• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penapisan genotipe dan analisis genetik ketahanan pepaya terhadap penyakit antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penapisan genotipe dan analisis genetik ketahanan pepaya terhadap penyakit antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis Bogor"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PENAPISAN GENOTIPE DAN ANALISIS GENETIK KETAHANAN

PEPAYA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

DI TAJUR DAN GUNUNG GEULIS BOGOR

SITI HAFSAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Penapisan Genotipe dan Analisis Genetik Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

(3)

ABSTRACT

SITI HAFSAH. Screening ofgenotypeand Genetic Analysis of Papaya to Anthracnose Disease Resistance on Tajur and Gunung Geulis Bogor. Supervised by SARSIDI SASTROSUMARJO, SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Anthracnose papaya disease caused by Colletotrichum gloeosporioides is known to be limiting factor of papaya production around the world, including Indonesia. Resistance varieties is considered as the best strategy to protect phytoplant from anthracnose disease epidemic. In order to develop resistance varieties genetic is required information such as identification the Colletotrichum species, Screening papaya genotype for resistance to papaya anthracnose disease, correlation coefficient among agronomic traits on antrachnose disease resistance and combining ability and heterosis effects.

Identification the Colletotrichum species responsible for disease epidemic is essential for developing and implementing effective control methods and for breeding for resistance to specific species. In traditional methods, morphological character such as shape conidia, precence, absence and morphology of setae have been used to identify Colletotrichum spesies. To develop an effective resistance screening technique, experiments were conducted to understand the growth character, such as relationship beetwen temperature, infection potencial on different host, inoculation studies for the best method in identifying the resistant germplasm. Isolates from papaya produced mainly cylindrical conidia and colony colours ranging from pale salmon pink to dark grey. The optimum temperature for the development C. gloeosporioides papaya and peper isolate was 24-28oC and C. capsici peper isolate was 32oC. All papaya isolate produced lesions on pepper. Papaya fruit were inoculated by three inoculation methods, spray, non-wounding and wounding inoculations produced no different respons.

Screening papaya genotype for resistance to Papaya Anthracnose Disease (PAD) is importance for breeding resistance. To identify source of resistance of PAD, seven genotype of papaya (IPB1, IPB10, STR64, IPB5, IPB6, PB2001 and PB000174) were screened from field and five genotype of papaya (IPB1, IPB10, IPB5, STR64 and PB000174) were screened in laboratory. The result showed that there were no immune genotype. There was only moderately resistance genotype (PB000174) that screened from field and laboratory.

The aims of this research were to estimate the correlation coefficient among agronomic traits on antrachnose disease resistance of papaya and evaluate the direct and indirect effects of those traits on antrachnose disease resistance of papaya. The result showed that fruit length, flesh thickness, percent symptom had positive correlations to severity disease and day of fruit ripe, percent TSS, flesh firmness had negative correlations to severity disease. Path analysis applied on agronomic and resistance character on anthracnose disease resistance indicated that anthracnose disease resistance was directly affected by percent symptom. The largest compound path coefficient of agronomic traits on anthracnose disease resistance that percent TSS and flesh thickness via percent symptom.

(4)

available information about resistance of papaya to C. gloeosporioides. This study was conducted to determine the relative importance of general (GCA) and specific (SCA) combining ability and heterosis effects on resistance to C. gloeosporioides in selected papaya genotypes. A half diallel mating scheme of five genotypes of papaya were evaluated in the field. The combining ability analysis revealed that both the additive and nonadditive gene effects were present. Crosses between the resistance and susceptible genotypes showed intermediate disease reaction to PAD suggesting a polygenic resistance to the disease. Highly resistance heterosis of 51.51% at Tajur and 48.71% at Gunung Geulis were expressed in crosses between IPB5 x PB000174.

(5)

RINGKASAN

SITI HAFSAH. Penapisan Genotipe dan Analisis Genetik Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis Bogor. Dibimbing oleh SARSIDI SASTROSUMARJO, SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR, dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Penyakit antraknosa pada buah pepaya merupakan salah satu faktor pembatas produksi pada pertanaman pepaya di dunia, termasuk di Indonesia. Pembentukan varietas yang tahan merupakan salah satu cara pengendalian yang tepat. Hal yang penting untuk menentukan strategi pemuliaan yang efektif adalah informasi tentang patogen penyebab antraknosa dan tetua donor serta kendali genetik penyakit antraknosa pada tanaman pepaya.

Penelitian ini meliputi empat kegiatan yaitu (1) Studi patogen penyebab penyakit antraknosa, (2) Penapisan ketahanan plasma nutfah pepaya (Carica papaya L.), (3) Korelasi antar karakter terhadap karakter ketahanan, (4) Analisis silang diallel untuk karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa.

Penelitian yang dilakukan bertujuan : mengidentifikasi patogen penyebab antraknosa dan mendapatkan metode skrining yang efisien untuk penentuan derajat ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada pepaya, mengetahui adanya tanaman yang tahan dan rentan pada plasma nutfah yang ada yang akan digunakan sebagai tetua, mengevaluasi keragaan umum beberapa karakter kuantitatif pepaya yang mencerminkan tingkat ketahanan terhadap penyakit antraknosa, menduga besarnya daya gabung umum dan khusus dan heterosis dari hasil persilangan half diallel, diharapkan diperoleh keterangan tentang potensi hibrida.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab antraknosa pada pepaya yang dikoleksi dari Tajur dan Gunung Geulis adalah C. gloeosporioides. Secara umum semua isolat Coletotrichum gloeosporioides mengalami pertumbuhan optimum pada suhu 28 oC. Hal tersebut sangat berbeda bila dibandingkan dengan C. capsici yang mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32 oC. Lebih lanjut diketahui bahwa isolat C. gloeosporioides asal pepaya mampu menginfeksi buah cabai, demikian pula sebaliknya isolat C. gloeosporioides dan C. capsici asal cabai mampu menginfeksi buah pepaya. Metode inokulasi yang dapat dianjurkan untuk kegiatan penapisan genotipe pepaya tahan antraknosa adalah metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) dan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL).

Hasil penapisan genotipe pepaya, diperoleh dua genotipe agak tahan antraknosa yaitu PB000174 dan IPB6, genotipe rentan antraknosa IPB 10, STR64, dan IPB5 Berdasarkan nilai korelasi, koefisien lintas dan heritabilitas maka karakter yang dapat digunakan untuk menseleksi ketahanan pepaya terhadap antraknosa adalah persen padatan total dan persentase gejala. Seleksi ketahanan terhadap antraknosa pada pepaya dapat dilakukan melalui karakter padatan total terlarut atau secara langsung pada peubah persentase gejala dan keparahan penyakit.

(6)

dengan derajat dominansi dikategorikan sebagai over dominan. Gen yang berperan dalam mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa adalah gen aditif dan non aditif. Berdasarkan hasil uji ketahanan penyakit antraknosa pada pepaya diperoleh dua genotipe yang tahan yaitu IPB1 dan PB000174. Tingginya nilai DGU dibandingkan DGK pada analisis dialel menunjukkan bahwa peran gen aditif lebih besar dibandingkan non aditif. Genotipe yang memiliki nilai DGU negatif yang menunjukkaan sifat ketahanan terhadap antraknosa adalah IPB 1 dan PB000174, keduanya memiliki potensi sebagai donor gen ketahanan terhadap antraknosa pada pembentukan hibrida. Hasil persilangan antara genotipe tahan dengan genotipe rentan menunjukkan bahwa ketahanan antraknosa pada pepaya diduga dikendalikan oleh tiga kelompok gen (poligenik). Persilangan antara genotipe IPB5 x PB000174 menunjukkan nilai heterosis tertinggi diantara persilangan lainnya yaitu 51.51% di Tajur dan 48.71% di Gunung Geulis.

(7)

© Hak cipta milik

Institut Pertanian Bogor

, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PENAPISAN GENOTIPE DAN ANALISIS GENETIK KETAHANAN

PEPAYA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

DI TAJUR DAN GUNUNG GEULIS BOGOR

SITI HAFSAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr.Ir. Yudiwanti W.E. KUSUMO, MS Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr.Ir. Mesakh Tombe, MS, APU

(10)

Judul Disertasi : Penapisan Genotipe dan Analisis Genetik Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis Bogor

Nama Mahasiswa : Siti Hafsah

NIM1 : A361020081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo, M. Sc. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M. S. Ketua Anggota

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M. Sc. Dr. Ir. Sobir, M. S.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agronomi

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M. S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S.

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Penapisan Genotipe dan Analisis Genetik Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis”.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo, M.Sc., Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S., Ibu Dr.Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Sobir, M.S., selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran yang memperkaya wawasan penulis dalam menyelesikan penulisan disertasi ini.

Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian besar didanai oleh Rusnas Buah Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB Bogor. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga kepada Dirjen DIKTI, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, yang telah memberikan Beasiswa dan bantuan dana penelitian. Rektor, Dekan dan Ketua Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan izin tugas belajar. Rektor Institut Pertanian Bogor serta Dekan dan Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Bapak Dr.Ir. Widodo M.Sc. selaku penguji luar komisi saat ujian prelim, Ibu Dr. Ir. Yudiwanti W.E. KUSUMO, MS, Bapak Dr.Ir. Mesakh Tombe, MS, APU dan Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc yang telah memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif guna penyempurnaan tulisan ini. Manager PT Agrorekatama yang telah memberikan lahan untuk pelaksanaan penelitian. Kepala dan Staf Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) yang telah memberikan dana serta lahan untuk pelaksaan penelitian.Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur dan Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor.

(12)

Faridah Lubis, Muklis Lubis, S.Pd. dan Iqbal Hidayat Lubis, atas irigan do’a dan motivasinya. Suami tercinta Firdaus, S.P., M.Si dan anak tersayang Muhammad Farhan atas do’a, dorongan, pengertian dan pengorbanannya. Teman-teman di Laboratorium Cendawan; Yunik, Jecqlin, Ana, Nia, M. Syukur,Rahmi Yunianti dan Latifah. Rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Pasca Sarjana Aceh (IKAMAPA) dan Ikatan Keluarga Besar Unsyiah, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan.

Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pegetahuan, khususnya di bidang pertanian Amin.

Bogor, Agustus 2007

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Alur Gading (Aceh Timur) pada 12 Agustus 1970, merupakan putri kedua dari enam bersaudara dari Ayah Muhammad Noyan Lubis dan Ibu Kamsah. Penulis menikah dengan Firdaus dan dikaruniai satu orang putra Muhammad Farhan.

Pada tahun 1989, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan dan selesai pada tahun 1994. Jenjang Strata dua (S-2) diikuti pada Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Agronomi sejak tahun 1997 dan selesai pada tahun 2000. Selanjutnya, sejak Agustus 2002 mengikuti pendidikan jenjang Strata tiga (S-3) di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak April 1996, penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………... PENDAHULUAN………... x xiii xv xviii xix 1 Latar Belakang ………...

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis ... Ruang Lingkup Penelitian ………...

1 4

5 6 TINJAUAN PUSTAKA………...

STUDI PATOGEN ANTRAKNOSA PADA PEPAYA ...

8 20

Abstrak ...………..

Abstract ………... Pendahuluan ………... Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ………... ... Simpulan ... Daftar Pustaka ...

20 20 21 22 28 34 35 PENAPISAN KARAKTER KETAHANAN PEPAYA TERHADAP

PENYAKIT ANTRAKNOSA ... 37 Abstrak ………...

Abstract………... Pendahuluan ...………... Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ………... Simpulan ... Daftar Pustaka ...

37 37 37 38 42 44 45 UJI KORELASI DAN SIDIK LINTAS BEBERAPA KARAKTER

PEPAYA TERHADAP KETAHANAN ANTRAKNOSA ... 46 Abstrak ……….. ...…...

Abstract ... Pendahuluan ……….. ……... Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ………... Simpulan ... Daftar Pustaka ………...

(15)

xiv

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK UNTUK KARAKTER KETAHANAN PEPAYA TERHADAP ANTRAKNOSA

Abstrak ………... Abstract ………... Pendahuluan ………... Bahan dan Metode ... Hasil dan Pembahasan ... Simpulan ... Daftar Pustaka ...

61 61 61 64 72 85 86 PEMBAHASAN UMUM ………..

SIMPULAN DAN SARAN ……….. DAFTAR PUSTAKA...

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Isolat Colletotrichum sp., inang asal isolat dan lokasi sumber isolat……. 23 2 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat tengah untuk

percobaan Tahap I……… 28

3 Uji patogenisitas beberapa isolat penyebab antraknosa pada buah pepaya

29 4 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala antraknosa dari

delapan isolat Colletotrichum pada buah cabai dan pepaya ………. 32 5 Rata-rata diameter koloni delapan isolat antraknosa pada beberapa suhu .. 31 6 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala pada perlakuan tiga

metode inokulasi C. gloeosporioides ……… 33 7 Pengelompokan kelas ketahanan pepaya terhadap antraknosa berdasarkan

tingkat keparahan penyakit ……… 40

8 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat tengah untuk

percobaan tahap II ……… 42

9 Penapisan ketahanan tujuh genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa dengan infeksi alami dari lapang ……… 43 10 Masa inkubasi dan diameter gejala antraknosa pada lima genotipe pepaya

dengan perlakuan inokulasi dilukai dan tidak dilukai……… 44 11 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat tengah ……….. 49 12 Koefisien korelasi genetotifik antar karakter agronomi dan ketahanan

terhadap antraknosa pada lima genotipe pepaya di Tajur……….. 51 13 Koefisien korelasi genetotifik antar karakter agronomi dan ketahanan

terhadap antraknosa pada lima genotipe pepaya di Gunung Geulis... 52 14 Uji kehomogenan ragam beberapa karakter agronomi dan ketahanan

penyakit antraknosa pada pepaya di Tajur dan Gunung geulis……….. 53 15 Nilai koefisien kolerasi gabungan antar karakter terhadap ketahanan

(17)

xvi

16 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi dengan ketahanan terhadap persentase keparahan penyakit antraknosa pada

pepaya……… 55

17 Analisis ragam panjang buah, tebal buah, padatan total terlarut, kekerasan buah, persentase warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala

dan keparahan penyakit……… 57

18 Ragam genetik, ragam fenotipe dan nilai heritabilitas arti luas dari panjang buah, tebal buah, padatan total terlarut (PTT), kekerasan buah, persentase warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala dan keparahan

penyakit ……… 58

19 Persilangan setengah dialel menggunakan lima tetua ... 65 20 Kelas ketahanan pepaya terhadap antraknosa berdasarkan tingkat

keparahan penyakit ……….. 66

21 Komponen analisis ragam analisis silang dialel ... 67 22 Setengah dialel ketahanan pepaya terhadap C. gloeosporioides 68 23 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode 2

Griffing (1956)... 71 24 Keparahan penyakit dan kelas ketahanan pepaya terhadap penyakit

antraknosa pada dua lokasi percobaan ……….. 73 25 Kuadrat tengah genotipe pepaya untuk karakter padatan total terlarut

(PTT), kekerasan buah dan ketahanan terhadap C. gloeosporioides Isolat TJR1... 73 26 Pendugaan parameter genetik padatan total terlarut, kekerasan buah

pepaya dan ketahanan antraknosa terhadap menggunakan analisis silang dialel ... 74 27 Sebaran Vr + Wr tetua untuk karakter Padatan Total Terlarut (PTT),

kekerasan buah dan ketahanan pepaya terhadap C. gloeosporioides isolat TJR1... 76 28 Analisis ragam dialel karakter ketahanan pepaya terhadap penyakit

antraknosa, padatan total terlarut dan kekerasan buah di dua lokasi

(18)

xvii

29 Daya Gabung Umum (DGU) Genotipe pepaya pada karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa di dua lokasi percobaan ………. 80 30 Daya Gabung Khusus (DGK) genotipe persilangan pepaya pada karakter

ketahanan terhadap antraknosa di dua lokasi percobaan ………... 82 31 Nilai tengah karakter ketahanan terhadap antraknosa, kekerasan buah dan

padatan total terlarut pada pepaya di dua lokasi ………... 83 32 Heterosis (MP) dan Heterobeltiosis (BP) untuk karakter ketahanan

(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kegiatan penelitian studi penapisan genotipe dan analisis genetik

ketahanan pepaya terhadap penyakit antraknosa ... 7 2 Gejala antraknosa pada buah pepaya (sumber: aksesi STRG-4 di Tajur) .... 12 3 Bentuk konidia, aservulus (tubuh buah) dan setae (isolat dari buah pepaya

yang bergejala/Tajur)... 12 4 Gejala dan bentuk konidia dari buah pepaya yang terinfeksi antraknosa... 30 5 Kecepatan pertumbuhan Colletotrichum pada beberapasuhu... 33 6 Diagram lintas beberapa karakter dengan keparahan penyakit pada lima

genotipe pepaya (data gabungan)……….. 53 7 Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) karakter Padatan Total

Terlarut (PTT) pada beberapa genotipe pepaya... 72 8 Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) karakter kekerasan buah pada

beberapa genotipe pepaya ... 73 9 Hubungan peragam (Wr) dan ragam (Vr) karakter ketahanan pepaya

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kecepatan pertumbuhan delapan isolat antraknosa pada perlakuan

suhu ……… 101

2 Informasi asal usul dan karakter beberapa genotip pepaya…………. 101 3 Koefisien korelasi parsial antar karakter pada percobaan di Gunung

Geulis ………. 101

4 Data rata rata kelembaban dan suhu di pertanaman pepaya di Tajur . 101 5 Heterosis dan Heterobeltiosis beberapa karakter ketahanan terhadap

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman buah yang sangat penting dalam pemenuhan kalsium dan sumber vitamin A dan C (Nakasome dan Paull 1998). Selain dikonsumsi sebagai buah segar, buah pepaya yang masak dapat diolah menjadi minuman penyegar, dan sebagai bahan baku industri makanan (Villegas 1997). Getah pepaya (papain) mengandung enzim proteolitik, dapat digunakan sebagai pelunak daging. Villegas (1992) menyatakan bahwa karpaina yang terkandung dalam daun pepaya berguna untuk mengurangi gangguan jantung, obat anti amuba, serta biji buah pepaya dapat digunakan sebagai obat peluruh kencing. Papain dari buah pepaya muda dapat digunakan sebagai fungisida nabati dan ekstrak pepaya dapat sebagai pestisida (Hutari 2005; Kermanshai et al. 2001)

Penelitian Hutari (2005) menunjukkan potensi latex pepaya sebagai fungisida nabati untuk penyakit antraknosa pada buah pepaya setelah dipanen. Kermanshai et al. (2001) menyatakan bahwa ekstrak biji pepaya memiliki kandungan toksin yang berpotensi sebagai bahan pestisida.

