• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah Di Indonesia Analisis Meta Frontier

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah Di Indonesia Analisis Meta Frontier"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

MOHAMMAD JUNAEDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

EFISIENSI DAN KESENJANGAN TEKNOLOGI

USAHATANI PADI SAWAH DI INDONESIA:

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Efisiensi dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia: Analisis Meta-Frontier adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 23 Agustus 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

MOHAMMAD JUNAEDI. Efisiensi dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia: Analisis Meta-Frontier. Dibimbing oleh HENY K. S. DARYANTO, BONAR M. SINAGA dan SRI HARTOYO.

Karakteristik antarwilayah yang berbeda-beda menyebabkan penggunaan teknologi yang berbeda dalam usahatani padi sawah di Indonesia. Setiap wilayah akan menggunakan ukuran jumlah produksi maksimal (frontier) wilayah masing-masing sebagai acuan (benchmark) dalam mengukur efisiensi usahataninya. Adanya kesenjangan teknologi tersebut menyebabkan ukuran efisiensi masing-masing wilayah tidak dapat diperbandingkan sehingga memungkinkan terjadinya bias jika digunakan dalam penentuan kebijakan dalam skala yang lebih luas yang melibatkan antarwilayah. Salah satu bias yang mungkin terjadi adalah benarkah suatu wilayah sudah bisa dikatakan efisien dibandingkan wilayah lain jika menggunakan ukuran efisiensi yang tidak terbanding?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia dengan pendekatan fungsi produksi meta-frontier. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi dan menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah di Indonesia, (2) menganalisis kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia, serta (3) menganalisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani padi sawah di Indonesia.

Penelitian ini mengunakan data 4202 petani padi sawah pada 4 wilayah di Indonesia yang diperoleh dari Survei Struktur Ongkos Usahatani tahun 2011 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2011. Untuk menyelidiki bahwa ukuran tingkat efisiensi di 4 wilayah tersebut tidak bisa saling dibandingkan, maka pada penelitian ini digunakan analisis meta-frontier.

Secara umum semua koefisien variabel fungsi produksi sesuai harapan bernilai positif dan signifikan. Luas lahan (ha) di semua wilayah sangat dominan dalam memengaruhi produksi padi sawah, dibandingkan variabel tenaga kerja, dan pupuk. Kesepuluh variabel sosial ekonomi dalam penelitian ini berpengaruh beragam terhadap inefisiensi usahatani padi di setiap wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa mempertimbangkan aspek kesenjangan teknologi makadi semuawilayah bisadianggap efisienjika menggunakanbatasan minimal 70 persen, namun jika digunakan batas minimal 80 persen maka hanya wilayah Bali yang belum efisien dalam usahataninya. Jika menggunakan frontier lokal masing-masing wilayah sebagai acuan, secara rata-rata wilayah Sumatera merupakan wilayah yang paling efisien dengan nilai efisiensi teknis sebesar95.71 persen dan wilayah Bali merupakan wilayah paling tidak efisien dengan nilai efisiensi teknis sebesar78.47 persen.

(6)

padi potensial di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis (TE*) di semua wilayah setelah mempertimbangkan aspek kesenjangan teknologi menjadi lebih rendah dibandingkan nilai efisiensi teknis (TE) dengan acuan frontier masing-masing wilayah. Wilayah Sumatera efisiensi teknisnya turun menjadi sebesar 90.15 persen. Wilayah Jawa menjadi 84.76 persen dan wilayah Bali turun efisiensi teknisnya menjadi 65.76 persen. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk kebijakan di suatu wilayah diperlukan penjelasan khusus bahwa penggunaan ukuran efisiensi teknis yang didasarkan pada ukuran frontier suatu wilayah tidak dapat diperbandingkan dengan wilayah lain.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara alokatif rata-rata usahatani di seluruh wilayah di Indonesia (kecuali wilayah Bali) belum efisien secara alokatif, dan hal ini mengakibatkan usahatani di seluruh wilayah di Indonesia belum efisien secara ekonomi. Permasalahan rendahnya efisiensi ekonomi petani padi sawah di Indonesia juga bersumber dari kurang tepatnya alokasi penggunaan input sehingga menyebabkan total biaya yang mahal. Masalah rendahnya efisiensi ekonomi juga dipicu dari faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh petani, seperti harga input yang mahal dan harga gabah yang cenderung murah. Hal ini menyebabkan berkurangnya keuntungan petani, dan berkurangnya keuntungan petani akan mengurangi kesejahteraan petani yang diharapkan akan menjadi tulang punggung pasokan pangan nasional.

Peningkatan produktivitas usahatani padi sawah tetap perlu didorong karena ini merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani padi sawah. Peningkatan produktivitas bisa dicapai dengan cara penggunaan teknologi yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi. Karenanya untuk bisa mendorong besaran efisiensi ekonomi petani padi sawah di seluruh wilayah agar semakin meningkat, maka kebijakan yang bisa mendorong peningkatan besaran efisiensi alokatif perlu diprioritaskan dibandingkan kebijakan peningkatan besaran efisiensi teknis agar kebijakan yang diterapkan bisa efektif.

Kebijakan yang bisa meningkatkan besaran efisiensi alokatif adalah kebijakan peningkatan peran lembaga penyuluhan dalam meningkatkan kemampuan petani padi sawah agar lebih efisien dalam mengalokasikan penggunaan input-inputnya sesuai standar dan anjuran dalam berusahatani padi sawah. Peranan lembaga penyuluhan juga perlu ditingkatkan fungsinya agar tidak hanya fokus kepada aspek teknis usahatani, namun juga bisa berperan dalam penyebarluasan informasi terkait harga-harga, teknologi terkini yang tepat guna dan informasi pasar lainnya. Selain itu diperlukan penguatan kebijakan terkait perlindungan harga-harga input agar lebih terjangkau oleh petani dan pengamanan harga gabah agar - saat panen dan menjual gabahnya - petani tidak merugi dan mendapat insentif untuk tetap mau bertani. Jika petani sudah efisien dalam mengalokasikan inputnya sesuai standar anjuran dan harga input terkendali dengan baik, maka petani akan memperoleh produktivitas yang tinggi sehingga penerimaannya juga akan meningkat, sementara total biaya usahatani yang dikeluarkan juga akan menurun, dan hal ini pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan petani. Dengan adanya peningkatan keuntungan maka diharapkan akan terjadi peningkatan kesejahteraan petani.

(7)

SUMMARY

MOHAMMAD JUNAEDI. Efficiency and the Technology Gap of Wetland Rice Farming in Indonesia: Meta-Frontier Analysis. Supervised by HENY K. S. DARYANTO, BONAR M. SINAGA and SRI HARTOYO.

Diversity in characteristics among regions leads to the use of different technology in the wetland rice farming in Indonesia. Each region would use their own maximum production size (frontier) as a benchmark for assessing the efficiency of their agribusiness. The technological gap causes the efficiency assessment in each region to be impossible to compare, leading to a possibility of a bias if used in large-scale policy-making involving several regions. One of the biases that may occur is whether one region could really consider efficient compared to another region if the efficiency measurement used is not comparable. In general, this study aimed to analyze the efficiency and the technology gap in the wetland rice farming in Indonesia using the meta-frontier production function. Whereas specifically, this study aimed to: (1) identify the factors that influence the production level and analyze the technical efficiency of the wetland rice farming in Indonesia, (2) analyze the technological gap in the wetland rice farming in Indonesia, and (3) analyze the allocative and economic efficiency of the wetland rice farming in Indonesia.

