DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum.Jakarta: Sinar Grafika.2009.
Elvigro, Paresma. Secangkir Kopi Bully. Jakarta : PT.Alex Media Komputindo,2014.
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: Refika Aditama. 2014.
. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama,
2008.
Gosita,Arif. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan.Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.2004.
Huraerah,Abu. Kekerasan Terhadap Anak.Bandung : Nuansa, 2007.
Ihsan,Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan.Jakarta: PT Rineka Cipta.2010.
M.Arief Mansyur,Dikdik dan Gultom, Elisatris. Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan : Antara Fakta dan Realita. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Nasir, M.Djamil. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Balai Pustaka. 1976.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta.Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di
Lingkungan Pendidikan. Jakarta: 2007.
Rudyat,Charlie. Kamus Hukum. Penerbit : Tim Pustaka Mahardika.
Saraswati.Rika Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Semarang: PT Citra Aditya Bakti. 2015.
Sigit Pramukti, Angger & Primaharsya, Fuady .Sistem Peradilan Pidana
Anak. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.2015.
Soekanto,Soerjono dan Mamudji,Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Soyomukti, Nurani Teori-Teori Pendidikan Dari Tradisional. (Neo) Liberal,
Marxis-Sosialis. Hingga Post Modern.Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media.2015.
Suyanto, Bagong dan Sanituti Hariadi, Sri. Krisis & Child Abuse Kajian
Sosiologis Tentang Kasus Pelanggaran Hak Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus .Surabaya : Airlangga
University Press. 2002.
Waluyadi .Hukum Perlindungan Anak. Bandung : Mandar Maju.2009.
Waluyo,Bambang .Penelitian Hukum Dalam Praktek.Jakarta : Sinar Grafika.1996.
.Perlindungan Korban dan Saksi.Jakarta : Sinar Grafika.2014.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No.04 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Konvensi Hak-Hak Anak.
C. Sumber-Sumber Lain
Buku Panduan Melawan Bullying di download dari http://www.sudahdong.com diakses pada tanggal 17 Januari 2016 pukul 21.30 WIB
Faizatul Faridy, Kekerasan Verbal dan Dampaknya pada Pendidikan Anak
Usia Dini,
http://www.kompasiana.com/faieza/kekerasan-verbal-dan-
dampaknya-terhadap-mental-anak-usia-dini_566fa851529773ab0f4241dc, diakses pada hari Selasa 22 Maret 2016 pukul 15.28 WIB
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/ . diakses pada tanggal 16 januari 2016 pukul 15.50 WIB
Perlindungan Hukum. http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html diakses pada tanggal 2 Oktober 2015 pukul 20.12 WIB.
Srikandi Rahayu. Seputar Pengertian Perlindungan Hukum. http:// seputarpengertian. Blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-hukum.html diakses pada tanggal 2 Oktober 2015 pukul 19.09 WIB.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
NEGERI DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN
A. Pengaturan Tentang Kekerasan Terhadap Anak dalam Hukum Positif Di Indonesia
Dalam hukum positif di Indonesia khususnya dalam bidang hukum pidana
, pengaturan tentang kekerasan diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan ada juga termuat dalam Undang-Undang secara khusus. Ada pun
pengaturan tentang kekerasan khususnya kekerasan terhadap anak dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya mengenai
bentuk-bentuk kekerasan, kekerasan terdiri dari atas : kekerasan fisik, kekerasan
psikis dan kekerasan seksual. Hal-hal yang berhubungan dengan bentuk-bentuk
kekerasan tersebut diatur juga dalam KUHP.
Dalam ketentuan Pasal 351 KUHP disebutkan :
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Dalam ketentuan Pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas tentang apa
yang dimaksud dengan penganiayaan. Menurut yurisprudensi yang diartikan
(penderitaan) , rasa sakit atau luka. Menurut aliena 4 pasal ini, masuk pula dalam
pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang. 103
Dalam ketentuan Pasal 352 KUHP disebutkan :
(1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- . Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya.
(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Ketentuan dalam Pasal 352 KUHP ini tergolong ke dalam penganiayaan
ringan.
Dalam ketentuan Pasal 353 KUHP disebutkan :
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Dalam ketentuan Pasal 354 KUHP disebutkan :
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum karena
menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, sitersalah dihukum penjara
selama-lamanya sepuluh tahun.
Dalam ketentuan Pasal 355 KUHP disebutkan :
(1) Penganiayaan berat dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.
103
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Ketentuan dalam Pasal 351-355 KUHP tersebut tergolong pada kekerasan
fisik. Karena tindak kekerasan dilakukan secara langsung kepada korban dan
menimbulkan luka secara fisik. Akan tetapi dalam ketentuan pasal 351-355 KUHP
tersebut tidak ada menyebutkan secara khusus mengenai anak sebagai korbannya.
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi secara fisik . Tetapi juga
dapat terjadi secara seksual. Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan
kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut :
Dalam ketentuan Pasal 287 KUHP menyebutkan :
(1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 (lima belas) tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada peengaduan, kecuali umur perempuan itu belum sampai 12 (dua belas) tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.
Dalam ketentuan Pasal 288 KUHP menyebutkan :
(1) Barang siapa bersetubuh dengan yang bukan istrinya yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun , kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
(2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas tahun).
Dalam ketentuan Pasal 291 KUHP menyebutkan :
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289 dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.
Dalam ketentuan Pasal 289 KUHP disebutkan “Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul , dihukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan)
tahun”.