Produktivitas pepaya di Indonesia pada tahun 2004 bisa mencapai 73.26 ton/ha dan menurun menjadi 64.67 ton/ha pada tahun 2005 (FAO 2005). Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain; kekeringan, perubahan iklim, serangan hama dan penyakit.

Salah satu penyakit yang penting pada pepaya adalah penyakit antraknosa. Menurut Mahfud (1986) penyakit antraknosa dapat menurunkan produksi pepaya sekitar 40% di Kabupaten Malang. Hasil survei kejadian penyakit antraknosa pada buah pepaya di lapangan dari Oktober 2003 sampai Oktober 2004 menunjukkan di Pasir Kuda 75%, Cinangneng 50%, di Tajur 30%. Populasi pepaya di Pasir Kuda dan Cinangneng adalah genotipe California dan Hawai, sedangkan di Tajur, populasi pepaya yang diamati terdiri dari 26 genotipe atau populasi multi line.

(22)

2

dan Semangun 2000). Selanjutnya Kader (2000) menyatakan bahwa antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides merupakan penyebab utama kehilangan hasil pasca panen pada buah pepaya di California. Sepiah et al. (1992) melaporkan bahwa penyebab antraknosa pada buah pepaya eksotika di Malaysia adalah C. capsici. Lim dan Tang (1984) melaporkan bahwa C. dematium adalah patogen penyebab antraknosa pada pepaya di Singapura.

Petani mengendalikan penyakit antraknosa menggunakan fungisida secara intensif (Prabawati et al. 1991). Penggunaan fungisida yang berlebihan mengakibatkan peningkatan biaya produksi, resiko kesehatan petani dan konsumen, serta merusak lingkungan. Dengan penerapan sistem ISO 14000, penggunaan pestisida harus ditekan serendah mungkin sebagai jaminan mutu proses ramah lingkungan (Priel 1999). Selanjutnya Leonard-Schipper et al. (1994) menyatakan bahwa penggunaan pestisida secara berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan petani dan konsumen, kerusakan lingkungan dan menstimulasi munculnya populasi baru yang resisten dan lebih virulen.

Penggunaan varietas yang resisten merupakan salah satu cara potensial untuk mengatasi masalah penyakit antraknosa, mengingat sangat sulitnya memperoleh lahan pertanaman yang bebas patogen penyebab antraknosa. Umumnya tanaman pepaya komersial rentan terhadap penyakit antraknosa, meskipun demikian dari beberapa hasil penelitian pada varietas yang sama dapat menampakkan derajat ketahanan yang berbeda (Choi et al. 1990; Park et al. 1990). Hasil survei pada koleksi pepaya Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) di Tajur menunjukkan adanya perbedaan derajat ketahanan baik genotipe lokal maupun introduksi.

(23)

3

1998 telah dilakukan silang tunggal antar aksesi liar yang tahan PRV (Purnomo, 2001). Califlora adalah kultivar dioecious yang memiliki sifat toleran terhadap infeksi PRV (Conover et al. 1986).

Pembentukan varietas resisten memerlukan waktu yang lama, terlebih lagi pepaya secara alami menyerbuk silang (heterozigot). Perakitan pepaya hibrida telah banyak dilakukan di negara-negara lain. Malaysia berhasil melepas pepaya Eksotika yang merupakan hasil silang balik selama 11 tahun yang melibatkan induk pepaya Subang dan Sunrise Solo. Eksotika II merupakan hasil proses pemuliaan dan seleksi selama 7 tahun, yang merupakan persilangan F1 antara galur no. 19 dengan Eksotika.

Heterosis pada tanaman pepaya untuk karakter vegetatif telah banyak diketahui, namun untuk karakter ketahanan terhadap penyakit terutama untuk ketahanan terhadap antraknosa belum diperoleh informasi. Ditegaskan Brewbeker (1964) bahwa heterosis merupakan perwujudan suatu genotipe yang mengambil manfaat dari adanya persilangan atau hibridisasi.

Masalah pokok yang dihadapi dalam merakit pepaya hibrida dengan daya produksi tinggi dan kualitas buah yang baik sekaligus tahan terhadap hama dan penyakit adalah tersedia plasma nutfah pepaya yang memiliki sumber gen ketahanan, produksi tinggi dan kualitas buah yang diharapkan.

Perbaikan sifat-sifat yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit sering dihadapkan kepada masalah dalam memilih tetua-tetua yang memiliki sumber gen ketahanan dan mempunyai daya gabung tinggi dalam persilangan. Menurut Darlina et al. (1992) daya gabung sangat diperlukan untuk mengidentifikasi kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang berpotensi hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit.

(24)

4

(2006) menunjukkan bahwa IPB 10 merupakan tetua dengan daya gabung umum (DGU) yang baik untuk karakter-karakter generatif, sedangkan IPB 6 merupakan tetua dengan DGU yang baik untuk kualitas buah.

Ketahanan tanaman terhadap penyakit antraknosa dikendalikan secara genetik. Belum diperoleh informasi tentang gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa pada pepaya, namun pada tanaman cabai telah banyak diketahui. Beberapa laporan menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan secara kuantitatif oleh gen dominan (Park et al. 1990). Selanjutnya Sanjaya (1998) menyatakan bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa pada tanaman cabai bersifat poligenik, sedangkan Cheema (1984) dan Ahmad et al. (1991) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif. Selanjutnya Syukur (2007) menyatakan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal.

Perbedaan kesimpulan tentang gen pengendali tersebut disebabkan oleh sumber gen ketahanan yang diteliti berbeda-beda, dan tersebar dibeberapa spesies yang berbeda atau adanya perbedaan species dan ras patogen penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengembangkan konsep pemuliaan pepaya dalam upaya mendapatkan genotipe tahan terhadap penyakit antraknosa. Sebagai tahap awal untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi patogen penyebab antraknosa dan mendapatkan metode penapisan yang efisien untuk penentuan derajat ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada pepaya

2. Memperoleh tanaman yang tahan dan rentan pada plasma nutfah yang untuk digunakan sebagai tetua.

(25)

5

4. Menduga besarnya daya gabung (umum dan khusus) dan heterosis dari hasil persilangan half diallel, sehingga diharapkan diperoleh keterangan tentang potensi hibrida.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi dalam perbaikan genetik tanaman pepaya, terutama hubungannya dengan karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa.

Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis

Penyakit antraknosa pada buah pepaya pada pasca panen merupakan permasalahan yang penting karena dapat menurunkan kualitas disamping itu pada tanaman yang rentan dapat menurunkan produksi karena gejala sudah muncul pada saat panen atau sebelum buah dipanen. Oleh karena itu untuk memecahkan pemasalahan ini salah satunya adalah merakit tanaman yang resisten.

Langkah awal untuk memperoleh tanaman yang tahan adalah mengumpulkan genotipe-genotipe pepaya baik lokal maupun introduksi sebagai sumber genetik lalu melakukan karakterisasi dan penapisan untuk mengetahui adanya tanaman yang tahan dan rentan. Sebelum melakukan penapisan, studi patogen juga perlu dipelajari antara lain identifikasi, uji patogenisitas dan metode inokulasi.

Penanganan karakter kuantitatif dalam pemuliaan tidak sesederhana karakter kualitatif yang dapat dianalisis dengan menggunakan genetika Mendel. Pendekatan statistika melalui analisis nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap karakter kuantitatif untuk menduga parameter genetik yang penting dalam pemuliaan tanaman antara lain heritabilitas dan korelasi genetik.

