TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN
PEKERJAAN/KONSTRUKSI ANTARA KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM
DIREKTORAT JENDRAL SUMBER DAYA AIR DENGAN PERUSAHAAN
REKANAN ( STUDI DI BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI
SUMATERA UTARA)
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
OLEH
MARIA HUTAHAEAN
NIM : 090200269
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA\
MEDAN
TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN/KONSTRUKSI ANTARA KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM
DIREKTORAT JENDRAL SUMBER DAYA AIR DENGAN PERUSAHAAN REKANAN ( STUDI DI BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI
SUMATERA UTARA)
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
OLEH
MARIA HUTAHAEAN
NIM : 090200269
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
2013
Syamsul Rizal,S.H.,M.Hum.
196012251987032001 196402161989111001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Bahwa ini skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan
jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
NAMA : MARIA HUTAHAEAN
NIM : 090200269
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN
PEMBORONGAN PEKERJAAN/KONSTRUKSI ANTARA
KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT
JENDRAL SUMBER DAYA AIR DENGAN PERUSAHAAN
REKANAN ( STUDI DI BALAI SUMBER DAYA AIR
SUMATERA II PROPINSI SUMATERA UTARA)
Dengan ini menyatakan
2. Apabila terbukti dikemudian hari jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul
menjadi tanggung jawab.
Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dan tekanan dari
pihak manapun.
Medan, 22 Juni 2013
Maria Hutahaean
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini
berjudul “ TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN
PEKERJAAN/KONSTRUKSI ANTARA KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM
DIREKTORAT JENDRAL SUMBER DAYA AIR DENGAN PERUSAHAAN
REKANAN ( STUDI DI BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI
SUMATERA UTARA)”.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan ilmu
pengetahuan bagi para pembaca dan bagi penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan serta bahan-bahan literatur yang penulis
dapatkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala kritik dan saran dari pembaca
untuk kesempurnaan tulisan ini.
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat penulis ini mengucapkan rasa terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, Bapak Syafruddin Sulung
Hasibuan, SH. M.H. DFH dan Bapak M. Husni, SH. M.H selaku Pembantu Dekan I,
II dan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak
selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Maria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan
mendukung penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga skripsi ini
selesai.
5. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya, selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan
serta memberi banyak motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis
sehingga penulis dengan penuh semangat dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Hemat Tarigan, SH., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memberi bimbingan dan perhatian selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum USU Medan, yang telah memberikan
banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis.
8. Seluruh Bapak/Ibu staf Fakultas Hukum USU Medan, yang telah membantu penulis
selama mengikuti perkuliahan.
9. Kedua Orangtua yang penulis banggakan, Ir.Busmin Hutahaean dan Martha R
Pardede, terima kasih untuk semua doa, kasih sayang, serta dukungan baik moral
10. Abang penulis yang sangat penulis sayang, Daniel R Hutahaean, ST dan Bastian
M.P Hutahaean.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, semua yang kita lewati merupakan hal-hal yang sangat
berkesan dan tidak mungkin dapat dilupakan, Anistia R.P Siregar, SH, Anggia P
Rambe, Inka F.D Rambe.
12. Sahabat-sahabat Group C Stambuk 2009, Jurusan Hukum Perdata BW Stambuk
2009, sahabat-sahabat Klinis, Fitriyanti Rambe, Patimah Harahap, Benizar Husni,
Rizky Matondang, Yansen Sembiring, Taufik Nuariansyah.
13. Sahabat-sahabat penulis, Johannes P Hutapea, Rica Sagala, Kiki Siregar, Sesilia
Simarmata, Lopiana Napitupulu, Anggie Munthe, Angelina M Butar-butar,
Parwinder K R dan senior penulis Rumanty Sagala, SH, terima kasih atas dukungan
dan motivasi dari kalian semua.
14. Sahabat-sahabat penulis yang terkasih, Angela C.S Tampubolon, Ferona Tarigan,
Joyce A Sinuhaji, SP, Sarah Y Situmorang, Sehat D Simamora.
15. Seluruh pihak yang telah mendoakan dan membantu serta memberi semangat pada
penulis, dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segalanya.
Medan, Juni 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAK ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B.Permasalahan ... 7
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D.Keaslian Penulisan ... 9
E.Tinjauan Kepustakaan ... 10
F. Metode Penelitian ... 11
G.Sistematika Penulisan ... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Ruang Lingkup Perjanjian ... 16
1. Pengertian Perjanjian... 16
2. Jenis-jenis Perjanjian... 23
B. Subjek dan Syarat Sahnya Perjanjian... 27
C. Berakhirnya Perjanjian... 37
BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan ... 45
B. Peraturan Hukum Perjanjian Pemborongan... 52
C. Pihak dalam Perjanjian Pemborongan... 54
D. Hak dan Kewajiban ... 63
BAB IV : Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air dengan Perusahaan Rekanan
Menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012
A. Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 71
B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian ... 88
C. Penyelesaian Perselisihan yang timbul ... 91
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 93
B. Saran... 94
DAFTAR PUSTAKA... 95
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki tujuan agar tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan secara merata dalam tiap lapisan masyrakatnya. Dimana usaha dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan secara merata tersebut diadakannya pembangunan, dimana pembangunan tersebut harus dirasakan oleh rakyat secara merata. Pembangunan yang diadakan terdapat ke dalam perjanjian yang diadakan oleh pemerintah dan pihak swasta yang merupakan perusahaan rekanan, dimana perjanjian yang diadakan ini merupakan perjanjian tertulis yang disepakati oleh kedua pihak tersebut. Perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak swasta adalah merupakan perjanjian pengadaan barang dan jasa. Namun, dalam hal ini penulis mengkaji perjanjian pengadaan barang dan jasa mengenai konstruksi perjanjian ini umumnya disebut dengan perjanjian pemborongan. Dengan melalui metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang meneliti bahan sekunder dengan menggunakan pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengkaji tentang bagaimana proses pelaksanaan perjanjian yang diadakan suatu pemerintahan dan perusahaan rekanaan sesuai dan mengikuti prosedur dalam peraturan yang berlaku. Peraturan yang menjadi acuan dalam mengkaji permasalahan ini adalah Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Lalu, tanggungjawab yang dilakukan oleh kedua belah pihak sesuai dengan pelaksanaan pekerjaan mereka yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut dan bagaimana penyelesaian jika terdapat suatu perselisihan dalam proses pelaksanaan perjanjian tersebut.
