• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KENAKALAN REMAJA PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KENAKALAN REMAJA PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

11iipi

REMAJA PADA SISWA KELAS VIII

SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

oleh

Atika Oktaviani Palupi 1511409011

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini dengan judul

“Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP

Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan

jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau

temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan

kode etik ilmiah.

Semarang, 22 Agustus 2013

Atika Oktaviani Palupi

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja

pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” ini telah

dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas

Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 22 Agustus 2013.

Panitia Pengujian Skripsi:

Ketua Sekretaris

Drs. Sutaryono, M. Pd Liftiah, S.Psi.,M.Si

NIP.19570825 198303 1 015 NIP.19690415 199703 2 002

Penguji utama

Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. NIP. 19781007 200501 1 003

Penguji I Penguji II

Dr. Edy Purwanto, M.Si. Dyah Indah N., S.Psi., M.Psi.

(4)

iv

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto

1. Karena sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan (Q.S Al-Insyirah : 5)

2. Succes is not destination but a journey (Anonim)

PERUNTUKAN:

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

1. Kedua orang tuaku (Sudarno dan Juwanti) Terimakasih untuk doa, cinta, kasih sayang dan pengorbanannya.

2. Almamaterku

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat, serta

hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan

antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri

02 Slawi”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Drs. Hardjono, M. Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. Sutaryono, M.Pd. selaku ketua panitia sidang skripsi Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

3. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan saran serta arahan.

4. Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. selaku penguji utama skripsi yang telah

memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh

peneliti.

5. Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi. dosen pembimbing II yang telah

memberikan arahan, motivasi, dan masukan kepada penulis.

6. Semua dosen Psikologi yang telah memberikan banyak ilmu dan pelajaran

(6)

vi

7. Seluruh warga sekolah SMP Negeri 02 Slawi yang telah banyak membantu

serta berpartisipasi dalam penelitian.

8. Bapak, Mamah, kakak-kakak tercinta dan saudara-saudaraku, yang selalu

mendoakan serta mendukung penulis walaupun dalam keadaan apapun, hanya

dua kata yang selalu ingin aku ucapkan ” Maaf dan Terima Kasih”.

9. Sahabat terdekat penulis, Anggi terimakasih untuk segala dukungan,

semangat, motivasi yang sudah diberikan selama ini.

10.Teman-teman Psikologi 2009 (khusunya Riris, Yusri, Risandi, Anis, Wulan)

terima kasih atas pengalaman dan perjuangan bersama kita selama menempuh

kuliah di Psikologi ini.

11.Teman-teman ”Cherry Kost” Mbak Esti, Mbak Anna, Mbak Wulan, Fina,

Pangga, Fela, Ika, Fatimah terima kasih untuk suka duka dan kebersamaan

yang terjalin selama 1,5 tahun ini.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara

langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi.

Semoga kebaikan dan keikhlasan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada semua

pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini

memberikan manfaat dan kontribusi dalam bidang psikologi pada khususnya dan

semua pihak pada umumnya.

Semarang, 22 Agustus2013

(7)

vii ABSTRAK

Palupi, Atika Oktaviani. 2013. Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. Edy Purwanto, M.Si., Pembimbing II Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi.

Kata kunci: religiusitas, siswa SMP, kenakalan remaja

Salah satu masalah yang dihadapi pada masa remaja yaitu adanya masa transisi yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Masa ini sering disebut sebagai masa topan badai (“strum and drang)” yaitu masa yang penuh dengan gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Masa transisi inilah yang menimbulkan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang atau yang biasa disebut dengan istilah kenakalan remaja. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Untuk itu dibutuhkan keyakinan dan pengamalan yang kuat terhadap ajaran-ajaran agama guna mengurangi perilaku-perilaku kenakalan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh religusitas terhadap kenakalan remaja; dan 2) seberapa besar sumbangan efektif religiusitas terhadap kenakalan remaja.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi dengan sampel berjumlah 70 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling atau sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono 2010: 124). Data penelitian diambil menggunakan angket kenakalan remaja dan skala religiusitas. Angket kenakalan remaja terdiri dari 42 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara 0,103 – 0,860 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,964. Skala religiusitas terdiri dari 31 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara -0,169 - 0,792 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,889. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi satu prediktor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,771 dengan signifikansi sebesar 0,000 dimana p<0,05. Hal ini berarti semakin tinggi religusitas maka semakin rendah perilaku kenakalan remaja, sehingga hipotesis kerja yang diajukan diterima. Hasil uji regresi diperoleh R-Square 0,594 yang berarti religiusitas berpengaruh terhadap kenakalan remaja sebesar 59,4% dan sisanya sebesar 40,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang belum terungkap dalam penelitian ini. Kesimpulannya ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi Kabupaten Tegal.

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PENGESAHAN ...iii

MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kontribusi Penelitian ... 12

(9)

ix

2.1 Remaja ... 14

2.1.1 Pengertian Remaja... 14

2.1.2 Ciri-ciri Masa Remaja ... 14

2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja ... 18

2.2 Kenakalan Remaja... 20

2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja ... 20

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 23

2.2.3 Ciri-ciri Pokok Kenakalan Remaja ... 27

2.2.4 Jenis-jenis Kenakalan Remaja ... 28

2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja ... 31

2.2.6 Jurnal Buku Sanksi ... 33

2.3 Religiusitas... 35

2.3.1 Pengertian Religiusitas ... 35

2.3.2 Karakteristik Individu Yang Memiliki Religiusitas ... 37

2.3.3 Dimensi Religiusitas... 40

2.4 Hubungan antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja ... 49

2.5 Kerangka Berpikir ... 52

2.6 Hipotesis ... 52

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Jenis Penelitian ... 53

3.2 Desain Penelitian ... 53

3.3 Variabel Penelitian ... 53

(10)

