KEEFEKTIFAN
PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
TERHADAP HASIL BELAJAR DAUR AIR
PADA SISWA KELAS V SDN MUARAREJA 1 KOTA TEGAL
Skripsi
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
oleh Nur Istiqomah
14014111561
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
(1) Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri (Ar-Rad ayat 11).
(2) Bermasalah di dalam tapi tersenyumlah di wajah. Tutup rapat
penderitaanmu demi kebahagiaan orang disekitarmu (Zara Zettira).
Persembahan
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keefektifan Pendekatan
Contextual Teaching and Learning terhadap Hasil Belajar Daur Air pada Siswa Kelas V SDN Muarareja 1 Kota Tegal”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar
Sarjana Pendidikan Jurusan Guru Sekolah Dasar pada Universitas Negeri Semarang.
Banyak pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini sehingga
bisa terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa UNNES.
2. Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
3. Dra. Hartati, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan
UNNES yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memaparkan gagasan
dalam bentuk skripsi ini.
4. Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd., Koordinator PGSD UPP Tegal Fakultas Ilmu Pendidikan
UNNES yang telah memfasilitasi ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
5. Drs. Daroni, M.Pd., Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan
motivasi kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Dosen Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar UPP Tegal Fakultas Ilmu Pendidikan
UNNES yang telah banyak membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.
7. Hediyati S.Pd., Kepala SDN Muarareja 1 Kota Tegal yang telah mengijinkan penulis untuk
melakukan penelitian.
8. Komariyatun, S.Pd dan Lia Margiyanti, S.Pd., Guru Kelas V SDN Muarareja 1 Kota Tegal
yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
9. Erfina, Mega, Cicih, Sanah, Retno, Indah, dan Ratih yang selalu memberikan semangat dan
vii
10. Teman-teman mahasiswa PGSD UPP Tegal Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES angkatan
2011 yang saling memberikan semangat dan motivasi.
11. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Semoga semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis sendiri.
Tegal, Mei 2015
viii
ABSTRAK
Istiqomah, Nur. Keefektifan Pendekatan Contextual Teaching and Learning terhadap Hasil Belajar Daur Air pada Siswa Kelas V SDN Muarareja 1 Kota Tegal. Skripsi. Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Drs. Daroni, M.Pd.
Kata Kunci: Hasil belajar, pendekatan Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa. Pada umumnya guru cenderung menggunakan model konvensional dalam pembelajaran, sehingga siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu variasi pendekatan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif selama pembelajaran berlangsung, salah satunya yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Pendekatan CTL memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep dari materi yang dipelajari serta mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keefektifan pendekatan Contextual Teaching and Learning terhadap hasil belajar daur air pada siswa kelas V SDN Muarareja 1 Kota Tegal.
Penelitian dilaksanakan di SDN Muarareja 1 Kota Tegal. Populasi dalam penelitian ini yaitu siswa kelas V yang berjumlah 48 siswa terdiri dari 25 siswa kelas VA sebagai kelas eksperimen dan 23 siswa kelas VB sebagai kelas kontrol. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu quasi experimental dengan bentuk nonequivalent control group. Analisis statistik yang digunakan yaitu korelasi product moment untuk uji validitas dan cronbach’s alpha untuk uji reliabilitas instrumen. Dalam uji prasyarat analisis menggunakan uji lilliefors untuk menguji normalitas data dan levene’s test untuk uji homogenitas. Uji hipotesis menggunakan uji independent samples t test dan one sample t test. Semua penghitungan tersebut diolah dengan menggunakan program SPSS versi 20
Berdasarkan hasil uji hipotesis data hasil belajar siswa menggunakan independent samples t test diperoleh data thitung = 2,531 dan ttabel = 2,017, sehingga dapat diketahui
bahwa nilai thitung > ttabel. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
antara hasil belajar yang menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan yang menggunakan model konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V materi daur air SDN Muarareja 1 Kota Tegal. Selanjutnya, hasil uji keefektifan model dengan menggunakan one sample t test, diperoleh data thitung = 3,535 dan ttabel = 2,074.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai thitung > ttabel. Simpulannya bahwa pendekatan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Judul ... i
Pernyataan Keaslian Tulisan ... ii
Persetujuan Pembimbing ... iii
Pengesahan ... iv
Motto Dan Persembahan ... v
Prakata ... vi
Abstrak ... viii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Bagan ... xiv
Daftar Lampiran ... xv
Bab 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Pembatasan Masalah dan Paradigma Penelitian ... 8
1.3.1 Pembatasan Masalah ... 8
1.3.2 Paradigma Penelitian ... 8
1.4 Rumusan Masalah ... 9
1.5 Tujuan Penelitian ... 9
1.5.1 Tujuan Umum ... 10
1.5.1 Tujuan Khusus ... 10
1.6 Manfaat Penelitian ... 10
1.6.1 Manfaat Teoritis ... 10
1.6.2 Manfaat Praktis ... 11
2. KAJIAN PUSTAKA ... 13
2.1 Landasan Teori... 13
x
2.1.2 Hakikat Pembelajaran ... 15
2.1.3 Hasil Belajar... 17
2.1.4 Karakteristik Siswa Usia Sekolah Dasar (SD) ... 19
2.1.5 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ... 21
2.1.6 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ... 22
2.1.7 Materi Daur Air... 24
2.1.8 Pembelajaran Konvensional ... 25
2.1.9 Pengertian Pendekatan Pembelajaran ... 26
2.1.10 Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ... 28
2.2 Penelitian yang Relevan ... 34
2.3 Kerangka Berpikir ... 41
2.4 Hipotesis Penelitian ... 43
3. METODE PENELITIAN ... 45
3.1 Desain Penelitian ... 46
3.2 Populasi dan Sampel ... 46
3.2.1 Populasi ... 47
3.2.2 Sampel... 49
3.3 Variabel Penelitian ... 49
3.3.1 Variabel Bebas ... 50
3.3.2 Variabel Terikat ... 50
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50
3.4.1 Wawancara ... 50
3.4.2 Dokumentasi ... 51
3.4.3 Observasi... 51
3.4.4 Tes ... 52
3.5 Instrumen Penelitian ... 53
3.5.1 Soal-soal Tes ... 53
3.5.2 Pedoman Wawancara ... 62
3.5.3 Lembar Pengamatan Pembelajaran ... 62
3.6 Teknik Analisis Data... 63
xi
3.6.2 Uji Prasyarat Analisis ... 64
3.6.3 Analisis Akhir (Pengujian Hipotesis) ... 66
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70
4.1 Hasil Penelitian ... 70
4.1.1 Deskripsi Pelaksanaan Pembalajaran ... 70
4.2 Analisis Deskripsi Data Penelitian... 76
4.2.1 Analisis Deskriptif Variabel Bebas ... 77
4.2.2 Analisis Deskriptif Variabel Terikat ... 77
4.3 Analisis Statistik Data Hasil Penelitian ... 81
4.3.1 Data Hasil Belajar Siswa 81
4.4 Pembahasan... 89
5. PENUTUP... 96
5.1 Simpulan ... 96
5.2 Saran ... 97
5.2.1 Bagi Siswa ... 97
5.2.2 Bagi Guru ... 98
5.2.3 Bagi Kepala Sekolah ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata ... 48
3.2 Hasil Uji Validitas Soal Tes Uji Coba ... 56
3.3 Hasil Uji Reliabilitas... 57
