• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum dalam Praktek Notaris di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum dalam Praktek Notaris di Kota Medan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

MANGATAS NASUTION

017011077/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Syahril Sofyan*** Mangatas Nasution****

Intisari

Batas umur seseorang merupakan salah satu ukuran yang menentukan apakah seseorang itu dikatakan masih dibawah umur atau sudah cukup umur ( dewasa ). Menurut hukum yang berlaku di Indonesia seseorang baru dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum tanpa harus diwakili oleh orang lain apabila ia sudah cukup umur ( dewasa ) meskipun tidak setiap orang yang sudah cukup umur cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam tata hukum Indonesia terdapat banyak ketentuan yang mengatur mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini baik dalam lingkungan hukum publik maupun hukum privat. Keanekaragaman pengaturan ini berakibat timbulnya perbedaan pemahaman sehingga selalu menjadi perdebatan baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam praktek notaris, kepastian hukum batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum sangat diperlukan untuk memastikan apakah setiap orang yang datang menghadap notaris dapat atau tidak dilayani untuk menandatangani akta-akta notaris. Oleh karena kesalahan atau kekeliruan notaris dalam pengenalan penghadap yang dituangkan dalam komparisi akta sudah pasti membawa konsekuensi yuridis, baik terhadap para pihak maupun terhadap notaris itu sendiri.

Dalam penulisan tesis ini alat pengumpulan data yang digunakan dengan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan buku-buku ilmiah yang dianalisis secara yuridis, historis dan komparatif dan penelitian lapangan yaitu penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari kuesioner kepada notaris di Kota Medan dan wawancara dengan staf Kantor Pertanahan Kota Medan yang dianalisis secara kualitatif.

Dengan menggunakan metode penelitian yang ada dapat dilihat sinkronisasi aturan-aturan hukum batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan. Dari penulisan tesis ini dapat diketahui bahwa terdapat banyak pengaturan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia baik dari satu sisi ketentuan hukum maupun dari sisi antar ketentuan hukum yang berakibat timbulnya perbedaan persepsi dan penerapannya dalam praktek notaris di Kota Medan, yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

* Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Magister Kenotariatan, Hakim Agung RI.

(3)

Kata Kunci :

(4)

Syahril Sofyan*** Mangatas Nasution****

Abstract

Age limit of individual is one of determinants of whether someone can be catagorized into underage or sufficient age ( adult ). According to the law applicable in Indonesia, someone can be categorized into proficiency of committing legal deed without any representativeness of other if she/he has been in sufficient age ( adult ), although not all people categorized into sufficient age can commit the legal deed. In Indonesian law order there are several provisions to regulate the age limit of proficiency to commit the legal deed, either in scope of public law or private law. This diversity of provision results in the difference of understanding that leads to debate either the theoretical or practical order. In notary practice, legal certainity for age limit of proficiency to commit legal deed is required largely to make assure that every individual presenting before notary can be or can’t be served to sign the notary acts. Both fault or mistake of notary in introduction of client being patterned in act comparison will, of course, bear yuridical consequence, either on parties or notary him/herself.

In this thesis writing, the instrument of data collection is to use the library research, i.e., research on data gained from statutes, yurisprudence and scientific books analyzed yuridically, historically and comparatively; and field observation is a research on data gained from questionnaires distributed to notary in Medan City and interview with staffs of Land Service of Medan City that is analyzed qualitatively.

By using the methods of research, synchronization of regulation in age limit of proficiency to commit the legal deed in notary practice in Medan City can be seen. By this thesis writing, it can be known that there are many regulations about the age limit of proficiency to commit the legal deed in Indonesian Law order either in statute perspective of interregulation of law leading to difference in perception and application in notary practice of Medan city, that is turn, to result in the law uncertainity.

* Professor of Law in North Sumatera University, Lecturer of Postgraduate School, Study Program of Notary Magistar, Supreme Judge Republic of Indonesia.

** Professor of Law in North Sumatera University, Lecturer of Postgraduate School, Study Program of Notary Magistar.

*** Lecturer of Postgraduate School North Sumatera University, Study Program of Notary Magistar, Notary in Medan.

(5)
(6)

judul “BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM

DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN”. Penulisan tesis merupakan

salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Penulis menyadari telah banyak menerima bimbingan, pengarahan,

dorongan semangat dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis DTM&H Sp.A ( K ), Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc dan ketua Program Studi Magister Kenotariatan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN serta para guru besar dan staff pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.

2. Yang amat terpelajar Ibu Prof. Rehngena Purba, SH, MS, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, Sh, MHum dan Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis.

3. Yang amat terpelajar Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, MHum dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Ibunda tercinta Hj. Masdewi Lubis atas segala pengorbanan dan doanya kepada penulis dan ayahanda almarhum Sampe Nasution gelar Mangaraja Pinayungan, semoga arwahnya mendapat kelapangan di alam barzah sana.

(7)

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala dukungannya.

Tesis ini masih jauh dari sempurna, karenanya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat, terima kasih.-

Medan, 26 Nopember 2007

Penulis,

(8)

Tempat/Tanggal Lahir : Panyabungan/23 Februari 1962

Status : Menikah

Alamat : Jl. Suka Eka No. 21, Medan-20146

II. Keluarga

Nama Ayah : Sampe Nasution ( Alm )

Nama Ibu : Hj. Masdewi Lubis

Nama Istri : Hasnah Gultom, SH

Nama Anak : 1. Shabrina Hasman Nasution

2. Fadia Naufa Nasution

3. Indah Ramora Nasution

4. Izhar Pinayungan Nasution

III. Pendidikan

1. SD Negeri 11 Panyabungan, Tahun 1970-1976

2. SMP Negeri Panyabungan, Tahun 1977-1979

3. SMA Negeri Panyabungan, Tahun 1979-1981

4. IKIP Negeri Medan Cabang Padangsidimpuan, FKIP Jurusan Matematika, Tahun 1981-1982 ( Tidak tamat )

5. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Hukum, 1982-1987

6. Staf Bank Duta Cabang Medan, 1989-2000

7. Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan, 2001-2007

(9)

LEMBARAN PANITIA PENGUJI

INTISARI... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 3

C. Tujuan Penelitian……….. 3

D. Manfaat Penelitian………... 4

E. Keaslian Penelitian……….. 4

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi……… 4

G. Metode Penelitian……… 8

BAB II PENGATURAN TENTANG BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM TATA HUKUM INDONESIA A. Dalam Hukum Publik 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana………. 10

2. Lain-lain………. 11

B. Dalam Hukum Privat 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata………. 13

2. Hukum Adat………...……… 15

3. Hukum Islam………. 17

(10)

BAB III BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM

DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN

A. Pembuatan Akta Notaris……….………. 23 B. Akibat Hukum - Dapat Dibatalkan……….. 28

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……… 30

B. Saran………. 31

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pembuatan akta-akta notaris, notaris pasti berhadapan dengan pembuatan komparisi akta (merupakan bahagian akta) yang menguraikan siapa yang datang menghadap notaris sekaligus menjelaskan status penghadap dimaksud. Penghadap yang nama-namanya disebutkan dalam komparisi akta disebut dengan “komparan”. Pembuatan komparisi akta merupakan bahagian yang sangat penting, oleh karena kesalahan atau kekeliruan notaris dalam merumuskan bunyi komparisi akta akan membawa konsekuensi yuridis.