x

3.3.2 Definisi Operasional Variabel... 54

3.3.3 Hubungan Antar Variabel ... 57

3.4 Populasi dan Sampel ... 57

3.4.1 Populasi ... 57

3.4.2 Sampel ... 59

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 59

3.5.1 Angket ... 59

3.5.2 Skala Psikologi ... 62

3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 65

3.6.1 Validitas Instrumen Penelitian ... 65

3.6.2 Validitas ... 72

3.6.3 Reliabilitas ... 72

3.7 Pelaksanaan Uji Coba ... 73

3.8 Metode Analisis Data ... 74

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

4.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 75

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 76

4.2.1 Persiapan Penelitian ... 76

4.2.2 Penentuan Subjek Penelitian ... 76

4.2.3 Pengumpulan Data ... 77

4.2.4 Pelaksanaan Skoring... 77

(11)

xi

4.3.1 Gambaran Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02

Slawi ... 78

4.3.2 Gambaran Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 88

4.4 Pengujian Hipotesis (Analisis Data Inferensial) ... 95

4.4.1 Hasil Uji Asumsi ... 95

4.4.2 Hasil Uji Hipotesis ... 97

4.5 Pembahasan ... 101

4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 101

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 109

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB 5 PENUTUP ... 115

5.1 Simpulan ... 115

5.2 Saran ... 116

Daftar Pustaka ... 118

Lampiran ... 121

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kenakalan Remaja yang dilakukan Siswa Kelas VIII SMP Negri 02 Slawi

Tahun Ajaran 2012/2013 ... 58

3.2 Rancangan Angket Kenakalan Remaja ... 60

3.3 Skoring Angket Kenakalan Remaja ... 61

3.4 Penyebaran Angket Kenakalan Remaja ... 61

3.5 Skoring Skala Religiusitas ... 64

3.6 Blue Print Skala Religiusitas ... 64

3.7 Perubahan Pernyataaan Aitem Skala Religiuistas... 66

3.8 Sebaran Aitem Uji Coba Angket Kenakalan Remaja pada Siswa Setelah Uji Coba ... 68

3.9 Sebaran Baru Aitem Angket Kenakalan Remaja Penelitian... 68

3.10 Sebaran Aitem Uji Coba Skala Religiuistas Setelah Uji Coba ... 69

3.11 Sebaran Baru Aitem Skala Religiusitas Penelitian ... 71

3.12 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik ... 74

4.1 Statistik Deskriptif Kenakalan Remaja ... 79

4.2 Kriteria Kenakalan Remaja ... 80

4.3 Gambaran Kenakalan Remaja... 80

4.4 Gambaran Terlambat Masuk Sekolah ... 82

4.5 Gambaran Membolos ... 82

4.6 Gambaran Tidak Masuk Tanpa Keterangan ... 83

(13)

xiii

4.8 Gambaran Memakai Seragam Tidak Lengkap ... 84

4.9 Gambaran Tidak Mengerjakan Tugas ... 85

4.10 Gambaran Mengompas/Memalak ... 85

4.11 Gambaran Berkata Tidak Sopan ... 86

4.12 Rangkuman Deskriptif Kenakalan Remaja pada SiSWA Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 86

4.13 Perbandingan Mean Empirik Tiap Indikator Kenakalan Remaja ... 87

4.14 Statistik Deskriptif Religiusitas ... 88

4.15 Kriteria Religiusitas ... 89

4.16 Gambaran Religiusitas Siswa ... 90

4.17 Gambaran Keyakinan Siswa ... 91

4.18 Gambaran Praktek Agama Siswa ... 92

4.19 Gambaran Pengamalan Siswa ... 93

4.20 Gambaran Pengalaman Siswa ... 93

4.21 Rangkuman Deskriptif Religiusitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 94

4.22 Perbandingan Mean Empirik Tiap Aspek Religiusitas ... 95

4.23 Hasil Uji Normalitas ... 96

4.24 Hasil Uji Linieritas ... 97

4.25 Hasil Uji Korelasi Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 98

(14)

xiv

4.27 Hasil Analisis Besarnya Pengaruh Religiusitas terhadap Kenakalan

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir ... 52

4.1 Gambaran Umum Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP

Negeri 02 Slawi ... 81

4.2 Gambaran Umum Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Instrumen Penelitian ... 122

2. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 139

3. Statistik Deskriptif ... 149

4. Uji Validitas Instrumen ... 152

5. Uji Reliabilitas Instrumen ... 163

6. Uji Asumsi ... 165

7. Uji Hipotesis ... 167

8. Dokumentasi Penelitian ... 169

(17)

1

1.1

Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa.

Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan

seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa

transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Hall menyebut masa

ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan

pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri

sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan

orang-orang yang dekat, misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono

1993: 16).

Masa transisi inilah yang memungkinkan remaja dapat menimbulkan masa

krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku

menyimpang. Perilaku menyimpang ini bisa menyimpang dari norma hukum,

norma agama dan norma yang dianut masyarakat atau dalam istilah psikologi

disebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.

Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit

(18)

bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku

yang menyimpang.

Beberapa riteratur dan penelitian yang terkait dengan kenakalan remaja

(Santrock: 2002, Maria: 2007, Kienhuis: 2009, Joanna dalam Ruby: 2009, dan

Willis dalam Sujoko 2011: 2) menjelaskan bahwa kenakalan-kenakalan yang

dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam, mulai dari

perbuatan yang bersifat amoral maupun anti sosial. Perbutaan tersebut dapat

berupa berkata jorok, mencuri, merusak, kabur dari rumah, indisipliner di sekolah,

membolos, membawa senjata tajam, merokok, berkelahi dan kebut-kebutan di

jalan sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau

perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan, perampokan,

pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang dan tindak kekerasan

lainnya yang sering diberitakan di media masa.

Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja

kedalam tiga tingkatan :

1. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,

pergi dari rumah tanpa pamit.

2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti

mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.

3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar

nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.

Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal

(19)

pada masa kanak-kanaknya. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan

wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa

kanak-kanak maupun remaja (http://auliatj.siswa-indonesia.net diunduh pada 08

September 2012).