3.4 Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Soal ... 59
3.5 Hasil Analisis Daya Pembeda Soal ... 61
4.1 Deskripsi Data Nilai Tes Awal ... 78
4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Tes Awal Kelas Eksperimen... ... 78
4.3 Distribusi Frekuensi Nilai Tes Awal Kelas Kontrol ... 79
4.4 Deskripsi Nilai Hasil Belajar Siswa ... 80
4.5 Distribusi Frekuensi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen ... 80
4.6 Distribusi Frekuensi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol ... 81
4.7 Hasil Uji Normalitas Data Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen ... 82
4.8 Hasil Uji Normalitas Data Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol ... 83
4.9 Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Belajar Siswa ... 84
4.10 Hasil Uji Hipotesis Independent Samples t Test ... 86
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
1.1 Paradigma Penelitian Sederhana ... 9
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Daftar Nama Siswa Kelas Eksperimen ... 103
2. Daftar Nama Siswa Kelas Kontrol ... 104
3. Daftar Nama Siswa Kelas Uji Coba ... 105
4. Pedoman Wawancara ... 106
5. Pedoman Pelaksanaan Penelitian ... 107
6. Silabus Pembelajaran ... 108
7. Silabus Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 110
8. Silabus Pembelajaran Kelas Kontrol ... 114
9. Telaah Soal Uji Coba oleh Tim Ahli 1 ... 116
10. Telaah Soal Uji Coba oleh Tim Ahli 2 ... 123
11. Kisi-kisi Soal Uji Coba ... 130
12. Soal Uji Coba ... 133
13. Hasil Uji Validitas Soal... 142
14. Hasil Uji Reliabilitas Soal ... 145
15. Hasil Uji Tingkat Kesukaran ... 146
16. Hasil Uji Daya Beda ... 148
17. RPP Kelas Eksperimen Pertemuan 1 ... 150
18. RPP Kelas Eksperimen Pertemuan 2 ... 163
19. RPP Kelas Eksperimen Pertemuan 3 ... 176
20. RPP Kelas Kontrol Pertemuan 1 ... 189
21. RPP Kelas Kontrol Pertemuan 2 ... 200
22. RPP Kelas Kontrol Pertemuan 3 ... 211
xv
24. Rekapitulasi Penilaian Perfomansi Guru dalam Melaksanakan
Pembelajaran di Kelas Eksperimen... 225
25. Rekapitulasi Pengamatan Pendekatan CTL ... 229
26. Rekapitulasi Penilaian Perfomansi Guru dalam Merencanakan Pembelajaran di Kelas Kontrol ... 233
27. Rekapitulasi Penilaian Perfomansi Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran di Kelas Kontrol ... 236
28. Rekapitulasi Pengamatan Model Konvensional ... 240
29. Rekapitulasi Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Eksperimen ... 243
30. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan I ... 247
31. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan II ... 249
32. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan III ... 251
33. Rekapitulasi Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Kontrol ... 253
34. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Kontrol Pertemuan I ... 256
35. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Kontrol Pertemuan II ... 258
36. Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Kelas Kontrol Pertemuan III ... 260
37. Rekapitulasi Pengamatan Sikap Kelas Eksperimen ... 262
38. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan I ... 264
39. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan II ... 266
40. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Eksperimen Pertemuan III ... 268
41. Rekapitulasi Pengamatan Sikap Kelas Kontrol ... 270
42. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Kontrol Pertemuan I ... 272
43. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Kontrol Pertemuan II ... 274
44. Lembar Pengamatan Sikap Siswa Kelas Kontrol Pertemuan III ... 276
45. Daftar Nilai Tes Awal Siswa Kelas Eksperimen ... 278
46. Daftar Nilai Tes Awal Siswa Kelas Kontrol ... 279
xvi
48. Daftar Nilai Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol ... 281
49. Daftar Nilai Psikomotor Kelas Eksperimen ... 282
50. Daftar Nilai Psikomotor Kelas Kontrol... 283
51. Daftar Rata-rata Nilai Kognitif dan Psikomotor Kelas Eksperimen ... 284
52. Daftar Rata-rata Nilai Kognitif dan Psikomotor Kelas Kontrol ... 285
53. Dokumentasi Kelas Eksperimen ... 286
54. Dokumentasi Kelas Kontrol ... 287
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan akan diuraikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah dan paradigma penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
1.1
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dan
potensi yang dimiliki setiap manusia. Menurut Munib, dkk. (2011: 34),
”pendidikan merupakan proses bantuan yang diberikan guru kepada siswa agar
siswa mampu berkembang secara optimal baik rohani maupun jasmaninya.”
Melalui pendidikan, siswa memperoleh berbagai pengalaman sebagai bekal
untuk hidup di masa kini dan masa mendatang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berlangsung
sangat pesat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melaksanakan program
pendidikan yang dapat membantu siswa mengembangkan segala kemampuan
yang sesuai dengan perkembangan IPTEK. Dalam pelaksanaan program
pendidikan, pemerintah menetapkan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa:
Tujuan pendidikan nasional tersebut dapat tercapai melalui proses belajar.
Hamalik (2014: 37) menjelaskan “belajar adalah suatu proses perubahan tingkah
laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.” Selanjutnya, Hamalik (2008:
29) menyatakan “belajar bukan suatu tujuan, tetapi merupakan suatu proses.”
Melalui belajar, segala tujuan yang ingin dicapai akan terwujud seiring dengan
kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa.
Proses belajar dapat dilaksanakan melalui berbagai satuan pendidikan
seperti pendidikan nonformal, informal, dan formal. Pendidikan nonformal
merupakan pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan masyarakat. Pendidikan
informal merupakan pendidikan yang dilaksanakan di keluarga sebagai tempat
pertama siswa belajar. Pendidikan formal adalah pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah dengan berbagai jenjang tertentu. Pendidikan formal terdiri atas jenjang
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Jenjang pendidikan dasar terdiri dari
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang setara.
Sekolah dasar (SD) merupakan salah satu lembaga jenjang pendidikan
dasar yang berupaya mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa.
Berbagai pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang diperoleh siswa
dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah dasar sebagai bekal belajar
di tingkat pendidikan menengah.
Pendidikan di sekolah dasar memuat beberapa mata pelajaran yang terdiri
dari mata pelajaran yang bersifat eksak dan non eksak. Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) yang sering dinamakan sains adalah salah satu mata pelajaran eksak yang
Susanto (2013: 167), “IPA atau sains adalah usaha manusia dalam memahami
alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan
prosedur dan dijelaskan dengan penalaran, sehingga mendapatkan suatu
kesimpulan.” Melalui IPA, siswa belajar memahami lingkungan tempat
tinggalnya. Keterampilan dalam mengamati dan mengambil keputusan
merupakan keterampilan yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari
lingkungan dan alam semesta. Kedua keterampilan tersebut merupakan dasar
yang dapat membantu siswa lebih memahami suatu konsep dalam suatu peristiwa
atau materi yang diajarkan di sekolah.
Mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang selama ini dianggap
sulit oleh sebagian besar siswa, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah
menengah, karena pelaksanaan pembelajaran terpaku pada buku teks dan
diarahkan pada kemampuan siswa untuk menghafalkan suatu materi (Susanto
2013: 165). Materi yang terdapat dalam IPA sangat luas mencakup berbagai
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta. Oleh karena itu, sumber belajar
siswa sebaiknya tidak hanya buku pelajaran. Pembelajaran dapat dilaksanakan
melalui pengalaman langsung. Keterlibatan siswa dalam mempelajari suatu
konsep melalui pengalaman langsung akan meningkatkan pemahaman siswa pada
konsep tersebut.
Samatowa (2011: 2) menyatakan bahwa IPA sangatlah penting dikuasai
oleh siswa SD, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang dengan pesat. Pembelajaran IPA hendaknya memberi kesempatan
mengembangkan cara berpikir ilmiah. Selain itu, pembelajaran IPA di SD
hendaknya mampu menarik minat siswa dan membantu siswa agar dapat
mengenal lingkungan sekitarnya.
Dalam upaya menciptakan pembelajaran IPA yang dapat membantu siswa
dalam mengembangkan dirinya diperlukan suatu pembelajaran yang
menyenangkan dan menarik minat siswa. Pembelajaran tersebut harus memberi
kesempatan kepada siswa mengembangkan rasa ingin tahu mereka. Pembelajaran
juga akan lebih menarik apabila faktor-faktor di sekolah mendukung pelaksanaan
pembelajaran seperti faktor siswa, guru, serta sarana prasarana.
Karakteristik perkembangan siswa perlu diperhatikan dalam melaksanakan
pembelajaran. Hal ini dilakukan agar pembelajaran tersebut sesuai dengan
karakteristik siswa sekolah dasar. Mengacu pada teori tahap perkembangan
kognitif Piaget, dapat diketahui bahwa anak usia sekolah dasar berada pada
tahapan operasional konkret (usia 7-11 tahun), dimana siswa sudah mampu untuk
berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa konkret
(Susanto 2013: 78). Namun, siswa belum mampu memahami sesuatu yang
bersifat abstrak, sehingga pembelajaran diharapkan menggunakan media berupa
benda atau peristiwa konkret guna mempermudah siswa memahami materi yang
diajarkan guru.
Susanto (2013: 179) menjelaskan “Peran guru dalam pembelajaran tidak
hanya mengajar dan memberikan informasi kepada siswa, akan tetapi guru juga
mempunyai tugas melatih, membimbing, serta mengarahkan siswa kepada materi
terdidik secara akademis.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal jika guru mampu
melaksanakan perannya. Guru sangat berperan dalam mengembangkan segala
potensi yang dimiliki siswanya. Jadi, pelaksanaan pembelajaran harus memberi
kesempatan kepada siswa terlibat aktif selama pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas V SDN
Muarareja 1 Kota Tegal pada tanggal 24 Februari 2015 diperoleh keterangan
bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran, guru cenderung menerapkan model
pembelajaran konvensional khususnya metode ceramah dalam mengajarkan
suatu materi. Menurut Ruminiati (2007: 2-4), “metode ceramah merupakan
metode pembelajaran yang digunakan menjelaskan materi yang bersifat verbal.”
Pembelajaran konvensional seperti pembelajaran menggunakan metode
ceramah ini dapat menyebabkan siswa kurang terlibat aktif dalam pembelajaran.
Metode ceramah hanya menjadikan siswa sebagai pendengar (auditif) dan
penerima semua konsep yang telah dijelaskan guru. Selanjutnya, guru
memberikan tugas terkait materi yang telah dijelaskan. Kegiatan pembelajaran
konvensional ini membuat siswa menjadi bosan dan kurang tertarik dalam
mengikuti pembelajaran, karena siswa harus menghafalkan materi yang telah
dipelajari. Hal ini menyebabkan siswa kurang mengembangkan kemampuan yang
dimilikinya serta hasil belajar siswa kurang maksimal. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pendekatan yang efektif digunakan dalam pembelajaran IPA,
sehingga hasil belajar siswa akan meningkatkan.
Memperhatikan permasalahan tersebut, perlu adanya solusi untuk
pembelajaran agar pembelajaran IPA dapat terlaksana dengan baik serta siswa
tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Dalam hal ini guru dapat melaksanakan
variasi pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
pengalaman langsung. Salah satu variasi pembelajaran yang dapat diterapkan
yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning atau yang sering disingkat
dengan CTL.
Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
menekankan pada pembelajaran yang mengaitkan konsep dengan kehidupan
sehari-hari siswa. Menurut teori pembelajaran kontekstual dalam Toharudin,
Hendrawati, dan Rustaman (2011: 95), “Sebuah pengetahuan akan lebih
bermakna jika peserta didik sendiri yang menemukan dan membangunnya.”
Melalui pembelajaran menggunakan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL), siswa akan menemukan sendiri konsep yang dipelajari serta
menjembatani siswa belajar konsep yang baru dengan menggunakan konsep yang
telah dimiliki. Siswa menjadi lebih memahami akan konsep baru tersebut, karena
konsep tersebut ditemukan sendiri oleh siswa.
Pendekatan CTL telah diterapkan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah
dasar. Salah satu penelitian tentang penerapan CTL yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Malik (2014) dengan judul “Keefektifan Pendekatan CTL
terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gaya Magnet Kelas V SD
Negeri Tegalsari 1 Kota Tegal”. Hasil analisis hipotesis aktivitas belajar siswa
dengan menggunakan uji t menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000.
Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 (0,000 < 0,05), berarti terdapat
konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V materi gaya magnet SDN
Tegalsari 1 Kota Tegal. Uji hipotesis hasil belajar siswa dengan menggunakan
uji U Mann Whitney menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar
0,008. Nilai tersebut kurang dari 0,05 (0,008 < 0,05), berarti terdapat perbedaan
antara hasil belajar siswa menggunakan pendekatan CTL dengan hasil belajar
menggunakan model konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V materi gaya
magnet SDN Tegalsari 1 Kota Tegal. Jadi dapat disimpulkan bahwa, terdapat
perbedaan signifikan antara aktivitas dan hasil belajar IPA kelas V materi gaya
magnet SDN Tegalsari 1 Kota Tegal yang mendapat pembelajaran menggunakan
pendekatan CTL dengan yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil
tersebut menjadi bukti empiris bahwa penerapan pendekatan CTL dalam
pembelajaran di kelas dapat dijadikan sebagai solusi untuk meningkatkan
rendahnya kualitas pembelajaran di kelas.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
apakah pendekatan CTL efektif untuk meningkatkan hasil belajar IPA kelas V
materi daur air dengan judul “Keefektifan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning terhadap Hasil Belajar Daur Air pada Siswa Kelas V SDN Muarareja 1
Kota Tegal.”
