• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Dengan Kavum Nasi Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Dengan Kavum Nasi Normal"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR

HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

MAKSILA KRONIS DENGAN

KAVUM NASI NORMAL

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu

Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Oleh :

YANTI FITRI YASA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Lembaran Pengesahan

Tanggal 14 Juni 2008

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh:

Pembimbing 1

Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) NIP: 140 154 798

Pembimbing 2

dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K) NIP: 130 422 449

Pembimbing 3

dr. Hj. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL(K) NIP: 140 193 139

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Alhamdulillahirabbil'alamin, saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah, Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Surnatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dan sempuma baik isi maupun bahasannya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dibandingkan kavum nasi orang normal. Dan saya akan menerima dengan senang hati semua saran dan kritik dari para ahli dan pembaca sekalian demi kesempurnaan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada Rektor Universitas Surnatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Surnatera Utara Medan.

(4)

Sutomo Kasiman, dr, SpPD, SpJP(K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-I di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

(5)

Yang terhormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru saya dijajaran THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr, SpTHT-KL(K), dr. Asroel Aboet, SpTHT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL(K), dr. Linda I Adenin, SpTHT-KL, dr. Hafni, SpTHT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL, dr.Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina YM Rambe, SpTHT-KL, dr. Harry Agustaf A, SpTHT-KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr. T.Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, dr. Aliandri, SpTHT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL, baik secara teori maupun ketrampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih atas pendidikan dan pengajaran yang telah diberikan kepada saya dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan ilmu yang diberikan kepada saya.

(6)

Yang terhormat Direktur dan seluruh staf THT-KL di RSUD Lubuk Pakam, RS PTP 11 Tembakau Deli Medan, Rumkit DAM-I/ Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.

Yang Mulia Ayahanda H. Jachnis dan ibunda Hj. Zulhelmi, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan segala perjuangan yang tiada henti dengan penuh kasih sayang dalarn mengasuh, membesarkan dan membimbing semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada agama,orang tua, bangsa dan negara. Doa ananda semoga Allah SWT memberi kebaikan yang berlipat ganda, mengampunkan segala dosa, serta mengasihi papa dan mama seperti papa dan mama telah mengasihi dan menyayangi ananda sejak kecil. Amin ya Rabbal Alamin.

Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada anakku tersayang Kevin Rayhan Yandika dan Nabila Jihan Yandika yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi bunda ketika cobaan hidup terberat datang selama menjalani pendidikan ini. Anak-anakku, karena dirimu, bunda mendapatkan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Tiada kata yang dapat bunda ucapkan selain ungkapan rasa cinta kasih yang setulus-tulusnya untuk anakku tersayang. Bunda akan selalu bersamamu. Amiin.

(7)

agama kita, serta terus membina kerukunan keluarga dan rasa saling mengasihi di masa-masa mendatang. Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendiclikan keahlian Ilmu Kesehatan THT Beclah Kepala Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga clapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.

Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya menjalani pendidikan ini saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, bimbingan, motivasi, dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal Alamin.

(8)

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL

ABSTRAK

Pendahuluan : Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius yang kemudian dikenal sebagai sistem mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Agar tercapainya tujuan tersebut, transport mukosiliar harus baik. Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dipergunakan uji sakarin.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal.

Metode : Menggunakan metode quasi eksperimental. Sampel penelitian adalah kelompok penderita yang secara klinis didiagnosis rinosinusitis maksila kronis sebanyak 24 orang dan orang dengan kavum nasi normal sebagai kontrol sebanyak 24 orang. Semua sampel dilakukan uji sakarin. Dengan menggunakan stopwatch dilihat waktu transportasi mukosiliar. Semua data diolah dan dianalisis secara statistik dengan bantuan program window SPSS (Statistical Program for Social

Science) versi 15 dan diuji statistik menggunakan t-independent.

(9)

Diskusi / Analisis : Nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis adalah 20,86 (SD ± 2,14) menit dan kontrol adalah 9,49 (SD ± 0,75) menit. Berdasarkan hasil uji t-independent didapatkan nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik sebanyak 12,51 menit.

(10)

Abstract

Introduction : The physiological nasal functions are as a filter and the first line of

immunological defense. The important mechanism defense are result from cilia of

respiratory epithelial cells, goblet cells and mucous blanket, also known as

mucociliary system. The succes of mucociliary system as a nasal and paranasal

local defense mechanism depends on mucociliary clearance. The transport of

mucociliar should be good for achieving a succes of mucociliary system. Saccharin

test is a simple method in asessing nasal mucociliary clearance.

Purpose : To compare mucociliary transport time in normal people with chronic

maxillary sinusitis

Method : The statistical method is using the Quasi experimental. The sample is

chronic maxillary sinusitis patient (24) and normal people as control group (24). All

the samples have done saccharin test. Stopwatch is using to observe the time of

mucociliar transport. All the data is analyzed statistically by using SPSS (Statistical

Program for Social Science) version 15 and t-independent test.

Result : There is significant difference between mucociliary transport time on

chronic maxillary sinusitis patients and normal people.

Discussion / analysis : Mean of the transport mucociliar from the chronic maxillary

sinusitis patient is 20.86 (SD ± 2.14) minute and mean of control group is 9.49 (SD

± 0.75) minute. P<0.05 is result from t-independent test. It means there is a

significant difference (12.51) minute.

(11)

DAFTAR ISI

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar ... 14

(12)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN ... 31

4.1. Rancangan Penelitian ... 31

(13)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Penampang mukosa hidung ... 5

GAMBAR 2.2 Lapisan epitel mukosa respiratorius ... 6

GAMBAR 2.3 Potongan melintang silia ... 7

GAMBAR 2.4 Pola gerak silia ... 8

GAMBAR 2.5 Skema siklus perkembangan sinusitis kronis ... 28

GAMBAR 2.6 Distribusi berdasarkan jenis kelamin ... 37

GAMBAR 2.7 Distribusi berdasarkan kelompok umur ... 38

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1.1 Hasil pemeriksaan nasoendoskopi kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis ... 39 Tabel 5.1.2 Hasil uji T independent rata-rata waktu transportasi

mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kontrol ... 40 Tabel 5.1.3 Hasil uji T independent rata-rata waktu transportasi

mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis berdasarkan jenis kelamin ... 41 Tabel 5.1.4 Distribusi rata-rata waktu TMS (menit) berdasarkan keadaan

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu, bakteri-bakteri dan virus yang dilakukan oleh silia dan palut lendir. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius dikenal sebagai sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar merupakan barier pertama dari sistem pertahanan tubuh antara epitel dengan virus / bakteri dan benda asing lainnya (Ballenger, 1996; Mc Caffrey, 2000).

Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur, yang bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke kavum nasi menuju nasofaring, orofaring dan selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung. Dengan demikian mukosa mempunyai kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Sun, 2002).

(16)

Transportasi mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang disebabkan oleh perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Waguespack, 1995; Sakakura, 1997).

Banyak kelainan atau keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi sinus paranasal, terganggunya clearance mukosiliar dan local immune defences (Ig A, Ig M, Ig G, kompleks komplement dan lekosit). Ini semua dapat merupakan faktor-faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis. Rinosinusitis adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit ini selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Patofisiologinya merupakan suatu lingkaran dari suatu infeksi, pelepasan mediator, kerusakan jaringan dan hipersekresi, gangguan sistem mukosiliar dan superinfeksi kembali (Ballenger, 1996; Weir, 1997).

(17)

Di Departemen THT-KL RSUP HAM penelitian tentang transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila belum pernah dilaporkan dan belum pernah diteliti.

Alasan-alasan diatas merupakan hal yang mendorong untuk ditelitinya transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis.

b. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kavum nasi normal.

c. Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinusitis maksila kronis.

(18)

1.4 Manfaat Penelitian

a. Dapat mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dibandingkan kavum nasi normal. b. Sebagai tambahan untuk memantau paska tindakan atau pengobatan

rinosinusitis.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Mukosiliar 2.1.1. Histologi mukosa

Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda. Pada gambar 2.1, tampak di bawah lapisan kelenjar profunda yaitu periosteum dan tulang (Mygind, 1981).

Gambar 2.1.Penampang mukosa hidung (Mygind, 1981) 2.1.1.1 Epitel

(20)

Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Gambar 2.2). Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Weir, 1997).

(21)

Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger, 1996; Higler, 1997; Weir, 1997).

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak di dalam silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Weir, 1997).

(22)

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active

stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan

ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino

(metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Pada gambar 2.4

menyebabkan pola gerak silia dengan frekwensi denyut (ciliary beat frequency)

sebesar 1000 getaran per menit (Ballenger, 1996).

Gambar 2.4 Pola gerak silia (Ballenger, 1996)

(23)

Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 µm dan diameternya 0,1 µm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996).

2.1.1.2. Palut Lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol

layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket.

Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996; Weir, 1997; Lindberg, 1997).

(24)

tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1996; Weir,1997).

Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura,1994).

2.1.1.3. Membrana basalis

Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind, 1981).

2.1.1.4. Lamina Propria

(25)

ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind, 1981; Ballenger, 1996).

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996; Lindberg, 1997).

2.1.2. Transportasi Mukosiliar

Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transport mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar (Weir, 1997).

(26)

masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit (Amedee, 1993; Ballenger, 1996; Nizar, 2000).

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Higler, 1997).

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Higler, 1997).

(27)

2.1. 3. Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack, 1995; Jorissen, 2000).

Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974 dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring (Mahakit, 1994; Waguespack, 1995; Jorissen, 2000).

(28)

untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria. Irawan (2004) dalam penelitiannya mendapatkan nilai normal 14,31 menit. Yan (2007) dalam penelitiannya mendapatkan 541,6250 detik.

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi transportasi mukosiliar

Sakakura membagi disfungsi mukosiliar hidung akibat kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid (Sakakura, 1997)

Waquespack menuliskan keadaan yang mempengaruhi transportasi mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan operasi (Waguespack, 1995).

a. Kelainan kongenital

Diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan / ketiadaan lengan dynein, ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel basal abnormal, dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60 menit (Al-Rawi, 1998)

(29)

disorientasi arah pukulan/denyut. Sering juga disebut dengan sindrom silia immotil. Gangguan pada transportasi mukosiliar menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasi dan sinusitis (Weir, 1997)

Fibrosis kistik dan sindrom Young juga merupakan kelainan kongenital yang dihubungkan dengan sinusitis kronis atau rekuren. Ultrasruktur silia pada kelainan ini terlihat normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan (viskositas) dari palut lendir (Weir, 1997)

b. Lingkungan

Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut silia bekerja normal pada pH 7-9. Elynawati dkk dalam penelitiannya terhadap pekerja pabrik kayu mendapatkan waktu transportasi mukosiliar yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pekerja adalah 12,16 menit (SD 4,05) dibanding kelompok kontrol adalah 6,21 menit (SD 1,26) (Elynawati, 2002)

c. Alergi

(30)

d. Fisiologis / Fisik

Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak didapat perbedaan transportasi mukosiliar berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Soedarjatni terhadap penderita DM didapatkan kecepatan transportasi mukosiliar 10,51 mm/menit yang berbeda bermakna disbanding kelompok kontrol yaitu 16,39 mm/menit (Soedarjatni, 1993).

e. Obat-obatan

Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam hipertonik (NaCI 0,9 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot, 1997).

(31)

Scadding dkk pada pasien rinosinusitis kronis yang diberikan antibiotik dalam waktu lama (2 minggu dosis penuh dan 10 minggu dosis setengah) mendapatkan perbaikan frekwensi denyut silia dari 9,3 Hz menjadi 13,7 Hz (Scadding, 1995).

f. Struktur dan anatomi hidung

Kelainan struktur / anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Rautiainen, 1994; Weir, 1997; Clerico, 2001).

g. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel-sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia (Waquespack, 1995; Clerico, 2001).

(32)

Czaja (1996) dkk pada binatang dengan sinusitis kronis ternyata terdapat peningkatan frekwensi denyut silia setelah antrostomi meatus medius dari 8,6 Hz menjadi 12,9 Hz.

Sakakura (1994) melaporkan transportasi mukosiliar pada sinusitis kronis adalah 31 menit yang secara signifikan lebih lambat dibanding kontrol normal. Kecepatan transportasi mukosiliar adalah 1,8 mm/menit, sedangkan pada orang normal adalah 5,8 mm/menit. Dari analisis dengan skintigrafi didapatkan peningkatan viskoelastisitas palut lendir, sedangkan silia mukosa hidung tidak jauh berbeda dari normal.