Beberapa penelitian tentang perilaku kenakalan yang dilakukan oleh pelajar

menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan

data yang diungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus

penyalahgunaan narkoba terus meningkat di kalangan remaja. Dari 2,21% (4 juta

orang) pada tahun 2010 menjadi 2,8% (sekitar 5 juta orang) pada tahun 2011.

Yang berikutnya adalah seks bebas. Contoh kenakalan remaja dalam pergaulan

seks bebas akan bersangkutan dengan HIV/AIDS . Ketiga adalah tawuran antar

pelajar yang belakangan ini semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya

(www.Republika.co.id diunduh pada 08 September 2012).

Berita terbaru datang dari tawuran antara siswa Sekolah Menengah Atas

Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 24

September 2012, yang menyebabkan seorang siswa SMA 6 tewas. (detik.com

diunduh 25 September 2012).

Bentuk lain dari kenakalan yang dilakukan remaja yaitu banyaknya remaja

yag kerap menyimpan gambar/video porno di telepon seluler mereka. Seperti yang

terjadi di Surabaya. Lembaga hotline pendidikan berbasis di Jatim

mengungkapkan bahwa 90 % pelajar di Surabaya menyimpan film atau gambar

porno di telepon seluler yang dimilikinya. Fakta ini terungkap dalam survei yang

(20)

putri pernah melihat gambar dan menonton film porno di telepon seluler milik

mereka sedangkan untuk pelajar putra mencapai 97%. (m.merdeka.com diunduh

14 Februari 2013).

Kondisi kenakalan remaja juga terjadi di Bandung. Satpol PP dan Dinas

Pendidikan kota Bandung memergoki 8 pelajar bolos di warung internet (warnet)

dan game online di Jalan Solontongan dan Jalan Buabatu pada hari kamis (06/09/12). Rincian pelajar bolos terjaring razia itu masing-masing tiga pelajar

dari SMK N 4 Bandung, dua pelajar dari SMA N 22 Bandung, satu pelajar dari

SMK N 1 Baleendah dan dua pelajar dari SMP Muhammadiyah.

(http://bandung.detik.com diunduh pada 14 Februari 2013).

Hal yang sama juga terjadi di Sukoharjo. Tim gabungan Pemkab

Sukoharjo, Sabtu (24/11/2012), menggelar razia pelajar yang membolos sekolah.

Sebanyak 41 pelajar terdiri atas seorang siswi dan 40 siswa ditangkap saat mereka

nongkrong di Alun-alun Satya Negara dan tempat rekreasi yang lain. Tim

gabungan juga menemukan botol minuman keras (miras) dan rokok saat pelajar

itu digiring ke Kantor Satpol PP Sukoharjo untuk dibina.

(http://www.wonogiripos.com diunduh pada 14 Februari 2013).

Fakta yang terjadi di lapangan juga menunjukkan hal yang sama.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap guru

Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 02 Slawi pada bulan Januari 2013,

didapatkan hasil bahwa:

Pertama, jenis pelanggaran yang hampir setiap hari dilakukan oleh

(21)

sekolah, tidak masuk sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah,

memakai seragam tidak lengkap atau tidak sesuai, mengompas dan tidak

mengerjakan tugas.

Kedua, berdasarkan informasi dari guru pembimbing sebagian besar

kenakalan yang dilakukan oleh siswa-siswi SMP Negeri 02 Slawi dikarenakan

akibat permasalahan yang ada di dalam keluarga, seperti kebanyakan siswa-siswi

berasal dari golongan keluarga yang kurang mampu, sehingga kurang

terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis dalam diri siswa tersebut.

Kebanyakan siswa berasal dari keluarga broken home ( tidak utuh) dan biasanya siswa tinggal bukan dengan orang tuanya melainkan dengan nenek ataupun

saudaranya yang menyebabkan siswa-siswi kurang mendapatkan perhatian dan

kasih sayang dari orang tuanya.

Ketiga, Menurut pemaparan guru Bimbingan dan Konseling di SMP

tersebut, kebanyakan siswa laki-laki yang sering melakukan pelanggaran

dibanding dengan siswa perempuan. Bukan hanya itu saja, kenakalan yang

dilakukan juga disebabkan karena lemahnya tingkat pemahaman agama dalam diri

siswa tersebut, sehingga dalam berperilaku siswa kerap kali tidak dapat

mengendalikan emosinya. Hal ini disebabkan karena siswa tinggal di lingkungan

masyarakat yang mayoritas memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah.

Keempat, menurut hasil pemaparan guru Bimbingan dan konseling salah

satu upaya untuk mengurangi tingkat kenakalan atau pelanggaran yang dilakukan

oleh sebagian siswa dengan diterapkannya suatu program yaitu program yang

(22)

kegiatan Tadarus Alquran bersama setiap pagi sebelum Kegiatan Belajar

Mengajar (KBM) dimulai, sholat dhuhur berjamaah dan kegiatan peningkatan

Baca Tulis Alquran (BTA) bagi siswa-siswi yang belum lancar dalam membaca

Alquran. Alasan diterapkannya program ini yaitu karena mayoritas siswa SMP

tersebut beragama islam/muslim. Sedangkan peningkatan religiusitas bagi siswa

yang beragama non muslim dilakukan di rumah mereka masing-masing dan guru

Bimbingan dan Konseling melakukan kunjungan rumah (home visit) untuk memantau kegiatan mereka.

Banyak faktor yang menyebabkan kenakalan pada remaja. Menurut

Santrock (2003: 524) salah satu penyebab kenakalan pada remaja yaitu kegagalan

remaja untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.

Menurutya beberapa anak gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang

sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan mereka telah

mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku

yang tidak dapat diterima. Namun remaja yang melakukan kenakalan tidak

mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat

diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah

mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol

yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah

laku mereka.

Selanjutya Kartono (2007: 227) mengatakan bahwa pada umumnya

kenakalan merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi

(23)

emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Faridh (2008: 9) yang berjudul “Hubungan

antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja”. Dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara

regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.

