• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eosinopenia Sebagai Penanda Dini Diagnosis Sepsis Bakterialis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eosinopenia Sebagai Penanda Dini Diagnosis Sepsis Bakterialis"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

EOSINOPENIA SEBAGAI PENANDA DINI DIAGNOSIS SEPSIS BAKTERIALIS

TESIS

Oleh

ELISABET SIPAYUNG NIM: 097101016

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

EOSINOPENIA SEBAGAI PENANDA DINI DIAGNOSIS SEPSIS BAKTERIALIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELISABET SIPAYUNG 097101016

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

2015

Judul Tesis : EOSINOPENIA SEBAGAI PENANDA DINI DIAGNOSIS SEPSIS BAKTERIALIS

Nama Mahasiswa : ELISABET SIPAYUNG

Nomor Induk Mahasiswa : 097101016

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Penyakit Dalam

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI

Ketua Anggota

(4)

Ketua TKP PPDS Dekan FK USU

Dr Murniati Manik, M.Sc,SpKK,SpGK Prof.Dr.Gontar A Siregar, SpPD-KGEH

(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : ELISABET SIPAYUNG NIM : 097101016

(6)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elisabet Sipayung NIM : 097101016

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas tesis saya yang berjudul:

EOSINOPENIA SEBAGAI PENANDA DINI DIAGNOSIS SEPSIS BAKTERIALIS

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada tanggal : April 2015 Yang menyatakan

(7)
(8)

PANITIA PENGUJI TESIS

(9)

ABSTRAK

Diagnosis dini sepsis bakterialis pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan

intensive care unit (ICU) dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi

karena dengan diagnosis yang tepat dan cepat, pemberian terapi antibiotik dapat segera dilakukan. Dengan demikian diperlukan penanda sepsis yang akurat, cepat, mudah, murah. Selama ini digunakan procalcitonin (PCT) sebagai penanda diagnosis sepsis, namun biaya pemeriksaan PCT mahal dan belum tersedia di berbagai fasilitas kesehatan di negara berkembang. Diperlukan suatu penanda dini sepsis bakterialis dan dapat menjadi alternatif selain pemeriksaan prokalsitonin, yaitu dengan menggunakan jumlah eosinofil absolut. Pada sepsis diketahui jumlah eosinofil absolut mengalami penurunan dalam darah pada fase akut infeksi bakteri sehingga akan menyebabkan terjadinya eosinopenia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi jumlah eosinofil yang rendah (eosinopenia) sebagai penanda dini sepsis bakterialis. Penelitian potong lintang ini dilakukan mulai Maret 2014 sampai Agustus 2014 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam dan ICU RSUP H. Adam Malik. Pada studi ini nilai rata-rata jumlah eosinofil pada sepsis bakterialis adalah 27 sel/mm3. Diambil nilai acuan (cut-off) jumlah eosinofil absolut untuk uji diagnostik eosinopenia dibandingkan dengan PCT. Pada penelitian ini didapati cut-off point eosinofil untuk sepsis bakterialis 37 sel/mm3 kemudian dilakukan uji diagnostik didapati nilai sensitivitas eosinofil adalah 94,9% dan spesifisitas 92,3%. Nilai Prediksi Positif (NPP) eosinofil adalah sebesar 92,5% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 94,7%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 12,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,06. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh

bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 92,4% (95% CI: 84,8% - 100%; p = 0,0001). Kesimpulan eosinopenia dapat digunakan sebagai penanda dini sepsis bakerialis.

(10)

ABSTRACT

The early diagnosis of sepsis bacterialis plays an integral role in the morbidity and mortality of patients admitted to the hospitals and the intensive care unit (ICU) because it ensures the early administration of antibiotics. Thus the good markers of sepsis bacterialis which had good accuracy, easy to use and also cheap. Previously procalcitonin (PCT) was used to diagnose sepsis, unfortunetely it is expensive and this coupled with the fact that it takes a long time for the results to be attained and not always exist in developing countries, it is not an ideal marker for the early diagnosis of sepsis. In sepsis bacterialis, eosinophil absolut count decreased thus eosinopenia could be an early marker. The aim of this study was to know the accuracy of eosinopenia compared wih PCT to early diagnose of sepsis bacterialis. This cross-secional study was held from March 2014 until August 2014 in Internal medicine ward and ICU of H. Adam Malik Hospital Medan. In this study the mean eosinophil count of the sepsis bacterialis patients was 27 sel/mm3. The cut-off of eosinopenia compared with PCT was 37 cells/mm3, then from statistical analysis the sensitivity of eosinophil was 94,9%, specificity was 92,3%, positive predictive value (PPV) was 92,5%, and negative predictive value (NPV) was 94,7%. Positive likelihood ratio was 12,3 and negative likelihood ratio was 0,06. From analysis of ROC curve area under the curve (AUC) was 92,4 % (95% CI: 84,8% - 100%; p = 0,0001).

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tidak terhingga senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristusyang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberikan dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

2. Dr. Zainal Safri SpPD,SpJP sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang telah senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama mengikuti pendidikan.

3. (Alm) dr. Zulhelmi Bustami, KGH dan (Alm) dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGHyang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang berbudi luhur serta siap mengabdi dan berbakti pada nusa dan bangsa.

4. Khusus mengenai tesis ini, kepada dr.Armon Rahimi, Sp.PD-KPTI dan dr.Endang Sembiring, Sp.PD-KPTI selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama mengadakan penelitian juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya tesis ini.

(12)

Sp.JP(K), dr. Rustam Effendi YS, KGEH, (Alm) dr. Betthin Marpaung, KGEH,dr. Mabel Sihombing, KGEH, (Alm) dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH, DR. dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH,dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP, dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, (Alm) dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH, DR. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD, dr. Yosia Ginting, Sp.PD-KPTI, dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), dr. EN. Keliat, Sp.PD-KP,dr. Leonardo Basa Dairi, Sp.PD-KGEH, (Alm) dr. Pirma Siburian, Sp.PD-KGer, dr. Rustam Effendi YS, Sp.PD-KGEH, dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD-KAI, DR. dr. Blondina Marpaung, Sp.PD-KR, dr. Tambar Kembaren, Sp.PD, dr. Mardianto, Sp.PD-KEMD, dr. Dairion Gatot, Sp.PD-KHOM, dr. Ilhamd, Sp.PD, dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP, dr. Santi Syafril, Sp.PD-KEMD, dr. Ariantho S. Purba, Sp.PD, dr. Franciscus Ginting, Sp.PD, dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD, dr. Anita Rosari Dalimunthe, Sp.PD, dr. Leni Sihotang, Sp.PD, dr. Taufik Sungkar, Sp.PD, dr. Dina Aprillia Ariestine, Sp.PD, dr.Melati Silvani Nasution, Sp.PD, dr. Restuti Hidayani Saragih, Sp.PD serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatian senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.

6. Direktur RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi, RS Tembakau Deli, RS Haji dan RSUD Sibolga yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

7. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan FK USU, Ketua TKP-PPDS FK USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran FK USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan Magister Kedokteran Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

8. dr. Taufik Ashar, MKM selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam menyusun tesis ini. 9. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan yang telah memberikan dorongan semangat,

(13)

M.Azhari, dr. Riki Muljadi, dr. Wirandi Dalimunthe. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini.

10. Abang, kakak, dan adik-adik keluarga besar IKAAPDA dan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah banyak membantu penulis selama menjalani pendidikan ini.

11. Seluruh Perawat/Paramedis diberbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama pendidikan.

12. Seluruh Pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

13. Syarifuddin Abdullah, Lely Husna Nasution, Amd, Deny Mahyudi, SKom, Erjan, Sriwanti, Tanti, Ita, Fitri, Julita Ramadayanti, Tika, Idriyanti, Ali, Rizal dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Rasa hormat dan terima kasih tidak terhingga penulis persembahkan kepada kedua orangtua yang sangat penulissayangi dan cintai, Ayahanda dr. Rosihan Sipayung, SpPD dan Ibunda Eveline Indah Girsang, atas segala jerih payah, pengorbanan dan dengan kasih sayang yang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tiada henti, memberikan dukungan moril dan materil, serta mendorong penulis dalam berjuang menjalani hidup dan mencapai cita-cita. Tidak akan pernah bisa penulis membalas jasa-jasa ayahanda dan ibunda, semoga Tuhan Yesusselalu memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya kepada ayahanda dan ibunda.

