• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERI KETERANGAN PALSU DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK (Studi Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERI KETERANGAN PALSU DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK (Studi Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERI KETERANGAN PALSU DALAM PEMBUATAN

AKTA OTENTIK

(Studi Putusan Nomor 885/Pid.B/2011/PN.TK)

Oleh

YURIDHANI RAHMAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

Akta otentik berupa sertifikat tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, tetapi masalahnya adalah di dalam akta otentik tersebut terdapat peluang tindak pidana yaitu pemberian keterangan palsu. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

(3)

Yuridhani Rahman

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 17

II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 21

C. Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik ... 26

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 32

III METODE PENELITIAN ... 35

A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Karakteristik Responden ... 40

(7)

Tanjung Karang Nomor 885/Pid/B/2011/PN.TK) ... 64

V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum, maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum. Hukum merupakan sarana bagi pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, yaitu tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.1

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak

1

(9)

pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai dilakukannya suatu tindak pidana.2

Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi dan menaati hukum, namun dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang dan patut dipidana sesuai kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.3

Secara umum tindak pidana merupakan kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

2

Ibid. hlm. 24.

3

(10)

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut. 4

Salah satu jenis tindak pidana yang ada di dalam konteks kehidupan masyarakat adalah memberikan keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik. Akta otentik yang dimaksud adalah sertifikat tanah, yaitu akta dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah. Dampak arti praktisnya selama belum dibuktikan yang sebaliknya data fisik dan data yuridis dalam perbuatan hukum maupun sengketa didepan pengadilan harus diterima sebagai data yang benar. Individu atau badan hukum lainnya tidak dapat menuntut tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain atau badan hukum lainnya jika selama 5 tahun sejak dikeluarkan tidak mengajukan gugatan di pengadilan.

Menurut Badra Nawawi Arif:

Upaya untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks terhadap kejahatan pemalsuan memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang sejalan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP. Hal ini dikarenakan masalah tindak pidana pemalsuan yang beragam tersebut dipahami melalui satu sudut pandang tertentu, yang meliputi pengertian, ruang lingkup serta sanksi yang perlu diketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana yang berupa aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan sebagai hukum positif (ius constitutum), namun akan menjadi efektif dan dirasakan dapat mencapai keadilan serta kepastian hukum apabila penerapannya sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang mengenai apa yang tertulis dalam kalimat-kalimat itu. Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence

dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan. 5

4

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1992. hlm.26

(11)

Pelaksanaan untuk tercapainya jaminan dan kepastian hukum hak-hak atas tanah diselenggarakan pendaftaran tanah dengan mengadakan pengukuran, pemetaan tanah dan penyelenggaraan tata usaha hak atas tanah merupakan hubungan hukum orang atau badan hukum dengan sesuatu benda yang menimbulkan kewenangan atas obyek bidang tanah dan memaksa orang lain untuk menghormatinya akibat dari pemilikan. Pendaftaran tanah berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan.

Pendaftaran tanah yang dilakukan secara sistematis sampai saat ini masih dianggap belum maksimal dan prosedural dalam masyarakat, walaupun sebelum dilakukan pengukuran oleh tim teknis telah dilakukan pematokan awal oleh para pemilik tanah. Tanah merupakan sumber kehidupan sekaligus aktifitas sehari-hari, oleh karena itu dibutuhkan pengakuan atas kepemilikan tanah melalui sertifikat.6

Menurut Bachtiar Effendie:

Pada dasarnya istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. Dengan pemberian surat keterangan berarti Pejabat yang bersangkutan telah memberikan status tentang keadaan seseorang. Istilah “Sertifikat Tanah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai surat keterangan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah bahwa telah menerangkan bahwa seseorang itu mempunyai hak atas suatu bidang tanah, ataupun tanah seseorang itu dalam kekuasaan tanggungan, seperti sertifikat Hipotek atau Kreditverband, berarti tanah itu terikat dengan Hipotek atau Kreditverband. 7

6

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 25

7

(12)

Pengertian Sertifikat Tanah dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA):

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa dengan pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah tersebut.

Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat tanah memuat:

a. Data fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah;

b. Data yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

(13)

setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu:

a. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum;

b. Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;

c. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.

Semakin meningkatnya pembangunan, maka kebutuhan terhadap tanah semakin meningkat pula, sedang persediaan tanah semakin terbatas. Keadaan yang demikian berakibat banyaknya tindak pidana atau pelanggaran terhadap tanah terjadi baik itu pemalsuan surat-surat tanah yang dipergunakan untuk kepentingannya dan merugikan bagi orang lain, juga dengan menipu dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak dengan jalan menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau partikelir, pembatasan tanah.

Pelaku tindak pidana pemalsuan dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 266 KUHP:

(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

(14)

Pelaku tindak pidana pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik yaitu sertifikat hak milik atas tanah, sebagaimana hasi prasurvey pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan membaca Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK.

Terdakwa Drs. Abas Yusuf Bin Yusuf pada sekitar tahun 1992 bertempat di jalan Z.A. Pagaralam Nomor 56 Kedaton Bandar Lampung atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, telah menyuruh menempatkan keterangan palsu di dalam suatu akta otentik tentang suatu kejadian yang sebenarnya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam menggunakannya itu dapat mendatangkan kerugian.

Pada mulanya Saksi Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN, berencana menjual tanah miliknya yang terletak di Jalan Bumi Manti Kampung Baru Kedaton Bandar Lampung dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 8934/Kp. Baru Tanggal 07 Desember 1982, namun dicegah oleh Saksi Lorensiana Reny Binti Agustinus karena juga memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 9500/Kp. Baru/2004 Tanggal 26 April 2004, untuk lokasi yang sama.

(15)

dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada Kantor Kecamatan Kedaton sesuai dengan akta jual beli Nomor 205/C/1979 tertanggal 10 Agustus 1979 maka tanah tersebut menjadi milik Wirzen Nur (Alm).

Akibat tidak dapat dijualnya tanah milik saksi Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN yaitu Wirzen Nur (Alm), maka saksi melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung dengan Tergugat I yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung dan Tergugat Intervensi yaitu Lorensiana Reny. Dalam Persidangan lanjutan pada hari Selasa 22 Desember 2009, berdasarkan berita acara persidangan yang ada maka terdakwa telah memberikan keterangan palsu kepada majelis hakim. Terdakwa telah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya terkait dengan riwayat kepemilikan tanah miliki saksi Drs. Hi. Refzon Bin Hi. Rustam Effendy ZN.

(16)

Sesuai dengan putusan tersebut maka terdapat kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan fakta di lapangan. Tindak pidana memberikan keterangan palsu pada akta otentik diatur dalam Pasal 266 KUHP dengan ancaman pidana maksimal yaitu paling lama tujuh tahun, tetapi pada kenyataannya majelis hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama enam bulan.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian mengenai “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemberi Keterangan Palsu Dalam Pembuatan Akta Otentik” (Studi Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(17)

keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik dan dasar dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK. Ruang lingkup lokasi adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan ruang lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/ PN.TK

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

(18)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum8. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.9 Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. 10

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori kesengajaan sebagai berikut:

8

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.72

9

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44

10

(19)

1) Teori kehendak (wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang

2) Teori pengetahuan (voorstelling)

Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. 11

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.12

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga

culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik

culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang

11

Ibid. hlm. 50

12

(20)

menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 13

Selain kedua unsur di atas, unsur pertanggungjawaban pidana lainnya adalah adanya kemampuan bertanggungjawab serta tidak ada alasan pemaaf pembenar dan pemaaf terhadap terdakwa atas kesalahan yang dilakukannya.