Berbicara mengenai komparan berarti berbicara mengenai subyek hukum, baik bertindak untuk dirinya sendiri maupun mewakili orang/pihak lain.

Setiap orang, disamping badan hukum adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum setiap orang memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Mempunyai hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Walaupun setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak atau kewajiban. Mereka yang tidak cakap itu adalah orang yang belum cukup umur dan orang yang diletakkan dibawah pengampuan.

Batas umur seseorang merupakan salah satu ukuran yang menentukan apakah seseorang itu dikatakan masih dibawah umur (minderjarig) atau sudah dewasa (meerderjarig). Menurut hukum yang berlaku di Indonesia seseorang baru dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah kalau dia sudah cukup umur (dewasa) menurut hukum.

Namun kedewasaan menurut batas umur seseorang bukanlah satu-satunya ukuran yang menentukan seseorang cakap melakukan perbuatan hukum, masih ada ukuran-ukuran lain yaitu orang yang telah melangsungkan perkawinan dan tidak ditaruh dibawah pengampuan (curatele). Dengan demikian orang yang belum dewasa, belum kawin sebelum umur 21 tahun dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan, oleh hukum dinyatakan tidak cakap melakukan sendiri perbuatan hukum, tetapi harus diwakili oleh orangtua, wali atau kuratornya.

(12)

Signifikasi pembicaraan tentang kedewasaan sebagai ukuran kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum ini erat kaitannya dengan eksistensi manusia sebagai subjek hukum.

“Hukum itu adalah untuk manusia. Kaidah-kaidahnya yang berisi perintah, larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat, antara subjek hukum. Adapun subjek hukum adalah yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum atau sebagai orang.”1

Sebenarnya setiap manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Manusia adalah pengertian biologis sedangkan orang merupakan pengertian yuridis.

Disamping orang maka badan hukum digolongkan juga sebagai subjek hukum.

“Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiadalah lain merupakan suatu pengertian, dimana suatu badan yang sekalipun bukan berupa seorang manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang manusia. Jelasnya badan hukum itu dianggap mempunyai hak-hak dan kewajiban serta dapat turut serta dalam lalulintas hukum. Sudah tentu badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum yang bertindak sebagai suatu badan, tidak dapat bertindak sendiri, melainkan harus diwakili oleh para pengurusnya.”2

Dengan demikian badan hukum sebagai subjek hukum, dalam melakukan perbuatan hukum atas nama badan hukum adalah diwakili para pengurusnya. Pengurus disini adalah orang, berarti harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum.

Meskipun menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, tidaklah selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri kewajibannya.3

Untuk melaksanakan suatu ketentuan perundang-undangan menyatakan bahwa beberapa kelompok orang dinyatakan tidak cakap atau tidak berwenang melakukan suatu perbuatan hukum, demikian pula beberapa kelompok orang dinyatakan tidak cakap atau tidak berwenang

1

Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 67.

2

Abdul Muis, Hukum Persekutuan & Perseroan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1995, halaman 11.

3

(13)

untuk melakukan suatu perbuatan hukum, demikian pula beberapa perbuatan hukum, baru sah apabila dilakukan dalam bentuk tertentu.

Dengan demikian batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji karena terdapat banyak ketentuan dalam hukum yang ada di Indonesia yang mengatur tentang batas umur seseorang untuk dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, baik dalam lingkungan hukum privat maupun hukum publik.

Kondisi keanekaragaman pengaturan batas umur dalam hukum tersebut tidak jarang menimbulkan perbedaan persepsi dalam penerapan hukum oleh aparat penegak hukum dan pelayan jasa hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu perlu di lihat sikap Mahkamah Agung mengenai hal ini dari putusan-putusannya dalam yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia sudah seharusnya mengeluarkan terobosan-terobosan di bidang hukum terhadap hal-hal yang masih rancu, karena salah satu fungsi kekuasaan Mahkamah Agung adalah fungsi peradilan artinya Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang tugasnya membina keseragaman dalam penerapan hukum, menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang di seluruh Indonesia diterapkan secara tepat dan adil.

Demikian juga halnya dengan notaris sebagai aparat penegak hukum dan pelayan jasa hukum kepada masyarakat, dalam pelaksanaan kewenangannya sangat berkepentingan mengenai kepastian hukum pengaturan batas umur kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum ini.

Demikian urgensinya batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini, khususnya dalam praktek notaris dalam pembuatan akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum dibidang hukum perdata.

Dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang ada maupun ketentuan hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas sehingga dapat menjamin kepastian hukum dalam rangka penerapan hukum khususnya dalam praktek notaris.

B. Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia.

2. Bagaimana ketentuan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan.

C. Tujuan Penelitian

(14)

2. Untuk mengetahui penerapan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam pembuatan akta-akta notaris di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk mengetahui dan memahami lebih jauh masalah pengaturan tentang batas umur seseorang untuk dikategorikan cakap melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sekaligus dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya dibidang hukum perdata.

2. Secara praktis, bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah khususnya kalangan notaris dalam upaya lebih menjamin kepastian hukum dalam pembuatan akta-akta yang dibuat oleh dan dihadapannya.

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan informasi yang tersedia dan dengan menelusuri kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Praktek Notaris Di Kota Medan”, belum pernah ada yang meneliti. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.

Setiap manusia tanpa kecuali, selama hidupya adalah sebagai subyek hukum artinya sejak dilahirkan manusia memperoleh hak dan kewajiban, sedangkan apabila meninggal dunia maka hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.

Di dalam sejarah dikenal adanya manusia yang tidak mempunyai hak dan kewajiban, tidak merupakan subjek hukum yaitu budak belia. Bahkan dikenal juga kematian perdata atau mort civile sebagai hukuman, misalnya harta warisannya menjadi terbuka untuk dibagi, isterinya menjadi janda. 4

Hal ini sangatlah penting terutama bila dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusian sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila sebagai ideologi dan dasar filsafat negara berada dalam strata puncak sesuai dengan kedudukannya sebagai sumber tertinggi dari tata kehidupan nasional.

