• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi keragaman Gen Growth Hormone Receptor (GHR AluI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi keragaman Gen Growth Hormone Receptor (GHR AluI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

 

DAN BET CIPELANG

SKRIPSI

WIKE REISYA PERBA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

BBIB Singosari, dan BET Cipelang. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D.

Salah satu gen yang diduga memiliki peranan penting terhadap sifat pertumbuhan, kualitas karkas, tingkat produksi, dan kualitas susu adalah gen Growth Hormone Receptor (GHR). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen GHR pada sapi Friesian Holstein (FH) dan dibandingkan dengan sapi pedaging.

Sejumlah 126 sapi perah FH dan pedaging telah dikoleksi sampel darahnya. Sampel ini berasal dari 89 ekor sapi FH dari BIB Lembang (17), BBIB Singosari (32), dan BET Cipelang (40). Darah dari 37 ekor sapi pedaging berasal dari empat bangsa di BET Cipelang diambil sebagai pembanding, yaitu Simmental (13), Limousin (14), Brahman (5), dan Angus (5). Tingkat keragaman gen diidentifikasi dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) menggunakan enzim restriksi AluI yang memotong pada situs AG|CT.

Panjang produk hasil amplifikasi fragmen GHR adalah 298 pb. Sapi FH dari ketiga lokasi bersifat polimorfik dengan dua alel, yaitu alel A dan G, serta memiliki tiga genotipe, yaitu genotipe AA, GG, dan AG. Genotipe AA memiliki tiga pita (50 pb, 81 pb, dan 167 pb), GG memiliki dua pita (131 pb dan 167 pb), dan genotipe gabungan AG (50 pb, 81 pb, 131 pb, dan 167 pb). Hasil yang sama diidentifikasi pada sapi pedaging. Kekecualian pada sapi Angus yang hanya memiliki genotipe AA dan AG, serta sapi Brahman yang bersifat monomorfik dengan genotipe AA (100%). Frekuensi alel A pada sapi FH dari ketiga lokasi lebih tinggi dibandingkan alel B dan genotipe tertinggi sapi FH adalah genotipe AA (0,719). Sapi FH BIB Lembang dan BBIB Singosari memiliki frekuensi genotipe AG dan GG yang seimbang (0,118 dan 0,125) sedangkan frekuensi genotipe AG pada sapi FH BET Cipelang sedikit lebih tinggi dibandingkan GG (0,200 dan 0,125). Frekuensi alel A tertinggi ditemukan juga pada sapi pedaging kecuali Simmental. Frekuensi genotipe AA tertinggi ditemukan pada sapi Limousin dan Brahman, namun frekuensi genotipe AG tertinggi ditemukan pada Simmental dan Angus.

Analisis Chi-Kuadrat menunjukkan bahwa sapi perah FH tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (χhit2>χ0,052). Hal ini berkebalikan dengan sapi

Simmental dan Limousin, sedangkan nilai Chi-Kuadrat sapi Brahman dan Angus tidak dapat dihitung. Tingkat heterozigositas pada sapi FH tergolong rendah (ho<he).

Sapi Angus memiliki nilai heterozigositas tertinggi (0,600) dan terendah sapi Brahman (0,000) pada sapi pedaging. Keragaman gen GHR|AluI dapat dijadikan informasi dasar untuk melakukan seleksi pada sifat pertumbuhan pada sapi FH dan sapi pedaging.

(3)

and BET Cipelang.

Perba, W. R., C. Sumantri, and A. Anggraeni

Growth hormone receptor (GHR) is one factor affecting animal growth. GHR is required by growth hormone (GH) to carry out its effect on target tissues. The objective of this study was to identify polymorphism of the Growth Hormone Receptor gene in Holstein Friesian (HF) dairy cattle and beef cattle. Genotyping was performed on 126 animals. These consisted of HF 89 heads from BIB Lembang (17), BBIB Singosari (32), and BET Cipelang (40); as well as for 37 heads of four breeds of beef cattle including for Simmental (13), Limousin (14), Brahman (5), and Angus (5) for a comparison. Varian genetic of the GHR gene was identified by PCR-RFLP method using AluI restriction enzyme cutting the base position at AG|CT. Single nucleotide polymorphism (SNP) had been found in exon 10, coding for the cytoplasmic domain of GHR, which was located at position 81 bp (A/G) induced amino acid substitutions Ser/Gly. The product of amplification of GHR was 298 bp. Genotyping the GHR gene produced two alleles (A and G) resulting three genotypes (AA, AG and GG). The genotype AA was dominant in HF cattle from all locations, and also in Brahman and Limousin cattle from BET Cipelang. All of HF dairy cattle were in Hardy-Weinberg disequilibrium (χhit2>χ0,052), in contrast, Simmental and

Limousin were in Hardy-Weinberg equilibrium. The Hardy-Weinberg in Brahman and Angus values could not be calculated. Heterozigosity values in HF and beef cattle were low (ho<he). In beef cattle, Angus had highest heterozigosity value

(0,600), while Brahman had the lowest heterozigosity value (0.000). The conclusion was that the variability of GHR|AluI gene can be used as a basic information for selection in growth caracteristic in the HF and beef cattle.

(4)

DAN BET CIPELANG

WIKE REISYA PERBA D14070081

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Nama : Wike Reisya Perba NIM : D14070081

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) (Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D.) NIP: 19591212 198603 1 004 NIP: 19630924 199803 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Idham Suhaimi,

S.ST dan Ibu Eti Setiawati.

Penulis mengawali pendidikan dasar tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 4

Kepahiang, Bengkulu. Penulis pindah pada tahun 1996 ke Sekolah Dasar Negeri 1

Sembawa (sekarang SD Negeri 9 Sembawa), Palembang yang diselesaikan pada

tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan

diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Banyuasin III.

Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Plus Negeri 2 Banyuasin

III pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada tahun 2008 di

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis

aktif dalam mengikuti kegiatan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan (HIMAPROTER). Penulis pernah menjadi panitia Dekan Cup 2009 serta

Kontes Bibit dan Seni Ketangkasan Domba Garut nasional 2010. Penulis aktif dalam

Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya

(IKAMUSI) sebagai pengurus Departemen Informasi dan Komunikasi periode

2007-2008. Pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Pembibitan Ternak Unggul

(BPTU) Sembawa pada tahun 2009. Penulis berkesempatan menjadi penerima

(7)

dan karunia yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga senantiasa terlimpah dan tercurah

kepada Rasulullah Muhammad SAW, serta para sahabat, keluarga dan pengikutnya.

Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Receptor pada

Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang adalah

karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Produktivitas sapi perah di dalam negeri masih berpotensi untuk terus

ditingkatkan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas

ternak diantaranya dengan perbaikan pakan, manajemen pemeliharaan, seleksi, dan

persilangan. Seleksi pada ternak bisa dilakukan pada level DNA dan terhadap

kandidat gen (marka) terutama yang terkait dengan sifat yang bernilai ekonomis. Gen

GHR|AluI adalah gen yang berhubungan dengan ekspresi hormon pertumbuhan yang

berperan pada pertumbuhan dan perkembangan longitudinal pascanatal,

pertumbuhan jaringan, laktasi, reproduksi, serta metabolisme karbohidrat, protein,

dan lemak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai

keragaman gen GHR|AluI pada sapi perah FH yang dibandingkan dengan empat

bangsa sapi pedaging. Informasi keragaman genetik yang diperoleh dari gen

GHR|AluI diharapkan menjadi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA terutama pada

sifat pertumbuhan dan produksi susu pada sapi FH dan sapi pedaging. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan terhadap

kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin.

Bogor, 3 Mei 2011

(8)

RINGKASAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sapi ... 3

Sapi Friesian Holstein ... 3

Sapi Pedaging ... 4

Simmental ... 4

Limousin ... 5

Brahman ... 5

Angus ... 5

Gen Pertumbuhan ... 6

Gen Growth Hormone Receptor ... 7

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) ... 10

Keragaman Genetik ... 11

MATERI DAN METODE ... 13

Lokasi dan Waktu ... 13

Materi ... 13

Sampel Darah ... 13

Ekstraksi DNA ... 14

Primer ... 14

Amplifikasi DNA ... 14

Analisis PCR-RFLP ... 14

(9)

viii 

Ekstraksi DNA ... 15

Amplifikasi DNA ... 16

Analisis PCR-RFLP ... 16

Elektroforesis DNA Total dan Produk PCR-RFLP ... 16

Analisis Data ... 17

Frekuensi Genotipe dan Alel ... 17

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) ... 17

Heterozigositas ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Amplifikasi Fragmen Gen GHR|AluI ... 19

Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GHR|AluI ... 23

Keseimbangan Hardy-Weinberg ... 25

Heterozigositas ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

UCAPAN TERIMA KASIH ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(10)

1. Jumlah DNA dan Asal Pengambilan Sampel Darah yang

Digunakan dalam Penelitian ... 13

2. Frekuensi Genotipe dan Alel ... 24

3. Keseimbangan Hardy-Weinberg ... 26

(11)