ABSTRACT
Indonesia is a developing country with the aim of achieving prosperity and well-being in each layer evenly masyrakatnya. Where efforts to achieve prosperity and welfare of the holding of development equitably, where such development must be felt by the people equally. Development held in the agreement are held by the government and the private sector as a partner company, which held a treaty written agreement agreed upon by both parties. Agreements made by the government with the private sector is a procurement agreement. However, in this case the authors examine the procurement agreement regarding the construction of this agreement is generally called the chartering agreement. With over normative legal research methods (normative) which examined secondary materials using normative approach that is intended to obtain data and information from primary legal materials, secondary and tertiary.
In writing this paper the author examines how the implementation of the agreement and the company held a government rekanaan adhere to the following procedures in the regulations. Regulation is the reference in studying this problem is the Presidential Regulation No. 70 Year 2012. Then, responsibilities undertaken by both parties in accordance with the implementation of their work as agreed in the agreement and how the settlement if there is a dispute in the process of implementation of the agreement.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki tujuan agar tercapainya
kemakmuran dan kesejahteraan secara merata dalam tiaplapisan masyrakatnya. Dimana
usaha dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan secara merata tersebut diadakannya
pembangunan. Oleh karena itu hasil-hasil dari pembangunan harus dapat dirasakan oleh
seluruh rakyat. Keberhasilan pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat yang
dimana berarti pembangunan harus dilaksanakan oleh segenap lapisan rakyat.1
1
F.X Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, cet. 3, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995, hlm. 1.
Untuk pencapaian tujuan tersebut pembangunan sedang giatnya dilakukan dalam
segala bidang, baik dalam bidang fisik ataupun non fisik. Pembangunan dalam bidang non
fisik salah satunya adalah meliputi peningkatan kualitas sumber daya manusia,sehingga
mereka dapat lebih mengoptimalkan kemampuan dalam pembangunan yang mencapai
suatu keberhasilan. Sedangkan, pembangunan dibidang fisik adalah meliputi pembangunan
dan perbaikan saran dan prasarana umum yang bertujuan melaksanakan tugasnya.
Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan fisik seperti pelabuhan, jalan layang,
jembatan, gudang, perumahan (permukiman), rumah susun, hotel, perkantoran, pusat
perbelanjaan, dan sebagainya. Dalam proses proyek pelaksanaan pembangunan terdapat
para pihak seperti pemberi tugas (bouwheer) dan pemborong. Pada umumnya pemberi
tugas pada proses proyek pelaksanaan ini adalah Pemerintahan dan pihak pemborongnya
Pemerintahan yang melaksanakan perjanjian ini adalah merupakan instansi
pemerintahan yang bekerja di pekerjaan umum yang dinamakan Kementerian Pekerjaan
Umum. Kementrian Pekerjaan Umum ini merupakan suatu instansi pemerintahan yang
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan dibidang pekerjaan umum dalam pemerintah
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Tugas tersebut
sesuai dengan Peraturan Menteri PU Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementrian Pekerja Umum.
Kementrian Pekerjaan Umum ini bekerja dalam infrastruktur dan pemukiman dalam
pemerintahan. Instansi ini berperan penting dalam proses pelaksanaan suatu proyek
pembangunan infrastruktur di negara Indonesia ini. Kementerian Pekerjaan Umum ini
membawahi beberapa departemen yang disebut dengan Balai, yaitu Balai Pendidikan dan
Pelatihan, Balai Peningkatan Keahlian, Balai Besar wilayah Sungai, Balai Wilayah Sungai,
Balai Bendungan, Balai Besar Pelaksanaan Jalan, Balai Pelaksanaan Jalan, Balai Informasi
Penataan Ruang. Balai inilah yang merupakan pelaksana langsung untuk melaksanakan
proyek-proyek dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Dalam setiap proyek yang dilakukan untuk membangun infrastruktur ini terdapat
peraturan-peraturan yang mengatur dan mengikat bagaimana tata cara pelaksanaan proyek
tersebut. Peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan bidang apa yang dikerjakan dalam
proyek tersebut. Namun ada juga peraturan secara umum yang dimiliki oleh Kementrian
Pekerjaan Umum yaitu Peraturan Menteri PU Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementrian Pekerja Umum. Dimana Peraturan Menteri tersebut mengatur
tentang organisasi dan tata kerja Kementrian pekerjaan Umum. Dalam pelaksanaan proyek
Perusahaan Rekanan merupakan Pemborong/Kontraktor Bangunan yang dapat
berupa perusahaan-perusahaan yang bersifat perorangan yang berbadan hukum atau badan
hukum yang bergerak dalam bidang pelaksanaan pemborongan. Perusahaan Rekanan
tersebut dapat berupa PT atau CV ataupun perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum
lainnya. Dalam pelaksanaan proyek pada umumnya Perusahaan Rekanan ini menjadi pihak
pemborong.
Kementrian Pekerjaan Umum sebagai pemberi tugas (bouwheer) dan Perusahaan
Rekanan yang merupakan pemborong dalam melaksanakan proses proyek ini terikat dalam
suatu perjanjian. Dimana dalam perjanjian ini para pihak saling mengikatkan diri, dengan
masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Kewajiban utama dari
pihak pemborong adalah melaksanakan perkerjaan sementara kewajiban utama dari pihak
bouwheer adalah membayar uang borongan (dalam sistem fee dan sistem turn key) atau
membiarkan para pihak kontraktor memungut hasil (dalam sistem BOT) ataupun
melakukan hal-hal lain dari tipe-tipe kontruksi yang lagi.2
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih menurut Pasal 1313 dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (disingkat KUH Perdata). Kontrak atau perjanjian merupakan suatu
peristiwa hukum dimana seseorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.3
Pada pasal-pasal KUHPerdata terdapat suatu yang berkenaan dengan perjanjian
yang dilakukan para pihak yang dilakukan seperti Kementrian Pekerjaan Umum dengan
2
Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Bandung: Citra Aditya Bakti,1998, hlm.13. 3
Perusahaan Rekanan. Dalam Bab VII A tepatnya pasal 1604 sampai dengan 1617, yang
dimana bab ini mengatur tentang perjanjian melakukan pekerjaan, yang membagi
perkerjaan ke dalam 3 kategori, yaitu perjanjian kerja (perburuhan), perjanjian
menyelenggarakan jasa tertentu, perjanjian pemborongan pekerjaan. Ketiga perjanjian
tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaan bagi
pihak yang lain dengan menerima upah.
