FUNGSI BONEKA TRADISIONAL ANAK – ANAK
DIJEPANG
NIHON NO KODOMO NO TAME NINGYO NO KINOU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
Evalina Butar-Butar
NIM : 040708004
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
FUNGSI BONEKA TRADISIONAL ANAK – ANAK
DIJEPANG
NIHON NO KODOMO NO TAME NINGYO NO KINOU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
EVALINA BUTAR-BUTAR
NIM : 040708004
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Eman Kusdiyana. M.hum Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS.Ph.D NIP: 131763365 NIP: 131422712
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Departemen S-1 Sastra Jepang Departemen Studi
Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D
NIP.131422712
PENGESAHAN Diterima oleh,
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Pada : Pukul 09:00 WIB Tanggal : 8 Desember 2009
Hari : kamis
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D NIP.132098531
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( )
2. Drs. Nandi S. ( )
3. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena kasih karunia dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Skripsi yang berjudul Fungsi Boneka Tradisional Anak – Anak DiJepang
“Nihon No Kodomo No Tame Ningyo No Kinou” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program
Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih,
penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2 Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua
Departemen S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
3 Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang
telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D., selaku Dosem
Pembimbing II, yang telah memberikan arahan serta perhatiannya dalam
proses penyusunan skripsi penulis ini.
5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk
kepada semua Dosen Pengajar Departemen S-1 Sastra Jepang Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis,
sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan baik.
6. Ayahanda H. Butar-Butar, yang senantiasa memberikan semangat dan
nasehat kepada penulis, juga kepada Ibunda M. Manurung, yang dengan
setia merawat serta mengajarkan nilai-nilai yang baik terutama
kepercayaan yang dilimpahkan secara luar biasa kepada penulis.
7. Saudara – saudari penulis kakanda Susi, Herbet, dan juga Nita yang
mendukung didalam doa – doanya.
8. Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas
Sumatera Utara Stambuk 2004, yang dengan semangat tetap saling
menguatkan dalam meyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak
hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
9. Teman - teman dekat penulis yang tergabung dalam Agatha: Prissy, Lola,
Santy, Eva, Sery, Henny dan Lenny, semoga kita tetap dekat rohani
dimanapun Tuhan akan menempatkan kita nantinya.
9. Teman dekat penulis lainnya yang tergabung dalam Perguruan Inkado:
Sensei Bustami, Senpai Friska, Senpai Christina dan Keda yang juga
selalu memberi semangat dan motivasi dalam memberikan masukan dan
membantu dalam memberikan data – data yang diperlikan dala penulisan
skripsi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,
termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari
kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara
maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha
merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………i
DAFTAR ISI………..iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah……….…..1
1.2. Perumusan Masalah……….…….5
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan……….………7
1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori……….7
1.5. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………10
1.6. Metode Penelitian……….…………11
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BONEKA TRADISIONAL ANAK – ANAK DIJEPANG 2.1. Sejarah Boneka….……….….….12
2.1.1 Zaman Manjomon……….…….…….…14
2.1.2 Zaman Yayoi………...……….….…..17
2.1.3 Zaman Nara………...……..…20
2.1.4 Zaman Heian………...22
2.1.5 Zaman Kamakura………24
2.1.6 Zaman Muromachi……….26
2.1.7 Zaman Edo……….28
2.1.8 Zaman Modern………29
2.2. Jenis – Jenis Boneka ………...…30
2.2.1 Boneka tradisional……….……….………...…31
2.3. Daerah Penghasil Boneka……….…………...34
BAB III Fungsi Boneka Tradisional Anak – Anak 3.1. Sebagai Jimat……….36
3.2. Sebagai Persembahan..……….……..39
3.3. Sebagai Perlengkapan Festival……….….…40
3.4. Sebagai mainan………..42
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan………44
4.2. Saran………..45
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ABSTRAK
Jepang dikenal sebagai salah satu ningyỡ ỡkoku yang berarti
kerajaan boneka karena disana terdapat berbagai jenis rupa boneka. Sekarang ini
tidak ada Negara yang seperti Jepang dalam memproduksi bermacam-macam
mainan boneka. Boneka-boneka tersebut dibuat dihampir seluruh bagian wilayah
Jepang..
Boneka-boneka Jepang dibuat dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi
dari 1 inci s/d 3 kaki tingginya. Boneka Jepang banyak jenisnya, ada yang dibuat
dengan tangan atau alat-alat tadisional dan ada juga yang dibuat dengan teknologi
tinggi. Boneka yang dibuat dengan tangan atau alat-alat tradisional ini disebut
dengan boneka tadisional Jepang. Boneka tradisional ini pun banyak jenisnya.
Ada yang dibuat untuk anak-anak dan ada juga yang digunakan untuk orang
dewasa.
Boneka tradisional lebih dari sekadar mainan tetapi juga memiliki beragam
fungsi yang unik dan menarik dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat
Jepang khususnya boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak.
Boneka-boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak tidak hanya
digunakan sebagai mainan tetapi juga digunakan sebagai jimat, perlengkapan
festival, lambang persahabatan, souvenir,mainan dan lain-lain.
Boneka yang digunakan sebagai jimat dipengaruhi kepercayaan asli
masyarakat Jepang yaitu Proto Shinto yang merupakan kepercayaan Animisme
yang merupakan kepercayaan terhadap kami-gami atau banyak dewa dan
dalam pembuatan boneka tradisional. Berdasarkan agama tersebut, boneka-boneka
atau patung yang menyerupai manusia merupakan perwujudan dari sang Budha.
Oleh Karena itu. Selain agama Proto Shinto, boneka tradisional juga dikaitkan
BAB I
FUNGSI BONEKA TRADISIONAL JEPANG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG
1.1. Latar Belakang Masalah
Boneka adalah simbol anak-anak, boneka dijadikan sebagai mainan yang
dipeluk, diberi pakaian, diajak bicara, dan dimainkan sesuka hati. Boneka pada
awalnya dibuat sebagai mainan untuk menemani anak-anak, sampai akhirnya juga
dianggap sebagai karya seni tanpa kehilangan kesan kekanakannya.
Jepang dikenal sebagai salah satu ningyỡ ỡkoku yang berarti kerajaan
boneka karena disana terdapat berbagai jenis rupa boneka. Sekarang ini tidak ada
Negara yang seperti Jepang dalam memproduksi bermacam-macam mainan
boneka. Menurut Jill Gribbin ( 1984:4 ), seorang peneliti dan kolektor boneka
kuno Jepang berpendapat bahwa tidak ada negara atau budaya lain yang memiliki
berbagai jenis boneka seperti negara Jepang.
Boneka-boneka tersebut dibuat dihampir seluruh bagian wilayah Jepang.
Daerah Tohoku adalah daerah yang paling terkenal akan mainan bonekanya tetapi
ada juga daerah yang lain seperti Nagano, Tottori, Shimane dan Toyama yang
terletak di pulau utama Honshu dan prefektur Kimamoto yang terletak di Kyushu
juga terkenal dengan mainan bonekanya.
Boneka-boneka Jepang dibuat dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi
dari 1 inci s/d 3 kaki tingginya. Boneka-boneka tersebut juga dibuat dengan
penampilan yang indah sehingga dikagumi oleh banyak orang. Boneka tersebut
biasanya dipajang dalam kotak kaca atau dipajang pada rak pada waktu-waktu
dengan tangan atau alat-alat tadisional dan ada juga yang dibuat dengan teknologi
tinggi. Boneka yang dibuat dengan tangan atau alat-alat tradisional ini disebut
dengan boneka tadisional Jepang. Boneka tradisional ini pun banyak jenisnya.
Berdasarkan bahan yang digunakan, boneka dapat dikategorikan menjadi 7 bagian
yaitu boneka yang terbuat dari tanah liat, jerami, kertas, kayu, logam, keramik,
dan kain. Sedangkan berdasarkan penggunannya, boneka dapat dikategorikan
menjadi 2 bagian yaitu boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak dan
boneka yang digunakan untuk orang dewasa.
Boneka-boneka ini memainkan peranan penting dalam kehidupan
masyarakat Jepang karena bagi masyarakat Jepang boneka tradisional lebih dari
sekadar sesuatu untuk dimainkan oleh anak-anak tetapi juga merupakan hasil seni
yang memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat Jepang, khususnya
boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak. Boneka tersebut disediakan
sebelum dan sesudah bayi itu lahir. Bagi masyarakat Jepang, boneka yang
digunakan untuk bayi dan anak-anak tidak hanya sebagai mainan anak-anak tetapi
juga sebagai jimat, persembahan pengganti diri, perlengkapan festival, dan
lain-lain.