(26)

6

Dari serangkaian kerangka pemikiran dalam mencari informasi dalam pembentukan tanaman pepaya yang tahan terhadap antraknosa, dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat satu spesies patogen penyebab antraknosa pada pepaya dan terdapat satu metode penapisan yang efisien dalam menentukan derajat ketahanan pepaya terhadap penyakit antraknosa.

2. Terdapat sedikitnya satu genotipe yang menunjukkan tingkat ketahanan yang tinggi pada plasma nutfah pepaya yang diuji.

3. Terdapat beberapa karakter kuantitatif yang mencerminkan ketahanan terhadap penyakit antraknosa.

4. Terdapat sedikitnya satu tetua yang memiliki daya gabung umum dan khusus yang tinggi serta efek heterosis untuk karakter-karakter yang diamati, sehingga diharapkan diperoleh keterangan tentang potensi hibrida.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam empat aspek: (1) patogen penyebab antraknosa pada pepaya, (2) ketahanan pepaya terhadap antraknosa, (3) korelasi antar karakter, (4) daya gabung tetua dan efek heterosis. Keempat aspek tersebut dikelompokkan menjadi empat kegiatan penelitian: (1) studi patogen penyebab antraknosa pada pepaya, (2) penapisan, (3) uji korelasi dan sidik lintas karakter kuantitatif terhadap ketahanan antraknosa, (4) analisis silang dialel untuk karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa.

(27)

7

Survei Kejadian Penyakit Antraknosa pada Pepaya (Tajur, Pasir Kuda dan Cinangneng)

PERCOBAAN I Studi Patogen Antraknosa

1.Identifikasi penyebab antraknosa pada pepaya

2.Uji patogenesis Colletotrichum asal pepaya pada buah cabai

3.Uji pertumbuhan Colletotrichum pada beberapa suhu

4.Evaluasi efektivitas metode inokulasi

PERCOBAAN III Uji korelasi dan sidik lintas

1. Uji korelasi antar karakter 2. Analisis sidik lintas

PERCOBAAN II Penapisan Ketahanan Genotipe Pepaya terhadap Antraknosa

1. Penapisan infeksi alami di lapang

2. Penapisan infeksi buatan di laboratorium

Populasi Dasar

(F1 Half Diallel)

PERCOBAAN IV Pendugaan parameter genetik

1. Kajian tingkat ketahanan 2. Analisis Diallel

3. DGU, DGK dan Heterosis

Sistem Perakitan Pepaya Tahan Antaknosa

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Agroekologi Tanaman Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman pepaya ini di duga berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Tanaman pepaya merupakan tanaman polygamous diploid 2n = 18. Sistematika taksonomi tanaman pepaya termasuk dalam Divisi: Spermatophyta, Klas: Angiospermae, Sub klas: Dicotyledonae, Ordo: Caricales, Famili: Caricae, Genus: Carica dan Spesies: Carica papaya L.

Pepaya merupakan tanaman herba dengan batang tunggal dengan tinggi tanaman mencapai 9 meter (Nakasone dan Paull 1998). Bentuk batang silindris dengan diameter 10-30 cm. Daun terbagi dalam tujuh lekukan dalam, terdapat ujung dan tangkai daun silindris dan berongga. Berdasarkan bunganya tanaman pepaya dapat digolongkan kedalam tiga tipe yakni bunga jantan (staminate), bunga betina (pistilate) dan bunga sempurna (hermaprodit) yang terdiri dari 4 macam yaitu: bunga sempurna elongata, bunga sempurna pentandria, bunga sempurna antara dan bunga sempurna rudimenter. Dari struktur bunga tersebut dapat dibagi tiga yakni: pohon pepaya betina, pohon pepaya hermaprodit dan pohon pepaya jantan (Rukmana 1995).

Tipe bunga sangat bergantung pada sifat kelamin masing-masing pohon yang ekspresi seksnya dikendalikan oleh gen tunggal dengan tiga alel yaitu M untuk jantan, H untuk hermafrodit dan m untuk betina. Alel M dan H dominan terhadap m, tetapi jika dalam keadaan homozigot dominant bersifat letal, sehingga tanaman jantan dan hermaprodit selalu dalam keadaan heterozigot Mm dan Hm (Storey 1953; Chandler 1958).

(29)

9

Keragaman Genetik Pepaya

Berdasarkan daya adaptasi, populasi pepaya yang ada dapat dibedakan kedalam dua bagian besar yakni populasi yang berasal dari daerah yang berbeda dan sudah beradaptasi dengan lingkungan dan melalui populasi tersebut dapat di telusuri asal usul suatu tanaman. Populasi kedua adalah populasi yang sudah dibudidayakan sehingga fenotipe yang dihasilkan lebih beragam.

Menurut Chan et al. (1994) terdapat dua kelompok pepaya yang popular di ASEAN, kelompok pertama terdiri dari pepaya yang mempunyai buah yang berukuran besar dan benbentuk lonjong. Varietas yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Subang, Sitiawan dan Batu Arang yang banyak berkembang di Malaysia; Kaegdum, Kaegnuan dan Sainampeung yang banyak dikembangkan di Thailand; Cavite Special di Philipina sedangkan di Indonesia varietas yang banyak berkembang adalah pepaya Dampit, Jinggo dan Paris. Bobot buah ini berkisar antara 1 – 3 kg per buah. Kelompok kedua terdiri dari buah yang berukuran kecil, dan kualitasnya sangat baik. Buahnya hanya cukup dimakan untuk satu orang dan memakannya menggunakan sendok. Varietas yang termasuk kelompok ini adalah Solo, Eksotika I dan Eksotika II.

Tipe penyerbukan pada pepaya terdiri dari dua macam yaitu menyerbuk silang dan menyerbuk sendiri, tergantung dari bentuk bunganya (Villegas 1992; OGTR 2003). Varietas yang termasuk tipe Solo dengan ukuran buah yang kecil umumnya bersifat menyerbk sendiri (Chan 1995).

(30)

10

Penyakit Antraknosa pada Pepaya

Umumnya tanaman pepaya yang dikembangkan secara komersial rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme khususnya cendawan. Organisme tersebut dapat menginfeksi buah sebelum panen atau selama pemanenan dan berlanjut sampai kegiatan penjualan. Proses infeksi khususnya setelah panen, diperparah lagi bila ada pelukaan secara mekanik pada bagian kulit karena kena goresan kuku atau tusukan serangga dan alat pemotong (Wills et al. 1989).

Selanjutnya infeksi sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiologi buah, temperatur dan lingkungan penyimpanan. Beberapa spesies cendawan yang dapat menyebabkan kehilangan hasil setelah panen adalah: Colletotrichum, Phomopsis, Phytopthora, Rhizopus dan Fusarium. Umumnya cendawan menyebabkan busuk yang cepat menyebar dalam buah masak yang selanjutnya buah tidak dapat dimakan lagi. Hal ini sangat perlu diketahui pola infeksi dari beberapa organisme tersebut yang selanjutnya digunakan untuk pengendalian, setidaknya untuk membatasi perkembangan penyakit.

Antraknosa merupakan penyakit pasca panen pada pepaya. Agen yang menyebabkan penyakit tersebut adalah Colletotrichum gloeosporiedes (Penz) Sacc. (Snowdon 1990). Selanjutnya Sepiah et al. (1991) dan Sepiah (1992) melaporkan bahwa patogen yang penting penyebab antraknosa pada pepaya Eksotika adalah C. capsici yang merupakan penyakit penting di Malaysia. Lim dan Tang (1984) melaporkan bahwa C. dematium menyebabkan 5% penyakit antraknosa pada pepaya di Singapura.

(31)

11

Pada buah yang menjelang matang gejala diawali timbul becak-becak coklat kemerahan, kebasah-basahan, kecil dan bulat. Gejala ini sering disebut becak coklat atau chocolate spot. Pada waktu buah matang becak ini membesar dengan cepat, membentuk becak bulat, coklat kemerahan, yang agak mengendap. Becak-becak tersebut dapat membesar sampai bergaris tengah 5 cm. Cendawan penyebab penyakit antraknosa sering membentuk massa konidia yang berwarna jingga atau merah jambu pada pusat becak. Kadang-kadang konidia dibentuk dalam lingkaran-lingkaran sepusat, sehingga becak tampak seperti mata lembu. Pada tingkat permulaan bagian yang sakit dapat diangkat dari bagian buah yang sehat seperti sumbat yang berbentuk setengah bola. Seterusnya cendawan dapat berkembang terus dan membusukkan bagian dalam buah. Akhirnya jaringan membusuk, menjadi lunak, dan berwarna agak gelap.

Kadang-kadang cendawan menginfeksi buah pepaya yang masih hijau, dan menimbulkan becak kecil kebasa-basahan. Bagian ini mengeluarkan getah (lateks) yang berbentuk bintik atau tanduk yang lekat. Cendawan mengadakan infeksi laten, tidak berkembang, atau membesar dengan sangat lambat. Selama buah masih hijau, becak jarang mencapai garis tengah 1 cm.

