UJI EFEKTIVITAS KOMBINASI PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI SERTA SERAPAN HARA TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA
TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG
Oleh
OKTARINA MAULIDIA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pertanian
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Oktarina Maulidia
ABSTRAK
UJI EFEKTIVITAS KOMBINASI PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI SERTA SERAPAN HARA TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA
TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG
O l e h
O K T A R I N A M A U L I D I A
Ubikayu merupakan tanaman yang mampu mengangkut hara yang tinggi dari
dalam tanah. Sehingga dibutuhkan usaha untuk menambahkan unsur hara guna
meningkatkan produksi ubikayu sekaligus memelihara kesuburan tanah. Pupuk
Organonitrofos merupakan pupuk yang baru dikembangkan yang terbentuk dari
proses pengomposan kotoran sapi segar (FM) dan batuan fosfat (BF) yang
ditambahkan mikroba penambat N dan pelarut P. Untuk mengetahui pengaruh
dari pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik maka
dilakukan uji efektivitasnya terhadap tanaman ubikayu. Adapun penelitian ini
bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemberian pupuk Organonitrofos dan
kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi dan
serapan hara tanaman ubikayu, (2) menetapkan dosis kombinasi pupuk
Organonitrofos dan pupuk anorganik yang paling efektif terhadap pertumbuhan,
produksi dan serapan hara tanaman ubikayu, (3) menguji efektivitas pupuk
Oktarina Maulidia
ubikayu. Pada penelitian ini terdapat 6 perlakuan yaitu T1 (kontrol), T2 (200 kg
ha-1 urea, 300 kg ha-1 SP36, 400 kg ha-1 KCl), T3 (150 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1
SP36, 300 kg ha-1 KCl, 500 kg ha-1 Organonitrofos), T4 (100 kg ha-1 urea, 100 kg
ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1 Organonitrofos), T5 (50 kg ha-1 urea, 50
kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl , 2.000 kg ha-1 Organonitrofos), dan T6 (5.000 kg
ha-1 Organonitrofos) dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
perlakuan 100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1
Organonitrofos mampu meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan serapan hara
ubikayu lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk anorganik dengan dosis 200
kg ha-1 urea, 300 kg ha-1 SP36, 400 kg ha-1 KCl, dalam hal pertumbuhan (tinggi
tanaman), produksi (bobot umbi), dan serapan hara NPK.
DAFTAR ISI
4.2 Pengaruh Aplikasi Perlakuan Pupuk terhadap Kesuburan Tanah 31
4.3 Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Ubikayu ... 34
4.4 Produksi Tanaman Ubikayu ... 36
4.5.1 Nitrogen (N) ... 40
4.5.2 Fosfor (P) ... 42
4.5.3 Kalium (K) ... 45
4.6 Uji Korelasi ... 47
4.7 Analisis RAE (Relative Agronomic Effectiveness) ... 48
4.8 Analisis Uji Ekonomis ... 50
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
5.1 Kesimpulan ... 52
5.2 Saran ... 52
PUSTAKA ACUAN ... 53
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perlakuan dosis pupuk yang digunakan. ... 22
2. Hasil analisis tanah awal petak percobaan. ... 29
3. Hasil analisis pupuk organik (Organonitrofos). ... 30
4. Hasil analisis tanah setelah dilakukan aplikasi kombinasi pupuk
Organonitrofos dan pupuk anorganik serta penanaman ubikayu. ... 31
5. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap tinggi tanaman ubi kayu pada 20 MST. ... 35
6. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap bobot umbi ubikayu. ... 37
7. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap bobot berangkasan ubikayu. ... 38
8. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap serapan hara N pada bagian umbi dan berangkasan. ... 41
9. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap serapan hara P pada bagian umbi dan berangkasan. ... 43
10. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap serapan hara K pada bagian umbi dan berangkasan. ... 46
11. Uji korelasi antara serapan NPK dengan pertumbuhan dan
produksi tanaman ubikayu. ... 47
12. Indeks Relative Agronomic Effectiveness (RAE) pada
produksi umbi ubikayu. ... 49
13. Indeks uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap tanaman
14. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
terhadap tinggi tanaman pada 4 MST. ... 58
15. Pengaruh pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 8 MST. ... 58
16. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 12 MST. ... 59
17. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 16 MST. ... 59
18. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 20 MST. ... 60
19. Uji homogenitas tinggi tanaman ubikayu pada 20 MST. ... 60
20. Analisis ragam tinggi tanaman ubikayu pada 20 MST. ... 61
21. Uji DMRT taraf 5% terhadap tinggi tanaman ubikayu 20 MST. ... 61
22. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot umbi basah ubikayu. ... 62
23. Uji homogenitas bobot basah umbi. ... 62
24. Analisis ragam bobot basah umbi ubikayu. ... 63
25. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot basah umbi ubikayu. ... 63
26. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot kering umbi. ... 64
27. Uji homogenitas bobot kering umbi. ... 64
28. Analisis ragam bobot kering umbi tanaman ubikayu. ... 65
29. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot kering umbi tanaman ubikayu. . 65
30. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot berangkasan tanaman. ... 66
31. Uji homogenitas bobot basah berangkasan. ... 66
33. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot basah berangkasan tanaman
ubikayu. ... 67
34. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot kering berangkasan tanaman. ... 68
35. Uji homogenitas bobot kering berangkasan. ... 68
36. Analisis ragam bobot kering berangkasan tanaman ubikayu. ... 69
37. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot kering berangkasan tanaman ubikayu. ... 69
38. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan kombinasinya anorganik terhadap serapan N pada umbi. ... 70
39. Uji homogenitas serapan N pada umbi. ... 70
40. Analisis ragam serapan N pada umbi. ... 71
41. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada umbi. ... 71
42. Pengaruh pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap serapan P pada umbi. ... 72
43. Uji homogenitas serapan P pada umbi. ... 72
44. Analisis ragam serapan P pada umbi. ... 73
45. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan P pada umbi. ... 73
46. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan K pada umbi. ... 74
47. Uji homogenitas serapan K pada umbi. ... 74
48. Analisis ragam serapan K pada umbi. ... 75
49. Uji DMRT 5% terhadap serapan K pada umbi. ... 75
50. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan N pada berangkasan. ... 76
51. Uji homogenitas serapan N pada berangkasan. ... 76
53. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada berangkasan. ... 77
54. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan P pada berangkasan. ... 78
55. Uji homogenitas serapan P pada berangkasan. ... 78
56. Analisis ragam serapan P pada berangkasan tanaman ubikayu. ... 79
57. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada berangkasan. ... 79
58. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan K pada berangkasan. ... 80
59. Uji homogenitas serapan K pada berangkasan. ... 80
60. Analisis ragam serapan K pada berangkasan tanaman ubikayu. ... 81
61. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan K pada berangkasan. ... 81
62. Uji korelasi antara serapan NPK dengan pertumbuhan dan produksi tanaman ubikayu. ... 82
63. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (subsidi). ... 82
64. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga subsidi terhadap tanaman ubikayu. ... 83
65. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (nonsubsidi eceran). ... 83
66. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga nonsubsidi eceran terhadap tanaman ubikayu. ... 84
67. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (nonsubsidi grosir). ... 84
68. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga nonsubsidi grosir terhadap tanaman ubikayu. ... 85
69. Harga pupuk anorganik dan Organonitrofos. ... 85
70. Nilai-nilai rp untuk Uji Jarak Duncan (DMRT) yang digunakan pada penelitian. ... 85
vii DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak percobaan. ... 22
2. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dengan pupuk
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu
merupakan bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Daunnya dapat
digunakan sebagai sayur maupun pakan ternak. Selain itu, seiring dengan
bertambahnya kebutuhan energi dunia, ubikayu juga menjadi salah satu sumber
energi alternatif dalam bentuk bioetanol.