Jensen (dalam Sarwono 2010: 255) mengatakan bahwa kenakalan remaja

disebabkan karena remaja lebih mementingkan faktor individu dibandingkan

dengan faktor lingkungan (Rational choice). Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interest, dan motivasi atau kemauannya sendiri. Misalnya kenakalan remaja disebabkan karena kurangnya iman dalam diri remaja itu sendiri.

Selain faktor-faktor tersebut, kenakalan remaja juga bisa dipengaruhi oleh

religiusitas remaja. Diasumsikan jika remaja memiliki religiusitas rendah maka

tingkat kenakalannya tinggi artinya dalam berperilaku tidak sesuai dengan ajaran

agama yang dianutnya dan sebaliknya semakin tinggi religiusitas maka semakin

rendah tingkat kenakalan pada remaja artinya dalam berperilaku sesuai dengan

ajaran agama yang dianutnya karena ia memandang agama sebagai tujuan utama

hidupnya sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam

perilakunya sehari-hari (Andisty & Ritandiyono 2008: 173). Hal tersebut dapat

dipahami karena agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan

bertanggungjawab atas perbuatannya. Selain itu agama mendorong pemeluknya

untuk berlomba-lomba dalam kebajikan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarsono (2008: 120) menurutnya

(24)

lalai menunaikan perintah-perintah agama. Pendapat ini diperkuat oleh Sutoyo

(2009: 99), menurutnya individu melakukan suatu penyimpangan disebabkan

karena fitrah iman yang ada pada setiap individu tidak bisa berkembang dengan

sempurna atau imannya berkembang tetapi tidak bisa berfungsi dengan baik,

sehingga menyebabkan individu melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat

negatif atau menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya.

Remaja yang kadar keimanannya masih labil, akan mudah terjangkit

konflik batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan

berbagai hal yang menarik hati/keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan

dengan norma agama (Yusuf 2009: 144).

Agama adalah unsur terpenting dalam diri seseorang. Apabila keyakinan

beragama telah menjadi bagian integral dalam kepribadian seseorang, maka

keyakinanya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan

perasaannya.

Menurut Desmita (2008: 208), dibandingkan dengan masa anak-anak

keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.

Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih

mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja

terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Seifert dan Hoffnung (dalam Desmita 2008:

208), menurutnya meskipun pada awal masa kanak-kanak ia telah diajarkan

(25)

mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin

mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.

Jalaluddin (2002: 80) mengungkapkan bahwa usia remaja memang dikenal

sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan

dan perkembangannya. Remaja memiliki sikap kritis terhadap lingkungan yang

sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialaminya. Bila persoalan tersebut

gagal diselesaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri.

Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja berada di

persimpangan jalan. Dalam situasi yang semacam ini, maka peluang munculnya

perilaku menyimpang terkuak lebar.

Penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat tergantung dari kemampuan

memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih dominan, biasanya

remaja cenderung untuk mencari jalan “pengampunan”, sebaliknya bila perilaku

menyimpang dianggap sebagai “pembenaran”, maka keterlibatan mereka pada

perilaku menyimpang akan semkain besar. Tindakan ini akan mendorong mereka

terbiasa dengan pekerjaan tercela itu. Seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin

(2002: 75) bahwa tingkat religiusitas pada remaja akan berpegaruh terhadap

perilakunya. Apabila remaja memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka

remaja akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius pula, sebaliknya

remaja yang memiliki tingkat religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan

perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja

memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau

(26)

Asumsi ini didukung oleh penelitian terdahulu yang berjudul “Hubungan

antara Religiusitas dengan Kecenderungan Perilaku Masturbasi pada Remaja di

Yogyakarta”. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku masturbasi dimana

religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 11,1% terhadap perilaku

masturbasi (Rafellino 2007: 19).

Penelitian lain yang berjudul “Tingkah Laku Prososial Mahasiswa terhadap

Pengemis ditinjau dari Tingkat Religiusitas”. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas

dengan tingkah laku prososial mahasiswa terhadap pengemis dimana religiusitas

memberikan sumbangan efektif sebesar 23,62% (Rumengan 2010: 45).

Penelitian tersebut memberikan landasan bagi peneliti bahwa religiusitas

memiliki peranan penting dalam perilaku seseorang. Seseorang yang kurang

membekali dirinya dengan arahan dan bimbingan keagamaan dalam

kehidupannya, maka kondisi seperti ini akan menjadi salah satu pemicu

berkembangnya perilaku seseorang yang semakin meningkat dan akan berdampak

pada setiap pebuatannya, serta lebih memudahkan seseorang untuk melakukan

perbuatan yang dilarang agama.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

mengkaji pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII

(27)

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas

VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?

2. Berapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas terhadap kenakalan

remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?

3. Bagaimana gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02

Slawi, Kabupaten Tegal?

4. Bagaimana gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02

Slawi, Kabupaten Tegal?

1.3

Tujuan penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka

tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada

siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas

terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi,

Kabupaten Tegal.

3. Untuk mengetahui gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP

Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.

4. Untuk mengetahui gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri

(28)

1.4

Kontribusi Penelitian

Penelitian tentang Pengaruh Religiuistas terhadap Kenakalan Remaja pada

Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dibidang ilmu

psikologi khusunya psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, dan

psikologi sosial yang berkaitan dengan sejauhmana pengaruh religiusitas

terhadap kenakalan remaja.

