• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap aplikasi pupuk organik dari limbah kulit buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang diinkubasi dengan 4 jenis biodekomposer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap aplikasi pupuk organik dari limbah kulit buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang diinkubasi dengan 4 jenis biodekomposer"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI

DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER

MOCHAMAD SUWARNO

A24050499

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

MOCHAMAD SUWARNO. Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Aplikasi Pupuk Organik dari Limbah Kulit Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Diinkubasi dengan 4 Jenis Biodekomposer. (Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA dan MUHAMMAD SYAKIR).

Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon tanaman jagung terhadap aplikasi pupuk organik yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak pagar melalui dekomposisi dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang yang diaplikasikan dalam berbagai taraf dosis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca kebun percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro).

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial sebanyak dua faktor dengan dua kali percobaan yaitu percobaan I yang menggunakan tanah 5 kg/polibag dan tanpa penambahan kapur pertanian sedangkan percobaan II menggunakan tanah 15 kg/polibag dan dilakukan penambahan kapur pertanian 5 x Al-dd. Faktor pertama ialah jenis kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak yang didekomposisikan dengan empat biodekomposer yaitu Orgadec, Mdec, Biotriba, EM4, dan kontrol serta penambahan bahan organik berupa pupuk kandang (kotoran sapi) dan tanpa penambahan bahan organik (kontrol 100%, kontrol 75%, EM4 100%, EM4 75%, Biotriba 100%, Biotriba 75%, Orgadec 100%, Orgadec 75%, Mdec 100%, dan Mdec 75%). Faktor kedua ialah dosis aplikasi kompos yang terdiri atas 3 taraf yaitu D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Kombinasi kedua faktor menghasilkan 30 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan 90 satuan percobaan. Setiap ulangan terdapat 4 tanaman contoh untuk percobaan I sedangkan untuk percobaan II setiap ulangan terdapat 2 tanaman contoh.

(3)

(percobaan II), 5 cm panjang akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), 12 g bobot basah tongkol (percobaan II), 6 g bobot kering tongkol (percobann II), dan 5 mm diameter tongkol (percobaan II), serta menurunkan 2 mm diameter tongkol (percobaan I).

Kesepuluh jenis kompos yang dihasilkan dilakukan isolasi setelah pencampuran dengan tanah dalam kondisi lembab selama satu minggu. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh perlakuan jenis kompos K0B2 berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, brangkasan, dan generatif tanaman. K0B2 mampu meningkatkan 48 g bobot basah total (percobaan II), 3 cm panjang akar (percobaan I), 8 cm panjang akar (percobaan II), 14-15 g bobot basah tongkol (percobaan II), dan 5 cm panjang tongkol (percobaan II). Perlakuan jenis kompos K1B1 berpengaruh terhadap vegetatif dan brangkasan tanaman. K1B1 dapat meningkatkan 2 ml volume akar (percobaan I), 1.7 ml volume akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), dan 2 cm panjang tongkol (percobaan I). Perlakuan jenis kompos K0B4 dan K1B4 tidak berpengaruh terhadap vegetatif, brangkasan, dan generative tanaman.

(4)

JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI

DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

MOCHAMAD SUWARNO

A24050499

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

BUAH JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER Nama : Mochamad Suwarno

NRP : A24050499

Departemen : Agronomi dan Hortikultura

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Herdhata Agusta) (Dr. Ir. Muhammad Syakir) NIP: 19590813 198303 1 003 NIP: 19581117 198403 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr) NIP: 19611101 198703 1 003

(6)

Penulis bernama Mochamad Suwarno yang lahir di Jakarta pada tanggal 13 Januari 1987 dari pasangan Mohamad Sumedi (Alm.) dan Sainah Sunarti. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak di TK. Irsyadiyah, Jakarta Pusat tahun 1991-1993. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN Sumur Batu 10 Pagi, Jakarta Pusat dari tahun 1993 hingga 1999. Jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, penulis tempuh di SLTPN 228, Jakarta Pusat tahun 1999-2002. Pada tahun 2002-2005 penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 5, Jakarta Pusat dan tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diberi judul “Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Aplikasi Pupuk Organik dari Limbah Kulit Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Diinkubasi dengan 4 Jenis Biodekomposer”.

Penelitian ini didasari untuk pemanfaatan limbah kulit buah dari pertanaman jarak pagar yang berlimpah pada saat panen raya. Penelitian ini diharapkan dapat mengembalikan hara yang terdapat dari limbah kulit buah jarak agar dapat dimanfaatkan kembali ke tanaman. Penyusunan skripsi ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak sehingga dapat memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2011

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis dengan ketulusan dan kerendahan hati ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada :

1. Bapak (Alm.) dan Ibu tercinta, atas doa-doa yang telah dicurahkan tak terhingga, kasih sayang dan semangat yang selalu ditunjukkan secara nyata. Kepada Eri Sulistyowati dan Dasyanto, Edi Sarwono dan Desi Anggraeni, Agus Setiono dan Helaliah terima kasih untuk dukungan dan kepercayaan yang telah diberikan serta untuk Andre Sakti Wicaksono, Andhika Bagas Prasetyo, Khevin Eryanto, Muhammad Ariiq Al-Fayyad, Muhammad Hafiz Ali Zaki, dan Rajwa Latifah Gusliah kalian telah memberikan hidup menjadi lebih berwarna.

2. Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Hasjim Bintoro Djoefri, M. Agr. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak pembelajaran hidup yang akan selalu teringat.

3. Dr. Ir. Herdhata Agusta dan Dr. Ir. Muhammad Syakir selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini serta membentuk diri saya menjadi pribadi yang berbeda.

4. Dosen penguji atas masukan yang telah diberikan.

5. Ir. Sumanto dan Ibu Jati Purwani yang telah membantu menyelesaikan permasalahan yang ada selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Sriani, Bapak Syukur, dan Ibu Eca yang telah memperbolehkan saya

untuk menghabiskan waktu di Laboratorium Pemuliaan Tanaman.

(9)

9. Jaka Putra Kelana, Satria Pura Nagara, Vega Heryanto, Muhammad Usron Mahmur, dan Fadli Hakim (Al-Azhar Community) terima kasih atas kebersamaan yang indah.

10.Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Bogor, Februari 2011

(10)

ix

Pelaksanaan Penelitian ... 12

Pembuatan dan Inkubasi Kompos……… ... 12

Penanaman Jagung ... 13

Pemeliharaan Tanaman Jagung ... 13

Panen dan Pengamatan ... 14

Parameter Pengamatan ... 14

(11)

x

Respon Produksi Tanaman ... 50

Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol... 50

Panjang dan Diameter Tongkol ... 54

Serapan Hara N pada Percobaan I ... 58

(12)

xi No. Teks Halaman

1. Pertumbuhan dan Produksi Perlakuan Kontrol Tanah ….. 17

2. Kandungan Hara Kompos ……… 22

3. Kandungan Hara Tanah ………... 24

4. Jumlah Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos …. 26 5. Lebar dan Panjang Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos ………... 30

6. Warna Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Pengukuran Menggunakan Munsell Color Chart dan SPAD .. 34

7. Tinggi Tanaman dan Diameter Batang pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos ………. 37

8. Bobot Basah dan Kering Total Brangkasan Tanaman ……… 42

9. Bobot Basah dan Kering Akar Tanaman ………... 45

10.Panjang dan Volume Akar Tanaman ………... 48

11.Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol ………. 52

12.Panjang dan Diameter Tongkol ……… 55

13.Serapan dan Efisiensi Serapan Hara N oleh Tanaman …… 58

(13)

xii

Tanah (1983) ………. 73

2. SNI Kompos 19-7030-2004 ……….. 73

3. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Morfologi ………….. 75

4. Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS ……….. 77

5. Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS ……….. 78

6. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah ……… 79

7. Kadar Air Akar ……….. 80

8. Deskripsi Varietas Jagung Virginia II ………. 81

9. Kondisi Umum pada Kedua Percobaan ……….. 81

10.Persentase Serangan Hama dan Penyakit ……… 82

11.Persentase Jumlah Bunga pada Kedua Percobaan ……….. 83

12.Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Panen Brangkasan ... 83

13.Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Produksi ……… 84

14.Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah ………. 84

15.Rekapitulasi Uji F-Anova Suhu dan Kelembaban Tanah … 85

16.Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Nitrat Tanah ………. 85

17.Persentase Selisih Kadar Nitrat Tanah ………. 86

18.Sumber Informasi Penghitungan Serapan Hara Tanaman Percobaan I ………. 88

19.Serapan dan Efisiensi Hara N oleh Tanaman Percobaan I .. 90

20.Sumber Informasi Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II 92

21.Penghitungan Jumlah Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II ……… 92

