11iipi
REMAJA PADA SISWA KELAS VIII
SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh
Atika Oktaviani Palupi 1511409011
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini dengan judul
“Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah.
Semarang, 22 Agustus 2013
Atika Oktaviani Palupi
iii
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja
pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” ini telah
dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 22 Agustus 2013.
Panitia Pengujian Skripsi:
Ketua Sekretaris
Drs. Sutaryono, M. Pd Liftiah, S.Psi.,M.Si
NIP.19570825 198303 1 015 NIP.19690415 199703 2 002
Penguji utama
Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. NIP. 19781007 200501 1 003
Penguji I Penguji II
Dr. Edy Purwanto, M.Si. Dyah Indah N., S.Psi., M.Psi.
iv
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto
1. Karena sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan (Q.S Al-Insyirah : 5)
2. Succes is not destination but a journey (Anonim)
PERUNTUKAN:
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:
1. Kedua orang tuaku (Sudarno dan Juwanti) Terimakasih untuk doa, cinta, kasih sayang dan pengorbanannya.
2. Almamaterku
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat, serta
hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan
antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri
02 Slawi”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:
1. Drs. Hardjono, M. Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Sutaryono, M.Pd. selaku ketua panitia sidang skripsi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
3. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan saran serta arahan.
4. Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. selaku penguji utama skripsi yang telah
memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh
peneliti.
5. Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi. dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan, motivasi, dan masukan kepada penulis.
6. Semua dosen Psikologi yang telah memberikan banyak ilmu dan pelajaran
vi
7. Seluruh warga sekolah SMP Negeri 02 Slawi yang telah banyak membantu
serta berpartisipasi dalam penelitian.
8. Bapak, Mamah, kakak-kakak tercinta dan saudara-saudaraku, yang selalu
mendoakan serta mendukung penulis walaupun dalam keadaan apapun, hanya
dua kata yang selalu ingin aku ucapkan ” Maaf dan Terima Kasih”.
9. Sahabat terdekat penulis, Anggi terimakasih untuk segala dukungan,
semangat, motivasi yang sudah diberikan selama ini.
10.Teman-teman Psikologi 2009 (khusunya Riris, Yusri, Risandi, Anis, Wulan)
terima kasih atas pengalaman dan perjuangan bersama kita selama menempuh
kuliah di Psikologi ini.
11.Teman-teman ”Cherry Kost” Mbak Esti, Mbak Anna, Mbak Wulan, Fina,
Pangga, Fela, Ika, Fatimah terima kasih untuk suka duka dan kebersamaan
yang terjalin selama 1,5 tahun ini.
12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi.
Semoga kebaikan dan keikhlasan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada semua
pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini
memberikan manfaat dan kontribusi dalam bidang psikologi pada khususnya dan
semua pihak pada umumnya.
Semarang, 22 Agustus2013
vii ABSTRAK
Palupi, Atika Oktaviani. 2013. Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. Edy Purwanto, M.Si., Pembimbing II Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi.
Kata kunci: religiusitas, siswa SMP, kenakalan remaja
Salah satu masalah yang dihadapi pada masa remaja yaitu adanya masa transisi yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Masa ini sering disebut sebagai masa topan badai (“strum and drang)” yaitu masa yang penuh dengan gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Masa transisi inilah yang menimbulkan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang atau yang biasa disebut dengan istilah kenakalan remaja. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Untuk itu dibutuhkan keyakinan dan pengamalan yang kuat terhadap ajaran-ajaran agama guna mengurangi perilaku-perilaku kenakalan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh religusitas terhadap kenakalan remaja; dan 2) seberapa besar sumbangan efektif religiusitas terhadap kenakalan remaja.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi dengan sampel berjumlah 70 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling atau sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono 2010: 124). Data penelitian diambil menggunakan angket kenakalan remaja dan skala religiusitas. Angket kenakalan remaja terdiri dari 42 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara 0,103 – 0,860 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,964. Skala religiusitas terdiri dari 31 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara -0,169 - 0,792 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,889. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi satu prediktor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,771 dengan signifikansi sebesar 0,000 dimana p<0,05. Hal ini berarti semakin tinggi religusitas maka semakin rendah perilaku kenakalan remaja, sehingga hipotesis kerja yang diajukan diterima. Hasil uji regresi diperoleh R-Square 0,594 yang berarti religiusitas berpengaruh terhadap kenakalan remaja sebesar 59,4% dan sisanya sebesar 40,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang belum terungkap dalam penelitian ini. Kesimpulannya ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi Kabupaten Tegal.