Pada tahun 2011, total produksi ubikayu di Indonesia mencapai 24.044.025 ton
dengan luas lahan 1.184.696 ha. Sedangkan total produksi ubikayu Provinsi
Lampung pada tahun 2011 mencapai 9.193.676 ton dengan luas panen sebesar
368.096 ha (BPS, 2012). Berdasarkan total produksi tersebut, Provinsi Lampung
merupakan salah satu daerah penghasil ubikayu tertinggi di Indonesia.
Adapun konsumsi penduduk dunia, khususnya penduduk negara-negara tropis
diprediksi sekitar 300 juta ton ubikayu tiap tahun (Rukmana, 1997). Sedangkan
Indonesia diperkirakan kekurangan 5,3 juta ton ubikayu tiap tahun (Suyamto dan
Wargiono, 2006 dalam Subandi, 2011). Permintaan ubikayu tersebut juga akan
terus meningkat seiring dengan pengembangan energi alternatif bioetanol
pengganti minyak bumi yang semakin habis. Sehingga dibutuhkan peningkatan
2
seperti penyediaan klon-klon unggul, pengendalian hama dan penyakit, serta
pemupukan.
Salah satu permasalahan dalam peningkatan produksi ubikayu di Indonesia adalah
rendahnya tingkat kesuburan tanah. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di
Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar
25% dari total luas daratan di Indonesia (Subagyo dkk., 2004 dalam Prasetyo dan
Suriadikarta, 2006).
Secara fisik menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006), Tanah Ultisol dicirikan
oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi
daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Selain itu
Tanah Ultisol cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Reaksi Tanah Ultisol
umumnya masam hingga sangat masam (pH 3,10-5). Lebih lanjut menurut
Purwani dkk., (2008), Tanah Ultisol Lampung memiliki pH 4,5; C-organik
1,12%; P2O53,8 ppm; N-total 0,15%; K-dd 0,27 me 100 g-1, dan KTK 4,03 me
100 g-1.
Berdasarkan karaktersitik tersebut apabila dibandingkan dengan nilai baku sifat
kimia tanah maka kadar unsur hara dan KTK Tanah Ultisol tergolong rendah.
Sehingga untuk meningkatkan produksi tanaman ubikayu dibutuhkan
penambahan unsur hara melalui kegiatan pemupukan.
Pupuk digunakan dalam sistem budidaya untuk menambahkan kandungan unsur
hara dalam rangka memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Menurut Howeler
3
untuk pertumbuhan tanaman, sedang hara P dan K sangat diperlukan dalam
pembentukan, pembesaran dan pemanjangan umbi.
Untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman tersebut, pupuk yang diberikan
dapat berupa organik maupun anorganik. Menurut Purwani dkk., (2008)
pemberian pupuk organik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
pengelolaan lahan kering masam dan meningkatkan kadar bahan organik tanah.
Bahan organik tanah tersebut memiliki fungsi ganda yaitu sebagai amelioran,
sumber hara, perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Namun petani sekarang lebih banyak tergantung kepada pupuk anorganik yang
memiliki harga yang tinggi. Di samping itu, menurut Juarsah (1999), petani mulai
banyak meninggalkan penggunaan pupuk organik karena kurang efektif dan
efisien, akibat kandungan unsur hara dalam bahan organik yang relatif kecil dan
lambat tersedia.
Akibat penanaman terus menerus tanpa penggunaan bahan organik maka akan
berdampak pada penurunan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak
tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah pada tingkat rawan atau
hampir habis. Padahal bahan organik penting dalam menunjang produksi
tanaman dan sekaligus mempertahankan kondisi lahan yang produktif dan
berkelanjutan.
Menyadari dampak negatif pada tanah dari ketergantungan pada pupuk anorganik
maka kembali muncul pada akhir-akhir ini konsep pertanian organik. Salah satu
4
kembali bahan organik (Atmojo, 2003). Namun apabila petani hanya bergantung
pada pupuk organik diperlukan pupuk organik dalam jumlah yang besar untuk
memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Sehingga ketersediaannya yang
terbatas dan proses transportasi pupuk organik tersebut menyulitkan petani.
Untuk itu dicari golongan pupuk yang mampu menyediakan unsur hara memadai
yang bersumber dari sumber daya lokal yang melimpah di Provinsi Lampung.
Nugroho dkk., (2013) telah mengembangkan pupuk organomineral NP
(Organonitrofos). Pupuk Organonitrofos merupakan salah satu bentuk pupuk
organik. Pupuk Organonitrofos terbentuk dari proses pengomposan kotoran sapi
segar (FM) dan batuan fosfat (BF) yang ditambahkan mikroba penambat N dan
pelarut P. Dengan demikian pemberian pupuk Organonitrofos ini diharapkan
mampu meningkatkan produksi ubikayu dan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik. Kedua bahan baku (FM dan BF) bersumber dari sumberdaya lokal
yang cukup melimpah di Provinsi Lampung, sehingga harga pupuk alternatif ini
akan lebih murah bagi petani.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh pemberian pupuk Organonitrofos dan kombinasinya
dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara
tanaman ubikayu.