22.Kombinasi Perlakuan Dosis Kompos dengan Jenis Kompos untuk Peubah Panjang Tongkol ………. 93

23.Bobot Basah dan Kering Total Tanpa Transformasi ……….. 95

24.Bobot Basah dan Kering Akar Tanpa Transformasi ………… 96

25.Panjang dan Volume Akar Tanpa Transformasi ………. 97

26.Bobot Basah dan Kering Tongkol Tanpa Transformasi …… 98

(14)

xiii No. Teks Halaman

1. Kondisi Pertanaman Jagung Umur 4 MST……….. 19

2. Gejala Serangan Hama dan Penyakit……….. 21

3. Grafik Intensitas Cahaya Lingkungan Penelitian………… 28

4. Kondisi Brangkasan Tanaman……….... 40

5. Grafik Bobot Basah Total Percobaan II……….. 43

6. Kondisi Perakaran Tanaman………... 50

7. Grafik Bobot Basah Tongkol Percobaan II………. 54

No. Lampiran Halaman 1. Grafik Suhu Lingkungan Penelitian………... 74

2. Layout Petak Penelitian……… 87

3. Kompos Setelah Dicacah………. 94

4. Tata Letak Polibag……….... 94

5. Inkubasi Kompos……….. 94

6. Perlakuan Benih……… 95

7. Tahapan Pemunculan Bunga Jantan……… 95

8. Bunga Betina……….... 95

9. Panen Tanaman Percobaan I………. 96

10. Kondisi Perakaran dan Brangkasan Tanaman pada Percobaan I……… 96

11. Kondisi Hasil Produksi Percobaan I………. 97

12. Kondisi Brangkasan dan Perakaran Tanaman pada Percobaan II……… 97

13. Kondisi Hasil Produksi pada Percobaan II……… 97

(15)

Latar Belakang

Meningkatnya populasi penduduk di Indonesia memperbesar angka kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipergunakan oleh masyarakat. Menurut Hambali et al. (2006) besarnya konsumsi BBM masyarakat Indonesia sejak tahun 1995 melebihi jumlah produksi dalam negeri dan diperkirakan pasokan minyak dalam negeri akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun. Dalam menghadapi krisis dan kenaikan harga BBM di Indonesia, pemerintah mulai menggali sumber-sumber energi alternatif sebagai bahan bakar nabati. Bahan bakar yang ramah lingkungan diperoleh dari tumbuhan dikenal dengan istilah bahan bakar nabati (Indartono, 2006). Jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif menggantikan BBM karena banyak mengandung minyak nabati dan relatif mudah untuk dibudidayakan pada lahan kritis (Hariyadi, 2005).

(16)

Proses ekstraksi minyak nabati dari buah jarak segar melalui beberapa tahapan mulai dari pengupasan kulit buah, pengeringan biji, pembersihan biji, pe- mecahan biji, pemisahan daging biji dari cangkangnya, penghalusan daging biji, pengepresan, penyaringan, dan dihasilkan minyak mentah jarak (Nurcholis dan Sumarsih, 2007). Proses pemisahan daging biji dengan cangkangnya menghasilkan limbah berupa cangkang yang apabila diproses lebih lanjut akan dihasilkan bio-oil (Manurung, 2005) sedangkan dari proses pengepresan akan dihasilkan bungkil yang dapat dikomposkan menjadi pupuk organik. Lele (2005) menyebutkan kandungan daging biji sebelum proses pengepresan yaitu minyak atau lemak 38%, protein 18%, serat 15.5%, air 6.2%, abu 5.3 %, dan karbohidrat 17%

Kulit buah jarak pagar potensial untuk dapat dijadikan sebagai pakan ternak karena mengandung protein tinggi. Akan tetapi, produk sampingan dari ekstraksi minyak nabati ini mengandung senyawa yang bersifat racun yaitu curcine atau curcacine semacam toxalbumin dan curcanoleic acid sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh hewan (Prana, 2006). Menurut Jones dan Miller (1992) ampas atau limbah kulit buah jarak memiliki kandungan 4.58% kelembaban, 3.2-4.44% N, 1.4-2.09% P, dan 1.2-1.68% K sehingga sangat sesuai digunakan sebagai pupuk organik atau kompos.

Kompos merupakan suatu hasil dekomposisi bahan organik baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Dekomposisi atau pembusukan dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimia dari bahan baku organik (sisa hewan dan tumbuhan) menjadi bentuk bahan organik matang. Proses ini dibantu oleh adanya peran mikroba (mikroorganisme) seperti bakteri, jamur, dan aktinomycetes. Mikroorganisme tersebut banyak dimanfaatkan sebagai biodekomposer yang ditujukan untuk mempercepat proses dekomposisi. Menurut Schuchardt, et al. (1998)kompos yang telah matang dapat diketahui berdasarkan kriteria primer yaitu pertumbuhan tanaman dan kriteria sekunder diantaranya C/N ratio, suhu, kadar air, warna, dan struktur bahan.

(17)

pengomposan dan meningkatkan kualitas hasil kompos (Sulistyawati et al., 2008). Jenis biodekomposer yang telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat atau petani yaitu EM4, karena di dalam EM4 mengandung lumbricus (bakteri asam laktat), actinomycetes, Streptomyces sp., ragi dan sedikit bakteri fotosintetik dengan mekanisme kerja meningkatkan fermentasi limbah (mempercepat hilangnya bau), meningkatkan ketersediaan hara, serta menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman dan patogen (Djuarnani et al., 2005).

Jagung termasuk kedalam jenis tanaman C4 yang memiliki respon yang baik terhadap cahaya yang berbeda dibandingkan dengan tanaman C3 karena perbedaan karakter fotosintesis. Zea mays akan menunjukkan pertumbuhan yang baik jika benih ditanam saat musim penghujan. Hal ini memperlihatkan bahwa cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang tidak dapat diubah. Pada lahan kering, benih jagung ditanam sedikit lebih dalam untuk mendekatkan benih dengan sumber air yang dapat membantu perkecambahan benih hingga dicapai hasil yang optimal (Subandi et al., 2004).

Pentingnya penelitian ini ialah untuk melihat kemampuan kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak yang didekomposisikan dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang apabila diaplikasikan ke tanaman dalam berbagai taraf dosis.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat respon tanaman jagung terhadap kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak melalui dekomposisi dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang apabila diaplikasikan dalam berbagai taraf dosis.

Hipotesis

1. Biodekomposer Biotriba, Mdec, dan Orgadec lebih efektif untuk pengomposan limbah kulit buah jarak pagar dibandingkan dengan EM4 atau tanpa biodekomposer.

(18)

Botani dan Nama Daerah

Jatropha curcas Linn. di Indonesia lebih dikenal sebagai tanaman pagar atau tanaman pekarangan yang ditanam di tepian jalan. Tanaman bergetah ini memiliki beberapa nama daerah diantaranya jarak kosta (Sunda), jarak budeg (Jawa), kaleke (Madura), Jarak pageh (Bali), Balancai (Manado), nawabih nawas (Aceh), Tanggang-tanggang kali kanjoli (Makasar), paku kase, paku luba, paku lunat (Timor Timur), dan balacai bisa (Ternate dan Tidore) (Heyne (1987), Sinaga (2005), Prihandana dan Hendroko (2006), Nurcholis dan Sumarsih (2007)).

Tanaman penghasil minyak ini diperkirakan pertama kali ditemukan sekitar 7 juta tahun yang lalu di wilayah benua Amerika dengan susunan taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan vaskular) Superdivisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Divisio : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (dikotil)

Subkelas : Rosidae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas Linn. Sumber : Nurcholis dan Sumarsih (2007) Syarat Tumbuh

(19)

suhu harian berkisar 22°C -35°C, curah hujan 500-1500 mm/tahun, dan hari hujan sebanyak 100-120 hari/tahun (Wahid, 2006). Menurut Hariyadi (2005) jarak pagar dapat tumbuh pada garis lintang 50°LU-40°LS, pada ketinggian tempat 2000 mdpl, suhu berkisar 18°C-30°C, berdrainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0-6.5.

Morfologi Tanaman

Tanaman penghasil minyak nabati ini merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 7 meter. Sistem perakarannya tunggang dengan warna akar putih kecoklatan, batang silindris, berwarna putih kelabu, berkayu dan bergetah, daun berwarna hijau berstruktur tunggal dan berbentuk bulat telur berlekuk, bersudut tiga atau lima, tulang daun menjari dengan 5-7 tulang daun utama, panjang daun 4-15 cm, dan lebar daun 6-16 cm (Hariyadi, 2005).