This study used data from 4202 wetland rice farmers in 4 regions in Indonesia which were obtained from the 2011 Cost Structure of Food Crops Production Survey collected by the Central Bureau of Statistics (BPS-Statistics Indonesia) in 2011. To investigate whether the efficiency level assessment in the 4 regions was incomparable, this study employed the meta-frontier analysis.

In general, all the coefficients of the production function variables were positive and significant as expected. The farmland area in all regions was strongly dominant in influencing the wetland rice production compared to the labor and fertilizer variables. The ten socio-economic variables in this study had varying effects on the inefficiency of the wetland rice farming in each region. The results of this study demonstrated that if the technological gap aspect was not considered, all regions could be considered efficient when the limit was a minimum of 70 percent. However, if the limit was a minimum of 80 percent, only Bali was not efficient in its agribusiness. Using the local frontier for each region as a reference, the Sumatra region were in average the most efficient with a technical efficiency of 95.71 percent, whereas Bali was the most inefficient with a technical efficiency of 78.47 percent.

The average Technology Gap Ratio (TGR) varied between regions, from 83.83 percent in Bali to 94.19 percent in Sumatra. The average TGR in Sumatra proved that the technology gap there was the smallest, meaning that the use of technology in Sumatra was relatively better than in the other regions. On the other hand, the TGR in the region of Bali was 83.83 percent, which could be interpreted as the farmers in Bali with the existing technology in average produced 83.83 percent of the Indonesian rice production potential. The results of this study demonstrated that the technical efficiency (TE*) in all regions after considering the technology gap aspect became lower than the technical efficiency (TE) using

(8)

region decreased to 90.15 percent. Java became 84.76 percent and Bali’s technical

efficiency dropped to 65.76 percent. Based on these facts, in making policies for one region there needs to be additional explanation that the technical efficiency

assessment conducted based on one region’s frontier could not be compared to

with another region’s.

The results of the study demonstrated that in average the farmers in Indonesia were still allocatively inefficient because all regions had allocative

efficiency values of less than 70 percent, and this led to the farmers’ economic

inefficiency. The main issue in wetland rice farming in Indonesia was not the

farmers’ internal problems as they were relatively successful in handling managerial issues related to the technical efficiency of their agribusiness. The wetland rice farmers in Indonesia in fact had issues that originated from the outside that were out of their control, such as the high prices of input and the relatively low price of unmilled rice. These made the farmers inefficient in allocating their resources and input.

Increasing the productivity of wetland rice farming needs to be encouraged because it is one of the factors that could improve the wetland rice farmers’ welfare. Increasing the productivity could be done by applying better technology

and increasing efficiency. Therefore, to improve the wetland rice farmers’

economic efficiency in all regions, there needs to be policies that prioritize improvement in allocative efficiency above technical efficiency so that the applied polices could be effective.

Policies that could increase the amount of allocative efficiency is the policy of increasing the role of extension services in improving the ability of paddy rice farmers to be more efficient in allocating the use of the inputs according to the standard and suggestion in lowland rice farming. The role of the extension services also need to be improved functionalities to not only focus on the technical aspects of farming, but also can play a role in the dissemination of information related to prices, the latest technology that is appropriate and other market information. Besides the necessary strengthening polices that are related to the protection of the prices of input so that they are more affordable for the farmers and securing the price of unmilled rice so that the farmers are do not incur losses and receive incentive to continue farming. If farmers are efficient in allocating its inputs according to the standard advice and input prices under control, then the farmers will get high productivity so that revenues will also increase, while total farming costs incurred will also decrease, and it will ultimately improve farmers' profits. With an increase in profits, it is expected there will be an increase in the welfare of farmers.

(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

Judul

MOHAMMAD JUNAEDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

EFISIENSI DAN KESENJANGAN TEKNOLOGI

USAHATANI PADI SAWAH DI INDONESIA:

ANALISIS

META-FRONTIER

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi;

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr Alla Asmara, SPt. MSi;

Staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Komisi Promosi Luar pada Sidang Promosi Terbuka: 1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi;

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr Kadarmanto, MA;

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil‘alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan keharibaan ALLOH SWT yang maha segalanya, karena atas ridho dan rahmat-NYA sehingga disertasi ini berhasil penulis selesaikan. Disertasi ini berjudul “Efisiensi dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia: Analisis Meta-Frontier”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian Bogor. Penelitian mulai dilakukan sejak tahun 2012 mengunakan data 4202 petani padi sawah pada 4 wilayah di Indonesia yang diperoleh dari Survei Struktur Ongkos Usahatani tahun 2011 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2011.

Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian disertasi ini, di antaranya:

1. Jajaran pimpinan Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik Kota Medan yang telah memberikan izin dan kesempatan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

2. Istri tercinta Yanti Marlini, dan anak-anak tersayang Mentari Tatsbita Rusyda Junaedi, Muhammad Rafa Rizqullah Junaedi dan Muhammad Rafie Addien Junaedi yang dengan setia mendampingi dalam suka dan duka, serta dorongan semangat dan doa dari keluarga besar Achmad Syafi’i (alm) dan keluarga besar Untung Suyanto, juga mas Agus Abdurrachman Saleh dan mas Imam Rizqi.

3. Komisi pembimbing yang luar biasa, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, MEc atas bimbingan menyemangatkan dan menenangkan, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA atas petuah bijaknya dan juga Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS yang tak kenal lelah mendorong dan mendampingi agar tidak mudah menyerah. 4. Penguji luar komisi Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi. dan Dr. Alla Asmara, SPt.

MSi. serta anggota komisi promosi Dr. Kadarmanto, MA. yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan disertasi ini.

5. Sekolah pasca sarjana IPB beserta jajarannya yang telah membantu memfasilitasi studi penulis.

6. Sekretariat Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan kru yang selalu bersedia melayani dan direpotkan.

7. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya program Doktor angkatan 2011.

8. Dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut berkontribusi dalam penyelesaian penelitian ini.

Tak ada gading yang tak retak adalah ungkapan yang paling tepat bagi capaian penulisan disertasi ini, namun penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan banyak pihak.

Bogor, 23 Agustus 2016 Penulis,

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xx

DAFTAR ISTILAH xxi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 4

Tujuan 6

Kebaruan dan Keunggulan Penelitian 6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Beberapa Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Efisiensi 8

Pengaruh Lahan 8

Pengaruh Teknologi 9

Pengaruh Jenis Kelamin Petani 11

Pengaruh Pendidikan Petani 12

Pengaruh Lembaga Pendukung 13

Penelitian tentang Efisiensi dengan Analisis Meta-Frontier 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 15

Kerangka Pemikiran Teoritis 16

Konsep Produksi 16

Konsep Produktivitas dan Efisiensi 18

Konsep Efisiensi Berorientasi Input 19

Konsep Efisiensi Berorientasi Output 21

Konsep Fungsi Produksi Frontier 22

Konsep Fungsi Produksi Meta-Frontier dan Kesenjangan Teknologi 25

Kerangka Pemikiran Operasional 27

4 METODE PENELITIAN 29

Pewilayahan 29

Definisi dan Pengukuran Variabel 31

Metode Pengolahan dan Analisis 33

(18)

Fungsi Produksi Meta-Frontier 36

Efisiensi Teknis dan Kesenjangan Teknologi 37

Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Padi Sawah di

Indonesia 39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Karakteristik Petani dan Usahatani Padi Sawah 41

Analisis Produksi dan Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah di Indonesia 48

Pengujian Hipotesis 49

Efisiensi Teknis Wilayah Sumatera 56

Efisiensi Teknis Wilayah Jawa 59

Efisiensi Teknis Wilayah Bali 62

Analisis Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia 65

Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Padi Sawah di

Indonesia 67

Kinerja Usahatani Padi Sawah 69

6 SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 79

(19)