Dalam ketentuan pasal 292 KUHP disebutkan “Orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin
yang sama, sedang diketahuinya atau patut disangkanya hal belum dewasa itu,
dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun”.
Dalam ketentuan Pasal 293 KUHP disebutkan :
(1) Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya harus disangkanya belum dewasa, melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu. (3) Tempo yang tersebut dalam pasal 74, ditentukan buat satu-satu pengaduan ini
ialah 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) bulan.
Dalam ketentuan Pasal 294 KUHP disebutkan :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa , anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dengan hukuman yang serupa dihukum :
1e. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan kepadanya untuk dijaga.
Dalam ketentuan Pasal 295 KUHP disebutkan : (1) Dihukum :
1e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun, barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan peerbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang ada dibawah pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang di bawah umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain.
2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun , barang siapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.
(2) Kalau yang melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijalankan sebagai pencahariannya atau kebiasaannya, maka hukuman itu dapat ditambah sepertiganya.
Dalam ketentuan Pasal 298 KUHP disebutkan :
(1) Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 281, 284-290, dan 292-297, maka dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak.
(2) Kalau si tersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297 daalam pekerjaannya , dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu .
Berdasarkan isi pasal dalam KUHP yang telah disebutkan diatas , bentuk
perlindungan hukum yang diberikan KUHP bagi anak yang mengalami kekerasan
merupakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukanlah
pertanggujawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan
konkret, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat
pribadi/individual.
2. Konvensi Hak-Hak Anak (KHA)
Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan Konvensi
Hak-hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen internasional
berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai
hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi
manusia yang memasukkan unsur-unsur hak-hak sipil dan politik serta hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.104
Perumusan naskah KHA dimulai sejak 1979 dan dalam waktu sepuluh
tahun kemudian, tepatnya pada 20 November 1989, naskah akhir konvensi dapat
diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB. Sesuai
ketentuan Pasal 49 ayat (1) , KHA diberlakukan sebagai hukum HAM
internasional pada 2 September 1990.105
Indonesia meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun
1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia secara
teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada keetentuan yang terkaandung
dalam KHA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (2) KHA dinyatakan
beerlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990.
KHA lahir berdasarkan beberapa prinsip yaitu prinsip nondiskriminasi;
prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child); prinsip hak
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (the right to life, survival and
development); prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).106
104
Rika saraswati,Hukum Perlindungan Anak di Indonesi,Semarang : PT Citra Aditya Bakti.,2015.,Hlm.16
105 Ibid.
106
Dikdik M.arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Prinsip nondiskriminasi artinya semua hal yang diakui dan terkandung
dalam KHA harus dilakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. 107
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 2 KHA yang menyatakan:
(1) Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.
(2) Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak tercantum dalam Pasal 3 ayat (1)
KHA yang menyatakan : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang
dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta ,
lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.”
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak mengingatkan kepada semua
penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam
pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran
orang dewasa apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa. Apa yang
menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan
anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong,
tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.108
107
M.Nasir Djamil, Op.Cit., hlm.31 108
Prinsip hak hidup, keberlangsungan hidup dan perkembangan anak
tercantum dalam Pasal 6 KHA ayat (1) “Negara-negara pihak mengakui bahwa
setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.” Serta ayat (2) “
Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal keberlangsungan hidup dan
perkembangan anak.”
Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap
anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang
melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk
menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang
kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.109
Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak terdapat dalam Pasal 12 ayat
(1) KHA yang menyatakan: “Negara-negara pihak akan menjamin anak-anak
yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan
pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak, dan
pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia kematangan anak.”
Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh
sebab itu, tidak bisa dipandang hanya dalam posisi yang lemah, menerima dan
pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman,
keinginan, imajinasi, obsesi dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang
dewasa.110
109 Ibid. 110
Adapun Pasal-pasal dalam KHA yang mengatur tentang kekerasan
terhadap anak adalah sebagai berikut :
Dalam ketentuan Pasal 19 disebutkan :
(1) Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental , cidera atau penyalahgunaan , penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orangtua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.
(2) Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur-prosedur yang efektif dari diadakannya program-program sosial untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan untuk identifikasi, pelaporan, rujukan, pemeriksaan, perawatan dan tindak lanjut dari kejadian perlakuan salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan untuk keterlibatan pengadilan.
Dalam ketentuan Pasal 34 disebutkan :
Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk maksud itu, negara-negara peserta khususnya akan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah ;
(a) Bujukan atau pemaksaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan seksual yang tidak sah ;
(b) Penggunaan anak-anak secara eksploitasi dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lainnya yang tidak sah;
(c) Penggunaan anak-anak secara eksploitasi dalam pertunjukan-pertunjukan dan bahan-bahan pornografi.
3. Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah karena negara Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungaan terhadap hak
anak yang merupakan hak asasi manusia, seperti yang termuat dalam
Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 ini
kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.111
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 , alasan
dilakukan perubahan dan pembaruan karena Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 dipandang belum efektif sebagai sebuah peraturan hukum yang bertujuan
memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak anak. Adanya
tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan
defenisi anak menjadi salah satu penyebabnya. Meningkatnya angka kekerasan
(seksual) terhadap anak juga menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 belum mampu menjadi alat untuk mencegah terjadinya kekerasan
terhadap anak dan melindungi hak-hak anak.