Percabangannya tersusun tidak beraturan dengan tiga jenis cabang yaitu cabang primer merupakan cabang yang pertama tumbuh atau batang utama, cabang sekunder adalah yang tumbuh dari cabang primer serta akan menjadi tempat tumbuh dari cabang terminal, dan cabang terminal ialah tempat tumbuh dari daun, bunga, dan buah sehingga tindakan pemangkasan menjadi perlu untuk mengatur produksi. Menurut Ferry (2006) jumlah cabang terminal yang dipelihara melebihi 40 cabang akan menurunkan produksi sehingga yang terbaik dengan memelihara tiga cabang terminal untuk setiap satu cabang sekunder.

(20)

Buah masak setelah 40-50 hari dari penyerbukan, buah muda berdaging dan berwarna kehijauan, kemudian menguning dan mengering. Buah dapat pecah jika lewat masak dan biasanya berisi tiga biji berwarna kehitaman (Hasnam, 2006). Biji berbentuk ellips, mengandung minyak nabati hingga mencapai 40%, jumlah produksi biji kering untuk kualitas terbaik adalah 1 300-1 500 biji/kg (Ferry, 2006).

Jagung (Zea mays L.)

Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang responsif terhadap kondisi lingkungan. Pertumbuhan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan tumbuhnya seperti ketersediaan hara dalam tanah, ketersediaan air tanah, dan intensitas cahaya. Faktor lingkungan tersebut akan dapat mempengaruhi produktivitas hasil tanaman ini, sesuai dengan pernyataan Purnomo (2005) respon hasil produksi yang rendah terjadi pada pertanaman jagung yang ditanam pada lahan dengan intensitas cahaya yang rendah atau ternaungi, karena besarnya kompetisi yang terjadi dengan tanaman pokok terutama dalam hal unsur hara dan air.

Zea mays akan menunjukkan pertumbuhan yang baik jika benih ditanam saat musim penghujan. Hal ini memperlihatkan bahwa ketersediaan air untuk tanaman ini berasal dari air hujan sedangkan ketersediaan hara pada jagung tidak cukup jika mengandalkan ketersediaan hara mineral tanah sehingga perlu adanya pemupukan. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang tidak dapat diubah. Pada lahan kering, benih jagung ditanam sedikit lebih dalam dari lahan basah karena untuk mendekatkan benih dengan sumber air yang dapat membantu perkecambahan benih hingga dicapai hasil yang optimal (Subandi et al., 2004).

(21)

radiasi aktif untuk fotosintesis (PhotosyntheticActive Radiation/PAR) (Gallo and Daughtry, 1986; Taiz and Zieger, 1998; Hall and Rao, 1999). Tanaman yang memperoleh pencahayaan dibawah optimum, produksinya menjadi rendah baik pada tanaman C4 seperti jagung (Sitompul 2003) maupun tanaman C3 seperti kedelai (Adisarwanto et al., 2000).

Kompos dan Pupuk Kandang

Tanah merupakan salah satu komponen yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman kurang diperhatikan terutama masalah nutrisi atau hara tanah. Selain pupuk anorganik yang ditambahkan ke dalam tanah, terdapat pula pupuk organik diantaranya kompos. Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik baik dari sisa tanaman, sisa hewan, maupun limbah organik. Menurut Djuarnani et al. (2005) menyatakan kompos diartikan sebagai partikel tanah bermuatan negatif yang dapat berkoagulasi dengan kation dari tanah sesingga terbentuk granul-granul.

Bahan baku dalam pembuatan kompos dapat berupa kotoran sapi, kotoran ayam, limbah pemotongan hewan, serbuk gergaji, rumput sisa ransum ternak, jerami padi, kimbah tanaman, sampah rumah tangga, dan limbah industri makanan (Djaja, 2008). Pembuatan kompos dapat dilakukan di dalam bak, drum, atau di lahan sawah. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan mengenai tempat pembuatan kompos yaitu :

• Tempat pembuatan diusahakan berada lebih tinggi dari sekitarnya agar saat hujan tidak tergenang.

• Beratap agar tidak terkena sinar matahari langsung atau hujan.

• Untuk memudahkan saat pembalikan kompos dan untuk keberlanjutan produksi maka tempat pembuatan dibagi menjadi empat bagian (4 petak).

• Satu dengan yang lainnya cukup disekat dengan papan atau bambu. (Balai Penelitian Teknologi Pertanian, 2009)

(22)

menunjukkan kondisi kompos yang telah matang, kandungan air karena dapat meunjang proses metabolik mikroba, porositas, struktur, tekstur, dan ukuran partikel bahan baku, pH bahan baku, temperatur, dan lamanya waktu.

Semua bahan organik yang berasal dari pembuangan kotoran ternak yang digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah dinamakan pupuk kandang (Balasubramanian dan Bell, 2006). Pupuk kandang dan sumber organik lainnya digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan kadar bahan organik tanah menyediakan hara mikro, dan memperbaiki struktur tanah. Penggunaan bahan-bahan ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara dalam tanah. Pupuk kandang (pukan) yang berasal dari kotoran ternak berbeda satu sama lain. Pukan dari kotoran sapi dan kerbau banyak mengandung air, kotoran sapi potong memiliki kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan kotoran sapi perah. kotoran ayam mengandung unsur N tinggi dan sedikit kering, kualitas pukan antara kotoran ayan petelur berbeda dengan ayam potong dan ayam kampong (Djaja, 2008).

Adapun keunggulan dari kompos bila dibandingkan dengan pupuk anorganik diantaranya kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara menggemburkan tanah atau meningkatkan ketersediaan bahan organik dalam tanah, meningkatkat daya serap air dan hara, menyediakan makanan bagi mikroorganisme tanah, memperbesar daya jerap tanah, memperbaiki drainase dan aerasi tanah, membantu proses pelapukan bahan mineral, dan melindungi tanah dari kerusakan, kompos juga menyebabkan beberapa jenis tanaman tahan terhadap serangan penyakit, dan menurunkan aktivitas patogen tanah (Djuarnani et al., 2005).

Biodekomposer (EM4, Orgadec, Mdec, dan Biotriba)

(23)

Biasanya organisme ini berupa bakteri, aktinomycetes, atau jamur (Djaja, 2008). Beberapa jenis biodekomposer telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat terutama petani diantaranya EM4, Orgadec, Mdec, dan Biotriba.

Effective Microorganism (EM4) merupakan suatu bahan pelarut yang mengandung sejumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan seperti lumbricus (bakteri asam laktat), actinomycetes, Streptomyces sp., ragi dan sedikit bakteri fotosintetik dengan mekanisme kerja meningkatkan fermentasi limbah (mempercepat hilangnya bau), meningkatkan ketersediaan hara, serta menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman dan patogen (Djuarnani et al., 2005).

Organic decomposer (Orgadec) adalah bioaktivator yang memiliki kemampuan untuk mengurai bahan organik mentah dalam waktu yang relatif singkat serta menekan munculnya beberapa penyakit akar. Mikroorganisme yang terkandung dalam Orgadec diantaranya Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. yang dapat menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa sehingga biodekomposer ini sesuai diaplikasikan pada limbah padat organik tandan kosong kelapa sawit, kulit kakao, jerami padi, dan pangkasan sisa teh. Orgadec memiliki mekanisme kerja menurunkan C/N secara efisien, tidak menimbulkan bau tidak sedap, menghasilkan mutu kompos yang seragam, efisiensi tenaga kerja karena tidak perlu pembalikan bahan baku, menekan pertumbuhan gulma, mengandung unsur hara makro dan zat pengatur tumbuh serta sesuai untuk kondisi tropis (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2008).

(24)

perkecambahan biji gulma, dan volume bahan buangan (Balai Penelitian tanah, 2009).

(25)

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain limbah jarak pagar berupa kulit buah, dekomposer (Orgadec, Mdec, Biotriba, dan EM4), pupuk kandang kotoran sapi, furadan, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, kapur pertanian, dan benih jagung varietas jagung manis Virginia II. Alat yang digunakan ialah polibag ukuran 5 kg tanah (30 cm x 30 cm), polibag ukuran 15 kg tanah (60 cm x 60 cm), Munsell Color Chart (MCC) tabel 2.5 GY, jangka sorong digital, SPAD (Chlorophylltester CT-102 kalibrator 2.46), Moisture detector EM 4811, Lightmeter Licor Li-250, Horiba Nitrat-Ionmeter C-141, dan rumah kaca (12 m x 8 m) dengan pemasukan cahaya sebesar 33.3%.