1. Sapi FriesianHolstein ... 4

2. Rekonstruksi Struktur Gen GHR Berdasarkan Sekuens Gen GHR

di Gen Bank (Kode Akses. EF207442) ... 7

3. Visualisasi Hasil Amplifkasi Ruas Gen GHR|AluI pada Gel

Agarose 1,5% ... 19

4. Fragmen Gen GHR|AluI Didasarkan pada Sekuens Gen GHR di

Gen Bank (Kode Akses. EF207442) ... 20

5. Visualisasi PCR-RFLP Ruas Gen GHR|AluI pada Gel Agarose 2% 21

6. Keragaman Gen GHR|AluI pada Sapi Friesian Holstein dan Sapi

(12)

1. Sekuens Gen Growth Hormone Receptor (GHR) pada Sapi yang

Diakses di Gen Bank (Kode Akses. EF207442) ... 37

2. Modifikasi Metode Ekstraksi DNA Menggunakan Metode

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sapi merupakan ternak yang berperan penting sebagai sumber daging, susu,

tenaga kerja, dan kebutuhan manusia lainnya. Fluktuasi produksi dan kualitas susu

segar sapi perah masih menjadi kendala utama dalam memenuhi permintaan nasional

seperti tercermin dari angka impor susu dalam negeri yang tinggi, sekitar 70%.

Upaya untuk meningkatkan produksi susu sapi perah melalui perbaikan pakan,

manajemen pemeliharaan, seleksi, dan pemuliaan perlu dilakukan untuk menekan

nilai impor.

Ketersediaan bibit berkualitas akan meningkatkan produksi peternakan dalam

negeri yang dapat ditempuh melalui perbaikan genetik ternak yang ada. Pemerintah

berupaya untuk meningkatkan dan mengembangkan populasi dan produksi ternak

seperti yang telah dilakukan oleh berbagai institusi unit pelaksana teknis dari

Direktorat Jendral Peternakan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan

menyediakan semen beku dalam bentuk straw di BIB Lembang dan BBIB Singosari,

serta calon embrio dari BET Cipelang. Bibit yang disediakan dari balai-balai tersebut

berasal dari induk/tetua yang berkualitas dan merupakan hasil seleksi untuk

menghasilkan bibit yang unggul.

Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi perah yang paling banyak

dibudidayakan di dunia. Peternakan sapi perah FH di Indonesia masih terpusat di

pulau Jawa. Upaya untuk meningkatkan produksi susu sapi FH salah satunya dapat

dilakukan dengan perbaikan genetik melalui seleksi. Perkembangan teknologi

molekuler telah sangat membantu program seleksi. Teknologi dapat dilakukan

melalui aplikasi Marker Assisted Selection (MAS) melalui analisis keragaman DNA

dengan menggunakan metode PCR-RFLP, PCR-SSCP, DGGE, dan analisis sekuen.

Program seleksi konvensional yang biasanya dilakukan dengan mengembangbiakkan

ternak terlebih dahulu untuk mendapatkan keturunan, dan kemudian dapat

mengetahui sifat unggul yang dimiliki oleh tetua tersebut, membutuhkan waktu yang

lama. Penciri DNA yang banyak dikembangkan saat ini dapat digunakan untuk

mendeteksi sifat unggul seekor ternak dalam waktu yang relatif lebih cepat dan

(14)

Sifat pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh beberapa gen pertumbuhan seperti

oleh gen growth hormone receptor (GHR). Gen GHR memiliki fungsi sebagai

mediasi gen pertumbuhan yang mempengaruhi sifat pertumbuhan karkas pada sapi

pedaging dan sifat produksi susu pada sapi perah. Keragaman gen GHR diharapkan

dapat dijadikan sebagai informasi dasar sebagai gen mayor yang mempengaruhi

tingkat produksi ternak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen GHR

menggunakan enzim restriksi AluI (GHR|AluI) dengan metode PCR-RFLP pada sapi

FHdi BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang, dan dibandingkan dengan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi

Sapi termasuk dalam filum chordata, yaitu hewan-hewan yang memiliki

tulang belakang, kelas Mamalia atau menyusui, ordo Artiodaktil, yaitu berkuku atau

berteracak genap, sub ordo Ruminansia atau pemamahbiak, family Bovidae dengan

tanduk berongga, dan genus Bos sebagai pemamah biak berkaki empat. Spesies sapi

terbagi dua, yaitu Bos taurus merupakan bangsa sapi yang ada dan tidak berpunuk

dan Bos indicus merupakan sapi-sapi yang memiliki punuk (Blakely dan Bade,

1998).

Tipe berpunuk (Zebu) tersebar di wilayah Asia dan Afrika Selatan, sedangkan

tipe tidak berpunuk (Taurine) termasuk dalam spesies Bos taurus yang tersebar di

wilayah Eropa dan Afrika Barat. Perbedaan antara Bos indicus dan Bos taurus telah

dibuktikan dari DNA mitokondria dari dua spesies tersebut lebih dari 1.000.000

tahun yang lalu (Loftus et al., 1994; Bradley et al., 1996.). Kedua spesies ini

kemungkinan besar didomestikasi secara bebas (Loftus et al. 1994) sekitar 10.000

tahun sebelum sekarang. 

Sapi Perah Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein (FH) menurut Blakely dan Bade (1998)adalah bangsa

sapi perah yang menonjol di Amerika Serikat dengan jumlah cukup banyak, sekitar

80%-90% dari seluruh sapi perah di Amerika Serikat. Sapi ini berasal dari Negeri

Belanda yaitu di propinsi North Holand dan West Friesland, yang memiliki padang

rumput yang bagus. Produksi susu sapi FH yang tinggi dimanfaatkan untuk

pembuatan keju sehingga tujuan seleksi diutamakan untuk mendapatkan sapi FH

yang memiliki sifat produksi susu yang tinggi.

Bangsa sapi FH murni memiliki warna bulu hitam dan putih (blackHolstein)

atau merah dan putih (red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas, seperti

pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor,

bagian perut serta kaki dari taracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih.

Sapi Friesian Holstein memiliki tanduk yang pendek dan mengarah ke depan

(16)

Keunggulan sapi FH adalah jinak, tidak tahan panas, tetapi sapi ini mudah

menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, dan lambat dewasa (Blakely dan

Bade, 1998). Dwiyanto et al. (2000) menyatakan bahwa produksi susu sapi perah di

Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3000-3900 liter per laktasi. Hal

ini menyamai performans sapi perah Bos taurus yang dipelihara di sejumlah daerah

tropis yang berkisar antara 3500-4500 liter perlaktasi, sementara produksi susu sapi

perah FH di daerah iklim sedang mencapai lebih 6000 liter per laktasi.

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein yang baik adalah sapi yang memiliki tubuh luas ke

belakang seperti gergaji, sistem dan bentuk perambingan baik, puting simetris, dan

efisiensi pakan yang dialihkan untuk produksi susu tinggi. Saat ini, di Indonesia sapi

Friesian Holstein paling banyak dimanfaatkan sebagai sapi perah. Selain pemakaian

sapi perah sebagai jenis murni, di Indonesia juga terdapat jenis baru yang disebut

sapi Grati yaitu hasil persilangan antara FriesianHolstein dan sapi lokal (peranakan

Ongole) (Blakely dan Bade, 1998).

Sapi Pedaging

Sapi pedaging atau sapi potong memiliki keunggulan dalam menghasilkan

karkas berkualitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa jenis sapi yang

memiliki produksi daging yang tinggi, yaitu sapi Simmental, Limousin, Brahman,

dan Angus.

Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah Simme Swis. Sapi ini menjadi sapi yang

(17)

 

di Jerman diberi nama ‘Fleckvieh’. Sapi Simmental berwarna totol dan mukanya

berwarna putih. Sapi ini terkenal mampu menyusui anak dengan baik, pertumbuhan

cepat, serta badan padat dan panjang. Sapi Simmental termasuk ukuran berat, baik

pada melahirkan (Blakely dan Bade, 1998), serta memiliki karakter berat sapih dan

pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993)

Limousin

Sapi Limousin berasal dari suatu propinsi di Perancis yang banyak berbukit

batu. Warna bulunya mulai dari kuning hingga merah keemasan dengan tanduk

berwarna cerah. Keunggulan sapi Limousin adalah fertilitas cukup tinggi yang

mampu melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak (Blakely dan Bade, 1998).

Limousin memiliki perdagingan yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi

(Phillips, 2001) yang dapat dilihat dari bobot lahirnya yang tergolong kecil hingga

medium yang berkembang menjadi golongan besar saat dewasa. Bobot badan betina

dewasa sekitar 575 kg, sedangkan pejantan sekitar 1100 kg (Blakely dan Bade,

1998).