Hormat dan terima kasih penulis persembahkan buat ayah mertua (Alm) B.T. Manurung dan ibu mertua K.Rosmery Sitorus atas dukungan, doa dan pengorbanannya. Tidak akan pernah bisa penulis membalas jasa-jasa ayahanda dan ibunda, semoga Tuhan Yesusselalu memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya.

(14)

rasa terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan bagi ananda berdua, atas pengertian kalian selama penulis sedang menyelesaikan pendidikan spesialis ini. Kiranya kelak kalian menjadi anak-anak yang sehat, pintar, kuat dalam Tuhan Yesus.

Kepada abang ku dr.Yosra Sipayung beserta istri Panary Sitopu SH, M.Kn, adik-adik ku Maria Kristina Sipayung ST, MT, Yohan Made Ardo Sipayung, SH serta seluruh keluarga yang telah membantu,mendoakan, memberi semangat, kritik, serta dorongan, ucapan terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan untuk segalanya.

Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan berperan dalam menyelesaikan penelitian dan pendidikan saya ini, penulis ucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya, izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan yang pernah penulis lakukan selama menjalani pendidikan. Semoga tesis ini dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan keilmuan dalam dunia kedokteran. Semoga segala bantuan, dukungan, bimbingan dan petunjuk yang telah diberikan kiranya mendapat balasan berlipat-ganda dari Tuhan kita Yesus Kristus. Amin.

Medan, April 2014

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vii

Daftar Tabel... ix

(16)

Daftar Singkatan dan Lambang... xi

Daftar Lampiran... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Hipotesa... 6

1.4 TujuanPenelitian... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 1.6 Kerangka Konseptual... 6 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1Epidemiologi... 6

2.2 Etiologi... 2.3 Patogenesis dan patofisiologi sepsis... 2.4 CARS... 2.5 Biosintesis dan patofisiologi prokalsitonin... 2.6 Kultur darah... 2.7 Eosinophil... 6 7 10

11

13 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Desain Penelitian... 18

(17)

3.3 Populasi Terjangkau ... 19

3.4 Kriteria Penerimaan, penolakan, pengeluaran ... 20

3.5 Besar Sampel... 20

3.6 Cara Penelitian... ... 20

3.7 Definisi Operasional ... 3.8 Analisa Data ... 3.9 Ethical Clearance dan Informed Consent... 3.10 Kerangka Operasional... 22 23 23 24 BAB IV HASIL PENELITIAN ... 25

BAB V PEMBAHASAN... KESIMPULAN DAN SARAN... 30 32

5.1 Kesimpulan... 32

5.2 Saran... 32

(18)
(19)

DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 4.1.1. Karakteristik dasar penelitian 25 Tabel 4.1.2. Sensitivitas, spesifisitas, Nilai prediksi positif, 26

nilai prediksi negatif dari eosinofil terhadap sepsis bakterialis

Tabel 4.1.3. Sensitivitas, spesifisitas, Nilai prediksi positif, 27 nilai prediksi negatif

dari eosinofil (COP 37 sel/mm3 sepsis bakterialis

(20)
(21)

Halaman

Gambar 2.1. Respons inflamasi pada sepsis 9

Gambar 2.2. Keseimbangan mediator SIRS 11

dan CARS pada sepsis.

Gambar 2.3. Hematopoiesis dari multipotent stem sel 14 Gambar 2.4. Morfologi eosinofil dari apusan darah tepi 15 Gambar 2.5. Efek pemberian ZAS terhadap eosinofil 16

yang beredar dalam darah setelah satu menit

Gambar 4.1.2 Kurva ROC dari eosinofil terhadap sepsis bakterialis 27 Gambar 4.1.3 Kurva sensitifitas dan spesifisitas eosinofil 28

(22)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian

pertama kali pada halaman SIRS systemic inflammatory response syndrome 1

ICU Intensive Care Unit 1

RS Rumah sakit 1

AS Amerika Serikat 1

LPS Lipopolisakarida 2

CRP C-Reactive Protein 2

CARS compensatory anti-inflammatory response 10

COP Cut-off point

IL interleukin 8

TNF Tumor Necrosis Factor 8

TGF Transforming Growth Factor 8

DPL Darah Perifer Lengkap 22

NO Nitric oxide 9

kPa kilo pascal 5

TDs tekanan darah sistolik 3

PCT Procalcitonin 3

CGRP Calcitonin Gene-Related Peptide 10

SSC Surviving Sepsis Campaign 1

(23)

CRH corticotropin releasing hormone 14

ACTH adrenocorticotropine hormone 14

HIV Human Immunodeficiency Virus 14

ELFA Enzyme linked fluorescent immunoassay 16

AUC area under curve 27

ROC receiver operating characteristic 26

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan Komisi Etik Penelitian... 36 2 Lembar Informasi Subjek Penelitian... 37 3 Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... 38 4 Kertas Kerja Profil Peserta Penelitian... 39 5 Data karakteristik pasien dan laboratorium 40

6 Analisis statistik 47

(24)

ABSTRAK

Diagnosis dini sepsis bakterialis pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan

intensive care unit (ICU) dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi

karena dengan diagnosis yang tepat dan cepat, pemberian terapi antibiotik dapat segera dilakukan. Dengan demikian diperlukan penanda sepsis yang akurat, cepat, mudah, murah. Selama ini digunakan procalcitonin (PCT) sebagai penanda diagnosis sepsis, namun biaya pemeriksaan PCT mahal dan belum tersedia di berbagai fasilitas kesehatan di negara berkembang. Diperlukan suatu penanda dini sepsis bakterialis dan dapat menjadi alternatif selain pemeriksaan prokalsitonin, yaitu dengan menggunakan jumlah eosinofil absolut. Pada sepsis diketahui jumlah eosinofil absolut mengalami penurunan dalam darah pada fase akut infeksi bakteri sehingga akan menyebabkan terjadinya eosinopenia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi jumlah eosinofil yang rendah (eosinopenia) sebagai penanda dini sepsis bakterialis. Penelitian potong lintang ini dilakukan mulai Maret 2014 sampai Agustus 2014 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam dan ICU RSUP H. Adam Malik. Pada studi ini nilai rata-rata jumlah eosinofil pada sepsis bakterialis adalah 27 sel/mm3. Diambil nilai acuan (cut-off) jumlah eosinofil absolut untuk uji diagnostik eosinopenia dibandingkan dengan PCT. Pada penelitian ini didapati cut-off point eosinofil untuk sepsis bakterialis 37 sel/mm3 kemudian dilakukan uji diagnostik didapati nilai sensitivitas eosinofil adalah 94,9% dan spesifisitas 92,3%. Nilai Prediksi Positif (NPP) eosinofil adalah sebesar 92,5% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 94,7%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 12,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,06. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh

bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 92,4% (95% CI: 84,8% - 100%; p = 0,0001). Kesimpulan eosinopenia dapat digunakan sebagai penanda dini sepsis bakerialis.

(25)

ABSTRACT

The early diagnosis of sepsis bacterialis plays an integral role in the morbidity and mortality of patients admitted to the hospitals and the intensive care unit (ICU) because it ensures the early administration of antibiotics. Thus the good markers of sepsis bacterialis which had good accuracy, easy to use and also cheap. Previously procalcitonin (PCT) was used to diagnose sepsis, unfortunetely it is expensive and this coupled with the fact that it takes a long time for the results to be attained and not always exist in developing countries, it is not an ideal marker for the early diagnosis of sepsis. In sepsis bacterialis, eosinophil absolut count decreased thus eosinopenia could be an early marker. The aim of this study was to know the accuracy of eosinopenia compared wih PCT to early diagnose of sepsis bacterialis. This cross-secional study was held from March 2014 until August 2014 in Internal medicine ward and ICU of H. Adam Malik Hospital Medan. In this study the mean eosinophil count of the sepsis bacterialis patients was 27 sel/mm3. The cut-off of eosinopenia compared with PCT was 37 cells/mm3, then from statistical analysis the sensitivity of eosinophil was 94,9%, specificity was 92,3%, positive predictive value (PPV) was 92,5%, and negative predictive value (NPV) was 94,7%. Positive likelihood ratio was 12,3 and negative likelihood ratio was 0,06. From analysis of ROC curve area under the curve (AUC) was 92,4 % (95% CI: 84,8% - 100%; p = 0,0001).