DAFTAR TABEL

1. Rumah tangga pertanian yang melakukan mutasi lahan tahun 2013 3

2. Jumlah observasi menurut wilayah 30

3. Definisi dan pengukuran variabel fungsi produksi 32

4. Definisi dan pengukuran variabel fungsi inefisiensi 33

5. Persentase petani padi sawah menurut luas lahan dan wilayah 41

6. Persentase petani padi sawah menurut kelompok umur dan wilayah 41

7. Persentase petani padi sawah menurut jenis kelamin dan wilayah 42

8. Persentase petani padi sawah menurut pendidikan dan wilayah 43

9. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah

menurut pembiayaan usahatani dan wilayah 43

10.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah menurut penggunaan alat bantu pengolahan lahan dan wilayah 44

11.Persentase petani dan rata-rata luas lahan padi sawah menurut perolehan

penyuluhan dan wilayah 45

12.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah

menurut bantuan usahatani dan wilayah 46

13.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah menurut keanggotaan kelompok tani dan wilayah 46

14.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah

menurut musim tanam dan wilayah 47

15.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan wilayah 47

16.Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah

menurut penggunaan benih dan wilayah 48

17.Produksi, produktivitas dan penggunaan input usahatani padi sawah

menurut wilayah 49

18.Fungsiproduksidaninefisiensiwilayah, pooled dan meta-frontier 51 19.Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah

menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Sumatera 57

20.Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Jawa 60

21.Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Bali 63

22.Efisiensi teknis dan kesenjangan teknologi usahatani padi sawah menurut

(20)

23.Jumlah dan persentase petani menurut rentang efisiensi alokatif dan

wilayah di Indonesia 67

24.Jumlah dan persentase petani menurut rentang efisiensi ekonomi dan

wilayah di Indonesia 68

25.Kinerja usahatani padi sawah menurut wilayah intensifikasi 70

DAFTAR GAMBAR

1. Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993 - 2015 (ton/ha) 2

2. Konsep efisiensi yang berorientasi input 19

3. Konsep efisiensi yang berorientasi output 21

4. Perbedaan fungsi produksi frontier dengan rata-rata 22

5. Ilustrasi fungsi produksi frontier 25

6. Ilustrasi fungsi froduksi meta-frontier dan individual frontier 26

7. Alur kerangka pemikiran 28

8. Peta Indonesia dikelompokan menurut wilayah penelitian 29

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penarikan Sampel 81

2. Penurunan Fungsi Biaya Dual Frontier 84

3. Uji Return to Scale 89

4. Syntax dan Output Program FRONTIER 4.1, Estimasi Fungsi Produksi

Frontier dan Efisiensi Teknis 90

(21)

DAFTAR ISTILAH

BPS Badan Pusat Statistik

Balitbangtan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Benih hibrida Padi hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan dari persilangan antara dua galur atau lebih tetua pembentuknya dan/atau galur/inbrida homozigot. Contohnya: Bernas Super, Bernas Prima, Sembada B3, SL 11 SHS

Benih unggul Padi Varietas Unggul (Non Hibrida) adalah varietas yang telah dilepas oleh pemerintah yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan/atau sifat-sifatnya. Contohnya : Memberamo, Mekongga, Ciherang, IR-64, Inpari, Inpara, Inpago.

Benih lokal Padi Varietas Lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara.

Efisiensi Alokatif Ukuran kemampuan perusahaan (petani) untuk menggunakan input dalam proporsi yang optimal dengan kondisi harga input tertentu dan teknologi yang ada.

Efisiensi Ekonomi Kombinasi dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif, yaitu ukuran kemampuan petani dalam menghasilkan output maksimum dengan alokasi input yang optimal (biaya minimal) pada kondisi input dan teknologi yang ada

Efisiensi Teknis Ukuran kemampuan perusahaan (petani) dalam menghasilkan output maksimum dengan sejumlah input tertentu dan teknologi yang ada.

Gurem Rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar.

IRRI International Rice Research Institute Kementan Kementerian Pertanian

Lahan Sawah Lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan) atau saluran untuk menahan atau menyalurkan air. Lahan sawah bisa berupa lahan sawah irigasi, tadah hujan, rawa pasang surut, rawa lebak.

Padi Sawah Padi yang ditanam di lahan sawah

PDB Produk Domestik Bruto

(22)
(23)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara umum kelangsungan hidup suatu bangsa sangat bergantung pada kecukupan pangan yang dihasilkan dari sektor pertanian terutama subsektor pertanian tanaman pangan. Sampai saat ini beras masih merupakan makanan pokok utama di Indonesia, walaupun di beberapa daerah ada penduduk yang mengonsumsi makanan pokok selain beras. Menurut Suswono1, menteri pertanian di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2012 tingkat ketergantungan masyarakat terhadap beras sangat tinggi, 95 persen rakyat Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Padahal, Indonesia memiliki 77 bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat sama atau lebih tinggi dibanding beras.

Saat ini Indonesia menghadapi hambatan/kendala teknis di sektor pertanian terutama yang terkait dengan sub sektor tanaman pangan yang bisa mengancam ketersediaan pangan nasional. Menurut BPS (2015) diantara kendala teknis tersebut adalah (1) banyaknya daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami kerusakan, (2) banyaknya kerusakan dan tidak terpeliharanya sarana irigasi, (3) semakin sempitnya kepemilikan lahan oleh petani tanaman pangan dan, (4) semakin maraknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan pertanian lain atau lahan non pertanian. Kecukupan pangan merupakan suatu keniscayaan, terlepas dari adanya masalah bagaimana cara mengatasi laju pertumbuhan penduduk yang menuntut ketersediaan pangan dan juga semakin berkurangnya lahan untuk pertanian tanaman pangan.

Melihat pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dan besarnya konsumsi beras di Indonesia, sementara pasar beras internasional kondisinya berupa thin market sebab negara produsen beras juga merupakan negara konsumen beras, maka Indonesia tidak bisa mengandalkan pemenuhan kebutuhan beras dari pasokanimporsaja,sehingga dalam hal inikebijakanswasembadadiiringidengan diversifikasi pangan merupakan alternatif penting. Swasembada pangan harus didukung dengan produktivitas yang tinggi, dan produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh efisiensi usahatani yang tinggi pula. Proses produksi dikatakan secara teknis tidak efisien (inefisien), karena ketidakberhasilan mewujudkan produktivitas maksimum, artinya penggunaan per unit paketinput (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimum (frontier). Masalah inefisiensi ini ditengarai menyebabkan rendahnya pendapatan dan kesejahteraan petani, karena menurut Saptana (2012)tingkatpencapaian efisiensi yangtinggi dalamusahatani sangatmenentukantingkatkesejahteraanpetani.

1

(24)

Secara umum produktivitas padi di Indonesia sejak tahun 1993 - 2015 cenderung meningkat seperti terlihat pada Gambar 1, walaupun pada tahun-tahun terakhir terlihat cenderung melandai (leveling off). Beberapa peneliti menganggap bahwa Perkembangan produktivitas padi sawah perhektar yang melambat menunjukkan bahwa produktivitas marjinal lahan sawah hampir maksimum

mendekati leveling off yang berarti seolah tidak ada lagi ruang untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan produktivitas masing-masing provinsi dikarenakan kondisinya telah efisien. Namun menurut Tinaprilla (2012), pelandaian produktivitas ditengarai lebih banyak disebabkan oleh faktor ketidakseimbangan hara dan menurunnya kandungan organik tanah sebagai dampak penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yang berlebihan, yang berarti masih terbuka peluang dengan menggunakan paket teknologi baru sehingga bisa mendongkrak pertumbuhan produktivitas dan sampai batas tertentu leveling off kembali diangkat dengan terobosan teknologi yang terus berkembang.