Torkkeli (1994) dkk dengan metode radioisotope mendapatkan 13 dari 19 pasien sinusitis mempunyai angka kecepatan transportasi mukosiliar kurang dari 3 mm/menit (0,7-2,7:mean 1,8 mm.menit). Kelainan ultrastruktur silia lebih banyak dijumpai pada pasien dengan kecepatan transportasi mukosiliar yang rendah, seperti lengan dynein pendek, silia kembar, anamoli tubular, dan disorientasi.

Joki (1998) dkk melakukan penelitian pada 44 pasien sinusitis kronis dan rekuren. Rata-rata frekwensi denyut silia seluruh sampel adalah 9,1 Hz (SD 5,4) yang lebih rendah dibanding orang normal (11-16 Hz). Nuutinen (1993) dkk dalam penelitian terhadap 150 pasien sinusitis kronis mendapatkan 23% silia tidak bergerak.

2.2. Sinus Maksila

2.2.1. Embriologi dan Perkembangan

(33)

sebagai cekungan ektodermal yang terletak dibawah penonjolan konka inferior. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih ke arah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertikal, dan 3 mm anteroposterior pada tiap tahun. Pada usi 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian akan berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti pada saat erupsi gigi (Lund, 1997).

2.2.2. Anatomi Sinus Maksila

Merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapat pada daerah tulang maksila pada tiap sisi kavum nasi. Bentuk sinus maksila ini adalah piramid dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomattikus dari maksila atau ke arah tulang zygoma (Ballenger, 1994; Lund, 1997).

Sinus ini mempunyai beberapa dinding yaitu :

(34)

2. Radiks sinus maksila adalah dinding orbita maksila yang tipis. Bidang tulang ini memisahkan sinus di bawah dari orbita dan isinya, di atas nervus infraorbitalis dalam krista tulang berjalan sepanjang atap orbita dan mengeluarkan isinya ke dinding depan. Kanalis membawa nervus dan arteri infraorbitalis dari fissura orbitalis inferior ke foramen infraorbitalis pada wajah. Pada potongan tulang kanalis kecil tampak keluar dari kanalis infraorbitalis, menuju ke dasar sinus yang terletak di atas apeks akar premolar. Kanalis ini membawa cabang-cabang nn. dan aa. alveolaris superior posterior ke gigi-gigi premolar.

3. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila. Kanalis infraorbitalis keluar dari atap sinus ke dinding anterior, berjalan sedikit turun dan kemudian keluar ke wajah bersama isinya. Tepat sebelum keluar, kanalis sinus meninggalkan kanalis infraorbitalis, membawa nn. alveolaris superior anterior dan pembuluh darah. Saraf dan pembuluh melewati daerah apikal insisivus dan kaninus superior.

4. Dinding medial atau nasalis, adalah pemisah umum antara kavum nasi dan sinus maksila. Dinding terbentuk terutama dari maksila yang memiliki daerah cekungan besar yang disebut hiatus maksila. Menutupi bagian hiatus maksila adalah sebagian dari lamina perpendikularis ossis palatini, sepotong os. lacrimalis, dan sebagian konka inferior. Jadi, sisa orifisium ke kavum nasi adalah kecil dan akan menjadi lebih kecil karena tertutup mukosa nasalis. Oleh karena itu, ostium adalah relatif kecil, yang menuju ke hiatus semilunaris dari meatus medius hidung.

(35)

6. Dasar sinus maksila terletak lebih bawah dari tinggi kavum nasi ke prosessus alveolaris. Radiks molar primer dan sekunder mungkin terletak dekat dengan dasar sinus seperti juga radiks molar tertier, premolar maupun kaninus. Kadang-kadang radiks dentis molar superior menonjol ke sinus, dan dipisahkan dengan sinus hanya oleh mukosa antrum yang tipis (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

2.2.3. Pendarahan

Sinus maksila diperdarahi oleh arteri kecil yang langsung menembus dinding tulang, sebagian besar berasal dari cabang arteri maksila, fasial, infraorbita dan palatina. Pada daerah ostium sinus maksila terdapat arteri besar yang merupakan cabang arteri yang merupakan cabang arteri yang berasal dari konka inferior. Pembuluh vena berjalan bersama arteri dan berasal dari vena fasialis anterior dan pleksus pterigoid (Lund, 1997).

Darah dari sinus maksila dialirkan ke v.infraorbita, v.supraorbita, pleksus venous lakrimalis dan juga berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus, vena fasialis, dan vena sinus sphenoid. Aliran darah rata-rata pada mukosa sinus maksila sebesar 125 ml/100 gr jaringan/menit yang lebih besar dari aliran pada otot, otak dan ginjal (Ballenger, 1994; Higler, 1997)

2.2.4. Persarafan

(36)

2.2.5. Kompleks Osteomeatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga diantara konka media dan lamina papiracea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Nizar, 2000; Soejipto dan Mangunkusumo, 2000). Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Umumnya, ostium adalah saluran yang panjangnya 3 mm atau lebih. Serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah biasanya masuk ke dalam sinus melalui ostium atau bagian dinding nasoantral yang terbentuk dari membran (Ballenger, 1994).

a. Prosesus unsinatus

Prosessus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dindig lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum. Sisi belakang prosesus unsinatus merupakan sisi yang bebas. Ke arah atas ia dapat melekat pada lamina papirasea, sinus etmoid atau konka media (Nizar, 2000).

b. Bula etmoid

(37)

seperti gelembung yang melekat pada lamina papirasea. Permukaan depan bula etmoid dan tepi bebas dari bagian posterior prosesus unsinatus membentuk hiatus semilunaris yang merupakan ‘outlet” dari infundibulum (Nizar,2000).

c. Infundibulum etmoid

Bentuk infundibulum seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinfero lateralnya terdapat ostium natural sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka ke arah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar,2000).

d. Resesus frontal

Resesus frontal adalah daerah anatomi dengan batas anterior yaitu dinding depan sel agger nasi dan meluas ke belakang berbatasan dengan a.etmoid anterior atau perlekatan bula pada dasar otak. Di bagian lateral dibatasi oleh lamina papirasea dan di bagian medial oleh konka media. Perlekatan bagian superior prosesus unsinatus menentukan pola drenase sinus frontal (Nizar,2000).

e. Sel agger nasi

(38)

resesus frontal. Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas ke dalam dasar sinus frontal menyebabkan ostium sinus frontal (Nizar,2000).

Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium natural sinus maksila yang terdapat di bagian posterior dari infundibulum. Ostium natural sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid (Nizar, 2000).

2.2.6. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : (Amadee, 1993; Becker, Naumann, Platz, 1994).

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertyukaran udara total dalam sinus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

(39)

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1 % dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

2.2.7. Transportasi Mukosiliar Sinus Paranasal

(40)

seromukosa di lapisan tunika propria memproduksi palut lendir yang menyelimuti seluruh mukosa. Sinus maksila normal akan memperbaharui palut lendir setiap 20-30 menit. Palut lendir ini akan didorong oleh silia yang mempunyai gerakan teratur menuju ostium alami. Jalannnya mengikuti jalur tertentu yang ditentukan secara genetik. Transportasi mukosiliar di sinus maksila berawal dari dasar, aliran berbentuk bintang menuju ke semua arah di dinding sinus untuk berakhir di ostium alami di bagian posterosuperior.

2.3. Rinosinusitis 2.3.1. Definisi

Sinusitis merupakan suatu keadaan inflamasi pada sinus paranasal. Sebagian besar kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan meluas ke rongga sinus, ataupun dapat terjadi sebaliknya, inflamasi tersebut didahului di daerah sinus kemudian meluar ke rongga hidung. Beberapa ahli mengadopsi terminologi rinosinusitis adalah menggambarkan kondisi patologis pada hidung dan sinus karena sangat dekat kaitannya (Marks, 2000).

Berdasarkan waktu, respons terapi dan banyaknya serangan dalam satu tahun, maka dikatakan rinosinusitis kronik apabila terjadi inflamasi sinus yang menetap lebih dari 8 minggu yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi, 4 minggu setelah pengobatan dan tidak disertai dengan serangan akut (Draf, 1995).

2.3.2. Kekerapan

(41)

juta kunjungan ke dokter selama tahun 1995. Diperkirakan 31-35 juta penduduk menderita rinosinusitis setiap tahunnya. Sekitar 15% penduduk Amerika diperkirakan menderita rinosinusitis kronik. Pada subbagian rinologi THT FKUI/ RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu sebanyak 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996 (Mangunkusumo,2001).

Di RSUP H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari Januari 2006 – Maret 2008 adalah 1917 orang.

2.3.3. Patofisiologi

Fungsi ventilasi dan drainase sangat penting untuk menjaga kondisi sinus tetap normal. Hal ini sangat ditentukan oleh keadaan kompleks osteomeatal. Ostium harus terbuka, silia harus berfungsi secara efektif, dan pengeluaran sekret harus normal. Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi lendir dan menurunkan kandungan oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa. Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. Menurut fisiologisnya, kelainan sinus yang utama yang mengakibatkan rinosinusitis adalah karena terjadinya edema mukosa atau penghalang mekanis yang mengakibatkan tertutupnya kompleks osteomeatal (Clerico, 2001; Branovan, 2004).

(42)

lendir hidung non alergi. Faktor sistemik meliputi ciliary dyskinesia syndrome, cystic

fibrosis, dan defisiensi imunologis. Pada keadaan infeksi dan inflamasi dilepaskan

berbagai mediator (vasoaktive amin, protease, metabolik asam arakidonat, kompleks imun, lipopolisakarida) yang menyebabkan kerusakan mukosa dan hipersekresi. Ostium sinus mengalami obstruksi, pertukaran gas menjadi terganggu ke dalam sinus normal, sehingga memicu tumbuhnya bakteri, akibatnya timbul infeksi. Gerakan silia pada mukosa sinus menjadi sangat terganggu, sehingga menimbulkan penumpukan sekret dan penebalan mukosa sinus (Jhosephon,1999; Clerico, 2001; Branovan, 2004).

Ostium Ostium tertutup

Gangguan ventilasi dan drainase Stagnasi Sekret

Perubahan Komposisi Sekret dan pH Pertukaran metabolisme Gas dari mukosa

Kerusakan silia dan epithelium

Perubahan dari bakteri saprofit menjadi pathogen Peningkatan ketebalan dari mukosa

(eksudatif / produktif)

Gambar 2.5. Skema siklus Perkembangan Sinusitis Kronis (Jhosephon,1999)

2.3.4. Gejala klinis dan diagnosis

Untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis, International Conference on Sinus

(43)

dijumpai 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor, pemeriksaan fisik THT dengan nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN.

Gejala mayor :

a. Obstruksi hidung

b. Sekret belakang hidung / post nasal drip (PND) c. Sakit kepala

d. Nyeri / rasa tertekan pada wajah

e. Kelainan penciuman (hiposmia atau anosmia)

Gejala minor : a. Demam b. Halitosis

(44)

BAB 3

(45)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental, dimana sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dalam hal ini berdasarkan tujuan penelitian.

4.2 Populasi, Sampel dan Besar Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pengunjung poli THT-KL yang berobat ke lokasi penelitian.

4.2.2 Sampel

Kelompok sampel penelitian adalah penderita yang berobat ke poli THT-KL dimulai dari bulan Juli 2007 yang secara klinis didiagnosis rinosinusitis maksila kronis yang memenuhi kriteria inklusi dan kavum nasi normal.

4.2.3 Besar Sampel

Besar sampel berdasarkan rumus

n1 = n2 = 2 { ( zα + zβ ) } 2 µ

1- µ2

(46)

zβ = kekuatan uji 90% = 1.28

= Standar deviasi waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinositis maksila kronis dengan kavum nasi normal = 6 menit (Irawan, 2004) µ1- µ2=Perbedaan waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinositis maksila

kronis dengan kavum nasi normal = 14 menit (Irawan, 2004) Besar masing-masing sampel = 24 orang

4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Variabel Penelitian

Kasus baru atau lama yang datang ke Poliklinik THT-KL yang secara klinis didiagnosis sebagai rinosinusitis maksila kronis dan kelompok orang dengan kavum nasi normal.

4.3.2 Definisi Operasional

A. Rinosinusitis maksila kronis (RSK)

Adalah peradangan mukosa hidung dan sinus maksila yang menetap selama 8 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing lebih dari 10 hari.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor, pemeriksaan fisik THT dengan nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN.