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN ... ii
PENGESAHAN ...iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kontribusi Penelitian ... 12
ix
2.1 Remaja ... 14
2.1.1 Pengertian Remaja... 14
2.1.2 Ciri-ciri Masa Remaja ... 14
2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja ... 18
2.2 Kenakalan Remaja... 20
2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja ... 20
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 23
2.2.3 Ciri-ciri Pokok Kenakalan Remaja ... 27
2.2.4 Jenis-jenis Kenakalan Remaja ... 28
2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja ... 31
2.2.6 Jurnal Buku Sanksi ... 33
2.3 Religiusitas... 35
2.3.1 Pengertian Religiusitas ... 35
2.3.2 Karakteristik Individu Yang Memiliki Religiusitas ... 37
2.3.3 Dimensi Religiusitas... 40
2.4 Hubungan antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja ... 49
2.5 Kerangka Berpikir ... 52
2.6 Hipotesis ... 52
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 53
3.1 Jenis Penelitian ... 53
3.2 Desain Penelitian ... 53
3.3 Variabel Penelitian ... 53
x
3.3.2 Definisi Operasional Variabel... 54
3.3.3 Hubungan Antar Variabel ... 57
3.4 Populasi dan Sampel ... 57
3.4.1 Populasi ... 57
3.4.2 Sampel ... 59
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 59
3.5.1 Angket ... 59
3.5.2 Skala Psikologi ... 62
3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 65
3.6.1 Validitas Instrumen Penelitian ... 65
3.6.2 Validitas ... 72
3.6.3 Reliabilitas ... 72
3.7 Pelaksanaan Uji Coba ... 73
3.8 Metode Analisis Data ... 74
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75
4.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 75
4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 76
4.2.1 Persiapan Penelitian ... 76
4.2.2 Penentuan Subjek Penelitian ... 76
4.2.3 Pengumpulan Data ... 77
4.2.4 Pelaksanaan Skoring... 77
xi
4.3.1 Gambaran Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02
Slawi ... 78
4.3.2 Gambaran Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 88
4.4 Pengujian Hipotesis (Analisis Data Inferensial) ... 95
4.4.1 Hasil Uji Asumsi ... 95
4.4.2 Hasil Uji Hipotesis ... 97
4.5 Pembahasan ... 101
4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 101
4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 109
4.6 Keterbatasan Penelitian ... 114
BAB 5 PENUTUP ... 115
5.1 Simpulan ... 115
5.2 Saran ... 116
Daftar Pustaka ... 118
Lampiran ... 121
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Kenakalan Remaja yang dilakukan Siswa Kelas VIII SMP Negri 02 Slawi
Tahun Ajaran 2012/2013 ... 58
3.2 Rancangan Angket Kenakalan Remaja ... 60
3.3 Skoring Angket Kenakalan Remaja ... 61
3.4 Penyebaran Angket Kenakalan Remaja ... 61
3.5 Skoring Skala Religiusitas ... 64
3.6 Blue Print Skala Religiusitas ... 64
3.7 Perubahan Pernyataaan Aitem Skala Religiuistas... 66
3.8 Sebaran Aitem Uji Coba Angket Kenakalan Remaja pada Siswa Setelah Uji Coba ... 68
3.9 Sebaran Baru Aitem Angket Kenakalan Remaja Penelitian... 68
3.10 Sebaran Aitem Uji Coba Skala Religiuistas Setelah Uji Coba ... 69
3.11 Sebaran Baru Aitem Skala Religiusitas Penelitian ... 71
3.12 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik ... 74
4.1 Statistik Deskriptif Kenakalan Remaja ... 79
4.2 Kriteria Kenakalan Remaja ... 80
4.3 Gambaran Kenakalan Remaja... 80
4.4 Gambaran Terlambat Masuk Sekolah ... 82
4.5 Gambaran Membolos ... 82
4.6 Gambaran Tidak Masuk Tanpa Keterangan ... 83
xiii
4.8 Gambaran Memakai Seragam Tidak Lengkap ... 84
4.9 Gambaran Tidak Mengerjakan Tugas ... 85
4.10 Gambaran Mengompas/Memalak ... 85
4.11 Gambaran Berkata Tidak Sopan ... 86
4.12 Rangkuman Deskriptif Kenakalan Remaja pada SiSWA Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 86
4.13 Perbandingan Mean Empirik Tiap Indikator Kenakalan Remaja ... 87
4.14 Statistik Deskriptif Religiusitas ... 88
4.15 Kriteria Religiusitas ... 89
4.16 Gambaran Religiusitas Siswa ... 90
4.17 Gambaran Keyakinan Siswa ... 91
4.18 Gambaran Praktek Agama Siswa ... 92
4.19 Gambaran Pengamalan Siswa ... 93
4.20 Gambaran Pengalaman Siswa ... 93
4.21 Rangkuman Deskriptif Religiusitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 94
4.22 Perbandingan Mean Empirik Tiap Aspek Religiusitas ... 95
4.23 Hasil Uji Normalitas ... 96
4.24 Hasil Uji Linieritas ... 97
4.25 Hasil Uji Korelasi Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 98
xiv
4.27 Hasil Analisis Besarnya Pengaruh Religiusitas terhadap Kenakalan
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Berpikir ... 52
4.1 Gambaran Umum Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 02 Slawi ... 81
4.2 Gambaran Umum Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Instrumen Penelitian ... 122
2. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 139
3. Statistik Deskriptif ... 149
4. Uji Validitas Instrumen ... 152
5. Uji Reliabilitas Instrumen ... 163
6. Uji Asumsi ... 165
7. Uji Hipotesis ... 167
8. Dokumentasi Penelitian ... 169
1
1.1
Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa.
Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan
seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa
transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Hall menyebut masa
ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan
pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri
sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan
orang-orang yang dekat, misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono
1993: 16).
Masa transisi inilah yang memungkinkan remaja dapat menimbulkan masa
krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku
menyimpang. Perilaku menyimpang ini bisa menyimpang dari norma hukum,
norma agama dan norma yang dianut masyarakat atau dalam istilah psikologi
disebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.
Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku
yang menyimpang.
Beberapa riteratur dan penelitian yang terkait dengan kenakalan remaja
(Santrock: 2002, Maria: 2007, Kienhuis: 2009, Joanna dalam Ruby: 2009, dan
Willis dalam Sujoko 2011: 2) menjelaskan bahwa kenakalan-kenakalan yang
dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam, mulai dari
perbuatan yang bersifat amoral maupun anti sosial. Perbutaan tersebut dapat
berupa berkata jorok, mencuri, merusak, kabur dari rumah, indisipliner di sekolah,
membolos, membawa senjata tajam, merokok, berkelahi dan kebut-kebutan di
jalan sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau
perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang dan tindak kekerasan
lainnya yang sering diberitakan di media masa.
Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja
kedalam tiga tingkatan :
1. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,
pergi dari rumah tanpa pamit.
2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti
mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.
3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar
nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal
pada masa kanak-kanaknya. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan
wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa
kanak-kanak maupun remaja (http://auliatj.siswa-indonesia.net diunduh pada 08
September 2012).
Beberapa penelitian tentang perilaku kenakalan yang dilakukan oleh pelajar
menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan
data yang diungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus
penyalahgunaan narkoba terus meningkat di kalangan remaja. Dari 2,21% (4 juta
orang) pada tahun 2010 menjadi 2,8% (sekitar 5 juta orang) pada tahun 2011.
Yang berikutnya adalah seks bebas. Contoh kenakalan remaja dalam pergaulan
seks bebas akan bersangkutan dengan HIV/AIDS . Ketiga adalah tawuran antar
pelajar yang belakangan ini semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya
(www.Republika.co.id diunduh pada 08 September 2012).
Berita terbaru datang dari tawuran antara siswa Sekolah Menengah Atas
Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 24
September 2012, yang menyebabkan seorang siswa SMA 6 tewas. (detik.com
diunduh 25 September 2012).
Bentuk lain dari kenakalan yang dilakukan remaja yaitu banyaknya remaja
yag kerap menyimpan gambar/video porno di telepon seluler mereka. Seperti yang
terjadi di Surabaya. Lembaga hotline pendidikan berbasis di Jatim
mengungkapkan bahwa 90 % pelajar di Surabaya menyimpan film atau gambar
porno di telepon seluler yang dimilikinya. Fakta ini terungkap dalam survei yang
putri pernah melihat gambar dan menonton film porno di telepon seluler milik
mereka sedangkan untuk pelajar putra mencapai 97%. (m.merdeka.com diunduh
14 Februari 2013).
Kondisi kenakalan remaja juga terjadi di Bandung. Satpol PP dan Dinas
Pendidikan kota Bandung memergoki 8 pelajar bolos di warung internet (warnet)
dan game online di Jalan Solontongan dan Jalan Buabatu pada hari kamis (06/09/12). Rincian pelajar bolos terjaring razia itu masing-masing tiga pelajar
dari SMK N 4 Bandung, dua pelajar dari SMA N 22 Bandung, satu pelajar dari
SMK N 1 Baleendah dan dua pelajar dari SMP Muhammadiyah.
(http://bandung.detik.com diunduh pada 14 Februari 2013).
Hal yang sama juga terjadi di Sukoharjo. Tim gabungan Pemkab
Sukoharjo, Sabtu (24/11/2012), menggelar razia pelajar yang membolos sekolah.
Sebanyak 41 pelajar terdiri atas seorang siswi dan 40 siswa ditangkap saat mereka
nongkrong di Alun-alun Satya Negara dan tempat rekreasi yang lain. Tim
gabungan juga menemukan botol minuman keras (miras) dan rokok saat pelajar
itu digiring ke Kantor Satpol PP Sukoharjo untuk dibina.
(http://www.wonogiripos.com diunduh pada 14 Februari 2013).
Fakta yang terjadi di lapangan juga menunjukkan hal yang sama.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap guru
Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 02 Slawi pada bulan Januari 2013,
didapatkan hasil bahwa:
Pertama, jenis pelanggaran yang hampir setiap hari dilakukan oleh
sekolah, tidak masuk sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah,
memakai seragam tidak lengkap atau tidak sesuai, mengompas dan tidak
mengerjakan tugas.
Kedua, berdasarkan informasi dari guru pembimbing sebagian besar
kenakalan yang dilakukan oleh siswa-siswi SMP Negeri 02 Slawi dikarenakan
akibat permasalahan yang ada di dalam keluarga, seperti kebanyakan siswa-siswi
berasal dari golongan keluarga yang kurang mampu, sehingga kurang
terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis dalam diri siswa tersebut.
Kebanyakan siswa berasal dari keluarga broken home ( tidak utuh) dan biasanya siswa tinggal bukan dengan orang tuanya melainkan dengan nenek ataupun
saudaranya yang menyebabkan siswa-siswi kurang mendapatkan perhatian dan
kasih sayang dari orang tuanya.
Ketiga, Menurut pemaparan guru Bimbingan dan Konseling di SMP
tersebut, kebanyakan siswa laki-laki yang sering melakukan pelanggaran
dibanding dengan siswa perempuan. Bukan hanya itu saja, kenakalan yang
dilakukan juga disebabkan karena lemahnya tingkat pemahaman agama dalam diri
siswa tersebut, sehingga dalam berperilaku siswa kerap kali tidak dapat
mengendalikan emosinya. Hal ini disebabkan karena siswa tinggal di lingkungan
masyarakat yang mayoritas memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah.
Keempat, menurut hasil pemaparan guru Bimbingan dan konseling salah
satu upaya untuk mengurangi tingkat kenakalan atau pelanggaran yang dilakukan
oleh sebagian siswa dengan diterapkannya suatu program yaitu program yang
kegiatan Tadarus Alquran bersama setiap pagi sebelum Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) dimulai, sholat dhuhur berjamaah dan kegiatan peningkatan
Baca Tulis Alquran (BTA) bagi siswa-siswi yang belum lancar dalam membaca
Alquran. Alasan diterapkannya program ini yaitu karena mayoritas siswa SMP
tersebut beragama islam/muslim. Sedangkan peningkatan religiusitas bagi siswa
yang beragama non muslim dilakukan di rumah mereka masing-masing dan guru
Bimbingan dan Konseling melakukan kunjungan rumah (home visit) untuk memantau kegiatan mereka.