Infeksi pada daun mula-mula menyebabkan terjadinyua becak kecil kebasah-basahan yang bentuknya tidak teratur. Becak membesar dan menjadi berwarna coklat muda. Becak – becak dapat bersatu sehingga menjadi sangat besar. Becak yang sudah tua mempunyai pusat berwarna putih kelabu, yang kadang-kadang menjadi lubang. Pada pusat becak yang sudah tua terdapat banyak bintik hitam yang terdiri dari badan buah (aservulus) cendawan. Cendawan juga dapat menginfeksi tangkai daun-daun bawah (tua) (Cook 1975).

Penyakit antraknosa pada pepaya ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichun gloeosporioides (Penz.) Sacc., identik dengan C. papayae (P.Henn.) Syd. dan Glomerella cingulata (Ston.) Spauld. Et Schrenk (Semangun 1989). Pengamatan penyakit antraknosa di lapang menunjukkan apabila gejala telah muncul menyebabkan buah busuk dan tidak dapat dipanen (Gambar 2).

(32)

12

4-8μm, bersekat 1-4. coklat, pangkalnya agak membengkak dengan ujung meruncing, yang sering membentuk konidium pada ujungnya.

Gambar 2 Gejala antraknosa pada buah pepaya. (sumber: aksesi STRG-4 di Tajur)

[image:32.595.204.405.119.309.2]

Konidium berbentuk tabung dengan ujung-ujung yang tumpul, kadang-kadang berbentuk jorong dengan ujung membulat dan dasar sempit terpancung, hialain, tidak berekat, bersel 1, berukuran 9-24 x 3-6 μm, terbentuk pada konidiofor yang tidak bersekat, hialain atau coklat pucat. Dari hasil pengamatan, buah yang menunjukkan gejala, kemudian patogen penyebab di lihat dibawah mikroskop diperoleh konidia, tubuh buah dan setae yang mirip C. gloeosporioides (Gambar 3). Cendawan ini merupakan salah satu jenis cendawan yang menyebabkan penyakit antraknosa pada buah-buahan dan sayuran.

b a

c a a

a

400x

(33)

13

Di daerah beriklim sedang C. gloeosporioides mempunyai stadium sempurna yang membentuk peritesium dengan askus dan askospora di dalamnya. Peritesium bulat atau berbentuk jambu terbalik, coklat tua sampai hitam, dengan garis tengah 85-300 μm. askus berspora 8, berbentuk tabung atau gada dengan ujung tabung, atau kumparan, kadang-kadang agak bengkok, bersel 1, hialin. Lebih kurang berukuran 12 μm (Holliday 1980). Di India diketahui bahwa cendawan antraknosa membentuk peritesium yang menghasilkan askospora pada tangkai daun pepaya yang tua (Pathak 1976).

C. gloeosporioides dapat menyerang bermacam-macam tanaman, dan dapat hidup sebagai saprofit pada bagian-bagian tanaman yang sudah mati. Menurut Mahfud (1986b) C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai dapat menyebabkan antraknosa pada pepaya sedangkan cendawan antraknosa dari pepaya dapat menginfeksi cabai, mangga, pisang dan ubi kayu.

Cendawan ini adalah parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan dapat mengadakan infeksi melalui luka atau lentisel pada buah yang masih mentah, tetapi tidak dapat berkembang, berada dalam keadaan laten, dan baru berkembang setelah buah masak (Dickman & Alvarez 1983; Alvarez & Nishijima 1987). Konidium cendawan dipencarkan oleh angin dan air hujan yang memercik atau tertiup oleh angin (Graham 1971).

Infeksi pada buah banyak terjadi karena konidium yang berasal dari becak-becak pada daun dan tangkai daun (Anon 1970). Selanjutnya Dickman dan Alvarez (1983) melaporkan bahwa infeksi awal biasanya terjadi pada awal tahap perkembangan buah tetapi patogen tidak berkembang hingga buah mencapai klimaterik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit antara lain; sumber infeksi selalu ada, timbulnya gangguan oleh C. gloeosporioides lebih ditentukan oleh keadaan lingkungan dan penanganan buah pepaya.

(34)

14

Kerusakan pada buah matang lebih banyak terjadi pada buah yang mempunyai banyak luka, baik luka yang terjadi di kebun pada waktu buah masih mentah, maupun luka yang terjadi dalam pemetikan, pengangkutan, dan penyimpanan.

Genetika Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa dan Metode Pemuliaannya

Tujuan umum pemuliaan pepaya adalah mendapatkan varietas yang lebih baik dari varietas yang sudah sudah ada. Menurut Nakasone dan Paull (1998) karakteristik tanaman pepaya yang diinginkan adalah pohon pepaya yang kuat, perawakan pendek. Selanjutnya Kalie (2003) menyatakan bahwa karakteristik buah yang disukai adalah kulit buah halus, daging buah tebal, rongga buah bulat daya simpannya lama, rasa manis dan tahan terhadap penyakit antraknosa.

Menurut Allard (1960) syarat keberhasilan pemuliaan tanaman adalah tersedianya keragaman genetik dalam populasi. Purnomo (2001) menambahkan keragaman diperoleh dari pengumpulan berbagai macam material genetik, persilangan, mutasi buatan, transformasi genetik, fusi sel dan berbagai rekayasa genetik lainnya. Purnomo (2001) melaporkan bahwa hasil eksplorasi pepaya di Indonesia oleh BALITBU Solok telah diperoleh 41 genotipe, satu spesies liar sebagai sumber gen ketahanan PRV yaitu C. cauliflora dan satu spesies liar sebagai C. pubescen. Selain itu juga diperoleh lima varietas pepaya hasil introduksi dari Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI).

(35)

15

Allard (1970) menyatakan bahwa pengujian terhadap suatu ras tunggal merupakan suatu prosedur dasar yang sangat berharga dalam penelitian tentang pewarisan karakter ketahanan. Akan tetapi informasi yang diperoleh dengan metode ini mempunyai keterbatasan karena cendawan patogenik pada umumnya terdiri banyak ras fisiologik. Bilamana patogen ternyata memiliki banyak ras fisiologik, maka pengujian ketahanan harus dilakukan atas dasar konsep gen – untuk – gen seperti telah di formulasikan oleh Flor (1956). Menurut Sneep et al (1979) jika dari pengujian dengan konsep gen – untuk – gen itu tidak menunjukkan adanya interaksi gen- untuk – gen, maka dapat disimpulkan bahwa antara gen - gen tanaman inang dengan gen - gen patogen satu sama lain beraksi bebas. Ketahanan yang demikian, menurut Van der plank (1968) disebut ketahanan horizontal (ketahanan bukan terhadap ras khusus) dan dikenal pula sebagai ketahanan umum.

Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap suatu penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan tanaman, dan menentukan sifat pewarisan karakter ketahanan tanaman inang serta sifat genetik dari interaksi inang-parasit (Hayes & Johnston 1971; Allard 1960; Russell 1981). Agar tahapan itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka pada umumnya pengkajian dilakukan dalam kondisi lingkungan epidemik bagi patogen, baik dalam laboratorium, rumah kaca, maupun di lapang (Andersen 1948; Hanson et al. 1950).

Masalah yang sering dihadapi dalam pengkajian resistensi tersebut adalah (a) penentuan dan penilaian ketahanan, dan (b) identifikasi genetik dari karakter ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak seallel, kaitan gen, serta adanya ras fisiologik atau biotipa dari patogen.

(36)

16

Ketahanan yang dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ditunjukkan oleh ragam ketahanan dengan sebaran terputus (diskontinyu), dan umumnya mudah untuk membedakan antara individu yang tahan dan yang rentan di dalam populasi memisah. Klasifikasi tanaman dalam populasi yang memisah dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tahan (infeksi rendah) dan rentan (infeksi tinggi) (Allard 1960; Russell 1981). Sedangkan ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen, ditunjukkan oleh ragam terusan (kuntinyu), umumnya tidak ada perbedaan yang jelas antara tanaman tahan dengan tanaman rentan dalam populasi memisah. Menurut Russell (1981) adalah penting sekali untuk melakukan pengukuran atau estimasi terhadap besarnya intensitas serangan dengan sistem pemberian nilai skor atas gejala serangan yang timbul dan klasifikasi dari tipe infeksi atau tipe reaksi tanaman inang dengan jumlah klas dan skala yang lebih besar, serta atas dasar persentase kerusakan bagian tanaman (jaringan tanaman) yang terserang.

Banyaknya kelas atau kategori ketahanan yang digunakan dalam suatu penelitian pemuliaan tanaman sangat ditentukan oleh sifat dari karakter ketahanan dan tujuan penelitian. Sifat karakter ketahanan tanaman terhadap patogen mungkin dapat merupakan karakter kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor dan menampilkan wujud ketahanan ragam terputus, atau mungkin merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor dan menampilkan wujud ketahanan ragam terusan di dalam populasi memisah.