Dari fungsi tersebut boneka tradisional dapat dijadikan simbol dan dari
simbol menghasilkan makna yang dapat mengindikasikan kepada sebuah arti yang
dapat berhubungan dengan religi atau budaya.
Misalnya boneka Amagatsu. Amagatsu, selain untuk dimainkan anak-anak
juga dipercaya dapat melindungi anak-anak dari roh-roh jahat, malapetaka, segala
kepercayaan asli Jepang yaitu Proto Shinto yang merupakan kepercayaan
Animisme atau kepercayaan terhadap banyak dewa dan benda-benda gaib lainnya.
Kemudian pada abad ke 6, agama budha dengan perkembangan kesenian
dan arsitektur yang menyeluruh diserap dari Asia, dan agama baru tersebut
muncul sebagai pelengkap melalui kedewaannya dan upacara keagamaan. Agama
Budha ini juga menyediakan atau membentuk penambahan tema yang baru dalam
pembuatan boneka tradisional Jepang. Oleh karena itu, boneka tradisional Jepang
selain dikaitkan dengan agama Proto Shinto juga dikaitkan dengan agama Budha.
Misalnya boneka Hina selain digunakan untuk mainan anak-anak juga
digunakan sebagai perlengkapan Hinamatsuri. Dalam Hinamatsuri anak-anak
perempuan dengan dibantu ibunya akan memajang boneka Hina di atas rak
dengan tujuan anak-anak dapat tumbuh dengan sehat dan jika sudah dewasa akan
selalu mendapatkan kebahagian.
Dengan demikian boneka tradisional anak-anak bagi masyarakat Jepang
bukan hanya sebagai mainan anak-anak tetapi juga memiliki beragam fungsi yang
dapat berguna dalam pertumbuhan dan perkembangan anak –anak Jepang.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti
boneka tradisional dengan judul “Fungsi Boneka Tradisional Dalam
Kehidupan Masyarakat Jepang”.
1.2. Perumusan Masalah
Boneka (dari bahasa Portugis boneca) adalah sejenis mainan yang dapat
berbentuk macam-macam, terutamanya manusia atau hewan, serta tokoh-tokoh
dari generasi ke generasi yang menjadikan boneka bukan untuk mainan saja tetapi
memiliki beragam fungsi yang unik dan menarik.
Penulis melihat masyarakat Jepang sangat menghargai keberadaan boneka
tradisional. Masyarakat Jepang berpendapat bahwa boneka tradisional mempunyai
peranan penting baik dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang.
Misalnya boneka Ichimatsu, boneka ini tidak hanya digunakan untuk
mainan anak-anak tetapi juga digunakan untuk menjalin hubungan dengan negara
lain. Pada hari persahabatan, anak-anak Jepang memberikan boneka Ichimatsu
kepada anak-anak Amerika Serikat demi mempererat hubungan antar kedua
negara.
Selain itu, boneka tradisional juga mempunyai peranan penting dalam
kehidupan keagamaan masyarakat Jepang. Misalnya boneka Amagatsu, boneka ini
diletakkan sebelum dan sesudah bayi lahir untuk menangkal segala penyakit,
bencana maupun roh-roh jahat karena boneka ini dipercaya memiliki nilai magis
Dari berbagai hal diatas, penulis mencermati bahwa boneka tradisional
tidak hanya digunakan untuk mainan tetapi juga digunakan diberbagai sendi
kehidupan masyarakat Jepang. Selain itu, penulis melihat Boneka tradisional
mempunyai beragam fungsi yang unik dan sangat menarik untuk dibahas.
Berdasarkan pemikiran diatas maka masalah-masalah yang muncul adalah
1. Apa saja fungsi dan makna boneka tradisional dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Jepang?
2. Apa saja fungsi dan makna boneka tradisional dalam kehidupan
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan yang ada maka penulis mengganggap perlu adanya
pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan yang akan dikemukan. Adapun
ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skiripsi ini adalah mengenai Fungsi
Boneka Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang.
Boneka Jepang banyak jenisnya, ada yang dibuat dengan tangan maupun
derngan teknologi yang tinggi. Tetapi boneka yang dibuat dengan tangan atau
yang dikenal dengan boneka tradisional mempunyai nilai magis yang memainkan
peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jepang. Sedangkan boneka yang
dibuat dengan teknologi tinggi hanya sebagai mainan atau untuk animasi,
contohnya boneka doraemon.
Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan
membahas tentang keterkaitan nilai-nilai budaya yang menyangkut fungsi
Boneka tradisional dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Untuk
menunjukkan adanya keterkaitan tersebut, penulis akan membahas fungsi sosial
dan fungsi religi pada boneka tradisional Jepang secara fokus. Fungsi boneka
tradisional dalam sosial mencakup bahasan tentang penggunaan secara umum
dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan fungsi boneka tradisional dalam religi
berkaitan dengan penggunaan boneka tradisional dalam kehidupan keagamaan
masyarakat Jepang.
Agar pembahasan masalah yang diteliti lebih akurat, maka penulis
menjelaskan juga sejarah, proses pembuatan, jenis-jenis dan daerah-daerah
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka
Menurut Edward B. Tylor (2005:12) kebudayaan merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang
didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.(www.wikipedia/org/wiki/kebudayaan).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Menurut Selo Soemardjan, Seni merupakan perwujudan dari
kebudayaan. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
Kesenian Jepang sudah dikenal diseluruh dunia khususnya kesenian
tradisionalnya. Hal ini merupakan kebudayaan turun-temurun yang diwariskan
oleh nenek moyang masyarakat Jepang dan tetap dipelihara agar tidak musnah
begitu saja.
Salah satu kesenian tradisional Jepang adalah boneka. Boneka (dari
bahasa Portugis boneca) adalah sejenis mainan yang dapat berbentuk
macam-macam, terutamanya manusia atau hewan, serta tokoh-tokoh fiksi. Boneka bisa
dikatakan salah satu mainan yang paling tua, karena pada zaman Yunani, Romawi
ataupun Mesir kuno saja boneka sudah ada. Namun fungsi, bentuk, maupun bahan
pembuatnya ternyata berbeda sekali antara dulu dan sekarang (Wikipedia:2008).
Boneka dalam bahasa Jepang disebut ningyo yang terdiri dari kanji nin
(orang ) dan kanji gyo (bentuk ).Dalam kumpulan tulisan Yanagita Kunio yaitu
kami okuri to ningyo (1971), gabungan dua karakter kanji ini juga dibaca hitogata,
namun cara baca yang demikian hanya digunakan untuk menyebut tiruan bentuk
manusia yang berfungsi sebagai jimat untuk melindungi diri dari penyakit,
malapetaka, dan makhluk halus.
Arti kata ningyo juga mencakup boneka hiasan yang berbentuk bayi, orang
dewasa, bentuk golek, bentuk binatang yang terbuat dari kayu, tanah liat, bahan
campuran, dan sebagainya (Jill Gribbin, 1984:4). Boneka-boneka tersebut ada
yang dibuat dengan tangan atau alat-alat tradisional yang disebut boneka
tradisional dan ada juga yang di buat dengan teknologi canggih.
Boneka pertama kali ditemukan pada zaman Jomon yang disebut dengan
Shakoki Dogu. Boneka ini ada yang berbentuk laki-laki, wanita, hewan,maupun
dipakai pada upacara keagamaan sebagai dewa dalam praktek perdukunan.
(www.yoshino antique.com/ningyo.html-26k).Kemudian pada zaman berikutnya,
boneka semakin berkembang dan semakin banyak jenis-jenisnya. Ada yang
digunakan untuk bayi dan anak-anak, ada yang digunakan untuk kekaisaran, ada
yang digunakan untuk cerita rakyat, dan lain-lain. Boneka-boneka tersebut
memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jepang baik dalam
kehidupan sosial maupun kehidupan keagamaan masyarakat Jepang.
Dr. Marvin Herring mengatakan masyarakat Jepang menyukai simbol
sehingga banyak boneka yang didekorasi dengan simbol khusus, kemudian dia
menambahkan bahwa boneka bukan hanya mainan anak-anak tapi juga benda
yang dianggap memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat Jepang
(www.lotzdollpages .com/ljmisc.html-20k).
Menurut Judy Shoaf, boneka Jepang mempunyai nilai magis sehingga
dipercaya dapat melindungi orang yang memakai boneka
tersebut(www.clas.ufl.edu/ users/jshoaf/jdolls/uses.htm-20k).
