsi histopatologi/PCR

untuk diagnosa pasti pada kasus ini.

3. Untuk para klinisi perlu dipertimbangkan

jika terdapat lesi massa intraserebral pada penderita HIV-AIDS, sebaiknya toksoplasma serebri menjadi salah satu diagnosa banding.

KEPUSTAKAAN

1. Luft B J, Sivadas R. Toxoplasmosis. In:

Scheld WM, Whitely RJ, Marra CM, editorss. Infections of The Central

Nervous System. 3rd

ed.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.755-76.

2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman

Nasional Perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA.Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan DepKes RI;2003.

3. Djauzi S, Djoerban.Penatalaksanaan

HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2002.

4. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik

Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available from:http://www.lp3y.org/content/AIDS/ sti.htm

5. Harian Analisa. Sumut Peringkat ke-6

Penyebaran HIV-AIDS. Medan: Harian Analisa 1 Desember 2005; halaman 1 kol 2-5.

6. Jofisal J. Komplikasi Neurologik HIV Aspek Patofisiologi. Diagnostik dan Terapi Neurona 2004; 21(4): 17-23.

7. Saanin S. Sindroma Imunodefisiensi

didapat (AIDS). Available from:http://www.angelfire.com/nc/neuro

surgery/AIDS.html

8. Cabre P, Smadja D, Cable A, Newton

CRJC. Neurological aspects of Tropical disease: HTLV-1 and HIV infections of the CNS in tropical areas. J. Neurol. Neurosurg.Psychiatry 2000; 68:550-57.

9. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,

editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran UI; 2005.

10. Gilroy J. Basic Neurology. 3nd

ed. New York: Mc Graw-Hill; 2000.

11. Chaison RE, Bishai W. The Management of Pneumocytis carinii, toxoplasmosis, and HSV Infections in patients With HIV Disease. Available from:https://profreg. medscape.com/px/getlogin

12. Chaison RE, Bishai W. The Management of Pneumocytis carinii, toxoplasmosis, and HSV Infections in patients With HIV Disease. Available from:https://profreg. medscape.com/px/getlogin

13. Britton CB. Merrit,s Neurology.

In:Rowland LP, editors.Aquired

Immunodeficiency Syndrome.10th

ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.p.163-79.

14. Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV.

HIV In Site Knowledge Base Chapter. UCSF Center for HIV Information. January 2004. Available from: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-04-03

15. Sze G, Lee HS. Cranial MRI and CT. In: Lee HS, Rao KCVG, Zimmerman

RA.Infectious diseases.4th

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan tentang Rencana Aksi Pengelolaan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Sungai Percut Provinsi Sumatera Utara di peroleh skor pada stasiun I -10 dan dapat di golongkan pada kelas II,

Jumlah daun yang terbentuk setiap tahun pada tipe ini lebih banyak dari pada tipe dura, tetapi ukurannya lenih kecil (Semangun dan Lahija, 1985). Persyaratan Tumbuh Tanaman

From the research results conducted by the author the performance of School Administration Personnel in students management can be categorized maximum. There are

SENYUM TapCash Commuterline, Hanya bayar 71% setiap naik Commuterline, berlaku setiap

 paralel sedangkan klinoamfibol memperlihatkan sudut pemadaman miring (&alaupun.. dalam sayatan tertentu bisa memperlihatkan sudut pemadaman peralel!.. )eterangan

demikian pula konsep modern cubism, menyatunya ruang luar dan ruang dalam dengan bukaan jendela dan pintu selebar bidang dengan berbagai bentuk dan penerapan oleh

yang profesional harus dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau?. yang profesional harus dapat dinilai dalam situasi yang tidak