Banyak faktor yang menyebabkan kenakalan pada remaja. Menurut
Santrock (2003: 524) salah satu penyebab kenakalan pada remaja yaitu kegagalan
remaja untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.
Menurutya beberapa anak gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang
sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan mereka telah
mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku
yang tidak dapat diterima. Namun remaja yang melakukan kenakalan tidak
mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah
mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol
yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah
laku mereka.
Selanjutya Kartono (2007: 227) mengatakan bahwa pada umumnya
kenakalan merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi
emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Faridh (2008: 9) yang berjudul “Hubungan
antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja”. Dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara
regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.
Jensen (dalam Sarwono 2010: 255) mengatakan bahwa kenakalan remaja
disebabkan karena remaja lebih mementingkan faktor individu dibandingkan
dengan faktor lingkungan (Rational choice). Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interest, dan motivasi atau kemauannya sendiri. Misalnya kenakalan remaja disebabkan karena kurangnya iman dalam diri remaja itu sendiri.
Selain faktor-faktor tersebut, kenakalan remaja juga bisa dipengaruhi oleh
religiusitas remaja. Diasumsikan jika remaja memiliki religiusitas rendah maka
tingkat kenakalannya tinggi artinya dalam berperilaku tidak sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya dan sebaliknya semakin tinggi religiusitas maka semakin
rendah tingkat kenakalan pada remaja artinya dalam berperilaku sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya karena ia memandang agama sebagai tujuan utama
hidupnya sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam
perilakunya sehari-hari (Andisty & Ritandiyono 2008: 173). Hal tersebut dapat
dipahami karena agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan
bertanggungjawab atas perbuatannya. Selain itu agama mendorong pemeluknya
untuk berlomba-lomba dalam kebajikan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarsono (2008: 120) menurutnya
lalai menunaikan perintah-perintah agama. Pendapat ini diperkuat oleh Sutoyo
(2009: 99), menurutnya individu melakukan suatu penyimpangan disebabkan
karena fitrah iman yang ada pada setiap individu tidak bisa berkembang dengan
sempurna atau imannya berkembang tetapi tidak bisa berfungsi dengan baik,
sehingga menyebabkan individu melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
negatif atau menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya.
Remaja yang kadar keimanannya masih labil, akan mudah terjangkit
konflik batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan
berbagai hal yang menarik hati/keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan
dengan norma agama (Yusuf 2009: 144).
Agama adalah unsur terpenting dalam diri seseorang. Apabila keyakinan
beragama telah menjadi bagian integral dalam kepribadian seseorang, maka
keyakinanya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan
perasaannya.
Menurut Desmita (2008: 208), dibandingkan dengan masa anak-anak
keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja
terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Seifert dan Hoffnung (dalam Desmita 2008:
208), menurutnya meskipun pada awal masa kanak-kanak ia telah diajarkan
mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin
mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Jalaluddin (2002: 80) mengungkapkan bahwa usia remaja memang dikenal
sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan
dan perkembangannya. Remaja memiliki sikap kritis terhadap lingkungan yang
sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialaminya. Bila persoalan tersebut
gagal diselesaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri.
Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja berada di
persimpangan jalan. Dalam situasi yang semacam ini, maka peluang munculnya
perilaku menyimpang terkuak lebar.
Penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat tergantung dari kemampuan
memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih dominan, biasanya
remaja cenderung untuk mencari jalan “pengampunan”, sebaliknya bila perilaku
menyimpang dianggap sebagai “pembenaran”, maka keterlibatan mereka pada
perilaku menyimpang akan semkain besar. Tindakan ini akan mendorong mereka
terbiasa dengan pekerjaan tercela itu. Seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin
(2002: 75) bahwa tingkat religiusitas pada remaja akan berpegaruh terhadap
perilakunya. Apabila remaja memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka
remaja akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius pula, sebaliknya
remaja yang memiliki tingkat religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan
perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja
memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau
Asumsi ini didukung oleh penelitian terdahulu yang berjudul “Hubungan
antara Religiusitas dengan Kecenderungan Perilaku Masturbasi pada Remaja di
Yogyakarta”. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku masturbasi dimana
religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 11,1% terhadap perilaku
masturbasi (Rafellino 2007: 19).
Penelitian lain yang berjudul “Tingkah Laku Prososial Mahasiswa terhadap
Pengemis ditinjau dari Tingkat Religiusitas”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas
dengan tingkah laku prososial mahasiswa terhadap pengemis dimana religiusitas
memberikan sumbangan efektif sebesar 23,62% (Rumengan 2010: 45).
Penelitian tersebut memberikan landasan bagi peneliti bahwa religiusitas
memiliki peranan penting dalam perilaku seseorang. Seseorang yang kurang
membekali dirinya dengan arahan dan bimbingan keagamaan dalam
kehidupannya, maka kondisi seperti ini akan menjadi salah satu pemicu
berkembangnya perilaku seseorang yang semakin meningkat dan akan berdampak
pada setiap pebuatannya, serta lebih memudahkan seseorang untuk melakukan
perbuatan yang dilarang agama.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengkaji pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas
VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?
2. Berapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas terhadap kenakalan
remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?
3. Bagaimana gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02
Slawi, Kabupaten Tegal?
4. Bagaimana gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02
Slawi, Kabupaten Tegal?
1.3
Tujuan penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada
siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas
terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi,
Kabupaten Tegal.
3. Untuk mengetahui gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP
Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.