Brahman

Sapi Brahman dikembangkan di Amerika Serikat yang merupakan hasil

perkawinan tiga bangsa sapi India, yaitu Gir, Guzerat, dan Nellore. Sapi Zebu

pertama dimasukkan ke Amerika Serikat pada tahun 1849 (Blakely dan Bade, 1998).

Sapi ini memiliki ciri khas, yaitu berpunuk di bagian punggungnya, berambut pendek

dan halus, serta sebagian besar berwarna putih (Phillips, 2001). Sapi Brahman

termasuk spesies Bos indicus yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan

lingkungan panas, tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001), dan parasit

(Blakely dan Bade, 1998). Sapi ini sering digunakan untuk persilangan dengan sapi

lain untuk meningkatkan hybrid vigor. Berat badan betina dewasa mencapai 585 kg

dan pada pejantan mencapai 900 kg atau lebih (Blakely dan Bade, 1998).

Angus

Sapi Angus berasal dari Skotlandia Timur Laut dan diimpor ke Amerika

Serikat pada tahun 1873 dan disilangkan dengan sapi Longhorn untuk mendukung

(18)

halus, tetapi tidak bertanduk. Ukuran badan relatif kecil, pejantan memiliki berat

badan sekitar 850 kg, sedangkan betina sekitar 675 kg. Salah satu sifat yang sangat

penting adalah memiliki kualitas karkas yang istimewa dengan tulang-tulang yang

kecil, perdagingan yang baik, serta persentase lemak subkutan yang rendah (Blakely

dan Bade, 1998).  

Gen Pertumbuhan

Sifat utama dari makhluk hidup diantaranya adalah tumbuh dan berkembang.

Pertumbuhan secara umum memiliki aspek yang luas, seperti pertumbuhan sel,

organ, fetus, tulang, dan beberapa aspek lain yang terkait dengan pertumbuhan

individu. Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan

suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan

jumlah sel pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu.

Pertumbuhan individu dipengaruhi oleh gen-gen pertumbuhan. Hormon

pertumbuhan atau growth hormone (GH) merupakan hormon anabolik yang

disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lobus anterior pituitary (Ayuk

dan Sheppard, 2006). Gen GH memiliki fungsi penting karena mempengaruhi

pengaturan sifat-sifat yang bernilai ekonomi tinggi. Oleh sebab itu, gen GH menjadi

kandidat gen untuk program Marker Assisted Selection pada sapi (Beauchemin et al.,

2006). Gen GH merupakan salah satu gen esensial yang diperlukan untuk

pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton

et al., 1994).

Protein GH terdiri atas 191 asam amino dengan berat molekul 22 kDa (Frago

dan Chowen 2005). Menurut Woychick et al. (1982) gen GH memiliki panjang 1800

pb dengan 5 ekson dan 4 intron. Gen GH disintesis dan disekresikan oleh sel

somatotrop anterior pada kelenjar pituitary (Ayuk and Sheppard, 2006). Gen GH

memiliki peranan terhadap pertumbuhan berbagai jaringan, seperti pada tulang, otot

dan jaringan adiposa, organ dan sistem tubuh, serta berperan dalam perkembangan

longitudinal pascanatal, laktasi, reproduksi, metabolisme protein, lemak, dan

karbohidrat (Ayuk and Sheppard, 2006; Akers et al., 2006). GH berperan dalam

pengaturan perkembangan kelenjar mamae pada ternak ruminansia (Akers et al.,

2006). Sumantran et al. (1992) telah membuktikan bahwa gen GH menjadi pengatur

(19)

 

pertumbuhan, serta mengatur produksi susu, karkas, dan respon imun (Ge et al.,

2000).

Gen Growth Hormone Receptor

Reseptor hormon pertumbuhan atau growth hormone receptor (GHR)

merupakan protein transmembran yang mengikat GH dengan afinitas dan spesifitas

yang tinggi (Di Stasio et al., 2005). Gen GHR merupakan gen yang menjadi faktor

penentu dari efektivitas kerja gen pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH

membutuhkan reseptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan. Menurut

Zhou dan Jiang (2005), aksi biologis gen GH dimediasi oleh gen GHR pada

tingkatan jaringan. Gen GHR pada sapi dipetakan sebagai gen tunggal yang terletak

pada kromoson 20 (Moody et al., 1995), terdiri atas 10 ekson dan 9 intron, dengan

panjang 25.688 pb (Lucy et al., 1998; Jiang dan Lucy, 2001). Susunan fisik gen GHR

ditunjukkan pada Gambar 2.

5’ kode awal ATG kodon akhir ATG 3’

Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5 Ekson 6 Ekson 7 Ekson 8 Ekson 9 Ekson 10

Flangking Frangking region 5’ region 3’

Keterangan:

Ekson 1 = 10 - 35 = 26 pb Intron 1 = 36 – 199 = 164 pb Ekson 2 = 200 – 280 = 81 pb Intron 2 = 281 – 415 = 135 pb Ekson 3 = 416 – 481 = 66 pb Intron 3 = 482 – 674 = 193 pb Ekson 4 = 675 – 804 = 130 pb Intron 4 = 805 – 934 = 30 pb Ekson 5 = 935 – 1095 = 161 pb Intron 5 = 1096 – 1320 = 235 pb Ekson 6 = 1321 – 1499 = 179 pb Intron 6 = 1500 – 1611 = 112 pb Ekson 7 = 1612 – 1777 = 166 pb Intron 7 = 1778 – 1982 = 205 pb Ekson 8 = 1981 – 2071 = 91 pb Intron 8 = 2072 – 2245 = 174 pb Ekson 9 = 2246 – 2315 = 70 pb Intron 9 = 2316 – 2608 = 293 pb Ekson 10 = 2609 – 3876 = 127 pb

Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen GHR Berdasarkan Sekuens Gen GHR di GenBank (Kode Akses. EF207442)

Menurut Moody et al. (1995) gen GHR adalah sel permukaan reseptor untuk

GH dan dibutuhkan oleh GH untuk membawa pengaruhnya ke target jaringan. GH

memiliki berat molekul yang tinggi sehingga sulit memasuki sel yang harus melewati

membran sel. Efek pertama dari GH adalah pada reseptor yang terdapat dalam

membran sel, sehingga GH dapat memberikan efeknya pada target sel tanpa merusak

membran (Djojosoebagio, 1996).

(20)

Gen GHRsangat penting dalam proses pertumbuhan ternak. Mutasi pada gen

GHR telah diasosiasikan sebagai Larontype dwarfism pada manusia (Godowski et

al., 1989). Dwarfism dihubungkan dengan rendahnya peredaran konsentrasi gen

IGF-I dan dengan ketiadaan atau rendahnya ekspresi gen GHR (Vandeerpooten et

al., 1991). Gen GH, insulin-like growth factors 1 dan 2 (IGF1 dan IGF2), dan

hubungan keduanya pada pengikatan protein dan reseptor transmembran (GHR,

IGF1R dan IGF2R) memberi pengatur penting pada fisiologis pertumbuhan mamalia

(Curi et al., 2006).

Gen GHR pada sapi pedaging diketahui bertanggung jawab pada sifat

pertumbuhan (Hale et al., 2000), lemak karkas (Tatsuda et al., 2008), lemak intra

muscular (Han et al., 2009), serta komposisi otot (lemak intra muskular, protein, dan

kadar air) (Reardon et al., 2010). Gen GHR pada sapi perah diketahui dapat

mempengaruhi sifat produksi susu (Aggrey et al., 1999). Keragaman gen GHR

berhubungan dengan keragaman produksi daging yang terjadi pada liver-specific

promoter sapi (Ohkubo et al.,2006). Gen GHR memiliki ekspresi pada tubuh dengan

level yang tinggi pada hati (Lucy et al., 1998).

Aggrey et al. (1999) meneliti gen GHR|AluI menggunakan metode

PCR-RFLP dengan suhu annealing 66 oC selama 80 detik pada bull Holstein. Runutan

primer yang digunakan, yaitu primer forward 5’-TGCGTGCACAGCA

GCTCAACC-3’ dan primer reverse ‘5-AGCAACCCCACTGCTGGGCAT-3’.

Panjang fragmen hasil amplifikasi gen yang diperoleh sepanjang 836 pb (1036-1871,

ekson 5-intron 7). Hasil pemotongan gen GHR dengan enzim restriksi AluI

menghasilkan dua alel yang diberi nama AluI(+) dan AluI(-), serta tiga genotipe

AluI(+/+), AluI(+/-), dan Alu(-/-). Genotipe AluI(+/+) memiliki panjang fragmen 747

pb (terbagi menjadi dua fragmen yaitu 602 pb dan 145 pb), AluI(+/-) (747 pb, 602

pb, 145pb,75 pb, dan 14 pb), AluI(-/-) (747 pb, 75 pb, dan 14 pb (tidak terdeteksi

pada gel). Titik mutasi yang ditemukan pada runutan basa nukleotida 1182 pb

dimana A (Adenin) menjadi T (Timin). Mutasi yang terjadi merupakan mutasi

transversi dimana basa purin menjadi pirimidin. Frekuensi alel AluI(-) pada bull

Holstein tahun 1950-1970 sebesar 0,63 dan frekuensi alel AluI(+) sebesar 0,37.