Untuk menghindari terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap anak
khususnya tindak kekerasan, maka Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menitikberatkan serta memberikan kewajiban dan
tanggungjawab kepada Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,
Keluarga dan Orang Tua atau Wali, dalam penyelenggaraan perlindungan anak
diatur dalam ketentuan pasal sebagai berikut :
Dalam ketentuan Pasal 59 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan :
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :
111
a. Anak dalam situasi darurat ;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum ; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi ;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual ;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ;
f. Anak yang menjadi korban pornografi ; g. Anak dengan HIV/AIDS ;
h. Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan ; i. Anak korban kekerasan fisik dan / atau psikis ;
j. Anak korban kejahatan seksual ; k. Anak korban jaringan terorisme ; l. Anak penyandang disabilitas ;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran ; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang ; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya ;
Dalam ketentuan Pasal 59 A UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya :
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik , psikis dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya ;
b. Peendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan ;
c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu ; dan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berisi
tentang larangan-larangan melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak anak
yang diatur dalam ketentuan pasal sebagai berikut :
Dalam ketentuan Pasal 76 A Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
a. Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya ; atau
b. Memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif.
Dalam ketentuan Pasal 76 B Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan dalah dan penelantaran”.
Dalam ketentuan Pasal 76 C Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Dalam ketentuan Pasal 76 D Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Ketika terdapat orang yang melanggar larangan yang ada, melakukan
kejahatan serta melanggar hak-hak anak pada larangan yang telah disebutkan
diatas, dalam hal ini khususnya melakukan tindak kekerasan terhadap anak akan
dikenakan sanksi pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam
hal ini diatur dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut :
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah Orang Tuanya.
Dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan :
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat , serangkaian keebohongan , atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam ketentuan Pasal 82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan :
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
B.Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Mengalami Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan Sekolah Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.112
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis.113
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi
anak mencakup lingkup yang sangat luas.114
Berangkat dari pembatasan di atas, maka lingkup perlindungan hukum
bagi anak-anak mencakup : (1) Perlindungan terhadap kebebasan anak ; (2)
112
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
113 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, 2008, hlm..33
114
Perlindungan terhadap hak asasi anak ; (3) Perlindungan hukum terhadap semua
kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan.115
Konsekuensi dari lingkup perlindungan hukum bagi anak sebagaimana
yang telah disebutkan di atas adalah bahwa semua kebijakan legislatif (produk
perundang-undangan) yang berkaitan dengan anak harus bermuara pada
penegakan hak asasi anak dan terwujudnya kesejahteraan anak.
Perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami kekerasan mencakup
pada dua aspek, yaitu perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban
kekerasan dan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku kekerasan
tersebut.
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan Pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan
Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam
lembaga pendidikan dapat dilihat melalui beberapa pasal yang terkait dengan
kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1a) Undang-undang No. 35 tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak disebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan
pendidikan dari kejahatan seksual yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
115
Dalam ketentuan Pasal 54 Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan :
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengaanatkan masyarakat dan lembaga pendidikan untuk
berperan dalam perlindungan anak termasuk di dalamnya melakukan upaya
pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungannya.
Pada hakikatnya sekolah merupakan tempat anak untuk mendapatkan
haknya menuntut ilmu setinggi-tingginya, dengan demikian demi tercapainya hak
anak di sekolah atau dalam lembaga pendidikan maka anak-anak perlu dilindungi
dari berbagai tindak kekerasan.
Maksud dari pemberian perlindungan tersebut adalah setiap anak dalam
lembaga pendidikan yaitu sekolah berhak mendapatkan perlindungan dari pihak
yang terkait dengan masalah perlindungan anak. Dalam hal ini yang melindungi
anak dari perbuatan kekerasan di sekolah adalah lembaga pendidikan itu sendiri .
Pada Sekolah Dasar Negeri No. 117874 Kecamatan Kotapinang
perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dilakukan oleh Pihak
Guru dan komite sekolah. Apabila terjadi suatu tindak kekerasan pada anak maka
langkah pertama yang dilakukan pihak sekolah adalah membawa anak yang
proses pengobatan. Kemudian Pihak sekolah memanggil kedua orang tua siswa
baik siswa korban maupun siswa pelaku untuk dilakukan perdamaian. Biasanya
setelah musyawarah ini orang tua siswa sepakat untuk berdamai dengan
persyaratan tertentu seperti membayar seluruh biaya pengobatan korban hingga
sembuh.116
Di Kecamatan Kotapinang hukum berdasarkan adat istiadat masih berlaku,
pihak sekolah dan pihak keluarga pelaku datang ke rumah siswa yang menjadi
korban untuk melaksanakan “upah-upah” sebagai tanda perhatian dari pihak
sekolah dan bentuk permintaan maaf dari orang tua siswa yang melakukan
tindakan kekerasan tersebut. 117
Sama halnya dengan Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kotapinang,
pada Sekolah Dasar Negeri No. 112227 Kecamatan Torgamba Perlindungan
terhadap anak yang mengalami kekerasan dalam lembaga pendidikan dilakukan
dengan jalan melakukan perdamaian antara anak sebagai pelaku dan anak yang
menjadi korban dengan cara melakukan musyawarah dengan masing-masing
orang tua siswa dengan tujuan agar anak yang menjadi korban serta orang tua
korban merasa tidak dirugikan dengan perbuatan anak yang melakukan
kekerasan.118
Pada Sekolah Dasar Negeri No.117941 Kecamatan Sungai Kanan,
perlindungan yang diberikan oleh Pihak Sekolah kepada anak yang mengalami