4

(15)

Dari sudut filsafati, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan sistem nilai, dan dari padanya bersumber sejumlah asas yang seyogianya dijabarkan dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.5

Pancasila sebagai filsafat negara merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya diderivasi kedalam Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya menjiwai serta dijabarkan kedalam seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat.

Bahwa setiap manusia Indonesia adalah orang, dapat disimpulkan dari Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang”.

Selanjutnya nilai kemanusiaan dalam Pancasila, antara lain di derivasi kedalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”.

Sekalipun hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi, bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang manusia-manusia mana hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa hukum bisa mengecualikan manusia atau segolongan manusia tertentu sebagai makhluk hukum yang demikian itu. Sekalipun mereka itu adalah manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Apabila hukum sudah menetukan demikian, maka tertutup kemungkinan bagi orang-orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban.6

Bahwa setiap orang adalah subjek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Berdasarkan hal itu maka pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum. Hal dapat melakukan perbuatan itu disebut kecakapan melakukan perbuatan hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum.

Dalam semua tatanan hukum dewasa ini berlaku ketentuan yang menetapkan bahwa setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang undang-undang tidak menetapkan lain. Kecakapan melakukan

5

M.Solly Lubis, Pembahasan UUD 45, Alumni, Bandung, 1985, halaman 101.

6

(16)

perbuatan hukum adalah kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan mengikat, yang tidak dapat dipersoalkan atau tidak dapat diganggu gugat (onaantastbaar). Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum (handelingsonbekwame) akibat hukumnya dapat dipersoalkan atau dapat dibatalkan (aantastbaar atau voidable), bergantung kepada jenis perbuatan hukum yang dilakukan. Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau yang mewakilinya, dengan alasan ketidak cakapan melakukan perbuatan hukum itu, mempunyai kemungkinan untuk menuntut pembatalan perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Ketentuan hukum ini dimaksudkan untuk melindungi orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dari perbuatan hukumnya sendiri yang dilakukan tanpa pertimbangan yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk melindunginya dari tindakannya yang dapat merugikan dirinya sendiri.7

Dengan demikian berarti, meskipun setiap orang adalah sebagai subjek hukum tetapi hukum juga menentukan bahwa setiap orang tidak selamanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang masih dibawah umur (belum dewasa) dan orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengampuan (curatele). Hukum menentukan bahwa orang harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum, kecakapan ini dimaksudkan bahwa orang itu dalam melakukan perbuatan hukum telah dapat menyadari perbuatannya, mempertimbangkan segala kemungkinan akibat perbuatannya sehingga bertanggung jawab atas akibat hukumnya.

Hukum terdiri dari atas berbagai kaidah yang berbeda-beda. Kaidah-kaidah itu mewujudkan isi aturan-aturan hukum. Banyak dari Kaidah-kaidah-Kaidah-kaidah hukum itu yang oleh pembentuk undang-undang dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan.

Kaidah hukum adalah peraturan hidup tentang bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam masyarakat agar kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri terlindungi.

Kaidah hukum sebagai meta kaidah merupakan asas hukum, yaitu pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit. Peraturan konkrit menentukan bahwa orang harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum, kecakapan itu diukur dari orang itu sudah dewasa. Dewasa itu sendiri ditentukan dari batas umur seseorang. Sedangkan pikiran dasar atau yang melatarbelakangi ketentuan demikian adalah bahwa orang harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Oleh karena itu disini terkandung asas tanggungjawab hukum.

7

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama

(17)

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.

Kekuasaan yang terletak di bidang publik disebut kewenangan, sedang di bidang perdata disebut kecakapan. Korelatif dari kekuasaan adalah pertanggungjawaban.8

Jadi dengan demikian hak yang dimiliki oleh subjek hukum, mengandung kekuasaan dalam arti kecakapan pada subjek hukum, sedangkan kekuasaan itu sendiri berhadapan dengan pertanggungjawaban. Dengan kata lain pertanggungjawaban menunjuk kepada adanya kekuasaan pada seseorang.

Dari uraian-uraian diatas, dengan bertitik tolak dari pengertian teori hukum menurut J.J.H.Bruggink, yaitu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dengan hukum sebagai sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum, dan pengertian teori hukum menurut Rehngena Purba, yaitu susunan dan cara berfikir hukum dimana sebagai wadahnya hukum positif, maka terdapat pikiran dasar yang menentukan bahwa orang harus telah dewasa baru dikatakan dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum; dimana ukuran kedewasaan itu salah satunya dilihat dari faktor batas umur adalah bahwa orang yang sudah dewasa, dianggap telah cakap dan mampu karena ia telah menyadari sepenuhnya perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.

2. Konsepsi.

Beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini adalah : 1. Batas umur

Batas umur adalah umur tertentu dari seseorang yang menjadi pemisah, sesuatu yang menjadi tanda akhir sehingga beralih kepada keadaan tertentu (dewasa).

2. Kecakapan

Kecakapan berasal dari kata cakap, dalam bahasa Belanda disebut “Bekwaam “,

Dalam bahasa Inggris disebut “Capable/Competent“ adalah pandai, mampu menurut hukum; memenuhi persyaratan hukum.

3. Perbuatan hukum

8

(18)

Perbuatan hukum adalah tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan suatu hubungan hukum; akibat hukum.

4. Praktek

Praktek adalah penerangan ilmu teori; kerja nyata. 5. Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

G. Metode Penelitian.

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian. a. Sifat Penelitian

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum, berkaitan dengan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan.

Sedangkan sifat analitis yang dicerminkan penelitian ini adalah karena penelitian ini ingin meneliti keanekaragaman pengaturan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan mana yang dipedomani oleh notaris dalam praktek pembuatan akta serta sikap Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya.

b. Metode Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan empiris untuk melihat sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan.

Disamping itu juga penelitian ini didukung dengan menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu penelitian tentang substansi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia menyangkut batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum.

2. Sumber Data.

(19)

Jumlah notaris di Kota Medan sesuai dengan data yang diperoleh dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan, sampai dengan posisi Agustus 2007 sebanyak 260 notaris.

Dari populasi tersebut ditetapkan responden sebanyak 30 notaris dengan teknik non random sampling (suatu teknik pengambilan sample dimana peran peneliti sangat besar, semua keputusan terletak ditangan peneliti) berupa purposive sampling karena populasi mempunyai karakteristik yang sama, jadi dalam penelitian ini peneliti menentukan sendiri responden mana yang diangap mewakili populasi.

Disamping sumber data primer diatas, penelitian ini juga didukung dengan data sekunder, yang diperoleh dari sumber :

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tetang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat ra ahli hukum.