Metode Percobaan

(26)

Model matematikanya adalah sebagai berikut :

Apabila hasil analisis uji F menunjukkan berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan dan Inkubasi Kompos

Kompos dibuat dengan menggunakan limbah kulit buah jarak pagar dan perlakuan yang digunakan yaitu pencampuran antara limbah kulit buah jarak dan pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi dengan perbandingan 3 : 1 (v:v) serta tanpa pencampuran pupuk kandang. Untuk mempercepat proses dekomposisi digunakan empat jenis dekomposer yaitu Orgadec, Mdec, Biotriba, EM4, dan tanpa biodekomposer. Berdasarkan kombinasi antara bahan baku, biodekomposer, dan kotoran hewan diperoleh sepuluh jenis kompos diantaranya kulit buah + tanpa kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K0B0), kulit buah + tanpa kotoran hewan + EM4 (K0B1), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Biotriba (K0B2), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Orgadec (K0B3), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Mdec (K0B4), kulit buah + kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K1B0), kulit buah + kotoran hewan + EM4 (K1B1), kulit buah + kotoran hewan + Biotriba (K1B2), kulit buah + kotoran hewan + Orgadec (K1B3), dan kulit buah + kotoran hewan + Mdec (K1B4).

(27)

dilakukan pembalikan dan penyiraman setiap satu minggu sekali hingga dan sebelum dilakukan penanaman, kompos diinkubasi dalam tanah yang telah dilembabkan selama 1 minggu. Pada saat penanaman masing-masing jenis kompos dibagi atas 3 taraf dosis aplikasi yaitu D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha).

Penanaman Jagung

Kegiatan ini dilaksanakan saat kompos telah matang. Percobaan ini dilakukan di dalam rumah kaca yang berukuran 96 m2 dengan dosis kompos yang digunakan D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Sebelum dilakukan penanaman, tanah dimasukkan ke dalam polibag ukuran 5 kg (percobaan I) dan polibag ukuran 15 kg (percobaan II) kemudian dicampur dengan kompos yang ditimbang berdasarkan bobot tanah. Polibag disusun dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm dan benih yang ditanam sebanyak 3 benih per polibag. Penjarangan dilakukan saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST).

Pemeliharaan Tanaman Jagung

(28)

Panen dan Pengamatan

Panen pada percobaan I dilakukan dua tahap yaitu pada saat tanaman berumur 6 MST (2 bulan setelah tanam/BST) dan saat tanaman berumur 10 MST dengan cara mencabut keseluruhan brangkasan tanaman sedangkan percobaan II panen hanya dilakukan pada saat 10 MST. Pengamatan dilakukan pada setiap tanaman contoh.

Parameter Pengamatan

Percobaan I

• Analisis sebelum penanaman, terkait dengan kandungan hara (N total, P tersedia, K tersedia, C-Organik, dan pH). Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro).

• Pengamatan Jagung

1. Pengamatan morfologi dilakukan setiap satu minggu sekali.

tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi.

jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun yang telah mencapai ukuran sempurna.

warna daun, dilihat berdasarkan warna yang terdapat pada permukaan atas daun (Munsell Color Chart).

panjang daun dan lebar daun, diukur dari bagian pangkal hingga ujung daun dan penampang daun pada permukaan yang terlebar.

diameter batang, diukur pada ketinggian batang lima jari dari atas permukaan tanah.

2. Pengamatan panen

panjang akar, diukur pada kondisi kering dimulai dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang

(29)

bobot basah total, diukur keseluruhan brangkasan (tajuk, akar, dan tongkol).

bobot basah akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi segar. bobot kering total, diukur bobot brangkasan setelah dikeringkan dengan oven.

bobot kering akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi kering oven.

3. Pengamatan Produksi

panjang tongkol, diukur mulai dari pangkal hingga ujung tongkol tanpa kelobot.

bobot basah tongkol, diukur bobot tongkol dengan kelobot. diameter tongkol, diukur pada bagian tengah tongkol.

• Serapan dan efisiensi serapan nitrogen (N) oleh tanaman.

Serapan hara N tanaman (M) = Kadar N tanaman (G) x Bobot kering total tanaman (H)

Serapan hara N tanaman (M)

Efisiensi serapan hara N = --- x 100 N tanah (I) + N kompos (J) + N Urea (K)

Percobaan II

• Analisis tanah sebelum penanaman, terkait dengan kandungan hara (N total, P tersedia, K tersedia, C-Organik, dan pH).

• Suhu dan intensitas cahaya di dalam serta di luar rumah kaca, dilakukan pada 1 MST, 2 MST, 7 MST, dan 8 MST dimulai dari pukul 08.00-14.00 selang dua jam sekali selama 4 hari pengamatan dalam satu minggunya.

• Suhu dan Kelembaban tanah pada saat 1 hari setelah siram (HSS) dan 4 HSS, pengukuran menggunakan alat Moisture Detector.

• Pengamatan Jagung

(30)

jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun yang telah mencapai ukuran sempurna.

warna daun, dilihat berdasarkan warna yang terdapat pada permukaan atas daun (Munsell Color Chart dan Chlorophyltester).

panjang daun dan lebar daun, diukur dari bagian pangkal hingga ujung daun dan penampang daun pada permukaan yang terlebar.

diameter batang, diukur pada ketinggian batang 10 cm dari atas permukaan tanah.

2. Pengamatan panen

panjang akar, diukur pada kondisi kering dimulai dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang

volume akar, diukur dengan melihat penambahan tinggi permukaan air dalam gelas ukur saat akar dimasukkan.

bobot basah total, diukur keseluruhan brangkasan (tajuk, akar, dan tongkol).

bobot basah akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi segar. bobot kering total, diukur bobot brangkasan setelah dikeringkan dengan oven.

bobot basah tongkol, diukur bobot tongkol dengan kelobot. bobot kering tongkol, diukur saat kering oven.

diameter tongkol, diukur pada bagian tengah tongkol.

(31)

• Kadar air tanah, pengukuran berdasarkan bobot basah dan bobot kering tanah saat 1 HSS dan 4 HSS pada kedalaman tanah 1 cm.

• Jumlah kebutuhan air per polibag.

Tabel 1. Pertumbuhan dan Produksi pada Perlakuan Kontrol Tanah

Sumber : Hasil Pengamatan dan *) tidak dilakukan pengamatan

Konversi Satuan

Konversi satuan dilakukan berdasarkan bobot tanah per hektar yang diambil pada kedalaman 20 cm atau sebesar 2 juta kg/ha. Untuk menghitung besar kebutuhan pupuk buatan dan kompos per polibag dibutuhkan informasi terkait dosis rekomendasi (DR) yaitu 300 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-36, dan 75 kg/ha KCl,bobot tanah yang digunakan yaitu 5 kg/polibag pada percobaan I dan 15 kg/polibag pada percobaan II, serta dosis aplikasi (DA) kompos per hektar yaitu 10 ton/ha, 20 ton/ha, atau 30 ton/ha. 1 me/100 g Al-dd tanah setara 1 ton/ha aplikasi kapur (AK), jika tanah percobaan terkandung 3.83 me/100 g maka dapat dihitung kebutuhan kapurnya.

Bobot tanah percobaan

Kebutuhan pupuk (B/Ko/Ka)/polibag = ---x DR/DA/AK Bobot tanah per hektar

Bobot Basah Total (gram) 38.25 12.50

Bobot Kering Total (gram) 10.63 4.00

Bobot Basah Akar (gram) 5.66 0.88

Bobot Kering Akar (gram) 2.75 0.45

Panjang Akar (cm) 17.82 17.05

Volume Akar (ml) 6.83 1.00

Bobot Basah Tongkol (gram) 11.94 3.68

Bobot Kering Tongkol (gram) * 0.75

Panjang Tongkol (cm) 5.93 4.48

(32)

Kondisi Umum Penelitian

Penelitian ini menggunakan kompos yang terbuat dari limbah kulit buah jarak. Bahan baku ini didekomposisikan dengan menggunakan empat jenis biodekomposer yaitu EM4, Biotriba, Orgadec, Mdec, dan tanpa biodekomposer. Selain itu, untuk mempercepat pembusukan bahan baku kompos dilakukan pemberian kotoran hewan sebanyak 25% serta ada juga yang tidak diberikan kotoran hewan. Masa inkubasi kompos dilakukan selama satu bulan hingga diperoleh kompos yang baik untuk tanaman.

Hasil analisis hara kompos menunjukkan bahwa kandungan kalium dan C-Organik terbesar yaitu pada kombinasi kulit buah + tanpa kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K0B0) dengan nilai 11.36 mg dan 45.50%, kandungan nitrogen dan fosfor terbesar pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + Mdec (K1B4) dengan nilai 1.77% dan 0.25 ppm, sedangkan C/N ratio kompos yang mendekati C/N ratio tanah yaitu pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + EM4 (K1B1) sebesar 22.81. Kadar air kompos yang menunjukkan nilai terbesar 18.6% pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + Biotriba (K1B2). Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan percobaan. Percobaan I dan percobaan II dibedakan berdasarkan bobot tanah per polibag (kg/polibag) dan penambahan kapur pertanian. Pada percobaan I, tanah yang digunakan sebesar 5 kg/polibag dan tanpa penambahan kapur pertanian sedangkan pada percobaan II digunakan tanah sebesar 15 kg/polibag dengan penambahan kapur pertanian sebesar 5 x Al-dd.