Korelasi Genetik dan Sidik Lintas

Penanganan karakter kuantitatif dalam pemuliaan tidak sesederhana karakter kualitatif yang dapat dianalisis dengan menggunakan genetika Mendel. Pendekatan statistika melalui analisis nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap karakter kuantitatif untuk menduga parameter genetik yang penting dalam pemuliaan tanaman seperti heritabilitas dan korelasi genetik.

(37)

17

pemulia tanaman dapat memperlihatkan karakter mana yang dapat memberikan respon terhadap usaha perbaikan yang akan dilakukan. Meskipun heritabilitas merupakan parameter genetik yang memberi arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan konstanta yang bernilai tetap.

Dalam kegiatan pemuliaan tanaman, seleksi terhadap suatu karakter kuantitatif tertentu secara tidak sengaja dapat mengakibatkan ikut terseleksinya karakter lainnya, dan hal tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan, Oleh karena itu penting diketahui dengan pasti hubungan (korelasi) antar karakter tanaman yang diteliti. Koefisien korelasi genetik merupakan ukuran hubungan genetik antar karakter, dan merupakan petunjuk bagi karakter yang mungkin dapat digunakan sebagai indikator bagi karakter lain yang lebih penting (Miller et al. 1957).

Analisis Daya Gabung

Daya gabung adalah kemampuan dari suatu tetua untuk menurunkan sifat-sifat yang diinginkan ke hibrida F1. Ada dua macam daya gabung yaitu Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK). Menurut Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting dari nilai potensial suatu galur murni dalam kombinasi hibrida. Welsh (1981) menambahkan bahwa kemampuan umum (DGU) terutama merupakan hasil dari aksi gen aditif, sedangkan kemampuan berkombinasi spesifik (DGK) merupakan hasil dari gen dominant, epistasi dan aditif.

Menurut Griffing (1956) dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga set materi genetik yaitu tetua, F1 hasil silangan serta resiprokkalnya. Dengan menggunakan ketiga set materi genetik tersebut, Griffing memberikan empat metode dalam analisis daya gabung yaitu Metode I yang melibatkan tetua, F1 hasil silangan serta resiprokalnya, Metode 2 melibatkan tetua dan hanya F1 hasil silangannya saja, Metode 3 melibatkan F1 hasil silangan serata resiprokalnya tanpa tetua dan Metode 4 hanya melibatkan F1 hasil silangan saja.

(38)

18

Besarnya daya gabung antar plasma nutfah yang berfungsi sebagai tetua dan besarnya heterosis yang dicapai oleh hibrida-hibridanya dapat berbeda-beda, Kedua sifat tersebut dikendalikan secara genetik. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang sifat-sifat tersebut agar memudahkan di dalam program pemuliaan.

Besarnya ragam DGU sangat penting diketahui karena pada kebanyakan sifat, ragam DGU selalu lebih besar daripada ragam DGK (Gibrel, Simpson & Everson 1982). Hal ini berarti bahwa aksi gen aditif lebih berperan daripada gen non aditif dalam mempengaruhi sifat-sifat tersebut.

Analisis dialel umumnya digunakan dalam program pemuliaan tanaman pangan, misalnya pada padi dan jagung. Pada pepaya, metode ini masih jarang dilakukan. Hasil penelitian dengan menggunakan metode 1 analisis dialel pada pepaya, Subhadrabandhu dan Nontaswatsri (1997) menunjukkan bahwa daya gabung umum dari kultivar pepaya Khaek Dam, Eksotika 20 dan Tainung 5 berbeda nyata pada ke-14 karakter vegetatif yang diamati, fase generatif dan kualitas buah. Efek daya gabung khusus juga berbeda nyata pada karakter yang diamati sedangkan efek resiprokal hanya berbeda pada bobot buah yang menggambarkan adanya efek maternal pada karakter tersebut.

Selanjutnya Indriyani (2002) dengan memanfaatkan metode empat menurut Griffing dengan lima genotipe pepaya yaitu genotipe nomor 010, 99-014, 99-015, 99-017 dan 99-020 memperoleh informasi bahwa penduga ragam DGU berbeda nyata pada letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil. Penduga ragam DGK berbeda nyata pada saat perkecambahan, persentase perkecambahan dan umur panen buah pertama. Dari penelitian ini diketahui bahwa genotipe 99-015 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil, sedangkan genotipe 99-020 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama dan hasil.

Heterosis

(39)

19

ukuran dan vigor suatu tanaman, sedangkan heterosis digunakan untuk pertambahan maupun pengurangan ukuran dan vigor suatu tanaman. Selain dari istilah heterosis dikenal juga istilah heterobiltiosis yaitu vigor hibrida dari hibrida F1 yang melebihi dari tetua terbaiknya.

Bagi pemulia tanaman, adanya heterosis ini dipandang sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil tanaman pertanian. Bagi produsen benih, fenomena ini dapat memberikan prospek yang cerah bagi pengembangan produksi benih hibrida secara komersial. Pada persilangan interspesifik yang melibatkan genus Carica, gejala heterosis ditemukan. Hasil penelitian Mekako dan Nakasone (1975) yang menggunakan spesies Carica papaya, C. monoica, C. goudotiana, C. cauliflora, C. parviflora dan C. pennata menemukan gejala heterosis pada hibrida interspesifik yang dihasilkan. Persilangan-persilangan yang menunjukkan gejala heterosis antara lain C. cauliflora x C. monoica (pada karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah) dan C. goudotiana x C. monoica (pada karakter lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah).

Gejala heterosis juga ditemukan pada pembentukan pepaya hibrida. Hasil penelitian Chan (1992; 1995) menunjukkan bahwa gejala heterosis ditemukan pada empat karakter vegetatif yang diamati yaitu diameter batang, tinggi tanaman, panjang petiole dan lebar lamina. Gejala heterosis yang paling nyata terdapat pada karakter diameter batang. Persilangan antara L 19 x Eksotika tetap menunjukkan gejala heterosis pada komponen hasil yang melebihi tetua terbaik pada tiga kali percobaan.

(40)

PEMBAHASAN UMUM

Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatan dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan adalah dengan penggunaan genotipe tahan. Pengendalian penyakit antraknosa pada pepaya yang sering dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan fungisida, perendaman air panas, pengendalian biologi. Namun metode pengendalian yang dilakukan belum efektif dan dapat berdampak negatif. Oleh karena itu kegiatan pemuliaan untuk memperoleh varietas yang tahan antraknosa sangat diperlukan.

Kegiatan pertama dalam pemuliaan tanaman adalah mengkoleksi plasma nutfah baik dari dalam maupun dari luar negeri, kemudian dilakukan karakterisasi untuk mengetahui keragaman genetik pada koleksi plasma nutfah yang ada. Kegiatan selanjutnya adalah mencari informasi tentang parameter genetik yang berkaitan dengan ketahanan pepaya terhadap antraknosa. Informasi parameter genetik sangat diperlukan untuk kegiatan seleksi dan penapisan

Seleksi karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa dapat dilakukan dengan mengetahui karakter yang berkaitan dengan ketahanan terhadap antraknosa, mencari penanda genetik dengan uji korelasi antar karakter (sifat), pendugaan heritabilitas dan aksi gen yang berperanan dalam mengendalikan sifat ketahanan antraknosa pada pepaya.

Karakter ketahanan antraknosa pada pepaya bersifat kuantitaif (poligenik) atau dikendalikan oleh banyak gen. Gen pengendali dari karakter ketahanan antraknosa pada pepaya minimal terdiri dari tiga kelompok gen. Sifat kuantitatif ini dapat terlihat dengan tidak ada perbedaan yang diskrit antara genotipe yang tahan yaitu IPB1 dan PB000174 dengan genotipe yang rentan yaitu IPB 10, STR64 dan IPB5. Selanjutnya tidak ada gejala hypersensitive respons, yang merupakan gejala khas untuk karakter yang bersifat kuantitatif, serta dari hasil pengujian pada lokasi yang berbeda terlihat adanya penurunan tingkat ketahanan. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan antraknosa bersifat kuantitatif, dimana pengaruh lingkungan sangat besar.