Adapun perbedaan antara perjanjian pekerjaan kerja dengan perjanjian
pemborongan dan perjanjian menyelenggarakan jasa tertentu yaitu bahwa dalam perjanjian
kerja terdapat unsur subordinasi, sedang pada perjanjian pemborongan dan perjanjian
menyelenggarakan jasa tertentu ada koordinasi. Mengenai perbedaan antara perjanjian
pemborongan dan perjanjian menyelenggarakan jasa tertentu, yaitu bahwa dalam perjanjian
pemborongan berupa mewujudkan suatu karya tertentu sedangkan dalam perjanjian
menyelenggarakan jasa tertentu berupa melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan
sebelumnya.
Perjanjian yang dilakukan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perusahaan Rekanan
ini adalah termasuk kedalam kategori yang terakhir yaitu perjanjian pemborongan
pekerjaan. Dimana perjanjian tersebut yang merupakan mewujudkan suatu karya tertentu.
Menurut Pasal 1601 b KUHPerdata, Pemborongan Pekerjaan adalah persetujuan
dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga
yang ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya dua pihak yang terikat dalam
prinsipal (Bouwheer, Kepala Kantor, Satuan Kerja, Pemimpin Proyek); Pihak kedua
disebut Pemborong atau Rekanan, Kontraktor.
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian
pemborongan dapt dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, apabila
perjanjian pemborongan yang menyangkut harga borongan kecil bisanya perjanjian
pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan perjanjian pemborongan yang menyangkut
harga borongan yang agak besar maupun besar, biasanya perjanjian pemborongan dibuat
secara tertulis baik dengan akta di bawah tangan atau dengan akta autentik (akta notaris)
Perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis
dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (Surat Perintah Kerja
dan Surat Perjanjian Pemborongan) dibuat dalam bentuk model-model formulir tertentu
yang isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan pada
peraturan standar/buku yaitu A.V 1941.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membuat skripsi
berjudul “Tinjaun Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Kontruksi
antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air dengan
Perusahaan Rekanan (Studi di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera
Utara)”. Judul tersebut memiliki makna bahwa analisis terhadap Perjanjian Pemborongan
yang dikhususkan terhadap proses pelaksanaan sesuai dengan ketentuan hukum berlaku,
dilakukan oleh instansi pemerintahan Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral
Sumber Daya Air yang akan dijabarkan lebih lanjut lagi pada bab-bab berikutnya.
Perundang-undangan Indonesia mengenal sejumlah peraturan yang mengatur
tentang perjanjian pemborongan yang tercantum dalam KUH Perdata dalam pasal 1604
sampai dengan 1617 dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah seperti A.V
1941 dan juga undang-undang khusus yang dibuat seperti Peraturan Presiden Nomor 70
Tahun 2012 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan sebagainya.
Peraturan-peraturan tersebut terbagi dalam dua bagian, bagian yang pertama yang
berkaitan dengan peraturan-peraturan yang bersifat hukum publik yang berkaitan dengan
prosedur pelelangan (aanbestedingsprosedure), yaitu ketentuan-ketentuan yang berlaku
sebelum terjadinya kontrak (precontratuale fase). Ketentuan-ketentuan ini di Indonesia
ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku bagi pemberlakuan perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dilakukan instansi pemerintah maupun swasta yang terjadi melalui
pelelangan. Bagian kedua tersebut dari peraturan tersebut menyangkut peraturan-peraturan
mengenai perjanjiannya, sehingga bersifat keperdataan.4
Pada umumnya ketentuan-ketentuan tersebut mengatur mengenai hak dan
kewajibam dari pemborong(perusahaan rekanan/kontraktor) dan pemberi tugas
(Kementrian Pekerjaaan Umum/bouwheer) serta ketentuan adminisrtatif yang harus
diperhatikan dengan baik pada waktu membuat perjanjian, mulainya perjanjian,
pelaksanaan perjanjian dan berakhirnya perjanjian.
4
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan skripsi ini adalah:
1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan antara Kementrian
Pekerjaan Umum Pemprovsu dengan Perusahaan Rekanan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban para pihak dalam proses pelaksanaan
perjanjian pemborongan
3. Bagaimana penyelesaian perselisihan yang timbul akibat perjanjian
pemborongan
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.Tujuan Penulisan
Tujuan yang dapat diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan antara
Kementrian Pekerjaan Umum Pemprovsu dengan Perusahaan Rekanan sudah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b) Untuk mengetahui tanggungjawab para pihak dalam proses pelaksanaan
c) Untuk mengetahui cara para pihak dalam menyelesaikan perselisihan yang dapat
timbul dari perjanjian pemborongan pengadaan barang dan jasa yang
dilaksanakan.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang terdapat dalam penulisan skripsi ini selain adanya tujuan
yaitu sebagai berikut :
a) Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pikiran bagi perkembangan ilmu hukum secara umum.
b) Untuk mengetahui secara nyata perkembangan perjanjian pemborongan.
c) Dengan adanya penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi yang
diperlukan bagi masyrakat yang masih awam mengenai perjanjian
pemborongan.
D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dipilih suatu materi mengenai
“Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi antara
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air dengan Perusahaan
Rekanan (Studi di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara)”. Dalam
proses pengajuan skripsi ini harus didaftarkan terlebih dahulu kebagian hukum perdata dan
judul yang telah diangkat beserta pembahasan yang terdapat didalamnya belum pernah ada
penulisan sebelumnya dan merupakan karya ilmiah yang memang benar atau dibuat tanpa
menjiplak dari skripsi lain, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan keaslian penulisannya.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kementrian Pekerjaan Umum adalah suatu instansi pemerintahan yang bekerja dalam
bidang pembangunan infrastruktur di negara Indonesia. Dimana instansi pemerintahan ini
diatur oleh Peraturan Menteri PU Nomor 08/PRT/M/2010 tentang ORGANISASI DAN
TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM.