Gejala mayor :

a. Obstruksi hidung

(47)

c. Sakit kepala

d. Nyeri / rasa tekan pada wajah

e. Gangguan penciuman (hiposmia/anosmia) Gejala minor :

a. Demam, halitosis

b. Pada anak : batuk, iritabilitas

B. Transportasi mukosiliar (TMS)

Transportasi mukosiliar adalah aliran palut lendir akibat gerakan silia mukosa hidung ke arah nasofaring yang dapat diukur dengan meletakkan partikel sakarin diatas mukosa.

C. Waktu transportasi mukosiliar

Waktu transportasi mukosiliar adalah waktu yang dibutuhkan oleh partikel sakarin dari saat diletakkan pada ujung depan konka inferior (kira-kira 1 cm ke arah posterior dari batas anterior konka inferior) sampai di nasofaring yang ditandai sensasi rasa manis.

D. Uji sakarin :

Pemeriksaan waktu transportasi mukosiliar dengan menggunakan partikel sakarin.

Cara pemeriksaan :

(48)

dengan air putih dan istirahat dalam ruangan pemeriksaan kira-kira 15 menit. Dibuat partikel sakarin dengan ukuran kira-kira setengah mm. Spekulum hidung dipasang pada salah satu rongga hidung, kemudian bubuk sakarin diambil dengan pinset bayonet dan diletakkan pada ujung depan konka inferior (kira-kira 1 cm ke arah posterior dari batas anterior konka inferior). Posisi kepala difleksikan sekitar 100,lalu subjek diminta bernafas melalui hidung dengan mulut tertutup. Dengan menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu antara saat sakarin diletakkan sampai merasakan sensasi manis pertama kali. Bila dalam 60 menit subjek tidak merasakan sensasi manis maka pengujian dihentikan kemudian sakarin diletakkan pada lidah subjek untuk menyingkirkan gangguan pengecapan.

E. Rinitis alergi

Reaksi hipersensitivitas dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama, ditandai dengan trias gejala hidung beringus, bersin-bersin dan hidung buntu. Bisa disertai dengan rasa gatal atau rasa nyeri pada hidung.

F. Deviasi Septum

(49)

G. Variasi anatomi

Beberapa keadaan anatomi di daerah KOM yang dapat dilihat secara langsung dengan nasoendoskopi seperti pembesaran bula etmoid, prosesus unsinatus yang menonjol serta konka media yang edema.

Pembesaran bula etmoid adalah bula etmoid yang mengalami pneumatisasi, sehingga ukurannya menjadi lebih besar, sehingga mengisi hampir seluruh bagian meatus media.

H. Umur

Dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan kalender Masehi.

I. Jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan.

4.4 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan bubuk sakarin laktis

4.5 Instrumen Pelitian

a. Catatan medik penderita dan status penelitian b. Formulir persetujuan ikut penelitian

c. Alat-alat pemeriksaan THT rutin d. Nasoendoskopi

(50)

f. Stopwatch dan pinset bayonet

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan dengan waktu penelitian dimulai dari bulan Juli 2007

4.7 Kerangka Kerja

Kasus Baru / Lama

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik dan THT Nasoendoskopi

Foto Polos SPN

Rinosinusitis Maksila Kronis Normal

(51)

4.8 Cara Analisis Data

Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan bantuan program window SPSS

(Statistical Program for Social Science) versi 15. Uji statistik dengan menggunakan

(52)

BAB 5

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Sejak penelitian dilakukan dari bulan Juli 2007 telah didapatkan 24 penderita rinosinusitis maksila kronis dan 24 orang kontrol yang tidak menderita rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal.

Gambar 2.6 Distribusi kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis (RSK) dan kelompok kontrol berdasarkan jenis kelamin.

37.5

Gambar. 2.6. Distribusi berdasarkan jenis kelamin

(53)

Gambar 2.7 Distribusi kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis (RSK) dengan kelompok kontrol berdasarkan umur

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

18-27 28-37 38-47 >47

RSK Kontrol

Gambar 2.7. Distribusi berdasarkan kelompok umur

Dari gambar 2.7, didapat persentase tertinggi penderita rinosinusitis maksila kronis terdapat pada kelompok umur 38-47 tahun sebanyak 10 penderita (41,7%), sedangkan persentase terendah pada usia lebih 47 tahun ( 8,3%).

(54)

79.2

Gambar 2.8. Distribusi keluhan utama rinosinusitis maksila kronis.

Dari gambar 2.8, didapatkan keluhan utama penderita terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 19 penderita (79,2%), diikuti post nasal drip (PND) sebanyak 13 penderita (54,2%) dan sakit kepala sebanyak 13 penderita (54,2%), sedangkan gejala minor tidak ditemui.

Tabel 5.1.1. Hasil pemeriksaan nasoendoskopi kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis (RSK)

n %

Variasi anatomi KOM

Konka Media edema 20 83,3

Pros unsinatus menonjol 2 8,3

Bula etmoid menonjol 3 12,5

Meatus Medius tertutup 12 50

Polip (+) 4 16,7

Septum deviasi 5 20,8

Konka Inferior edema 22 91,7

(55)

edema konka media yaitu 83,3%, diikuti bulla etmoid menonjol sebanyak 12,5%, sedangkan paling sedikit ditemukan keadaan prosessus unsinatus yang menonjol yaitu 8,3%.

Tabel 5.1.2. Hasil uji t-independent rata-rata waktu transportasi mukosiliar (TMS) antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis (RSK) dengan kelompok kontrol.

Kelompok n Mean SD t P

RSK 24 20,86 2,14 24,61 0,000

Kontrol 24 9,49 0,75

t-independent = 24,67 p = 0,0001

Dari tabel 5.1.2, didapatkan rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada kelompok rinosinusitis maksila kronis sebanyak 20,86 (SD ± 2.14) menit dan pada kontrol sebanyak 9,49 (SD ± 0,75) menit.

(56)

Tabel 5.1.3. Hasil uji t-independent rata-rata waktu transportasi mukosiliar (TMS) antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis (RSK) berdasarkan jenis kelamin.