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi beberapa masalah
sebagai berikut:
(1) Pembelajaran masih didominasi oleh guru sebagai sumber informasi
sehingga siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran IPA kelas V materi
(2) Guru cenderung menerapkan model konvensional dengan metode ceramah,
tanya jawab, dan pemberian tugas pada siswa.
(3) Guru belum menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) pada proses pembelajaran IPA kelas V materi daur air.
1.3
Pembatasan Masalah dan Paradigma Penelitian
Agar masalah tidak meluas, maka permasalahan perlu dibatasi. Selanjutnya,
peneliti menentukan paradigma penelitian untuk menjelaskan hubungan
antarvariabel penelitian.
1.3.1 Pembatasan Masalah
Peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
(1) Materi IPA yang akan diteliti hanya terbatas pada daur air meliputi proses
daur air, kegiatan yang mempengaruhi proses daur air, serta cara
menghemat air.
(2) Variabel yang akan diteliti hanya terbatas pada hasil belajar IPA siswa
kelas V materi daur air SDN Muarareja 1 Kota Tegal.
(3) Penelitian ini difokuskan hanya pada keefektifan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA kelas V materi
daur air.
1.3.2 Paradigma Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua variabel yaitu pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) sebagai variabel bebas (X) yang mempengaruhi
hasil belajar IPA materi daur air sebagai variabel terikat (Y). Berdasarkan
paradigma sederhana, karena terdiri atas satu variabel bebas dan satu variabel
terikat. Hubungan antarvariabel tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
Bagan 1.1. Paradigma Penelitian Sederhana
Keterangan:
X = pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Y = Hasil belajar IPA materi daur air
(Sugiyono 2014: 68)
1.4
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
(1) Apakah terdapat perbedaan antara hasil belajar menggunakan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan hasil belajar
menggunakan model konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V materi
daur air SDN Muarareja 1 Kota Tegal?
(2) Apakah hasil belajar IPA materi daur air pada siswa kelas V SDN
Muarareja 1 Kota Tegal yang menggunakan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada yang menggunakan
model konvensional?
1.5
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi tujuan
umum dan khusus. Berikut ini merupakan penjabaran tujuan umum dan khusus
dalam penelitian ini.
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
keefektifan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil
belajar IPA materi daur air pada siswa kelas V SDN Muarareja 1 Kota Tegal.
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu
(1) Mengetahui apakah terdapat perbedaan antara hasil belajar menggunakan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan hasil belajar
menggunakan model konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V materi
daur air SDN Muarareja 1 Kota Tegal?
(2) Mengetahui apakah hasil belajar IPA materi daur air pada siswa kelas V
SDN Muarareja 1 Kota Tegal yang menggunakan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada yang menggunakan
model konvensional?
1.6
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
1.6.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pendekatan CTL dalam
pembelajaran dan menambah kajian untuk penelitian lanjutan. Selain itu,
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberi manfaat praktis bagi beberapa pihak antara
lain manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah. Berikut ini merupakan penjabaran
manfaat praktis bagi beberapa pihak tersebut.
1.6.2.1Bagi Siswa
Manfaat penelitian bagi siswa, antara lain:
(1) Meningkatnya proses pembelajaran IPA kelas V materi daur air di SDN
Muarareja 1 Kota Tegal.
(2) Meningkatnya hasil belajar siswa khususnya dalam mata pelajaran IPA
kelas V materi daur air SDN Muarareja 1 Kota Tegal.
(3) Menjadikan siswa tertarik untuk mengikuti pembelajaran IPA dan terlibat
aktif dalam kegiatan pembelajaran IPA kelas V materi daur air di SDN
Muarareja 1 Kota Tegal.
(4) Meningkatnya keterampilan sains serta kemampuan berpikir kritis siswa
melalui penggunaan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam pembelajaran IPA materi daur air di kelas V SDN Muarareja
1 Kota Tegal.
1.6.2.2Bagi Guru
Manfaat penelitian bagi guru, antara lain:
(1) Menambah pengetahuan bagi guru tentang keefektifan pendekatan
Contextual Teaching and Learning dalam meningkatkan proses dan hasil
(2) Memotivasi guru untuk menggunakan pendekatan Contextual Teaching
and Learning dalam meningkatkan proses dan hasil belajar siswa kelas V
SDN Muarareja 1 Kota Tegal pada mata pelajaran IPA materi daur air.
1.6.2.3Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya
meningkatkan kualitas pembelajaran IPA kelas V materi daur air SDN Muarareja
1 Kota Tegal melalui penggunaan pendekatan Contextual Teaching and
13
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Pada kajian pustaka akan diuraikan tentang landasan teori, penelitian yang
relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
2.1
Landasan Teori
Teori-teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu hakikat belajar,
pembelajaran, hasil belajar, karakteristik siswa sekolah dasar, hakikat ilmu
pengetahuan alam (IPA), Pembelajaran IPA di sekolah dasar, materi daur air,
pembelajaran konvensional, pengertian pendekatan, dan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL).
2.1.1 Hakikat Belajar
Gagne dan Berliner (1983) dalam Rifa‟i dan Anni (2011: 82) menjelaskan “Belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah perilakunya
sebagai hasil dari pengalaman.” Menurut Slameto (2010: 2), “Belajar ialah proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.” Hilgard (1962) dalam Susanto (2013: 3)
mengungkapkan bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi
dalam di seseorang melalui latihan, pembiasaan, pengalaman dan sebagainya.
Belajar secara umum dikemukakan oleh Trianto (2013: 16) diartikan “Sebagai
perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena
pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak
Menurut Rifa‟i dan Anni (2011: 82-3), konsep belajar mengandung tiga
unsur utama yaitu belajar berkaitan dengan perubahan perilaku, perubahan
perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman, dan perubahan
perilaku karena belajar bersifat relatif permanen. Berikut ini merupakan
penjelasan dari ketiga unsur tersebut.
Pertama, belajar berkaitan dengan perubahan perilaku. Perubahan perilaku
yang terjadi pada kegiatan belajar di sekolah yaitu mengacu pada kemampuan
mengingat atau menguasai berbagai bahan belajar dan kecenderungan siswa
memiliki sikap dan nilai-nilai yang diajarkan guru. Dalam mengukur apakah
seseorang telah belajar atau belum, diperlukan perbandingan perilaku sebelum dan
setelah mengalami kegiatan belajar. Apabila terjadi perbedaan perilaku, maka
dapat disimpulkan bahwa seseorang telah belajar.
Kedua, perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses
pengalaman. Perubahan perilaku karena pertumbuhan dan kematangan fisik,
seperti tinggi badan, berat badan, dan kekuatan fisik, tidak dipandang sebagai
hasil belajar Kematangan pada diri seseorang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan fisik, dan kematangan itu menjadi prasyarat untuk belajar.
Ketiga, perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen.
Lamanya perubahan perilaku yang terjadi pada diri seseorang sukar untuk diukur.