1.4.2. Kerangka Teori
Pembahasan fungsi boneka tradisional dalam skripsi ini berkaitan dengan
lambang dan tanda yang termasuk dalam bahasan semiotika signifikasi. Oleh
karena itu, penulis menggunakan pendekatan semiotika signifikasi dalam
penulisan skripsi ini. Saussure dalam Alex Sobur (2004:Vii) mendifinisikan
semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial.Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah relasi bahwa bila
tanda merupakan bagian dari kehidupan social maka tanda juga merupakan bagian
Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dari dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda untuk
menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda untuk menjelaskan konsep
atau makna. Dalam melihat relasi pertandaan ini, Saussurre menekankan perlunya
semacam konvensi social yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut
sebagai signifikasi. Semiotika signifikasi dengan demikian adalah semiotika yang
mempelajari relasi elemen-elemen tanda didalam sebuah sistem, berdasasrkan
aturan main dan konvensi tertentu.
Berdasarkan pendekatan ini, penulis menganalisa fungsi boneka
tradisional dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang yang kemudian
dihubungkan dengan pendekatan semiotika signifikasi untuk menjabarkan
tanda-tanda dan kandungan arti yang terdapat dalam penggunaan boneka tradisional
Jepang. Tanda dan arti akan menjelaskan kondisi kehidupan sosial dan religi pada
masyarakat Jepang.
Selain pendekatan semiotika signifikasi, peneliti juga memakai pendekatan
kepercayaan. Kepercayaan merupakan sistem tingkah laku manusia untuk
mencapai suatu maksud dengan menyandarkan diri kepada kemauan dan
kekuasaaan makhluk-makhluk halus seperti roh, dewa-dewa yang menempati
alam. Mereka berusaha mengontrol kekuatan-kekuatan supernatural berupa
doa-doa dan memohon kekuatan dari sang supernatural tersebut.
(www.halmaherautara.com/artikel.php?id=32&k=81 - 34k - ). Berdasarkan
pendekatan ini, penulis akan membahas fungsi boneka tradisional dengan
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui fungsi dan makna boneka tradisional dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jepang.
2. Untuk mengetahui fungsi dan makna boneka tradisional dalam ritual-ritual
keagamaan masyarakat Jepang.
1.5.2. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah
wawasan mengenai fungsi boneka tradisional dalam kehidupan masyarakat
Jepang.
2. Bagi peneliti lain diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bila
meneliti masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.6. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Whitney dalam Moh.Nazir (1988:63) mengatakan metode
deskriptif adalah metode yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat
serta tata cara yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara metode penelitian kepustakaan atau library research yang
terbagi atas :
Menghimpun data dari internet explorer.
2. Survey Book
Menghimpun data dari berbagai macam literature buku yang berhubungan
dengan masalah penelitian.
Buku berbahasa asing juga digunakan pada penelitian ini, jadi penerjemahan
buku-buku tersebut juga menggunakan teori terjemahan. Menurut Malo (1985:
97) teori terjemahan adalah Menerjemahkan pesan atau amanat yang terdapat
dalam bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan mencari padanan terdekat
yaitu dari segi makna dan gaya bahasa.
Setelah data-data terkumpul maka dilakukan proses penganalisaan data.
Proses analisa data dimulai dengan menelaah data-data yang diperoleh dilanjutkan
dengan membuat abstraksi rangkuman kemudian menyusun data dalam satuan –
satuan untuk dikategorisasikan pada setiap bab maupun anak bab. Tahap akhir
berupa pemeriksaan keabsahan data, baru kemudian dilakukan penganalisaan
berupa penginterpretasikan dari data-data tersebut, untuk sampai paada
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP BONEKA TRADISIONAL ANAK – ANAK DIJEPANG
2.1. Sejarah Boneka Tradisional Anak – anak DiJepang
Boneka bisa dikatakan salah satu mainan yang paling tua karena pada
zaman Yunani, Romawi, ataupun Mesir Kuno saja boneka sudah ada. Keberadaan
boneka di Jepang dimulai pada zaman Prasejarah. Namun boneka-boneka yang
digunakan untuk bayi dan anak-anak dimulai pada zaman Heian.
Adapun sejarah boneka tradisional anak-anak di Jepang adalah sebagai berikut :
1. Zaman Prasejarah
Zaman prasejarah jepang dibagi atas 2 zaman yaitu:
1. Zaman Jomon
Zaman primitif di Jepang tidak jelas diketahui berjalan berapa lama.
Tetapi dihipotesakan bahwa zaman Jomon adalah zaman primitif awal
dimana masyarakat menggunakan peralatan yang terbuat dari tanah liat.
Salah satunya adalah boneka. Boneka pertama kali ditemukan pada zaman
Jomon yang disebut Shakoki Dogu. Boneka tersebut berbentuk badan atau
manusia.
Boneka tanah liat ini melukiskan laki-laki, wanita, hewan atau
kombinasi dari manusia. Fungsi boneka ini belum diketahui pasti namun
dari penemuan sisa-sisa peninggalannya yang ditemukan di pemakaman
raja-raja dan bangsawan dapat disimpulkan bahwa boneka ini digunakan
2. Zaman Yayoi
Pada zaman ini tidak ada diproduksi jenis baru dari boneka yang
ditemukan pada zaman Jomon. Namun pada periode Kofun, kira-kira abad 4
hingga 6 sering ditemui berupa kuburan besar yang disebut Kofun. Kofun
adalah kuburan tua yang sangat besar yang hingga kini dapat ditemui
diberbagai daerah. Dalam kuburan tersebut banyak ditemukan
peninggalan-peninggalan purbakala seperti patung atau boneka yang terbuat dari tanah
liat berupa bentuk manusia, binatang, rumah, kapal, dan lain-lain yang
disebut dengan Haniwa.
Haniwa pada umumnya tegak berdiri dan mirip dengan Teracotta yang
ditemukan di Cina. Ada pendapat yang menyatakan bahwa haniwa
menggantikan praktek lama tentang pengorbanan manusia ketika pemimpin
dimakamkan. Beberapa ahli berpendapat adanya kesinambungan dalam
pembuatan boneka berbentuk badan atau Shakoki Dogu pada kebuadayaan
Jomon dengan pembuatan haniwa pada kebudayaan Kofun.
2. Zaman Sejarah 1. Zaman Nara
Shakoki Dogu dan haniwa menjadi pelopor terhadap perkembangan
boneka selanjutnya. Meskipun tidak ada boneka berbentuk badan muncul
dari zaman Asuka yaitu zaman pengenalan Buddha dengan perkembangan
arsitektur, namun demikian agama Buddha tersebut menyediakan
Penggalian dari daerah Nara ditemukan boneka kayu yang diperkirakan
dipakai untuk sandiwara boneka. Selama akhir zaman Nara, boneka Ayatsuri
atau boneka yang dimainkan oleh 2 atau 3 wayang ( sandiwara boneka )
yang digunakan oleh wayang yang berpindah-pindah tempat sebagai
pertunjukkan boneka.
Pertunjukan ini diperkirakan sebagai pelopor sandiwara Bunraku.
Selama zaman ini terdapat kepercayaan kuno terhadap boneka atau patung
yang memiliki jiwa atau roh dan mempunyai beberapa kekuatan magis.
3. Zaman Heian
Zaman Heian merupakan zaman pertama kita melihat dokumentasi atau
catatan tentang boneka. Ini dapat diketahui kebenarannya melalui karya
yang luar biasa dari Lady Murasaki yaitu The Tale Of Genji. Dalam
karyanya tersebut, selain menulis tentang kehidupan masyarakat Jepang
pada zaman Heian, ia juga menulis tentang peranan boneka dalam
kehidupan masyarakat Jepang khususnya boneka yang dibuat untuk bayi dan
anak-anak.
Pada zaman ini juga pertama kali kita mengetahui bahwa boneka-
boneka tersebut diproduksi untuk menemani anak-anak. Dalam novel ini
juga diceritakan bagaimana para wanita pada zaman Heian membuat boneka
perlindungan bagi anak-anak atau cucu-cucu mereka. Salah satu boneka
perlindungan tersebut adalah Hitogata. Hitogata merupakan boneka
berbentuk manusia yang terbuat dari kertas. Pada zaman ini, bentuk
Hitogata sangat sederhana dan terbuat dari bahan-bahan sederhana juga
Di jaman Heian, pada hari 3 bln 3 bersamaan dengan musim buah
momo, para keluarga pergi bersama untuk menikmati suasana pedesaan dan
pepohonan yang sedang bersemi, kemudian menghanyutkan Hitogata ke
aliran sungai.
Menurut Yanagita Kunio, kebiasaan menhanyutkan boneka kertas
sebagai pengganti bentuk manusia pada bulan purnama ketiga merupakan
pengaruh kebiasaan ritual China yang dilakukan di tepi sungai dengan
maksud untuk menghilangkan penyakit, menjauhkan malapetaka, dan
menyucikan “ kotoran “ di badan ( Yanagita, 1970 : 450 ).