Frekuensi alel AluI(+) mengalami peningkatan menjadi 0,58 dan penurunan alel

(21)

 

Zulkarnaim et al. (2010) telah melaporkan amplifikasi gen GHR|AluI dengan

metode PCR-RFLP pada sapi Bali, Limousin, Simmental, dan sapi Pesisir

menggunakan runutan primer forward 5’-CGCTTACTTCTGCGAGGTAGACGC-3’

dan primer reverse 5’-GTCTGTGCTCACATAGCCAC-3’ (Andreas, 2010). Hasil

amplifikasi pada ekson 10 menghasilkan fragmen sepanjang 298 pb. Pemotongan

fragmen gen GHR dengan menggunakan enzim restriksi AluI menghasilkan dua alel

(A dan G) serta tiga genotipe, yaitu genotipe AA, GG, dan AG. Pola genotipe AA

dengan tiga pita (167 pb, 81 pb, dan 50 pb), GG memiliki dua pita (131 pb dan 167

pb), dan AG merupakan genotipe gabungan (167 pb, 131 pb, 81 pb, dan 50 pb).

Mutasi gen GHR|AluI mengubah basa Adenin (A) menjadi Guanin (G) pada posisi

81 pb yang menyebabkan perubahan asam amino Serin (AGC) menjadi Glisin

(GGC) pada runutan nukleotida 3338 pb (Gen Bank, Kode Akses. EF207442).

Perhitungan frekuensi genotipe AA, AG, dan GG yang dilakukan Zulkarnaim

et al. (2010) pada sapi Bali berturut-turut (0,988; 0,006; dan 0,006) dengan frekuensi

alel A (0,991) dan G (0,009). Frekuensi genotipe AA, AG, dan GG pada sapi

Limousin (0,238; 0,095; dan 0,667) dengan frekuensi alel A (0,286) dan G (0,714).

Frekuensi genotipe AA, AG, dan GG pada sapi Simmental (0,000; 0,529; dan 0,471)

dengan frekuensi alel A (0,265) dan G (0,735). Frekuensi genotipe AA, AG, dan GG

pada sapi Pesisir (0,604; 0,021; dan 0,375) dengan frekuensi alel A (0,615) dan G

(0,385). Keseimbangan Hardy-Weinberg hanya terdapat pada sapi Simmental,

sedangkan pada sapi Bali, Limousin, dan Pesisir tidak berada dalam keseimbangan

Hardy-Weinberg. Tingkat heterozigositas tertinggi terdapat pada sapi Simmental (Ho

= 0,529) (He = 0,389±0,021) dan terendah pada sapi Bali (Ho = 0,006) (He = 0,018±0,001).

Di Stasio et al. (2005) meneliti keragaman gen GHR pada sapi Piedmontese

menggunakan metode PCR-RFLP. Penelitian dilakukan pada dua grup sampel, yaitu

213 ekor pejantan muda (grup: PTEST) dan 21 ekor sapi RPH (grup: MEAT).

Panjang fragmen hasil amplifikasi GHR pada ekson 10 sepanjang 342 pb. Hasil

pemotongan gen GHR dengan enzim restriksi AluI menghasilkan dua alel, yaitu alel

GHRA (191 pb, 101 pb, dan 50 pb) dan GHRG (191 pb dan 151 pb). Titik mutasi gen

GHR|AluI ditemukan pada posisi 257 pb yang mengubah basa Adenin (A) menjadi

(22)

alel GHRA (0,49) dan GHRG (0,51), dengan frekuensi genotipe AA (0,24), AG

(0,50), dan GG (0,26). Pada grup MEAT frekuensi alel GHRA (0,42) dan GHRG

(0,58) dengan frekuensi genotipe AA (0,24), AG (0,37), dan GG (0,39).

Penelitian lain dilakukan oleh Ge et al. (2000) menggunakan metode

PCR-RFLP pada ekson 10. Amplifikasi gen GHR menghasilkan fragmen sepanjang 286

pb. Pemotongan gen GHR dengan enzim restriksi AluI menunjukkan adanya titik

mutasi yang dielektoforesis dengan denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE)

pada empat nukleotida tunggal atau Single Nucleotide Polymorphism (SNP) (Gen

Bank, kode akses: AF140284). Hasil pemotongan gen GHR|AluI menghasilkan alel

A dan G, serta tiga genotipe, yaitu genotipe AA, GG, dan AG. Genotipe AA

memiliki tiga pola pita (155 bp, 81 bp, dan 50 bp), GG (131 bp dan 155 bp), dan

genotipe AG (155 bp, 131 bp, 81 bp, dan 50 bp). Titik mutasi gen GHR yang

ditemukan terletak pada posisi 76 (T/C), 200 (G/A), 229 (T/C), dan 257 (A/G). Pada

posisi 200 dan 257 terjadi substitusi asam amino induksi, Ala/Thr dan Ser/Gly, pada

posisi lainnya terjadi silent mutation.

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)

Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk

menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul

DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim

polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin thermocycler.

Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Proses

yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama, yaitu denaturasi

(pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi

(pemanjangan primer). Proses dari mulai denaturasi, penempelan, dan ekstensi

disebut sebagai satu siklus (Muladno, 2002).

Polimerase chain reactionrestriction fragment length polymorphism

(PCR-RFLP) merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR

memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong

yang berbeda pada tiap-tiap mikroorganisme (Orita et al., 1989). Enzim restriksi

akan memotong pada sekuens nukleotida yang spesifik atau recognition sequences

(23)

 

menyatakan bahwa PCR-RFLP merupakan suatu metode sederhana yang biasa

digunakan untuk mengetahui keragaman genotipe. Prinsip kerja RFLP adalah

menghilangkan semua mutasi atau menciptakan sekuen rekognisi baru. Penyisipan

(insersi), penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada

daerah rekognisi menyebabkan tidak dikenalinya situs pemotongan oleh enzim

restriksi dan menyebabkan perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994).

Metode PCR-RFLP telah digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap

lokasi DNA spesifik, baik pada daerah yang bersifat penyandi atau coding region

pada genom maupun pada daerah yang tidak bersifat berpenyandi atau daerah

non-coding region (Vasconcellos et al., 2003). Analisis RFLP sering digunakan untuk

mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan penyakit yang

diturunkan (Orita et al., 1989) ataupun untuk mendeteksi adanya keragaman pada

gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu

(Sumantri et al., 2007). Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa atas dasar

terpotong atau tidaknya fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen

potongan DNA tersebut dapat divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang

hasilnya menunjukkan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam

populasi.

Keragaman Genetik

Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk

mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri

suatu sifat khusus. Populasi alami biasanya memiliki keragaman genetik yang tinggi.

Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi keamanan

dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al., 2003).

Keragaman genetik dapat digunakan sebagai parameter dalam mempelajari genetika

populasi dan genetika evolusi (Nei dan Kumar, 2000).

Menurut Nei dan Kumar (2000), tingkat keragaman dalam populasi dapat

digambarkan dari frekuensi alel. Frekuensi alel merupakan rasio relatif suatu alel

terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam satu populasi. Suatu populasi

dinilai beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi

yang cukup (biasanya lebih dari 1%). Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki

(24)

Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa polimorfisme genetik dalam suatu

populasi dapat digunakan dalam menentukan hubungan antar subpopulasi yang

terfragmentasi dalam suatu spesies. Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam

populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi

populasi, yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi

individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000). Keragaman genetik

antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan

frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000).

Noor (2008) menjelaskan bahwa dalam Hukum Hardy-Weinberg dinyatakan

frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan

seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Silang dalam dan

silang luar dalam kelompok/populasi yang sama (endogami) juga dapat

mempengaruhi frekuensi genotipe (Vasconcellos et al., 2003). Menurut Falconer dan

Mackay (1996), ukuran populasi juga mempengaruhi perubahan frekuensi genotipe

dari generasi ke generasi. Informasi keragaman genetik suatu populasi menggunakan

beberapa lokus dapat digambarkan melalui nilai heterozigositas.

Derajat heterozigositas, menurut Nei (1987), merupakan rataan persentase

individu heterozigot dalam suatu populasi. Javanmard et al. (2005) menyatakan

bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi

suatu gen dalam populasi dan jika nilai Ho lebih rendah dari He maka dapat

mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif (Tambasco et al., 2003). Avise

(1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi

maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan

menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi

populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal semakin meningkat

(25)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase

Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)

dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan

Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis DNA

berlangsung pada bulan Juli sampai November 2010.