kekerasan dilakukan dengan cara mendampingi korban dan mengupayakan
116
Hasil wawancara dengan Hj. Netty Ariani, S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri No.117874 Kecamatan Kotapinang
117 Ibid. 118
perdamaian antara pihak korban dan pelaku agar pihak korban tidak merasa
dirugikan dengan tindakan pelaku.119
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Pelaku Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
Bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang mengalami
kekerasan dalam lembaga pendidikan khususnya di lingkungan sekolah tidak
hanya diberikan kepada anak sebagai korban tetapi juga diberikan kepada anak
sebagai pelaku kekerasan itu sendiri.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah diakategorikan
dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah diundangkannya Undang-Undang
Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik
dengan hukum (ABH), dan saat ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang
berkonflik dengan hukum.120
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu 121:
a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap kejahatan, seperti tidak menurut,
membolos sekolah atau kabur dari rumah;
119 Hasil wawancara dengan Hj.Rosnah,S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri No.117491
Kecamatan Sungai Kanan 120
M.Nasir Djamil, Op.Cit., hlm.32 121
b. Juvenile deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
Dalam ketentuan pasal 64 Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan :
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui :
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya ;
b. Pemisahan dari orang dewasa ;
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif ; d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional ;
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya ; f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/ atau pidana seumur
hidup ;
g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat ;
h. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum ;
i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya ;
j. Pemberian pendampingan Orang Tua / Wali dan orang yang dipercaya oleh anak ;
k. Pemberian advokasi sosial ; l. Pemberian kehidupan pribadi ;
m.Pemberian aksesibilitas , terutama bagi anak penyandang disabilitas ; n. Pemberian pendidikan ;
o. Pemberian pelayanan kesehatan ; dan
p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .
Dalam rangka memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum
terhadap anak-anak Indonesia dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan
yang merumuskan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan
Salah satu implementasinya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang pengadilan anak yang memberlakukan proses pemeriksaan khusus bagi
anak yang melakukan tindak pidana yang penanganannya melibatkan beberapa
lembaga negara, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Departemen Hukum dan
HAM, serta lembaga-lembaga lain, seperti Dinas Sosial yang secara terpadu
dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak-anak.122
Pengadilan anak adalah meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan
memutus perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dan keterlibatan
pengadilan dalam kehidupan anakdan keluarga senantiasa ditujukan pada upaya
penanggulangan yang buruk, sehubungan dengan perilaku yang menyimpang dan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak dalam wilayah hukum negara
Indonesia. Khususnya bagi anak-anak yang telah mencapai umur 8 tahun, tetapi
belum mencapai umur 18 tahun.123
Dalam perkembangannya, kebutuhan akan adanya peradilan khusus bagi
anak yang berkonflik dengan hukum semakin dirasakan karena masih banyaknya
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pengadilan anak. Seorang anak yang
berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, harus
diperlakukan dengan baik karena hal tersebut mempengaruhi psikologis bagi
anak. 124
Agar hak-hak anak yang beradapan dengan hukum dapat terpenuhi secara
maksimal, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pertimbangan
122 Rika Saraswati,Op.Cit.,hlm.107
123
Ibid, hlm.108 124
dikeluarkannya undang-undang baru ini karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara kompeherensif memberikan
perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum.125
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan Asas126 : a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi anak; e. Penghargaan terhadap pendapat anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. Penghindaran pembalasan.
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak127 :
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap,ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehiidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan;
125 Ibid, hlm.111
126 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
127
o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan : “ Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.”
Keadilan restoratif secara terminologis merupakan sebuah konsep dalam
penyelesaian masalah kejahatan/tindakan kriminal yang terjadi dengan penekanan
pada pemulihan hak-hak korban. Pendekatan keadilan restoratif memandang
bahwa kejahatan atau tindakan kriminal tidak hanya bermuara pada penghukuman
bagi pelaku, tetapi juga memperhatikan kepentingan korban, penyelesaian dapat
dilakukan dengan melibatkan kedua belah pihak tersebut dan tidak harus berujung
pada pemidanaan.128
Ketentuan mengenai diversi diatur dalam Pasal 6 UU SPPA yang menyatakan diversi bertujuan :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak;
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 disebutkan :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi;
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam tindak pidana yang dilakukan :
a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; b. Dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dalam ketentuan Pasal 8 UU SPPA dijelaskan mengenai keterlibatan dan
peran serta pihak selain anak dalam menyelesaikan diversi. Pasal 8 ayat (1) UU
SPPA menyebutkan bahwa proses divesri dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan orang tua/wali anak, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
128
Profesional selain anak itu sendiri. Tentu wajib diutamakan pendekatan keadilan
restoratif dalam setiap tahap proses diversi. Apabila diperlukan, musyawarah
sebagaimana dimaksud tadi dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial. Perlu
diperhatikan pula Pasal 8 ayat (3) mengenai hal-hal yang harus diselesaikan dan
menjadi acuan yaitu :
a. Kepentingan korban;
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c. Penghindaran stigma negatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Berikutnya dalam ketentuan Pasal 9 UU SPPA dijelaskan bahwa aparat penegak hukum :
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana; b. Umur anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari bapas; d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran; b. Tindak pidana ringan;
c. Tindak pidana tanpa korban; atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.
Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antaralain129 :
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian ;
b. Penyerahan kembali kepada orang tua/ wali;
c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lma 3 (tiga) bulan ; atau
d. Pelayanan masyarakat.
Apabila diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan, proses peradilan pidana anak dilanjutkan.130
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak , maka ketentuan Undang-Undang ini juga dapat
diterapkan kepada anak didik yang bertindak sebagai pelaku kekerasan. Melalui
undang-undang ini diharapkan anak didik pelaku kekerasan mendapatkan
perlakuan yang tepat sehingga mereka tidak perlu dikeluarkan dari sekolah, tetapi
tidak mengorbankan pihak lain, seperti anak korban, anggota masyarakat, sekolah
dan lingkungan sekolah itu sendiri.131
Pada dasarnya, anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan
bimbingan dan pembinaan, sehingga tumbuh dan berkembang sebagai anak
normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Tekadang anak mengalami situasi sulit
yang membuatnya melakukan tindakan melawan hukum. Seperti halnya anak
yang melakukan tindak kekerasan di sekolah. Seperti yang telah diungkapkan
129 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak 130
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
131
pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa faktor-faktor tiap anak tersebut
melakukan tindak kekerasan adalah berbeda-beda.
Walaupun demikian, pemberian sanksi pidana seharusnya dapat dihindari,
kalaupun terpaksa pemberian sanksi pidana tersebut merupakan langkah terakhir
yang dilakukan apabila peristiwa tersebut tidak dapat terselesaikan lagi secara
baik-baik.
Mengingat anak dipandang sebagai sebagai subjek khusus dalam hukum,
maka peraturan perundang-undangan memuat berbagai kekhususan tentang anak
baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Karena melihat kenyataan pada saat
ini dalam lembaga pendidikan khususnya lingkungan sekolah bahwa anak tidak
hanya menjadi korban kekerasan melainkan menjadi pelaku dari kekerasan itu
sendii , dan ini dilakukan kepada anak lain yang pada umumnya adalah teman
sebayanya.
Perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak kekerasan dalam
lembaga pendidikan dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan apa saja yang
dilakukan oleh Pihak Sekolah untuk menyelesaikan kasus tersebut dan
penyelesaian yang dilakukan tidak merugikan pihak korban dan dapat membuat
pelaku menjadi jera tetapi tidak menggaanggu pada aktivitas anak sebagai siswa
di sekolah tersebut.
Pada Sekolah Dasar Negeri No. 117874 Kecamatan Kotapinang, apabila
ada anak yang melakukan kekerasan kepada siswa lainnya maka pemberian sanksi
yang diberikan dilihat dari tindakan yang dilakukan siswa tersebut. Apabila
maka anak tersebut diberikan nasehat oleh wali kelas dan guru agama selaku guru
konseling di sekolah ini. Apabila anak tersebut masih melakukan tindakan
kekerasan tersebut dan dampaknya semakin buruk terhadap anak lain maka kepala
sekolah akan membuat surat panggilan kepada orang tua siswa tersebut agar anak
tersebut diberikan pembinaan. Apabila setelah tiga kali berturut-turut orang tua
siswa tersebut dipanggil dan anak tersebut tidak menunjukkan perubahan juga
maka anak tersebut akan diberikan sanksi berupa dikeluarkan dari sekolah dan
dipindahkan ke sekolah lain.132
Pada Sekolah Dasar Negeri No. 112227 Kecamatan Torgamba, apabila ada
anak nakal yang suka menjahili temannya maka langkah pertama yang dilakukan
oleh Guru adalah menasehati anak tersebut secara baik-baik, apabila anak
tersebut masih terus melakukan hal tersebut maka guru akan memberikan sanksi
kepada siswa tersebut misalnya : menyiram bunga, membersihkan halaman, dan
kadang berdiri di depan kelas. Apabila hal tersebut masih tidak berhasil juga
maka Guru akan melaporkan kepada Kepala Sekolah dan Kepala Sekolah akan
membuat surat panggilan kepada Orang Tua Siswa. Biasanya setelah orang tua
Siswa dipanggil anak tersebut akan berubah dan tidak akan nakal lagi kepada
temannya. 133
Pada Sekolah Dasar Negeri No.1179491 Kecamatan Sungai Kanan apabila
ada orang tua yang melapor kepada Pihak Sekolah bahwa anaknya mengalami
kekerasan dari anak lain di sekolah, maka langkah pertama yang dipanggil adalah
132 Hasil wawancara dengan Hj. Netty Ariani, S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri
No.117874 Kecamatan Kotapinang 133
memanggil anak yang bersangkutan dan menanyakan kejadian yang sebenarnya.
Setelah itu orang tua siswa pelaku dan orang tua siswa korban dipertemukan agar
terjadi perdamaian. 134
Pada kasus yang terjadi pada Arga dan Akri seperti yang dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya baik orang tua pelaku dan orang tua korban sama-sama
tidak mau berdamai. Pihak orang tua korban ingin kedua siswa tersebut
dikeluarkan dari sekolah. Akan tetapi Pihak Sekolah tidak dapat melakukan hal
tersebut karena mengingat kedua siswa tersebut sudah kelas VI dan sebentar lagi
akan mengikuti Ujian Nasional. Akhirnya pihak korban membawa kasus ini ke
pihak kepolisian dan sampai sekarang belum terselesaikan. 135
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari ketiga sekolah pada tiga
kecamatan yang berbeda di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dapat diketahui
bahwa bentuk perlindungan terhadap anak sebagai pelaku kekerasan dalam
lembaga pendidikan selain mendapatkan perlindungan khusus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan juga anak tersebut juga harus dilindungi
dari stigma bahwa anak tersebut merupakan orang yang jahat yang dapat
mengganggu mentalnya dan upaya pemberian sanksi pidana sebisa mungkin harus
dihindarkan.