1. Kemampuan bertanggungjawab

Kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab merupakan dasar pertanggungjawaban pidana, yaitu terdakwa memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melawan hukum. Kemampuan ini berkaitan dengan keadan fisik dan psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu perbuatannya disengaja lalai.14

2. Tidak ada alasan pemaaf pembenar dan pemaaf

Tidak ada alasan pemaaf maksudnya adalah perbuatan terdakwa tidak dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan dalam perbuatan tersebut, tidak ada alas an pembenar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error fact) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan secara hukum 15

b. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)16

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

(21)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3 KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.17

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu18:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

(1) Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. (2) Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.19

17

Ibid. hlm. 11

18

Ahmad Rifai.. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 2010. hlm. 103

19

(22)

Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empiris a pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian20. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah mekanisme hukum yang menggariskan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan

20

(23)

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.21

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum 22

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku23

d. Tindak pidana pemalsuan surat atau akta menurut Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (ayat 1) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian (ayat 2).

21

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44

22

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 44

23

(24)

e. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana pemalsuan akta otentik.

III METODE PENELITIAN

(25)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK

V PENUTUP

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2

1

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

2

(27)

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 3

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut: a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

(28)

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal4

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 5

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

5

(29)

kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan6

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya7

6

Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

7

(30)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa

dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa,

culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 8

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 9

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

8

Ibid. hlm. 48

9

(31)

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan10

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 11

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada

10

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

11

(32)

tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman12

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut

12

(33)

adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

C. Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik

Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau akta terdapat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(34)

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kejahatan pertanahan jika dilihat dari segi waktunya dibedakan menjadi tiga, antara lain pra perolehan, menguasai tanpa hak dan mengakui tanpa hak. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bentuk-bentuk kejahatan terhadap tanah beserta unsur-usurnya adalah sebagai berikut:

1) Delik Penipuan

Tindak pidana ini mengenai menghancurkan, memindahkan atau menyingkirkan sesuatu yang dipakai orang untuk menunjukkan batas-batas halaman oleh pembentuk undang-undang telah diatur antara lain:

Pasal 389 KUHP:

(35)

Tindak pidana ini tidak ada unsur perbuatan atau upaya-upaya perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi, seperti tipu muslihat, rangkaian kebohongan, perbuatan curang dan lain sebagainnya. Walaupun demikian sesungguhnya dalam pasal ini ada unsur membohongi atau mengelabui orang atau khalayak umum, yaitu dengan perbuatannya terhadap sesuatu yang digunakan sebagai batas tanda pekarangan itu orang lain dapat terpedaya, menjadi keliru mengenai batas dan luas tanah pekarangan, perbuatan itu juga mengakibatkan tidak jelasnya batas- batas pekarangan dan merubah luas suatu pekarangan dari luas asalnya. 13

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389 ini terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut;

(1) Unsur Subyektif

Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dengan melawan hukum. Unsur Subyektif kejahatan ini sama dengan penipuan (opchting), pemerasan, pengancaman yaitu punya maksud menguntungkan. Dalam penipuan selain maksud menguntungkan, ada unsur menggerakkan, yaitu menyerahkan, memberi hutang, dan lain-lain. Kata “dengan maksud” ini menunjukkan “naaste doel” dari pelaku,

ataupun yang di dalam doktrin juga disebut “bijkomend oogmerk” atau

“maksud selanjutnya” dari pelaku, sehingga untuk selesainya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389 KUHP, maksud pelaku sebagaimana yang dimaksud diatas tidak perlu dicapai pada waktu pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang, yakni perbuatan: merusakkan, memindahkan, menyingkirkan atau membuat tidak dapat dipakai lagi. (2) Unsur Obyektif

a) Barangsiapa

Kata barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389

13

(36)

KUHP maka ia bisa disebut sebagai pelaku atau sebagai deder dari tindak pidana tersebut.