Materi Sampel Darah

Sampel darah sapi Friesian Holstein berasal dari BIB Lembang, BBIB

Singosari, dan BET Cipelang serta sebagai pembanding digunakan sapi Simmental,

Limousin, Brahman, dan Angus yang berasal dari BET Cipelang. Sampel DNA yang

digunakan merupakan koleksi sampel Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,

bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Bogor. Jumlah tiap sampel DNA dan asal pengambilan sampel darah disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah DNA dan Asal Pengambilan Sampel Darah yang Digunakan dalam Penelitian.

No. Bangsa Sapi Jenis

Kelamin

Tipe Sapi Jumlah Sampel (ekor)

Lokasi

1. Friesian Holstein Jantan Perah 17 BIB Lembang

2. Friesian Holstein Jantan Perah 32 BBIB Singosari

3. Friesian Holstein Betina Perah 40 BET Cipelang

Subtotal 89

4. Simmental Betina Pedaging 13 BET Cipelang

5. Limousin Betina Pedaging 14 BET Cipelang

6. Brahman Betina Pedaging 5 BET Cipelang

7. Angus Betina Pedaging 5 BET Cipelang

(26)

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA telah dilakukan mengikuti metode phenol-cloroform

(Sambrook et al., 1989). Bahan-bahan yang digunakan, yaitu 200 µl sampel darah,

1000 µl Destilata Water (DW), 40 µl Sodium Dodecyl Sulphate 10% (SDS), 10 µl

Proteinase K 5 mg/ml, 1x Sodium Tris EDTA (STE), 400 µl larutan fenol, 400 µl

Chloroform Isoamil Alcohol (CIAA), 80 µl NaCl 5 M, 800 µl etanol absolut, etanol

70%, 100 µl TE 80% atau Elution buffer, dan sarung tangan. Alat-alat yang

digunakan, yaitu tabung vaccutainer, rak tabung vaccutainer, rak penyimpan sampel,

rak tabung Eppendorf, tabung Eppendorf 1,5 ml, mikro pipet (200-1000 µl, 20-100

µl, 2-20 µl) beserta tipsnya (warna biru dan kuning), alat mikrosentrifugasi

berpendingin, vortex mixer, autoclave, incubator, freezer, rotary mixer, gunting,

pinset steril, dan alat tulis.

Primer

Primer gen GHR|AluI yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti Ge et

al. (2000) yang dimodifikasi oleh Andreas (2010) dengan runutan primer forward

5’-CGCTTACTTCTGCGAGGTAGACGC-3’ dan primer reverse

5’-GTCTGTGCTCACATAGCCAC-3’.

Amplifikasi DNA

Fragmen gen GHR memiliki panjang produk PCR 298 pb pada ekson 10

bovine Growth Hormon Receptor (Gambar 4). Bahan-bahan yang digunakan

meliputi 1 µl sampel DNA; 9,7 µl destilate water; 1,25 µl buffer; 0,25 µl MgCl2;

0,15 µl dNTPs; 0,1 µl primer; dan 0,05 µl Taq. Alat-alat yang digunakan untuk

amplifikasi DNA antara lain microtube, mikropipet dengan tipsnya, dan mesin

thermal cycler.

Analisis PCR-RFLP

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis PCR-RFLP adalah 5 µl produk

PCR fragmen gen GHR, 1 µl destilate water; 0,7 µl buffer (buffer tango); dan 0,3µl

enzim pemotong AluI. Alat-alat yang digunakan dalam analisis PCR-RFLP antara

(27)

  Elektroforesis

Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis adalah loading dye,

marker 100 pb, agarose, 0,5x TBE (1 M Tris, 0,9 M Asam Borat, 0,01 M EDTA pH

8), produk PCR, dan etidium bromide. Alat-alat yang digunakan untuk elektroforesis

antara lain gelas ukur, gelas kimia, stirrer, magnet stirrer, mikro pipet 10µl dengan

tipsnya, power supply electroforesis 500vA, dan alat foto UVtransiluminator.

Prosedur Penarikan Sampel Data Penelitian

Sampel data penelitian ditarik berdasarkan kriteria bangsa, yaitu bangsa FH

yang diambil dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang, serta sapi

Simmental, Limousin, Brahman, dan Angus diambil dari BET Cipelang .

Pengambilan dan Penanganan Sampel

Darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vennoject dan

tabung vaccutainer tanpa heparin. Ethanol absolute ditambahkan pada sampel darah

dengan perbandingan 1:2 dan disimpan pada suhu ruang.

Ekstraksi DNA

Ektraksi DNA mengikuti metode phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989):

Preparasi Sampel. Sampel darah 200 µl dimasukkan ke tabung 1,5 ml. Ethanol

dihilangkan dengan menambahkan air destilasi 1000 µl. Sampel disentrifugasi 8000

rpm selama 5 menit, dan supernatan dibuang.

Degradasi protein. Sebanyak 1x STE sampai volume 400 µl, 40 µl SDS 10%, dan 10 µl proteinase K 5 mg/ml ditambahkan ke dalam sampel. Campuran diinkubasi dan

digoyang pelan pada suhu 55 oC selama 2 jam.

Degradasi Bahan Organik. Sebanyak 400 µl larutan phenol, 400 µl

chloroform:isoamyl alcohol (24:1), dan 40 µl NaCl 5M ditambahkan ke dalam

sampel. Campuran digoyang pelan pada suhu ruang selama satu jam.

(28)

dengan menambahkan 800 µl ethanol absolute dan 40 µl NaCl 5 M. Campuran

kemudian diinkubasi pada suhu -20 oC selama satu malam. Pengendapan DNA

dilakukan dengan sentrifugasi 12.000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA dicuci

dengan 800 µl alkohol 70%, kemudian diendapkan lagi dan dikeringkan. Sebanyak

100 µl TE 80% (Tris EDTA) ditambahkan pada DNA. Sampel DNA disimpan pada

suhu -20 oC dan siap untuk digunakan. Amplifikasi DNA menggunakan mesin

thermal cycler.

Amplifikasi DNA

Proses amplifikasi DNA secara umum menggunakan metode sebagai berikut.

Satu µl sampel DNA dimasukkan ke dalam tabung PCR, kemudian ditambahkan 0,1

µl primer. Larutan dalam tabung kemudian ditambahkan dengan premix yang terdiri

dari 0,15 µl dNTPs; 0,25 µl MgCl2; 0,05 µl Taq Polymerase (real tag); 1,25 µl

buffer; dan 9,7 µl DW dalam larutan total 12 µl. Tabung kemudian diinkubasi pada

mesin thermal cycler dengan suhu denaturasi awal 94 o C selama 5 menit, denaturasi

pada suhu 94 oC selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 62 oC selama 45

detik, ekstensi (perpanjangan DNA baru) pada suhu 72 oC selama 1 menit, dan

ekstensi (perpanjangan) akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit.

Analisis PCR-RFLP

Produk PCR yang diperoleh dari hasil amplifikasi fragmen gen GHR|AluI

dipotong menggunakan enzim pemotong AluI (AG|CT). Volume dan bahan pereaksi

yang digunakan untuk setiap enzim pemotong adalah 5 µl sampel produk PCR; 1 µl

DW; 0,7 µl 1x buffer enzim pemotong (buffer tango); dan 0,3 µl enzim pemotong

AluI. Campuran sampel produk PCR fragmen gen GHR|Alu1 dengan bahan pereaksi

diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37 oC selama ± 16 jam.

Elektroforesis DNA Total dan Produk PCR -RFLP

Potongan DNA produk PCR dipisahkan dengan teknik elektroforesis

terhadap DNA total, produk PCR, dan produk pemotong (digested) atau PCR-RFLP

dengan menggunakan gel agarose dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi

agarose 1,5% digunakan untuk elektroforesis DNA total (0,45 g/30 ml dan 0,5 x

(29)

 

sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan, kemudian dipanaskan dalam microwave

sampai mendidih (larutan terlihat bening), larutan didinginkan dengan stirrer di atas

magnet stirrer, dan ditambahkan 5 µl ethidium bromide (10 mg/ml), kemudian

diletakkan di cetakan wel dan dipasang sisir untuk 16 sampel dan dibiarkan sampai

membeku.

Sebelum menjalankan piranti elektroforesis, sampel dimasukkan ke setiap

sumur sampel, larutan atau buffer 0,5x TBE dimasukkan sampai sampel terendam,

dan sampel siap dijalankan. Elektroforesis menggunakan Mupid Electroforesis yang

dijalankan atau dimigrasikan dari kutub negatif (katoda) ke positif (anoda) dengan

arus 100 volt selama 30 menit sampai 45 menit. Hasil elektroforesis diamati dengan

bantuan sinar UVtransilluminator dan hasilnya difoto. Keberadaan pita (band) yang

tergambar dalam hasil elektroforesis memberikan hasil ada tidaknya DNA total,

berhasil tidaknya amplifikasi PCR atau ada tidaknya variasi atau keragaman fragmen

gen GHR|Alu1.