Apabila seseorang mampu memahami proses belajar dan menerapkan
pengetahuan yang diperoleh dari belajar pada kehidupan nyata, maka ia akan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan
belajar apabila terjadi perubahan dalam dirinya. Perubahan yang terjadi
berlangsung relatif lama yang diperoleh melalui pengalaman.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran
Briggs (1992) dalam Rifa‟i dan Anni (2011: 191), mengungkapkan
“Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang mempengaruhi siswa sehingga
siswa memperoleh kemudahan.” Selanjutnya, Gagne (1981) dalam Rifa‟i dan Anni (2011: 192) menyebutkan “Pembelajaran merupakan serangkaian peristiwa
eksternal peserta didik yang dirancang untuk mendukung proses internal belajar.”
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan yang kompleks, yang tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan. Dalam makna yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya
adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membantu siswa (mengarahkan
interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan
yang diharapkan (Trianto 2013: 17). Gagne (1985) dalam Rifa‟i dan Anni (2011:
193) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu kumpulan proses yang
bersifat individual, yang mengubah stimulus dari lingkungan seseorang ke dalam
sejumlah informasi, sehingga menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk
ingatan jangka panjang.
Hamalik (2014: 57) menyatakan “Pembelajaran adalah kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.” Unsur
manusia terlibat dalam kegiatan pembelajaran adalah guru dan siswa serta tenaga
pendidik lainnya seperti petugas laboratorium. Material meliputi buku ajar, papan
kegiatan belajar mengajar. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas,
perlengkapan audiovisual, serta komputer. Fasilitas dan perlegkapan ini dapat
digunakan dalam melaksanakan pembelajaran. Selanjutnya, prosedur, meliputi
jadwal pelajaran, metode yang digunakan dalam pembelajaran, dan sebagainya.
Dalam menghasilkan pembelajaran yang bermakna serta memberikan
kemampuan kepada siswa untuk melakukan berbagai penampilan, diperlukan
pembelajaran yang bervariasi. Selain itu, guru harus mampu melaksanakan
inovasi pembelajaran. Dalam upaya untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
variatif, inovatif, dan konstruktif, yaitu situasi kelas yang dapat merangsang anak
melakukan kegiatan belajar secara bebas, peran guru yaitu sebagai pengarah
dalam belajar, penyedia fasilitas, pendorong, dan penilai proses dan hasil belajar
anak (Susanto 2013: 86).
Apabila seorang guru mampu melaksanakan perannya dengan baik, maka
akan tercipta pembelajaran yang inovatif dan bervariasi. Pemilihan pendekatan
yang sesuai akan menghasilkan pembelajaran yang bermakna yang memberikan
ingatan jangka panjang bagi siswa. Selain itu, guru harus mampu menyusun
pembelajaran dengan baik sesuai kemampuan yang dimilikinya agar tercipta
pembelajaran bermakna bagi siswa.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
adalah suatu kegiatan atau peristiwa yang diberikan guru untuk membantu
siswanya dalam mengembangkan segala kemampuan yang ada dalam diri siswa.
bakat dan kemampuan yang dimiliki siswa. Pembelajaran yang disusun dengan
baik sesuai kemampuan siswa akan menciptakan proses belajar yang bermakna
bagi siswa serta mempermudah siswa memahami materi yang diajarkan.
2.1.3 Hasil Belajar
Rifa‟i dan Anni (2011: 85), menjelaskan “Hasil belajar merupakan
perubahan perilaku yang diperoleh peserta didik setelah mengalami kegiatan
belajar.” Secara sederhana, disebutkan bahwa hasil belajar siswa adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang dapat
dilihat dari tercapainya tujuan pembelajaran (Susanto 2013: 5). Selanjutnya
Susanto (2013: 6) memaparkan bahwa penilaian hasil belajar siswa mencakup
segala hal yang dipelajari di sekolah, baik itu menyangkut pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diberikan
kepada siswa.
Bloom (1956) dalam Rifa‟i dan Anni (2011: 86-9) menyampaikan tiga
taksonomi yang disebut ranah belajar yaitu: ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Berikut ini merupakan kategori dalam setiap ranah. Pertama, ranah
kognitif (cognitive domain) berkaitan dengan hasil berupa pengetahuan,
kemampuan dan kemahiran intelektual. Ranah kognitif mencakup kategori
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application),
analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan penilaian (evaluation). Kedua, ranah
afektif (affective domain), berkaitan dengan perasaan, sikap, minat, dan nilai.
Kategori tujuannya mencerminkan hierarki yang berentangan dari keinginan
afektif yaitu penerimaan (receiving), penanggapan (responding), penilaian
(valuing), pengorganisasian (organization), pembentukkan pola hidup
(organization by a value complex). Ketiga, ranah psikomotor (psychomotoric
domain), berkaitan dengan kemampuan fisik seperti keterampilan motorik dan
syaraf, manipulasi objek, dan koordinasi syaraf. Penjabaran ranah psikomotorik
ini sangat sukar karena seringkali tumpang tindih dengan ranah kognitif dan
afektif. Kategori jenis perilaku untuk ranah psikomotorik yaitu persepsi
(perception), kesiapan (set), gerakan terbimbing (guided response), gerakan
terbiasa (mechanism), gerakan kompleks (complex over response), penyesuaian
(adaptation), dan kreativitas (originality).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
perubahan yang dialami siswa dalam kegiatan belajar mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar tersebut diukur menggunakan tes hasil
belajar yang diujikan di akhir pembelajaran (posttest).
2.1.4 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar (SD)
Karakteristik siswa merupakan hal yang diperhatikan saat guru menentukan
tujuan pembelajaran. “Karakteristik dan perilaku yang diperoleh siswa sebelum
mengikuti pembelajaran baru umumnya akan mempengaruhi kesiapan belajar dan
cara-cara mereka belajar” (Rifa‟i dan Anni 2011: 4). Oleh karena itu, guru harus
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik dan perilaku yang
dimiliki oleh siswanya sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Nasution (1993) dalam Djamarah (2011: 123) menyebutkan “Masa usia
sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam
masa sekolah.” Pada usia tersebut, anak pertama kalinya memeroleh pendidikan
formal. Melalui masa sekolah ini, anak memeroleh kecakapan baru yang dapat
diterapkan dalam kehidupannya. Pelaksanaan pembelajaran yang menarik
minatnya dan relevan dengan perkembangan siswa akan memengaruhi tingkat
pemahaman siswa terhadap suatu materi atau keterampilan baru.
Menurut Suryobroto (1990) dalam Djamarah (2011: 124), “Masa usia
sekolah dianggap sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah.”
Pada masa ini, siswa mudah untuk menerima atau memahami sesuatu yang baru
dibandingkan masa sebelumnya yaitu masa taman kanak-kanak. Perkembangan
intelektual pada anak usia sekolah dasar ini ditandai dengan karakteristik
perkembangan lainnya (Susanto 2013:76).
Desmita (2012: 35) menyatakan bahwa anak-anak usia sekolah dasar
memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan anak-anak yang usianya lebih
muda, karena pada usia sekolah dasar, anak lebih senang bermain, bergerak,
belajar dalam kelompok, dan diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan pembelajaran yang
memberi ruang kepada siswa untuk bergerak, bekerjasama menyelesaikan tugas,
dan belajar melalui pengalaman langsung.