Ketersediaan pangan nasional bisa juga dipenuhi dengan menambah luas areal tanam. Namun untuk pertambahan luas areal tanam baru (ekstensifikasi) semakin sulit dilakukan disebabkan biaya pembukaan lahan sawah baru dan pembuatan atau rehabilitasi jaringan irigasi yang mahal (Tinaprilla 2012). Sementara itu, selama program diversifikasi pangan belum berhasil, maka kebutuhan akan ketersediaan beras sebagai makanan pokok tetap merupakan hal yang sangat penting. Solusi alternatif yang penting untuk diperhatikan agar tetap bisa menjamin ketersediaan beras adalah dengan meningkatkan produktivitas melalui intensifikasi atau perbaikan teknologi dan meningkatkan efisiensi usahatani padi.

Wilayah sentra produksi padi di Indonesia yang perlu menjadi perhatian dalam program intensifikasi adalah wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali. Menurut data BPS (2016a), sebanyak 58.18 juta ton dari 75.36 juta ton produksi padi nasional (77.2 persen) pada tahun 2015 dihasilkan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali. Pada wilayah-wilayah ini, tantangan untuk mempertahankan penggunaan lahan sawah semakin berat karena penggunaan lahannya bersaing dengan komoditas pertanian lain yang relatif lebih menguntungkan, ditambah lagi dengan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sebagai tuntutan industrialisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Menurut data

Sumber: diolah dari data BPS (2016a)

Gambar 1 Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993 - 2015

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

(25)

BPS (2014) seperti terlihat di Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 829 196 rumah tangga pertanian di Indonesia yang melakukan mutasi lahan, ada 268 164 rumah tangga (32.34 persen) diantaranya adalah pemilik lahan sawah yang menjual/menghibahkan sawahnya. Dari 268 164 rumah tangga tersebut, 83.3 persen berada di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali. Hal ini merupakan ancaman dan bisa menjadi permasalahan bagi pasokan pangan nasional terutama beras.

Sayangnya undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan peraturan pemerintah pendukungnya tidak sanggup melakukan pengendalian terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian (Kementan 2015). Sementara wilayah selain Sumatera, Jawa, dan Bali seperti wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kawasan timur Indonesia merupakan wilayah potensi untuk program ekstensifikasi, namun jika diterapkan program ekstensifikasi di wilayah ini juga menghadapi tantangan dengan besarnya biaya pembukaan lahan baru dan pembuatan/rehabilitasi jaringan irigasi, dan juga adanya trade off dengan lahan perkebunan yang lebih menjanjikan sebagai komoditi ekspor serta kepentingan untuk mempertahankan kelestarian hutan dalam rangka carbon trading.

Petani-petani dari wilayah berbeda, pulau berbeda ataupun negara yang berbeda akan menghadapi oportunitas produksi yang berbeda pula (O’Donnell et al. 2008). Secara teknis petani-petani tersebut akan membuat pilihan dari sekumpulan kombinasi input-output yang berbeda atau disebut juga sekumpulan teknologi yang berbeda karena perbedaan ketersediaan cadangan sumberdaya di wilayahnya. Perbedaan kondisi tingkat kesuburan tanah, kondisi cuaca, curah hujan, serangan hama pada wilayah yang berbeda akan memberikan pengaruh efisiensi usahatani yang berbeda pula di masing-masing wilayah. Demikian juga tingkat perekonomian, sarana prasarana, kualitas SDM dan tingkat pendidikan petani yang dapat memengaruhi aksesibilitas dan penguasaan teknologi juga akan berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tersebut (Chen dan Song 2006). Variasi antar wilayah yang berbeda dalam penggunaan input, teknik produksi, kondisi lingkungan dan lain-lain inilah yang disebut sebagai technology gaps atau kesenjangan teknologi (Villano et al. 2010). Variasi antar wilayah yang

(26)

disebabkan oleh indikasi adanya kesenjangan teknologi ini menyebabkan ukuran produksi maksimal (frontier) antar wilayah menjadi tidak dapat diperbandingkan satu sama lain karena masing-masing wilayah memiliki acuan (benchmark) yang berbeda-beda dan tidak dapat diperbandingkan. Berdasarkan masing-masing frontier produksinya, maka masing-masing wilayah bisa jadi merasa sudah mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, padahal jika dibandingkan dengan tingkat efisiensi di wilayah lain maka belum tentu wilayah tersebut sudah efisien. Hal ini akan memberikan hasil analisis dan simpulan yang bias, sehingga diperlukan sebuah metode yang bisa mengakomodasi adanya kesenjangan teknologi di masing-masing wilayah tersebut yaitu dengan pendekatan analisis Meta-Frontier (Battese dan Rao 2002; Chen dan Song 2006; Villano et al. 2010). Melihat kondisi dan fakta tersebut, maka sangat penting dilakukan penelitian tentang efisiensi usahatani padi pada cakupan yang lebih luas yang mempertimbangkan keterbandingan ukuran frontier antar wilayah, agar kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani dapat menjadi insentif bagi petani untuk tetap mau berusahatani padi sawah.

Permasalahan

Seiring dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industrialisasi, menyebabkan semakin berkurangnya lahan sawah sebagai modal utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi atau perluasan lahan sawah dirasakan semakin tidak efisien karena besarnya biaya pembukaan lahan baru dan pembuatan atau rehabilitasi jaringan irigasi. Walaupun secara teknis, kebutuhan pangan bisa diperoleh dengan melakukan impor, namun melihat jumlah beras yang diperdagangkan secara global tidak mencukupi, maka Indonesia tidak bisa mengandalkan pemenuhan ketersediaan beras dari pasokan impor semata. Sementara ketergantungan impor juga dianggap tidak sejalan dengan tujuan kemandirian pangan. Oleh sebab itu, usaha untuk meningkatkan produktivitas padi tidak lagi difokuskan dengan melakukan ekstensifikasi, tetapi dengan cara intensifikasi, yaitu dengan penggunaan teknologi yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi usahatani.

Secara umum produktivitas padi sawah di Indonesia sejak tahun 1993 - 2015 meningkat seperti ditunjukkan sebelumnya pada Gambar 1, walaupun pada tahun-tahun terakhir terlihat cenderung melandai (leveling off). Pelandaian produktivitas ditengarai lebih banyak disebabkan oleh faktor ketidakseimbangan hara dan menurunnya kandungan organik tanah sebagai dampak penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yang berlebihan. Produktivitas yang ada saat ini masih di bawah produktivitas padi hasil penelitian beberapa varietas unggul padi. Hasil penelitian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi2, puslitbangtan Kementerian Pertanian, padi hibrida dengan varietas “Hipa Jatim β” secara rata-rata bisa

2

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, puslitbangtan Kementan.

(27)

menghasilkan 9.3 ton/ha gabah kering giling (GKG) dengan potensi hasil mencapai 10.9 ton/ha GKG pada musim kemarau dan 10.7 ton/ha GKG pada musim hujan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan efisiensi dan penggunaan teknologi yang lebih baik dalam usahatani padi sawah.

Banyak faktor yang bisa mendukung kelangsungan usahatani, mulai dari peran pembiayaan yang sangat penting dalam mendukung kelangsungan usahatani terutama dalam pengadaan input produksi mulai dari sewa lahan, pembelian benih, pupuk, obat-obatan hingga upah tenaga kerja. Menurut data BPS (2011), sebanyak 81.95 persen petani tanaman pangan menggunakan biaya sendiri dalam usahataninya, hanya 5.48 persen petani tanaman pangan yang semua biaya usahataninya tidak menggunakan biaya sendiri dalam usahataninya, dan sisanya sebagian pembiayaannya berasal dari pihak lain (rentenir, bank, BPR, koperasi, lembaga keuangan lainnya). Tiga alasan utama yang menyebabkan petani tidak mau meminjam dari bank untuk usahataninya adalah tidak punya agunan (20.17 persen), proses berbelit-belit (19.82 persen), dan tidak tahu prosedur (17.81 persen). Hal ini menunjukkan bahwa petani mengalami kendala dalam akses pembiayaan usahataninya, dan kendala akses pembiayaan diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya inefisiensi usahatani.