Analisis Data Frekuensi Genotipe dan Alel

Keragaman genotipe pada setiap individu dapat ditentukan melalui pita-pita

DNA yang ditemukan. Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah genotipe dari

suatu populasi, sedangkan frekuensi alel merupakan rasio jumlah alel pada suatu

lokus di populasi tertentu. Frekuensi genotipe dan alel gen GHR|AluI dapat dihitung

dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

χ

ii

=

χ

i

=

Keterangan: χii =Frekuensi genotipe χi = Frekuensi alel ke-i

nii = Jumlah sampel bergenotipe ii

nij = Jumlah sampel bergenotipe ij

N = Jumlah populasi

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan perhitungan Chi-Kuadrat (Nei,

1987).

X2

=

∑ E

(30)

Keterangan: X2 = Nilai uji Chi-kuadrat

O = Jumlah pengamatan genotipe ke-i E = Jumlah harapan genotipe ke-i

Heterozigositas

Derajat heterozigositas alel (Ho) dari suatu populasi dapat digunakan untuk

mengestimasi keragaman genetik dengan dihitung menggunakan rumus Weir (1996)

sebagai berikut:

Ho =

Heterozigositas harapan (He) pada suatu populasi dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut:

He = 1 –

Keterangan : Ho = Nilai heterozigositas pengamatan He = Nilai heterozigositas harapan Xi2 = Frekuensi homozigot

(31)
(32)

kadar air) (Reardon et al., 2010), dan sifat produksi susu pada sapi Holstein (Aggrey

et al., 1999).

Penentuan genotipe gen GHR pada sapi Fresian Holstein dari BIB Lembang,

BBIB Singosari dan BET Cipelang dilakukan dengan pendekatan PCR-RFLP dengan

menggunakan enzim restriksi AluI. Enzim AluI mengenali situs pemotongan AG|CT.

Berdasarkan sekuen DNA ruas gen GHR yang diamplifikasi terdapat dua situs

pemotong AluI pada posisi 81 pb dan 131 pb, ekson 10 bovine Growth Hormone

Receptor (Gen Bank Kode Akses EF207442) yang menghasilkan fragmen dengan

panjang 50 pb, 81 pb, dan 167 pb yang dikenal dengan alel A (Gambar 4).

Gambar 4. Fragmen Gen GHR|AluI Didasarkan pada Sekuens Gen GHR di

Gen Bank (Kode Akses. EF207442).

Keterangan: Posisi primer (bergaris bawah), situs pemotongan enzim AluI (cetak tebal bergaris bawah berwarna abu-abu) dan titik mutasi (cetak tebal, tulisan miring, bergaris bawah).

Titik mutasi ditemukan pada situs AluI basa A (adenin) menjadi G (guanin)

pada posisi 81 pb (Gambar 4) gen GHR|AluI hasil amplifikasi atau pada posisi basa

nukleotida 3338 pb sesuai sekuen GHR di GenBank (kode Akses EF207442). Titik

mutasi pada posisi 81 pb juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh

Zulkarnaim et al. (2010). Mutasi yang menyebabkan perubahan asam amino, yaitu

dari serin menjadi glisin (AGC – serin; GGC - glisin) ini ditemukan pula oleh Ge et al. (2000); Di Stasio et al. (2005); Tatsuda et al. (2008); Han et al.(2009); dan

Reardon et al. (2010). Perubahan tersebut menyebabkan situs pemotong tidak

dikenali oleh enzim AluI yang dikenal dengan alel G (Ge et al., 2000; Di Stasio et

al., 2005). Titik mutasi yang ditemukan pada bull Holstein berbeda yaitu, perubahan

asam amino yang terjadi, yaitu dari A (adenin) menjadi T (timin) (Aggrey et al., Forward

3241 taacttcatc gtggacaacg cttacttctg cgaggtagac gccaaaaagt acattgccct

3301 ggcccctcac gtcgaggctg aatcacacgt agagccaag|c tttaaccagg aagacattta

3361 catcaccaca gaaagcctta ccactacag|c tgggaggtcg gggacagcag aacatgttcc

3421 aagttctgag atacctgtcc cagattatac ctccattcat atagtacagt ctccacaggg 3481 cctcgtactc aatgcgactg ccctgccctt gcctgacaaa gagtttctct catcatgtgg 3541 ctatgtgagc acagaccaac tgaacaaaat catgccatag cttttctttg atttcccatg

    Reverse

Alel A : ‘5 – agagccaAG|CTttaaccagg – 3’

(33)
(34)
(35)

Tingkat keragaman genotipe yang muncul menunjukkan adanya pengaruh

gen GHR|AluI terhadap sifat-sifat unggul yang diseleksi untuk mendapatkan bibit

yang berkualitas (Gambar 6). Sapi Friesian Holstein menunjukkan bahwa genotipe

AA merupakan genotipe yang paling banyak di ketiga lokasi, yaitu BIB Lembang

(13/17), BBIB Singosari (24/32), dan BET Cipelang (27/40). Genotipe AA dan AG

memiliki jumlah yang sama pada sapi FH di BIB Lembang (2 ekor) dan BBIB

Singosari (4 ekor), sedangkan di BET Cipelang, sapi FH genotipe AG lebih banyak

dibandingkan genotipe GG (8 dan 5 ekor). Genotipe AA muncul sebagai genotipe

terbanyak terjadi pula pada sapi pedaging Limousin dan Brahman, bahkan pada sapi

Brahman semua sampel bergenotipe AA (100%). Berbeda halnya pada sapi

Simmental dan Angus, genotipe yang paling banyak muncul adalah genotipe AG (6

dan 3) dan genotipe AA merupakan genotipe yang paling sedikit muncul (2 tiap

sampel).

Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GHR|AluI

Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah genotipe yang muncul pada

suatu populasi. Sementara frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap

keseluruhan alel pada suatu lokus dalam populasi. Frekuensi genotipe dan alel

merupakan parameter dasar untuk mempelajari proses terjadinya evolusi karena

perubahan genetik pada sebuah populasi biasanya digambarkan dengan adanya

perubahan pada frekuensi alel (Nei dan Kumar, 2000). Hasil analisis frekuensi

genotipe dan alel gen GHR pada setiap populasi sapi FH dan sapi potong disajikan

pada Tabel 2.

Sapi FH pengamatan di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang

memiliki nilai frekuensi genotipe AA paling tinggi (0,764; 0,750; dan 0,675).

Genotipe AG dan GG memiliki frekuensi yang seimbang pada sapi FH di BIB

Lembang (0,118) dan BBIB Singosari (0,125). Sapi FH yang berasal dari BET

Cipelang memiliki nilai frekuensi genotipe AG lebih tinggi dari GG (0,200 dan

0,125). Frekuensi tertinggi genotipe AA pada penelitian ini berkebalikan dengan

yang telah ditemukan Aggrey et al. (1999) pada bull Holstein, genotipe tertinggi

yang ditemukan adalah genotipe GG namun dengan nama AluI(+/+). Hal ini

disebabkan perbedaan lokasi yang diamati, walaupun menggunakan metode yang

(36)

keragaman gen GHR|AluI pada ekson 10 sedangkan pada penelitian yang dilakukan

oleh Agrrey et al. (1999) pada ekson 5 sampai intron 7.

Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Alel

Bangsa Lokasi Genotipe Alel

AA AG GG A G

(32) BBIB Singosari

0,750

Keterangan: (…) = Jumlah sampel yang bergenotipe AA, AG, dan GG (ekor). ♂ = Jantan

♀ = Betina

Frekuensi alel sapi FH dari ketiga lokasi menunjukkan frekuensi alel A

(0,775-0,824) lebih banyak muncul dibandingkan alel G (0,176-0,225). Hal ini

berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aggrey et al. (1999) pada sapi

pejantan Holstein yang menunjukkan bahwa alel AluI(+) (menyerupai pola pita alel

G) meningkat dan alel AluI(-) (menyerupai pola pita alel A) menurun. Frekuensi alel

AluI(+) pada sapi pejantan Holstein di tahun 1950-1970 meningkat hingga tahun

1980an (0,37 menjadi 0,58).

Sapi pedaging yang berasal dari BET Cipelang memiliki variasi genotipe

tertinggi. Genotipe AA juga merupakan frekuensi tertinggi pada sapi Limousin

(37)

AA tertinggi ditemukan juga pada sapi Brahman, bahkan hanya terdapat genotipe

AA (1,000). Hal ini berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan pada sapi

Piedmontese (Bos taurus) yang menunjukkan genotipe AA merupakan genotipe

terendah (0,240) (Di Stasio et al., 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan

jumlah sampel yang digunakan dan lokasi pengamatan.