2. Menetapkan dosis kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik
yang paling efektif terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara
5
3. Menguji efektivitas pupuk Organonitrofos terhadap pertumbuhan, produksi,
dan serapan hara tanaman ubikayu.
1.3 Kerangka Pemikiran
Pemupukan ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk menambah hara
tanaman pada tanah (Notohadiprawiro dkk., 2006). Kegiatan pemupukan ini
bertujuan untuk menambahkan kandungan hara di dalam tanah. Dengan demikian
terjadi peningkatan ketersediaan hara sehingga mampu meningkatkan serapan
yang berdampak pada produksi tanaman.
Di Indonesia, sejak tahun 1968 terjadi peningkatan kebutuhan pupuk anoragnik
secara tajam. Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi yang tidak
proporsional berdampak pada tidak stabilnya status hara dalam tanah
(Notohadiprawiro, 1972). Selain itu, penggunaan pupuk anorganik juga
meningkatkan penggunaan energi dan harganya relatif mahal bagi petani.
Ubikayu mengangkut hara yang tinggi dari dalam tanah. Menurut Roy dkk.,
(2006), apabila ubikayu menghasilkan 37 ton ha-1umbi basah, maka akan
mengangkut unsur hara sebanyak 198 kg N, 70 kg P2O5, 220 kg K2O, 47 kg MgO,
143 kg CaO, dan 19 kg S ha-1. Oleh karena itu menurut Wargiono dan Tuherkih
(1988) pemupukan terhadap ubikayu perlu dilakukan setiap musim tanam dengan
takaran minimal sama dengan hara yang hilang terangkut oleh panen.
Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah yang besar. Akan tetapi ketersediaan nitrogen menjadi masalah,
6
efisiensi pemupukan semakin rendah (Sismiyati dan Partohardjono, 1994). Hal
ini disebabkan unsur N mudah tercuci bersama air, sehingga kurang tersedia bagi
tanaman. Begitu juga dengan unsur hara fosfor (P). Menurut Novizan (2002),
ketersediaan fosfor di dalam tanah ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang
paling penting adalah pH tanah. Pada tanah ber-pH rendah (masam), fosfor akan
bereaksi dengan ion besi (Fe) dan aluminium (Al) yang sukar larut di dalam air
sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan efektivitas pemupukan terhadap
pertumbuhan dan produksi ubikayu ialah penggunaan pupuk organik yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik. Menurut Musnamar (2007),
penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk anorganik
dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunaan pupuk
anorganik, baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Telah banyak
dilaporkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan
pupuk anorganik secara terpadu.
Pemberian pupuk organik ke dalam tanah akan membantu memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Menurut Atmojo (2003), peran bahan organik yang
paling besar terhadap sifat fisik tanah ialah antara lain perbaikan struktur,
konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan ketahanan terhadap erosi.
Kemudian peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah antara lain peningkatan
kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga
tanah dan keharaan tanah. Sedangkan peranan bahan organik terhadap sifat
7
Kombinasi antara perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan membantu
meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah bagi tanaman.
Hasil pengamatan terhadap penerapan paket teknologi budidaya ubikayu di
Lampung Utara menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik dengan dosis
200 kg urea ha-1+ 150 kg SP36 ha-1+ 100 kg KCl ha-1dan 5.000 kg pupuk
kandang ha-1menghasilkan pertumbuhan (tinggi tanaman dan diameter batang)
yang lebih baik dibandingkan dengan petani non kooperator yang tidak
menerapkan teknologi pemupukan (tanpa pupuk organik, pupuk anorganik
minimum) (BPTP Lampung, 2004). Adapun menurut Departemen Pertanian
(2006), dosis pupuk yang berimbang untuk budidaya ubikayu adalah 5-10 ton ha-1
pupuk organik, 150-200 kg urea ha-1, 100 kg SP36 ha-1, dan 100-150 kg KCl ha-1.
Pupuk N paling diperlukan untuk mendapatkan hasil umbi yang optimal. Hasil
penelitian musim tanam 1998/1999 menunjukkan bahwa pemupukan 200 kg urea
ha-1mampu meningkatkan hasil umbi 2-3 kali lipat dari yang tidak dipupuk. Di
samping pupuk N, pupuk P dan K juga sangat diperlukan untuk mendapatkan
hasil umbi yang optimal pada tanah yang sangat miskin hara P dan K (Ispandi,
2002).
Pemupukan dengan berbagai dosis kombinasi NPK dan pupuk organik
berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi besar/tanaman, bobot umbi/tanaman,
dan hasil umbi. Pemupukan dengan 100 kg urea ha-1memberikan jumlah umbi
terendah. Bobot umbi tertinggi pertanaman diperoleh dengan pemupukan 400 kg
urea ha-1+ 150 kg SP36 ha-1+ 150 kg KCl ha-1+ 5 ton pupuk kandang ha-1.
8
mengisyaratkan bahwa pemberian pupuk kandang sangat diperlukan untuk
memperoleh hasil yang tinggi (Prasetiaswati dkk., 2011).
Manfaat pupuk kandang (bahan organik) tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Suyamto (1998 dalam Subandi 2011) bahwa penambahan takaran pupuk K pada
tanah dengan ketersediaan K yang sangat rendah tidak meningkatkan hasil.
Peningkatan takaran K menjadi 120 kg K2O ha-1tidak meningkatkan hasil secara
signifikan apabila tidak ada tambahan pupuk organik, yaitu hanya menghasilkan
umbi segar 23,46 ton ha-1. Dengan pemberian 10 ton ha-1pupuk kandang,
pemupukan 120 kg K2O ha-1meningkatkan hasil menjadi 29,84 ton ha-1.