4. Untuk mengetahui gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri
1.4
Kontribusi Penelitian
Penelitian tentang Pengaruh Religiuistas terhadap Kenakalan Remaja pada
Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dibidang ilmu
psikologi khusunya psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, dan
psikologi sosial yang berkaitan dengan sejauhmana pengaruh religiusitas
terhadap kenakalan remaja.
2. Secara praktis
a. Bagi guru pembimbing (konselor)
Informasi tentang pengaruh religiusitas terhadap perilaku kenakalan remaja
dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan dalam pencegahan perilaku
kenakalan remaja dengan meningkatkan religiusitas yang ada dalam diri
siswa sehingga mereka mampu mengarahkan dan membentuk jiwa
keberagamaan yang mantap dan dinamis serta dapat mencegah terjadinya
perilaku kenakalan remaja.
b. Bagi sekolah
Sebagai bahan pertimbangan penyusun kebijakan penanganan pelanggaran
tata tertib sekolah dan mekanisme penanganan penyimpangan perilaku secara
c. Bagi siswa
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya
14
2.1
Remaja
2.1.1 Pengertian Remaja
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase)
remaja. Menurut Desmita (2008: 189) istilah remaja berasal dari bahasa latin
“adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Sedangkan menurut bahasa aslinya, remaja sering dikenal
dengan istilah “adolescence”. Menurut Piaget, Istilah “adolescence”yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan
mental, emosional, sosial dan fisik.
Monks (2006: 262) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara
usia 12 tahun sampai 21 tahun. Dengan pembagian 2-15 tahun: masa remaja awal,
15–18 tahun: masa remaja pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir.
2.1.2 Ciri-Ciri Masa Remaja
Hurlock (1980: 207-209) menyebutkan ciri-ciri remaja yaitu sebagai
berikut:
1. Masa remaja dianggap sebagai periode penting
Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang
tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat perkembangan fisik dan
psikologis yang kedua-duanya sama-sama penting. Terutama pada awal masa
perkembangan mental yang cepat pula dapat menimbulkan perlunya penyesuaian
dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.
2. Masa remaja dianggap sebagai periode peralihan.
Bila anak-anak beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa, anak-anak
harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus
mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap
yang sudah ditinggalkan.
Osterrieth mengatakan bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa
kanak-kanak dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa
remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Perubahan fisik yang terjadi
selama tahun awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan
mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah
bergeser, pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan bukan orang dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajr
dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja ketika perubahan fisik
terjadi dengan pesat perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada
lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu :
a. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi.
b. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
c. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah,
apa yang dianggap pada masa kanak-kanak penting setelah hampir dewasa
tidak penting lagi.
d. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, mereka
menginginkan untuk menuntut kebebasan tetapi mereka sering takut dan
meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab
tersebut.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu:
a. Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh
orang tua dan guru-guru sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman
dalam menghadapi masalah.
b. Karena para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi
masalahnya sendiri dan menolak bantuan.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri pada kelompok masih
tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai
mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dngan menjadi sama dengan
teman-temannya. Seperti yang dijelaskan oleh Erickson : “Identitas diri yang
dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya
dalam masyarakat. Apakah dia seorang anak atau apakah dia orang dewasa?
sekalipun latar belakng ras, agama atau kebangsaanya membuat beberapa orang
merendahkannya? Secara keseluruhan apakah ia akan berhasil atau gagal?”
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulakan ketakutan
Majeres menunjukkan bahwa banyak anggapan popular tentang remaja
yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang
bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang
tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak
menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan
remaja, bersikap simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Stereotip
popular juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.
7. Masa remaja sebagai usia yang tidak realistik
Remaja cenderung memandang kahidupan melalui kaca berwarna merah
jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan
bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik ini menyebabkan meningginya emsoi yang merupakan ciri dari awal
masa remaja, semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah para remaja
menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, oleh karena itu remaja
2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin 2002: 74) perkembangan jiwa
beragama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan
jasmaninya. Perkembangan itu adalah sebagai berikut :
a. Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa
kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran
agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada
masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya.
Menurut Hurlock (1980: 222) periode remaja memang disebut sebagai
periode keraguan religius. Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan keraguan religius tersebut adalah tanya-jawab
religius. Menurut Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) para remaja ingin
mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin
menerimanya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi
agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai
sesuatu yang bermakna. Mereka ingin mandiri dan bebas menentukan
keputusan-keputusan mereka sendiri.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya banyak
tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin
yang terjadi dalam diri. Dalam mengatasi kegalauan batin ini para remaja
cenderung untuk bergabung dalam kelompok teman sebaya untuk berbagi rasa
remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Namun demikian
dalam kenyataannya apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa
yang mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi
kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan.
Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan
intelektual yang dialami para remaja. Dalam situasi bingung dan konflik batin
menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Dalam situasi
yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka lebar
(Jalaluddin 2002: 82).
b. Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,
etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa
dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya
lebih dekat ke arah hidup yang religius pula.
Menurut Jones (dalam Hurlock 1980: 222) perubahan minat religius selama
masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan.
Adanya perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya
keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan
penggunaan keyainan serta khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik
c. Perkembangan moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha
untuk mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga
mencakupi:
1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3) Submissive, merasakan adanya keraguan tehadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral
masyarakat.
d. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka.
2.2
Kenakalan Remaja
2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja
Secara etimologis kenakalan remaja (juvenile delinquency) dapat dijabarkan bahwa juvenile yang berarti anak sedangkan delinquency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak.
Kausar (2012: 487) mengatakan bahwa kata “Juvenil” merujuk pada anak yang berusia di bawah 18 tahun dan “delinquency” adalah istilah yang didefinisikan oleh hukum untuk perilaku kriminal yang sering menghasilkan
perilaku bermasalah yang ekstrim.
Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu
bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku
yang menyimpang. Delinquency menurut Kartono (2011: 6) selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh
anak-anak muda dibawah usia 22 tahun.
Simanjuntak (dalam Sudarsono 2008: 10) memberi tinjauan secara
sosiokultural tentang arti juvenile delinquency, menurutnya suatu perbuatan disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan
yang anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif.
Menurut Santrock (2003: 518) kenakalan remaja (juvenile delinquency)
mengacu pada suatu rentang yang sangat luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima secara sosial misalnya bersikap berlebihan di sekolah sampai
pelanggaran status seperti melarikan diri hingga tindak kriminal misalnya
Sudarsono (2008: 11) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai
perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat
melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama.
Dalam arti luas, kenakalan remaja meliputi perbuatan-perbuatan anak
remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang
terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan diluar KUHP
(pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti
sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak
tergolong detik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak
remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua, sesaudara
saling bermusuhan. Disamping itu dapat dikatakan kenakalan remaja jika
perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya,
misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah
baligh, remaja Kristen enggan melakukan sembahyang/kebaktian (Sudarsono
2008 : 12).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan kenakalan remaja adalah semua perbuatan menyimpang atau
pelanggaran yang bersifat anti sosial, anti susila, pelanggaran status, melawan
hukum dan menyalahi norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat yang dilakukan oleh remaja sehingga dapat merugikan dirinya sendiri
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Simadjuntak (1981: 289-290) menyebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan kenakalan pada remaja menjadi dua klasifikasi, yaitu:
1. Faktor internal :
a. Cacad keturunan yang bersifat biologis-psikis.
b. Pembawaan negatif yang mengarah pada perbuatan nakal.
c. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan. Hal
ini menimbulkan frustasi dan ketegangan.
d. Lemahnya kontrol diri dan persepsi sosial.
e. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan yang
baik dan kreatif.
f. Tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobi yang sehat.
2. Faktor eksternal :
a. Rasa cinta dari orang tua dan lingkungan.
b. Pendidikan yang kurang mampu menanamkan bertingkah laku sesuai
dengan alam sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah dan masyarakat.
c. Menurunnya wibawa orang tua, guru dan pemimpin masyarakat.
d. Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang berpengaruh
dalam domain efektif, konasi, konisi dari orang tua, masyarakat dan guru.
e. Kurangnya pemahaman terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat.
g. Ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja baik dalam segi
pendekatan sosiologik, psikologik maupun pedagogik.
Santrock (2003: 522) menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan
kenakalan pada remaja, yaitu :
a. Identitas
Erikson (Santrock 2003: 522) mengemukakan bahwa masa remaja berada
pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Ia percaya
bahwa perubahan biologis berupa pubertas menjadi awal dari perubahan yang
terjadi bersamaan dengan harapan sosial yang dimiliki keluarga, teman sebaya,
dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya
perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya identitas peran,
kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan
gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.
Erickson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan kegagalan
remaja dalam memenuhi bentuk integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai
aspek-aspek peran identitas. Bagi Erickson, kenakalan adalah suatu upaya untuk
membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain
acapkali menjadi penyebabnya. Remaja terkadang terlalu emosional dalam
merespon suatu kejadian dan menolak kejadian tersebut sebagai sesuatu yang
terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Feldman & Weinberger pada tahun 1994
menguatkan pendapat bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam
kenakalan remaja (Santrock 2003: 524). Kebanyakan remaja yang melakukan
kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan dalam berbagai kompetensi yang
dapat meningkatkan cara pandang terhadap dirinya sendiri.
c. Proses Keluarga
Orang tua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak terlatih
untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku anti sosial daripada orang tua yang
memiliki remaja yang tidak melakukan kenakalan. Pengawasan orang tua
terhadap remaja terutama penting dalam menentukan apakah remaja akan
melakukan kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa
pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang
paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja (Patterson &
Stouthamer-Loeber 1984 dalam Santrock 2003: 524).
d. Kelas sosial / komunitas
Walaupun kini kenakalan remaja tidak lagi terbatas hanya sebagai kelas
masalah sosial yang lebih rendah dibandingkan dimasa sebelumnya, beberapa ciri
kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya
kenakalan (Jenkins & Bell dalam Santrock 2003: 525). Norma yang berlaku
antisosial dan berlawanan dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas
(McCord dalam Santrock 2003: 525).
Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering
seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena
remaja yang dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih
terbatas untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat,
mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan
status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan
“maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi anak-anak dari kelas sosial
yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan
remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah
melakukan kenakalan.
Komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya kenakalan
(Chesney-Lind 1989; Figueira & McDonough 1992 dalam Santrock 2003: 525).
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja
mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh
hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Kualitas sekolah,
pendanaan pendidikandan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah
faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan.
Hal lain dijelaskan oleh Sutoyo (2009: 99-100) menurutnya kenakalan
remaja disebabkan karena fitrah iman yang ada pada individu tidak bisa
berkembang dengan sempurna, dan atau imannya berkembang tetapi tidak
mampu berfungsi sebagai pemberi arah, pendorong dan sekaligus pengendali bagi
fitrah jasmani, rohani dan nafs; yang pada akhirnya akan melahirkan
kecenderungan untuk berperilaku positif. Sedangkan menurut Sudarsono (2008:
120) mengatakan bahwa anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian
besar disebabkan karena meraka lalai menunaikan perintah-perintah agama antara
lain tidak mengikuti acara kebaktian, tidak mengikuti acara missa, tidak
menjalankan puasa dan tidak mengerjakan sholat.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja disebabkan
oleh dua faktor, yaitu :
1. Faktor internal meliputi identitas, kontrol diri, proses keluarga, fitrah iman
yang belum berkembang sempurna dan agama.