Piaget (1950) dalam Susanto (2013: 77) mengelompokkan tahap
perkembangan kognitif menjadi empat tahap. Berikut ini merupakan penjelasan
karakteristik dari setiap tahap perkembangan yaitu: pertama, tahap sensorik motor
(usia 0-2 tahun), pada tahap ini belum memasuki usia sekolah; kedua, tahap
pra-operasional (usia 2-7 tahun), pada tahap ini kemampuan skema kognitif masih
menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan
kalimat-kalimat pendek secara efektif; ketiga, tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun),
siswa mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa
yang konkret; keempat, tahap operasional formal (usia 11-15 tahun), siswa
mampu mempelajari materi pelajaran yang abstrak seperti agama, dan
matematika.
Sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang diungkapkan Piaget,
perkembangan intelektual siswa tingkat sekolah dasar masih dalam tahap
operasional konkret (umur 7-11 tahun). Menurut Susanto (2013: 78-9), anak pada
tahap ini menunjukkan perilaku belajar yang berkembang yang ditandai dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Memandang lingkungan sekitar sesuai apa yang dilihatnya, dan berpikir
secara reflektif.
(2) Anak mulai memahami tentang volume, jumlah, berat, luas, panjang, dan
pendek serta memahami peristiwa-peristiwa secara konkret.
(3) Anak mampu mengelompokkan benda-benda yang bervariasi dan sesuai
dengan tingkatannya.
(4) Anak mampu menggunakan aturan dan prinsip ilmiah serta memahami
hubungan sebab akibat.
(5) Anak memahami konsep volume zat cair, luas, sempit, ringan, dan berat.
Berdasarkan teori tahap perkembangan yang dikemukakan Piaget,
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan dalam
pembelajaran di sekolah dasar. Pendekatan CTL memberi kesempatan kepada
konsep melalui kegiatan menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari siswa,
sehingga pemberian contoh yang terdapat di sekitar siswa akan mempermudah
siswa memahami suatu konsep dalam materi tertentu.
2.1.5 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Ilmu pengetahuan alam sering dikenal dengan istilah sains. Ilmu
pengetahuan alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa Inggris yaitu
nature science, artinya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Jadi, Ilmu Pengetahuan
Alam adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
(Samatowa 2011: 3). Sumanto, dkk. (2007) dalam Putra (2013: 40)
mengungkapkan “Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep,
prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah.”
Hakikat sains yang didefinisikan sebagai ilmu tentang alam yang dalam
Bahasa Indonesia disebut dengan Ilmu Pengetahuan Alam dapat diklasifikasi
menjadi tiga bagian yaitu: ilmu pengetahuan sebagai produk, proses, dan sikap
(Susanto 2013: 167). Berikut ini merupakan penjelasan dari ketiga bagian
klasifikasi dalam IPA. Pertama, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai produk
yaitu kumpulan hasil penelitian yang telah ilmuwan lakukan dan sudah
membentuk konsep yang dikaji sebagai kegiatan empiris dan kegiatan analitis.
Bentuk IPA sebagai produk antara lain fakta-fakta, prinsip, hukum, dan
teori-teori IPA. Kedua, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai proses, yaitu untuk
menggali dan memahami pengetahuan tentang alam. IPA merupakan kumpulan
fakta dan konsep, maka IPA membutuhkan proses dalam menemukan fakta dan
memahami IPA disebut keterampilan proses sains (science process skills) yaitu
keterampilan yang dilakukan para ilmuwan seperti mengamati, mengukur,
mengklasifikasi, dan menyimpulkan. Ketiga, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
sebagai sikap. Sikap ilmiah harus dikembangkan dalam pembelajaran sains.
Sulistyorini (2006) menjelaskan bahwa ada sembilan aspek yang dikembangkan
dalam sikap ilmiah dalam pembelajaran sains, yaitu sikap ingin tahu, ingin
mendapat sesuatu yang baru, sikap kerjasama, tidak putus asa, tidak
berprasangka, mawas diri, bertanggung jawab, berpikir bebas, dan kedisiplinan
diri (Susanto 2013: 168-9).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa IPA
merupakan ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa alam. Berbagai
teori dan fakta dalam IPA dapat diperoleh melalui keterampilan dan proses.
Selanjutnya, teori dan fakta itu dapat ditemukan karena adanya rasa ingin tahu
dari seseorang, sehingga sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu teori,
fakta, dan konsep ini harus dikembangkan dalam melaksanakan pembelajaran
IPA.
2.1.6 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran eksak yang
diberikan pada jenjang pendidikan dasar. Mata pelajaran IPA diberikan sejak
tingkat dasar sebagai bekal siswa pada tingkat pendidikan menengah.
Pembelajaran IPA di sekolah dasar membantu siswa mempelajari konsep melalui
proses keterampilan sains yang paling dasar yaitu observasi, analisis, dan
menyimpulkan. Hal ini akan memberikan pemahaman kepada siswa bahwa untuk
memeroleh suatu jawaban membutuhkan suatu proses yang tidak sederhana.
karena itu, guru perlu mengetahui dan memahami tentang tujuan pembelajaran
tersebut. Menurut BSNP dalam Susanto (2013: 171-2), tujuan pembelajaran sains
di sekolah dasar yaitu
(1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya;
(2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari;
(3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling memengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat;
(4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan;
(5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam;
(6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan sebagai salah satu ciptaan Tuhan; serta
(7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.
Tujuan pembelajaran IPA tersebut dapat tercapai apabila siswa sekolah
dasar mampu menguasai semua standar isi dalam pembelajaran IPA. Ada banyak
materi pokok yang terdapat dari setiap standar isi dalam pembelajaran IPA.
Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi mata pelajaran
IPA di sekolah dasar, ruang lingkup bahan kajian IPA untuk sekolah dasar
meliputi aspek-aspek berikut.
(1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan; (2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan
gas;
(3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana; serta
Pembelajaran IPA SD khususnya untuk kelas V meliputi beberapa materi
pokok yaitu: organ pernafasan manusia, pencernaan manusia, peredaran darah
pada manusia, tumbuhan hijau, ketergantungan manusia dan hewan terhadap
tumbuhan hijau, sifat bahan, perubahan kimia dan fisika, gaya, pesawat sederhana,
cahaya, proses pembentukan tanah, struktur bumi dan matahari, daur air dan
peristiwa alam, serta sumber daya alam dan penggunaannya.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran
IPA di sekolah dasar perlu dilaksanakan dengan baik untuk mencapai tujuan
khusus dalam pembelajaran IPA. Apabila siswa mampu menguasai semua materi
IPA di tingkat sekolah dasar, maka siswa memiliki bekal untuk melanjutkan
sekolah di tingkat menengah.
2.1.7 Materi Daur Air
Penelitian ini difokuskan pada mata pelajaran IPA materi Daur Air di kelas
V semester 2 sekolah dasar. Materi daur air terdapat pada standar kompetensi: 7.
Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan
sumber daya alam. Alokasi waktu yang digunakan dalam mengajarkan materi
pokok daur air yaitu 6 jam pelajaran yang dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan
yang terdiri dari materi proses daur air, kegiatan yang memengaruhi atau
mengganggu proses daur air serta kegiatan penghematan air.