Perusahaan Rekanan merupakan Pemborong/Kontraktor Bangunan yang dimana berupa
perusahaan-perusahaan yang bersifaat perorangan yang berbadan hukum atau badan hukum
yang bergerak dalam bidang pelaksanaan pemborongan. Perusahaan rekanan tersebut
misalnya, Perseroan dan CV.
Perjanjian dalam Bahasa Belanda disebut dengan overeekomst. Perjanjian menurut
KUHPerdata dalam Pasal 1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian adalah semata-mata
suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Dalam Bab VII A KUH Perdata mengatur
tentang perjanjian melakukan pekerjaan, yang membagi perkerjaan ke dalam 3 kategori,
yaitu perjanjian kerja (perburuhan), perjanjian menyelenggarakan jasa tertentu, perjanjian
Perjanjian Pemborongan menurut pasal 1601 b KUH Perdata adalah perjanjian dengan
mana pihak satu, (si pemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak lain,(yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang
ditentukan. Menurut Wirjono Prodjodikoro arti kata dari persetujuan pemborongan kerja
disebutkan dalam pasal 1601 b tersebut sebagai suatu persetujuan, dalam mana pihak satu,
si pemborong (aannemer) berjanji guna pihak lain, yang memborongkan (annbesteder),akan
menyelenggarakan suatu pekerjaan tertentu (bepaald werk) dengan suatu upah tertentu.5
F. Metode Penulisan
Perjanjian pemborongan ini bersifat konsesuil artinya perjanjian pemborongan itu ada lahir
sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang memborongkan dengan pihak
pemborong mengenai suatu pembuatan karya dan harga borongan/kontrak.
Menurut definisi tersebut dapat dikatakan bahwa yang membuat perjanjian
pemborongan atau dengan kata lain yang terkait dalam perjanjian pemborongan adalah dua
pihak saja yaitu, pihak kesatu disebut bouwheer atau pemberi tugas atau instansi
pemerintahan dan pihak kedua disebut pemborong atau rekanan (perusahan rekanan) atau
kontraktor.
Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau
skripsi harus berdasarkan pada data yang diperoleh secara objektif dan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
5
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Selain
itu juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.6
Jenis penelitian dan metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum
normatif (yuridis normatif) adalah merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja.7 Penelitian hukum dengan
menggunakan pendekatan normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
yang secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder
ataupun tersier.8
Pengumpulan data merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi, didasarkan
atas suatu penelitian penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari peraturan
perundang-undangan yaitu, Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Peraturan Menteri
Nomor 7 Tahun 2011, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bahan hukum sekunder merupakan buku hukum yang memberi penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat para ahli.
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta,1986,hal.43 7
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT Grafindo Persada, Jakarta. 2003, hal 13-14
8
a) Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dengan hal ini penulis mencari serta mengumpulkan serta mempelajari data
dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau beberapa literatur berupa
buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, dokumentasi lainnya seperti
koran, majalah serta sumber-sumber teoritis ilmiah lainnya yang berhubungan
dengan pelaksanaan analisis terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan skripsi ini.
b) Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus
Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
proses pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan yang
diperoleh dalam penelitian kepustakaan yang disebutkan di atas.
G. Sistematika Penulisan
Dalam suatu karya ilmiah khususnya penulisan skripsi, sistematika penulisan merupakan
bagian yang sangat penting, karena dengan sistematika penulisan ini maka
pembahasannnya akan dapat diarahkan untuk menjawab masalah-masalah dan
membuktikan kebenaran hipotesanya. Kemudian agar memudahkan isi dari skripsi ini,
maka sistematika penulis ini disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasarnya yang
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian, dalam bab ini menerangkan ruang
lingkup perjanjian, pengertian perjanjian, jenis-jenis perjanjian, subyek dan syarat sahnya
perjanjian, berakhirnya perjanjian.
Bab III Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pemborongan, dalam bab ini
menerangkan pengertian perjanjian pemborongan, peraturan hukum yang mengatur
perjanjian pemborongan, pihak dalam perjanjian pemborongan, hak dan kewajiban dalam
perjanjian pemborongan, berakhirnya perjanjian pemborongan.
Bab IV Perjanjian Pemborongan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air dengan Perusahaan
Rekanan Menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, dalam bab ini menerangkan
tentang proses pelaksanaan, proses pembuatan perjanjian pemborongan, tahap pelaksanaan
kontrak, pra kontrak, tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian
pemborongan, penyelesaian perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian yang
dimana hal tersebut dilakukan antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral
Sumber Daya Air dengan Perusahaan Rekanan.
Bab V Kesimpulan dan Saran, dalam bab terakhir ini akan dibahas kesimpulan dari
analisa bab-bab sebelumnya, selanjutnya saran-saran terhadap hasil analisa pada bab
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A.Ruang Lingkup Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Hukum Perjanjian diatur dalam bab II dan bab V sampai dengan Bab XVIII buku III
KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para
pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan undang-undang. Hal ini memiliki makna bahwa buku III KUH Perdata
dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan
lain/menyimpanginya namun hanya bersifat pelengkap saja dan mengikuti beberapa
syarat, karena di dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa (yang
bersifat pemaksa, misalnya Pasal 1320 KUH Perdata).
Dikatakan bersifat pelengkap berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian itu dapat
disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka
diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka
adakan dan diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal hukum perjanjian. Jika para pihak tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka
dapat dikatakan mereka tunduk kepada undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
Definisi perjanjian dalam KUH Perdata dalam Pasal 1313 mengatakan suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Definisi perjanjian yang terdapat
dalam ketentuan KUH Perdata ini terlalu luas dan tidak lengkap, dikatakan tidak lengkap
karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja.9
Yahya Harahap mengatakan perjanjian atau Verbitensis mengandung pengertian
suatau hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewqjibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Dikatakan terlalu luas karena dapat sampai mencakup hal-hal janji kawin yaitu
perbuatan didalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun,
istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga buku ke
III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan
hukum, sedangkan didalam perbuatan melawan hukum ini tidak unsur persetujuan.