Sejalan dengan perkembangan teknologi pertanian, pengetahuan dalam pengelolaan usahatani sangat penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Namun fakta bahwa sekitar 75 persen petani tanaman pangan hanya berpendidikan maksimal tamat SD, diduga menjadi kendala dalam proses adopsi teknologi pertanian. Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga memegang peranan penting dalam menjembatani proses adopsi teknologi dan meningkatkan efisiensi usahatani. Dari seluruh petani tanaman pangan, 60.82 persen di antaranya tidak memperoleh penyuluhan/bimbingan mengenai pengelolaan usahatani (BPS 2011). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh faktor-faktor tersebut memengaruhi efisiensi dalam usahatani padi sawah di Indonesia?

Penelitian tentang efisiensi usahatani padi dengan menggunakan fungsi produksi frontier dan menggunakan data di tingkat petani, sudah banyak dilakukan di banyak negara. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) pernah melakukan kajian dan kritikan terhadap 30 penelitian dari 14 negara yang semuanya meneliti efisiensi teknis dengan menggunakan fungsi produksi frontier.Penelitian tentang efisiensi usahatani padi di Indonesia di antaranya adalah penelitian Daryanto (2000) yang meneliti bagaimana dan faktor apa saja yang memengaruhi efisiensi teknis usahatani padi dari 1 879 petani di Provinsi Jawa Barat yang dibedakan ke dalam empat jenis teknik irigasi pada tiga musim tanam yang berbeda di tahun 1995. Penelitian lainnya dilakukan oleh Tinaprilla (2012) yang mengkaji bagaimana efisiensi teknis, efisiensi alokasi dan efisiensi ekonomi usahatani padi dari 592 observasi di 5 provinsi di Indonesia. Namun efisiensi teknis untuk meta-frontier (71.16 persen) yang diperoleh dari penelitian tersebut nilainya lebih kecil dibandingkan efisiensi teknis dari fungsi frontier provinsi Sumatera Utara (73.56 persen) dan provinsi Jawa Timur (72.89 persen), sehingga memungkinkan bahwa kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diambil menjadi bias.

(28)

apa saja yang memengaruhi tingkat produksi dan efisiensi teknis usahatani padi sawah pada 4 wilayah di Indonesia? (2) bagaimana potensi efisiensi teknis usahatani maksimum nasional (meta-frontier) dan bagaimana kondisi efisiensi teknis masing-masing wilayah dengan pertimbangan potensi efisiensi maksimum nasional? dan (3) bagaimana efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi pada wilayah-wilayah tersebut?

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia dengan pendekatan fungsi produksi meta-frontier. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi dan

menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah di Indonesia.

2. Menganalisis kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia. 3. Menganalisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani padi sawah di

Indonesia.

Penggunaan analisis meta-frontier bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk menilai potensi hasil yang akan diperoleh dari suatu kebijakan ataupun program yang diimplementasikan secara lebih baik (O’Donnell et al. 2008), sehingga penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah dalam merumuskan strategi khususnya kebijakan intensifikasi dengan sasaran meningkatkan teknologi dan adopsinya, meningkatkan efisiensi dan produktivitas padi sawah sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Hasil analisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi juga bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan terkait dengan harga input dan harga output, serta kebijakan perlindungan petani padi sawah.

Kebaruan dan Keunggulan Penelitian

(29)

sawah dari 148 kabupaten yang tersebar di 13 provinsi sentra produksi padi sawah di Indonesia yang dikelompokkan menjadi 4 wilayah. Metode yang digunakan pada penelitian ini mampu mengoreksi penelitian terdahulu, karena metode pada penelitian ini bisa menjamin estimasi fungsi produksi meta-frontier bisa melingkupifungsi-fungsi produksi frontier masing-masing kelompokwilayah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

1. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Survei Struktur Ongkos Usahatani-Tanaman Pangan (SOUT-TP) tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Jumlah data yang diolah bersumber dari 4202 responden petani padi sawah dari 148 kabupaten yang tersebar di 13 provinsi sentra produksi padi sawah, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sesuai dengan titik berat penelitian terkait dengan wilayah program intensifikasi, maka wilayah penelitian dikelompokkan menjadi wilayah Sumatera, wilayah Jawa, wilayah Bali dan wilayah Lainnya.

2. Jenis tanaman pangan yang dicakup dalam penelitian ini hanya padi sawah. 3. Beberapa variabel yang bersumber dari data hasil survei Struktur Ongkos

Usahatani-Tanaman Pangan (SOUT-TP) tahun 2011 pada penelitian ini tidak dapat digunakan sebagaimana diharapkan, diantaranya adalah variabel tenaga kerja yang tidak bisa disajikan menurut jenis kelamin, variabel pupuk tidak bisa disajikan menurut jenis pupuk yang digunakan, dan variabel benih hanya bisa digunakan dalam bentuk variabel dummy. Variabel penting lain seperti teknik irigasi juga tidak tersedia pada data SOUT-TP 2011.

2 TINJAUAN PUSTAKA

(30)

terkait faktor-faktor yang dapat memengaruhi produksi dan tingkat efisiensi, akan diulas secara singkat pada subbab berikut.

Beberapa Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Efisiensi

Pengaruh Lahan

Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa semakin luas lahan yang digunakan untuk usahatani, maka semakin besar pula produksinya. Dari hasil penelitian terdahulu, faktor luas lahan merupakan faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap jumlah produksi dibandingkan faktor produksi lainnya, karenanya seringkali luas lahan digunakan sebagai ukuran usahatani (farm size). Penelitian Okoruwa et al. (2006) tentang efisiensi teknis produksi padi varietas tradisional dan varietas unggul di Niger State Nigeria membuktikan bahwa faktor yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi adalah perluasan lahan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Ogundele dan Okoruwa (2006) di Nigeria tentang efisiensi teknis pada usahatani padi dengan varietas baru dan varietas tradisional, membuktikan bahwa perluasan lahan merupakan faktor utama dalam peningkatan produksi padi. Bukti lain juga ditunjukkan oleh Harianto dan Susila (2008) bahwa luas lahan memberikan kontribusi paling besar terhadap peningkatan produksi yaitu setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar 1 persen akan berpengaruh pada peningkatan hasil produksi sebesar 0.8799 persen. Demikian halnya pengaruh luas lahan terhadap produksi padi dalam penelitian Tinaprilla (2012), variabel lahan signifikan terhadap produksi pada

taraf α=5 persen, dugaan parameter lahan bernilai paling besar (+0.985) dibandingkan dengan variabel lain.