Materi daur air dirangkum dari buku yang ditulis oleh Sulistyanto dan
Wiyono (2008) serta Azmyawati, dkk (2008). Air memiliki banyak kegunaan
antara lain untuk minum, memasak, mandi, mencuci, dan menyirami tanaman.
udang. Ada dua sumber air yang sering digunakan yaitu sumber air alami dan
sumber air buatan. Sumber air alami berasal dari danau, laut, mata air, dan sungai.
Sementara itu, sumber air buatan berasal dari sumur gali, sumur pompa, dan
PAM.
Air di bumi tidak pernah habis, karena mengalami perputaran yang disebut
daur air. Daur air merupakan sirkulasi (perputaran) air secara terus-menerus atau
berkesinambungan dari bumi ke atmosfer dan kembali ke bumi. Namun, kegiatan
manusia yang kurang memerhatikan kelestarian alam sering mengganggu proses
daur air, seperti penebangan pohon secara liar, pembakaran hutan, pengaspalan
jalan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu kegiatan yang memperbaiki proses
daur air di bumi seperti mengadakan kegiatan reboisasi.
Penggunaan air yang berlebihan juga dapat mengganggu proses daur air,
sehingga manusia perlu melakukan kegiatan penghematan air. Walaupun jumlah
air di bumi sangat melimpah, manusia perlu menggunakannya secara bijaksana.
Beberapa kegiatan penghematan yang dapat dilakukan yaitu menutup kran setelah
digunakan, tidak menggunakan air secara berlebihan, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian materi daur air tersebut, dapat disimpulkan bahwa
materi daur air merupakan materi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) akan mempermudah siswa memahami materi daur air. Hal ini sesuai
konsep pendekatan CTL yaitu mengaitkan suatu konsep baru dengan kehidupan
2.1.8 Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang paling
sering digunakan oleh guru dalam mengajarkan suatu konsep kepada siswa.
Susanto (2013: 192) menjelaskan “model pembelajaran konvensional merupakan
model pembelajaran yang mendidik siswa menjadi orang yang bekerja tetapi
bukan berpikir, serta kurang memerhatikan aspek berpikir atau analisis yang
mandiri.” Selama proses pembelajaran, peran guru sangat dominan. Pembelajaran
konvensional lebih menekankan pada pemberian tugas dan didominasi metode
ceramah, sehingga siswa lebih banyak mendengarkan daripada terlibat aktif dalam
pembelajaran. Pembelajaran konvensional juga menyebabkan kemampuan
pemahaman siswa kurang berkembang.
Dalam pembelajaran konvensional, guru berperan sebagai penyampai
informasi, sedangkan siswa berperan sebagai penerima informasi. Guru kurang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
Jadi, pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang berpusat pada
guru serta kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
2.1.9 Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Sagala (2003) dalam Ruminiati (2007: 1-15) menyatakan “pendekatan
pembelajaran merupakan aktivitas pembelajaran yang dipilih guru dalam rangka
mempermudah siswa mempelajari bahan ajar yang telah ditetapkan oleh guru
sesuai dengan kurikulum yang berlaku.” Joni (1993) dalam Abimanyu (2008: 2.4)
mengungkapkan “pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan
Pendekatan pembelajaran dapat digunakan guru dalam mengajarkan suatu
materi kepada siswa. Menurut Wisudawati dan Sulistyowati (2014: 109-10) ada
dua jenis pendekatan pembelajaran yaitu:
Pertama, “Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centered approach) merupakan suatu pendekatan yang dalam kegiatan
pembelajaran guru yang mempunyai peran utama serta dilaksanakan
menggunakan metode ceramah.” Dalam penyampaian pengetahuan siswa
dipandang sebagai subjek penerima informasi. Pembelajaran dikontrol dan
ditentukan oleh guru sebagai penyampai informasi. Kegiatan pembelajaran hanya
berjalan satu arah, karena siswa sebatas mendengarkan, mencatat, dan sesekali
bertanya kepada guru. Pendekatan ini sering dikenal dengan istilah pendekatan
ekspositori.
Kedua, “Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada
siswa (student centered approach) merupakan pendekatan pembelajaran aktif
yang menempatkan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, katalisator, dan
pengontrol konsep.” Dalam pendekatan student center diharapkan siswa harus
menemukan fakta ilmu pengetahuan. Pendekatan ini melibatkan siswa untuk
berperan aktif dalam memahami suatu materi melalui kegiatan mengalami.
Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadikan
pembelajaran bermakna bagi dirinya.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran merupakan titik tolak atau pedoman umum yang digunakan oleh
guru untuk merancang pembelajaran yang mempermudah siswa mempelajari
(CTL) merupakan pendekatan yang berpusat pada siswa, karena memberi
kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
2.1.10 Pendekatan Contextual Teaching and Learnng (CTL)
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai beberapa teori, meliputi pengertian,
komponen-komponen, langkah-langkah pelaksanaan, dan kelebihan serta
kekurangan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).
2.1.10.1Pengertian Pendekatan Contextual Teaching and Learnng (CTL)
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sering dikenal
dengan pembelajaran kontekstual. Sanjaya (2006) dalam Toharudin, Hendrawati,
dan Rustaman (2011: 92) menjelaskan “Pembelajaran kontekstual merupakan
pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh untuk menemukan
konsep dari materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga siswa dapat menerapkannya dalam kehidupannya.”
Pengetahuan yang dimiliki siswa dibangun dari proses belajar siswa yang
mengaitkan dengan lingkungannya. Blanchard (2001) dalam Trianto (2013: 105)
menjelaskan “Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam
hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya”. Pembelajaran seperti
pendapat Blanchard tersebut menjadikan pembelajaran bermakna bagi siswa.
Sementara itu, Wisudawati dan Sulistyowati (2014: 121-2) menyatakan
“Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami
apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata
yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota
keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja” (University of Whasington dalam
Trianto 2013: 105). Pembelajaran Contextual Teaching and Learning berupaya
menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa, sehingga semua yang telah
dipelajari siswa dapat menjadi ingatan jangka panjang siswa. Dalam kegiatan
belajar bukan hanya memerhatikan hasil belajar, tetapi yang lebih penting yakni
proses belajar siswa.
Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual menekankan pada proses belajar yang melibatkan siswa secara aktif
untuk menemukan sendiri fakta atau konsep dari suatu materi melalui pengalaman
langsung. Dalam hal ini, guru mengaitkan materi pelajaran dengan konsep yang
telah dimiliki siswa untuk mempermudah siswa memahami materi pelajaran.
2.1.10.2Komponen Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Depdiknas (2002) dalam Trianto (2013: 111-9), pendekatan CTL
memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), inkuiri
(inqury), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic
assessment). Sebuah kelas dikatakan menerapkan pendekatan CTL, jika
menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajaran. Berikut ini merupakan
Pertama, konstruktivisme. Dalam pendekatan CTL siswa perlu dibiasakan
untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergelut dengan ide-ide. Hal tersebut akan menciptakan proses pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Siswa harus menemukan dan mentransfer suatu informasi
kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi menjadi milik
mereka sendiri.