Adanya ketidaksempurnaan definisi perjanjian yang berada dalam KUH Perdata
ini membuat para sarjana dan ahli hukum membuat definisi atau melengkapi definisi
perjanjian yang ada menuru pendapat mereka masing-masing.
10
9
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,PT Alumni,Bandung,2005,hal.18 10
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.11
Penyempurnaan definisi perjanjian Pasal 1313 menurut Handri Raharjo, “suatu
hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek
hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (parapihak/subjek hukum)
saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang berhak atas prestasi dan begitu
juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestastinya sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut menimbulkan akibat
hukum.”
12
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.13
Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang
dinamakan “perikatan”. Perjanjian tersebut menimbulkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian Subekti mengatakan bahwa perjanjian mempunyai suatu
hubungan yang khusus dengan perikatan. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua “pihak”, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
11
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.49. 12
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal.42. 13
adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.14
14
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional ,Alumni,Bandung,1976,hal.13
Perjanjian adalah sumber
perikatan, walaupun perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi
ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan. Subekti menyimpulkan bahwa apabila
orang-orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka maksud mereka adalah agar
antara mereka itu berlaku suatu perikatan hukum.
Perjanjian dalam pembicaraan umum dan buku-buku hukum adalah menunjuk
kepada perjanjian yang mengikat, dan juga dalam buku ini bila tidak dinyatakan lain
maka yang dimaksudkan dengan perjanjian adalah perjanjian yang mengikat (perikatan)
Perikatan-perikatan yang dimaksudkan diatas adalah merupakan suatu peristiwa
dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat
dinamakan “perjanjian” yaitu suatu peristiwayang berupa rangkaian janji-janji. Dapat
dikatakan bahwa “perjanjian sudah sangat populer dikalangan rakyat.
Ada juga beberapa penulis yang memakai perkataan “persetujuan” , yang tentu
saja tidak salah, karena peristiwa yang dimaksud juga merupakan suatu kesepakatan atau
pertemuan kehendak dua orang atau pihak untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan
“persetujuan” kalau dilihat dari segi terjemahan memang lebih sesuai dengan perkataan
Belanda “overeenkomst” yang dipakai oleh KUH Perdata tetapi karena perjanjian oleh
masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan
rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh Hukum, maka banyak para
Perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dari mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15
a. Asas kebebasan berkontrak
Secara umum pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh para sarjana adalah
merupakan memenuhi ketidaklengkapan definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal
1313 KUH Perdata saja, dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum
dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap yang satu dengan
yang lain.
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, namun secara umum asas
perjanjian hanya terdapat lima, yaitu:
Asas ini mempunyai makna setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini bersifat relatif (kebebasan
kontrak yang bertanggungjawab) dan asas inilah yang menyebabkan hukum
perjanjian bersifat terbuka.
b. Asas konsensualisme
Yang dimaksud dengan asas konsensualisme adalah jika perjanjian tersebut
telah dibuat, maka telah sah perjanjian tersebut mengikat secara penuh. Asas ini
15
dapat ditemukan dalam pasal 1320 yang ditemukan istilah “semua”. Kata-kata
“semua” menunjukkan bahwa setiaporang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (wil), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian.16
c. Asas pacta sunt servanda
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Dimana perjanjian tersebur mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai
dengan isi perjanjian.
d. Asas itikad baik
Adanya perjanjian dilakukan berdasarkan itikad baik, asas ini terdapat dalam
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Itikad baik ada dua yaitu pertama, bersifat
objektif artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Kedua, bersifat subjektif
artinya ditentukan oleh sikap batin seseorang.
e. Asas kepribadian (personalitas)
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali
untuk dirinya sendiri. Pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1317 KUH
Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan
bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia)17
16
a. Bagian inti (Essensialia)
Merupakan unsur yang mutlak harus ada. Merupakan sifat yang harus ada
didalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta.
Contoh: Kesepakatan
b. Bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia)
Merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam
melekat pada perjanjian, misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi.
Sedangkan, Accidentalia merupakan sifat yang melekat pada suatu perjanjian yang
secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya: Pemilihan tempat
kedudukan.
2. Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan dengan berbagai cara,yaitu18
a. Perjanjian menurut sumbernya :
:
1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya: perkawinan.
2) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang
berhubungan dengan peralihan hukum benda.
3) Perjanjian obligator, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
17
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, PT Alumni, Bandung, 1996, hal.99 18
4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.
5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
b. Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi19
1) Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada 2 macam, yaitu timbal
balik sempuran dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli :
2) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada
satu pihak saja, sedangkan pada pihak lain hanya ada hak. Contoh: hibah
(Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberi kuasa (Pasal 1792 KUH
Perdata)
c. Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian
khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUH Perdata).20
1) Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki nama
dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat
dalam buku III Bab V-XVIII KUH Perdata. Contoh : perjanjian jual beli,
perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian untuk
melakukan perkerjaan, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam
meminjam dan sebagainya.
19
Salim HS,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,Sinar Grafika,2003,hal.9 20
2) Perjanjian umum/tidak bernama/innominat/perjanjian jenis baru, adalah
perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas
kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH
Perdata diundangkan.21
d. Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis
dan perjanjian tertulis, termasuk perjanjian lisan adalah Perjanjian konsensual
dan perjanjian riil. Perjanjian konsesual adalah perjanjian diantara kedua belah
pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah memiliki kekuatan mengikat (Pasal
1338 KUH Perdata).
Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang dimana berlaku setelah
terjadi penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang (pasal 1692
KUH Perdata), pinjam pakai (pasal 1740 KUH Perdata).22
Perjanjian yang termasuk dengan perjanjian tertulis, adalah perjanjian
standar dan perjanjian formal. Perjanjian standar atau baku perjanjian tertulis
berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah dibakukan terlebih dahulua
secara sepihak olehprodusen, bersifat massal, tanpa mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Sedangkan,perjanjian formal adalah
perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian
perdamaian yang harus secara tertulis (pasal 1851 KUH Perdata)
21
Ibid hal. 4 dan 17 22
e. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya menurut Mariam Darus
Badrulzaman23
1) Perjanjian liberator, yaitu perjanjian yang para pihak yang membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding)
pasal 1438 KUH Perdata. , yaitu:
2) Perjanjian pembuktian (beweijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara pihak
untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 KUH
Perdata.