Selain itu, kebudayaan laen yang diimpor dari kebudayaan China adalah
festival iris. Festival ini terjadi pada hari ke 5 bulan ke 5 pada tahun lunar
dan disebut Tango no Sekku. Festival ini ditujukan untuk anak laki-laki.
Tepat pada hari ke 5 bulan 5, para orang tua membuat air rendaman bunga
iris dan anak laki-laki masuk kedalam air rendaman bunga iris tersebut.
Kemudian bunga ini diikatkan ke kepala anak-anak. Berendam di bunga iris
dan diikatkan ke kepala dimaksudkan untuk membersihkan diri dari roh
jahat karena bunga iris memiliki bau yang menyengat sehinggga dipercaya
dapat mengusir roh jahat. Selama periode Heian festival ini hanya
dihubungkan dengan bunga iris.
Pada abad ke-6, agama Budha masuk ke Jepang. Selain agama Proto
Shinto Jepang, agama Budha juga mempengaruhi dalam pembuatan tema
boneka-boneka tradisional Jepang. Bentuk Hitogata yang sederhana
mengalami perkembangan sehingga muncul jenis boneka baru yaitu boneka
yang sama dengan bentuk Hitogata. Selama zaman Heian boneka Hina
dibuat dalam bentuk berdiri ( Tachibana ) dan biasanya merupakan pasangan
boneka laki-laki dan perempuan.
Boneka Hina ini juga digunakan sebagai perlengkapan bermain
anak-anak perempuan di kalangan istana dan keluarga bangsawan. Permainan
yang melibatkan boneka hina ini disebut Hina Asobi ( permainan Hina )
yaitu permainan yang meniru kehidupan dewasa dan berumah tangga.
Menurut perkiraan, boneka Hina dimainkan bersama rumah boneka yang
berbentuk istana. Pada prinsipnya Hina Asobi adalah permainan dan bukan
suatu ritual.
Setelah melalui pergantian waktu yang sangat panjang, tiruan bentuk
manusia ini tidak lagi terbuat dari kertas, melainkan dari bahan lainnya
seperti kayu, kain, dan lain-lain, sehingga tidak dihanyutkan, tetapi dibawa
pulang untuk diletakkan di atas rak dekat altar ( Bauer, 1977 : 72 ).
Pada zaman ini muncul jenis baru yang juga merupakan perkembangan dari
Hitogata yang disebut dengan Amagatsu. Di masa Heian, Amagatsu hanya
digunakan oleh kalangan bangsawan.
Pada saat yang bersamaan dengan kemunculan Amagatsu, ada jenis baru
yang dibuat dengan tujuan yang sama yaitu Hoko ( Hearn 1913 : 17 ).
Amagatsu dan Hoko yang berupa Katashiro dengan meniru bentuk anak dan
merupakan jenis Onademono. Kedua jenis ini dipajang disisi Hina dalam
4. Zaman Kamakura
Selama zaman Kamakura boneka sebagian boneka-boneka yang ada
pada zaman Heian terbuat dari logam dan hanya digunakan oleh kalangan
bangsawan saja. Boneka versi berdiri juga masih digunakan sampai zaman
ini.
5. Zaman Muromachi
Selama Zaman Muromachi, boneka Hina yang pada mulanya dalam
posisi berdiri berubah menjadi posisi duduk ( Suwari Bina ) dan disebut
Muromachi Bina karena ditemukan pada zaman Muromachi. Gambaran
mengenai Muromachi Bina diungkapkan oleh Yamato Keibutsu dalam esai
sejarah Kosho Zuihitsu zaman Edo sebagai berikut :
Morumachi Bina terdiri dari sepasang boneka laki-laki dan perempuan
dalam posisi duduk. Tinggi Hina lelaki 3 sun 5 bun ( kira-kira 15 cm ),
berpakaian berupa Sutra putih dengan keliman dipanjangkan sampai ke
bagian belakang, lalu pada bagian punggung terdapat sulaman lambang
keluarga. Hina lelaki ini tidak mengenakan mahkota.
Hina perempuan memiliki tinggi 3 sun 3 bun ( kira-kira 10 cm ),
mengenakan hakama merah, jubah atasnya juga terbuat dari sutra merah
dengan lubang lengan yang panjang, lengan jubahnya dilipat sampai bagian
belakang. Rambutnya berwarna hitam dan dibuat dengan kertas emas (
Saito, 1975 : 27 ).
Menurut Saito, bentuk Muromachi Bina merupakan bentuk pertama
boneka Hina yang merupakan kombinasi antara Hina yang terbuat dari
6. Zaman Edo
Sejak abad ke 19, Hina Asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim
Sekku. Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut matsuri,
sebutan Hina Asobi juga berubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya
meluas di kalangan rakyat. Kemudian kalender Lunisolar digantikan dengan
kalender Gregorian. Oleh karena itu, Hinamatsuri yang pada awalnya
dirayakan pada hari ke 3 bulan 3 ( sekitar bulan april menurut kalender
Gregorian ) berubah menjadi tangggal 3 Maret.
Pada zaman Edo, boneka Hina versi duduk yang ada pada zaman
Muromachi dan Azuchi Momoya berubah kembali ke zaman Heian yang
dalam posisi berdiri. Namun ketika jumlah pengrajin boneka semakin
bertambah pada masa Edo lebih disukai Hina dengan bentuk duduk yang
disebut Suwari Bina. Salah satu jenis Suwari Bina yang muncul di zaman
Edo adalah Isho Bina : Hina berkostum zaman Heian, yang wajah dan
hidungnya dilukis menonjol mirip seperti wajah Amagatsu ( Gribbin, 1984 :
25 ).
Pemunculan kembali wajah Amagatsu yang telah ada sejak zaman
Heian, mengindikasikan kondisi kejiwaan masyarakat Edo yang ingin
kembali ke kebudayaan istana kuno. Kalangan bangsawan dan samurai dari
zaman Edo menghargai boneka Hina sebagai modal penting untuk anak
perempuan yang ingin menikah, sekaligus sebagai pembawa keberuntungan
dan sebagai lambang status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba
Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit
dan mewah. Pada zaman Genroku, orang mengenal Genroku bina ( boneka
pada zaman Genroku ) yang dipakaikan kimnono dua belas lapis ( Junihitoe
). Pada zaman Kyoho, orang mengenal boneka ukuran besar yang disebut
Kyoho Bina ( boneka zaman Kyoho ). Perkembangan lainnya adalah
pemakaian tirai lipat ( byobu ) berwarna emas sebagai latar belakang
Genroku Bina dan Kyoho Bina sewaktu dipajang.
Keshogunan Tokugawa pada zaman Kyoho berusaha membatasi
kemewahan dikalangan rakyat.boneka berukuran besar dan mewah ikut
menjadi sasaran pelarangan barang mewah oleh keshogunan. Sebagai usaha
menghindari peraturan keshogunan, rakyat membuat boneka berukuran mini
yang disebut Keshi Bina ( boneka berukuran biji poppy ) dan hanya
berukuran di bawah 10 cm. namun Keshi Bina dibuat dengan sangat
mendetil, dan kembali berakhir sebagai boneka mewah.
Orang di zaman edo terus mempertahankan cara memajang boneka
seperti tradisi yang diwariskan turun-temurun sejak zaman Heian. Mulai
sekitar akhir zaman Edo hingga awal Meiji, boneka Hinamatsuri yang pada
mulanya hanya terdiri sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi
satu set boneka lengkap berikut boneka puteri, istana, pemusik, serta
miniatur istana, perabot rumah tangga, dan dapur. Sejak itu pula, boneka
dipajang di atas Danzakari ( tangga unutk memajang ) dan orang diseluruh
Jepang mulai merayakan Hinamatsuri secara besar-besaran. Memasuki
Amagatsu dan Hoko hanya digunakan oleh bangsawan, di zaman Edo
masyarakat biasa sudah dapat menggunakannya.
Perkembangan boneka lainnya adalah boneka untuk anak laki-laki. Pada
zaman Heian, festival iris yang dikhususkan untuk anak laki-laki mulai
dihubungkan dengan boneka samurai karena zaman Edo merupakan zaman
yang dikuasai oleh para ksatria.
Pada tangggal 5 Mei di zaman Edo, bangsa China dan bangsa Jepang
merayakan hari kemajuan dan perdamaian negara. Oleh karena itu, para
ksatria berkumpul di benteng untuk merayakannya. Di hari itu keluarga
ksatria akan memajang boneka-boneka ksatriadi rumah dengan pengharapan
agar anak-anak mereka kelak menjadi kuat seperti para ksatria. Selain itu,
festival iris yang terjadi pada hari ke 5 bulan 5 mengalami perubahan
menjadi kodomo no hi dan dilaksanakan setiap tanggal 5 Mei.