Hasil penelitian-penelitian tersebut menjelaskan adanya faktor pembatas dalam
pertumbuhan tanaman. Adanya faktor pembatas menjadi penentu dalam
pertumbuhan suatu tanaman. Hal tersebut sesuai dengan hukum minimum dari
Justus von Leibig bahwa apabila salah satu faktor terdapat dalam keadaan yang
paling kritis (paling jelek) bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan faktor lain
berada dalam keadaan cukup, maka pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor
yang paling kritis tersebut. Dengan kombinasi antara pupuk organik dan pupuk
anorganik maka diharapkan dapat memperbaiki faktor pembatas pertumbuhan dari
tanaman ubikayu.
Pupuk Organonitrofos merupakan pupuk organik yang baru dikembangkan
dengan bahan baku kotoran sapi dan batuan fosfat. Menurut Triolanda (2011),
dalam pupuk Organonitrofos (organomineral NP) selama proses dekomposisi
kotoran sapi segar menghasilkan asam-asam organik yang akan menyumbangkan
9
dalam proses pelarutan fosfat dari batuan fosfat, dan mikroba amonifikasi
berperan dalam proses mineralisasi N yang mengubah N organik menjadi NH4-N.
Dari pelarutan batuan fosfat akan menghasilkan Ca2+yang mampu merangsang
akivitas mikroba perombak bahan organik. Dari reksi sinergis ini batuan fosfat
kemudian dapat melarutkan P dalam ion-ion fosfat yang tersedia bagi tanaman.
Di samping itu kotoran sapi segar yang telah didekomposisi menghasilkan
kompos yang kemuudian NH4+-N dan NO3--N yang tersedia bagi tanaman.
Untuk mengetahui kinerja dari pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan
pupuk anorganik maka dilakukan uji efektivitas. Menurut Depdiknas (2009),
efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan,
manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau
tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan
instruksional khusus yang telah dicanangkan. Sedangkan menurut Peraturan
Menteri Pertanian RI No.70/PERMENTAN/SR.140/10/2011, uji efektivitas
pupuk organik adalah kegiatan uji lapang atau rumah kaca untuk mengetahui
pengaruh dari pupuk organik terhadap pertumbuhan dan/atau produktivitas
tanaman, efisiensi pemupukan, atau peningkatan kesuburan tanah.
Pengujian efektivitas terhadap pupuk Organonitrofos telah dilakukan pada
tanaman tomat dan jagung. Menurut Anjani (2013), pupuk Organonitrofos yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik mampu mensubsitusikan pupuk
anorganik tunggal dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah
buah, bobot buah segar, dan bobot berangkasan. Selain itu menurut Septima
10
tertentu mampu meningkatkan tinggi tanaman, bobot pipilan dan serapan hara
pada tanaman jagung.
Dengan demikian dibutuhkan juga uji efektivitas kombinasi pupuk Organonitrofos
dan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara pada
tanaman ubikayu.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun beberapa hipotesis
sebagai berikut:
1. Pemberian pupuk Organonitrofos disertai kombinasinya dengan pupuk
anorganik akan meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan serapan hara
tanaman ubikayu.
2. Terdapat dosis yang paling efektif antara kombinasi pupuk Organonitrofos dan
pupuk anorganik yang akan meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan
serapan hara tanaman ubikayu.
3. Efektivitas pupuk Organonitrofos terhadap tanaman ubikayu akan lebih baik
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Ultisol
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh
penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman
tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini
mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah
ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti
Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka
terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993).
Menurut Prasetyo dkk., (2005 dalam Prasetyo dan Suriadikarta, 2006) reaksi
pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali dari batu
gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50).
Kapasitas tukar kation pada dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah
masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol kg-1, 6,11−13,68 cmol kg-1, dan
6,10−6,80 cmol kg-1, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu
gamping tergolong tinggi (>17 cmol kg-1).
Menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006), kandungan hara pada umumnya
rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan
12
erosi. Pada yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya
bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini
tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas
tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat.
Oleh karena itu, peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui perbaikan
tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.
2.2 Tanaman ubikayu (Manihot esculenta Crantz)
Singkong atau ubikayu (Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilissima Pohl)
termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae, mempunyai daun berbentuk tangan,
batang beruas-ruas dan bercabang, tumbuh tegak, serta ketinggiannya dapat
mencapai tiga meter. Daun ubikayu mempunyai susunan berurat menjari dengan
canggap 5-9 helai (Rukmana, 1997).
Menurut Wargiono dkk., (2006) untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu
memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-330 mm pada
umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen.
Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu
dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah
maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan tanaman
tiap fase pertumbuhan. Pada umumnya sentra produksi ubikayu memiliki tipe
iklim C, D, dan E.
Menurut Yuniwati (2007), pemupukan dan jarak tanam mempengaruhi hasil
13
perlakuan terbaik adalah jarak tanam 1,0 x 0,8 m dan dosis pemupukan 400-500
kg urea ha-1, 100 kg SP36 ha-1 dan 100 kg KCl ha-1.
Pada tanaman ubikayu hara P dan K sangat diperlukan dalam pembentukan umbi.
Pemupukan P dengan dosis 75 kg ha-1 SP36 meningkatkan jumlah umbi per
tanaman, besar umbi, panjang umbi dan hasil umbi, namun hasil umbi yang
diperoleh masih sangat rendah (sekitar 20 t ha-1) jauh di bawah potensinya sekitar
40 t ha-1. Selain itu, pemupukan 100 kg KCl ha-1 dapat meningkatkan serapan
hara K hingga mencapai 74 % bila diberikan bersama pupuk P dengan dosis 75 kg
SP36 ha-1, tetapi tidak jelas pengaruhnya terhadap peningkatan komponen hasil
umbi. Kadar N, S, dan Fe dalam tanaman yang hanya berharkat rendah diduga
juga merupakan penyebab tidak tercapainya hasil umbi optimal (Ispandi, 2003).
Menurut Balitkabi (2000), peningkatan takaran pupuk KCl dari 0 sampai 500 kg
ha-1 diikuti oleh peningkatan hasil, jumlah dan ukuran umbi. Pola peningkatan
ketigga peubah tersebut membentuk pola kuadratik dan mencapai maksimum
pada takaran 100 kg KCl ha-1. Lebih lanjut menurut Kamal (2009), aplikasi K
dengan dosis yang tinggi (300-400 kg KCl ha-1) tidak cukup efektif untuk
menstimulasi pertumbuhan umbi dan kandungan pati dalam ubikayu tanpa
peningkatan sumber pertumbuhan.