4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik karena salah sau pihak bertindak sebagai penguasa
(pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan
barang pemerintah (keppres No.29/84)
f. Perjanjian campuran/contractus sui generis, perjanjian ini terdapat unsur-unsur
dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa
sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri.
Contoh perjanjian pemilik hotel dengan tamunya.
g. Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan Derden Beding (Pasal 1317
KUH Perdata), perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang
menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada
23
diluar perjanjian (bukan pihakdalam perjanjian yang bersangkutan) akan
melakukan sesuatu dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi
kewjajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu.
Derden Bending (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian
berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian sendiri dan para pihak tidak
dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa
yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (pasal 1317 KUH Perdata).
B. Subjek dan Syarat Sahnya Perjanjian
1. Subjek perjanjian
Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkan suatu janji, selain untuk dirinya sendiri. Perjanjian timbul
disebabkan oleh dua orang atau lebih, masing-masing orang itu menduduki tempat
yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi menjadi
pihak debitur.kreditur dan debitur tersebutlah yang menjadi subjek perjanjian.24
Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan
suatu perjanjian. Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan
hukum, yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun
memiliki perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan,
sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah
didaftarkan dan benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.
24
Subjek perjanjian diatur dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan 1340 KUH Perdata.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut dikenal dengan asas pribadi. KUH
Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian25
a) Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
, yaitu:
b) Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya
c) Pihak ketiga.
Pada dasarnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian
itu (Pasal 1315 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang
mengikat pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata).
Beralihnya hak kepada ahli waris adalah akibat peralihan dengan alas hak
umum yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang
yang memperoleh hak berdasarkan atas alas hak khusus, misalnya orang yang
menggantikan pembeli mendapat haknya sebagai pemilik. Hak terikat kepada
sesuatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.
Dalam kaitannya dengan janji guna pihak ketiga, maka siapa saja yang telah
menjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga
telah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya.26
25
Maria Darus Badrulzaman,1996, Op.cit.,hal.22 26
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Agar suatu perjanjian dianggap sah oleh hukum, maka haruslah memenuhi
beberapa persyaratan sahnya perjanjian. Persyaratan ini harus dipenuhi agara
perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat.
Syarat sahnya perjanjian tersebut sudag ditentukan oleh KUH Perdata, karena
perjanjian dianggap sah jika memenuhi 4 (empat) persyaratan yang berada dalam
KUH Perdata yaitu dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Keempat syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam KUH Perdata adalah
sebagai berikut:
a) Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri;
b) Cakap untuk membuat suatu perikatan;
c) Suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang halal;
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif dikarenakan kedua
syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Bila syarat ini tidak dipenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif
minimal dari pihak yang merasa dirugikan).27
27
R. Subekti,Hukum Perjanjian, Op.cit. hal 20
Dengan batas waktu membatalkannya
5 tahun (Pasal 1454 KUH Perdata) Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan
dipenuhi maka perjanjian dianggap batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan).28
a) Sepakat
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
Kesepakatan para pihak merupakan insir mutlak untuk terjadinya suatu
perjanjian. Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan
perjanjian atau pernyataan kehendak disetujui antara pihak-pihak.29
Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya
perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam
teori/ajaran, yaitu
Pernyataan
pihak yang menwarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang
menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
30
a) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat
kehendak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat. :
b) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
28
Ibid. 29
Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal.98 30
c) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.
d) Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu
terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang
menawarkan.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan
secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain
yang dikenal dalam KUH Perdata yakni disebut dengan cacat kehendak (kehendak
yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal
1321 KUH Perdata) :
a) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (1321 KUH Perdata)
b) Paksaan /dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata)
c) Penipuan/bedraq (Pasal 1328 KUH Perdata)
Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan,
namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Undang undang
membedakan dua jenis kekhilafan, yaitu mengenai orang (error inpersonal) dan
kekhilafan mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian (error insubtantia).
Paksaan merupakan bukan karena kehendaknya sendiri, namun karena
dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan dapat terjadi jika perbuatan tersebut dapat
menimbulkan ketakutan bahwa dirinya diancam atau kekayaan dengan suatu
kerugian (Pasal 1324 s.d 1327 KUH Perdata). Dengan demikian maka pengertian
paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan
sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang
sehingga ia membuat perjanjian.31
Perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang sudah dijelaskan
diatas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak diluar KUH Perdata,
yaitu penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini tidak adanya ancaman fisik hanya
terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak
berpengalaman, atau tidak tahu.
Sedangkan, Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memngaruhi
pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan
sesuatu. Pihak tersebut menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran
yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk
menyepakati.
32
b) Kecakapan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan kecuali jika
undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. Orang-orang yang
tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
31
Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal 101 32
yang berada dibawah pengampuan. Dalam hal kecakapan ini diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1329 sampai dengan 1328.
Dulu orang-orang perempuan yang telah bersuami termasuk orang yang tidak
cakap berbuat (Pasal 108 KUH Perdat), tetapi hal ini sudah dicabut dengan SEMA
No.3 Tahun 1963 tentang kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama
dengan laki-laki sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap
pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi.33
Kedua,mereka yang diletakkan dibawah pengampuan. Hal ini diatur dalam
Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah dimana
keadaan seseorang tidak dapat cakap bertindak karena sifat-sifat pribadinya ataupun
tidak dalam segala cakap untuk bertindak dalam lalu lintas hukum, karena orang
tersebut oleh putusan hakim dimasukkan kedalam golongan orang yang tidak cakap
bertindak dan diberi wakil menurut undang-undang sebagai pengampu.
Dengan demikian maka orang yang tidak cakap, yaitu pertama, mereka yang
belum cukup umur. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah mereka yang belum
genap berusia 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat
melakukan perbuatan hukum maka harus diwakilkan oleh wali/perwalian (Pasal
33-414 KUH Perdata).