7. Perkembangan-Perkembangan Modern
Setelah Jepang keluar dari masa isolasi ( penutupan diri dari negeri luar /
asing ) membuat bangsa Jepang mendapatkan pencerahan dalam berbagai
segi kehidupan. Setelah restorasi Meiji (1868 ), lambaut laun orang Jepang
beralih ke gaya pakaian barat. Hal ini juga mempengaruhi dalam pembuatan
boneka tradisional Jepang. Boneka-boneka tersebut tidak lagi hanya dibuat
dengan bahan tradisional melainkan dengan bahan-bahan modern seperti
2.2. Jenis – jenis Boneka Tradisional Anak – anak
Jepang merupakan negeri Ningyo Okoku karena banyaknya jumlah
boneka di Jepang. Hampir semua wilayah Jepang memproduksi boneka Jepang.
Boneka- boneka tersebut ada banyak jumlah dan jenisnya. Adapun jenis boneka
Jepang adalah sebagai berikut :
Berdasarkan bahan yang digunakan, boneka dapat dikategorikan menjadi
2 bagian yaitu :
2.2.1. Boneka Tradisional
Boneka tradisional adalah boneka yang dibuat dengan tangan atau alat-lat
maupun bahan tradisional. Menurut Yanagi dalam Kodansha International ( 2004 :
26 ) bahan-bahan yang dikategorikan kedalam bahan tradisional adalah :
1. Tanah Liat
Penggunaan tanah liat sudah dimulai pada zaman Prasejarah
Jepang. Menurut masyarakat Jepang, tanah liat merupakan tempat
persemayaman dewa tanah dan merupakan tempat persemayaman dewa
tanah dan roh-roh leluhur sehingga dipercaya memiiliki nilai magis. Oleh
karena itu, boneka-boneka yangterbuat dari tanah liat ini sering digunakan
pada upacara-upacara keagamaan.
2. Jerami
Jerami juga dianggap sebagai tempat persemayaman dewa. Dewa
yang bersemayam di jerami adalah dewa pertanian. Oleh karena itu,
boneka-boneka yang terbuat dari jerami ini sering digunakan dalam
3. Kertas
Kertas merupakan alat yang dipakai dalam upacara ritual purifikasi
umat beragama Shinto sebagai pelengkap untuk sembayang kepada Tuhan.
Penganut agama Buddha dan Shinto mengganggap kertas sebagai sesuatu
yang istimewa, terutama untuk pertemuan-pertemuan penting dari upacara
–upacara keagamaan dan kebudayaan.
Warna putih pada kertas berarti putih, suci, bersih dan mulia. Pada
awalnya kertas hanya digunakan dalam bentuk lipatan,namun seiring
dengan masuknya teknik pembuatan kertas dari China membuat seni
kertas berkembang di Jepang. Orang Jepang memperhalus seni pembuatan
kertas dan membuatnya menjadi bagian penting dari budaya dan gaya
hidup, bahkan lebih daripada orang China dimana kertas pertama kali
ditemukan.
Penggunaan kertas dalam kehidupan masyarakat Jepang telah
dilakukan dari generasi ke generasi, yang menjadikan kertas buntuk
keagaaamaan saja tetapi mencerminkan jiwa dan semangat pembuatnya
dan mempunyai hubungan erat dengan pembuat kertas dan pengguna
kertas sehingga menjadi pelengkap dalam kebudayaan Jepang
Berdasarkan penggunanya, boneka dapat dikategorikan menjadi 2 bagian
yaitu :
1. boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak
Banyaknya jenis boneka dinegara Jepang masing-masing memiliki makna
yang sangat istimewa adalah boneka yang khusus digunakan untuk bayi dan
anak-anak. Boneka-boneka tersebut tidak hanya digunakan untuk mainan anak-anak
tetapi juga menjadi malaikat pelindung bagi anak. Selain itu, boneka
anak juga berperan dalam kehidupan social masyarakat Jepang khususnya
anak-anak Jepang.
2. Boneka Yang Digunakan Untuk Orang Dewasa
Boneka-boneka yang digunakan untuk orang dewasa biasanya digunakan
untuk keperluan bisnis dan untuk mendapatkan kebahagian dalam hidupnya.
Boneka-boneka tersebut selain digunakan sebagai jimat keberuntungan juga
digunakan sebagai hadiah, souvenir, dan lain-lain.
2.2.3. Daerah – daerah Penghasil Boneka Tradisional Anak – anak
Jepang adalah sebuah Negara kepulauan yang pulaunya berjumlah
kira-kira 4000 pulau besar dan kecil yang terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang
membentang sepanjang 3000 kilometer dari utara ke selatan. Daerah-daerah
pegunungan yang meliputi lebih dari 70 % dari daratan Jepang, sehingga
kota-kota utama berpusat di tanah datar yang luasnya tidak sampai 30 % dari daratan
Jepang.
Jepang terdiri dari 47 prefektur. Berdasarkan keadaan geografis dan
sejarahnya 47 prefektur ini dapat dikelompokkan menjadi sembilan kawasan yaitu
: Hokkaido, Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa.
Dari sembilan kawasan ini, hanya enam kawasan saja yang memproduksi
mitifyang sama dan dipengaruhi kepercayaan asli Jepang yaitu Proto Shinto dan
legenda budha yang masuk ke Jepang dari China.
Adapun Daerah-daerah penghasil boneka tradisional jepang adalah :
1. Tohoku
Tohoku adalah daerah paling utara dari Honshu dan terdiri dari Akita,
Aomori, Fukushima, Iwate, Miyagi dan pulau Yamagata. Itu adalah daerah
pedesaaan yang utama, dengan pertanian, perikanan, dan hutan yang menjadi
pekerjaan yang utama, dan meliputi beberapa orang-orang miskin dan daerah
terbelakang di Jepang. Iklim yang dingin menjadi pengaruh utama dari cerita
boneka tradisional. Musim dingin yang panjang dengan salju yang tebal
membatasi pertanian terhadap satu hasil panen, sebuah kondisi yang baik terhadap
perindustrian rakyat sepaerti pembuatan boneka. Salju juga merupakan bahan
dalam pembentukan boneka yang berkaitan dengan rasa suram sehingga
menonjolkan kebutuhan warna yang terang bahkan terlalu menyolok.
Kayu yang keras, berjaringan halus, kayu alam yang putih juga menjadi
bahan utama dalam pembentukan jenis boneka. Sebagai contohnya, boneka
Kokeshi yang di daerah ini dikenal dengan baik. Peternakan kuda juga
berkembang dengan pesat di daerah ini, yang dapat dilihat dari banyak boneka
kuda dan hobi berkuda ditemukan di daerah ini. Kuda Nambu di pulau Aomori
yang sangat khusus dikenal sebagai keberanian dan warna.
Meskipun, iklim yang dingin menjadi faktor utama dalam cerita boneka
tradisional di Tohoku, sebuah pandangan melalui lapisan di bagian ini akan
ditunjukkan oleh banyak tema-tema boneka yang umum terhadap kebudayaan
2. Kyushu
Daerah paling selatan jepang mempunyai 4 pulau yamg terutama yaitu
Kyushu dan dibentuk dari kepulauan Fukuoka, Saga, Nagasaki, Oita,
Kumamoto,Miyazaki dan Kagoshima. Bagian selatan pulau ini adalah daerah
subtropis dan cenderung miskin. Pertanian, perikanan, dan hutan yang menjadi
sumber pendapatan. Pulau Kyushu juga merupakan pulau yang paling terpencil
dan dibatasi oleh daerah jepang yang terlarang.
Dibagian utara pulau ini lebih berkembang. Kyushu dikenal sebagai
penghasil industri keramik, yang menghasilkan karya-karya sastra yang terkenal
seperti arita, Karatsu, Hirasa, Dan Satsuma dan dari daerah pusatnya telah
mendistribusikan banyak boneka keramik ke boneka tradisional. Seperti Kokeshi
di daerah Tohoku dan satu jenis boneka tertentu yaitu boneka kayu yang
berputar-putar yang menjadi umum atau lebih banyak jumlahnya di daerah ini.
Pengaruh China dan Korea yang kuat telah dirasakan dalam boneka
tradisional Kyushu karena lokasi pulau itu dihormati di daerah daratan. Contoh
dari boneka ini dapat di lihat dalam miniatur perlombaan kapal.