Pada lahan kering Podsolik Merah Kuning di Lampung yang mempunyai pH 4,5;
C-organik 1,45%; P2O5 2,2 ppm; N-total 0,13%; dan K-dd 0,05 me 100 g-1; klon
ubikayu umur genjah CMM02048-6 yang dipupuk dasar 180 kg N ha-1,
14
meningkatkan hasil umbi segar dari 19,67 ton ha-1 (tanpa pupuk K) menjadi 25,75
ton ha-1 (Sholohin dkk., 2009 dalam Subandi, 2011).
2.3 Organonitrofos (Organomineral NP)
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas
bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia antara
lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos. Bentuk dari pupuk organik ini
dapat berupa padat atau cair yang telah mengalami dekomposisi (Balai Penelitian
Tanah, 2004).
Nugrohodkk., (2013) telah mengembangkan pupuk organomineral NP
(Organonitrofos) dengan bahan baku kotoran sapi (fresh manure) yang
dikombinasikan dengan bahan mineral berupa batuan fosfat (BF) yang
dimaksudkan selain menyediakan unsur N juga unsur P yang memadai. Selain itu
juga dilibatkan aktivitas mikroba yang dapat meningkatkan peningkatan N2 (N2
-fixer) dan pelarut fosfat (P-solubilizer) melalui inokulasi ke dalam bahan
campuran FM+BF. Kedua bahan baku (FM dan BF) bersumber dari sumberdaya
lokal yang cukup melimpah di Provinsi Lampung, sehingga harga pupuk alternatif
ini akan lebih murah dan lebih kompetitif.
Bahan baku pupuk Organonitrofos ialah kotoran sapi yang merupakan sumber
daya potensial di Provinsi Lampung. Menurut Triolanda (2011), di Provinsi
Lampung industri penggemukan sapi dapat menyediakan kotoran sapi segar
mencapai 576.700 ton/tahun yang dapat menjadi bahan baku potensial untuk
15
Lampung, antara lain Kecamatan Silagai Lingga Lampung Tengah yang dapat
ditambang dan dimanfaatkan sebagai pupuk P alam.
Adapun pupuk kandang sapi mengandung: 39,1% C; 1,87% N; 0,56% P; 1,09%
K; 0,57% Ca; 0,23% Mg (Howeler dan Phien, 2008). Pengaruh bahan organik
terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation,
kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan
tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga
akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KTK). Bahan organik
memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 %
kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh:
Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah
(Stevenson, 1982).
Menurut Atmojo (2003), peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat
fisik tanah ialah antara lain perbaikan struktur, konsistensi, porositas, daya
mengikat air, dan ketahanan terhadap erosi. Kemudian peran bahan organik
terhadap sifat kimia tanah antara lain peningkatan kapasitas pertukaran kation,
kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan keharaan tanah.
Sedangkan peranan bahan organik terhadap sifat biologi tanah ialah meningkatkan
populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah.
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melaui
proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P
16
ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di
bawah ini:
1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral
2) Asam organik atau khelat yang dihasilkan dari proses dekomposisi mampu
membantu pelarutan fosfat yang terikat oleh Al dan Fe,
Al (Fe)(H2O)3 (OH) 2 H2 PO4 + Khelat PO42- (larut) + Kompleks
AL-Fe Khelat
3) Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan dekomposisi bahan
organik asli tanah;
4) Terbentuknya kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar
dan lebih tersedia bagi tanaman, karena jerapan bahan organik yang lebih
lemah terhadap fosfat.
2.4 Nitrogen (N)
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam
jumlah besar. Adapun sumber-sumber unsur hara nitrogen di dalam tanah dapat
berasal dari pupuk anorganik (urea, ZA, dll.) dan pupuk organik, misalnya pupuk
Organonitrofos. Menurut Lindawati dkk., (2000), pupuk nitrogen merupakan
pupuk yang sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan
penyusun dari semua senyawa protein, kekurangan nitrogen pada tanaman yang
sering dipangkas akan memengaruhi pembentukan cadangan makanan untuk
pertumbuhan tanaman.
Tanaman yang kekurangan nitrogen tumbuh kerdil dan sistem perakarannya
17
Akan tetapi bila nitrogen diberikan terlalu banyak dapat merugikan tanaman, yaitu
: memperlambat pematangan dengan membantu pertumbuhan vegetatif yang tetap
hijau walaupun masa masak sudah waktunya; melunakkan jerami dan
menyebabkan tanaman mudah rebah; menurunkan kualitas pada serealia dan
buah-buahan, dan dapat melemahkan tanaman terhadap serangan hama dan
penyakit (Soepardi, 1983).
Nitrogen cenderung merupakan unsur yang paling membatasi pertumbuhan
tanaman. Bentuk utama dari N yang tersedia dalam tanah adalah ion-ion nitrat
(NO3-) dan ammonium (NH4+). Ion Nitrit (NO2-) dapat digunakan tanaman, tapi
cenderung untuk tidak stabil dan bersifat toksik dalam jumlah yang tinggi
(Harjadi, 1989).
2.5 Fosfor (P)
Pupuk Organonitrofos juga mengandung unsur hara P yang cukup memadai.
Sumber fosfor tersebut berasal dari batuan fosfat yang diinkubasi dengan pupuk
kandang sapi. Selain itu juga diinokulasikan mikroorganisme pelarut fosfat untuk
meningkatkan kelarutan batuan fosfat tersebut (Nugroho dkk., 2013).
Fosfor memliki pengaruh terhadap tanaman seperti, penyusun metabolit dan
senyawa kompleks; sebagai aktivator, kofaktor, atau pengaruh enzim; dan
peranannya dalam proses fisiologik. Pengaruh menguntungkan fosfor lainnya
adalah dalam kegiatan-kegiatan seperti pembagian sel dan lemak dan albumin;
pembentukan bunga, buah, dan biji; kematangan tanaman, melawan pengaruh
18
tidak mudah rebah; kualitas hasil tanaman, terutama rumput dan sayuran; dan
ketahanan terhadap penyakit (Soepardi, 1983).