Waktu TMS

Jenis Kelamin N % Mean SD

Laki-laki 9 37,5 21,57 2,33

Perempuan 15 62,5 20,43 1,96

t –independent = 1,28 p = 0,214

Dari tabel diatas, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada jenis kelamin laki-laki kelompok rinosinusitis maksila kronis adalah 21,57 (SD ± 2.33) menit dan jenis kelamin perempuan adalah 20,43 (SD ± 1,96)

(57)
(58)
(59)

BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juli 2007 didapatkan 24 orang penderita rinosinusitis maksila kronis yang terdiri dari 9 penderita laki-laki dan 15 penderita perempuan.

(60)

karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakit sehingga lebih cepat datang berobat.

Pada gambar 2.7 terlihat kelompok umur penderita terbanyak adalah antara 38-47 tahun sebanyak 10 penderita ( 41,7 %). Elfahmi (2001) mendapatkan umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 30%. Yuhisdiarman (2004) mendapatkan umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%. Triolit (2004) mendapatkan umur terbanyak adalah 38-47 sebanyak 36,6%. Andika (2007) mendapatkan umur penderita terbanyak adalah pada kelompok umur 37-47 tahun sebanyak 33,3%. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, terlihat umur terbanyak hampir sama dengan yang didapatkan tidak berbeda jauh dengan peneliti-peneliti lainnya.

Pada gambar 2.8, gejala yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat (79,2%) kemudian diikuti post nasal drip dan sakit kepala. Stankiewics (2001) mendapatkan bahwa keluhan hidung tersumbat dan post nasal drip merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Triolit (2004) mendapatkan keluhan terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18 penderita (60%). Andika (2007) mendapatkan keluhan hidung tersumbat sebanyak 63,4%. Dari data diatas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini telah dijelaskan dalam literatur, gejala yang sering dijumpai pada rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat dan perasaan tidak enak pada wajah dan sakit kepala. Sebagian besar mengeluhkan adanya sekret belakang hidung / post nasal drip. Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.

(61)

kongesti dan udem pada ostium sinus dan sekitarnya (Ballenger, 1994; Draf,1995; Higler, 1997).

Tabel 5.1.1, berdasarkan hasil nasoendoskopi, variasi anatomi KOM paling banyak dijumpai keadaan konka media edema yaitu 83,3%. Kemudian diikuti penonjolan bulla etmoidalis 12,5% dan penonjolan prosesus unsinatus 8,3%. Dalam literatur dijelaskan bahwa keadaan kompleks osteomeatal (KOM) berperan dalam patofisiologi terjadinya rinosinusitis kronis. Agar sinus dapat berfungsi secara normal, ostium harus terbuka, silia harus berfungsi secara efektif dan pengeluaran sekret harus normal. Pembengkakan membran mukosa akan menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. Menurut fisiologisnya, kelainan sinus yang utama yang mengakibatkan rinosinusitis adalah karena terjadinya edema mukosa atau penghalang mekanis yang mengakibatkan tertutupnya kompleks osteomeatal (Clerico, 2001; Branovan, 2004).

(62)

(2004) pada penelitiannya mendapatkan rata-rata waktu transportasi mukosiliar kelompok rinosinusitis kronis adalah 27,57 menit (SD ± 7,58) dan kelompok kontrol adalah 14,31 menit (SD ± 4,68). Yan (2007) mendapatkan pada individu normal adalah rata-rata 541,6250 detik (SD ± 335,6044). Hal ini sesui dengan literatur bahwa rata-rata waktu transportasi mukosiliar normal berkisar antara 12 sampai 15 menit (Jorissen, 2000).

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian, dari tabel 5.1.2 dilakukan uji statistik t-independent dan diperoleh nilai p < 0,05 dengan perbedaan rata-rata sebanyak 12,51 menit. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kontrol, dimana waktu transportasi mukosiliar pada kelompok rinosinusitis maksila kronis lebih lama dibanding kelompok kontrol. Hasil yang diperoleh, sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Irawan (2004) mendapatkan hasil perbedaan bermakna antara rata-rata waktu transportasi mukosiliar pasien rinosinusitis maksila kronis dengan kontrol normal, dan mendapatkan perbedaan rata-rata sebanyak 13,16 menit. Di Jerman, Hafner (1997) mendapatkan hasil perbedaan yang bermakna antara rata-rata waktu transportasi mukosiliar pasien rinosinusitis maksila kronis dengan kontrol.

Dari tabel 5.1.3, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada jenis kelamin laki-laki kelompok rinosinusitis maksila kronis adalah 21,57 (SD ± 2.33) menit, dan jenis kelamin perempuan adalah 20,43 (SD ± 1,96). Setelah dilakukan uji

t-independent didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan

(63)

(2001) mengatakan tidak ada perbedaan bermakna rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara laki-laki dan perempuan.

Tabel 5.1.4, kelainan terbanyak adalah edema konka inferior sebanyak 91,7% dibandingkan normal sebanyak 8,3%. Pada daerah KOM, terbanyak dijumpai edema konka media sebanyak 83,3% dibandingkan normal sebanyak 16,7%. Dalam literatur dijelaskan bahwa variasi faktor lokal, regional atau sistemik bisa menimbulkan obstruksi kompleks osteomeatal. Faktor regional dan lokal meliputi deviasi septum, nasal polip, variasi anatomis seperti konka bullosa, benda asing, edema yang berhubungan dengan infeksi / peradangan karena virus, alergi (Clerico, 2001; Branovan, 2004).

(64)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN

7.1.1. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis adalah 20,86 (SD ± 2,14) menit

7.1.2. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kavum nasi orang normal sebagai kelompok kontrol adalah 9,49 (SD ± 0,75) menit.

7.1.3. Terdapatnya perbedaan signifikan waktu transportasi mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis kronis dengan kavum nasi orang normal. Dan berdasarkan hasil uji t-independent terhadap perbedaan ini adalah bermakna secara statistik adalah 12,51 menit.

7.1.4. Keadaan kompleks osteomeatal memegang peranan dalam terjadinya rinosinusitis. Dari hasil nasoendoskopi, terlihat persentasi terbanyak konka media edema, diikuti oleh penonjolan bula etmoidalis serta penonjolan prosessus unsinatus.

7.2 SARAN

7.2.1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh variasi anatomi terhadap waktu transportasi mukosiliar.

7.2.2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor atau keadaan yang dapat memperbaiki fungsi transportasi mukosiliar.