3. Kinki
Di pusat bagian barat Honshu, Kinki di bentuk dari kepulauan Shiga,
Kyoto, Fukui, Osaka, Nara, Wakayama, dan kepulauan Mie. Meskipun letak
geografis Kinki kecil, tetapi merupakan jantung penduduk jepang lebih dari 1000
tahun dan pengaruhnya hilang setelah Edo mendirikan Tokugawa.
Daerah ini mendapat pengaruh yang kuat dari daerah pusatnya yaitu Nara,
yang bergaya tinggi sehingga mempengaruhi daerah yang sedikit
menghasilkannya.
Daerah Nara, yang menjadi ibukota Jepang di abad ke-18, melengkapi
boneka tradisional yang paling tua. Pengaruh yang paling tradisional,
bagaimanapun telah menjadi satu yang dikembangkan di Kyoto, pusat
kebudayaan Jepang di abad millenium yang di mulai di abad ke-19.Boneka Kyoto
yang berpengalaman dalam hal-hal yang duniawi diilustrasikan dengan baik. Ada
beberapa yang dibuat khusus untuk apresiasi artistik.
Sebagai daerah yang terkenal akan tempat suci dan kegiatan keagamaan
membuat daerah ini sebagai sebuah sumber kekayaan untuk tema-tema boneka.
Sebagai contoh boneka local yang murni yaitu boneka yang terbuat dari kayu
semak-semak daun teh yang ada di sekitar pusat pertumbuhan teh uji ( perkebunan
daun teh uji ).
4. Kanto
Daerah Kanto meliputi kepulauan Ibaraki, Iochigi, Gumma, Saitama,
Chiba dan Kanagawa sebagai kota metropolis di Tokyo. Tokyo telah menyediakan
pengaruh yang dominan tentang cerita boneka dari daerah ini sejak abad ke-17,
ketika Edo, menemukan Tokyo menjadi ibukota Jepang dan berkembang dengan
cepat menjadi pusat ekonomi bangsa dan pusat kebudayaan dengan baik. Posisi
yang penting ini juga memberi arti bahwa Tokyo menghasilkan beberapa
tingkatan yang dominan dalam kebudayaan bangsa sebagai keutuhan dalam cerita
boneka.
Pengaruh fashion tokyo dipantulkan dalam model rambut dan pakaian jadi
fotonya ditemukan dalam boneka yang lain, dan dalam kehidupan bisnis dalam “
beckoning cat “.
Banyak kuil dan tempat suci didirkan untuk dipersiapkan bagi orang yang
beragama ( untuk tempat beribadah ) dan untuk kebutuhan sosial masyarakat
penduduk bangsa Edo yang berkembang dengan pesat. Hal ini menghasilkan
perkembangan akan bentuk-bentuk boneka melalui festival-festival keagamaan
dan sebagai daya tariknya.
Iklim daerah ini beriklim dingin tapi tidak berkabut dan daerah pedesaan
Kanto mempersiapkan banyak tanaman yang tidak seperti biasanya, seperti
numput rawa yang dipelihara untuk menghasilkan boneka yang murni dari daerah
setempat yang beriklim lembab. Jenis boneka ini menjadi ciri khas daerah
tersebut.
5. Chubu
Daerah terluas di honshu adalah Chubu yang terbentuk dari bagian bawah
laut Cabe di Jepang bagian utara ke pantai yang sejuk sepanjang samudra Pasifik
dan terletak di antara daerah Kanto dan Kinki. Chubu terdiri dari Niigata,
Toyama, dan kepulauan Ishikawa di bagian utara yang mempunyai ciri khas
dalam pertanian dan salju yang tebal di musim dingin.
Di Nagano, Yamanashi, dan kepulauan Gifu di daerah pusat yang
mempunyai ciri khas produksi sutra dan sebuah iklim dan daerah yang khas di
negara pegunungan dan Shizuoka dan kepulauan Aichi sepanjang samudra Pasific
yang menghasilkan atau mempunyai ciri khas dengan ekonomi perdagangan dan
sebuah iklim yang sama dengan California. Oleh karena keadaaan inilah maka
Di malam yang dingin yang mencekam di sebagai daerah utara
mencerminkan boneka Imamachi. Sementara daya tariknya menunjukkan tentang
pemintal sutra sebagai mata pencaharian mereka. Di bagian selatan, dimana
udaranya sangat hangat dan musim yang kering dan cocok untuk bermain
layang-layang. Bermacam-macam layang-layang telah dikembangkan. Lagipula banyak
boneka local yang khas telah dibuat di daerah ini. Hal yang paling dekat di bagian
barat dari daerah ini ke daerah kyoto telah menghasilkan hal-hal duniawi.
6. Shikoku
Daerah yang terakhir adalah daerah yang memiliki jumlah penduduk yang
padat, penuh dengan kebudayaan atau adat-istiadat yang sopan dan sebagian aliran
dari sejarah Jepang. Di Shikoku, daerah luar dipengaruhi dengan menyalurkan
melalui pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Takamatsu, dimana terdapat banyak
perbedaaan boneka yang ditemukan di bagian utara. Sementara daerah yang
terpencil di bagian selatan, sebagian telah menghasilkan dalam hal-hal yang sukar
atau lebih kedaerahan ( boneka yang tradisional ).
Pengalaman dalam hal-hal duniawi melawan kerusuhan juga bagian
khususnya “ sunny ( hangat ) dan shady ( rindang ) “ bagian dari chugoku.
Keseluruhan dari daerah ini dicatat berdasarkan bonekanya yang terdiri dari tema
tentang hewan, baik yang kehidupan nyata maupun imaginasi.
Daerah ini secara geografis terbagi atas 2 bagian yaitu Chugoku dan
Shikoku. Shikoku merupakan pulau yang paling kecil di jepang dan dipisahkan
dari Chugoku oleh laut inland dan terdiri dari Kagawa, Chime, Tokushima dan
Pulau itu sendiri dipisahkan oleh barisan pegunungan dengan daerah di
bagian utara seperti chugoku baik dalam kebudayaannya, ekonomi, dan
aspek-aspek fisiknya dan bagian selatan lebih terisolasi dan daerahnya lebih alami.
Chugoku juga dibagi atau terdiri dari kepulauan yang terpencil dan desa Shimane
dan Tottori sepanjang laut jepang ( sebagian dari daerah honshu dikenal dengan “
shady side “ atau daerah yang teduh/ rindang, diimbangi oleh pulau Hyogo,
Okayama, Hiroshima dan Yamaguchi ( daerah itu terdiri dari laut inland yang
dikenal sebagai daerah “ sunny side “ atau daerah yang hangat ).
BAB III
FUNGSI BONEKA TRADISIONAL ANAK-ANAK DI JEPANG
3.1 Sebagai Jimat
Masyarakat Jepang percaya tidak semua dewa itu baik. Sejumlah setan
atau Oni dianggap sebagai kekuatan supranatural yang dipercaya mencerminkan
sisi gelap dari sifat manusia. Perwujudan kekuatan supranatural ini menggunakan
pengaruh jahat yang harus dijaga atau disucikan karena bersifat merusak bagi
dunia manusia. Oleh karena itu, mereka membuat perlindungan dengan membuat
jimat maupun dengan penyembahan yang dipercaya dapat menghalau kekuatan
roh jahat.
Selain itu, masyarakat Jepang menganggap selama hidup manusia ada
berbagai masa dimana kemungkinan adanya sakit atau maut adalah sangat besar.
Misalnya masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia dewasa, masa hamil, masa
kelahiran dan akhirnya maut.
Beberapa ahli seperti M.Crawley dan A Van Gennep dalam
koentjaraningrat (1967:211) berpendapat bahwa manusia dalam jangka waktu
hidupnya mengalami banyak krisis-krisis yang menjadi abjek perhatiahnya yang
seringkali menakutinya. Betapa bahagianya hidup seseorang ia harus selalu ingat
kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis-krisis dalam hidupnya.krisis itu yang
terutama berupa bencana-bencana sakit dan maut tidak dapat dikuasainya sengan
segala kepaindaian, kekuasaan, atau kekayaan harta bendayang mungkin
dimilikinya. Dalam hidup manusia ada berbagai masa dimana ada kemungkinan
peralihan dari usia muda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran dan akhirnya
maut.
Dalam menghadapi masa krisis ini manusia membutuhkan pertolongan
atau perlindungan dari sesuatu yang dianggap dapat menghalau masa krisis
tersebut. Salah satunya adalah boneka. Ini dapat diketahui dari cerita novel yang
luar biasa dari Lady Murasaki Shikibu yaitu The Tale Of Genji. para wanita
membuat boneka perlindungan bagi anak-anak atau cucu-cucu mereka. Boneka
tersebut dibuat sebelum atau sesudah lahir untuk mengusir atau mengalihkan roh
jahat.