(26)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Definisi sepsis pertama sekali diperkenalkan oleh American College of Chest

Physicians (ACCP) dan the Society of Critical Care Medicine (SCCM) Consensus

Conference pada tahun 1991, dimana sepsis diartikan sebagai suatu respons inflamasi

sistemik (systemic inflammatory response/SIRS) terhadap infeksi.

Manifestasi SIRS dapat berupa dua atau lebih dari gejala berikut: 1) suhu tubuh > 38°C atau < 36°C; 2) takikardi (denyut jantung > 90 kali/menit); 3) takipneu (pernafasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 4,3 kPa); 4) lekositosis atau lekopenia (jumlah lekosit > 12.000 atau < 4000/mm

1-4

3

Sepsis berat adalah sepsis yang berhubungan dengan adanya disfungsi organ (satu atau lebih), hipoperfusi jaringan atau hipotensi. Hipoperfusi termasuk asidosis laktat, oliguria dan perubahan akut status mental.

) atau > 10% sel imatur.

Sedangkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya, yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.

2,5-7,10-11

Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, namun yang menjadi penyebab terbesar adalah bakteri. Angka kesakitan dan kematian sepsis bakterialis yang cukup tinggi membuat sepsis merupakan 2% penyakit penyebab pasien masuk ke RS, dimana sekitar 9% pasien sepsis memburuk menjadi sepsis berat, dan 3% pasien sepsis berat menjadi syok sepsis, dan yang menyebabkan 10% kasus di ICU. Penyakit ini menjadi penyebab kematian kedua non koroner di ICU, dan penyebab kematian kesepuluh di AS.

2-5

Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%). Struktur dominan pada membran luar bakteri gram negatif adalah lipopolisakarida (LPS) yang akan merangsang peradangan dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi.

7-9

22,28

American College of Chest Physicians (ACCP) dan the Society of Critical Care

Medicine (SCCM) Consensus Conference pada tahun 1991 merekomendasikan adanya

petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) dimasukkan sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Vienna dkk 2000, meneliti penanda biomolekuler procalcitonin (PCT). Simon dkk tahun 2004 meneliti kadar prokalsitonin pada

(27)

sepsis bakterialis. Purba D (2010) di Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai penanda sepsis, meneliti 19 orang pasien sepsis dibandingkan dengan 19 orang kontrol dan mendapatkan nilai PCT 0,8 ng/mL sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.25

Surviving Sepsis Campaign 2008 mengemukakan diagnosis dini dan pengobatan

sepsis yang tidak ditunda-tunda dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas. Diagnosis awal sepsis sebelum didapat hasil kultur menjadikan pemberian antibiotik empiris sangat penting untuk dapat menurunkan mortalitas pasien. Namun ketersediaan penanda (marker) infeksi bakteri masih belum memuaskan. Penanda yang ideal haruslah memiliki nilai spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi , mudah dikerjakan, tidak mahal, dan berhubungan dengan berat ringannya penyakit dan prognosis. Kultur darah sebagai baku emas standar dalam diagnosis sepsis bakterialis memiliki banyak kekurangan diantaranya memerlukan waktu pemeriksaan yang lama, biaya yang mahal, belum tersedia di semua rumah sakit.

Namun pemeriksaan PCT harganya mahal, hasilnya diperoleh dalam waktu yang lama (> 24 jam), dan belum tersedia di semua rumah sakit

Penurunan jumlah eosinofil (eosinopenia) telah lama diketahui sebagai salah satu respon tubuh terhadap infeksi akut. Namun demikian fungsi eosinofil sebagai penanda infeksi akut sudah mulai dilupakan. Eosinopenia diharapkan dapat mendeteksi sepsis bakterialis sedini mungkin karena umur eosinofil di dalam sirkulasi berkisar antara 6-12 jam, hasil pemeriksaan eosinofil dapat diketahui dalam waktu singkat, dan tersedia hampir di seluruh fasilitas kesehatan. Eosinopenia dalam sirkulasi diduga merupakan respon sekunder terhadap stres yang disebabkan oleh infeksi bakteri akut.

Mekanisme yang menyebabkan terjadinya eosinopenia pada infeksi akut diperkirakan adalah akibat stress akut, dimediasi oleh adrenal glukokortikoid dan epinefrin. Juga diperkirakan penyebab eosinopenia pada infeksi akut adalah adanya sekuestrasi cepat eosinofil yang beredar dalam darah ke tempat infeksi. Berpindahnya eosinofil ke tempat inflamasi diperkirakan oleh adanya substansi kemotaktik yang lepas pada inflamasi akut. Substansi utama yang terlibat adalah komplemen C5a dan fibrin yang sudah berhasil dideteksi pada inflamasi akut.

(28)

pada pasien di Intensive Care Unit (ICU) dan menunjukkan bahwa eosinopenia merupakan penanda diagnosis yang baik untuk membedakan penyebab infeksi dan noninfeksi pada pasien sangat kritis. Eosinopenia menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan CRP untuk mendiagnosis sepsis saat masuk ke ICU, dengan jumlah eosinofil < 40 sel/mm3 menghasilkan sensitivitas 80% (IK 95%, 71-81%), spesifisitas 80% ( IK 95%, 55-93%), positive likelihood ratio 4 (IK 95%; 1,65-9,65), dan negative likelihood ratio 0,25 (IK 95%; 0,17-0,36). Di Indonesia, Yefta EK dkk melakukan penelitian eosinophil terhadap sepsis bakterialis dengan subjek neonatus, didapatkan cut-off point persentase eosinofil ≤0,78% mempunyai sensitivitas 69,6% (IK 95%; 55,9 -81,2%) dan spesifisitas 74,3% (IK 95%; 56,7-87,5%) serta akurasi 71,4% dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah sebagai baku emas standar. Juga pada penelitian ini didapati nilai cut-off point eosinofil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh karena perbedaan subjek penelitian.

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin meneliti apakah eosinopenia merupakan penanda diagnosis dini sepsis bakterialis dan dapat menjadi alternatif selain pemeriksaan PCT. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan sehingga diharapkan akan membantu menegakkan diagnosis dini sepsis bakterialis di Indonesia dan negara berkembang lainnya.

1.2.Perumusan masalah

Apakah eosinopenia dapat menjadi penanda dini sepsis bakterialis? 1.3.Hipotesis

Eosinopenia dapat menjadi penanda dini sepsis bakterialis 1.4.Tujuan

Tujuan umum

Untuk mengetahui nilai eosinophil pada pasien sepsis bakterialis Tujuan Khusus

Eosinopenia sebagai penanda dini sepsis bakterialis dan menjadi pemeriksaan alternatif selain PCT

1.5.Manfaat penelitian

(29)

Di bidang akademik/ institusi: Dengan mengetahui parameter hitung eosinofil absolut pasien sepsis, maka para klinisi dapat menggunakannyasebagai penandadini sepsis bakterialis.

Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat: Dengan mengetahui parameter hitung eosinofil absolut sebagai penanda sepsis bakterialis, diharapkan diagnosis dan penatalaksanaan sepsis bakterialis dapat menjadi lebih cepat dan tepat.

Kerangka Konseptual

Pasien sepsis

(30)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi sepsis pertama sekali diperkenalkan oleh American College of Chest

Physicians (ACCP) dan the Society of Critical Care Medicine (SCCM) Consensus

Conference pada tahun 1991, dimana sepsis diartikan sebagai suatu respons inflamasi

sistemik (systemic inflammatory response) terhadap infeksi.

Konferensi ini juga mengemukakan istilah baru, yaitu systemic inflammatory response

syndrome (SIRS), untuk menerangkan proses inflamasi yang terjadi pada infeksi secara

umum. Manifestasi SIRS dapat berupa dua atau lebih dari gejala berikut: 1) suhu tubuh > 38°C atau < 36°C; 2) takikardi (denyut jantung > 90 kali/menit); 3) takipneu (pernafasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 4,3 kPa); 4) lekositosis atau lekopenia (jumlah lekosit > 12.000 atau < 4000/mm

1-4

3

SIRS dapat dipicu oleh infeksi, atau non infeksi seperti trauma, luka bakar, iskemiajaringan atau proses inflamasi steril seperti pankreatitis akut.