(41)

STUDI PATOGEN ANTRAKNOSA PADA PEPAYA

Abstrak

Identifikasi spesies Colletotrichum sangat dibutuhkan untuk penerapan metode pengendalian yang efektif dan pembentukan varietas tahan. Metode konvensional untuk mendeteksi spesies Colletotrichum penyebab antraknosa pada pepaya dapat dilakukan menggunakan morfologi konidia, ada tidaknya seta dan warna koloni. Berdasarkan bentuk konidia, adanya seta dan warna dari koloni, isolat dari pepaya termasuk Colletotrichum gloeosporiedes. Isolat TJR1 menunjukkan pertumbuhan optimum pada suhu 28oC (suhu kamar) sehingga isolat ini dapat digunakan sebagai isolat untuk penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa yang dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar (28oC). Kecepatan pertumbuhan optimum C. gloeosporiedes isolat dari pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1 dan GG2) dan isolat dari cabai (BGR11) tercapai pada suhu 24oC, sedangkan C. capsici (GGc) isolat dari cabai menunjukkan kecepatan pertumbuhan optimum pada suhu 32oC. Seluruh isolat dari pepaya dan cabai yang berhasil di koleksi menunjukkan potensi infeksi pada buah cabai dan pepaya. Menggunakan dua metode inokulasi yaitu penempelan biakan dan pelukaan jaringan, serta penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan diperoleh infeksi Colletotrichum

dengan masa inkubasi yang cepat, diameter bercak yang besar dan kejadian penyakit yang tinggi.

Kata kunci : Colletotrichum, isolat , konidia

Abstract

Identification of Colletotrichum species is essential for development implementation of effective control methods and for breeding resistance. Identification of Colletotrichum using conventional methods has been done based on, morphology character such as shape of conidia, the precence or absence of setae, morphology. To develop an effective resistance screening technique, experiments were conducted to understand the growth character of Colletotrichum, such as the effect as temperature, infection potencial on different host, inoculation studies for the best method in identifying the resistant germplasm. Isolates from papaya produced mainly cylindrical conidia and colony colours ranging from pale salmon pink to dark grey. The optimum temperature for the development Colletotrichum gloeosporioides from papaya isolate (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) and pepper isolate (BGR11) was 24oC and Colletotrichum capsici (GGc) from pepper isolate was 32oC. All papaya and pepper isolates produced lesions both on pepper and papaya. Two inoculation methods were assayed, i.e. attachment of pure isolates on wounding tissue , and conidial spray on unwounding tissue. It was evidenced that infection of Colletotrichum occurred in relatively short incubation period, resulting in large lesion and high disese in evidence.

(42)

21

Pendahuluan Latar Belakang

Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit pasca panen yang

penting pada pepaya yang dapat menurunkan mutu buah. Gejala serangan pasca

panen umumnya timbul ketika buah sedang dalam transportasi, pemasaran atau

penyimpanan. Pada saat buah masih berada di pohon, patogen dalam kondisi

laten dan akan berkembang setelah buah menjadi matang. Beberapa spesies

Colletotrichum dilaporkan dapat menyebabkan penyakit antraknosa (Snowdown 1990; OECD 2005). Sepiah et al. (1991) dan Sepiah (1992) melaporkan bahwa

patogen yang penting penyebab antraknosa pada pepaya eksotika adalah

C. capsici yang merupakan penyakit penting di Malaysia. Dilaporkan bahwa

patogen penyebab antraknosa pada buah pepaya di Indonesia adalah

C. gloeosporioides (Sulusi et al. 1991 dan Semangun 2000).

Penyebab antraknosa pada pepaya di Indonesia perlu diidentifikasi.

Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melihat

tanda penyakit, karakterisasi morfologi dan sifat biologi patogen. Freeman (2000)

menyatakan bahwa identifikasi spesies Collethotrichum dapat dilakukan berdasarkan karakter morfologi, respon terhadap suhu, vegetatif compatibility, respon terhadap fungisida, dan karakter biologi molekuler. Spesies

Colletotrichum dapat dikelompokkan menjadi dua grup berdasarkan bentuk konidianya yaitu lurus dan melengkung (Skipp et al. 1995). Selanjutnya Sutton (1992) menyatakan bahwa identifikasi Colletotrichum sp dapat dilakukan berdasarkan morfologi dan kisaran inangnya.

Informasi kisaran inang dapat diketahui dengan melakukan inokulasi

silang, misalnya isolat yang berasal dari pepaya diinokulasikan ke buah cabai dan

sebaliknya. Isolat C. gloeosporioides dari mangga dan alpokat berhasil diinokulasikan ke strawberry, cabai, jambu biji, pepaya dan jeruk (Swart 1999).

Hal tersebut menunjukkan bahwa C. gloeosporioides memiliki kisaran inang yang luas.

Identifikasi dan sifat biologi patogen antraknosa merupakan informasi

yang sangat diperlukan dalam usaha pengendalian yang akan di lakukan.

(43)

22

penggunaan fungisida, perendaman dengan air panas, pelapisan lilin dan

pengendalian biologi dengan agen hayati. Salah satu pengendalian yang aman

dan murah adalah dengan menciptakan varietas resisten. Dalam pembentukan

varietas resisten, salah satu tahapan yang harus dilakukan adalah kegiatan

penapisan genotipe pepaya. Metode inokulasi yang tepat sangat diperlukan untuk

penapisan genotipe pepaya yang tahan terhadap antraknosa.

Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab antraknosa pada

pepaya melalui pengamatan morfologi koloni dan konidia. Isolat patogen yang

dikoleksi dari lapang akan digunakan dalam uji patogenitas, uji kisaran inang, dan

uji suhu optimum. Selanjutnya isolat-isolat tersebut akan digunakan dalam

evaluasi metode inokulasi. Hasil identifikasi dan karakterisasi penyebab

antraknosa pada pepaya diharapkan memberikan dasar dalam upaya pengendalian

penyakit pada pepaya.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Percobaan mencakup empat kegiatan yaitu identifikasi penyebab penyakit,

uji patogenisitas, uji pertumbuhan patogen pada beberapa suhu, dan evaluasi

metode inokulasi. Kegiatan berlangsung dari bulan Mei 2004 sampai Juli 2005 di

Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor.

Koleksi isolat

Isolat penyebab antraknosa dikumpulkan dari dua lokasi kebun pepaya

yaitu Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Tajur-Bogor, dan

Kebun Agrorekatama Gunung Geulis-Bogor. Pada masing-masing lokasi dipilih

buah, daun, dan tangkai daun pepaya yang menunjukkan gejala khas antraknosa.

Isolasi cendawan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode

penanaman jaringan pada media potato dextrose agar (PDA) dan inkubasi pada suhu 28oC (suhu kamar). Biakan murni setelah tujuh hari dipanen konidianya.

Pemanenan dilakukan dengan menambahkan air steril sampai agar dalam cawan

terendam (+18 ml). Kemudian dengan menggunakan spatula konidia dipanen

untuk pembuatan biakan spora (konidia) tunggal. Biakan konidia tunggal yang

(44)

23

dengan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang di bawah sinar ultraviolet

selama tujuh hari. Kode, asal inang dan lokasi dari isolat yang berhasil dikoleksi

tertera pada Tabel 1.

Identifikasi Penyebab Antraknosa pada Pepaya

Identifikasi patogen dilakukan menggunakan pedoman Barnet dan Hunter

(1972) dan Kulshrestha et al. (1976), yaitu melalui pengamatan morfologi

konidia, seta dan aservulus. Pengamatan morfologi dilakukan terhadap biakan

[image:44.595.98.511.278.624.2]

murni maupun tanda penyakit pada buah pepaya yang terserang.

Tabel 1 Isolat Colletotrichum sp., inang asal isolat dan lokasi sumber isolat

Kode No

Isolat Asal Isolat Lokasi Asal Isolat

1 TJR1 Buah pepaya IPB1 Kebun percobaan PKBT Tajur

2 TJR2 Daun pepaya IPB1 Kebun percoban PKBT Tajur

3 TJR3 Buah pepaya Taiwan Kebun percobaan PKBT Tajur

4 TJR4 Buah pepaya Boyolali Kebun percobaan PKBT Tajur

5 TJR5 Buah pepaya Blitar Kebun percobaan PKBT Tajur

6 TJR6 Buah pepaya Magelang Kebun percobaan PKBT Tajur

7 TJR7 Buah pepaya STR64 Kebun percobaan PKBT Tajur

8 TJR8 Buah pepaya IPB10 Kebun percobaan PKBT Tajur

9 TJR9 Daun pepaya Redking Kebun percobaan PKBT Tajur

10 TJR10 Tangkai daun pepaya SW yellow

Kebun percobaan PKBT Tajur

11 GG1 Buah pepaya Taiwan Kebun Agrorekatama Gunung

Geulis

12 GG2 Biji pepaya Kebun Agrorekatama Gunung

Geulis 13 BGR11

(Cg)

Buah cabai Bogor (koleksi laboratorium

Cendawan IPB) 14 GGc

(Cc)

Buah cabai Gunung Geulis (koleksi

Zulfadillah)

Uji Patogenisitas Patogen Antraknosa pada Pepaya

Biakan murni dari 12 isolat asal pepaya yang berhasil dikoleksi di gunakan

dalam uji patogenisitas menggunakan metode suntik pada buah pepaya (Swart

1999). Buah pepaya yang digunakan pada uji patogenisitas adalah genotipe STR

64. Buah pepaya yang digunakan dalam pengujian terlebih dahulu diberi

(45)

24

menit kemudian dibilas dengan air steril. Titik inokulasi pada permukaan buah

pepaya dibuat sebanyak lima titik tiap buah. Kepadatan suspensi spora yang

digunakan untuk inokulasi adalah 106 spora/ml, jumlah spora dihitung

menggunakan haemocytometer. Selanjutnya buah yang telah diinokulasi diletakkan pada bak plastik dan ditutup dengan plastik transparan. Pada keempat

sudut bak diletakkan kapas basah untuk menjaga kelembaban, selanjutnya bak

plastik diingkubasi pada suhu kamar.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan dua belas isolat sebagai perlakuan. Masing – masing isolat diulang

sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 30 unit percobaan.