(33)

Bahan tanam yang digunakan ialah varietas jagung manis Virginia II. Benih ditanam sebanyak 3 butir benih/polibag, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan jumlah tanaman per polibagnya (1 tanaman/polibag). Benih yang akan ditanam dilakukan inkubasi pada kapas basah selama semalam dengan tujuan agar terjadi imbibisi air ke dalam benih sehingga akan mempermudah proses perkecambahan. Penyulaman dilakukan saat tanaman berusia 1 MST dan penjarangan dilakukan saat 3 MST. Penjarangan adalah suatu tindakan mencabut atau membuang sejumlah tanaman yang ada untuk menyisakan tanaman terbaik yang akan dijadikan tanaman contoh.

Persentase daya tumbuh tanaman saat umur 1 MST mencapai 72.58% pada percobaan I dan 82.98% pada percobaan II. Kegiatan penjarangan menjadikan persentase jumlah tanaman contoh menjadi 100% untuk kedua percobaan (Tabel Lampiran 9). Hal ini dikarenakan dalam kegiatan penjarangan ini juga dilakukan penanaman kembali bibit yang tumbuh ke polibag-polibag yang benihnya tidak berkecambah. Pemunculan bunga jantan terlihat pada saat tanaman berumur 5 MST atau 35 HST dan pemunculan bunga betina dimulai pada 7 MST atau 49 HST dan tanaman dapat dipanen hasilnya pada saat berumur 10 MST atau 70 HST. Pertumbuhan tanaman ini cenderung tidak seragam dan ditemukan adanya pemunculan bunga betina pada bunga jantan, hal ini dimungkinkan karena kondisi kesuburan tanah yang rendah, derajat kemasaman yang rendah, dan suhu lingkungan pertanaman tinggi sehingga tanaman beradaptasi secara luas.

Gambar 1. Kondisi Pertanaman Jagung Umur 4 MST a) Percobaan I dan b) Percobaan II

(34)

Kegiatan penelitian ini dilakukan di dalam rumah kaca yang kondisi suhu dan intensitas cahaya cenderung fluktuatif. Pengukuran suhu dan intensitas cahaya dilakukan di dalam rumah kaca dan di luar rumah kaca dengan tujuan untuk melihat perbandingan antara yang di dalam dan di luar. Pengukurannya dilakukan pada saat tanaman berumur 1 MST, 2 MST, 7 MST, dan 8 MST. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu dalam rumah kaca cenderung lebih tinggi dari suhu luar rumah kaca sedangkan intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah kaca hanya sebesar 1/3 kali dari intensitas cahaya luar. Hal ini dilakukan sejalan dengan pengukuran kadar air tanah sehingga kemungkinan terlihat adanya keterkaitan dengan adaptasi tanaman. Tanaman yang ternaungi memiliki wujud morfologi yang tinggi karena adanya mekanisme penangkapan cahaya dalam jumlah yang besar (Sopandie et al., 2005).

Air merupakan suatu komponen pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang cukup penting. Hal ini dikarenakan sebesar 80-90% bobot basah tanaman terdiri atas air dan pada tajuk tanaman jagung terkandung 92-93% air (Leiwakabessy, 1988). Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui penyiraman. Kebutuhan air tanaman ialah jumlah air yang hilang per satuan waktu tertentu dan sangat dipengaruhi oleh faktor tanah dan iklim. Penyiraman pada percobaan I dilakukan sebanyak 500 ml/2 hari dan percobaan II sebanyak 1 250 ml/4 hari. Pada percobaan I diperoleh hasil bahwa jumlah air yang diberikan berkisar 8.72 mm/hari atau 785 mm selama pertumbuhan (3 bulan) sedangkan pada percobaan II jumlah air yang diberikan sebanyak 2.73 mm/hari atau 245.31 mm selama pertumbuhannya (Tabel Lampiran 21).

(35)

Tanaman ada yang menunjukkan pertumbuhan kerdil, hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya derajat kemasaman tanah sehingga unsur hara tanah tidak cukup tersedia bagi tanaman (Tabel Lampiran 10).

a

b

c

(36)

Hara Kompos dan Tanah

Sifat kimia kompos dari hasil analisis dapat menunjukkan kualitasnya jika pertumbuhan dan produksi tanaman contoh yang diteliti memberikan hasil yang baik. Tisdale dan Nelson (1975) menyatakan bahwa bahan organik yang memiliki nilai C/N ratio < 20 akan menyebabkan terjadinya pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah, nilai C/N ratio antara 20-30 tidak akan terjadi pelepasan N dari bahan organik dan tidak terjadi immobilisasi nitrogen tanah, dan nilai C/N ratio > 30 akan terjadi immobilisasi nitrogen tanah sehingga C/N ratio dapat dijadikan sebagai indikator sifat kimia kompos yang dapat mempengaruhi serapan hara oleh tanaman.

Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup akan memberikan nilai C/N ratio berkisar 10-12.5 (Leiwakabessy, 1988) sehingga kompos yang diaplikasikan ke dalam tanah akan dapat memberikan pertumbuhan yang baik bagi tanaman apabila nilai C/N ratio kompos mendekati nilai C/N ratio tanah. Berdasarkan hasil analisis Tabel 2, memperlihatkan bahwa kompos K1B1 memiliki nilai C/N ratio 22.81 yang lebih dekat dengan nilai C/N ratio tanah 9.6 (percobaan I) dan 7.5 (percobaan II) sehingga dimungkinkan kompos cukup memenuhi hara bagi tanaman dan tidak akan terlalu mempengaruhi serapan hara oleh tanaman. Berdasarkan SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa kandungan C/N ratio kompos masih lebih tinggi dari standar maksimum yaitu 20 sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) C/N ratio tanah tergolong rendah.

(37)

Pada bahan baku kompos yang ditambahkan pupuk kandang cenderung memiliki nilai C/N ratio berkisar 20-30 sehingga unsur N akan tersedia dalam jumlah yang cukup untuk tanaman, sebaliknya pada bahan baku kompos tanpa penambahan pupuk kandang kisaran nilai C/N ratio > 30 kemungkinan unsur N tidak cukup tersedia. Kandungan N hasil analisis kompos berkisar 1.27-1.77% yang berdasarkan SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa kandungan N lebih tinggi dari standar minimum (0.4%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan N tanah tergolong rendah dengan nilai 0.1% untuk percobaan I dan 0.13% percobaan II sehingga dimungkinkan kandungan N tanah pada kedua percobaan tersebut dalam kondisi kurang cukup tersedia untuk tanaman.

Kandungan P tersedia dalam tanah akan berbeda menurut jenisnya, semakin muda tanah maka kandungan fosfor semakin tinggi tetapi umumnya bernilai rendah. Ketersediaannya yang rendah dikarenakan tingginya tingkat retensi P di dalam tanah sehingga sedikit tersedia dalam larutan tanah dan unsur hara ini menjadi mudah dijerap oleh oksida Fe, Al, dan Ca (Leiwakabessy, 1988). Berdasarkan hasil analisis hara kompos, kisaran unsur P antara 0.11-0.25 ppm, dalam SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa nilainya lebih rendah dari standar minimum (0.1%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan P tanah tergolong sedang dengan nilai 9.28 ppm (percobaan I) dan tergolong sangat rendah pada percobaan II dengan nilai 3.09 ppm. Pada percobaan I, dimungkinkan kandungan P cukup tersedia untuk tanaman tetapi percobaan II memiliki kemungkinan sebaliknya yaitu kandungan P kurang cukup tersedia dalam tanah.

(38)

(0.2%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan K tanah tergolong sangat rendah dengan nilai 0.04 mg (percobaan I) dan 0.09 mg (percobaan II). Baik pada percobaan I maupun percobaan II dimungkinkan kandungan K tanah kurang cukup tersedia untuk tanaman.

Kandungan C-Organik pada tanah yang digunakan dalam penelitian tergolong dalam kategori sangat rendah dengan rentang nilai 0.9-1.0 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan tanah yang digunakan kurang subur. Peningkatan kandungan C-organik melalui pemberian kompos menjadi sangat berarti untuk meningkatkan kesuburan tanah, seperti yang ditunjukkan pada kompos K0B0 (45.5%) dimungkinkan dapat meningkatkan kandungan C-Organik tanah penelitian. Secara keseluruhan kandungan C-Organik kompos berkisar antara 38-46 % berada di atas nilai standar maksimum berdasar pada SNI Kompos 19-7030-2004.