) atau > 10% sel imatur.

2-3,5

Secara klinis sepsis dapat bertambah berat atau memburuk, yaitu menjadi sepsis berat atau syok sepsis. Derajat keparahan dari proses sepsis ini dapat mempengaruhi prognosis secara independen.

Adanya infeksi bakteri merupakan bagian dasar dari patofisiologi dari sepsis, dan sepsis hanya ditegakkan pada keadaan SIRS bila infeksi dapat dipastikan (kultur kuman positif) atau diduga secara kuat. Namun terdapat 30% pasien sepsis yang tidak dapat dipastikan penyebab infeksinya. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat baksteremia.

Sepsis berat adalah sepsis yang berhubungan dengan adanya disfungsi organ (satu atau lebih), hipoperfusi jaringan atau hipotensi. Hipoperfusi termasuk asidosis laktat, oliguria dan perubahan akut status mental.

2

Adapun pertanda spesifik dari disfungsi organ adalah: 1) renal: urine output< 0,5 ml/kgBB/jam yang menetap setelah resusitasi cairan, atau peningkatan kreatinin serum > 2 mg/dl, atau memerlukan dialisis akut; 2) pernafasan: PaCO2/FiO2 ≤ 200; 3) hematologi: trombosit < 80.000/mm

2,5-7,10-11

3

atau penurunan > 50% dalam 72 jam, atau adanya keadaan koagulopati, ditandai dengan Prothrombin Time dan partial thromboplastin time memanjang,

(31)

intravascular coagulation (DIC); 4) asidosis metabolik: kombinasi pH ≤ 7,30 atau defisit

basa ≥ 5 mmol/l yang berhubungan dengan kadar laktat serum > 1,5 kali batas atas normal; 5) syok atau kardiovaskular: tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah; 6) perubahan status mental; 7) gangguan hepatik: adanya jaundice atau hiperbilirubinemia, peningkatan transaminase serum, alkaline phosphatase.

Sedangkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya, yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.

7,11-12,17,22-24

American College of Chest Physicians (ACCP) dan the Society of Critical Care

Medicine (SCCM) Consensus Conference pada tahun 1991 merekomendasikan adanya

petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) dimasukkan sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Vienna dkk 2000, meneliti penanda biomolekuler procalcitonin (PCT). Simon dkk tahun 2004 meneliti kadarnya pada sepsis bakterialis. Rekomendasi utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan

Predisposition, Insult infection, Response, and Organ disfunction (PIRO), untuk menentukan

pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko individual.

2-5

Namun pemeriksaan PCT biayanya mahal, hasilnya diperoleh dalam waktu (>24 jam) dan sering tidak dijumpai di berbagai rumah sakit daerah di negara berkembang. Sebaliknya eosinophil, diketahui dari studi sebelumnya, pada infeksi akut, diketahui bahwa eosinopenia dalam darah perifer terjadi dalam waktu 1 menit, dan pemeriksaannya diperoleh dari pemeriksaan darah perifer lengkap dalam waktu 1 jam. Zappert, 1983 melaporkan eosinofil yang berada di sirkulasi berkurang secara bermakna pada infeksi akut. Eosinopenia sebagai penanda pada infeksi akut telah digunakan sebagai alat diagnostik, dan setelah dilakukan observasi didapati bahwa eosinopenia terjadi karena respon stress terhadap infeksi.

3,5-6

2.1.EPIDEMIOLOGI

(32)

Rangel-Frausto dkk menilai insidensi dan progresi SIRS menjadi sepsis dan sepsis berat, dari 3708 partisipan terdapat 2521 (68%) dengan 2 atau lebih kriteria SIRS, dan diantaranya ada 26% menjadi sepsis, 18% menjadi sepsis berat, dan 4% menjadi syok sepsis.7,17

Faktor yang menjadi predisposisi antara lain penyakit kanker, imunodefisiensi, gagal organ kronik, faktor iatrogenik dan genetik, seperti pria, dan gen polimorfisme yang mengatur imunitas.22,26

2.2.ETIOLOGI

Secara umum sepsis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, atau jamur. Respon septik umumnya dapat terjadi bila mikro organisme komensal yang berada di tubuh pasien masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Sepsis dapat juga terjadi akibat infeksi lokal yang kemudian masuk ke sirkulasi tubuh, atau akibat tindakan medis, seperti pemasangan kateter intravena atau saluran kemih, tindakan operasi, alat bantu nafas, dan lain-lain.

Infeksi paru-paru, abdomen, sistem genitourinaria, dan aliran darah primer menjadi penyebab 80% sepsis. Kekerapan dari infeksi pneumonia, bakteremia dan multiple-site

infection meningkat secara menetap, sedangkan infeksi abdomen tidaklah berubah

kekerapannya, dan infeksi genitourinaria menurun. 5,22,27

Kejadian sepsis yang disebabkan kuman gram negatif menurun 25-30% sejak tahun 2000. Kuman gram positif dan poli mikroba merupakan etiologi sepsis pada 30-50% dan 25%. Bakteri resistensi multi obat dan jamur saat ini menjadi 25% penyebab sepsis. Sedangkan virus dan parasit diidentifikasi pada 2-4% kasus, namun frekuensinya mungkin lebih rendah.

17,22,26

Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%). Struktur dominan pada membran luar bakteri gram negatif adalah lipopolisakarida (LPS) yang akan merangsang peradangan dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi.

22,26-27

Sedangkan kuman Staphilokokus, Pneumokokus, Streptokokus dan organisme gram positif lainnya dapat menyebabkan sepsis pada 20-40%.

22,28

(33)

2.3.PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SEPSIS

Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara organisme penyebab infeksi dengan host immune. Kedua hal yakni respon host dan karakterisktik dari organisme penyebab infeksi mempengaruhi outcome sepsis.

Pada sepsis diawali dengan aktivasi sistem imun bawaan, sebagai respons terhadap infeksi, melalui pengenalan terhadap benda asing yakni lipopolisakarida bakteri (endotoksin atau LPS).Mekanisme ini antara lain pelepasan sitokin, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotel, serta aktivasi komplemen, koagulasi, fibrinolitik, dan sistem kontak.

29

Toll-like receptors (TLR) mengatur mekanisme pertahanan tubuh dan berperan

penting dalam aktivasi imun bawaan. TLR adalah reseptor pada permukaan sel yang mengenali komponen molekular dari mikro organisme. Pada fase awal dari infeksi, TLR mengaktifkan sistem imun bawaan dan menghancurkan patogen oleh makrofag, natular killer

cells dan sistem komplemen. Pada fase kedua, TLR mengaktifkan sistem imun didapat

dengan mengaktivasi limfosit T dan B. Disini, produksi sitokin berperan penting. Makrofag dan monosit yang teraktivasi adalah sel utama yang menghasilkan sitokin, tapi fibroblas, netrofil dan sel endotel juga dapat menghasilkan sitokin.

1,8

TLR-2 mengenali peptidoglycan bakteri gram positif, TLR-4 mengenali LPS bakteri gram negatif. Ikatan TLR dengan epitop pada mikro organisme akan mengaktifkan

intracellular signal-transduction pathway yang akan mengaktifkan cytosolic nuclear factor

kB (NF-kB). NF-kB meningkatkan transkripsi sitokin. Sitokin akan mengaktifkan sel endotel

dengan meningkatkan ekspresi molekul permukaan dan memperkuat adhesi neutrofil dan endotel di tempat infeksi. Sitokin juga menyebabkan injuri sel endotel melalui induksi netrofil, monosit, makrofag dan trombosit yang melekat pada sel endotel.

7,11

(34)

Gambar 2.1. Respons inflamasi pada sepsis.8

Sitokin dibedakan menjadi proinflamasi dan anti inflamasi, tergantung fungsinya. TNF-α dan IL-1β adalah sitokin proinflamasi utama yang berperan dalam aktivasi awal dari respon inflamasi sistemik pada sepsis. TNF-α terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag,dan bekerja merangsang produksi molekul adhesi pada sel endotel, dan mengaktifkan produksi sitokin lain seperti IL-6 dan IL-8 serta sistem koagulasi dan komplemen.