134 Hasil wawancara dengan Hj.Rosnah,S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri No.117491
Kecamatan Sungai Kanan 135
C. Kendala Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Mengalami Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan
Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak se-sempurna mungkin
perlu dipahami hambatan pelaksanaan perlindungan anak untuk diatasi seefektif
mungkin. Beberapa hambatan penting yang relatif sifatnya, berkaitan dengan
situasi dan kondisi tertentu adalah sebagai berikut :
1. Pengertian-Pengertian
Terdapat perbedaan pandangan dan keyakinan yang kuat berkaitan
dengan masalah perlindungan anak seorang individu, kelompok organisasi
swasta dan pemerintah. Hal ini berkaitan erat antara lain dengan latar
belakang pendidikan, kepentingan, nilai-nilai sosial kepribadian yang
bersangkutan. 136
2. Masalah Kepentingan dan Kewajiban
Keberhasilan usaha perlindungan anak sedikit banyak bergantung
pada kesediaan dan kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan diri
sendiri dan kepentingan orang lain. Jadi ini berkaitan dengan sikap
tindakan seseorang yang berhubungan erat dengan kerelaan seseorang
untuk mengutamakan kepentingan anak di atas kepentingan pribadi,
berdasarkan keyakinan bahwa akhirnya pelayanan kepentingan anak,
kepentingan nasional akan juga membawa akibat positif pada pemenuhan
kepentingan pribadi.137
3. Masalah kerjasama dan koordinasi
136
Arif Gosita, Op.Cit, hlm.249 137
Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya
interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Maka ini
berarti dalam pengadaan dan pelaksanaan perlindungan anak memuaskan
diperlukan sekali kerjasama dan koordinasi dari kerjasama tersebut. Tanpa
adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antara yang bersangkutan dan
berkepentingan, maka kegiatan perlindungan anak akan dihambat
perkembangannya dengan akibat tambahan gangguan ketertiban, kemanan
dan pembangunan nasional.138
4. Masalah Jaminan Hukum
Undang-undang yang menyangkut kepentingan anak belum secara
tegas menyatakan bagaimana perlindungan anak itu dilaksanakan secara
konkrit dan apa akibatnya jika seseorang tidak melakukan perlindungan
anak. 139
Adapun kendala yang dihadapi Pihak sekolah terkait dengan upaya
perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami kekerasan dalam lembaga
pendidikan adalah sebagai berikut :
Pada Sekolah Dasar Negeri No. 117874 Kecamatan Kotapinang, kendala
yang dialami Pihak Sekolah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang
mengalami kekerasan dalam lembaga pendidikan adalah sering kali pihak orang
tua siswa baik siswa korban maupun siswa pelaku menyalahkan pihak sekolah
138 Ibid. 139
yaitu guru atas kejadian yang terjadi sehingga kedua orang tua tidak mau untuk
didamaikan.140
Pada Sekolah Dasar Negeri No.112227 Kecamatan Torgamba kendala
yang dialami oleh Pihak Sekolah adalah siswa yang mengalami kekerasan
seringkali mengadu secara langsung kepada orang tua tanpa terlebih dahulu
mengadukannya kepada guru dan karena hal tersebut orang tua siswa sering
menyalahkan Pihak Sekolah dan menganggap Pihak Sekolah tidak peduli kepada
anaknya.141
Pada Sekolah Dasar Negeri No. 117491 Kecamatan Sungai Kanan kendala
yang dialami oleh Pihak Sekolah adalah pihak orang tua korban dan pihak orang
tua pelaku sama-sama tidak mau diajak untuk berdamai. Pihak orang tua pelaku
tidak mau meminta maaf kepada pihak korban karena mereka merasa anaknya
tidak melakukan kesalahan. Sedangkan pihak orang tua korban bersikeras agar
anak yang melakukan tindak kekerasan tersebut dikeluarkan dari sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala sekolah dari tiga sekolah
dasar negeri yang berbeda kecamatan diketahui bahwa kendala yang dialami oleh
pihak sekolah dalam upaya perlindungan terhadap anak yang mengalami
kekerasan dalam lembaga pendidikan khususnya di lingkungan sekolah sulitnya
untuk menciptakan suasana damai diantara pihak anak pelaku dan pihak anak
sebagai korban. Di satu sisi anak sebagai pelaku harus dilindungi karena
bagaimanapun juga anak tersebut statusnya masih seorang siswa yang harus
140Hasil wawancara dengan Hj. Netty Ariani, S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri
No.117874 Kecamatan Kotapinang
141
mengejar dan meraih cita-citanya. Di satu sisi anak korban juga membutuhkan
perlindungan akibat dari perbuatan anak pelaku tersebut menimbulkan dampak
yang merugikan bagi anak sebagai korban.