Secara umum, tanah yang digunakan pada percobaan I lebih baik untuk tanaman terkait dengan jumlah hara yang terkandung bila dibandingkan dengan tanah pada percobaan II. Derajat kemasaman tanah percobaan II lebih masam dari percobaan I sehingga dilakukan pengapuran pada percobaan II maka ketersediaan hara pada tanah percobaan II lebih rendah. Kondisi kompos yang digunakan

P2O5 tersedia (ppm) 9.28 sedang 3.09 sangat rendah

K (mg) 0.04 sangat rendah 0.09 sangat rendah

C-organik (%) 0.96 sangat rendah 0.98 sangat rendah

Al-dd (me/100 g) *) *) 3.83 sangat rendah

pH H2O 5.24 masam 4.6 masam

KCl 4.7 *) 4.48 *)

(39)

Respon Pertumbuhan Vegetatif Tanaman

Jumlah daun

Daun merupakan salah satu organ tanaman yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun dalam satu tubuh tanaman memungkinkan pemerataan jumlah cahaya yang diterima oleh daun dan penyerapan hara menjadi lebih optimum (Sulistyaningsih et al., 2005).

Peubah jumlah daun menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada taraf 1% untuk kedua percobaan (I dan II) baik untuk perlakuan dosis kompos maupun jenis kompos sedangkan keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3).

Pada percobaan II, jumlah daun terbanyak yaitu 7.13 helai (dosis kompos 20 ton/ha) dan 30 ton/ha 6.70 helai serta terrendahnya 5.65 helai pada perlakuan D1. Jumlah daun percobaan I masih lebih tinggi daripada percobaan II yang nilai rataan tertingginya terdapat pada 30 ton/ha dengan 7.68 helai dan 20 ton/ha 7.10 helai serta jumlah yang terrendah ada pada dosis D1 (6.92 helai).

Pada percobaan I, jumlah daun terbanyak terdapat pada kompos K1B0 dengan rataan 7.92 helai kemudian diikuti jenis kompos K1B3 dan K1B1 serta terrendah 6.33 helai (K0B1), K0B0, dan K0B3 sedangkan percobaan II nilai rataan jumlah daun terbanyak ada pada kompos K1B3 (7.61 helai), K1B1, dan K0B2 serta terrendah pada kompos K0B3 dan K0B4 dengan 5.50 helai (Tabel 4). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan jumlah daun berkisar antara 6–7 helai, dosis 20 ton/ha (D2) menghasilkan jumlah daun yang hampir sama banyaknya dengan D1 yaitu 7 helai, dan dosis 30 ton/ha (D3) berjumlah 7–8 helai daun dalam percobaan I. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan jumlah daun berkisar antara 5-6 helai, dosis 20 ton/ha (D2) menghasilkan jumlah daun sebanyak 7 helai, dan dosis 30 ton/ha (D3) berjumlah 6-7 helai daun.

(40)

hasil pada tabel 4 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan jumlah daun sebanyak 3-4 helai sedangkan pemberian kompos K1B3 pada percobaan II mampu meningkatkan jumlah daun sebanyak 4-5 helai. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I juga meningkatkan jumlah daun sebesar 3-4 helai sedangkan 10 ton/ha hanya meningkatkan jumlah daun sebanyak 1 helai. Percobaan II hanya mampu memperlihatkan penambahan jumlah daun sebesar 3-4 helai jika diaplikasikan 30 ton/ha sedangkan 10 ton/ha meningkatkan jumlah daun sebanyak 2 helai.

Penambahan biodekomposer pada percobaan I menunjukkan jumlah daun yang cukup banyak dibandingkan tanpa penambahan biodekomposer. Hal ini berlawanan dengan jumlah daun pada percobaan II, penambahan biodekomposer orgadec K1B3 memberikan jumlah daun yang cukup banyak (berkisar 7-8 helai) dengan ditambahkan pupuk kandang sedangkan tanpa ditambahkan pupuk kandang jenis biodekomposer ini (K0B3) hanya mampu menghasilkan 5 helai daun.

Tabel 4. Jumlah Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos

Perlakuan

Jumlah Daun

Perc. I Perc. II

Dosis Kompos …..helai….. …..helai…..

D1 6.92b 5.65b

(41)

Jumlah daun yang dihasilkan pada percobaan II lebih beragam daripada percobaan I hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang tidak menunjang pertumbuhan tanaman (suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya) dan aspek pemeliharaan tanaman yang dilakukan seperti pengapuran pada percobaan II dan penyiraman sehingga daun sulit terbentuk. Menurut Tisdale et al., (1985) antara suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya terdapat keterkaitan satu sama lain. Perubahan suhu tanah maupun lingkungan penelitian secara tiba-tiba turut mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menghasilkan daun dan hal ini dapat dikendalikan hanya dengan meningkatkan kelembaban. Apabila intensitas cahaya yang diterima tanaman kurang dan hal ini akan mempengaruhi fotosintesis daun.

Pada percobaan II, intensitas cahaya dalam rumah kaca memiliki perbedaan sebesar 33.3% dari kondisi di luar rumah kaca (Gambar 3) dan suhu dalam rumah kaca cenderung lebih tinggi dari yang di luar rumah kaca walaupun terlihat relatif tidak terlalu berbeda. Perbedaan suhu antara dalam rumah kaca dengan luar rumah kaca dapat mencapai 3ºC–6ºC dengan suhu luar berkisar 27ºC– 34.5ºC dan suhu dalam berkisar 30.5ºC-40.5ºC (Gambar Lampiran 1). Kondisi ini dimungkinkan mempengaruhi pembentukan daun pada percobaan II sehingga hasilnya lebih beragam dari percobaan I.

Inkubasi kapur yang digunakan dalam penelitian dilakukan selama 1 minggu, hal ini yang menyebabkan suhu tanah menjadi meningkat dan upaya meningkatkan kelembaban tidak dilakukan sehingga pembentukan daun dimungkinkan menjadi terhambat. Penyiraman juga menjadi faktor yang menghambat pembentukan daun, hal ini disebabkan oleh interval penyiraman dan jumlah air yang diberikan tidak seimbang sehingga turut meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban tanah.

(42)

penghambat pertumbuhan tanaman karena jumlah air yang diberikan di percobaan II 1/3 kali lebih sedikit dibandingkan dengan air yang diberikan pada percobaan I.

(43)

Lebar daun

Peubah lebar daun pada percobaan I memperlihatkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf 1% pada perlakuan jenis kompos dan perlakuan dosis kompos tidak berpengaruh nyata sedangkan percobaan II memiliki hasil yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan dosis kompos maupun jenis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3).

Pada percobaan I, lebar daun terbesar terdapat pada perlakuan dosis 30 ton/ha dengan 3.71 cm dan percobaan II lebar daun terbesar terdapat pada dosis kompos 20 ton/ha dengan 3.13 cm dan urutan kedua dosis D3 3.12 cm sedangkan lebar daun terkecil pada percobaan I dan II terdapat pada perlakuan D1 yaitu 3.43 cm dan 2.43 cm. Pada percobaan I, lebar daun terbesar ada pada kompos K1B0 dengan rataan 4.08 cm dan terrendah 3.15 cm (K0B1) sedangkan percobaan II nilai rataan lebar daun terbesar ada pada kompos K1B1 (3.57 cm) dan terrendah pada kompos K0B4 dengan 2.40 cm (Tabel 5).

Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1), 20 ton/ha (D2), dan 30 ton/ha (D3) memberikan lebar daun berkisar antara 3–4 cm dalam percobaan I dan 2-3 cm pada percobaan II. Begitupula untuk perlakuan jenis kompos mampu memberikan lebar daun sebesar 3-4 cm pada percobaan I dan 2-4 cm pada percobaan II. Lebar daun pada kompos yang ditambahkan pupuk kandang terlihat tidak terlalu berbeda jauh hasilnya dengan yang tanpa ditambahkan pupuk kandang dan hal ini juga ditunjukkan dengan hasil rataan lebar daun pada kompos yang ditambahkan biodekomposer tidak terlalu berbeda jauh nilainya dengan tanpa biodekomposer.

(44)

sebesar 1-2 cm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dan D3 dapat menambah lebar daun sebesar 2 cm.

Tabel 5. Lebar dan Panjang Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos

Perlakuan

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Panjang Daun

Peubah panjang daun pada percobaan I memperlihatkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf 1% untuk perlakuan jenis kompos dan perlakuan dosis kompos tidak berpengaruh nyata sedangkan percobaan II memiliki hasil yang berbeda nyata pada perlakuan jenis kompos dan berbeda sangat nyata untuk perlakuan dosis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3).