IL-1 terutama dihasilkan oleh monosit dan makrofag. IL-1β dan TNF-α mempunyai efek sinergik. IL-1β merangsang produksi IL-6,IL-8 dan TNF-α, dan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik sama seperti syok sepsis. Pada banyak penelitian didapat bahwa kadar IL-1β tidak berhubungan dengan beratnya penyakit, sedangkan TNF-α berhubungan dengan beratnya penyakit pada beberapa studi.

1

Sepsis juga mengaktifkan produksi dan pelepasan sitokin anti inflamasi. IL-1

receptor antagonist (IL-1ra) menghambat IL-1, yang akan berikatan secara kompetitif

dengan reseptor IL-1 dan menghambat kerja IL-1. IL-1ra dihasilkan terutama oleh makrofag. Beberapa studi gagal membuktikan bahwa pemberian IL-1ra pada sepsis dapat memperbaiki mortalitas.

TNF-α, IL-1β, IL-6, dan IL-8. Sitokin ini juga menekan pelepasan radikal bebas dan aktivitas NO serta produksi prostaglandin. Beberapa sel yang dapat memproduksi IL-10 adalah CD4+, CD8+, makrofag, monosit, limfosit B, sel dendrit dan sel epitel. Pada syok sepsis monosit merupakan sumber utama dari sitokin ini.

(35)

Th-2. Beberapa studi mendapatkan bahwa pada keadaan sepsis, kadar sitokin IL-10 ini meningkat, dan lebih meningkat lagi pada syok sepsis. Kadar sitokin ini berhubungan positif dengan kadar sitokin proinflamasi dan beratnya syok sepsis.

IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti pada sepsis dan paling sering ditemukan meningkat. Kadarnya meningkat lebih lama dibanding TNF-α dan IL-1β. Sitokin ini terutama diproduksi oleh monosit, makrofag dan sel endotel, dan berhubungan dengan beratnya sepsis sehingga peningkatan yang persisten berhubungan dengan perkembangan

multiple organ failure (MOF) dan prognosis buruk. Sitokin ini mengatur diferensiasi dari sel

limfosit B dan T. Sitokin ini juga adalah pirogen endogen, dan demam pada pasien sepsis disebabkan oleh sitokin ini. Sitokin ini juga bersifat anti inflamasi yang menghambat produksi sitokin proinflamasi lain dan respons yang adekuat dapat mengaktivasi aksis HPA pada critical illness.

IL-8 berfungsi mengaktivasi dan kemotaksis netrofil ke tempat inflamasi. Konsentrasi tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi netrofil, merusak endotel, kebocoran plasma,dan injuri jaringan lokal. Sebaliknya, sitokin ini juga menghambat migrasi netrofil apabila berada dalam sirkulasi, sehingga sitokin ini bersifat pro dan anti inflamasi.

1,22

2.4.COMPENSATORY ANTI-INFLAMMATORY RESPONSE (CARS)

Respons inflamasi tubuh dapat ditunjukkan sebagai keseimbangan respons antara mediator proinflamasi (dianggap sebagai SIRS) dan mediator anti inflamasi compensatory

anti-inflammatory response (CARS). Mediator SIRS seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-12 mengaktifkan sistem imun inflamasi tubuh, kemudian ditekan oleh mediator CARS, seperti IL-1ra, IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, TGF, agar mediator proinflamasi tidak berefek destruktif.

Pada sepsis pengaturan kerja kedua mediator ini hilang, sehingga menyebabkan disfungsi respons inflamasi.

(36)

Gambar 2.2. Keseimbangan mediator SIRS dan CARS pada sepsis.31

2.5.Biosintesis dan patofisiologi Procalcitonin

PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ±13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin6,11,16,17

Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue-specific

alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1 – 4 dari 6 exon yang merupakan kode

untuk prePCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari 141 asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA),

calcitonin (32 AA), dan katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT

disekresikan secara intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin

Gene-Related Peptide (CGRP), dimana CGRP dieskpresikan secara luas pada saraf di otak,

(37)

pembuluh darah, dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalan immunomodulasi,

neurotransmitter, dan mengontrol vaskuler 18,19,20

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C

cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-produk

biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small cell carcinoma pada paru

manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamatory dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit manusia yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh lipopolisakarida

.

7,17

Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolis spesifik gagal sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein precursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini dianggap sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis

.

17,18

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah rendah. Peninggian konsentrasi PCT, pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu ± 12 jam. Setelah 2 – 3 hari, kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien dengan infeksi berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut

.

7,19

Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (<0,1 ng/mL). Tetapi selama infeksi berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat melebihi 100ng/mL. Pada infeksi virus dilaporkan bahwa terjadi peningkatan minimal PCT. Sedangkan pada infeksi bakteri Berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang hanya 10 menit, PCT memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25-30 jam

.

6,16

Studi oleh Rowther dkk menyatakan bahwa pada pasien sepsis bakterialis dijumpai kadar PCT >2 ng/mL.

(38)

2.6.Kultur darah

Kultur darah adalah baku emas dan memegang peranan penting dalam sepsis bakterialis. Bakterimia biasanya ditandai adanya demam dan ini merupakan suatu indikasi dilakukannya kultur darah. Parameter klinis lainnya tidak banyak membantu dan tidak dapat digunakan untuk menentukan kapan sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk kultur. Kultur darah memiliki spesifisitas yang baik dalam menegakkan diagnosis namun rendah dalam hal sensitivitas. Studi menunjukkan kultur darah negatif pada 93,7% pasien dengan sepsis.

SSC 2008 merekomendasikan kultur darah sebelum diberikan terapi antimikroba, namun penggunaan antibiotik tidak dapat ditunda, apabila hasil kultur belum dapat dilakukan maka dapat diberi antibiotik empiris. Untuk identifikasi organisme penyebabnya direkomendasikan kultur dilakukan dua kali sebelum pemberian antibiotik. Pengambilan darah dilakukan dua kali yaitu secara perkutaneus dan melalui akses vaskular yang sudah terpasang ( infus yang sudah terpasang > 48 jam). Kultur dari fokal infeksi seperti urin, cairan serebrospinal, luka, sputum, dan cairan tubuh lainnya) juga harus dilakukan sebelum pemberian terapi empiris.

31

Meskipun kultur merupakan baku emas untuk menegakkan sepsis bakterialis, namun hasilnya lama diperoleh (48-72 jam), biaya mahal, dan belum tersedia di semua rumah sakit. 2.7.Eosinophil

2.7.1. Pembentukan eosinophil

Hematopoiesis menjadi dasar dari pembentukan sel-sel darah dalam tubuh manusia. Suatu sel stem multipotential hematopoietic akan berdiferensiasi menjadi dua jenis sel yaitu

common myeloid progenitor dan common lymphoid progenitor.

Common myeloid progenitor selanjutnya akan berdiferensiasi dan proliferasi

menjadi tiga (3) seri yaitu seri megakariosit, seri eritosit, seri myeloblast. Dikenal dengan sebutan faktor pertumbuhan hemopoietik (FPH) yaitu faktor yang dapat merangsang stimulasi, proliferasi, diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. 29 FPH yang merangsang pembentukan myeloblast disebut granulocyte monocyte colony stimulating

factor (GM-CSF), dan selanjutnya interleukin tiga dan lima (IL-3 dan IL-5) serta GM-CSF

(39)

Gambar 2.3. Hematopoiesis dari multipotent stem sel

(40)

Gambar 2.4. Morfologi eosinofil dari apusan darah tepi

2.7.2. Eosinopenia pada Infeksi akut

(41)

Gambar 2.5. Efek pemberian ZAS terhadap eosinofil yang beredar dalam darah setelah 1 menit

Berdasarkan studi sebelumnya, diketahui bahwa eosinopenia secara tipikal sering menyertai infeksi akut. Zappert, 1983 melaporkan eosinofil yang berada di sirkulasi berkurang secara bermakna pada infeksi akut. Eosinopenia sebagai petanda pada infeksi akut telah digunakan sebagai alat diagnostik, dan setelah dilakukan observasi didapati bahwa eosinopenia terjadi karena respon stress terhadap infeksi.