Berlainan dengan nitrogen, fosfat secara relatif lebih stabil dalam tanah. Pada pH
tinggi (7-10) fosfat menjadi terikat dalam persenyawaan kompleks dari kalsium
(Ca). Pada pH 5-7, P berada daam bentuk mono-atau dikalsium fosfat, yang
paling tersedia bagi tanaman. Konsentrasi P dalam larutan tanah sangatlah
rendah. Dalam tanah-tanah pertanian yang subur ½-1 ppm P berada dalam larutan
rendah bila dibandingkan angka N sebesar 25 ppm. Akan tetapi gerakan P dalam
tanah sangatlah sedikit, sehingga pencucian juga sedikit sekali (Harjadi, 1989).
Menurut Noor (2005), bahwa pemberian bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang
dan kombinasinya dapat menurunkan dosis optimum pupuk fosfat yang digunakan
dan juga meningkatkan hasil biji kedelai. Untuk mendapatkan hasil kedelai yang
sama dengan tanpa diberi bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang (7,73 g pot-1),
pemberian bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang, dan bakteri pelarut fosfat+pupuk
kandang berturut-turut hanya memerlukan fosfat alam 43,46; 49,25; dan 33,53 kg
P ha-1. Hal ini berarti bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang, dan bakteri pelarut
fosfat+pupuk kandang dapat menghemat penggunaan pupuk fosfat alam
berturut-turut 28,70; 23,20; dan 38,74 kg P ha-1.
2.6 Kalium
Kalium juga merupakan salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan oleh
tanaman. Penambahan kalium ke dalam tanah dapat dilakukan dengan
19
organik. Pupuk Organonitrofos juga mengandung hara kalium (K) yang cukup
memadai. Menurut Anjani (2013), dalam pupuk Organonitrofos terkandung
4.860,18 ppm K.
Adapun kalium sangat penting dalam nutirisi tanaman dan fisiologi. K telah
ditemukan mengaktifkan lebih dari 60 enzim. K juga meningkatkan fotosintesis,
mengatur pembukaan stomata, membantu ultilisasi N, meningkatkan transport
asimilat dan berpengaruh atas kenaikan hasil panen. Juga, K berpengaruh terhadap
populasi mikroba dan kesehatan manusia serta hewan ternak (Lauchli dan Pfluger,
1979; Rimheld dan Meumann, 2006 dalam Yawson dkk., 2011).
Menurut Soepardi (1983), K dapat membuat tanaman lebih tahan terhadap
berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Kalium juga dapat
meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi pengaruh
kematangan yang dipercepat fosfor. Kelebihan kalium akan berdampak pada
terganggunya translokasi dari kation lain. Kadar magnesium dalam daun akan
menurun sehingga proses fotosintesis terganggu.
2.7 Efektivitas Pemupukan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas adalah sesuatu yang
memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan
merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas
dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah
20
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pertanian RI
No.70/PERMENTAN/SR.140/10/2011, uji efektivitas pupuk organik adalah
kegiatan uji lapang atau rumah kaca untuk mengetahui pengaruh dari pupuk
organik terhadap pertumbuhan dan/atau produktivitas tanaman, efisiensi
pemupukan, atau peningkatan kesuburan tanah. Sedangkan tolak ukur efektivitas
yang digunakan ialah pertumbuhan tanaman, hasil tanaman, mutu tanaman,
peningkatan serapan hara tanaman, perbaikan kesuburan tanah, efisiensi pupuk
anorganik.
Adapun kriteria uji efektivitas pupuk organik secara teknis atau agronomis
dilakukan dengan perhitungan Relative Agronomic Effectiveness (RAE). Menurut
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/ SR.140/10/2011
meliputi, (1) perlakuan pupuk yang diuji secara statistik sama dengan perlakuan
standar atau mempunyai RAE ≥ 100%, atau (2) perlakuan pupuk yang diuji lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa pemupukan) pada taraf nyata
5% atau mempunyai RAE > 100%, (3) perlakuan pupuk yang diuji lebih efisien
21
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian
Universitas Lampung pada 5° 22’ 10” LS dan 105° 14’ 38” dan Laboratorium
Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei 2012
sampai dengan Februari 2013.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek tanaman ubikayu
klon UJ5, pupuk Organonitrofos, pupuk urea, KCl, dan SP36, serta bahan-bahan
lain untuk analisis laboratorium tanah dan tanaman.
Alat-alat yang digunakan cangkul, meteran, alat tulis, neraca digital, oven, cutter,
sprayer, ember, ayakan serta alat-alat lain untuk analisis tanah dan tanaman.
3.3 Metode Penelitian
Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap. Percobaan tersebut
terdiri dari 6 perlakuan (Tabel 1). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak
22
Tabel 1. Perlakuan dosis pupuk yang digunakan
Perlakuan Dosis (kg ha
-1
)
Urea SP36 KCl Organonitrofos
T1 (Kontrol) - - - -
T2 200 300 400
T3 150 100 300 500
T4 100 100 200 1.000
T5 50 50 200 2.000
T6 - - - 5.000
Terhadap data yang didapat kemudian dilakukan kehomogenitasan data dengan
uji Bartlett, sifat aditivitas data dengan uji Tukey, analisis ragam, dan uji lanjut
dengan DMRT 5%.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
1. Pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan
Pengolahan tanah dilakukan dengan intensif. Pertama-tama tanah dibajak
kemudian untuk dicangkul dan digaru untuk memperbaiki struktur tanahnya.
Satu plot lahan berukuran 3 x 3 m (Gambar 1).
Keterangan: T (perlakuan), U (ulangan)
Gambar 1. Tata letak percobaan
T6U1
T3U1 T4U1 T3U2 T4U3 T2U2 T6U2
T1U1 T5U2 T3U3 T2U1 T5U3
23
2. Pembuatan guludan
Setelah dilakukan olah tanah, selanjutnya dibuat guludan. Dalam satu plot
lahan dengan ukuran 3 x 3 m terdapat 4 guludan. Jarak antar guludan yang
digunakan ialah 1 m.
3. Penambahan pupuk Organonitrofos
Setelah dibentuk guludan, kemudian di dalam guludan tersebut dimasukkan
pupuk Organonitrofos sesuai dengan dosis perlakuan. Kemudian guludan
ditutup tanah kembali. Pupuk Organonitrofos diaplikasikan hanya sekali,
yaitu sebelum penanaman tanaman ubikayu.