b) Menghancurkan

Yang dimaksud dengan menghancurkan atau suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan, hanya akibat dari perbuatan menghancurkan lebih besar daripada akibat perbuatan merusak. pada umumnya suatu akibat hancurnya benda oleh perbuatan menghancurkan adalah benda tidak dapat dipakai lagi.

c) Memindahkan

Suatu benda yang digunakan sebagai batas pekarangan itu tidak berada pada tempat semula, akibatnya berpengaruh pada luas tanah tersebut. d) Membuang

Menghilangkan suatu benda yang digunakan sebagai tanda batas, dan berakibat kaburnya mengenai batas dan luas suatu pekarangan.

e) Membuat tidak dapat dipakai lagi

Yaitu perbuatan pada suatu benda yang berakibat benda itu tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana tujuan benda itu dibuat.

f) Objeknya

Tentang unsur objek kejahatan yang dirumuskan sebagai sesuatu yang digunakan sebagai tanda batas pekarangan, adalah segala macam benda yang dibuat secara jelas untuk menunjukkan batas tanah pekarangan tersebut.14

Selain Pasal 389 kejahatan pertanahan dalam delik penipuan, juga dijelaskan dalam Pasal 385 KUHP, yang diberi kualifikasi sebagai stelionat atau dapat disebut penipuan yang berhubungan hak atas tanah ketentuan pidana pada pasal ini bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk asli berdasarkan hukum adat, ataupun atas bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman yang terdapat di atas tanah seperti itu. Barangsiapa menunjukkan orang jika memenuhi syarat pada Pasal 266 KUHP dapat dikenai tindak pidana pemalsuan dalam bidang kejahatan terhadap tanah. Tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal ini hanya dalam KUHP, dan tidak dalam WvS voor Nederlandsch-Indie sebagai warisan dari hukum penjajah Belanda, hal ini merupakan pengecualian dari asas concordantie.

14

(37)

Pasal 385 KUHP. Pada pasal ini tersebut mengandung unsur-unsur:

(1) Unsur subyektif: Dengan Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dengan melawan hukum. Diketahui tanah tersebut ada orang lain yang lebih berhak. Tidak memberitahukan kepada orang lain bahwa tanah tersebut telah dijadikan tanah tanggungan utang atau telah digadaikan. (2) Unsur obyektif:

Barangsiapa:

a) Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah dan partikelir

b) Menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah dan partikelir. Menyewakan tanah buat suatu masa, sedang diketahuinya tanah tersebut telah disewakan sebelumnya kepada orang lain. 15

2) Delik Pemalsuan

Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pemalsuan yang dapat diterapkan terhadap kejahatan dibidang pertanahan adalah sebagai berikut, Pasal 266 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu keadaan suatu akta autentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan dalam akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu dseolah-olah keterangan itu cocok dengan hal sebenarnya, maka dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum selama-lamanya tujuh tahun. (2) Dengan hukuman yang serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan

sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat dapat mendatangkan kerugian.

Apabila diteliti ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut, maka yang dapat dijatuhi sanksi menurut ketentuan pasal itu adalah mereka yang menyuruh menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan pertanahan.

15

(38)

Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas adalah sebagai berikut:

(1) Unsur Subjektif, dengan maksud menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan hal yang sebenarnya.Yakni si-pelaku menyadari bahwa surat-surat palsu itu akan dipergunakan untuk kepentingannya dan untuk merugikan orang lain, dengan sengaja.

(2) Unsur Objektif

a) Barangsiapa. Menunjukkan orang yang apabila memenuhi Pasal 266 KUHP dapat dikenai tindak pidana pemalsuan dalam bidang kejahatan terhadap tanah.

b) Menyuruh menempatkan keterangan palsu. Memberi perintah pada orang lain dengan keterangan atau penjelasan yang tidak sesuai dengan bukti yang ada.