Gil,dkk melaporkan pertama sekali nilai leukosit di atas 10.000 sel/mm3 dan hitung eosinofil di bawah 40 sel/mm3 sebagai petanda infeksi akut. Abidi, dkk dalam penelitian sebelumnya menggunakan nilai eosinopenia untuk membedakan infeksi dan noninfeksi serta membandingkannya dengan CRP. Dari hasil penelitian Abidi dkk, dijumpai bahwa bila cut off hitung eosinophil <50 sel/mm3 menghasilkan sensitivitas 80% dan spesifisitas 91%. Sedangkan bila cut off eosinofil <40 sel/mm3 menghasilkan sensitivitas 80% dan spesifisitas 80%.

(42)

2.7.3. Patofisiologi terjadinya eosinopenia pada sepsis

Pada orang dewasa jumlah leukosit normal antara 4500-11000 sel/mm3. Eosinofil bertahan dalam sirkulasi 6-12 jam di dalam sirkulasi, bahkan ada yang menyebutkan waktu paruh eosinofil di dalam sirkulasi 18 jam, kemudian bermigrasi ke jaringan. Jumlah eosinofil di dalam jaringan 100 kali lipat lebih banyak daripada di dalam sirkulasi. Proliferasi eosinofil ditentukan oleh tiga sitokin penting, yaitu interleukin 3 (IL-3), interleukin 5 (IL-5), dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), yang dikode oleh gen di dalam kromosom 5q31. Dari tiga sitokin tersebut, IL-5 merupakan sitokin yang paling spesifik untuk pembentukan dan diferensiasi eosinofil sehingga disebut juga sebagai faktor diferensiasi eosinofil.

Pada sepsis bakterialis, endotoksin dan lipopolisakarida bakteri menyebabkan makrofag, neutrofil, dan sel dendritik teraktivasi untuk mengeluarkan sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan tumor necrosis factor-a (TNFa) yang akan mengaktifkan aksis hypothalamus pituitary adrenal (HPA). Nukleus paraventrikuler di hipotalamus anterior akan mengeluarkan corticotropin releasing hormone (CRH) yang akan menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk mengeluarkan adrenocorticotropine hormone (ACTH) ke dalam sirkulasi. ACTH akan menstimulasi sintesis dan pelepasan glukokortikoid dari kelenjar adrenal.

Sekresi glukokortikoid dari kelenjar adrenal juga diatur oleh jalur neural (katekolaminergik dan peptidergik) serta dipengaruhi langsung oleh sistem imun melalui stimulasi sitokin. Hal tersebut dibuktikan pada tikus dengan defisiensi corticotropine

releasing hormone (CRH) yang masih bisa menghasilkan glukokortikoid. Glukokortikoid

akan menghambat pelepasan eosinofil dari sumsum tulang, menghambat adhesi dan migrasi eosinofil, serta proses kemotaksis melalui penghambatan kerja IL-3, IL-5, GM-CSF, kemokin, dan integrin sehingga jumlah eosinofil dalam sirkulasi menurun. Hal tersebut menjelaskan mengapa pada kelompok sepsis jumlah eosinofil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok bukan sepsis.

(43)

infeksi karena bakteri. Pada tahun 2006, Abidi, dkk melakukan penelitian pada pasien di

Intensive Care Unit (ICU) dan menunjukkan bahwa eosinopenia merupakan penanda

(44)

BAB III

METODOLOGI 3.1. Desain

Jenis: Uji diagnostik

Metode Pengukuran Data: Cross sectional Analisis: deskripsi analitik

3.2. Waktu dan tempat a. Waktu

Penelitian dilakukan mulai dari Maret 2014 sampai Agustus 2014 b. Tempat

Penelitian dilakukan di IGD, Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam dan ICU RSUP H. Adam Malik

3.3. Subjek penelitian

Populasi : Penderita diduga sepsis dari IGD, dirawat di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam dan ICU RSUP H. Adam Malik Medan

Sampel: Semua populasi yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan didiagnosis sebagai sepsis bakterialis dan sepsis non bakterialis

3.4. Kriteria

3.4.1. Kriteria inklusi

•Penderita sepsis bakterialis dengan PCT ≥ 2 ng/mL dan sepsis non bakterialis < 2 ng/mL

berusia> 18 tahun, dan

bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent 3.4.2. Kriteria eksklusi

• Penderita sepsis non bakterialis dengan gangguan hematologi berat (misal anemia aplastik),

(45)

• sepsis dengan keganasan, • riwayat atopi,

• kecacingan. • kehamilan, • infeksi HIV,

• penggunaan kortikosteroid jangka panjang, • pasien operasi.

3.5. Sampel Besar sampel

Rumus yang digunakan:

2

n1 = n2 = 2

Dimana : n

Z

= besar sampel minimal α

Zβ = deviat baku beta, untuk β = 0,20 Zβ = 0,84 = deviat bakualpha, untuk α = 0,05 → Zα = 1,96

X1-X2 S

= selisih minimal rerata yang dianggap bermakna  85 2

= simpangan baku dari selisih nilai antarkelompok  18345

n1= n2 = 2(1,96+0,8)2

(85)

(18345) = 38,6 orang

 dibulatkan menjadi 39 orang minimal untuk tiap kelompok 2

3.6. Cara kerja

• Seluruh subyek penelitian dimintakan persetujuan untuk mengikuti penelitian

(informed consent), atau apabila tidak memungkinkan persetujuan dimintakan dari

keluarga subyek.

• Terhadap semua subjek yang termasuk dalam penelitian dilakukan:

a) Dicatat nama, umur, jenis kelamin, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).Semua sampel ditegakkan diagnosa sepsis berdasarkan kriteria SSC 2008 b) Pemeriksaan darah perifer lengkap dan PCT

(Zα+Zβ)S

(46)

c) Pemeriksaaan PCT secara kuantitatif dengan menggunakan metode ELFA (Enzyme linked fluorescent immunoassay). Nilai PCT 2 ng/dlmenjadi cut off

point untuk sepsis bakterialis

Penderita dengan PCT ≥ 2 ng/dl dikelompokka n dalam kelompok sepsis bakterialis, sedangkan penderita dengan PCT < 2 ng/dl dikelompokkan dalam kelompok sepsis non bakterialis.

3.7. Bahan dan prosedur penelitian 3.7.1. Pengambilan sampel darah

Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Setelah itu, usapkan Betadine solution dari tengah memutar ke tepi, biarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan disposible syringe yang dibagi atas 3 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk pemeriksaan PCT. Pengambilan darah dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, di mana apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan saat pengambilan sampel darah, pasien dalam posisi berbaring.

3.7.2. Pemeriksaan PCT

Prinsip tes: Sandwich principle. Total durasi pemeriksaan : 18 menit.

• Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30 uL), suatu antibodi spesifik PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibodi spesifik monoklonal yang dilabel dengan kompleks ruthenium dan bereaksi membentuk kompleks sandwich

• Inkubasi 2 : setelah penambahan mikroprtikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan berikatan ke solid phase melalui interaksi dari biotin dan streptavidin

(47)

• Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2-point calibration dan suatu kurva master yang disediakan melalui barcode reagen

Nilai PCT : ≥ 2 ug/mL : sepsis bakterialis Nilai PCT : < 2 ug/mL : sepsis non bakterialis

3.7.3. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap

Sebanyak 2 mL darah dimasukkan kedalam vacutainer K2EDTA dan dihomogenkan perlahan sebanyak 8 kali. Analisa dilakukan menggunakan automatic cell counting Sysmex XT-4000i untuk memperoleh nilai MCV dan MCH dengan pemeriksaan

complete blood count (CBC). Pemeriksaan CBC terdiri dari kadar hemoglobin (Hb),

jumlah eritrosit (RBC), leukosit (WBC), hematokrit (HCT), Pemeriksaan ini harus selesai dalam waktu 1 jam setelah pengambilan sampel.