2. Secara praktis

a. Bagi guru pembimbing (konselor)

Informasi tentang pengaruh religiusitas terhadap perilaku kenakalan remaja

dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan dalam pencegahan perilaku

kenakalan remaja dengan meningkatkan religiusitas yang ada dalam diri

siswa sehingga mereka mampu mengarahkan dan membentuk jiwa

keberagamaan yang mantap dan dinamis serta dapat mencegah terjadinya

perilaku kenakalan remaja.

b. Bagi sekolah

Sebagai bahan pertimbangan penyusun kebijakan penanganan pelanggaran

tata tertib sekolah dan mekanisme penanganan penyimpangan perilaku secara

(29)

c. Bagi siswa

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya

(30)

14

2.1

Remaja

2.1.1 Pengertian Remaja

Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase)

remaja. Menurut Desmita (2008: 189) istilah remaja berasal dari bahasa latin

adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Sedangkan menurut bahasa aslinya, remaja sering dikenal

dengan istilah “adolescence”. Menurut Piaget, Istilah “adolescence”yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan

mental, emosional, sosial dan fisik.

Monks (2006: 262) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara

usia 12 tahun sampai 21 tahun. Dengan pembagian 2-15 tahun: masa remaja awal,

15–18 tahun: masa remaja pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir.

2.1.2 Ciri-Ciri Masa Remaja

Hurlock (1980: 207-209) menyebutkan ciri-ciri remaja yaitu sebagai

berikut:

1. Masa remaja dianggap sebagai periode penting

Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang

tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat perkembangan fisik dan

psikologis yang kedua-duanya sama-sama penting. Terutama pada awal masa

(31)

perkembangan mental yang cepat pula dapat menimbulkan perlunya penyesuaian

dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

2. Masa remaja dianggap sebagai periode peralihan.

Bila anak-anak beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa, anak-anak

harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus

mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap

yang sudah ditinggalkan.

Osterrieth mengatakan bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa

kanak-kanak dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa

remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Perubahan fisik yang terjadi

selama tahun awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan

mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah

bergeser, pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan bukan orang dewasa.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajr

dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja ketika perubahan fisik

terjadi dengan pesat perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada

lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu :

a. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan

fisik dan psikologis yang terjadi.

b. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial

(32)

c. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah,

apa yang dianggap pada masa kanak-kanak penting setelah hampir dewasa

tidak penting lagi.

d. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, mereka

menginginkan untuk menuntut kebebasan tetapi mereka sering takut dan

meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab

tersebut.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, baik oleh

anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu:

a. Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh

orang tua dan guru-guru sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman

dalam menghadapi masalah.

b. Karena para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri dan menolak bantuan.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri pada kelompok masih

tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai

mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dngan menjadi sama dengan

teman-temannya. Seperti yang dijelaskan oleh Erickson : “Identitas diri yang

dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya

dalam masyarakat. Apakah dia seorang anak atau apakah dia orang dewasa?

(33)

sekalipun latar belakng ras, agama atau kebangsaanya membuat beberapa orang

merendahkannya? Secara keseluruhan apakah ia akan berhasil atau gagal?”

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulakan ketakutan

Majeres menunjukkan bahwa banyak anggapan popular tentang remaja

yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang

bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang

tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak

menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan

remaja, bersikap simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Stereotip

popular juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.

7. Masa remaja sebagai usia yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kahidupan melalui kaca berwarna merah

jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan

bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak

realistik ini menyebabkan meningginya emsoi yang merupakan ciri dari awal

masa remaja, semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah para remaja

menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, oleh karena itu remaja

(34)

2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin 2002: 74) perkembangan jiwa

beragama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan

jasmaninya. Perkembangan itu adalah sebagai berikut :

a. Pertumbuhan pikiran dan mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa

kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran

agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada

masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya.

Menurut Hurlock (1980: 222) periode remaja memang disebut sebagai

periode keraguan religius. Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan keraguan religius tersebut adalah tanya-jawab

religius. Menurut Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) para remaja ingin

mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin

menerimanya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi

agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai

sesuatu yang bermakna. Mereka ingin mandiri dan bebas menentukan

keputusan-keputusan mereka sendiri.

Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya banyak

tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin

yang terjadi dalam diri. Dalam mengatasi kegalauan batin ini para remaja

cenderung untuk bergabung dalam kelompok teman sebaya untuk berbagi rasa

(35)

remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Namun demikian

dalam kenyataannya apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa

yang mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi

kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan.

Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan

intelektual yang dialami para remaja. Dalam situasi bingung dan konflik batin

menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Dalam situasi

yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka lebar

(Jalaluddin 2002: 82).

b. Perkembangan perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,

etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa

dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya

lebih dekat ke arah hidup yang religius pula.

Menurut Jones (dalam Hurlock 1980: 222) perubahan minat religius selama

masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan.

Adanya perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya

keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan

penggunaan keyainan serta khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik

(36)

c. Perkembangan moral

Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha

untuk mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga

mencakupi:

1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

3) Submissive, merasakan adanya keraguan tehadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral

masyarakat.

d. Sikap dan minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan

sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan

agama yang mempengaruhi mereka.

2.2

Kenakalan Remaja

2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja

Secara etimologis kenakalan remaja (juvenile delinquency) dapat dijabarkan bahwa juvenile yang berarti anak sedangkan delinquency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak.

(37)

Kausar (2012: 487) mengatakan bahwa kata “Juvenil” merujuk pada anak yang berusia di bawah 18 tahun dan “delinquency” adalah istilah yang didefinisikan oleh hukum untuk perilaku kriminal yang sering menghasilkan

perilaku bermasalah yang ekstrim.

Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit

(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu

bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku

yang menyimpang. Delinquency menurut Kartono (2011: 6) selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh

anak-anak muda dibawah usia 22 tahun.

Simanjuntak (dalam Sudarsono 2008: 10) memberi tinjauan secara

sosiokultural tentang arti juvenile delinquency, menurutnya suatu perbuatan disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan

norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan

yang anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif.

Menurut Santrock (2003: 518) kenakalan remaja (juvenile delinquency)

mengacu pada suatu rentang yang sangat luas, dari tingkah laku yang tidak dapat

diterima secara sosial misalnya bersikap berlebihan di sekolah sampai

pelanggaran status seperti melarikan diri hingga tindak kriminal misalnya

(38)

Sudarsono (2008: 11) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai

perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat

melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama.