Bagi masyarakat Jepang, boneka dianggap memiliki kekuatan
supranatural yang dapat menghalau roh-roh jahat, malapetaka, dan dari segala
penyakit yang menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Kepercayaan masyarakat Jepang terhadap boneka ini didasari oleh kepercayaan
asli masyarakat Jepang yaitu kepercayaan Animisme. Kepercayaan Animisme
merupakan kepercayaan yang mempercayai Kami-Gami atau banyak dewa dan
benda-benda gaib lainnya yang ada di alam. Bagi masyarakat Jepang, semua
fenomena alam yang hidup maupun yang tidak hidup bahkan benda buatan
manusia sekalipun contohnya boneka mempunyai potensi untuk menjadi hidup
jika dimasuki oleh roh gaib.
Kemudian pada abad ke 6, agama Buddha dengan perkembangan kesenian
dan arsitektur yang menyeluruh di serap dari Asia, dan agama tersebut muncul
sebagai pelengkap melalui kedewaannya dan upacara keagamaan. Agama Buddha
ini juga menyediakan atau membentuk penambahan tema yang baru dalam
Oleh karena itu, boneka tradisional anak-anak di Jepang selain dikaitkan dengan
kepercayaan asli Jepang atau kepercayaan Animisme juga dikaitkan dengan
agama Buddha. Berdasarkan agama Buddha, boneka atau patung-patung yang
dibentuk manusia merupakan perwujudan dari Buddha. Boneka atau
patung-patung tersebut dibentuk dimaksudkan untuk penghormatan kepada Buddha.
Adapun boneka-boneka yang digunakan sebagai jimat untuk bayi dan
anak-anak adalah sebagai berikut :
1. Amagatsu
Amagatsu adalah tiruan bentuk manusia pertama yang memakai
baju dari sutra putih. Baju sutra putih itu tetap dikenakan sebagai lapisan
dalam ketika mulai dikenal jubah luar. Meskipun bentuknya sederhana,
Amagatsu digunakan sebagai mainan, ada suatu kegembiraan ketika
membuat dan memakaikan bajunya sesuai dengan pergantian musim,
tetapi amagatsu juga memiliki kekuatan yang dipercaya dapat menjaga
pemiliknya agar terhindar dari bahaya, baik laki-laki maupun peremnpuan.
( Gribbin, 1984 : 12 ).
Mengenai bentuk dan penggunaaan jenis onademono ini dijelaskan
dalam catatan daerah Kyoto sebagai berikut :
Amagatsu dibuat dari dua batang bambu yang disatukan Amagatsu dubuat
dari dua batang bamboo yang disatukan membentuk huruf T.Tinggi
amagatsu sekitar 30 cm, dan diberi pakaian dari sutra putih. Kepala
amagatsu dibuat dari kayu dengan bentuk bulat dan dibungkus sutra putih
yang digambari mata, hidung, dan rambut. Amagatsu diletakkan didekat
segala kejahatan zaman heian, amagatsu digunakan oleh kalangan
bangsawan. Amagatsu merupakan benda yang diperuntukkan bagi
anak-anak.oleh karena itu bentuknya dibuat menarik.
Dinasa Muromachi, amagatsu dipajang dirumah-rumah
kaumbangsawan. Memasuki zaman Edo, amagatsu mulai digunakan oleh
masyarakat biasa. Pada saat yang bersamaan dengan kemunculan
amagatsu ada jenis onademono lain yang dibuat dengan maksud yang
sama, yaitu hook, (Heran, 1913: 17).
2. Sarubobo
Sarubobo adalah perkembangan dari boneka Hoko. Sarubobo juga
digunakan sebagai jimat terutama di daerah Takayama, Prefektur Gifu.
Sarubobo adalah boneka merah berbentuk manusia tanpa wajah dan dibuat
dengan beragam ukuran. Secara tradisional, Sarubobo dibuat oleh nenek
untuk cucu-cucunya sebagai boneka jimat agar anak-anak sehat. Ini karena
Sarubobo dapat mengusir roh-roh jahat yang ada disekeliling
anak-anak. Sarubobo secara harfiah diartikan dari bahasa Jepang sebagai anak
monyet. Monyet dalam bahasa Jepang adalah Saru dan yang lainnya
adalah En. Ada beberapa alasan mengapa jimat ini mempunyai nama itu,
Sarubobo dihubungkan dengan 3 harapan yaitu :
1. Melindungi dari hal-hal buruk
Dalam bahasa Jepang, monyet adalah Saru dan bila diterjemahkan
kedalam bahasa Inggris Saru berarti leave ( meninggalkan ). Maka kata
2. Keluarga yang bahagia
Dalam bahasa Jepang keluarga bahagia adalah kanai. Kata En pada
Saru sama dengan Kyoen yang berarti bahagia, sentosa, damai, dan
lain-lain.
3. Melahirkan dengan lancar
Monyet dapat melahirkan anaknya dengan mudah. Wajah
Sarubobo biasanya merah seperti wajah bayi monyet. Oleh karena itu,
masyarakat menggunakan Sarubobo sebagai jimat supaya dapat mudah
melahirkan seperti Monyet.
3. Inu Hariko
Anjing telah menemani anak-anak Jepang sejak zaman Prasejarah
Jepang. Mengetahui bahwa anjing dapat mudah melahirkan anak-anak
anjing dan anak-anak anjing tersebut dapat tumbuh dengan cepat dan sehat
, maka wanita membuat jimat berupa kotak berbentuk anjing dengan
harapan dapat melahirkan dengan mudah dan anak-anak merka dapat
tumbuh dengan sehat.
Pada masa Tokugawa kotak berbentuk anjing ini sering diguanakan
masyarakat Jepang sehingga membuat jimat ini menjadi popular.
Kepopuleran ini membuat perubahan bentuk pada jimat ini. Pada awalnya
jimat iniberbentuk kotak anjing menjadi boneka berbentuk anjing yang
disebut dengan Inu Hariko.
Pada saat upacara anak laki-laki yang telah berusia 32 hari
atau Ujigami. Pada hari itu biasanya bayi digendong oleh neneknya dan si
bayi mendapat kiriman dari keluarga si ibu yaitu berup mainan untuk si
bayi yang disebut Inu Hariko. Pada zaman dahulu Inu Hariko mempunyai
nilai magis yaitu sebagai penangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit
yang dating untuk mengganggu si bayi.
3.2. Sebagai Persembahan
Masyarakat Jepang menggunakan boneka sebagai pengganti diri
terhadap dewa laut atas segala pelangggaran / dosa-dosa yang dia lakukan. Ritual
ini dilakukan setiap tanggal 3 Maret yang dilakukan di kuil Ise.
3.2.1 Hitogata
Pendeta akan memberikan hitogata yang terbuat dari kertas putih yang
dilipat menyerupai bentuk pria, wanita dan anak-anakkepada ujiko untuk
dibagikan kepada para pengikutnya.
Setiap orang akan menerima sesuai dengan jenisnya-pria , wanita dan
anak-anak. Dirumah, hitogata itu akan diusap keanggota tubuh, yakni pada bagian
kepala, wajah, lengan, kakidan badan, sambil berdoa agar segala kesialan dan
penyakit akibat ketidaktaaatan kepada kamisama dihapuskan. Selanjutnya,
masing-masing menuliskan umur dan jenis kalaminnya-bukan nama. Hitogata
tersebut kemudian dikemblikan ke jinza. Kemudian pendeta mengadakan upacara
3.3. Sebagai Perlengkapan Festival
Pesta rakyat Jepang terdiri dari festival, hari raya, dan upacara khusus (
Kodansha, 1993 : 361-366 ). Pesta rakyat di Jepang dapat digolongkan menjadi
dua kategori besar. Matsuri ( pesta rakyat ) dan Nenchu Gyoji (hari raya tahunan).
Yang terakhir ini sering kali juga disebut Nenju Gyoji.
Matsuri merupakan follkor Jepang asli yang berhubungan denagn agama
Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada tanggal-tanggal tertentu. Sedangkan
Nenchu Gyoji termasuk festival berskala lebih besar yang dilakukan setiap tajun
dan berhubungan dengan musim dan banyak diantaranya berasal dari folklore
China dan Buddha. Oleh karena itu, Hina Matsuri termasuk kedalam golongan
Nenchu Gyoji karena berasal dari kebudayaan China.
Menurut Yanagita Kunio, kebiasaan menhanyutkan boneka kertas sebagai
pengganti bentuk manusia pada bulan purnama ketiga merupakan pengaruh
kebiasaan ritual China yang dilakukan di tepi sungai dengan maksud untuk
menghilangkan penyakit, menjauhkan malapetaka, dan menyucikan “ kotoran “ di
badan ( Yanagita, 1970 : 450 ).