4. Penanaman stek
Stek ditanam di atas guludan dengan sedikit kemiringan. Hal ini bertujuan
agar akar lebih banyak dan lebih mudah tumbuh. Adapun jarak tanam stek
adalah 0,5 m di dalam guludan.
5. Aplikasi pupuk anorganik
Aplikasi pupuk anorganik dilakukan dua kali, yaitu setelah penanaman stek
dan setelah tanaman berusia 4 bulan. Aplikasi pertama yaitu pupuk SP36,
KCl, dan setengah dosis pupuk urea. Aplikasi kedua yaitu setengah dosis
pupuk urea.
6. Pengambilan sampel tanah
Sampel tanah diambil pada tiap perlakuan dan dari 3 ulangan tersebut sampel
24
sebanyak dua kali, yaitu setelah aplikasi pupuk pertama dan setelah
pemanenan ubikayu.
7. Pemeliharaan
a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan secara rutin apabila tidak turun hujan. Apabila
turun hujan penyiraman selanjutnya dilakukan hingga tanah cukup kering.
Penyiraman menggunakan gembor atau selang yang terhubung dengan
pompa air.
b. Penyiangan gulma
Gulma yang tumbuh di lahan perlu disiangi karena dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman ubikayu. Waktu penyiangan disesuaikan dengan
keberadaan gulma yang tumbuh. Penyiangan gulma tersebut dilakukan
secara mekanis.
c. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanis, baik dengan
bantuan alat maupun air. Pengendalian kutu tanaman yang terdapat pada
tanaman ubikayu dilakukan dengan menyemprotkan air sehingga populasi
kutu-kutu tersebut berkurang.
d. Pembumbunan
Pembumbunan dilakukan saat tanaman mencapai usia 3 bulan setelah
tanam (3 BST). Pembumbunan bertujuan untuk menutupi permukaan
25
8. Pengambilan sampel akar tanaman
Pengambilan sampel akar tanaman dilakukan setiap sebulan sekali pada
masing-masing ulangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggali
secara hati-hati akar tanaman sehingga didapatkan umbi dan akar yang hampir
utuh. Pengambilan sampel akar tanaman bertujuan untuk melihat
perkembangan umbi setiap bulannya.
9. Panen
Panen dilakukan dengan mencabut tanaman ubikayu secara hati-hati. Panen
dilakukan pada saat usia tanaman mencapai 9 BST.
10.Analisis di laboratorium
Analisis di laboratorium dilakukan pada tanah dan tanaman. Pada analisis
tanaman dilakukan analisis serapan hara NPK terhadap batang dan daun
(berangkasan) serta umbi.
3.5 Variabel Pengamatan
Variabel pengamatan utama yang diamati pada penelitian ini adalah:
1. Tinggi tanaman
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara
mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman.
Pengukuran dilakukan dalam satuan centimeter (cm) dengan jumlah sampel
tanaman 8 sampel pada tiap plot. Sampel tanaman yang digunakan ialah
26
2. Bobot berangkasan dan umbi (basah dan kering)
Bobot berangkasan dan bobot umbi basah diamati setelah panen, yaitu pada
usia 9 bulan setelah tanam (BST). Pengamatan berangkasan dan bobot umbi
kering dilakukan setelah proses pengovenan selama 3x24 jam pada suhu 70oC.
Bobot kering umbi dan berangkasan selanjutnya digunakan untuk perhitungan
serapan hara NPK.
3. Serapan NPK
Untuk mengetahui serapan NPK pada tanaman dilakukan analisis tanaman
terhadap berangkasan dan umbi setelah panen. Adapun serapan tanaman hasil
analisis kemudian dikonversikan berdasarkan berat kering tanaman
(berangkasan dan umbi) hasil analisis. Perhitungan serapan hara tersebut
dilakukan untuk mengetahui jumlah unsur hara yang terangkut ke luar.
Kemudian sebagai data pendukung pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan
terhadap:
1. Analisis Tanah
Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap pH (Aquades), % C-organik
(Metode Walkey & Black), N total (Metode Destilasi), P tersedia (Bray-1),
Kdd (NH4OAc 1 N), P total (HCl 25%), K total (HCl 25%) pada contoh tanah
awal percobaaan. Sedangkan pada contoh tanah setelah dilakukan percobaan
dilakukan analisis terhadap pH (Aquades), % C-organik (Metode Walkey &
27
2. Analisis Pupuk Organonitrofos
Analisis pupuk dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur hara pada
pupuk organik yang dilakukan pada percobaan ini. Analisis yang dilakukan
terhadap pupuk tersebut meliputi analisis pH (Aquades), % C-organik
(Metode Walkey & Black), N total (Metode Destilasi), P tersedia (Bray-1),
Kdd (NH4OAc 1 N), P total (HCl 25%), K total (HCl 25%).
3. Uji Korelasi
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara serapan hara
tanaman ubikayu terhadap pertumbuhan dan produksinya. Uji korelasi yang
dilakukan ialah serapan hara NPK terhadap tinggi tanaman 20 MST, bobot
basah umbi dan bobot berangkasan tanaman.
4. RAE (Relative Agronomic Effectiveness)
Selain itu untuk menilai efektivitas pupuk organik dan kombinasinya dengan
pupuk anorganik dilakukan analisis Relative Agronomic Effectiveness (RAE).
Relative Agronomic Effectiveness (RAE) merupakan perbandingan antara
kenaikan hasil karena penggunaan pupuk rock phosphate dengan kenaikan
hasil akibat penggunaan pupuk superphosphate dikalikan 100% (Mackay
dkk., 1984). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menilai efektivitas
pupuk akibat penggunaan suatu pupuk dengan pupuk standar, yaitu dengan
28
5. Uji Ekonomis
Uji ekonomis dilakukan dengan melakukan perhitungan terhadap penerimaan
dan pengeluaran yang disebabkan oleh pupuk (Ismono, 2013).
Apabila nilai rasio berdasarkan perhitungan tersebut > 1 maka pupuk yang
diuji memiliki nilai ekonomis yang baik. Price merupakan harga pasaran hasil
panen, quantity merupakan jumlah hasil panen, sedangkan cost merupakan
52
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasar penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa aplikasi
pupuk Organonitrofos disertai kombinasinya dengan pupuk anorganik dengan
dosis 100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1
Organonitrofos mampu meningkatkan produksi umbi dan serapan hara NPK pada
tanaman ubikayu serta bersifat paling efektif dengan menghasilkan nilai RAE
sebesar 301% dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian secara berkelanjutan dengan perlakuan yang sama pada
tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian serupa pada jenis
PUSTAKA ACUAN
Anjani, D.J. 2013. Uji efektivitas pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicum esculentumMill.) di Tanah Ultisol Gedung Meneng (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 84 hlm.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. 472 hlm.