Secara umum, semakin luas ukuran lahan yang digunakan dalam usahatani maka produksi akan semakin meningkat. Namun peningkatan luas lahan belum tentu meningkatkan produktivitas. Beberapa peneliti mendukung hipotesis bahwa semakin kecil ukuran usahatani (luas lahan garapan semakin sempit) maka akan semakin efisien usahataninya. Hasil penelitian Daryanto (2000) di provinsi Jawa Barat pada beberapa kasus menunjukkan bahwa petani dengan luas lahan sempit lebih efisien dibandingkan petani dengan lahan yang luas. Beberapa argumen mengapa petani dengan lahan sempit dianggap lebih efisien dibandingkan petani berlahan luas adalah karena petani berlahan sempit cukup menggunakan tenaga kerja tak dibayar (pekerja keluarga), sehingga dapat mengurangi ongkos usahataninya. Sementara bagi petani dengan lahan yang luas, maka harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk membayar tenaga kerja upahan. Petani lahan sempit juga tidak perlu khawatir dengan kinerja pekerja keluarga dalam mengelola usahataninya, karena pekerja keluarga lebih termotivasi untuk memperoleh hasil yang optimal jika dibandingkan menggunakan pekerja dibayar, sehingga pekerja keluarga lebih optimal dalam menggunakan waktu dan kualitas hasil pekerjaannya lebih terjamin.

(31)

terhadap usahatani dengan luas tanam yang lebih besar cenderung lebih efisien dibanding usahatani dengan luas tanam yang lebih sempit, karena dengan luas tanam yang lebih besar maka semakin besar kemungkinan untuk kesempatan menggunakan teknologi modern seperti penggunaan traktor dan sistem irigasi dengan lebih baik, karenanya petani dengan luas tanam yang lebih besar bisa lebih efisien. Sementara dari penelitian yang lain menganggap bahwa petani-petani dengan lahan sempit justru bisa lebih efisien dengan alasan bahwa petani kecil bisa lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya terbatas yang tersedia untuk kelangsungan hidup rumah tangga petani karena tekanan ekonomi.

Kepemilikan lahan merupakan faktor lain yang memengaruhi tingkat efisiensi dan produksi pertanian. Penelitian Rahman dan Umar (2009) di Lafia, Nasarawa State Nigeria, yang meneliti efisiensi teknis dan faktor-faktor yang memengaruhinya dengan menggunakan model Stochastic Frontier Production Function, menunjukkan bahwa kepemilikan lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis, artinya lahan milik sendiri dianggap lebih produktif dan lebih efisien dibandingkan status lahan lainnya seperti lahan sewa, lahan bebas sewa dan lainnya. Hal ini bisa dimengerti karena mengelola lahan milik sendiri tentunya akan memotivasi pemilik lahan untuk menghasilkan produksi yang lebih banyak dengan tetap mempertimbangkan kualitas lahan. Pada beberapa kasus, status kepemilikan lahan sewa justru memberikan hasil panen yang lebih banyak dibandingkan lahan milik sendiri, karena penyewa lahan lebih cenderung mengeksploitasi lahan tersebut dengan harapan hasil yang lebih banyak dalam jangka pendek. Bentuk eksploitasi bisa berupa penggunaan pupuk yang berlebihan atau pemberikan pestisida yang tidak sesuai aturan. Dalam jangka pendek mungkin akan diperoleh hasil yang lebih banyak, namun dalam jangka panjang eksploitasi ini justru akan merusak tingkat kesuburan tanah dan lingkungan sekitarnya yang akan berdampak pada menurunnya produksi pertanian. Salah satunya adalah penelitian Rios dan Shively (2005) tentang efisiensi teknis petani kopi di Vietnam yang hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan lahan tidak berkorelasi secara kuat terhadap tingkat efisiensi teknis.

Pengaruh Teknologi

Sumber-sumber kemajuan teknologi paling tidak berasal dari tiga hal yakni; (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia sebagai dampak dari mengikuti pendidikan, pelatihan, atau penyuluhan (2) penggunaan alat/mesin yang lebih efisien dan produktif, dan (3) perbaikan teknik produksi atau teknik budidaya (Tinaprilla 2012). Dari sumber-sumber kemajuan teknologi tersebut, maka faktor-faktor yang dikategorikan teknologi dalam usahatani meliputi tingkat pendidikan petani, pengalaman dalam usahatani, penggunaan alat atau mesin seperti traktor untuk pembajakan, traktor penanaman, traktor pemanenan, alat perontok gabah, kemudian benih unggul, pupuk, pestisida, teknik penanaman seperti teknik jajar legowo, teknik irigasi dan lain-lain. Menurut Kokkinou (2012), dalam teori ekonomi produksi faktor-faktor inilah yang disebut sebagai faktor teknologi yang dapat meningkatkan produksi pada saat jumlah inputnya tetap.

(32)

2009). Efisiensi secara teknologi oleh Breustedt et al. (2009) didefinisikan sebagai berikut: (1) sebuah perusahaan atau petani yang berorientasi output dikatakan efisien secara teknologi jika petani tersebut menggunakan teknologi selain teknologi yang sudah ada yang memungkinkan untuk memperoleh kemungkinan output tertinggi (frontier) dengan menggunakan sekumpulan kombinasi input yang tersedia, atau dalam analisis efisiensi, petani tersebut menggunakan teknologi untuk mendapatkan output frontier tertinggi dengan menggunakan sejumlah kombinasi input yang tersedia, atau (2) seorang petani yang berorientasi input dikatakan efisien secara teknologi jika petani tersebut menggunakan teknologi selain teknologi yang sudah ada yang memungkinkan untuk menggunakan sekumpulan input seminimal mungkin untuk memperoleh sejumlah output tertentu. Tentunya seorang petani bisa jadi efisien secara teknologi dengan berorientasi input, namun tidak efisien secara teknologi dengan berorientasi output, dan sebaliknya. Hal ini memunculkan pertanyaan, orientasi yang manakah yang paling tepat digunakan? Menurut Coelli et al. (2005), seseorang harus memilih orientasi yang tepat didasarkan pada yang mana di antara input atau output yang jumlahnya terkontrol. Misalnya, sebuah perusahaan pembangkit tenaga listrik yang sudah mengetahui berapa kebutuhan listrik yang harus dipenuhi, maka perusahaan tersebut tentunya akan berorientasi input yaitu dengan menggunakan seminimal mungkin inputnya untuk memenuhi sejumlah kebutuhan listrik tertentu. Demikian halnya seorang petani yang memiliki sejumlah input yang terbatas karena keterbatasan anggaran seperti yang dialami oleh sebagian besar petani gurem di Indonesia, tentu akan berorientasi input juga, yaitu bagaimana sebisa mungkin memproduksi hasil pertanian pada jumlah tertentu dengan mengalokasikan sejumlah input yang terbatas tersebut, yaitu dengan meminimumkan biayanya.

(33)

teknis, yang menyiratkan bahwa perlunya dukungan dari lembaga pemasok kredit pertanian dalam memberi dukungan pemodalan bagi petani.

Aspek lain terkait penggunaan teknologi yang disampaikan Sinaga dan Sinaga (1978) pada komentarnya terhadap tulisan Ranade dan Herdt (1978) yang menyimpulkan bahwa teknologi seperti penggunaan traktor dan mesin perontok gabah justru dapat mengurangi kesempatan kerja buruh tani, walaupun pemilik mendapatkan keuntungan dengan penggunaan teknologi tersebut. Melihat fenomena ini, maka perlu diperhatikan adanya trade-off antara penggunaan teknologi dengan penggunaan tenaga kerja dikaitkan dengan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan di perdesaan.

Penggunaan teknologi bisa berpengaruh terhadap penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usahatani. Misalnya, dibandingkan penggunaan pupuk anorganik, petani yang menggunakan pupuk organik akan membutuhkan pupuk dalam jumlah dan frekuensi yang lebih banyak, tentunya memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak atau waktu yang lebih lama baik dalam kegiatan pemupukan ataupun dalam kegiatan pembersihan tanaman penggangu yang juga turut tumbuh subur sebagai dampak sampingan dari pemupukan, sehingga bisa dikatakan usahatani ini bersifat labor intensif (menggunakan tenaga kerja lebih banyak). Sebaliknya, penggunaan pupuk anorganik (pupuk kimia) relatif lebih capital intensif (lebih banyak biaya tapi lebih sedikit tenaga kerja yang digunakan), karena jumlah pupuk dan frekuensi pemupukan tidak sebanyak penggunaan pupuk organik.