Dalam arti luas, kenakalan remaja meliputi perbuatan-perbuatan anak

remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang

terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan diluar KUHP

(pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti

sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak

tergolong detik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak

remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua, sesaudara

saling bermusuhan. Disamping itu dapat dikatakan kenakalan remaja jika

perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya,

misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah

baligh, remaja Kristen enggan melakukan sembahyang/kebaktian (Sudarsono

2008 : 12).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

disimpulkan kenakalan remaja adalah semua perbuatan menyimpang atau

pelanggaran yang bersifat anti sosial, anti susila, pelanggaran status, melawan

hukum dan menyalahi norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dalam

masyarakat yang dilakukan oleh remaja sehingga dapat merugikan dirinya sendiri

(39)

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Simadjuntak (1981: 289-290) menyebutkan faktor-faktor yang

menyebabkan kenakalan pada remaja menjadi dua klasifikasi, yaitu:

1. Faktor internal :

a. Cacad keturunan yang bersifat biologis-psikis.

b. Pembawaan negatif yang mengarah pada perbuatan nakal.

c. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan. Hal

ini menimbulkan frustasi dan ketegangan.

d. Lemahnya kontrol diri dan persepsi sosial.

e. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan yang

baik dan kreatif.

f. Tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobi yang sehat.

2. Faktor eksternal :

a. Rasa cinta dari orang tua dan lingkungan.

b. Pendidikan yang kurang mampu menanamkan bertingkah laku sesuai

dengan alam sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah dan masyarakat.

c. Menurunnya wibawa orang tua, guru dan pemimpin masyarakat.

d. Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang berpengaruh

dalam domain efektif, konasi, konisi dari orang tua, masyarakat dan guru.

e. Kurangnya pemahaman terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah

dan masyarakat.

(40)

g. Ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja baik dalam segi

pendekatan sosiologik, psikologik maupun pedagogik.

Santrock (2003: 522) menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan

kenakalan pada remaja, yaitu :

a. Identitas

Erikson (Santrock 2003: 522) mengemukakan bahwa masa remaja berada

pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Ia percaya

bahwa perubahan biologis berupa pubertas menjadi awal dari perubahan yang

terjadi bersamaan dengan harapan sosial yang dimiliki keluarga, teman sebaya,

dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan

terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya

perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya identitas peran,

kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan

gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erickson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan kegagalan

remaja dalam memenuhi bentuk integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai

aspek-aspek peran identitas. Bagi Erickson, kenakalan adalah suatu upaya untuk

membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk

mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak

gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain

(41)

acapkali menjadi penyebabnya. Remaja terkadang terlalu emosional dalam

merespon suatu kejadian dan menolak kejadian tersebut sebagai sesuatu yang

terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Feldman & Weinberger pada tahun 1994

menguatkan pendapat bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam

kenakalan remaja (Santrock 2003: 524). Kebanyakan remaja yang melakukan

kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan dalam berbagai kompetensi yang

dapat meningkatkan cara pandang terhadap dirinya sendiri.

c. Proses Keluarga

Orang tua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak terlatih

untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku anti sosial daripada orang tua yang

memiliki remaja yang tidak melakukan kenakalan. Pengawasan orang tua

terhadap remaja terutama penting dalam menentukan apakah remaja akan

melakukan kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa

pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang

paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja (Patterson &

Stouthamer-Loeber 1984 dalam Santrock 2003: 524).

d. Kelas sosial / komunitas

Walaupun kini kenakalan remaja tidak lagi terbatas hanya sebagai kelas

masalah sosial yang lebih rendah dibandingkan dimasa sebelumnya, beberapa ciri

kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya

kenakalan (Jenkins & Bell dalam Santrock 2003: 525). Norma yang berlaku

(42)

antisosial dan berlawanan dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas

(McCord dalam Santrock 2003: 525).

Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering

seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena

remaja yang dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih

terbatas untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat,

mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan

status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan

“maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi anak-anak dari kelas sosial

yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan

remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah

melakukan kenakalan.

Komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya kenakalan

(Chesney-Lind 1989; Figueira & McDonough 1992 dalam Santrock 2003: 525).

Masyarakat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja

mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh

hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Kualitas sekolah,

pendanaan pendidikandan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah

faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan.

Hal lain dijelaskan oleh Sutoyo (2009: 99-100) menurutnya kenakalan

remaja disebabkan karena fitrah iman yang ada pada individu tidak bisa

berkembang dengan sempurna, dan atau imannya berkembang tetapi tidak

(43)

mampu berfungsi sebagai pemberi arah, pendorong dan sekaligus pengendali bagi

fitrah jasmani, rohani dan nafs; yang pada akhirnya akan melahirkan

kecenderungan untuk berperilaku positif. Sedangkan menurut Sudarsono (2008:

120) mengatakan bahwa anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian

besar disebabkan karena meraka lalai menunaikan perintah-perintah agama antara

lain tidak mengikuti acara kebaktian, tidak mengikuti acara missa, tidak

menjalankan puasa dan tidak mengerjakan sholat.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja disebabkan

oleh dua faktor, yaitu :

1. Faktor internal meliputi identitas, kontrol diri, proses keluarga, fitrah iman

yang belum berkembang sempurna dan agama.

2. Faktor eksternal meliputi pengawasan yang kurang dari orang tua keluarga

maupun guru, kurangnya sarana penyaluran waktu senggang, pendidikan yang

kurang dan komunitas/lingkungan.

2.2.3 Ciri-Ciri Pokok Kenakalan Remaja

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1989: 19) beberapa ciri-ciri pokok dari

kenakalan remaja yaitu :

1. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan

atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang

ada di lingkungan hidupnya.

2. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang

(44)

3. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja dan dapat dilakukan

bersama-sama dalam sekelompok remaja.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pokok dari kenakalan

remaja yaitu perbuatan tersebut bersifat melanggar hukum, bertentangan dengan

nilai atau norma dan dilakukan oleh seorang remaja maupun dilakukan

bersama-sama oleh sekelompok remaja.

2.2.4 Jenis-Jenis Kenakalan Remaja

Jensen (dalam Sarwono 2010: 256) membagi kenakalan menjadi empat

jenis, yaitu :

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, misalnya:

perkelahian, menyakiti teman seperti melakukan penganiayaan dan lain-lain.

2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya: perusakan, pencurian,

pemerasan, menggunakan iuran sekolah (SPP) dan lain-lain.

3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain,

misalnya: menikmati karya pornografi, penyalahgunaan obat dan hubungan

seks bebas.

4. Kenakalan yang melawan status, misalnya: mengingkari status anak sebagai

pelajar dengan cara datang terlambat ke sekolah, membolos, tidak memakai

atribut sekolah dengan lengkap, berpakaian tidak sesuai dengan aturan

sekolah, berperilaku tidak sopan dengan orang tua dan guru, mencontek,

keluyuran setelah pulang sekolah dan pada malam hari tanpa tujuan yang

(45)

mengemudi (SIM), mengingkari status orang tua dengan cara kabur/minggat

dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.

Kenakalan remaja dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar sesuai

kaitannya dengan norma hukum (Mulyono 1993: 22-24):

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial yang tidak diatur oleh

undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum,

seperti membolos, berbohong atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan

menipu diri, berpakaian tidak pantas, memiliki dan membawa benda yang

membahayakan orang lain, meminum-minuman keras, menggunakan bahasa

yang tidak sopan dan tidak senonoh, kabur dari rumah, keluyuran atau pergi

sampai larut malam, dan bergaul dengan teman yang dapat menimbulkan

pengaruh negatif.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaiannya sesuai

dengan undang-undang dan hukum, seperti berjudi, mencuri, menjambret,

merampok, merampas dengan atau tanpa kekerasan, menggelapkan barang,

penipuan dan pemalsuan, memiliki dan membawa senjata tajam yang dapat

membahayakan orang lain, pengguran kandungan, percobaan atau terlibat

pembunuhan dan penganiyaan.

Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja

kedalam tiga tingkatan :

4. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,

(46)

5. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti

mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.

6. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar

nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bentuk kenakalan remaja dibagi

menjadi tiga yaitu :

1. Kenakalan ringan/biasa, dimana kenakalan ini bersifat amoral dan anti sosial,

yaitu kenakalan yang melanggar aturan-aturan yang ada di sekitar lingkungan

tempat individu berada, misalnya lingkungan sekolah dan lingkungan

keluarga. Kenakalan ini tidak diatur oleh undang-undang dan tidak dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, suka keluyuran,

suka berkelahi, membawa benda yang tidak ada kaitannya dengan KBM,

berpakaian tidak sopan, berkata tidak sopan dan senonoh, dan meninggalkan

rumah tanpa izin orang tua dimana kenakalan ini merupakan kenakalan yang

melawan status.

2. Kenakalan sedang, yaitu jenis kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan

kejahatan dimana kenakalan ini diatur oleh hukum dan dapat merugikan

masyarakat, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang

tua tanpa izin yang dapat menimbulkan korban fisik dan materi pada orang

lain.

3. Kenakalan berat/khusus, yaitu kenakalan yang melanggar hukum dan

mengarah kepada tindakan kriminal, seperti berjudi, mencuri, menjambret,

(47)

nikah, penggelapan barang dan terlibat pembunuhan serta penganiayaan.

Kenakalan ini merupakan kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik,

menimbulkan korban materi dan tidak menimbulkan korban di di pihak orang

lain.

Pada penelitian ini peneliti membatasi kenakalan remaja pada jenis

kenakalan ringan, yaitu perilaku pelanggaran tata tertib sekolah siswa SMP Negeri

02 Slawi, Kabupaten Tegal yang tercatat dalam Jurnal Buku Sanksi dimana

perilaku tersebut meliputi terlambat masuk sekolah, membolos, tidak masuk

sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah, memakai seragam

tidak lengkap, tidak mengerjakan tugas, mengompas/memalak dan berkata tidak

sopan kepada guru.

2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja

Tindakan delinkuen anak remaja banyak menimbulkan kerugian materiil

dan kesengsaraan batin baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada para

korbannya. Maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan

tindak-tindak preventif dan penanggulangan secara kuratif (Kartono 2011: 95-97).

Tindakan preventif yang dilakukan berupa :

1. Meningkatkan kesejahteraan keluarga.

2. Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.

3. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki

tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.

4. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.

(48)

6. Mengadakan panti asuhan.

7. Mengadakan lembaga freformatif untuk memberikan latihan korektif,

pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susial kepad anak-anak

dan para remaja yang membutuhkan.

8. Membuat badan supervise dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen,

disertai program yang korektif.

9. Mengadakan pengadilan anak.

10.Menyusun undang-undang khusus untuk anak dan remaja.

11.Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).

12.Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.

13.Menyelenggaran diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk

membangun kontak manusiawi diantara para remaja delinkuen dengan

masyarakat luar.

14.Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja

delinkuen dan yang nondelinkuen. Misalnya berupa latihan vokasional, latihan

hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi dan lain-lain.

15.Tindakan hukuman bagi anak remaja delinkuen antara lain berupa:

menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan

bisa mengugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan

mandiri.

Selanjutnya tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen

(49)

1. Menghilangkan sebab musabab timbulnya kejahatan remaja baik yang berupa

familial, sosial ekonomis dan kultural.

2. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan memberikan orang tua

angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan

jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.

3. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah

lingkungan sosial yang baik.

4. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib, berdisiplin.

5. Memanfaatkan waktu senggang untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan

melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.

6. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional

untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup

di tengah masyarakat.

7. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan

pembangunan.

8. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik

emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. memberikan pengobatan medis

dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bentuk penanggulangan dari

kenakalan remaja dilakukan secara preventif dan kuratif.

2.2.6 Jurnal Buku Sanksi

Jurnal buku sanksi merupakan buku yang digunakan oleh guru bimbingan

(50)

kejadian-kejadian yang berkaitan dengan beberapa kasus atau pelanggaran yang

dilakukan oleh siswa-siswi SMP N 02 Slawi. Buku ini berisi sekumpulan

catatan-catatan mengenai permasalahan-permasalahan yang dialami oleh beberapa

siswa-siswa SMP N 02 Slawi. Buku ini terbagi menjadi dua, yaitu buku catatan

terlambat yang digunakan untuk mencatat siswa-siswa yang datang terlambat ke

sekolah dan buku catatan kasus yang digunakan untuk mencatat beberapa kasus

atau permasalahan yang dialami oleh beberapa siswa di sekolah.

SMP N 02 Slawi tidak menerapkan sistem poin untuk setiap

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswa di SMP tersebut. Hal ini disebabkan

karena apabila sistem poin digunakan dikhawatirkan semua siswa akan

mendapatkan poin atas pelanggaran yang dilakukan. Menurut pemamaran guru

bimbingan dan konseling sendiri sistem poin sudah pernah diterapkan, namun

dengan diterapkannya sistem poin tersebut membuat siswa malas berangkat ke

sekolah karena mereka merasa terbebani dengan adanya penerapan poin tersebut

dan dampaknya hampir semua siswa mendapatkan poin atas

pelanggran-pelanggaran yang mereka lakukan. Karena tidak diterapkannya sistem poin di

sekolah ini, maka pihak sekolah tidak bisa mengklasifikiasikan atau

mengkategorisasikan jenis pelanggaran-pelanggaran atau kenakalan yang

dilakukan oleh beberapa siswa SMP N 02 Slawi.

Pihak SMP N 02 Slawi memberi batasan bagi siswa-siswa yang melakukan

tindak pelanggaran baik pelanggaran keterlambatan maupun pelanggaran

kasus-kasus lainnya yaitu maksimal tiga kali berturut-turut dalam satu minggu. Apabila

(51)

pembimbing segera mengambil tindakan atas pelanggran tersebut dengan cara

melakukan pembinaan secara langsung kepada siswa yang melakukan

pelanggaran. Pembinaan ini dilakukan pada saat jam istirahat berlangsung dengan

cara memanggil siswa yang bersangkutan ke ruang bimbingan dan konseling

untuk mendapatkan pembinaan dari guru pembimbing. Dengan adanya pembinaan

ini diharapkan siswa dapat mengurangi bahkan merubah perilakunya sehingga

siswa tersebut tidak melakukan pelanggaran kembali. Apabila setelah diadakan

pembinaan secara langsung siswa tidak mengalami perubahan dan tetap

melakukan pelanggaran, maka penanganan dialihtangankan kepada Kepala

Sekolah. Namun apabila tindakan ini belum juga berhasil, pihak sekolah

memutuskan untuk memanggil orang tua atau wali murid ke sekolah.

2.3

Religiusitas

2.3.1 Pengertian Religiusitas

Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris),

religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam

Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar

katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu

kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu

berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok

orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam

sekitarnya.

Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang

(52)

terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan

dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan

hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).

Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76) mendefinisikan

agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem

perilaku yang terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada

persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti & Ritandiyono 2008: 172)

bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu

kelembagaan yang mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan,

sedangkan religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia.

Religiusitas lebih menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama.

Agama dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena keduanya

merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua

kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah

masyarakat.

Selanjutnya Ancok dan Suroso (1995: 76) mengemukakan bahwa

keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan

manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

perilaku ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong

oleh kekuatan supranatural, bukan hanya aktivitas yang tampak dan dapat dilihat

(53)

keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi dan dimensi. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa agama adalah sistem yang berdimensi banyak.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri

seseorang yang mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak

maupun tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama

yang dianutnya.

2.3.2 Karakteristik Individu yang Memiliki Religiusitas

Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan tercermin dalam

perilakunya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Glock dan Stark dalam dimensi

religiusitas, Ancok dan Suroso menjelaskan karakteristik individu yang memiliki

religiusitas berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan

Stark yang memiliki kesesuaian dengan islam, yaitu:

1. Memiliki ciri utama berupa keyakinan (aqidah) yang kuat. Aqidah ini

mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman (iman kepada

Allah, Malaikat, kitab-kitab, Nabi, hari pembalasan dan qadha dan qadhar).

Seorang muslim yang religius akan merasa yakin atau percaya terhadap

adanya Allah, melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah guna

mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, mencintai dan

melaksanakan perintah Allah, serta menjauhi larangan-Nya, meyakini adanya

hal-hal yang dinaggap suci dan sakral, seperti kitab suci, tempat ibadah san

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Kenakalan Remaja yang dilakukan siswa kelas VIII SMP N 02
Tabel 3.2 Rancangan Angket Kenakalan Remaja
Tabel 3.4 Tabel Penyebaran Angket Kenakanalan Remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap pelaksanaan Persidangan secara Elektronik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 yakni memberikan

This research used “Freedom Writers” movie subtitles as primary data which will be analyzed by researcher through tenor dimensions and

Laporan Penelitian: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.. “Yoga and Yantra: Their Interelation and Their

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

Kesadaran beliau untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu yang didapatkanya dari ajaran sapta darmo membuatnya menjadi orang yang lebih baik dan

Sektor pendidikan dan kesehan merupakan pos anggaran yang besar namun cenderung pemanfaatan anggaran pada peningkatan kuantitas belum pada peningkatan kualitas,

Data yang diambil secara langsung (aktual) di lapangan berupa data jarak atau spasi antara cable bolt dan ring beserta jumlah material secondary support (cable bolt)