Peubah yang diamati adalah :

1. Kemunculan: pengamatan dilakukan setiap hari setelah inokulasi dengan

melihat gejala khas antraknosa.

2. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai

munculnya gejala.

3. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah

inokulasi.

Uji Patogenisitas Colletotrichum asal Pepaya pada Buah Cabai

Isolat Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini terdiri dari

enam isolat Colletotrichum yang telah diidentifikasi sebelumnya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2). Biakan Colletotrichum asal pepaya digunakan untuk menginokulasi buah cabai yang diperoleh dari tanaman cabai varietas Hot Chilli

asal Gunung Geulis Bogor. Sebagai pembanding digunakan isolat

C. gloesporioides (BGR 11) dan C. capsici asal cabai (GGc) untuk menginokulasi buah pepaya STR 64.

Buah cabai dan pepaya yang akan digunakan dalam pengujian tersebut

terlebih dahulu disterilisasi. Permukaan buah direndam dalam NaOCl 2 % selama

lima menit kemudian dibilas dengan air steril dan diberi perlakuan dengan alkohol

70% untuk sterilisasi permukaan buah.

Inokulasi buah cabai dan pepaya dilakukan dengan metode penempelan

biakan cendawan. Dari masing-masing biakan cendawan dibuat

(46)

25

pada permukaan buah cabai dan pepaya yang telah dilukai dengan jarum steril.

Buah cabai dan pepaya yang telah diinokulasi diletakkan dalam bak plastik dan

ditutup plastik transparan. Pada keempat sudut bak diletakkan kapas steril basah,

untuk menjaga kelembaban. Selanjutnya bak plastik diinkubasi pada suhu kamar.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing – masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 unit percobaan. Untuk inokulasi

pada buah cabai, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 buah cabai, sedangkan

untuk buah pepaya masing-masing perlakuan terdiri dari tiga buah pepaya.

Peubah yang diamati adalah :

1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai

munculnya gejala

2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah

inokulasi.

3. Kejadian Penyakit (%);

Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung dengan rumus :

KP = (n/N) x 100%

Keterangan:

N = jumlah titik inokulasi

n = jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala antraknosa

Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu

Isolat Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini adalah isolat-isolat hasil identifikasi sebelumnya, yang terdiri atas enam isolat-isolat pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2), satu isolat C. gloesporioides asal cabai (BGR 11) serta C. capsici asal cabai (GGc). Isolat yang akan digunakan tersebut sebelumnya ditumbuhkan pada media PDA selama dua minggu pada suhu kamar.

Dari masing-masing biakan selanjutnya dibuat potongan-potongan kecil

berukuran diameter 0.4 cm. Potongan biakan tersebut selanjutnya dipindahkan ke

media PDA yang baru pada cawan petri yang berukuran diameter 9 cm. Dalam

satu cawan petri diletakkan satu potongan biakan cendawan, yaitu di bagian

(47)

26

tersebut di letakkan pada berbagai suhu, yaitu 16 oC, 20 oC, 24 oC, 28 oC, 32 oC,

dan 36oC

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan delapan isolat (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2, BG11 dan GGc)

sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.

Peubah yang diamati adalah :

1. Rata-rata kecepatan pertumbuhan cendawan. Pengamatan diameter

pertumbuhan cendawan dilakukan sejak hari pertama inokulasi pada suhu

tertentu selama tujuh hari berturut-turut. Rata rata kecepatan pertumbuhan

cendawan per hari dihitung dengan rumus sebagai berikut:

∑dm1+ … + dmn

KPC = --- n

KPC = kecepatan pertumbuhan cendawan n = jumlah hari

2. Rata-rata diameter koloni: Pengamatan dilakukan pada hari ketujuh setelah

inokulasi, dengan mengukur diameter koloni cendawan

Evaluasi Efektivitas Metode Inokulasi

Evaluasi dilakukan untuk menentukan metode inokulasi dengan tepat

dalam kegiatan penapisan ketahanan genotipe pepaya terhadap antraknosa.

Metode inokulasi yang dievaluasi terdiri dari : 1) Metode inokulasi penempelan

biakan dan pelukaan jaringan (TP). Buah pepaya yang akan diinokulasi dilukai

dengan menggunakan jarum suntik steril pada empat titik pada permukaan buah.

Potongan biakan cendawan berukuran diameter 0.4 cm. Kemudian ditempelkan

pada permukaan buah tersebut. 2) Metode inokulasi penempelan biakan tanpa

pelukaan jaringan (TL). Buah pepaya yang diinokulasi tidak dilukai, penempelan

potongan biakan cendawan. Inokulum berukuran diameter 0.4 cm dilakukan pada

empat titik. 3) Metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan

(SL). Buah pepaya yang akan diinokulasi tidak dilukai. Inokulum disiapkan

dengan mengemulsikan biakan murni dalam air steril, sehingga diperoleh

konsentrasi 106 konidia/ml. Dengan menggunakan alat semprot tangan

(48)

27

(+10 ml/buah). Setelah diinokulasi, buah pepaya diletakkan di dalam bak plastik,

lalu di tutup dengan plastik transfaran.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing – masing isolat diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 unit percobaan. Masing-masing

unit percobaan terdiri atas lima buah pepaya.

Peubah yang diamati adalah :

1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai

munculnya gejala

2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah

inokulasi.

3. Kejadian Penyakit (%);

Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung dengan rumus :

KP = (n/N) x 100%

Keterangan:

N = jumlah titik inokulasi

n = jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala antraknosa

Analisis Data

Seluruh percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),

dengan model linier aditif, analisis ragam dan harapan kuadrat tengah untuk tiap

karakter yang diamati pada semua percobaan disusun mengikuti Steel dan Torrie

(1980).

Model linier aditif untuk percobaan I ini adalah sebagai berikut:

ij j i

ij u P

Y =μ+ + +ε ………(1)

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-j

µ = nilai tengah umum

Ui = Pengaruh ulangan ke-i

Pj = Pengaruh perlakuan ke-j

ij

(49)

28

Berdasarkan model linier aditif di atas, pada Tabel 2 disajikan bentuk analisis

ragam disertai harapan kuadrat tengahnya, dengan anggapan genotipe

berpengaruh acak.

Tabel 2 Analisis ragam model a

Gambar

Gambar 3  Bentuk konidia (a), aservulus (tubuh buah) (b) dan seta (c).
Tabel 1  Isolat Colletotrichum sp.,  inang asal isolat dan lokasi sumber isolat
Tabel 3  Uji patogenisitas beberapa isolat penyebab antraknosa pada buah pepaya
Tabel 5  Rata-rata diameter koloni delapan isolat antraknosa pada beberapa suhu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu contoh penerapan teori graf yaitu dalam pembuatan pohon merentang minimum untuk menentukan rute yang efisien untuk bepergian antar negara Asia Tenggara, dengan

Judul : Pengembangan Pengelolaan Proses Pembelajaran Matematika di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta Dengan ini kami meneliti Tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya pengaruh pemberian air nira aren secara oral terhadap tingkat konsumsi pakan hijauan.. Sedangkan untuk pertambahan bobot

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa perlakuan akuntansi aktiva tetap khususnya mengenai Harga Perolehan aktiva tetap PT Haka Utama Sejahtera Sampang tidak sesuai

Pendidikan Agama bertujuan untuk memberi bekal konsep dasar dan keilmuan dalam penerapan ajaran agama yang dapat menunjang dan membentuk pribadi yang mencerminkan ahlakul

Penelitian yang akan dilakukan adalah menghitung secara numerik pelat isotropik bertumpu pada pondasi elastis winkler yang diakibatkan oleh kecepatan beban berjalan yang

Yang menjadi persoalannya bukan pada efektifitas dari pemidanaan terutama pidana penjara sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa yang penelitian-

Julkaisuharkintaan lähetettävästä artikkelista Henkirikosten uhrien läheisten saama ja toivoma sosiaalinen tuki (Korpimäki E, Kaunonen M & Aho A L 2015) ja