Pengaruh Jenis Kelamin Petani

Penelitian terkait dengan pengaruh jenis kelamin petani terhadap produksi dan efisiensi pernah dilakukan oleh Yiadom-Boakye et al. (2013) di wilayah Ashanti-Ghana untuk menguji perbedaan dalam penggunaan sumber daya dan efisiensi teknis usahatani padi antara petani laki-laki dan petani perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa petani laki-laki relatif lebih efisien secara teknis (rata-rata efisiensi teknis 30.8 persen dengan kisaran 2% - 85%) dibandingkan petani perempuan (rata-rata efisiensi teknis 16.5 persen dengan kisaran 2%- 66%). Karena di Ghana petani perempuan memberikan kontribusi sebesar 60 persen terhadap penyediaan pangan domestik, maka Yiadom-Boakye et al. (2013) menyarankan perlunya upaya-upaya pengembangan kapasitas petani perempuan di Ghana agar lebih berproduksi secara efisien.

(34)

efisiensi. Sebelumnya Oladeebo dan Fajuyigbe (2007) meneliti efisiensi teknis produksi padi ladang pada 100 petani laki-laki dan perempuan di Osun State-Nigeria dengan menggunakan analisis fungsi produksi stochastic frontier. Hasilnya menunjukkan bahwa petani perempuan lebih efisien secara teknis dibandingkan petani laki-laki dengan rata-rata indeks efisiensi teknis 0.904 untuk petani perempuan dan 0.897 untuk petani laki-laki.

Ojehomon et al. (2013) mengestimasi faktor-faktor yang menentukan efisiensi teknik penggunaan varietas padi baru (new rice for Africa-NERICA) di Ekiti State-Nigeria terhadap 315 responden petani yang hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis untuk petani wanita sebesar 71 persen dan petani laki-laki sebesar 84 persen. Melihat rata-rata efisiensi teknis petani wanita yang lebih rendah, Ojehomon et al. (2013) merekomendasikan perlunya dorongan terhadap petani wanita agar menanam varietas baru tersebut dan diberikan fasilitas kredit serta jaminan hak kepemilikan tanah.

Di Indonesia, Harianto dan Susila (2008) menunjukkan aspek lain dari penggunaan tenaga kerja menurut jenis kelamin. Pembedaan menurut jenis kelamin didasari pemikiran bahwa penggunaan tenaga kerja laki-laki dan perempuan tidak dapat bersubstitusi secara sempurna. Beberapa pekerjaan dalam usahatani hanya bisa dilakukan oleh laki-laki seperti pencangkulan, pembajakan sawah dan penyemprotan hama, namun pekerjaan lain seperti penanaman, penyiangan justru lebih sering dilakukan oleh perempuan. Hasil penelitian menyatakan bahwa untuk kasus di provinsi Jawa Barat, penggunaan tenaga kerja perempuan yang berlebihan sebagai akibat terbatasnya kesempatan kerja bagi perempuan di perdesaan justru menyebabkan penurunan tingkat produksi. Sehingga Harianto dan Susila (2008) merekomendasikan perlunya peningkatan kesempatan kerja di perdesaan yang lebih diprioritaskan untuk menyerap tenaga kerja perempuan.

Pengaruh Pendidikan Petani

(35)

berfikir, adaptif, inisiatif, lebih risk taker, serta meningkatkan rasa ingin tahu dan mencoba hal-hal yang baru.

Pendidikan dapat diperoleh secara internal di dalam rumahtangga atau secara ekternal seperti sekolah atau lembaga pendidikan formal dan informal lainnya. Asadullah dan Rahman (2005) menganalisis peran pendidikan terhadap peningkatan produksi padi di Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan internal dalam rumahtangga dapat menurunkan inefisiensi secara signifikan sehingga akhirnya dapat mendorong produksi dan meningkatkan produktivitas. Penelitian Oladeebo dan Fajuyigbe (2007) di Osun State-Nigeria juga membuktikan bahwa lamanya pendidikan petani berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis. Penelitian lain yang mendukung bahwa pendidikan petani berpengaruh signifikan dan positif terhadap efisiensi usahatani adalah penelitian Rachmina dan Maryono (2008), Kolawole (2009) dan Suharyanto et al. (2013).

Pengaruh Lembaga Pendukung

Pemberdayaan kelembagaan dan dukungan pembiayaan dalam usahatani merupakan salah satu dari empat strategi paket kebijakan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2007 dalam rangka meningkatkan produksi padi nasional. Beberapa program penunjang yang melengkapi paket kebijakan ini adalah pemberdayaan kelompok tani dan penyuluhan pertanian (PPL), bantuan peralatan melalui berbagai skim pembiayaan pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) dan Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP). Berbagai skim kredit ini bertujuan untuk mendorong petani agar dapat meningkatkan produksinya sehingga mampu meningkatkan pendapatannya.

Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa lembaga pendukung dalam pengelolaan usahatani seperti lembaga keuangan baik bank maupun non bank, formal maupun non formal, lembaga pemasaran, penyedia input dan mesin, lembaga penyuluhan, lembaga riset, koperasi, dan kelompok tani, sangat dibutuhkan dalam usahatani. Terlebih lembaga keuangan dan lembaga penyuluhan, karena kedekatan dan kemudahan akses terhadap lembaga-lembaga ini akan meningkatkan efisiensi usahatani.

(36)

Penelitian tentang Efisiensi dengan Analisis Meta-Frontier

Penggunaan istilah Meta-Frontier digunakan pertama kali oleh Battese dan Rao (2002) didasarkan pada penelitian Hayami dan Ruttan (1969) yang menggunakan istilah Meta-Production sebagai istilah amplop (envelope) yang melingkupi semua fungsi produksi neo-klasik yang ada. Battese dan Rao (2002) menggunakan fungsi stokastik meta-frontier untuk menyelidiki efisiensi teknis perusahaan dalam kelompok yang berbeda yang mungkin tidak memiliki teknologi yang sama. Penelitian tersebut mengkaji bagaimana kesenjangan teknologi dan rasio efisiensi teknis bagi perusahaan-perusahaan pada suatu kelompok relatif terhadap praktek terbaik (best practice) di industri. Terkait dengan penelitian ini, maka fungsi meta-frontier digunakan untuk menyelidiki efisiensi teknis usahatani padi sawah di suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki teknologi yang berbeda dan juga dibandingkan dengan tingkat nasional (meta-frontier).

Penelitian tentang efisiensi usahatani dengan menggunakan analisis meta-frontier sudah banyak dilakukan di negara lain. Beberapa di antaranya adalah penelitian Rao et al. (2003) yang meneliti bagaimana mengestimasi fungsi meta-frontier data produktivitas sektor pertanian antar wilayah dan kelompok wilayah pada lintas negara dengan menggunakan non-parametric data envelopment analysis (DEA) dan parametric framework of stochastic frontier analysis (SFA).

Nkamleu et al. (2006) meneliti bagaimana produktivitas pertanian di benua Afrika pada tahun 1971-2000 dengan menggunakan teknik fungsi metafrontier, dengan tujuan untuk mempelajari perbedaan dalam efisiensi dan kesenjangan teknologi di berbagai wilayah di benua Afrika. Hasil penelitiannya mendukung pandangan bahwa kesenjangan teknologi (technology gap) memainkan peran penting dalam menjelaskan kemampuan sektor pertanian pada suatu kawasan untuk bersaing dengan sektor pertanian di berbagai wilayah lain di Afrika. Penelitian tersebut juga telah membuktikan bahwa rata-rata efisiensi teknis dari sektor pertanian telah hampir stabil dari waktu ke waktu, dan terjadi penurunan marjinal potensi produktivitas selama periode 30 tahun pengamatan.