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rawi MM, Edelstein DR, Erlandson RA. 1998. Changes in Nasal Epithelium in Patients with Severe Chronic Sinusitis; A Clinicopathologic and Electron Microscopic Study. Laryngoscope.108: pp.1816-23

Amedee G Ronald. 1993. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. Byron J.Bailey. JB Lippincott Company. Philadhelpia. pp.343-49

Andika M.T. 2007. Frekuensi penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan infeksi jamur di departemen THT-Kl FKUSU. Tesis bagian THT-KL FK USU. Medan.

Ballenger JJ. 1994. Hidung dan Sinus Paranasal, Aplikasi klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok dan Leher. Edisi 13. Jilid satu. Binarupa Aksara. Jakarta. 1-25

Baroody FM. 2007. Mucociliary transport in Chronic Rhinosinusitis: a Review. Clin Allergy Immnunol, 20: pp. 103-19

Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. 1994. Nose, Nasal Sinuses and Faces, Applied Anatomy and Physiology. In : Buckingham RA, ed. Ear,Nose and Throat Disease. A Pocket Reference. Second, revised edition. Thieme Medical Publishers inc. New York. 170-185

(66)

Bhattacharyya N. 2001. Chronic Rhinosinusitis : Is the Nose Really Blocked?. Am J Rhinno; 15: pp.169-73

Branovan DI. 2004. Pathophysiology of Rhinosinusitis. In: Endoscopic Paranasal Sinus Surgery. 3rded, Lippincott Williams & Wilkins, USA: pp.53-68

Clerico DM. 2001. Medical treatment of chronic sinus disease. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich editors. Diseases of the Sinuses Diagnosis and Managment. London; BC Decker Inc, pp.155-8

Czaja JM, McCaffrey TV. 1996. Reversibility of Abnormal Mucociliary Clearance in Experimental Chronic Sinusitis. Am J. Rhinnol. 10, 281-9

Draft W, Friedman WH, Gwaltney JM, Hoffman SR, et al. 1995. Quantification for Staging Sinusitis. In: Kennedy DW, editor. International Conference on Sinus Disease: Terminology, Staging and Therapy. Annals of Oto-rhino-laryngol (supplement); 104: pp.17-21

Elfahmi. 2001. Gambaran klinis osteomeatal pada Sinusitis Maksila Kronis dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT-KL FKUSU. Medan. Elynawati N, Roestiniadi, Hoetomo. 2002. The Influence of Air Polutant on

Mucociliary Transport in Wood Factory Worker. 7 th ARSR, p.119

Evans Rhys. 1987. Anatomy of The Nose and Paranasal Sinuses. In : Basic Science David Wright. Fifth edition. Butterworth-Heinemenn. London, pp.138-61 Gosepath J, Grebneva N, Mossikhin S, Mann WJ. 2002. Topical antibiotic, antifungal

(67)

Hafner S, Davris S, Riechelmann H, Mann WJ, Amedee AG. 1997. Endonasal Sinus Surgery Improves Mucociliary Transport in Severe Chronic Sinusitis. Am j Rhinnol; 11: pp.271-4

Higler AP. 1997. Hidung : Anatomy dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies, Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology). Edisi 6. EGC Penerbit buku kedokteran. Jakarta. 174-89

Higler AP. 1997. Hidung : Anatomy dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies, Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology). Edisi 6. EGC Penerbit buku kedokteran. Jakarta. 240-60

Ho JC, Chan KN, Hu WH, Lam WK, Zheng L, Tipoe GL, et al. 2001. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat frekuency, and ultrastructure of respiratory cilia.Am J Resir Crit Care Med;163: pp.983-88

Joki S, Toskala E, Saano V, Nuutinen J. 1998. Correlation Between Ciliary Beat Frequency and the Structure of Ciliated Epithelia in Pathologic Human Nasal Mucosa. Laryngoscope; 108, 426-30

Jhosephon G, Roy S. 1999. Review Article : Pediatrics Rhinosinusitis. Diagnosis and Management. In : Jurnal International Pediatrics, Vol 14, !, pp.15-21 Jorissen M, Willems T, Boeck KD. 2000. Diagnostic Evaluation of Mucociliary

Transport: From Symptoms to Coordinated Ciliary Activity after Ciliogenesis in Culture. Am J Rhinol; 14: pp.345-52

(68)

Levine HL. 2005. Diagnosis and Management of Rhinosinusitis. In: Sinus Surgery Endoscopic and microscopic Approaches, Thieme Medical Publishers, New York: pp.90-99

Lindberg S. 1997. Mucociliary Transport. In: Rhinologic Diagnosis and Treatment. McCaffrey TV. Thieme Medical Publishers, USA: pp.155-173

Lund VJ. 1997. Anatomy of The Nose and Paranasal Sinuses. In : Kerr AG, ed. Scott-Brown’s Otolaryngology Rinology. 6thed, Butterworth, London: pp. 1/5/2-29

Irawan P. 2004. Pengaruh rinosinusitis kronis terhadap waktu transportasi mukosiliar hidung. FKUI. Jakarta.

Soetjipto D, Mangunkusumo E, 2001. Sinus Paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, FKUI, Jakarta, hal. 115-19

Mahakit P, Pumhirun P. 1994. The Study of Mucociliary Clearance in Smoker, Sinusitis and Allergic Rhinitis. Am J Rhinol; 5: p.320

Marks C Steven. 2000. Anatomy of The Nose and Sinuses. In : Nasal and Sinus Surgery. WB Saunders Company, Philadhelpia: pp.13-15

Mc Caffrey TV; Remington WJ. 2000. Nasal Function & Evaluation. In: Head & Neck surgery Otolaryngology Vol 1, 2nded, Byron J.Bailey, Lipponcott-Raven, Philadelphia,:pp.333-48

Mygind N. 1981. Nasal Allergy, 2nded, Blackwell Scientific Publication. Oxford. pp.3-35

(69)

pelatihan dan demo bedah sinus endoskopik fungsional. Makassar : FK Unhas, hal.1-12

Nuutinen J, Toskala ER, Saano,V. 1993. Ciliary beating frekwency in chronic sinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 119, 645-7

Rautiainen M . 1994. Impaired muciliary fungtion in the nose. Am J Rhinol; 5: pp.276-7

Sakakura Y. 1997. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease. In: Bunnag C, Muntarbhorn K, editors. Asean Rhinological Practice. Bangkok: Siriyot Co, Ltd, pp.137-43