Kedua, inquiry (menemukan). Pembelajaran CTL adalah pembelajaran yang
berkaitan dengan penemuan. Sebuah pembelajaran CTL harus dirancang dengan
baik agar siswa menemukan sendiri konsep dalam suatu materi. Sebagai seorang
guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang memberikan motivasi kepada
siswa untuk menemukan sendiri materi melalui pengalaman langsung.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Ketiga, questioning (bertanya). Bertanya merupakan strategi utama yang
berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan
guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran
yang berbasis inquiry yaitu menggali informasi, mengonfirmasi apa yang sudah
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Keempat, learning community (masyarakat belajar). Masyarakat belajar
berarti dalam kegiatan pembelajaran terjadi komunikasi dua arah. Dalam kelas
kelompok-kelompok belajar. Kelompok belajar dibentuk secara heterogen. Hal ini bertujuan,
agar setiap siswa mau bertukar pengetahuan dan pengalaman dengan sesama
temannya selama proses pembelajaran berlangsung. Setiap pihak harus merasa
bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan
yang berbeda yang perlu dipelajari. Adanya masyarakat belajar ini menjadikan
setiap siswa kaya akan pengetahuan dan pengalaman sebagai bekal hidup di
lingkungannya.
Kelima, modeling (pemodelan). Dalam suatu pembelajaran keterampilan
atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Guru dapat
menampilkan model yang dapat ditiru oleh siswa pada proses pembelajaran.
Namun, guru bukanlah satu-satunya model dalam kegiatan pembelajaran. Guru
dapat menggunakan siswa yang memiliki pengalaman yang berkaitan dengan
materi yang akan diajarkan sebagai model dalam pembelajaran. Model
pembelajaran dapat pula datang dari luar yang ahli dalam bidangnya.
Keenam, refleksi. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa
yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima. Refleksi ini biasanya dilaksanakan pada akhir
pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi, guru membantu siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan
yang baru. Hal ini membuat siswa merasa memeroleh sesuatu yang berguna bagi
Ketujuh, penilaian autentik. Assesment adalah proses pengumpulan berbagai
data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Assessment
bukan dilakukan di akhir periode pembelajaran, tetapi dilakukan bersama-sama
secara terintegrasi (tidak terpisah) dari kegiatan pembelajaran. Penilaian autentik
menilai pengetahuan dan keterampilan (perfomance) yang diperoleh siswa.
Ketujuh komponen pendekatan tersebut ini harus dilaksanakan selama
pembelajaran yang menerapkan pendekatan CTL. Melalui penerapan pendekatan
CTL ini, akan mengembangkan keterampilan proses sains yang dimiliki siswa.
Hal ini akan menjadikan siswa mau melakukan kegiatan penemuan dan mencari
sendiri pengetahuan barunya. Siswa akan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
akan suatu peristiwa, sehingga untuk mencari jawabannya mereka berusaha untuk
mencarinya sendiri. Semua ini akan memperkaya pengetahuan, pengalaman serta
keterampilan yang dimiliki oleh siswa.
2.1.10.3Langkah-langkah Pendekatan Contextual Teaching and Learning
Menurut Toharudin, Hendrawati, dan Rustaman (2011: 97), secara garis
besar langkah pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
(1) Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diajak untuk bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik; (3) Mengembangkan sifat dan rasa ingin tahu (sense of knowledge)
siswa melakukan ajakan untuk bertanya;
(4) Menciptakan „masyarakat pembelajar‟ (learning society) melalui
pembentukan kelompok-kelompok pembelajar; (5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) Melakukan refleksi pada setiap akhir pertemuan; serta
Shoimin (2013: 44) menjelaskan bahwa langkah-langkah pelaksanaan
pembelajaran CTL terbagi menjadi tiga kegiatan yakni kegiatan awal, inti, dan
akhir. Pada kegiatan awal terdapat beberapa kegiatan yang perlu dilakukan guru
yakni penyiapan siswa untuk mengikuti pembelajaran, penyampaian apersepsi
untuk menggali pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan,
serta penyampaian tujuan pembelajaran. Selanjutnya, pada kegiatan inti terdapat
beberapa kegiatan yakni siswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan
permasalahan atau tugas yang diberikan guru, siswa mempresentasikan hasil
diskusinya dan kelompok lain menanggapi hasil diskusi kelompok yang
presentasi, guru membahas hasil diskusi untuk menentukan penyelesaian dari
tugas yang diberikan guru berdasarkan pendapat yang disampaikan siswa, serta
siswa diberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami.
Pada kegiatan akhir, beberapa kegiatan yang dilaksanakan yakni siswa dan guru
menyimpulkan pembelajaran yang telah dilaksanakan, pengerjaan soal evaluasi
untuk mengetahui pemahaman siswa, dan membahas soal yang telah dikerjakan
oleh siswa.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketujuh
komponen pendekatan CTL tidak diharuskan dilaksanakan secara berurutan.
Namun, selama proses pembelajaran diharapkan ketujuh komponen pendekatan
tersebut harus dilaksanakan dengan baik, sehingga tujuan pembelajaran dapat
2.1.10.4Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning
Setiap pendekatan pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Begitu juga dengan pendekatan CTL. Menurut Shoimin (2013: 45), ada beberapa
kelebihan dan kekurangan dari pendekatan CTL. Kelebihan dari pendekatan CTL
yakni (1) pembelajaran kontekstual menekankan aktivitas siswa selama
pembelajaran; (2) pembelajaran kontekstual menjadikan siswa belajar melalui
proses pengalaman; serta (3) konsep dari materi pelajaran ditemukan oleh siswa
sendiri. Selanjutnya, kekurangan dari pendekatan CTL yakni dalam
pelaksanaannya membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga pembelajaran
harus persiapkan dengan sebaik-baiknya.
Dalam setiap pembelajaran diharapkan tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, pembelajaran yang
menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) harus
dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kekurangan dari pendekatan CTL harus
diminimalisir dengan memanfaatkan waktu yang tersedia dengan baik, agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
2.2
Penelitian yang Relevan
Penelitian berkaitan dengan pendekatan Contextual Teaching Learning
(CTL) telah banyak dilaksanakan. Berikut ini merupakan beberapa penelitian
Pertama, penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan oleh Atmaja
(2014) dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran IPA
tentang Sifat Bahan dan Kegunaannya melalui Penerapan Pendekatan
Kontekstual.” Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas IV SDN Sukamanah
Kabupaten Sukabumi yang berjumlah 35 orang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hasil belajar siswa dari aspek kognitif, kinerja, dan sikap setelah dilakukan
tindakan pembelajaran mengalami peningkatan. Data menunjukkan pada siklus I
hasil belajar siswa diperoleh rata-rata 70 dengan 40% siswa telah mencapai KKM.
Pada siklus II terjadi peningkatan dengan perolehan nilai rata-rata 80 dengan
persentase siswa mencapai KKM sebesar 80%.
Kedua, penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan Firman, dkk
(2014) dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPA Materi Pengelompokk