(45)

dengan 65.61 cm dan terkecil terdapat pada dosis D1 (53.79 cm) dan jenis kompos K1B4 dengan rataan 52.50 cm (Tabel 5).

Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan kisaran panjang daun sebesar 60-61 cm pada percobaan I dan percobaan II hanya mampu menghasilkan panjang daun berkisar antara 53-54 cm. Dosis 20 ton/ha (D2) memiliki panjang daun 63-64 cm percobaan I dan percobaan II hanya memiliki panjang daun kisaran 62 cm, sedangkan dosis 30 ton/ha (D3) memberikan panjang daun hanya berkisar 59 cm dalam percobaan II dan pada percobaan II dapat mencapai panjang daun 63 cm . Biodekomposer mdec memberikan pertumbuhan panjang daun yang kurang optimum baik dengan adanya penambahan pupuk kandang (K1B4) maupun tanpa penambahan pupuk kandang (K0B4) karena pada K0B4 dan K1B4 memberikan panjang daun terendah.

Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang daun tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 49.14 cm untuk percobaan I dan 30.28 cm untuk percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 5 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan panjang daun sebesar 20 cm dan pemberian kompos K0B2 pada percobaan II mampu meningkatkan panjang daun sampai 35 cm. Aplikasi kompos sebanyak 20 ton/ha pada percobaan I meningkatkan panjang daun sebesar 14 cm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dapat menambah panjang daun sebesar 32 cm.

Lebar dan panjang daun merupakan komponen pengamatan daun yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Permukaan daun yang lebar dan panjang mampu menyerap jumlah cahaya yang cukup banyak sehingga dapat meningkatkan kegiatan fotosintesis. Ntar (1992) menerangkan bahwa kegiatan fotosintesis tergantung pada kapasitas penerimaan organ tertentu sebagai contoh penyerapan cahaya oleh daun.

(46)

Hasil pengamatan kadar air tanah berdasarkan bobot basah dan kering tanah menunjukkan bahwa nilai kadar air pada 1 HSS tertinggi terdapat dalam perlakuan D3 (30.24%) dan jenis kompos K1B1 (31.90%) sedangkan yang terendah pada perlakuan D2 (28.50%) dan jenis kompos K0B0 (28.06%). Pada 4 HSS kadar air tertinggi terdapat dalam perlakuan D3 (24.07%) dan jenis kompos K0B4 (24.31%) sedangkan yang terendah pada perlakuan D2 (22.71%) dan jenis kompos K0B0 (20.37%) (Tabel Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak diberikan tambahan pupuk kandang memiliki daya ikat air tanah yang rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan pupuk kandang, karena pupuk kandang dapat berfungsi untuk membantu menjerap air tanah sehingga kelembaban tanah menjadi lebih terjaga dan pertumbuhan daun tidak mungkin terhambat. Selain itu, kompos dengan penambahan pupuk kandang memiliki ukuran partikel yang lebih besar sehingga mampu untuk menyerap air dalam jumlah yang cukup banyak.

Warna Daun

Warna daun merupakan suatu indikator yang menunjukkan kesegaran dan kesehatan suatu tanaman. Warna daun dapat menunjukkan bahwa tanaman kekurangan air, tanaman terserang penyakit, dan melalui warna daun dapat juga diketahui suatu tanaman mengalami kekurangan hara. Tanaman jagung yang ditanam pada intensitas cahaya rendah akan terjadi etiolasi dan daun terlihat pucat karena kadar klorofil rendah dan proplastida tidak berubah menjadi khloroplast melainkan menjadi etioplast (Fosked, 1994).

(47)

N (Anand dan Byju, 2008) dan Sulistyaningsih et al., (2005) juga berpendapat bahwa pengukuran tingkat kehijauan suatu daun dapat juga sekaligus menentukan jumlah klorofilnya. Wujud daun, klorofil dan N daun merupakan faktor fotosintesis sehingga ketiganya berhubungan erat dengan laju fotosintesis (Kappel and Flore, 1983; Lin T-B, Schwartz, and Saranga, 1999).

Nitrogen merupakan komponen hara yang menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman dan penentu warna hijau daun. Ketidakseimbangan hara N dengan hara-hara makro lainnya mampu menghambat proses pematangan dan tanaman hanya memperpanjang fase vegetatifnya. Apabila akar tanaman tidak mampu untuk menyerap hara N yang cukup untuk pertumbuhan tanaman maka senyawa N pada daun tua akan berubah warna menjadi coklat yang dikenal dengan istilah klorosis. Gejala ini dimulai dengan mengeringnya daun dari bagian ujung yang menjalar ke seluruh bagian daun.

Berdasarkan hasil pengamatan, peubah warna daun yang diukur dengan MCC menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada percobaan I dan berbeda sangat nyata pada percobaan II untuk perlakuan dosis kompos sedangkan perlakuan jenis kompos tidak berbeda nyata begitupula dengan pengukuran menggunakan SPAD menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II untuk pengukuran menggunakan MCC dan SPAD (Tabel Lampiran 3).

Pada pengukuran MCC untuk percobaan I, warna daun dengan rataan tingkat kehijauan tertinggi 4.24 (dosis kompos 30 ton/ha) dan jenis kompos K1B0 (4.39) dan yang terendah ada pada dosis D1 (4.02) dan jenis kompos K0B1 (3.89) sedangkan pada percobaan II tingkat kehijauan tertinggi dengan nilai 5.15 (D3) dan jenis kompos K1B3 (5.22) sedangkan yang terendah 4.50 untuk D1 dan jenis kompos K0B4 (4.44). Pengukuran menggunakan SPAD daun yang berwarna paling hijau bernilai 0.70 (D3) dan 0.73 untuk jenis kompos (K0B2 dan K1B0) sedangkan yang terendah bernilai 0.63 (D1) dan jenis kompos K0B4 (0.62) (Tabel 6).

(48)

percobaan II (pengukuran menggunakan MCC) sedangkan pengukuran dengan SPAD menunjukkan nilai 0.54 pada percobaan II . Berdasarkan hasil pada tabel 6 bahwa pengukuran menggunakan MCC pada percobaan I, kompos K1B0 dapat meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.51 dan pemberian kompos K1B3 pada percobaan II mampu meningkatkan hijau daun sampai 1.39. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.36 sedangkan pada percobaan II dosis D3 dapat menambah hijau daun sebesar 1.32. pengukuran dengan SPAD K0B2, K1B0, dan D3 mampu meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.20-0.23.

Tabel 6. Warna Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Pengukuran Menggunakan Munsell Color Chart dan SPAD

Perlakuan

(49)

Tinggi Tanaman dan Diameter Batang

Tanaman pertanian seperti halnya jagung merupakan tanaman yang membutuhkan cahaya yang cukup sehingga cahaya menjadi salah satu faktor pembatas utama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan tidak mudah diatasi bila terdapat permasalahan. Pada tanaman jagung yang ternaungi akan menunjukkan adanya gejala hambatan pertumbuhan dan dapat diamati dari tinggi tanaman jagung,

Suhu dan kelembaban lingkungan serta tanah merupakan suatu faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan diameter batang). Suhu lingkungan penelitian secara langsung dapat mengganggu aktivitas fisiologis tanaman mulai dari penyerapan air dan hara dari dalam tanah hingga translokasi hasil fotosintesis dari daun. Menurut Leiwakabessy (1988) pada kondisi suhu rendah serapan hara oleh perakaran tanaman akan berkurang dan apabila suhu diatur fluktuasinya maka serapan hara kembali normal sedangkan suhu optimum yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu 60ºC. Gambar Lampiran 1 menunjukkan suhu lingkungan penelitian berkisar 27-40ºC sehingga tidak terlalu mempengaruhi pertanaman jagung.

Suhu dan kelembaban tanah mempengaruhi aktivitas mikroba perombak bahan organik dalam tanah. Kisaran suhu yang baik untuk mikroba yaitu 50-104ºF atau setara dengan 10-40ºC (Leiwakabessy, 1988), jika lebih atau kurang dari batasan suhu tersebut dimungkinkan bahan organik dalam hal ini kompos tidak terombak dengan baik sehingga tidak dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan suhu dan kelembaban tanah dengan alat moisture tester diperoleh hasil suhu tanah berada pada kisaran 28-37ºC dan kelembaban tanah 79-93% baik saat 1 HSS maupun 4 HSS (Tabel Lampiran 4 dan 5) yang berarti bahwa faktor ini dimungkinkan tidak terlalu mempengaruhi tanaman jagung.

(50)

maka semua proses yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terganggu, akibatnya tanaman akan layu dan mati. Keadaan yang sama terjadi pada penelitian ini yaitu tanaman mengalami kekeringan dan akhirnya mati.