3. Bahan hukum tertier, yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

3. Alat Pengumpulan Data.

Alat pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah :

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

Penelitian kepustakaan diadakan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan dokumentasi lainnya yang bersifat studi dokumen.

b. Field Research (Penelitian Lapangan)

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara membuat daftar pertanyaan (kuesioner) dan wawancara.

4. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis secara yuridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi perihal batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum.

(20)

BAB II

PENGATURAN TENTANG BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM TATA HUKUM INDONESIA

A. Dalam Hukum Publik

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Hukum Pidana juga tidak mengenal istilah kecakapan melakukan perbuatan hukum, oleh karena tindak pidana dapat saja terjadi oleh dan terhadap siapapun tanpa melihat kecakapannya. Akan tetapi Hukum Pidana masih memperhatikan batas umur dari pelaku maupun korban pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana.

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa tercantum pada Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), dimana dari ketentuan ini dapat dilakukan penafsiran tentang beberapa batas umur kedewasaan menurut hukum pidana.

Pasal 45 KUHP menentukan :

Jika seorang anak yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan:atau menghukum anak yang bersalah itu.

Ketentuan diatas termasuk kedalam pengecualian, pengurangan dan penambahan hukum dalam hukum pidana.

Kemudian dalam Pasal 72 KUHP ditegaskan bahwa terhadap delik-delik aduan yang dilakukan oleh orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, maka yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah.

Pasal 292 KUHP :

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

(21)

Menurut R. Soesilo dalam bukunya “KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal” menyebutkan bahwa dewasa adalah telah berumur 21 tahun, juga sudah atau sudah pernah kawin.

2. Lain-lain

Sekilas dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan lainnya dalam lingkungan hukum publik mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum :

a. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

-Pasal 4 huruf h :

Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia (h) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.9

-Pasal 5 ayat (1) :

Anak Warga Negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

-Pasal 6 :

Ayat (1) : Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan

9

Dengan berlakunya Undang-undang Kewarganegaraan, penduduk Indonesia hanya digolongkan kedalam Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Sejalan dengan ketentuan pasal 4 huruf h diatas timbul pertanyaan kepada kita, apakah setiap WNI dapat mengakui anak?. Sebagaimana diketahui pengakuan terhadap anak luar kawin hanya dikenal dalam sistem hukum BW (lihat pasal 280 s/d 289) dan menjadi pertanyaan lagi; kepada siapakah berlaku hukum BW tersebut ?.

(22)

belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

Ayat (2) : Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.

Ayat (3) : Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

-Pasal 9 :

Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :

telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

b. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2003 tentang Partai Politik.

-Pasal 2 ayat (1) :

“Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (duapuluh satu) tahun dengan akta notaris”.

c. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.

-Pasal 13 :

“Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuhbelas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”.

-Pasal 41 :

Syarat untuk menjadi anggota PPK, PPLN, PPS, KPPS dan KPPSLN adalah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun.

-Pasal 60 :

Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat Warga Negara Republik Indonesia yang berumur 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih.

d. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

-Pasal 1 :

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

(23)

-Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 tentang

Peradilan Anak. -Pasal 4 ayat (1) :

Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun dan belum pernah kawin.

g. Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

-Pasal 1 angka 26 :

Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

-Pasal 68 menyebutkan :

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Ketentuan dimaksud dapat dikeculikan bagi anak berumur 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial, dengan syarat antara lain harus mendapat izin tertulis dari orangtua atau wali (Lihat pasal 69 ).

Anak yang berumur paling sedikit 14 tahun dengan syarat tertentu, dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan dan pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Lihat pasal 70).

-

B. Dalam Hukum Privat

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Ketentuan BW tentang kedewasaan diatur dalam Pasal 330 yang berbunyi :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian”.

(24)

Istilah kedewasaan harus dibedakan dengan istilah pendewasaan atau perlunakan (handlichting) sekalipun dengan lembaga ini bermaksud menjadikan orang belum dewasa menjadi dipersamakan dengan orang dewasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 419 BW, yang menyebutkan :

“Dengan melakukan perlunakan, seorang anak belum dewasa boleh dinyatakan dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu.”

Pendewasan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun, dengan ketentuan dalam hal perkawinan terhadap orang itu tetap berlaku ketentuan pasal 35 dan 37 BW yaitu untuk mengikat diri dalam perkawinan harus memperoleh izin dari orangtua atau wali. Sedangkan pendewasaan untuk dipersamakan dalam beberapa hal saja, dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri kepada seorang anak yang sudah mencapai umur 18 tahun.10

Batas umur dewasa menurut ketentuan BW adalah 21 tahun yang berarti telah dapat melakukan sendiri perbuatan hukum tanpa bantuan orang lain, akan tetapi terdapat beberapa ketentuan dalam BW yang memberikan hak kepada seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, yaitu :

- Untuk melangsungkan perkawinan seorang pria harus telah mencapai umur 18 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 15 tahun (Pasal 29) dengan ketentuan setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35) atau izin dari wali jika kedua orangtua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka (Pasal 37).

- Untuk pengakuan anak luar kawin oleh seorang laki-laki belum dewasa, diperbolehkan setelah laki-laki tersebut telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan pengakuan anak luar kawin oleh seorang perempuan belum dewasa tidak ada suatu pembatasan umur (Pasal 282).

- Untuk membuat surat wasiat, apabila sudah mencapai umur 18 tahun. Dalam Pasal 897 BW disebutkan para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat surat wasiat.

- Untuk bertindak sebagai saksi di pengadilan harus telah mencapai umur 15 tahun. Pasal 1912 BW, menyatakan orang-orang yang belum genap berusia lima belas tahun, begitu juga orang-orang yang ditaruh dibawah

10

(25)

pengampuan karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap ataupun selama perkara sedang bergantung, atas perintah hakim telah dimasukkan dalam tahanan, tidak dapat diterima sebagai saksi.

Dari ketentuan-ketentuan BW diatas, ternyata BW sendiri tidak konsisten mengenai penentuan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum, artinya terdapat keanekaragaman batas umur seseorang untuk dapat dikategorikan cakap melakukan perbuatan hukum, walaupun dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan segala perbuatan hukum berlaku ketentuan umum batas umur kecakapan yaitu 21 tahun, sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu oleh hukum diadakan beberapa pengecualian penentuan batas umur.

2. Hukum Adat.

Hukum adat ternyata tidak mengenal kriteria batas umur untuk menentukan kecakapan orang dalam melakukan perbuatan hukum, melainkan melihatnya dari tanda-tanda tertentu.

Hukum adat tidak mengenal pengertian minderjarig dan meerderjarig seperti dalam hukum perdata Barat guna menentukan kecapakan melakukan perbuatan hukum.