3.7.4. Hitung absolut eosinophil

Dari hasil pemeriksaan DPL dijumpai nilai eosinophil dalam satuan persentase dan absolut. Nilai eosinophil absolut bisa diperoleh dengan mengkalikan persentase eosinophil dengan jumlah leukosit total, hasil yang diperoleh dalam satuan sel/mm3

3.8. Definisi operasional

c. SIRS : pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria: 1) suhu > 380C atau < 360C; 2) Denyut jantung > 90 kali/menit; 3) respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2< 32 mmHg; 4) hitung leukosit> 12.000/mm3

d. Sepsis bakterialis :SIRS ditambah fokal infeksi yang diketahui, dengan nilai PCToleh karena sepsis bakterialis >2ug/dl.

atau sel imatur (band)> 10%.

e. Nilai eosinophil absolut : hitung absolut eosinophil dengan satuan sel/mm3, diperoleh dari pemeriksaan darah perifer lengkap, dengan nilai normal 70-500 sel/mm3

f. Eosinopenia : hitung absolut eosinophil < 50 sel/mm3

a. Usia : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan satuan tahun

(48)

g. Nilai prokalsitonin : hasil pemeriksaan prokalsitonin pada sepsis bakterialis ≥ 2 ug/dL dan < 2 ng/mL pada kelompok non sepsis bakterialis

h. Fokal infeksi : sumber bakterimia

3.9. Analisis statistik

• Untuk menampilkan karakteristik dan nilai eosinophil absolut pada kelompok sepsis bakterialis dan sepsis non bakterialis disajikan dalam bentuk tabulasi untuk menunjukkan gambaran deskriptif

• uji Mann Whitney digunakan untuk menemukan perbedaan yang signifikan berbagai parameter antar dua kelompok sepsis bakterialis dan sepsis non bakterialis

• Untuk mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas eosinofil menggunakan analisis ROC

• Pengolahan data dilakukan dengan program komputer SPSS 12 dan p <0,05  bermakna secara statistik

3.10. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearancediperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K) pada tanggal 27 Januari 2014 dengan nomor surat 572/KOMET/FK USU/2014.

(49)

3.11. Kerangka Operasional

Procalcitonin < 2 ng/mL

(50)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Maret s/d Juli 2014) diperoleh 78 subyek penelitian yang dirawat di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam dan ICU RSUP H. Adam Malik dan dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kadar prokalsitonin (PCT) yang masing-masing berjumlah 39 orang. Tiap kelompok merupakan penderita sepsis dan dibagi berdasarkan nilai PCT nya, yaitu ≥2 ng/mL, dan < 2 ng/mL.

Pada penelitian ini 20 orang (51,3%) penderita di masing-masing kelompok merupakan pasien perempuan, dengan rerata umur 53 tahun. Rerata tekanan darah sistolik pada kelompok pasien dengan kadar PCT ≥2 ng/mL adalah 116,36 mmHg dan kelompok pasien dengan kadar PCT < 2 ng/ml adalah 118,72 mmHg. Rerata tekanan darah diastolik pada kelompok pasien dengan kadar PCT ≥2 ng/mL adalah 67,59 mmHg dan kelompok pasien dengan kadar PCT < 2 ng/ml adalah 66,15 mmHg. Frekuensi nadi di kedua kelompok pasien di atas nilai normal yaitu dengan rerata masing-masing 107,46 kali/menit dan 104,87 kali/menit secara berurutan. Frekuensi nafas di kedua kelompok dengan rerata 26 kali/menit.

Dari analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney ditemukan perbedaan yang signifikan untuk parameter suhu (p=0,04), leukosit (p=0,032), PCT (p=0,0001) dan eosinofil (p=0,0001). Untuk parameter lainnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (p>0,05). Rerata suhu pasien pada kelompok dengan kadar PCT < 2 ng/ml lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien yang lain yaitu 38,13 °C berbanding 37,82 °C. Rerata leukosit pada kelompok pasien PCT ≥ 2 ng/ml jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien dengan kadar PCT < 2 ng/ml yaitu 18455,9 mg/dl berbanding 13684,1 mg/dl. Kadar eosinofil pada kelompok PCT ≥ 2 ng /ml (27,62 sel/mm3

Berdasarkan fokal infeksinya diketahui bahwa pneumonia (69,2%) merupakan sumber infeksi terbanyak pada kelompok pasien sepsis (PCT ≥ 2ng/ml) dan pada kelompok kedua bahwa pneumonia juga sebagai sumber infeksi terbanyak (79,5%). Dari hasil analisis chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara tempat infeksi dan sepsis (p=0,036).

(51)

Tabel 4.1.1. Karakteristik dasar penelitian Karakteristik

Responden

PCT > 2 ng/ml (n = 39)

PCT ≤ 2 ng/ml

(n = 39) p

Jenis kelamin

Laki-laki 19 (48,7) 19 (48,7) 1,000

Perempuan

a

20 (51,3) 20 (51,3)

Umur, rerata (SB), tahun 53,33 (12,69) 53,59 (14,20) 0,933 Tek.darah sistolik, rerata

(SB), mmHg

b

116,36 (20,23) 118,72 (17,20) 0,502

Tek.darah diastolik, rerata (SB), mmHg

c

67,59 (9,87) 66,15 (9,63) 0,610

Frekuensi nadi, rerata (SB), x/menit

c

107,46 (9,05) 104,87 (4,72) 0,180

Frekuensi nafas, rerata (SB), x/menit

c

26,31 (2,89) 26 (2,05) 0,746

Suhu, rerata (SB), °C

c

37,82 (0,62) 38,13 (0,59) 0,041 Hemoglobin, rerata (SB),

mg/dl

c

9,96 (3,04) 9,8 (2,25) 0,787

Leukosit, rerata (SB), mg/dl

b

18455,9 (11241,77) 13684,1 (6673,38) 0,032

PLT, rerata (SB)

c

253769,23 (147213,68) 257741,03 (155307,59) 0,952 PCT, rerata (SB), ng/ml

c

33,57 (46,24) 0,54 (0,44) 0,0001 Eosinofil, rerata (SB),

sel/mm

c

27,26 (48,98) 3

142,28 (115,05) 0,0001c

(52)

4.1.2. Nilai Diagnostik Eosinofil untuk Memprediksi Sepsis Bakterialis a. Menggunakan COP (Cut Off Point) 50 sel/mm

Dengan menggunakan cut off 50 sel/mm

3

3

maka diperoleh nilai sensitifitas dan spesifisitas eosinofil terhadap sepsis bakterialis adalah 97,4% dan 89,7%. Nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif adalah 90,5% dan 97,2%. Sedangkan Rasio Kemungkinan Positif adalah 9,5 dan Rasio Kemungkinan Negatif adalah 0,03.

Tabel 4.1.2 Sensitivitas, spesifisitas, Nilai prediksi positifnilai prediksi negatifdari eosinofil terhadap Sepsis Bakterialis

Keterangan : PCT :procalcitonin, NPP: Nilai prediksi positif, NPN: nilai prediksi negatif, RKP: rasio kemungkinan positif, RKN: rasio kemungkinan negatif.

Eosinofil

Sepsis Sensiti

fitas

Spesifi

sitas NPP NPN RKP RKN PCT ≥ 2

ng/ml

PCT <2 ng/ml

(53)

b. Menggunakan Kurva ROC

Gambar 4.1.2 Kurva ROC dari eosinofilterhadapsepsis bakterialis

(54)

Gambar 4.1.3 Kurva sensitifitas dan spesifisitas eosinofil terhadap sepsis bakterialis

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas pada gambar 4.1.3 maka diperoleh nilai Cut Off untuk eosinofil adalah 37 sel/mm3. Dengan menggunakan cut off point37 sel/mm3 maka didapatkan nilai sensitivitas eosinofil adalah 94,9% dan spesifisitas 92,3%.

Tabel 4.1.3 Sensitivitas, spesifisitas, Nilai prediksi positif,nilai prediksi negatif dari Eosinofil (COP 37 sel/mm3) terhadap Sepsis Bakterialis

Keterangan : PCT :procalcitonin, NPP: Nilai prediksi positif, NPN: nilai prediksi negatif, RKP: rasio kemungkinan positif, RKN: rasio kemungkinan negatif.

Nilai Prediksi Positif (NPP) eosinofil adalah sebesar 92,5% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

4 9 21.5 27.5 37.5 65 95 113 125 145 175 210 310 380 611

Sensitifitas

Spesifisitas

Eosinofil

Sepsis

Sensitifi tas

Spesif i sitas

NPP NPN RKP RKN

PCT > 2 ng/ml

PCT ≤ 2 ng/ml

(55)

adalah 94,7%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 12,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,06.