Premshekar dan Rajashree (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman disebabkan karena adanya peningkatan pembelahan dan pemanjangan sel sebagai akibat penambahan hara ke dalam tanah maupun tubuh tanaman. Hara yang berasal dari kompos sebaiknya memiliki C/N ratio yang baik bagi tanaman dalam arti nilainya mendekati C/N ratio tanah agar tidak terjadi immobilisasi hara nitrogen oleh mikroba yang dapat mengurangi ketersediaan nitrogen dalam tanah (Basuki et al., 1995).

Semakin rendah nilai C/N ratio akan semakin tersedia unsur N bagi tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tisdale dan Nelson (1975) bahwa bahan organik yang memiliki nilai C/N ratio < 20 akan menyebabkan terjadinya pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah, nilai C/N ratio antara 20-30 tidak akan terjadi pelepasan N dari bahan organik dan tidak terjadi immobilisasi nitrogen tanah, dan nilai C/N ratio > 30 akan terjadi immobilisasi nitrogen tanah akan tetapi Hamoda et al., (1998) mengungkapkan bahwa nilai C/N ratio berkisar 25-35 dianggap masih dalam batas kelayakan. Dalam hal ini menunjukkan unsur N merupakan komponen yang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif, sesuai dengan penelitian Meinira (1993) C/N ratio yang rendah, semakin mempermudah tanaman menyerap hara N. Pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik apabila menyerap hara N dalam bentuk tersedia yaitu NO3- atau NH4+ (Sudarman, 1995).

(51)

Tabel 7. Tinggi Tanaman dan Diameter Batang pada Perlakuan Dosis dan

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman diperoleh hasil yang berbeda nyata untuk perlakuan dosis kompos baik pada percobaan I maupun percobaan II sedangkan untuk perlakuan jenis kompos hasil yang berbeda nyata hanya pada percobaan I. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3).

Rataan tinggi tanaman terbesar percobaan I yaitu 90.31 cm (dosis 20 ton/ha) dan jenis kompos K1B0 (97.18 cm) dan yang terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (83.92 cm) dan jenis kompos K0B1 (75.42 cm). Percobaan II menunjukkan hasil tertinggi ada pada perlakuan dosis kompos 20 ton/ha (95.65 cm) dan jenis kompos K1B0 (109.83 cm) dan yang terendah 83.56 cm (D1) dan jenis kompos K1B4 dengan 76.97 cm (Tabel 7).

(52)

tanaman 89-90 cm. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan kisaran tinggi sebesar 83-84 cm, 20 ton/ha (D2) dan 30 ton/ha (D3) memiliki tinggi tanaman 95-96 cm Nilai rataan tinggi tanaman pada percobaan II terlihat memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan percobaan I.

Pengamatan diameter batang diperoleh hasil yang berbeda sangat nyata pada percobaan I dan percobaan II untuk perlakuan jenis kompos sedangkan perlakuan dosis kompos hanya berbeda nyata pada percobaan II. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Pengamatan diameter batang menghasilkan diameter terbesar pada percobaan I yaitu 8.11 mm (dosis 20 ton/ha) dan jenis kompos K1B1 (9.29 mm) dan yang terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (7.51 mm) dan jenis kompos K0B4 (6.49 mm). Percobaan II menunjukkan hasil tertinggi ada pada perlakuan dosis kompos 20 ton/ha (6.25 mm) dan jenis kompos K1B1 (6.72 mm) dan yang terendah 4.72 mm (D1) dan jenis kompos K1B4 dengan 4.48 mm (Tabel 7).

Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) dan 30 ton/ha (D3) memberikan kisaran diameter sebesar 7-8 mm sedangkan dosis 20 ton/ha (D2) memiliki diameter batang 8 mm dalam percobaan I. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) dan dosis 30 ton/ha (D3) memiliki diameter batang sebesar antara 4–6 mm sedangkan D2 memiliki diameter 6 mm.

(53)

Respon Brangkasan Tanaman

Bobot Basah dan Bobot Kering Total

Peubah bobot basah total menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata untuk perlakuan dosis kompos pada percobaan I dan percobaan II sedangkan perlakuan jenis kompos hanya berbeda nyata pada percobaan II. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12).

Pada percobaan I, bobot basah terbesar terdapat pada 30 ton/ha (5.50 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 6.36 g dan terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (4.62 g) dan kompos K0B1 (4.08 g) sedangkan pada percobaan II, bobot basah terbesar terdapat pada 20 ton/ha (6.99 g) dan jenis kompos K0B2 dengan rataan 7.67 g dan nilai sebesar 5.64 g merupakan rataan bobot basah terkecil pada perlakuan 10 ton/ha dan kompos K1B4 memiliki bobot basah terkecil dengan 5.16 g. Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha mampu memberikan rataan bobot basah berkisar 4-5 g, dosis 20 ton/ha dan dosis 30 ton/ha tanaman akan memiliki bobot basah antara 5-6 g dalam percobaan I sedangkan pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha mampu memberikan rataan bobot basah berkisar 5-6 g, dosis 20 ton/ha dan dosis 30 ton/ha tanaman akan memiliki bobot basah antara 6-7 g (Tabel 8).

Bobot basah total brangkasan tanaman percobaan I berbeda dengan percobaan II. Bobot basah yang dihasilkan dalam percobaan II lebih beragam dan memiliki selang bobot yang lebih besar untuk setiap dosis aplikasi dibandingkan dengan percobaan I. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh iklim selama masa tanam percobaan II yang diduga lebih ekstrim dari percobaan I.

(54)

kecilnya intensitas cahaya atau jika cahaya dalam kondisi cukup dapat menambah unsur CO2 untuk meningkatkan fotosistesis.

Bobot basah total juga dipengaruhi zat hijau daun, semakin hijau daun semakin baik proses fotosintesis. Hasil penelitian Judkins dan Wander (1949) pada beberapa jenis tanaman seperti tanaman anggur dan apel warna daun terkait dengan kandungan N pada daun. Sejalan dengan penelitian Yunindanova (2009) bahwa tanaman yang kekurangan unsur N dapat mengganggu pertumbuhan vegetatif dan proses fotosintesis sehingga produksinya menjadi kecil.

Peubah bobot kering total pada percobaan I menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata sedangkan percobaan II berbeda nyata pada taraf 5% untuk perlakuan dosis kompos dan berbeda sangat nyata untuk perlakuan jenis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12).

Gambar 4. Kondisi Brangkasan Tanaman a) Percobaan I dan b) Percobaan II

Pada percobaan I, bobot kering terbesar terdapat pada 30 ton/ha (2.18 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 2.51 g dan terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (1.91 g) dan kompos K0B1 dan K0B4 (1.67 g) sedangkan pada percobaan II, bobot kering terbesar terdapat pada 30 ton/ha (4.04 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 4.66 g dan nilai sebesar 3.24 g merupakan rataan bobot kering terkecil pada perlakuan 10 ton/ha dan kompos K1B4 memiliki bobot kering terkecil dengan 2.79 g. Pemberian kompos pada percobaan I dengan dosis 10

Gambar

Tabel 1. Pertumbuhan dan Produksi pada Perlakuan Kontrol Tanah
Tabel 4. Jumlah Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos
Gambar 3. Grafik Intensitas Cahaya Lingkungan Penelitian
Tabel 5. Lebar dan Panjang Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari tinjauan pustaka tersebut maka penulis terinspirasi melakukan penelitian yang berjudul Aplikasi Pengelolaan Data Kearsipan Pada SMA Negeri 1 Mlonggo Jepara Berbasis

Judul Tugas Akir : Perancangan Iklan Souvenir Khas Semarang Gambpang Sembarangan ( Inggris : Advertisement Design of Semarang's Unique Souvenir Gambpang Sembarangan). Ketua

Oleh karena itu sesuai dengan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas maka peneliti akan melakukan penelitian tentang Analisis al-mas}lahah terhadap Upah Minimum Kota

Oleh karena itu, jika aspek-aspek pengelolaan keuangan haji keluar dari prinsip-prinsip tersebut maka dapat dikatakan bahwa ada pelanggaran terhadap Undang-Undang,

Judul Penelitian : Pemanfaatan Daun Kelor ( Moringa oleifera Lamk ) Pada Pembuatan Permen Karamel Dari Susu. Hasnudi, MS) Ketua Program Studi Peternakan.. Tanggal

High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan latihan intensitas tinggi dengan waktu yang singkat serta dilakukan secara berulang – ulang.. Oleh karena HIIT

Dalam bab ini akan dibahas mengenai contoh penggunaan model regresi logistik 2-level dengan random intercept pada data survei mengenai penggunaan hak memilih pada saat pemilu

Ketujuh pengaruh langsung tersebut meliputi: (1,2,3,4) motivasi spiritual berpengaruh langsung terhadap persepsi dan sikap guru atas budaya or- ganisasi, etos kerja,