Mengenai minderjarig untuk golongan Bumiputera pernah di introdusir dengan Stb.1931/54 dengan mencabut Stb.1917/738, yang menentukan:

1. Apabila peraturan perundang-undangan memakai istilah belum dewasa, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan; segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur 21 tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah belum dewasa.

3. Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak. Kapan seseorang dianggap dewasa? Kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu (Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java” halaman 31.11

Ciri-ciri yang dimaksud Supomo dalam bukunya tersebut, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah : a. kuwat gawe (dapat / mampu bekerja sendiri).

artinya cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.

b. cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.

11

(26)

Hukum Adat Indonesia asli memperhatikan petunjuk-petunjuk kodrat alam dan secara berangsur-angsur memberikan kecakapan berbuat kepada orang muda menurut perkembangan jiwa raganya.12

Menurut Djojodiguno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Adat“, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah “mentas” atau mencar”)13

Selanjutnya Djojodiguno mengatakan bahwa menurut Hukum Adat Jawa, berakhirnya keadaan tidak lengkapnya status badan pribadi seseorang tidak digantungkan kepada keadaan dewasa dalam arti biologis, melainkan kepada keadaan mandiri dalam arti sosial, yaitu telah kawin dan (lagi pula) berumahtangga sendiri (Djojodigoeno-Tirtawinata; “Hukum Privat Adat Jawa-Pusat’,dalil 8 ).14

Ter Haar dalam bukunya “Beginsellen en Stelsel van het Adatrecht” ada menulis; bahwa seseorang sudah dewasa menurut hukum adat di dalam persekutuan-persekutuan hukum yang kecil adalah pada saat seseorang baik laki-laki atau perempuan apabila dia sudah kawin dan disamping itu telah meninggalkan rumah orangtuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah dan mendirikan kehidupan rumah keluarga sendiri.

Menurut hukum adat keadaan seseorang belum cukup umur itu adalah berakhir pada waktu berakhirnya dia sebagai anak rumah. Jadi seseorang itu sudah dewasa adalah pada saat dia tidak lagi menjadi anak rumah, tetapi sudah bisa bertindak sebagai kepala rumah tangga. Faktor ini adalah penting, sebab seseorang yang sudah kawin belum tentu sudah dewasa, kalau dia belum menjadi kepala rumah tangga. Karena mengenai hal ini dalam beberapa daerah lingkungan hukum orang yang baru kawin selama atau pada tahun-tahun pertama masih serumah dengan orangtua atau mertuanya dengan tujuan supaya mereka yang baru kawin itu mendapat milik sendiri pada waktu meninggalkan rumah orangtua/mertua untuk berumah sendiri dibelakang hari. Hal ini selalu disebut dengan Mencar (Jawa), Njayo (Karo).15

Kerampungan status badan pribadi dicapai orang Jawa pada saat ia mencapai status orang mandiri. Sedang orang mandiri ialah orang yang sudah kawin, lagipula sudah berumahtangga sendiri. Orang-orang yang

12

Iman Sudiyat, Op Cit halaman 76

13

Surojo, Op Cit halaman 104.

14

Iman Sudiyat, Op Cit halaman 76.

15

(27)

belum mencapai kerampungan status badan pribadi (orang belum mandiri) itu berangsur-angsur mencapai kecakapan berbuat.16

Di daerah Tapanuli/Batak, seseorang itu dianggap telah dewasa apabila sudah kawin dan sudah mengepalai rumah tangga sendiri yang disebut dengan nungnga manjae atau nungnga ditutung hudonna, dan yang belum dewsa disebut ndang ditutung dope hudonna atau ndang dope manjae.17

Di Aceh, untuk orang-orang yang masih onmondig (minderjarig), kecakapannya berbuat terbatas, tetapi batas-batasnya ditentukan menurut kepatutan; berakhirnya keadaan onmondig itu ditentukan “menurut akal sehat“18

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa mengenai kapan seseorang dikatakan dewasa sehingga ia cakap melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan orang lain, tidak ada ketegasan dalam hukum adat karena tidak diukur dari batas umur tetapi apabila ia telah benar-benar mandiri (lepas dari tanggungan orangtua) yang pada umumnya dilihat dari; apabila ia sudah kawin dan telah berumahtangga sendiri serta anggapan/perlakuan masyarakat terhadap orang tersebut.

3. Hukum Islam.

Dalam Hukum Islam, yang menjadi batas sehingga seseorang sudah melewati masa anak-anak dan sudah masuk kurun dewasa disebut baligh, dalam hal demikian seseorang sudah dapat dipandang sempurnya akalnya. Akil baligh itu bukan dilihat dari batas umur tertentu, melainkan dilihat dari tanda-tanda biologis, yaitu bagi anak laki-laki mulai datang mimpi (telah keluar air mani) dan bagi anak wanita telah datang masa kotornya (haid). Sejak saat itu orang dimaksud telah dikategorikan sebagai dewasa menurut agama Islam.

Oleh karena baligh sebagai tanda permulaan dewasa tidak dapat disamakan bagi semua orang karena permulaan haid tidak sama bagi semua wanita dan permulaan mimpi tidak sama bagi semua pria maka ditetapkan oleh jumhur ulama bahwa umur 15 tahun adalah permulaan baligh.19

4. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam menyangkut tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan, yang di dalamnya ada mengatur tentang batas umur dewasa.

16

Iman Sudiyat, Op Cit halaman 78.

17

Datuk Usman, Op Cit halaman 10.

18

Iman Sudiyat, Op Cit halaman 79.

19

(28)

Dalam Bab XIV tentang pemeliharaan anak, Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan :

“Ayat (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 Tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan.

Ayat (2) orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.

Ayat (3) pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.”

Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam diatas, maka dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Konsekuensi dari ketentuan batas umur dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu 21 tahun, terlihat dalam beberapa ketentuan selanjutnya mengenai kewajiban seorang wali dan akibat putusnya perkawinan baik karena talak maupun karena perceraian.

Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin (Pasal 111 ayat 1 KHI).

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yaitu 21 tahun (Pasal 158 huruf d KHI).

Demikian juga halnya dalam hukum kewarisan mengenai wasiat dan hibah ditentukan sebagai berikut :

Orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga (Pasal 194 ayat 1 KHI).

Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki (Pasal 210 ayat 1 KHI).

Pengecualian batas umur dewasa di atas adalah untuk perbuatan hukum melangsungkan perkawinan sekalipun dengan syarat harus mendapat izin dari orangtua, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi :

(29)

tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Ayat (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana di atur dalam pasal 6 Ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 tahun 1974.”

5. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mengenai pengaturan batas umur kapan seseorang itu dikatakan dewasa tidak ada suatu ketegasan dalam Undang-undang Perkawinan ini. Apabila diperhatikan isi dari Undang-Undang tersebut terdapat beberapa pengaturan batas umur dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu : Pasal 6 ayat (2) :

“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.”

Pasal 7 ayat (1) :

“Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.”

Pasal 47 :

“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.”

Pasal 48 :

“Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”

Pasal 50 ayat (1) :

“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.”

Dari pengaturan batas umur dalam melakukan perbuatan hukum seperti tersebut diatas, terdapat dua pasal mengenai penentuan dewasa yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47.

Memang, kalau kita perhatikan ayat (2) Pasal 6, seolah-olah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun dianggap sudah dewasa. Sehingga sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 6; anak yang sudah berumur 21 tahun tidak perlu lagi mendapat izin dari orangtua.

(30)

harus mendapat izin dari kedua orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Kalau sudah berumur 21 tahun tidak perlu izin dari kedua orangtua, karena orang yang telah mencapai umur 21 tahun sudah dianggap dewasa dan telah dapat menentukan kehendaknya tanpa izin dan setahu orang tua.20

Apabila ditarik kesimpulan sementara bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut hanya berlaku; khusus untuk melangsungkan perkawinan saja bukan berlaku umum untuk segala perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.

Membandingkan kedua bunyi ketentuan diatas pembuat Undang-Undang nampaknya membuat dua kategori tentang batas-batas kedewasaan seorang anak :

1. untuk melakukan perkawinan seorang anak dianggap sudah dewasa apabila telah berumur 21 tahun; sehingga anak yang melakukan perkawinan kalau sudah berumur 21 tahun tidak memerlukan izin dari kedua orangtua atau wali yang lain seperti yang diatur pada pasal 6 ayat 2 dan ayat seterusnya.

2. Anak yang sudah berumur 18 tahun keatas ataupun yang sudah kawin sebelum sampai umur 21 tahun (ingat batas umur untuk kawin 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan seperti yang ditentukan pada ayat (1) Pasal 7); dianggap sudah terlepas dari kekuasaan orangtua mereka 21.

Jadi dari keterangan diatas anak yang belum berumur 18 tahun atau yang belum kawin berada dibawah kekuasaan orangtua ( Pasal 47 ayat (1) ).

Dengan demikian orang yang sudah berumur 18 tahun lebih, kalaupun belum berumur 21 tahun :

a. telah lepas dari kekuasaan orangtua.

b. telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, didalam dan diluar pengadilan tanpa bantuan dan perwakilan orang tua.

c. Telah mampu dan berhak mengurus hak milik dan kepentingan sendiri tanpa bantuan dan perwakilan orangtuanya.

Jadi batas umur seseorang dikatakan dewasa untuk melakukan perbuatan hukum khusus melangsungkan perkawinan adalah 21 tahun, sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum umum diluar perkawinan seperti perbuatan hukum dalam bidang kebendaan dan perjanjian adalah 18 tahun.

6. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Jabatan Notaris, disebutkan :

20

M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co, Medan, 1975, halaman 200.

21

(31)

“(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan

b. Cakap melakukan perbuatan hukum.

(2)Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.”

Dengan demikian Undang-undang Jabatan Notaris telah dengan tegas menyebutkan bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun.

7. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1976 Nomor 477/Sip/1976 telah memutuskan yang intinya :22

“Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Undang-undang tentang Perkawinan) maka berdasarkan pasal 50 Undang-undang tersebut batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun”.

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari rabu, tanggal 13 Oktober 1976.

Putusan Mahkamah Agung tersebut sebagai yurisprudensi adalah merupakan sumber hukum formal.

Adapun yang dimaksud dengan yurisprudensi ialah rentetan keputusan hakim, yang sama bunyi tentang masalah yang serupa. Atau dengan kata lain yurisprudensi dapat berarti keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang dapat diikuti oleh hakim-hakim yang kemudiannya dalam perkara yang sama.

Dari hasil penelitian data kepustakaan tersebut, terutama dalam bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, diperoleh suatu gambaran yang jelas bahwa ternyata ditemukan keanekaragaman batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia.

Dari ketentuan-ketentuan hukum tersebut menunjukkan kepada kita bahwa terdapat 2 (dua) hal yang menjadi titik perhatian dalam kerangka teori hukum, yaitu :

1. Apabila dilihat dari satu sisi ketentuan hukum yang ada misalnya BW; ternyata ketentuan hukum tersebut tidak konsisten;

22

(32)

2. Apabila dilihat dari sisi antar ketentuan hukum; terdapat pertentangan antar peraturan yang berlaku di Indonesia.

Dalam konteks permasalahan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia tersebut diatas, maka asas-asas hukum yang tersedia untuk menjawabnya adalah :

1. Lex spesialis derogat legi generali (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum).

2. Lex posteriori derogat legi priori (undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama).

3. Lex superiori derogat legi inferiori (ketentuan yang lebih tinggi mengeyampingkan ketentuan yang lebih rendah).

Dengan asas hukum dimaksud, maka pertentangan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia memperoleh penyelesaian konflik sebagai berikut :

a. Konflik dalam satu sisi ketentuan hukum

Dalam beberapa ketentuan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum (misalnya dalam ketentuan hukum BW), menentukan batas umur secara umum adalah 21 tahun, tetapi untuk perbuatan khusus dibenarkan menyimpangi batas umur 21 tahun tersebut, Dalam hal yang demikian maka berlaku asas; ketentuan khusus tersebut mengeyampingkan ketentuan umum (Lex spesialis derogat legi generali).

b. Konflik antar ketentuan hukum

- Konflik antara ketentuan BW dengan Undang-undang Jabatan Notaris. Terdapat ketentuan yang berbeda mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam ketentuan BW dengan Undang-Undang Jabatan Notaris. Perbedaan ketentuan ini maka berlakulah asas; undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori).

Sampai disini yang berlaku atau yang dimenangkan adalah ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris.

- Konflik antara Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam, dasar hukumnya adalah Instruksi Presiden (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991) sedangkan Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)

(33)

BAB III

BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN.

A. Pembuatan Akta Notaris

Dalam pembuatan akta-akta notaris, notaris senantiasa harus berhadapan dengan pembuatan komparisi akta, artinya pembuatan bagian dari akta notaris yang menguraikan siapa yang berhadapan dengan notaris sekaligus menguraikan status penghadap dimaksud.