4.2.Pembahasan

Kami melaporkan pemeriksaan jumlah eosinofil absolut pada pasien sepsis bakterialis dengan PCT ≥ 2 ng/dl dan PCT < 2 ng/dl di Ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan. Kelompok sepsis dengan PCT ≥ 2 ng/ml sebanyak 39 orang dan PCT < 2 ng/ml sebanyak 39 orang. Terhadap kedua kelompok dilakukan pemeriksaan tanda vital dan darah lengkap.

Pada penelitian ini, kelompok PCT ≥ 2 ng/mL dijumpai rata -rata kadar PCT 33,57 ng/mL Dari analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney ditemukan perbedaan yang signifikan leukosit (p=0,032) dan PCT (p=0,0001) dan eosinofil (p=0,0001). Untuk parameter lainnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (p>0,05). Rerata leukosit pada kelompok pasien PCT ≥ 2 ng/ml jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien dengan kadar PCT < 2 ng/ml. yaitu 18455,9 mg/dl berbanding 13684,1 mg/dl. Kadar eosinofil pada kelompok PCT ≥ 2 ng/ml (27,62 sel/mm3) jauh lebih rendah dibanding kelompok pasien dengan kadar PCT < 2 ng/ml yaitu 142,28 sel/mm3. Hasil yang sama didapatkan pada penelitian sebelumnya oleh Abidi K, dkk 2008 yang mendapatkan bahwa pasien dengan sepsis bakterialis, dijumpai jumlah leukosit 14,169 ± 8,113 sel/mm3, jumlah eosinofil absolutnya 8 sel/mm3

Demikian juga halnya pada pemeriksaan tanda vital yang meliputi temperatur, denyut jantung, frekuensi nafas yang dihubungkan dengan sepsis bakterialis, ternyata hanya parameter suhu yang berbeda secara signifikan (p=0,04) antar dua kelompok studi.

, dengan rata-rata PCT adalah 14.3 ng/mL. Demikian juga yang didapatkan pada penelitian oleh Shaaban, dkk, dan Gil dkk.

Pada penelitian ini mendapatkan nilai diagnostik eosinofil untuk memprediksi sepsis bakterialis dengan cut-off point 50 sel/mm3

Beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya untuk melihat sensitivitas, spesifisitas, eosinopenia dalam memprediksi sepsis bakterialis. Dalam hal

(56)

sensitivitas dan spesivisitas, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian serupa oleh Shaaban H dkk dan Abidi K, dkk tahun 2010 yang mendapatkan sensitivitas eosinofil 81%, spesifisitas 65%, PPV 66% dan NPV 80%. Abidi K, dkk tahun 2008 mendapatkan bahwa eosinofil pada cut-off 50 sel/mm3

Eosinofil dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprognosis seorang penderita akan mengalami sepsis bakterialis atau tidak. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 92,4% (95% CI: 84,8% - 100%; p = 0,0001). Hal ini berbeda dengan penelitian Shaaban H, dkk yang mendapatkan area di bawah kurva (ROC) 72% (95% confidence interval, 0.60-0.83). Penelitian lain yaitu Abidi K, dkk 2008 juga mendapatkan AUC ROC untuk eosinofil sebesar 84% (95% CI, 0.74 - 0.94)

sensitifitasnya sebesar 80% dan spesifisitas 91%, nilai prediksi positif 9,12 (95% CI, 3,9 - 21), nilai prediksi negatif 0.21 (95% CI, 0,15 - 0.31)

Pada penelitian ini, berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas maka diperoleh nilai cut off untuk eosinofil adalah 37 sel/mm3. Dengan menggunakan cut off point37 sel/mm3

Penelitian Shaaban H, dkk pada cut-off 2 ng/ml sensitivitas PCT adalah 84% spesifisitas 92%, PPV 90% dan NPV 87%.

maka didapatkan nilai sensitivitas eosinofil adalah 94,9% dan spesifisitas 92,3%. Nilai Prediksi Positif (NPP) eosinofil adalah sebesar 92,5% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 94,7%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 12,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,06

Kultur darah sebagai baku emas untuk mendiagnosis sepsis tidak dilakukan, namun PCT dikenal sebagai penanda pasien sepsis dan dapat di implementasikan sebagai laboratorium rutin untuk mendiagnosis sepsis. PCT plasma memiliki kekurangan yaitu harga pemeriksaan yang mahal terutama untuk negara berkembang. Hasil penelitian kami menunjukkan walaupun pemeriksaan jumlah eosinofil yang menurun (eosinopenia) dianggap murah, tua, dan sering terlupakan, penelitian ini membuktikan bahwa eosinopenia dapat dipakai sebagai penanda dini sepsis bakterialis yang akurat.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dilakukannya kultur darah sehingga tidak dapat dilihat jenis kuman apa yang terbanyak sebagai penyebab sepsis. Di samping itu pemeriksaan hitung jumlah eosinofil hanya dilakukan satu kali saja, tidak dilakukan follow up pemeriksaan hitung jumlah eosinofil selanjutnya untuk memantau keberhasilan atau kegagalan pengobatan.

(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Nilai eosinofil yang rendah (eosinopenia) dapat digunakan sebagai marker sepsis bakterialis

5.1.2. Eosinopenia sebagai penanda dini sepsis bakterialis dan menjadi pemeriksaan alternatif

5.2. Saran

5.2.1. Pemeriksaan jumlah eosinofil absolut sebaiknya dilakukan untuk menilai bahwa jumlah eosinofil yang rendah (eosinopenia) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk penderita yang diduga sepsis

(58)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Loisa P. Anti-Inflamatory Response in Severe Sepsis and Septic Shock. Doctoral Dissertation. University of Kuopio, 2008.

2. Bone R.C, Balk R.,A. Definitions for Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative Therapies in Sepsis. The ACPP/SCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. Chest 1992; 101: 1644-55.

3. Levy M.M, Fink M.P. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Critical Care Medical 2003: 31: 1250-6.

4. Dellinger R.P, Levy M.M. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2008. Critical Care Medical 2008; 36: 1394-6.

5. Guntur A. H. Sepsis.Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V.Interna Publishing,Jakarta, FKUI, 2009; 2889-95.

6. Khan Z.U, Salzman G.A. Management of Sepsis: The Surviving Sepsis Guidelines for Early Therapy. Hospital Physician 2007;55: 21-30.

7. Schlichting D, McCollam J.S. Recognizing and Managing Severe Sepsis: A Common and Deadly Threat. Southern Medical Journal 2007; 100: 594-600.

8. Russel J.A. Management of Sepsis. The New England Journal of Medicine 2006;355:1699-713.

9. Neviere R. Patophysiology of Sepsis. Uptodate, 2009.

10.Morrell M.R, Micek S.T. The Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Infect Dis Clin N Am 2009; 23: 485-501.

11.O’Brien J.M, Ali N.A. Sepsis. The American Journal of Medicine 2007; 120: 1012-22.

12.Balk R.A. Pathogenesis and Management of Multiple Organ Dysfunction or Failure in Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics 2000; 16.

13.Beishuizen A. Relative Adrenal Failure in Intensive Care: an Identifiable Problem Requiring Treatment? Best Practice & Research Clinical Endocrinology and Metabolism 2001; 15: 513-31.

Gambar

Gambar 2.1. Respons inflamasi pada sepsis.8
Gambar 2.2. Keseimbangan mediator SIRS dan CARS pada sepsis.31
Gambar 2.3. Hematopoiesis dari multipotent stem sel
Gambar 2.4. Morfologi eosinofil dari apusan darah tepi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Setelah hasil akhir diperoleh, nantinya akan terlihat apakah terdapat perbedaan antara nilai MPV pada pasien DM tipe 2 yang terkontrol dan yang tidak

Setelah hasil akhir diperoleh, nantinya akan terlihat apakah terdapat hubungan kadar penghambat bekuan darah (Antithrombin III) saat awal masuk rumah sakit terhadap kematian 30

Hal ini menunjukkan keadaan sepsis yang tidak disertai dengan GgGA karena keadaan iskemia ginjal yang reversibel menjadikan perbaikan polaritas epitel yang stabil dan juga