1. Boneka Hina
Diantara berbagai jenis boneka jepang, (hina ningyo) yang dianggap
sebagai salah satu yang istimewa oleh masyarakat jepang. Yang dimaksud dengan
hina mingyo adalah sepasang boneka lelaki dan perempuan yang mengenakan
kostum kuno jaman heian. Jika hanya ada boneka lelaki saja, atau sebaliknya,
maka tidak bisa disebut hina ningyo (Saito, 1975:6). hina ningyo diberi panggilan
bersifat dewa karena dianggap memiliki kekuatan magis hina ningyo tersebut
berasal dari hitogata yaitu trauan untuk manusia sederhana yang terbuat dari
kertas yang merupakan bentuk awal hina ningyo (Saito, 1975:11).
Setelah melalui pergantian waktu yang sangat panjang. Tiruan bentuk
manusia ini tidak lagi terbuat dari kertas, melainkan dari bahan lainya seperti
tanah liat atau kayu, sehingga tidak dihanyutkan, tetapi dibawa pulang
untukdilatakkan diatas rak dekat altar (Bauer, 1977:72).bentuk hitogata yang
sederhana terus mengalami perkembangan selama berabad-abad sampai akhirnya
mencapai bentuk hina ningyo yang berpenampilan indah dan mahal harganya
seperti terlihat pada masa sekarang ini. Bentuk hina ningyo yang ada sekarang ini
dianggap sebagai perpaduan antara bentuk hitigata yang berfugsi sebagai jimat
dengan boneka kertas yang biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan
dikalangan istana dan bangsawan di zaman heian.
Sekarang ini hina ningyo dianggap sebagai mascot yang melindungi
anak-anak perempuan jepang. Masyarakat jepang percaya bahwa dengan memejang
hina ningyo setiap tanggal 3 maret, anak-anak perempuan akan selalu sehat dan
mendapatkan kebahagiaan di masa depan. Perayaan tersebut dinamakan (hina
matsur: perayaan boneka). Atau (joshi no seku: perayaan anak perempuan).
Menjelang hian matsuri, penjualan hina ningyo dipusat-pusat pertokoan
berlangsung dengan meriah. hina ningyo indah tersebut dijual dengan harga yang
bervariasi, bahkan ada yang mencapai harga yang tinggi yaitu 3.500.000 yen.
(saito, 1975:190). Menjelang bulan maret, anak-anak perempuan dengan
dibantu ibunya akan memajang hina ningyo diatas rak khusus bertingkat tujuh
dilatakkan juga perlengkapan hina ningyo lainnya seperti miniature perabot istana,
miniature hiasan-hiasan, miniature boneka dan hiasan lainnya. Dalam perayaan ini
akan dihidangkan makan khas hina matsuri berupa hishi moci, amazake, sekiha,
umani, hamaguri, dan sebagainya.
Sebenarnya yang manjadi pusat hina matsuri adlah hina ningyo itu sendiri,
sehingga perangkat lainnya tidak terlalu penting. hina ningyo ini akan terus
dipajang sampai puncak perayaan, yaitu tanggal 3 maret. Setelah itu hina ningyo
harus segera dimasukkan dalam kotak penyimpanan karena jika terlambat
disimpan maka dipercya bahwa sianak prempuan akan lambat atau lama menikah.
Perayaan yang menyebar luar keseluruh pelosok negeri jepang ini disebut
juga hina sekku, momo no sekku, atau hina ningyo hina matsuri pertama yang
dilalui oleh seorang anak perempuan merupakan perayaan yang paling penting.
Biasanya hina ningyo yang dipajang dalam perayaan pertama itu merupakam
pemberian dai jikka yaitu keluarga dari pihak ibu. Karena itu kesan bahwa hina
matsuri merupakan perayaan anak perempuan semakin menebal.
Tujuan dari perayaan hina matsuri ini yaitu agar anak-anak perempuan
dijepang dijauhkan dari segala pengaruh buruk dan penyakit sehingga dapat
tumbuh dengan sehat, dan jika dia sudah dewasa akan selalu mendapat
kebahagiaan dan dijauhkan dari krisis- krisi kehidupan. Mereka percaya
ohinamasa.
3.4. Sebagai Mainan
Sekitar tahun seribuan, beberapa jenis boneka telah siap diproduksi untuk
Lady Murasaki yaitu The Tale Of Genji. Dalam sejumlah literatur klasik di tulis
tentang kebiasaan bermain boneka dikalangan anak perempuan bangsawan istana
dari zaman Heian ( sekitar abad ke 8 ). Menurut perkiraan, boneka dimainkan
bersama rumah boneka yang berbentuk istana.
Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina
asobi ( bermain boneka puteri ). Pada prinsipnya hina asobi adalah permainan dan
bukan suatu ritual. Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka yang digunakan
untuk mainan anak-anak semakin banyak jumlah dan jenisnya. Boneka-boneka
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ichimatsu Ningyou
Boneka Ichimatsu adalah salah satu mainan anak-anak. Boneka ini
pada awalnya berasal dari nama aktor dalam drama sandiwara Bunraku.
Ichimatsu artinya Check karena nama aktor tersebut juga check. Boneka
ini pada awalnya bukan digunakan untuk mainan anak-anak. Namun pada
zaman Edo kira-kira abad 18, boneka ini dikhususkan untuk anak-anak.
2. Izumeko
Boneka Izumeko adalah boneka bayi yang dilempar ke keranjang
dengan kumpulan boneka yang di gantungkan untuk menarik perhatian si
bayi. Jika keranjangnya sangat dalam dan bulat, kepala bayi menyodok
keluar yang bisa membuatnya seperti hina daruma atau boneka daruma
3. Haihai
Haihai adalah boneka yang merangkak atau berjalan pelan sekali.
Boneka ini disediakan untuk bayi yang sedang merangkak. Boneka ini
digunakan dalam keadaan telanjang tetapi sekarang sering digabungkan
dengan pakaian dan mainan bayi yang berbunyi.
4. Daki
Boneka Daki adalah boneka berbentuk anak-anak yang dapat
dipeluk ( boneka yang berpelukan ). Untuk sebuah boneka bayi, boneka
ini sangat unik karena terdiri dari 5 helai benang / tali dibadannya dan
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan
Di dalam akhir penulisan sekripsi ini, penulis mencoba membuat
kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini, sebagai berikut:
1. Jepang merupakan negeri ‘ningyou okuko’ atau negeri boneka, karena
banyaknya jumlah boneka di Jepang.
2. boneka di Jepang ada banyak jenisnya. Ada yang dibuat dengan tangan
dengan bahan-bahan tradisional. Boneka yang seperti ini disebut dengan
boneka tradisional. Ada juga boneka yang dibuat dengan teknologi tinggi
yang mendapat pengaruh dari luar. Boneka yang seperti ini disebut dengan
boneka modern.
3. Boneka tradisional itu sendiri, juga banyak jenisnya. Berdasarkan
penggunanya, boneka tradisional dapat dikategorikan ke dalam dua
bagian. Yaitu, boneka yang digunakan untuk bayi dan anak-anak dan
boneka yang digunakan untuk orang dewasa.
4. Bagi masyarakat Jepang, boneka yang digunakan unuk anak-anak dan bayi
bukan hanya untuk mainan belaka. Tetapi, juga digunakandalam upaca
keagamaan. Seperti sebagai jimat dan lambang persembahan kepada dewa
sebagai pengganti diri. Selain itu boneka juga, ada yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat jepang seperti dalam perlengkapan
4.2.SARAN
Sehubungan dengan hasil penelitian ini, saran yang perlu disampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Ada baiknya mahasiswa-mahasiswa Sastra Jepang dapat menambah
pengetahuan mereka dengan membaca lebih banyak lagi buku-buku
tentang Jepang dan hasil karya lain yang ada hubungannya dengan Jepang.
Karena itu, sangat besar sekali manfaatnya dalam mendukung kita untuk
mengetahui lebih banyak lagi tentang Jepang.
2. Jepang adalah negara yang maju dan kaya akan teknologinya. Kaitannya
dengan kenyataaan ini, seharusnya Jepang tidak mempercayai hal-hal gaib
yang terdapat dalam boneka. Karena boneka bukanlah hal gaib ayng dapt
dijadikan jimat atau pelindung dari bahaya. Karena hanya tuhan yang
dapat melindungi kita dari apapun.
3. Sebaiknya dengan membaca skripsi ini, dapat meberi pelajaran kepada
pembaca untuk tidak mempercayai hal-hal gaib dan mendorong kita untuk