Orang yang menghadap dihadapan notaris disebut komparan, dituangkan dalam komparisi yang merupakan bagian dari kepala akta. Dewasa ini perkataan “komparisi” dapat kita artikan sebagai: cara bagaimana merumuskan dengan kalimat-kalimat yang jelas dalam kualitas apa seseorang itu menghadap notaris agar dapat dengan jelas diketahui siapa yang menjadi subjek hukum yang terikat atas akibat hukum yang timbul dari perjanjian, penetapan atau pernyataan yang dimuat dalam akta tertentu.23

Dari ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris tersebut jelas secara normatif bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun dan penghadap harus dikenal oleh notaris.

Mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan, sesuai dengan hasil penelitian penulis dapat disampaikan sebagai berikut :

Hasil penelitian ini diperoleh di Kota Medan dengan mengajukan pertanyaan melalui kuesioner kepada sejumlah notaris dengan tempat kedudukan di Kota Medan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan bahwa jumlah notaris yang bertempat kedudukan di Kota Medan posisi per-bulan Agustus 2007 berjumlah 260 orang notaris. Dengan demikian populasi penelitian ini adalah 260 notaris.

Dari 260 notaris tersebut diambil sampel sebanyak 30 notaris yang dianggap telah dapat mewakili pendapat dari seluruh notaris di Kota Medan.

Sesuai dengan hasil kuesioner kepada 30 notaris di Kota Medan mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan, dengan pertanyaan :

• Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal 19 ayat 1 huruf a disebutkan “Penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah”, Apakah ketentuan batas umur 18 tahun tersebut telah Saudara terapkan dalam praktek pembuatan akta ?.

23

(34)

Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya (100%) menjawab “Ya”.

Dari jawaban 30 notaris tersebut menunjukkan bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan adalah 18 tahun yaitu sesuai dengan ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris.

• Sejak kapankah Saudara mengetahui bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun ?.

Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya (100%) menjawab “Mengetahuinya sejak berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”.

Sebenarnya sebelum berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris tersebut juga telah terjadi polemik diantara para praktisi hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum terutama setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang Perkawinan sekalipun tidak secara tegas menyebutkan batas umur dewasa, namun dengan memperhatikan pasal 47 dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dengan pengakhiran kekuasaan orangtua berarti memberikan kepada anak itu status dewasa (artinya telah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain).

Ketidaktegasan batas umur dewasa dalam Undang-undang Perkawinan tersebut maka para praktisi hukum tetap memberlakukan batas umur 21 tahun (menurut KUHPerdata) untuk dikatakan dewasa.

• Apakah ketentuan batas umur 18 tahun tersebut Saudara berlakukan terhadap semua jenis pembuatan akta?

Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya (100%) menjawab “Tidak”, dimana untuk akta-akta perbuatan hukum tertentu yaitu akta-akta mengenai perbuatan hukum yang menyangkut pertanahan seperti akta pelepasan hak atas tanah, akta pengikatan jual beli, akta kuasa dan lain-lain, dalam praktek notaris di Kota Medan tidak memberlakukan batas umur 18 tahun melainkan 21 tahun.

Fakta ini tentunya terjadi sebagai akibat dari keanekaragaman ketentuan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum yang berlaku di Indonesia.

(35)

Putusan Mahkamah Agung mengenai batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun bukan 21 tahun, yang selengkapnya isinya sebagai berikut (fotocopy surat mana ada disimpan penulis) :

“Sehubungan dengan persoalan mengenai batas umur dewasa bagi seseorang yang sering Saudara tanyakan baik dalam Raker maupun dengan surat kepada kami, maka dengan ini kami beritahukan, bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1976 Nomor 477/Sip/1976, bahwa umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun.

Dengan demikian Putusan tersebut dapat Saudara pergunakan sebagai pegangan dalam melaksanakan tugas Balai Harta Peninggalan selaku wali Pengawas, dan untuk jelasnya bersama ini kami lampirkan salinan dari Putusan Mahkamah Agung tersebut.”

Sesuai dengan hasil wawancara dengan Syafruddin (staf Kantor Pertanahan Kota Medan), mereka tidak menerima atau menolak permohonan pendaftaran tanah apabila terdapat data yuridis berupa akta notaris yang dilakukan oleh penghadap yang belum mencapai umur 21 tahun.

Alasannya adalah berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1977 tentang Pedoman Pengisian Akta Jual Beli, Badan Pertanahan Nasional sub 6a :

“Pengertian cakap melakukan tindakan hukum adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah sebelum 21 tahun”.

Pedoman ini menjadi acuan bagi Kantor Pertanahan terhadap seluruh akta-akta yang menyangkut pertanahan sehingga tidak melayani permohonan pendaftaran tanah apabila penghadap dalam pembuatan akta notaris tersebut belum mencapai umur 21 tahun.

Akta-akta notaris yang berkaitan dengan pertanahan seperti akta pelepasan hak atas tanah, akta pengikatan jual beli dan akta kuasa dalam prakteknya, Kantor Pertanahan tidak menerima dan atau menolak akta tersebut jika para penghadap belum berusia 21 tahun, berarti Kantor Pertanahan dengan Peraturan Menteri Agraria diatas lebih jauh berpedoman kepada ketentuan BW (Burgelijk Wetbook) mengenai kedewasaan.

(36)

tegasnya mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat dijadikan dasar pengaturannya.

Kalau ditelusuri lebih jauh, hukum pertanahan kita justru bersandar kepada hukum adap bukan kepada hukum produk kolonial (BW).

Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 menyebutkan; Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Menurut hemat penulis, jika hukum adat sendiri tidak ada mengatur mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum, sedangkan Undang-undang Jabatan Notaris telah mengatur dengan tegas (18 tahun) sebagai hukum produk legislatif nasional, mengapa Kantor Pertanahan masih mengacu kepada BW (21 tahun) sebagai hukum produk legislatif kolonial ?, Apalagi Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional secara hirarkis kedudukannya jauh berada dibawah Undang-undang.

Menghadapi fakta seperti, notaris secara orang perorangan tentunya selalu memberikan argumen hukum kepada Kantor Pertanahan, akan tetapi Kantor Pertanahan selalu tetap pada pendiriannya seperti dikemukakan diatas. Dalam kejadian seperti ini notaris hanya mengambil sikap dengan mengikuti kehendak Kantor Pertanahan.

Memang harus diakui, tidak satu pun ketentuan hukum khusus secara umum dan tegas menetapkan cakap melakukan perbuatan hukum yang dikaitkan dengan unsur dewasa secara yuridis dan unsur umur secara biologis sehingga dianggap secara normal mempunyai kematangan berpikir dan kemampuan menyadari sepenuhnya tindakan dan akibatnya. Namun, sebaliknya kita hanya dapat melihat tujuannya, yaitu untuk melindungi anak di bawah umur yang tidak patut menerima akibat hukum.

Perbedaan ketentuan cakap melakukan perbuatan hukum, karena dewasa menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.