Sapi Simmental menunjukkan hasil yang sama, yaitu dengan tiga genotipe

(AA, AG, dan GG). Berbeda dengan sapi Angus yang hanya muncul dua genotipe,

yaitu AA dan AG. Genotipe AG merupakan genotipe tertinggi pada sapi Simmental

dan Angus (0,462 dan 0,600), sedangkan genotipe AA merupakan genotipe terendah

(0,154 dan 0,400). Genotipe AG tertinggi menyerupai penelitian pada sapi

Simmental (0,529) (Zulkarnaim et al., 2010) dan sapi Angus (0,504-AB) (Ge et al.,

2003). Dominasi genotipe yang muncul mengindikasikan adanya seleksi pada setiap

populasi untuk mendapatkan sifat-sifat unggul yang diharapkan.

Frekuensi alel A yang tinggi ditemukan pula pada sapi pedaging bangsa

Limousin, Angus, dan Brahman, bahkan pada sapi Brahman hanya terdapat alel A

(0,750; 0,700; dan 1,000). Frekuensi alel A tertinggi pada sapi Angus ditemukan juga

oleh Ge et al. (2000) dengan nilai 0,78. Sapi Simmental sebaliknya memiliki

frekuensi alel terbanyak yaitu alel G (0,615). Hal ini ditemukan juga pada sapi

Piedmontese (Bos taurus) berkisar antara 0,51-0,58 (Di Stasio et al., 2005) dan pada

sapi Simmental dengan frekuensi alel G tertinggi (0,735) yang diidentifikasi oleh

Zulkarnaim et al. (2010).

Sapi FH pengamatan dari ketiga lokasi berifat polimorfik dengan dua alel

yaitu A dan G, serupa dengan sapi pedaging dari BET Cipelang, kecuali pada sapi

Brahman yang hanya memiliki satu alel. Suatu alel dikatakan polimorfik jika

memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (Nei, 1987). Sehingga

dapat dikatakan bahwa sapi Brahman bersifat monomorfik karena frekuensi alel

bernilai 1,000.

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam

populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak dan bebas dari faktor yang

(38)

pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Keseimbangan Hardy-Weinberg yang diuji

dengan Chi-Kuadrat (χ2) pada setiap populasi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Keseimbangan Hardy-Weinberg

Bangsa Jumlah Sapi Lokasi χ2(0,05) = 3,84

Friesian Holstein ♂ 17 ekor BIB Lembang 6,023*

Friesian Holstein ♂ 32 ekor BBIB Singosari 11,130*

Friesian Holstein ♀ 40 ekor BET Cipelang 7,277*

Simmental ♀ 13 ekor BET Cipelang 0,008tn

Limousin ♀ 14 ekor BET Cipelang 0,032tn

Brahman ♀ 5 ekor BET Cipelang td

Angus ♀ 5 ekor BET Cipelang td

Keterangan : * = berbeda nyata ♂ = Jantan tn = tidak berbeda nyata ♀ = Betina

td = tidak dapat dihitung

Hasil analisis Chi-Kuadrat menunjukkan bahwa sapi Friesian Holstein di BIB

Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang tidak berada dalam keseimbangan

Hardy-Weinberg (χ2>χ20,05). Suatu populasi dinyatakan dalam keadaan keseimbangan

Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe (p2, 2pq dan q2) dan frekuensi alel (p dan q)

konstan dari generasi karena akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak ke

dalam populasi yang besar (Vasconcellos et al. 2003). Ketidakseimbangan dapat

disebabkan oleh seleksi, inbreeding, migrasi dan genetic drift (Noor, 2008). Pada

penelitian ini, hal yang paling mempengaruhi suatu populasi tidak berada dalam

keseimbangan Hardy-Weinberg adalah seleksi karena setiap populasi merupakan

hasil dari seleksi untuk mendapatkan bibit unggul.

Perhitungan Chi-Kuadrat pada sapi pedaging berkebalikan dengan sapi FH.

Sapi Simmental dan Limousin berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg.

Penelitian Zulkarnaim et al. (2010) menunjukkan hal yang sama pada sapi

Simmental yang berada pada keseimbangan Hardy-Weinberg, namun berkebalikan

pada sapi Limousin yang tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai

Chi-Kuadrat sapi Brahman dan Angus, tidak dapat dihitung karena tidak memenuhi

syarat Chi-Kuadrat, akibat tingkat derajat bebas pada kedua populasi ini bernilai nol

(39)

Simmental dan Limousin yang berada pada keseimbangan Hardy-Weinberg bukan

berarti bahwa sapi-sapi pada populasi tersebut tidak mengalami proses seleksi,

namun gen GHR|AluI bukanlah satu-satunya gen yang menjadi indikasi dalam proses

seleksi tersebut.

Heterozigositas

Hasil analisis heterozigositas pada sapi FH dari BIB Lembang, BBIB

Singosari, dan BET Cipelang, sapi Simmental, Limousin, Brahman, dan Angus

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Heterozigositas

Bangsa Jumlah Sapi Lokasi Ho He

Friesian Holstein ♂ 17 ekor BIB Lembang 0,118 0,291

Friesian Holstein ♂ 32 ekor BBIB Singosari 0,125 0,305

Friesian Holstein ♀ 40 ekor BET Cipelang 0,200 0,349

Subtotal 89 ekor 0,157 0,323

Simmental ♀ 13 ekor BET Cipelang 0,462 0,473

Limousin ♀ 14 ekor BET Cipelang 0,357 0,375

Brahman ♀ 5 ekor BET Cipelang 0,000 0,000

Angus ♀ 5 ekor BET Cipelang 0,600 0,420

Subtotal 37 ekor 0.378 0.456

Keterangan: Ho = heterozigositas pengamatan ♂ = Jantan He = heterozigositas harapan ♀ = Betina

Pendugaan nilai heterozigositas penting diketahui untuk mendapatkan

gambaran variabilitas genetik (Marson et al., 2005) dan untuk mengetahui tingkat

polimorfisme suatu alel, serta prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer

dan Mackay, 1996). Hasil penduga nilai heterozigositas menunjukkan bahwa

heterozigositas pengamatan (Ho) sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB

Singosari, dan BET Cipelang lebih rendah dibandingkan dengan nilai heterozigositas

harapan (He) yaitu berkisar antara 0,118-0,200. Hal ini menunjukkan tingkat

keragaman alel pada populasi tersebut tergolong rendah. Menurut Tambasco et al.

(2003) variasi suatu gen dalam populasi dinyatakan rendah, jika nilai Ho lebih

(40)

Javanmard et al. (2005) menambahkan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5

(50%) mengindikasikan variasi yang rendah suatu gen dalam populasi.

Nilai heterozigositas pengamatan pada sapi Simmental dan Limousin tidak

menunjukkan perbedaan yang besar dengan nilai heterozigositas harapan.

Zulkarnaim et al. (2010) melaporkan hal yang berbeda yang menunjukkan bahwa

nilai heterozigositas pengamatan sapi Simmental lebih tinggi dibandingkan nilai

heterozigositas pengamatan (0,529>0,389±0,021), sedangkan pada sapi Limousin

nilai hetrozigositas pengamatan jauh lebih rendah dibandingkan dengan

heterozigositas harapan (0,095<0,408±0,017). Nilai heterozigositas hasil pengamatan

pada sapi Angus lebih besar dibandingkan nilai heterozigositas harapan dan

merupakan sapi yang memiliki nilai heterozigositas tertinggi. Avise (1994)

menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya

tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Sebaliknya, heterozigositas pada

sapi Brahman benilai 0,000 dan merupakan sapi yang memiliki nilai heterozigositas

terendah. Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang

dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal

semakin meningkat frekuensinya (Avise, 1994).

Hartl dan Carlk (1997) dan Vasconcellos et al. (2003) menyatakan bahwa

nilai heterozigositas pengamatan dan nilai heterozigositas harapan juga dapat

digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam

(inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Nilai heterozigositas, khususnya nilai

heterozigositas harapan secara umum, merupakan indikator yang baik sebagai penciri

genetik yang dapat menjelaskan keragaman genetik pada suatu populasi ternak

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Gen GHR|AluI pada sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET

Cipelang bersifat polimorfik dengan ditemukannya dua alel, yaitu alel A dan G; serta

tiga genotipe, yaitu AA, AG, dan GG. Frekuensi alel A (0,798) lebih tinggi dari alel

G (0,202). Frekuensi genotipe AA ditemukan paling tinggi pada sapi FH di tiga

lokasi (0,719). Sapi FH pengamatan tidak berada dalam keseimbangan

Hardy-Weinberg dan tingkat heterozigositasnya rendah (0,157).