Disebutkan dalam Pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan yang masuk dalam kejahatan terhadap tanah, yang berbunyi:

(1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai negri yang menjalankan kekuasaan yang sah mengenai hak milik atau sesuatu hak lain atas suatu barang dengan maksud akan memindahkan penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang tersebut.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum juga barangsiapa dengan maksuddengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olahasli dan tidak dipalsukan. 16

Surat keterangan Pegawai Negeri Sipil dalam hubungannya dengan kejahatan terhadap pertanahan adalah surat yang diberikan oleh kepala desa yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, yang mana sesuai dengan register yang dipegangnya tentang hak milik individual dan komunal. Pemalsuan keterangan ini biasanya digunakan untuk penjualan tanah.

Kasus yang muncul diatas pada dasarnya adalah sebagian besar akibat kurangnya ketelitian petugas kantor pertanahan dalam menyikapi adanya sertifikat ganda, maka dari itu perlu diadakan pengawasan yang tetap terhadap para petugas yang

16

(39)

terkait dalam pembuatan akta tanah. Selain pasal-pasal di atas, terdapat juga dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Dalam Pasal 263 KUHP dijelaskan tentang pemalsuan surat adalah delik yang dirumuskan secara formil, artinya tidak ada akibat yang penting kecuali yang telah termasuk kelakuan memalsu.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)17

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan Pasal 185 dalam Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.18

17

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

18

(40)

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu19:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

(1) Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. (2) Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.20

Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184

19

Ahmad Rifai.. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 2010. hlm. 103

20

(41)

KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empiris a pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi. 21

21

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

1

(43)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Kitab Undang-Undang Perdata (KUH Perdata)

(3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:

(44)

(2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Sampel

(45)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(46)

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian2.

2

(47)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 885/Pid/B/2011/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Drs. Abas Yusuf Bin Yusuf yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana penjara selama enam bulan penjara. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melakukan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik dilarang oleh undang-undang, tetapi ia tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan.

(48)

saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Selain itu dasar pertimbangan lainnya adalah hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa melanggar hak milik orang lain, merugikan orang lain, mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kejahatan yang dilakukannya serta merugikan korban, dan menimbulkan keresahan pada masyarakat sebagai akibat dari perbuatannya. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum hendaknya bekerja lebih maksimal dalam jaringan sistem peradilan pidana terhadap pelaku pemberian keterangan palsu dalam akta otentik berupa serifikat tanahuntuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini penting dilakukan sebab pemberian keterangan palsu dalam akta otentik berupa serifikat tanah ini merugikan orang lain dan melawan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana maupun undang-undang bidang pertanahan.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Arief, Barda Nawawi. 2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________________, 2004. Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Atmasasmita, Romli . 1996. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta,

Bandung.Chomzah, Ali Achmad. 2003. Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Effendie, Bachtiar. 1993. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan- peraturanPelaksanaannya, Alumni, Bandung.

Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Hutagalung, Arie Sukanti. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Harsono, Boedi . 2003. Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang -Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Harahap, M. Yahya. 1998. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Sinar Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT, Citra Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta.

(50)

Bandung.

Perangin, Effendi. 1994. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.

Soekanto, Soerjono 1983. Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan bilyet deposito dalam perkara Putusan Nomor: 1343/Pid/Sus/204/PN-Tjk adalah terdakwa melakukan perbuatan

Menurut Van Hamel , Tindak pidana adalah kelakuan orang ( menselijke gedraging ) yang dirumuskan dalam undang-undang ( wet ), yang bersifat melawan hukum, yang

Pertanggungjawaban pidana anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja tetapi juga diatur

3) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, yaitu dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, penentuan

Penerapan hukum pidana Pasal 266 ayat (1) terhadap tindak pidana materiil pada putusan No. K/PID/2016 tentang memberi keterangan palsu ke dalam akta otentik sudah tepat,

Tindak pidana (secara melawan hukum) baru terjadi apabila sudah terdapat Surat Rekomendasi Camat yang diberikan pada Kades untuk mencairkannya, tapi pihak Terdakwa/

Menurut Simons strafbaarfeit atau tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan orang yang mampu bertanggung