34
33
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17319,diakses tanggal 1 April 2013 jam 15.30 wib 34
Ibid, hal.54
Tidak
cakap tersebut seperti dalam Pasal 433 KUH Perdata, yaitu keadaan dungu, sakit
kewajibannya) dan Pemboros/pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada
perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).
Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
berbuat hukum adalah dapat dimintakan pembatalannya (Pasal 1331 ayat 1 KUH
Perdata).35
c) Suatu hal tertentu
Undang-undang menetukan benda-benda yang dapat dijadikan obek perjanjian.
Benda-benda itu adalah yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Suatu
perjanjian harus mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan
(Pasal 1332 sampai dengan 1335 KUH Perdata). Objek perjanjian dapat
dikategorikan dalam pasal tersebut36
1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat
dihitung.
:
2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk
kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).
d) Suatu sebab yang halal
Untuk sahnya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya kausa.
Undang-undang tidak memberikan pengertian kausa. Kausa yang dimaksudkan
35
Ibid 36
bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan isi atau maksud dari perjanjian itu
sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian.
Melalui syarat ini, didalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian
tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan
undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 s.d 1337 KUH
Perdata).37
C. Berakhirnya Perjanjian
Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang penting
dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu undang-undang menentukan bahwa
perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Persetujuan-persetujuan itu
haruslah dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata).
Melaksanakan apa yang menjadi hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain dari
yang membuat perjanjian.
Mengenai berakhirya perjanjian diatur dalam Bab ke empat Buku ke III KUH
Perdata tentang hapusnya perikatan. Masalah “hapusnya perjanjian” (tenietgaart van
37
verbintenis) bisa juga disebut dengan “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van
overeenkosmt). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan
dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.38
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUH Perdata)
Banyak cara dan macam dapat menghapuskan perjanjian. Misalnya dengan cara
membayar harga yang dibelinya atau dengan jalan mengembalikan barang yang dipinjam.
Bisa juga dengan pembebasan hutang dan sebagainya.
Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 KUH
Perdata. Dalam pasal ini telah disebut satu persatu cara dan jenis penghapusan perjanjian.
Cara penghapusan yang disebut Pasal 1381 KUH Perdata adalah:
Pembayaran adalah pelunasan utang (uang,jasa,barang) atau tindakan pemenuhan
prestasi oleh debitur kepada kreditur.39 Pihak-pihak yang wajib melaksanakan
pembayaran selain debitur. Berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang
orang-orang selain debitur sendiri yang dapat melaksanakan perikatan, yaitu40
a) Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan terhutang dan seorang
penanggung.
:
38
M Yahya Harahap, Op.cit.,hal.106 39
Handri Raharjo, Op.cit.,hal.96 40
b) Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak
ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur atau pihak
ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal tidak menggantikan hak-hak tertentu.
Berdasarkan Pasal 1385 KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima
pembayaran:
a) Kreditur sendiri
b) Seseorang yang diberi kuasa oleh kreditur
c) Seseorang yang diberi kuasa oleh hakim atau undang-undang
Undang-undang telah menentukan pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran
meskipun begitu penentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Tidak bersifat mutlak
dikarenakan masih diberikan kemungkinan bagi debitur untuk membayarkan prestasi pada
“orang yang tidak menerima pembayaran” dengan syarat, yaitu kreditur membenarkan
pembayaran tersebut atau nyata-nyata telah mendapat manfaat daripadanya. Bila debitur
melakukan pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap maka pembayaran itu tidak sah,
hal ini terdapat didalam Pasal 1387 KUH Perdata.
Pada dasarnya pembayaran dilakukan ditempat yang diperjanjikan namun bila didalam
perjanjian itu tidak ditentukan tempat pembayaran, maka hal itu diatur di dalam Pasal 1393
KUH Perdata. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga,
diperjanjikan ataupun ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a) Subrogasi karena perjanjian. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata
b) Subrogasi karena undang-undang. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan (konsinya)
Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian debitur hendak
membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat
menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perihal
tentang konsinya diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata.
3. Novasi/pembaharuan hutang (Pasal 1413-1424 KUH Perdata)
Merupakan perjanjian antara debitur dengan kreditur dimana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Novasi berdasarkan Pasal
1413 KUH Perdata terdiri dari 3 bentuk, yaitu41
a) Debitur dan kredditur mengadakan perjanjian baru, dengan mana perjanjian lama
dihapuskan.
:
b) Apabila terjadi penggantian debitur, dengan penggantian nama debitur lama
dibebaskan dari perikatannya.
41
c) Apabila terjadi penggantian kreditur, dengan mana kreditur lama dibebaskan dari
perikatannya.
Bentuk pertama dinamakan novasi objektif, bentuk kedua dinamakan novasi subjektif
yang pasif, bentuk ketiga dinamakan novasi subjektif yang aktif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1415 KUH Perdata tentang kesepakatan antara mereka
yang mengadakan pembaharuan utang, Gunawan Widjaja mengatakan berarti suatu
pembaharuan utang harus dengan tegas menyatakan bahwa utang lama atau perikatan
lama yang ada diantara debitur dan kreditur menjadi hapus demi hukum, dan sebagai
penggantinya dibuat dengan segala ketentuan dan syarat-syarat yang baru, yang berlaku
bagi debitur dan kreditur dalam perikatan yang baru tersebut.42
4. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUH Perdata)
Merupakan penghapusan masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan
hutang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dengan kreditur.
Berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata kompensasi terjadi demi hukum. Pasal 1427
KUH Perdata menentukan syarat terjadinya kompensasi, yaitu:
a) Kedua-kedua berpokok sejumlah uang.
b) Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dalam arti diganti)
c) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
42
Undang-undang menjelaskan bahwa kompensasi terjadi demi hukum, akan tetapi
apabila dibaca melalui ketentuan Pasal 1430, 1432, 1435 KUH Perdata, maka
kompensasi tersebut menghendakinya adanya aktivitas dari pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengemukakan hutang masing-masing dan pelaksanaan dari
perhitungan atau kompensasinya. Pelarangan dilakukannya kompensasi diatur di dalam
Pasal 1429 KUH Perdata.