Atmojo, S. W. 2003. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan upaya pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 36 hlm.
BPS. 2012. Data Produktivitas Ubikayu Indonesia pada tahun
2011 (http://www. bps. go. id). Diakses pada 18 November 2012.
Balitkabi. 2000. Perbaikan teknologi budidaya ubikayu. DalamLaporan Tahunan Balitkabi 1999/2000. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 169 hlm.
Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 50 hlm.
Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 136 hlm.
BPTP Lampung. 2004. Kajian Agribisnis Ubikayu di Provinsi Lampung. Laporan Tahunan BPTP Lampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Lampung. 6 hlm.
Brady N. C. 1990. The Nature and Properties of Soils. Macmillan Publ. Com. New York. 621 hlm.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2009. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1382 hlm.
54
Ernawati, Rr. 2010. Kajian budidaya ubikayu (Manihot esculentaCrantz)
sambung di Lampung Selatan. JPPTP13 (2): 85-92.
Harjadi, S.S. 1989. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hlm.
Howeler, R. H dan T. Phien. 2008. Integrated nutrient management for more sustainable cassava production in Vietnam. CIAT. Thailand. 38 hlm.
Ismono, H. 2013. Uji Ekonomis Pupuk dengan Rasio Pemasukan dan Pengeluaran Pupuk. Komunikasi Pribadi. Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 3 Mei 2013.
Ispandi, A. 2002. Peningkatan produksi ubikayu di lahan kering iklim kering. Buletin Palawija3: 17-25.
Ispandi, A. 2003. Pemupukan P, K dan waktu pemberian pupuk K pada tanaman ubikayu di lahan kering vertisol. Ilmu Pertanian10 (2): 35-50.
Ispandi, A dan A. Munip. 2005. Efektifitas pengapuran terhadap serapan hara dan produksi beberapa klon ubikayu di lahan kering masam.Ilmu Pertanian12 (2): 125-139.
Juarsah, I. 1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering melalui penanaman leguminosa. Hal 891-900. DalamProsiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Kamal, M. 2009. Tuber growth and starch content in cassava as affected by K application at different planting dates. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Unila. Universitas Lampung. Lampung.
Lindawati, N., Izhar dan H. Syafria. 2000. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap produktivitas dan kualitas rumput lokal kumpai pada tanah podzolik merah kuning. JPPTP2(2): 130-133.
Mackay, A. D. , J. K. Syers and P. E. H. Gregg. 1984. Ability of chemical extraction procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock materials. New Zealand Jounal of Agricultural Research27:219-230.
Musnamar, E. I. 2007. Pupuk Organik Cair Padat Pembuatan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 70 hlm.
55
Notohadiprawiro, T., S. Soekodarmodjo dan E. Sukana. 2006. Pengelolaan kesuburan tanah dan peningkatan efisiensi pemupukan. Ceramah pada Pertemuan Ahli Teknologi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Tengah, di Pati, 20-22 Agustus 1984.
Notohadiprawiro, T. 1972. The role of water, management and variety ini determining the yield of sawah rice. Ilmu PertanianI (6): 258-259.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 124 hlm.
Nugroho, S.G., Dermiyati, J. Lumbanraja, S. Triyono, H. Ismono, M.K. Ningsih, dan F.Y. Saputri. 2013. Inoculation effect of N2-fixer and P-solubilizer into a mixture of fresh manure and phosphate rock formulated as
Organonitrofos fertilizer on bacterial and fungal population. J. Trop Soils 18 (1): 75-80.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 70/PERMENTAN/SR. 140/10/2011. Pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah. Jakarta.
Poerwowidodo, M. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa. Bandung. 275 hlm.
Prasetiaswati, N., R. Santoso dan Saleh. 2011. Kelayakan usaha ubikayu sambung randan I pada berbagai dosis pupuk. Hlm 596-603. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Balitkabi. Malang.
Prasetyo, B. H dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan Tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang pertanian25(2): 39-47.
Purwani, J. , J. Purnomo dan R. Saraswati. 2008. Pengaruh pemberian bahan organik dan pemupukan fosfat pada teknik budidaya ubikayu terhadap sifat kimia dan aktivitas dehydrogenase lahan kering masam Ultisol Lampung. Balai Penelitian Tanah. Lampung. Hlm 473-482.
Roy, R.N., A. Finck, G.J. Blair and H.I.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for Food Security. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome. 349 hlm.
Rukmana, R. 1997. Ubikayu: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 82 hlm.
56
Sismiyati, R. dan S. Partohardjono. 1994. Status hara nitrogen padi sawah dalam kaitannya dengan efisiensi pupuk. Balittan Bogor. Penelitian Pertanian14 (1): 8-13.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi IPB. Bogor. 591 hlm.
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. Hlm 29-50. DalamS. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y.
Prawirasumantri. Pemanfaatan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang Bogor. Desember 1992. Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat.
Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. John Wiley and Sons. New York. 443 hlm.
Subandi. 2011. Pengelolaan hara kalium untuk ubikayu pada lahan kering masam. Buletin Palawija22: 86-95.
Subhan, N. Nurtika, dan W. Setiawati. 2005. Peningkatan efisiensi pemupukan NPK dengan memanfaatkan bahan organik terhadap hasil tomat. J. Hort. 15 (2): 91-96.
Triolanda, Y. 2011. Pengaruh ukuran butir batuan fosfat yang dicampurkan dengan kotoran sapi segar terhadap keersediaan unsur hara N dan P. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 100 hlm.
Wargiono, J. dan E. Tukerkih. 1988. Pengaruh nitrogen, kalium, dan mulsa terhadap hasil ubikayu dan tanaman sela. Penelitian Pertanian8 (2): 60-63.
Yawson, D.O., P. K. Kwakye , F. A. Armah and K.A. Frimpong. 2011. The dynamics of potassium (K) in representative soil series of Ghana.ARPN J. Of Agricultural and Biological Science6 (1): 48-55.