(37)

pertanahan untuk penghadap yang berumur 18 tahun, tentu tidak akan diterima ketika akta tersebut didafatarkan di Kantor Pertanahan, karena subyek hukum belum mencapai umur 21 tahun.

Konflik hukum tersebut seharusnya dapat diselesaikan dengan cara berfikir hukum sehingga konstelasi hukum menjadi satu sistem yang sinkronisasi dan konsistensi, dalam hal ini menurut Alvi Syahrin, “perbuatan hukum anak yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat persetujuan dari orangtua atau walinya”.

Dengan demikian kecakapan seseorang yang dikaitkan dengan kemampuan bertindak dalam hukum pertanahan bersandar kepada ketentuan Pasal 452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mental atau sifat pemborosan atau karena pailitnya subyek hukum.

Konsekuensinya bahwa setiap perbuatan hukum hak atas tanah yang diperbuat oleh orang yang mempunyai kedudukan di bawah pengampuan dapat dibatalkan demi hukum. Kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan mengatakan perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi batal.

• Dalam pembuatan akta-akta notaris, penghadap harus dikenal oleh notaris. Untuk mengenali penghadap khususnya menyangkut nama dan batas umur dari orang yang datang menghadap notaris, tanda pengenal apakah yang Saudara pergunakan/yang diminta kepada penghadap?.

Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya (100%) menjawab “Kartu Tanda Penduduk (KTP)”, dengan tidak menutup kemungkinan memakai Surat Izin Mengemudi (SIM), Paspor atau tanda pengenal lainnya.

(38)

seharusnya dengan melihat akta kelahiran dari penghadap, namum dalam praktek sulit sekali untuk minta diperlihatkan akta kelahiran seseorang, karena hal ini dianggap pertanda ketidakpercayaan notaris terhadap bukti formal KTP yang diperlihatkan. Disamping ketersinggungan penghadap, maka permintaan untuk meperlihatkan akta kelahiran juga dianggap telah menyentuh urusan pribadi penghadap. Menjadi dilematis bagi notaris secara praktis bilamana harus mengejar kebenaran materil dari umur seorang penghadap, karena notaris sebagai pelayan jasa hukum harus memberikan pelayanan dengan tetap menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dari notaris memerlukan pelayanan yang cepat dan praktis. Namun demikian walaupun notaris masih bisa membela diri dengan alasan adanya bukti formal tapi kalau menurut naluri notaris ada indikasi penyeludupan umur pada KTP, kiranya harus tetap ditindaklanjuti demi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak.

Selain tanda pengenal KTP, tentunya notaris masih mempergunakan tanda pengenal lainnya seperti SIM, Paspor dan lain-lain. Tanda pengenal selain KTP, biasanya dipergunakan notaris apabila penghadap tidak membawa KTP atau membawa KTP tetapi sudah jatuh tempo/tidak berlaku lagi.

B. Akibat Hukum – Dapat Dibatalkan

Untuk mengetahui akibat hukum dari perbuatan hukum orang yang belum dewasa, dapat kita lihat dari pasal 1446 KUHPerdata, yang menyebutkan :

Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.

(39)

pada umumnya. Pasal 1331 KUHPerdata memberikan dukungan yang kuat untuk pendapat seperti itu.24

Pasal 1331 KUHPerdata menyebutkan :

Karena itu orang-orang yang didalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.

Dalam hal, atas dasar ketidakcakapan salah satu pihak dalam perjanjian, perjanjian itu dituntut pembatalannya dan kemudian dibatalkan oleh hakim, maka berdasarkan pasal 1451 KUHPerdata, para pihak harus dikembalikan pada posisi sebelum perjanjian itu dibuat. Berdasarkan pasal tersebut hal itu berarti bahwa apa yang telah diserahkan atau dibayarkan kepada sitidakcakap, harus dikembalikan, karena telah dialihkan kepada orang lain, maka nilai prestasi itu bisa dituntut kembali, asal dibuktikan bahwa sitidakcakap telah mendapat manfaat daripadanya, atau kalau benda itu oleh itu telah habis digunakan atau dikonsumir, harus dibuktikan bahwa apa yang dipakai atau dikonsumir itu berguna bagi sitidakcakap.

24

(40)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum yang berlaku di Indonesia ternyata tidak sama/seragam baik dilihat dari satu sisi ketentuan hukum yang ada; misalnya Hukum Perdata Barat (BW) ternyata ketentuan hukum tersebut tidak konsisten, maupun dilihat dari sisi antar ketentuan hukum misalnya antara ketentuan Hukum Perdata Barat dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ternyata terdapat perbedaan antara ketentuan hukum tersebut. Kondisi keanekaragaman ketentuan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum tersebut berakibat pada timbulnya perbedaan persepsi dan penerapan hukum oleh aparat penegak hukum maupun pelayan jasa hukum seperti notaris, yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam putusan Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusannya tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Sip/1976 telah memutuskan; dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maka berdasarkan Pasal 50 Undang-undang tersebut batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun bukan 21 tahun. Putusan Mahkamah Agung ini sekalipun tidak dengan tegas menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun berarti telah cakap melakukan perbuatan hukum, namun dengan tidak lagi berada dibawah kekuasaan perwalian secara inplisit dipandang telah dewasa sehingga tidak lagi memerlukan bantuan orang lain dalam melakukan perbuatan hukum.

Dari berbagai pengaturan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum diatas, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Maka dapat disimpulkan bahwa permainan tebak gambar dan teknik tipe Think Pair Share (TPS) terhadap penguasaan kosakata bahasa Mandarin mempunyai pengaruh yang

Untuk memastikan hal tersebut, penulis juga mewancarai salah seorang Pendaping PKH yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Pendamping PKH di Kecamatan Tanjung untuk

Jenjang Pendidikan Kepala Desa % kriteria SMP 77,2 Tinggi SMU 73,8 Tinggi Sarjana 74,1 Tinggi Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator tentang

Berdasarkan hasil identifikasi masalah, maka masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu berkaitan dengan Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning

Tiada alasan lagi bagi remaja untuk berkahwin; bagi ibu bapa untuk membenarkan anak-anak mereka mendirikan rumah tangga; dan bagi masyarakat untuk memandang berkahwin adalah

Pendayagunaan harta benda wakaf di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Trenggalek yang berbentuk sarana kegiatan ibadah, sarana kegiatan pendidikan, sarana

atas kegiatan yang dilakukan guru dan siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Lembar observasi

Nilai Adjusted R 2 sebesar 0,379 menunjukkan bahwa besarnya pengaruh secara simultan X1, X2, X3 dan Y1 terhadap Y2 sebesar 37,9%, besarnya angka ini menunjukkan hubungan