5. Konfisio/pencampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUH Perdata)
Merupakan pencampuran kedudukan (kualitas) dari pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian. Sebagai orang yang berutang (debitur) dengan kedudukan sebagai kreditur
menjadi satu dalam hal ini hapuslah perjanjian tersebut. Konfisio dapat terjadi
berdasarkan :
a) Alas hak hukum
b) Alas hak khusus, misalnya jual beli atau legaat
6. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUH Perdata)
Undang-undang tidak memberikan definisi apa yang disebutkqn dengan pembebasan
utang. Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman pembebasan utang adalah
pembuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur
perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.43
43
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Op.cit.,hal 187
Menurut Pasal
dibuktikan. Misalnya, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh
kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya.
7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata)
Perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok
prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada debitur.
8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUH Perdata)
Dalam Pasal 1446 KUH Perdata terdapat perkataan “batal demi hukum” yang dimana
maksudnya adalah “dapat dibatalkan”. Undang-undang menentukan jangka waktu suatu
tuntutan pembatalan itu harus diajukan yaitu, lima tahun, yang mulai berlaku :
a) Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan.
b) Dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan.
c) Dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu telah terhenti.
d) Dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari itu diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.
e) Dalam hal kebatalan tersebut dalam Pasal 1341 KUH Perdata, sejak hari
diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk pembatalan itu ada.
9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUH Perdata)
Memiliki pengertian suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan
perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 KUH Perdata). Berlakunya syarat ini diatur dalam
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN
A.Pengertian Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata disebut dengan istilah pemborongan
pekerjaan. Dimana perjanjian pemborongan merupakan salah satu perjanjian untuk
melakukan pekerjaan, sebab Bab 7A Buku III KUH Perdata yang berjudul “Perjanjian
untuk melakukan pekerjaan” dimana didalamnya terdapat tiga macam perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian kerja
2. Perjanjian pemborongan
3. Perjanjian menunaikan jasa
Ketiga perjanjian tersebut memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain
namun memiliki persamaan yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaan bagi pihak
lain dengan menerima upah.
Defenisi perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1601 KUH
Perdata yaitu Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak
yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Namun, menurut Djumialdji definisi yang terdapat dalam KUH Perdata tersebut kurang
tepat menganggap bahwa perjanjian pemborongan merupakan perjanjian yang sepihak
saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik hak dan
kewajiban.44
Sehingga Djumialdji memberikan definisi perjanjian pemborongan yang benar
menurutnya yaitu, pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan,
sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu
harga yang ditentukan.45
Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan dalam bukunya “Aneka Hukum
Bisnis” bahwa perjanjian pemborongan disebut dengan “kontrak bangunan”. Kontrak
bangunan adalah suatu perjanjian, pihak yang satu pemborong (kontraktor) mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan
(annbesteder, pemberi tugas) dengan menerima suatu harga yang ditentukan.46
Dilihat dari objeknya, perjanjian pemborongan ini sedikit mirip dengan perjanjian lain
seperti yang dijelaskan sebelumnya diatas yaitu dengan perjanjian menunaikan kerja dan
perjanjian kerja yang lainnya. Namun selain itu, menurut Sri Soedewi Mascjhun Sofwan
perjanjian pemborongan mirip dengan perjanjian jual beli. Akantetapi, memiliki beberapa
perbedaan, yaitu47
44
FX Djumialdji,Hukum Bangunan(Dasar-dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia),Rineka Cipta,Yogyakarta,1996,hal.4
45 Ibid 46
Mariam Darus Badrulzaman,2005,Op.cit,hal.60 47
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.cit.,hal 53
1. Pada perjanjian jual beli mensyaratkan adanya saat tertentu agar barang obyek
perjanjian berpindah menjadi milik pembeli. Perjanjian pemborongan tidak
mensyaratkan saat tertentu demikian, melainkan memerlukan jangka waktu tertentu,
yang didalamnya terjadi kegiatan kegiatan fisikdiatas sebidang tanah. Dan pada akhir
jangka waktu tersebut di atas sebidang tanah itu akan tercipta bangunan atau terpasang
mesin-mesin yang belum ada sebelumnya.
2. Pada perjanjian pemborongan bangunan memungkinkan hadirnya pihak ketiga yang
tidak merupakan pihak dalam perjanjian, namun mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan perjanjian, yaitu architect, surveyor atau consulting engineer.
3. Pada perjanjian pemborongan pembangunan memungkikan adanya seorang atau
sejumlah sub kontraktor. Sedang perjanjian yang mengatur mengenai hak-hak dan
kewajiban sub kontraktor, ini hanya merupakan hubungan intern antara mereka dengan
kontraktor utama. Bouwheer (employer) tidak mempunyai hubungan perjanjian dengan
sub kontraktor.
Perjanjian pemborongan pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, karena selain
berguna untuk kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa perjanjian
pemborongan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut
keselamatan umum dan tertib bangunan. Perjanjian pemborongan juga dibuat dalam bentuk
perjanjian standar berdasarkan pada berlakunya standar yang menyangkut segi yuridis dan
Perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah dibuat secara tertulis dan
dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (Surat Perintah Kerja dan
Surat Perjanjian Pemborongan) dibuat dalam bentuk model-model formulir tertentu yang
dimana isinya ditentukan hanya sepihak oleh pihak yang memborongkan. Hal ini terdapat
dalam pengaturan di peraturan standar/baku yaitu A.V 1941.
A.V 1941 merupakan peraturan standar atau baku bagi perjanjian pemborongam
khususnya untuk proyek-proyek Pemerintah. Syarat perjanjian pemborongan termasuk
kedalam sebagai perjanjian standar adalah sebagai berikut:
1. dengan penunjukan yaitu, dalam Surat Perintah Kerja (SPK) atau dalam Surat
Perjanjian Pemborongan (Kontrak) terdapat ketentuan-ketentuan yang menuju pada
pasal-pasal dari A.V.1941
2. dengan penandatanganan yaitu, dalam Surat Perintah Kerja (SPK) atau dalam Surat
Perjanjian Pemborongan (Kontrak) dimuat ketentuan-ket