2. Faktor eksternal meliputi pengawasan yang kurang dari orang tua keluarga
maupun guru, kurangnya sarana penyaluran waktu senggang, pendidikan yang
kurang dan komunitas/lingkungan.
2.2.3 Ciri-Ciri Pokok Kenakalan Remaja
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1989: 19) beberapa ciri-ciri pokok dari
kenakalan remaja yaitu :
1. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan
atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang
ada di lingkungan hidupnya.
2. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang
3. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja dan dapat dilakukan
bersama-sama dalam sekelompok remaja.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pokok dari kenakalan
remaja yaitu perbuatan tersebut bersifat melanggar hukum, bertentangan dengan
nilai atau norma dan dilakukan oleh seorang remaja maupun dilakukan
bersama-sama oleh sekelompok remaja.
2.2.4 Jenis-Jenis Kenakalan Remaja
Jensen (dalam Sarwono 2010: 256) membagi kenakalan menjadi empat
jenis, yaitu :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, misalnya:
perkelahian, menyakiti teman seperti melakukan penganiayaan dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya: perusakan, pencurian,
pemerasan, menggunakan iuran sekolah (SPP) dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain,
misalnya: menikmati karya pornografi, penyalahgunaan obat dan hubungan
seks bebas.
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya: mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara datang terlambat ke sekolah, membolos, tidak memakai
atribut sekolah dengan lengkap, berpakaian tidak sesuai dengan aturan
sekolah, berperilaku tidak sopan dengan orang tua dan guru, mencontek,
keluyuran setelah pulang sekolah dan pada malam hari tanpa tujuan yang
mengemudi (SIM), mengingkari status orang tua dengan cara kabur/minggat
dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Kenakalan remaja dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar sesuai
kaitannya dengan norma hukum (Mulyono 1993: 22-24):
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial yang tidak diatur oleh
undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum,
seperti membolos, berbohong atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan
menipu diri, berpakaian tidak pantas, memiliki dan membawa benda yang
membahayakan orang lain, meminum-minuman keras, menggunakan bahasa
yang tidak sopan dan tidak senonoh, kabur dari rumah, keluyuran atau pergi
sampai larut malam, dan bergaul dengan teman yang dapat menimbulkan
pengaruh negatif.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaiannya sesuai
dengan undang-undang dan hukum, seperti berjudi, mencuri, menjambret,
merampok, merampas dengan atau tanpa kekerasan, menggelapkan barang,
penipuan dan pemalsuan, memiliki dan membawa senjata tajam yang dapat
membahayakan orang lain, pengguran kandungan, percobaan atau terlibat
pembunuhan dan penganiyaan.
Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja
kedalam tiga tingkatan :
4. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,
5. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti
mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.
6. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar
nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bentuk kenakalan remaja dibagi
menjadi tiga yaitu :
1. Kenakalan ringan/biasa, dimana kenakalan ini bersifat amoral dan anti sosial,
yaitu kenakalan yang melanggar aturan-aturan yang ada di sekitar lingkungan
tempat individu berada, misalnya lingkungan sekolah dan lingkungan
keluarga. Kenakalan ini tidak diatur oleh undang-undang dan tidak dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, suka keluyuran,
suka berkelahi, membawa benda yang tidak ada kaitannya dengan KBM,
berpakaian tidak sopan, berkata tidak sopan dan senonoh, dan meninggalkan
rumah tanpa izin orang tua dimana kenakalan ini merupakan kenakalan yang
melawan status.
2. Kenakalan sedang, yaitu jenis kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan dimana kenakalan ini diatur oleh hukum dan dapat merugikan
masyarakat, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang
tua tanpa izin yang dapat menimbulkan korban fisik dan materi pada orang
lain.
3. Kenakalan berat/khusus, yaitu kenakalan yang melanggar hukum dan
mengarah kepada tindakan kriminal, seperti berjudi, mencuri, menjambret,
nikah, penggelapan barang dan terlibat pembunuhan serta penganiayaan.
Kenakalan ini merupakan kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik,
menimbulkan korban materi dan tidak menimbulkan korban di di pihak orang
lain.
Pada penelitian ini peneliti membatasi kenakalan remaja pada jenis
kenakalan ringan, yaitu perilaku pelanggaran tata tertib sekolah siswa SMP Negeri
02 Slawi, Kabupaten Tegal yang tercatat dalam Jurnal Buku Sanksi dimana
perilaku tersebut meliputi terlambat masuk sekolah, membolos, tidak masuk
sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah, memakai seragam
tidak lengkap, tidak mengerjakan tugas, mengompas/memalak dan berkata tidak
sopan kepada guru.
2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja
Tindakan delinkuen anak remaja banyak menimbulkan kerugian materiil
dan kesengsaraan batin baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada para
korbannya. Maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan
tindak-tindak preventif dan penanggulangan secara kuratif (Kartono 2011: 95-97).
Tindakan preventif yang dilakukan berupa :
1. Meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2. Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.
3. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki
tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.
4. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.
6. Mengadakan panti asuhan.
7. Mengadakan lembaga freformatif untuk memberikan latihan korektif,
pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susial kepad anak-anak
dan para remaja yang membutuhkan.
8. Membuat badan supervise dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen,
disertai program yang korektif.
9. Mengadakan pengadilan anak.
10.Menyusun undang-undang khusus untuk anak dan remaja.
11.Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).