Sapi pedaging di BET Cipelang memiliki genotipe yang bervariasi. Genotipe

AA, AG, dan GG juga ditemukan pada sapi Simmental dan Limousin. Sapi Angus

hanya memiliki genotipe AA dan AG, dan pada sapi Brahman bersifat monomorfik

dengan genotipe AA (100%). Sapi Simmental dan Limousin berada dalam

keseimbangan Hardy-Weinberg, sedangkan pada sapi Brahman dan Angus nilainya

tidak dapat dihitung. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada sapi Angus dan

terendah pada sapi Brahman.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendeteksi keragaman gen

GHR|AluI pada sapi Friensian Holstein. Jumlah sampel yang lebih banyak dengan

populasi dari balai-balai penelitian, industri, dan peternakan rakyat pada berbagai

manajemen yang berbeda-beda akan memberikan gambaran tentang keragaman

genetik yang lebih akurat. Perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara

varian genetik gen GHR|AluI dengan sifat produksi sapi Friensian Holstein dan sifat

(42)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, serta kepada Rasulullah Muhammad SAW atas

tuntunannya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua

tercinta, Bapak Idham Suhaimi, S.ST dan Ibu Eti Setiawati atas kasih sayang dan

do’anya yang tak terhingga. Kakak dan adik, Yesi Riska Perba dan Ines Wishaka

Perba, serta sanak saudara terima kasih atas motivasi dan hiburannya.

Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Arg.Sc dan Ibu Ir. Anneke Anggraeni,

M.Si, Ph.D terima kasih atas segala perhatian, bimbingan dan masukan selama

penelitian dan penulisan skripsi. Bapak Ir. Andi Murfi, M.Si; Dr. Ir. Ahmad Darobin

Lubis, M.Sc; dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr selaku dosen penguji ujian lisan

terima kasih atas koreksi dan sarannya. Senior LGMT: Kak Erik, Kak Ires, Pak

Ihsan, Pak Andi, Pak Rahmat, Pak Bambang, Pak TR, Kak Surya, Kak Yus, Bu

Suryana, Mbak Mira, Kak Citra, David, Mbak Dina, Bapak Dr. Zakaria, S.Pt, M.Si,

dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA atas bimbingan dan sarannya. Teman-teman LGMT;

Icha, Fanny, Gabby, Dinny, Priskila, Ulin, Irine, Revy, Lenny, Gina, Desi, Vania,

Cintya, Dian Dinar, dan Ferdy atas kebersamaan dan dukungan semangatnya.

Teman-teman Wisma Mega 1: Uut, Kak Ticut, Dihard, Resti, Henong, Dede

Urang, Umi, Nisful, Keating, Kak Ana, dan Kak Eri, Vivi, Dedek, dan Didi, serta

teman-teman IPTP 44, Tantia, Riri, Tari, Naila, dan Dani terima kasih atas motivasi

dan kebersamaannya. Keluarga besar Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya

(IKAMUSI) terima kasih atas keceriaan dan hebohnya, serta teman-teman A01-A02,

Asrama Putri A2 lorong 1 kamar 138, teman-teman SD Negeri 4 Kepahiang, SD

Negeri 1 Sembawa, SMP Negeri 3 Banyuasin III, dan keluarga besar SMA Plus

Negeri 2 Banyuasin III terima kasih atas motivasi dan do’anya.

Bogor, 3 Mei 2011

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Aggrey, S. E., J. Yao, M. P. Sabour, C. Y. Lin, D. Zadworny, J. F. Hayes, & U. Kuhnlein. 1999. Markers within the regulatory region of the growth hormone receptor gene and their association with milk-related traits in Holstein. J. Hered.90: 148-151.

Akers, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerard, & E. W. Mills. 2006. Principles of meat science. Mammary growth and lactation in dairy cows. 4th Ed. J. Dairy Sci. 89: 1222-1234.

Andreas, E. 2010. Telaah kualitas daging serta identifikasi keragaman gen GH dan GHR pada kerbau. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Avise, J.C. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. Chapman and Hall, Inc., New York.

Ayuk, J. & M. C. Sheppard. 2006. Growth hormone and its disorders. Postgrad. Med. J.82: 24-30.

Beauchemin, V. R., M. G. Thomas, D. E. Franke, & G. A. Silver. 2006. Evaluation of DNA polymorphisms involving growth hormone relative to growth and carcass characteristics in Brahman steers. Genet. Mol. Res.5: 438-447.

Blakely, J. & D. H Bade. 1998. Ilmu Peternakan. 4th Ed. Terjemahan: Bambang Srigandono. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.

Bloot, S., J. J. Kim, S. Moisio, A. S. Kuntzel, A. Cornet, P. Berzi, N. Cambisano, C. Ford, B. Grisart, D. Johnson, L. Karim, P. Simon, R. Snell, R. Spelman, J. Wong, J. Vilkki, M. Georges, F. Farnir, & W. Coppieters. 2003. Molecular dissection of a quantitative traits locus: a phenylalanine-to-tyrosine substitution in the transmembrane domain of the bovine growth hormone receptor is associated with a major effect on milk yield and composition. Genet. 163: 253-266.

Bradley, D. G, D. E. MacHugh, P. Cunningham, & R. T. Loftus. 1996. Mitochondrial diversity and the origins of African and European cattle. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93: 5131-5135.

Burton, J. L., B. W. Mc. Bride, E. Block, & D. R. Glimm.1994. A review of bovine growth hormone. Can. J. Anim. Sci.74: 167-201.

Curi, R. A., H. N. de Oliveira, A. C. Silveira, & C. R. Lopes. 2006. Growth and

carcass traits associated with GH1|AluI and POU1F1|HinfI gene

polymorphism in Zebu and crossbred beef cattle. Genet. Mol. Bio.29: 56-61.

(44)

Djojosoebagio, S. 1996. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dwiyanto, K., A. Anggraeni, Sugiarti, Nurhasanah, H. Setyanto, & L. Praharani. 2000. Pengkajian sistem budidaya sapi perah untuk meningkatkan produktivitas. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan/ARMP-II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.

Falconer, D.S. & T. F. C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. 4th Ed. Longman, New York.

Frago, L. M. & J. A. Chowen. 2005. Basic physiology of the growth hormone/insulin-like growth factor axis. In: Varela-Nieto, I. & J. A. Chowen (Eds). The Growth Hormone/Insulin-like Growth Factor Axis During Development. USA: Springer: 1-25.

Ge, W., M. E. Davis, H. C. Hines, K. M. Irvin, & R. C. M. Simmen. 2003. Association of single nucleotide polymorphism in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration and growth traits in Angus cattle. J. Anim. Sci.81: 641-648.

Ge, W., M. E. Davis, H. C. Hines, & K. M. Irvin. 2000. Rapid communication: Single nucleotide polymorphisms ditected in exon 10 of the bovine growth hormone receptor gene. J. Anim. Sci.78: 2229-2230.

Gillespie, J. H. 1998. Population Genetics, A Concies Guide. The Johns Hopkins University Press, London.

Godowski, P. J., D. W. Leung, L. R. Meacham, J. P Galgani, R. Hellmiss, R. Keret, P. S. Rotwein, J. S. Parks, Z. Laron, & W. I. Wood.1989. Characterization of the human growth hormone receptor gene and demonstration of a partial gene deletion in two patiens with Laron-type dwarfism. Proc. Natl. Acad. Sci. USA86: 8083-8087.

Hale, C. S., W. O. Herring, H. Shibuya, M. C. Lucy, D. B. Lubahn, D. H. Keisler, & G. S. Johnson. 2000. Decreased growth in Angus streers with a short TG-microsatellite allele in the P1 promoter of growth hormone receptor gene. J. Amin. Sci.78: 2099-2140.

Han, S. H., I. C. Cho, J. H. Kim, M. S. Ko, H. Y. Jeong, H. S. Oh, & S. S. Lee. 2009. A GHR polymorphism and its association with carcass traits in Hanwoo cattle. Gene. Genom31: 35-41.

Hartl, D. L. & A. G Clark. 1997. Principle of Population Genetic. Sinauer Associates, Sunderland, MA.

Gambar

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein
Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen GHR Berdasarkan Sekuens Gen GHR
Tabel 1. Jumlah DNA dan Asal Pengambilan Sampel Darah yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 3.  G
+7

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “ Penerapan Metode Simulasi Evakuasi Bencana Gempa Bumi pada Ekstrakurikuler Pramuka Guna Meningkatkan

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Total

Efek Imunostimulan Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) terhadap Imunoglobulin (IgM dan IgG) pada Mencit Balb/c yang diinduksi Vaksin Hepatitis

Rata-Rata Jumlah Kebutuhan dan Biaya Pupuk untuk Usahatani Kedelai di Desa Sumberejo, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang Per Musim Tanam Tahun 2016. Rata-Rata

Bagaimana membuat program yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pengepakan persegi tiga dimensi menggunakan pendekatan firefly algorithm (FA).. Bagaimana

Kegiatan Usaha Bergerak dalam bidang usaha Pengembangan Real Estat, Golf dan Country Club Jumlah Saham yang ditawarkan 3.209.687.973 Saham Biasa Atas Nama Seri B dengan Nilai

FBIR secara parsial memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROA pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa periode triwulan I 2010 sampai triwulan II

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui motivasi belajar siswa pada pelaksanaan model pembelajaran TAI, motivasi belajar siswa tanpa menggunakan model