Scadding GK, Lund VJ, Darby YC. 1995. The effect of long term antibiotics therapy upon ciliary beat frequency in chronic rhinosinusitis. The journal of Laryngo-otology. 109; 24-6

Soedarjatni, Djoko SS. 1993. Nasal mucociliary clearance (NMC) dan nasal pH pada 30 penderita Diabetes Melitus (NIDDM tipe II WHO). Dalam: Kumpulan naskah ilmiah PIT Perhati. Bukittinggi: hal.760-6

Stankiewicz JA, Chow JM. 2002. Diagnostic Dilemma for Chronic Rhinosinusitis: Definition Accuracy and Validity. Am J Rhin,16: pp.199-202

Stierna P. 2001. Physiology, Mucociliary Clearance, and Neural Control. In : Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editors. Diseases of the Sinuses Diagnosis and Management. London : BC Decker Inc: pp.35-8

(70)

Talbot AR, Herr TM, Parsons DS. 1997. Mucociliary Clearance and Buffered Hypertonic Saline Solution. Laryngoscope.;107: pp.500-3

Torkkeli T, Rautiainen M, Nuutinen J.1994.Ciliary Ultrastructure and Mucociliary Transport in Upper Respiratory Tract Infections.Am J Rhinology; 8: pp.211-5

Triolit Z. 2004. Hubungan Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal dengan Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis Berdasarkan Gambaran CT Scan Sinus Paranasal dan Temuan Durante Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Tesis Bagian THT-KL. FK USU Medan.

Walsh EW, Kern CR. 2006. Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation.. In : Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Fourth edition. Volume one. Lippincott Williams & Walkins. Philadhelpia, pp.307-17

Watelet JB, Bachert C, Gevaert P, Cauwenberg PV. 2002. Wound healing of the Nasal and Paranasal Mucosa: a Review. Am J Rhinnol; 16: pp.77-84 Waguespack R. 1995. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus

Surgery. Laryngoscope (supplement);105: pp.1-40

Weir N, DG Golding. 1997. The Physiology of The Nose & Paranasal Sinuses. In: Kerr Ag. Scott-Brown’s Otolaryngology Rinology. 6thed, Butterworth, London: pp. 4/8/1-12

Yan EB.2007. Perbandingan waktu transpor mukosiliar penderita rinitis kronis dengan orang normal di makassar. Tesis bagian THT-KL FK Unhas. Makassar.

(71)

Lampiran

STATUS PENELITIAN

I. Identitas Penderita : No Urut Penelitian : Tanggal Berobat :

MR :

Nama :

Umur / Jenis kelamin :

Suku :

Pekerjaan :

Alamat :

Telepon :

II. Anamnesis

+/- < 8 minggu >8 minggu

(72)

III.Pemeriksaan Fisik

Telinga Kanan Kiri

Daun Telinga Normal / Abnormal Normal / Abnormal Liang Telinga Normal / Abnormal Normal / Abnormal Membran timpani Utuh / Perforasi Utuh / Perforasi

Hidung Kanan Kiri Rinoskopi Anterior

Kavum nasi Lapang / sempit lapang / sempit

Konka inferior N / edema / hipertrofi N / edema / hipertrofi

Septum N / deviasi N / deviasi

Mukosa Hiperemis + / - Hiperemis + / -

(73)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Nasoendoskopi Kanan Kiri

1. Kavum nasi Lapang

Sempit

2. Konka media Eutrofi

Hipertrofi / edema

3. KOM Terbuka

Tertutup 4. Processus

Unsinatus

Tidak menonjol Menonjol 5. Bulla etmoid Tidak menonjol

Menonjol

6. Polip Ada

Tidak ada 7. Konka Inferior Eutrofi

Hipertrofi / edema

8. Septum Normal

Deviasi

(74)
(75)
(76)

Tabel Penelitian Waktu Transportasi mukosiliar Pada Kelompok Kavum Nasi

Dewi 40 X Wiraswasw

a

- - - 24

.

(77)
(78)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS

1. Nama : dr. Yanti Fitri Yasa

2. Tempat / tanggal lahir : Padang / 12 Januari 1970

3. Alamat : Komp. Griya Setia Budi Blok C-2 Medan 4. No telp / Hp : 061-77404030 / 08126099940

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1976-1982 : SD Yos Sudarso Padang 2. 1982-1985 : SMP Neg V Padang 3. 1985-1988 : SMA Neg I Padang

4. 1988-1995 : Fakultas Kedokteran Unand Padang 5. 2004-sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK-USU Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. 1995-1998 : Dokter PTT Pusk. Ulak Karang, Padang 2. 1999–2000 : Dokter Pusk.Alahan Panjang, Solok 3. 2000- 2004 : Dokter Pusk. Padang Pasir, Padang

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 1995 – Sekarang : Anggota IDI cabang Padang

Gambar

GAMBAR 2.8  Distribusi keluhan utama dari kelompok penderita rinosinusitis
Tabel 5.1.1
Gambar 2.1.Penampang mukosa hidung (Mygind, 1981)
Gambar 2.2. Lapisan epitel mukosa respiratorius (Mygind, 1981)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Emergensi kit diletakkan pada setiap satuan kerja yang tidak memiliki trolley Emergensi, emergensi kit dikelola oleh Instalasi Farmasi sebagai pengganti sementara dari

Dari hasil penelitian, dengan menggunakan metode analisis prekuensi, analisis Relative Importance Index (RII), diperoleh 5 (lima) faktor kritikal yang mempengaruhi

Perubahan fundamental dari komunikasi interpersonal yang dilakukan secara tatap muka ( gossip ) di ruang publik ke komunikasi yang sudah di setting oleh media elektronik, yaitu

berdasarkan wadiah, yaitu: (1) dana yang disimpan pada bank adalah

Dari hasil evaluasi kinerja SI/TI yang disusun masuk kedalam katagori proses protofolio management pada framework val-IT, maka di simpulkan evaluasi kinerja dapat

Sehingga rumusan masalah dalam tulisan ini adalah menentukan model regresi Zero-Inflated Poisson (ZIP) dalam mengatasi masalah overdispersi akibat excess zero

akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat dari suatu benda disebut Ija&gt;rah al’ain, seperti menyewa

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah telur memberikan perbedaan pengaruh yang sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap lama mengeram, serta fertilitas telur