D. Upaya Pencegahan Terjadinya Kekerasan terhadap Anak di Dalam Lembaga Pendidikan.
Kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan baik yang yang dilakukan
dalam lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan maupun negara dan
harus dilakukan upaya-upaya pencegahan. Meskipun demikian, kekerasan
terhadap anak tetap saja terjadi baik di ranah publik maupun domestik dalam
berbagai bentuknya.
Upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap anak diatur dalam Peraturan
Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 06 tahun 2011 Tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak
Di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan. Panduan
Pencegahan Kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan
lembaga pendidikan menjadi acuan dalam melaksanakan program pencegahan
kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga
pendidikan.142
Lembaga pendidikan dalam melaksanakan program panduan pencegahan
kekerasan ini dilakukan dengan mengintegrasikan pencegahan kekerasan terhadap
anak melalui mata pelajaran yang relevan dan ekstra kurikuler.143
142Pasal 6 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2011 Tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan
143
Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan lembaga
pendidikan meliputi 144:
a. Peningkatan pemahaman tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan
peserta didik tentang hak-hak anak dan kesetaraan gender ; dan
b. Pengembangan tata tertib peraturan sekolah yang ramah anak yang
berperspektif gender.
Output yang ingin dicapai dari pemahaman tenaga pendidikan, tenaga
kependidikan dan peserta didik tentang hak-hak dan kesetaraan gender adalah
Guru/pendidik/pengasuh dan peserta didik/anak asuh/santri memahami tentang
hak anak, anti kekerasan dan gender.Adapun Kegiatan dan pelaksananya
dituangkan dalam tabel sebagai berikut sebagai berikut :
Tabel 7
Kegiatan dan Pelaksana Pemahaman Tenaga Pendidikan, Tenaga Kependidikan dan Peserta Didik tentang Hak-Hak Anak dan Kesetaraan Gender
No. Kegiatan Pelaksana
1. Peningkatan pemahaman tentang
hak anak, anti kekerasan dan
gender kepada guru/ pendidik/
pengasuh .
Kementrian Pendidikan Nasional,
Kementrian Sosial, Kementrian
Agama, BKKBN, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Lembaga
Masyarakat dan Lembaga Swasta
2. Peningkatan pemahaman tentang Kementrian Peendidikan Nasional,
144
hak anak, anti kekerasan, dan
gender kepada peserta didik/anak
asuh/ santri
Kementrian Kesehatan,
Kementrian Sosial, Kementrian
Agama, BKKBN, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Lembaga
Masyarakat dan Lembaga swasta
3. Memantapkan pembentukan
kelompok sebaya (peer group)
dalam pencegahan kekerasan
terhadap anak di lembaga
pendidikan
Pemda Provinsi/Kab/ko, orsos,
Lembaga Masyarakat, Forum
Anak.
4. Mengitegrasikan program
pencegahan kekerasan terhadap
anak di lembaga pendidikan pada
wadah kegiatan yang telah ada
(Pramuka, UKS, Paskibra, PMR,
Kelompok Jurnalistik Sekolah dll
)
Polri, Kementrian Pendidikan
Nasional, Kementrian Kesehatan,
Kementrian Sosial, Kementrian
Agama, BKKBN, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Lemmbaga
Masyarakat dan Lemmbaga
Swasta, Kwarnas
5. Perbaikan kurikulum nasional
yang lebih reseponsif gender dan
responsif anak
Kementrian Pendidikan Nasional
dan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementrian Agama,
Kementrian Pemuda dan Olahraga
Output yang ingin dicapai melalui pengembangan tata tertib dan peraturan
sekolah yang ramah anak dan berperspektif gender adalah adanya adanya aturan
yang tersosialisasi tentang pencegahan kekerasan terhadap anak di lembaga
[image:37.595.128.518.277.646.2]pendidikan. Adapun bentuk kegiatan dan pelaksananya adalah sebagai berikut145 :
Tabel 8
Kegiatan dan Pelaksana Pengembangan Tata Tertib dan Peraturan Sekolah yang Ramah Anak dan Berperspektif Gender
No. Kegiatan Pelaksana
1. Advokasi penyusunan aturan
pencegahan kekerasan terhadap
anak di lembaga pendidikan
Dinas Pendidikan, Kantor Agama
Kab/kota
2. Sosialisasi peraturan pencegahan
kekerasan terhadap anak di
lembaga pendidikan
Dinas Pendidikan, Kantor Agama
Kab/Kota, Orsos, Lembaga
Masyarakat, Forum Anak
3. Memantapkan partisispasi anak
dalam menyusun dan
mengembangkan aturan
peencegahan kekerasan terhadap
anak di lembaga pendidikan
Dinas Pendidikan, Kantor Agama
Kab/kota, Orsos, Lembaga
Masyarakat, forum anak, unit yang
menangani PP dan PA
4. Sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan
perlindungan anak dan
kesetaraan gender
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2011 Tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan
145
Pada 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri di 3 (tiga) kecamatan yang berbeda di
Kabupaten Labuhanbatu Selatan hanya satu sekolah yang pernah mendapatkan
penyuluhan dari pemerintah daerah setempat tentang bahaya kekerasan terhadap
anak di lingkungan sekolah yaitu pada Sekolah Dasar Negeri Pada Sekolah Dasar
Negeri No. 117491 Kecamatan Sungai Kanan, penyuluhan tersebut dilakukan
setelah adanya kasus kekerasan seksual yang menimpa salah satu siswa pada
sekolah tersebut.
Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan juga dilakukan
oleh pihak sekolah seperti di Sekolah Dasar Negeri No. 117874 kecamatan
Kotapinang , pemberian pengetahuan tentang bahayanya tindak kekerasan
disampaikan melalui guru Agama pada saat jam pelajaran Pendidikan Agama.146
Pada Sekolah Dasar Negeri No.112227 Kecamatan Torgamba
upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam lembaga
pendidikan khususnya di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut147 :
a. Pihak sekolah membuat peraturan bahwa pada saat jam istirahat setiap
siswa tidak diperbolehkan untuk berada di kelas. Karena dikhawatirkan
tindak kekerasan dapat terjadi di dalam kelas pada saat siswa luput dari
pengawasan guru.
b. Meningkatkan nilai-nilai keagaamaan pada siswa melalui pelajaran agama
di sekolah, dengan diberikannya pendidikan agama yang baik maka akan
tercipta akhlak yang baik pula dalam diri siswa.
146
Hasil wawancara dengan Hj. Netty Ariani, S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri No.117874 Kecamatan Kotapinang.
147Hasil wawancara dengan Hj. Nurliani, S.Pd Kepala Sekolah SD Negeri No.112227
Pada Sekolah Dasar Negeri No.117491 Kecamatan Sungai Kanan, upaya
yang dilakukan oleh Pihak Sekolah untuk mencegah terjadinya kekerasan
terhadap anak dalam lembaga pendidikan khususnya di lingkungan sekolah adalah
:148
a. Meningkatkan pengawasan pada siswa, dengan cara mempekerjakan
seorang penjaga untuk mengawasi siswa yang suka bermain di halaman
belakang sekolah.
b. Memberikan bimbingan pada siswa melalui pelajaran agama.
148
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam pembahasan bab-bab
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendidikan di sekolah dasar merupakan lembaga yang dikelola dan diatur
oleh pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan yang diselenggarakan
secara formal yang berlangsung selama 6 tahun dari kelas 1 sampai kelas 6
untuk anak atau siswa-siswi di seluruh indonesia tentunya dengan maksud
dan tujuan yang tidak lain agar anak indonesia menjadi seorang individu
yang telah diamanatkan atau yang sudah dicita-citakan dalam
Undang-undang Dasar 1945.
Ruang Lingkup Terjadinya Kekerasan terhadap Anak dalam lembaga
Pendidikan Pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan
terdiri atas bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada anak, faktor-faktor
penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan dampak yang dialami anak
sebagai korban dan pelaku kekerasan dalam lembaga pendidikan.
a. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam Lembaga Pendidikan
pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan terdiri
dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual.
b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam Lembaga
Selatan terdiri dari faktor keluarga, faktor ekonomi dan faktor
lingkungan.
c. Dampak yang dialami anak yang mengalami kekerasan dalam
Lembaga Pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dapat berupa dampak fisik dan psikis yang
dialami anak sebagai korban dan dampak psikis yang dialami anak
sebagai pelaku.
2. Perlindungan Hukum terhadap anak baik sebagai korban maupun sebagai
pelaku kekerasan dalam lembaga pendidikan harus menjadi tanggung
jawab dan perhatian dari seluruh pihak, baik pihak sekolah, pemerintah,
aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemberian perlindungan hukum
ini tidak hanya mencakup mengenai pengaturan mengenai sanksi dalam
peraturan perundang-undangan tetapi bagaimana proses pemberian
perlindungan terhadap anak untuk mengatasi dampak-dampak dari
kekerasan yang mereka alami dan upaya-upaya yang dilakukan agar tindak
kekerasan tersebut tidak terjadi lagi dalam lembaga pendidikan khususnya
di lingkungan sekolah.Perlindungan Hukum terhadap Anak yang
mengalami kekerasan dalam lembaga pendidikan tertuang dalam ketentuan
Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Selain itu, Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , maka ketentuan
bertindak sebagai pelaku kekerasan. Melalui undang-undang ini
diharapkan anak didik pelaku kekerasan mendapatkan perlakuan yang
tepat sehingga mereka tidak perlu dikeluarkan dari sekolah, tetapi tidak
mengorbankan pihak lain, seperti anak korban, anggota masyarakat,
sekolah dan lingkungan sekolah itu sendiri Di kabupaten Labuhanbatu
Selatan sendiri perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami
kekerasan dalam lemaga pendidikan lebih mengupayakan perdamaian
antara pihak korban dan pihak pelaku dengan melakukan musyawarah dan
melaksanakan kaidah-kaidah sesuai dengan adat kebiasaan. Akan tetapi,
pada saat ini perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami
kekerasan dalam lembaga pendidikan di kabupaten labuhanbatu selatan
belum terlaksana secara efektif karena didapatinya hambatan-hambatan
dalam proses pelaksanaannya
B. Saran
Kekerasan dalam lembaga pendidikan khususnya di lingkungan sekolah
pada saat ini kerap menjadi perbincangan karena banyaknya kasus yang terjadi di
berbagai daerah . Kekerasan merupakan hal yang tidak sepatutnya terjadi di dalam
dunia pendidikan. Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam lembaga pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan pendidikan tanpa kekerasan harus dimulai dengan
cara sosialisai yang dilakukan oleh pihak pemerintah daerah setempat atau
dinas-dinas yang terkait.
2. Dibentuknya suatu lembaga perlindungan anak di kabupaten labuhanbatu
selatan agar suatu saat nanti ketika terjadi kasus yang menyangkut anak
pihak yang l