12.Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.
13.Menyelenggaran diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk
membangun kontak manusiawi diantara para remaja delinkuen dengan
masyarakat luar.
14.Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja
delinkuen dan yang nondelinkuen. Misalnya berupa latihan vokasional, latihan
hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi dan lain-lain.
15.Tindakan hukuman bagi anak remaja delinkuen antara lain berupa:
menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan
bisa mengugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan
mandiri.
Selanjutnya tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen
1. Menghilangkan sebab musabab timbulnya kejahatan remaja baik yang berupa
familial, sosial ekonomis dan kultural.
2. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan memberikan orang tua
angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan
jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.
3. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah
lingkungan sosial yang baik.
4. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib, berdisiplin.
5. Memanfaatkan waktu senggang untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan
melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.
6. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional
untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup
di tengah masyarakat.
7. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan
pembangunan.
8. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik
emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. memberikan pengobatan medis
dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bentuk penanggulangan dari
kenakalan remaja dilakukan secara preventif dan kuratif.
2.2.6 Jurnal Buku Sanksi
Jurnal buku sanksi merupakan buku yang digunakan oleh guru bimbingan
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan beberapa kasus atau pelanggaran yang
dilakukan oleh siswa-siswi SMP N 02 Slawi. Buku ini berisi sekumpulan
catatan-catatan mengenai permasalahan-permasalahan yang dialami oleh beberapa
siswa-siswa SMP N 02 Slawi. Buku ini terbagi menjadi dua, yaitu buku catatan
terlambat yang digunakan untuk mencatat siswa-siswa yang datang terlambat ke
sekolah dan buku catatan kasus yang digunakan untuk mencatat beberapa kasus
atau permasalahan yang dialami oleh beberapa siswa di sekolah.
SMP N 02 Slawi tidak menerapkan sistem poin untuk setiap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswa di SMP tersebut. Hal ini disebabkan
karena apabila sistem poin digunakan dikhawatirkan semua siswa akan
mendapatkan poin atas pelanggaran yang dilakukan. Menurut pemamaran guru
bimbingan dan konseling sendiri sistem poin sudah pernah diterapkan, namun
dengan diterapkannya sistem poin tersebut membuat siswa malas berangkat ke
sekolah karena mereka merasa terbebani dengan adanya penerapan poin tersebut
dan dampaknya hampir semua siswa mendapatkan poin atas
pelanggran-pelanggaran yang mereka lakukan. Karena tidak diterapkannya sistem poin di
sekolah ini, maka pihak sekolah tidak bisa mengklasifikiasikan atau
mengkategorisasikan jenis pelanggaran-pelanggaran atau kenakalan yang
dilakukan oleh beberapa siswa SMP N 02 Slawi.
Pihak SMP N 02 Slawi memberi batasan bagi siswa-siswa yang melakukan
tindak pelanggaran baik pelanggaran keterlambatan maupun pelanggaran
kasus-kasus lainnya yaitu maksimal tiga kali berturut-turut dalam satu minggu. Apabila
pembimbing segera mengambil tindakan atas pelanggran tersebut dengan cara
melakukan pembinaan secara langsung kepada siswa yang melakukan
pelanggaran. Pembinaan ini dilakukan pada saat jam istirahat berlangsung dengan
cara memanggil siswa yang bersangkutan ke ruang bimbingan dan konseling
untuk mendapatkan pembinaan dari guru pembimbing. Dengan adanya pembinaan
ini diharapkan siswa dapat mengurangi bahkan merubah perilakunya sehingga
siswa tersebut tidak melakukan pelanggaran kembali. Apabila setelah diadakan
pembinaan secara langsung siswa tidak mengalami perubahan dan tetap
melakukan pelanggaran, maka penanganan dialihtangankan kepada Kepala
Sekolah. Namun apabila tindakan ini belum juga berhasil, pihak sekolah
memutuskan untuk memanggil orang tua atau wali murid ke sekolah.
2.3
Religiusitas
2.3.1 Pengertian Religiusitas
Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris),
religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam
Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar
katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu
kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu
berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok
orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam
sekitarnya.
Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang
terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan
dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).
Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76) mendefinisikan
agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem
perilaku yang terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).
Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti & Ritandiyono 2008: 172)
bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu
kelembagaan yang mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan,
sedangkan religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia.
Religiusitas lebih menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama.
Agama dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena keduanya
merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua
kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah
masyarakat.
Selanjutnya Ancok dan Suroso (1995: 76) mengemukakan bahwa
keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong
oleh kekuatan supranatural, bukan hanya aktivitas yang tampak dan dapat dilihat
keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi dan dimensi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa agama adalah sistem yang berdimensi banyak.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri
seseorang yang mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak
maupun tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama
yang dianutnya.
2.3.2 Karakteristik Individu yang Memiliki Religiusitas
Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan tercermin dalam
perilakunya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Glock dan Stark dalam dimensi
religiusitas, Ancok dan Suroso menjelaskan karakteristik individu yang memiliki
religiusitas berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan
Stark yang memiliki kesesuaian dengan islam, yaitu:
1. Memiliki ciri utama berupa keyakinan (aqidah) yang kuat. Aqidah ini
mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman (iman kepada
Allah, Malaikat, kitab-kitab, Nabi, hari pembalasan dan qadha dan qadhar).
Seorang muslim yang religius akan merasa yakin atau percaya terhadap
adanya Allah, melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah guna
mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, mencintai dan
melaksanakan perintah Allah, serta menjauhi larangan-Nya, meyakini adanya
hal-hal yang dinaggap suci dan sakral, seperti kitab suci, tempat ibadah san