Boshrabadi et al. (2007) meneliti bagaimana efisiensi teknis dan perbedaan tiga varietas kacang Pistachio di Iran. Selain meneliti produksi stokastik frontier dengan pooled data, kemudian produksi stokastik frontier masing-masing varietas, juga diteliti bagaimana produksi stokastik meta-frontier dari ketiga varietas kacang tersebut. Dengan menggunakan cara tersebut, skor efisiensi teknis bisa dikoreksi dengan menggunakan variety-technology gap ratio (VTGR). Hasilnya menunjukkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis pada tahun 2003 dan 2004 untuk pooled Frontier sebesar 54 persen, frontier untuk kelompok 55 persen dan meta-frontier di seluruh data sebesar 62 persen. Hasil ini menunjukkan pentingnya memperhitungkan perbedaan dalam fungsi produksi frontier yang dikenakan untuk varietas kacang yang berbeda, karena dengan ketiga cara tersebut menunjukkan hasil yang berbeda.

(37)

teknologi konservasi lahan dan sekelompok plot tanpa konservasi lahan. Hasilnya adalah plot dengan konservasi lahan yang ditemukan menjadi lebih efisien secara teknis daripada plot tanpa konservasi. Estimasi meta-frontier menunjukkan bahwa konservasi lahan mampu meningkatkan posisi teknologi daripada plot alami.

Penelitian dengan menggunakan analisis meta-frontier di Indonesia pernah dilakukan oleh Tinaprilla (2012) yang meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi, efisiensi teknis dan faktor-faktor yang memengaruhinya dan bagaimana efisiensi alokasi dan efisiensi ekonomi usahatani padi. Penelitiannya dilakukan dengan menggunakan data PATANAS tahun 2010 dengan basis komoditas padi di lima provinsi sentra dengan 592 observasi. Namun nilai efisiensi teknis untuk meta-frontier yang diperoleh dari penelitian tersebut bernilai lebih kecil dibandingkan efisiensi teknis dari beberapa fungsi frontier wilayah, sehingga memungkinkan bahwa kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diambil menjadi bias. Wilayah paling efisien secara teknis pada penelitian Tinaprilla (2012) dicapai oleh provinsi Sumatera Utara (73.56 persen), kemudian provinsi Jawa Timur (72.89 persen), provinsi Jawa Tengah (70.91 persen), Jawa Barat (69.70 persen), dan terakhir provinsi Sulawesi Selatan (69.36 persen). Sementara efisiensi teknis meta-frontier bernilai 71.16 persen yang lebih rendah dibandingkan provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur.Mengutip kalimat Battese et al. (2004):

“...The metafrontier production function is thus defined as a deterministic parametric function (of specified functional form) such

that its values are no smaller than the deterministic components of the stochastic frontier production functions of the different groups

involved, for all groups and time periods....”

yang menegaskan bahwa seharusnya nilai efisiensi teknis fungsi meta-frontier tidak boleh lebih kecil dari nilai-nilai fungsi frontier, karena fungsi meta-frontier seharusnya melingkupi semua fungsi frontier. Untuk dapatmenjamin agar fungsi estimasi meta-frontier bisa melingkupi fungsi-fungsi frontier setiap wilayah, maka pada penelitian ini mengintegrasikan teknik linear programming seperti dalampenelitian Battese et al. (2004) danO’Donnell et al. (2008).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

(38)

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Produksi

Produksi adalah proses transformasi dari bahan input atau sumber daya menjadi output atau komoditas, atau proses kombinasi dan koordinasi material-material dan kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumber daya atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang atau jasa (output, produk atau komoditas). Fungsi produksi adalah deskripsi matematis atau kuantitatif yang menggambarkan hubungan teknis dari proses transformasi dari bahan input menjadi output (Debertin 2012).

Persamaan matematis bentuk umum dari fungsi produksi dengan satu input adalah:

( 1 y = f(x) ... ( 1 )

dengan y adalah output produksi, x adalah input produksi dan f(.) adalah bentuk fungsional dari fungsi produksi. Fungsi tersebut adalah bentuk paling sederhana dari fungsi produksi yang untuk menghasilkan sebuah output hanya menggunakan satu input. Untuk fungsi produksi di bidang pertanian umumnya melibatkan lebih dari satu input. Input yang digunakan dalam proses produksi dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu input variabel dan input tetap. Input variabel adalah input yang jumlahnya berubah jika outputnya berubah (dalam periode tertentu) dan petani dapat mengendalikan jumlah penggunaanya, misalnya petani dapat mengontrol jumlah pupuk yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat produksi padi yang diinginkan, sehingga pupuk dianggap sebagai input variabel. Sedangkan input tetap adalah input yang jumlahnya tidak berubah walaupun terjadi perubahan jumlah output (selama periode produksi tertentu), misalnya luas lahan yang digunakan dalam usahatani padi yang dalam jangka pendek petani tidak bisa mengontrol jumlah penggunaanya. Namun dalam jangka panjang, jika petani ingin memperluas ukuran usahataninya, petani bisa membeli atau menyewa lahan (atau sebaliknya menjual lahannya), sehingga dalam jangka panjang lahan berubah menjadi input variabel. Dapat disimpulkan bahwa dalam proses produksi jangka panjang, semua input yang digunakan dalam proses produksi dianggap sebagai input variabel, sedangkan dalam jangka pendek setidaknya satu input dianggap sebagai input tetap sedangkan yang lainnya dianggap sebagai input variabel. Misalkan sebuah fungsi produksi usahatani padi yang hanya menggunakan satu input variabel (misalnya pupuk) dan beberapa input lainnya sebagai input tetap (misalnya lahan, tenaga kerja dan traktor). Bentuk fungsi produksi tersebut adalah:

( 2 y = f(x1|x2, x3, x4) ... ( 2 )

dengan y adalah output (produksi padi), x1 adalah input variabel (pupuk), dan x2 (lahan), x3 (tenaga kerja), dan x4 (traktor) adalah input tetap.

(39)

1. Tujuan dan sasaran usahatani. Seorang petani mungkin bertujuan bagaimana agar bisa menguasai seluas mungkin lahan pertanian di wilayahnya, petani yang lain mungkin hanya bertujuan bagaimana meminimalkan beban hutangnya sebagai akibat pinjaman terkait usahataninya. Namun model ekonomi yang paling banyak digunakan mengasumsikan bahwa dalam usahataninya, petani bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, atau paling tidak memaksimalkan pendapatan dengan kendala adanya keterbatasan sumber daya.

2. Pilihan output yang akan diproduksi. Seorang petani menghadapi pilihan apa yang akan diproduksi terkait dengan ketersediaan lahan, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya. Petani tidak hanya dituntut berapa banyak masing-masing komoditas akan diproduksi, tapi juga bagaimana mengalokasikan sumber daya yang tersedia di antara alternatif komoditas yang akan diproduksi. Petani mungkin tertarik dalam memaksimalkan keuntungan tetapi mungkin memiliki tujuan lain juga. Seringkali kendala lain terjadi, misalnya pemerintah hanya mengizinkan petani untuk menanami lahannya untuk komoditas tertentu saja. Sementara petani mungkin hanya memiliki pengetahuan bercocok tanam atau preferensi untuk komoditas tertentu saja. Di lain pihak, lahan pertanian tertentu mungkin lebih cocok untuk beberapa jenis tanaman tertentu saja daripada jenis tanaman lainnya.

3. Asumsi resiko dan ketidakpastian. Model ekonomi produksi sering berasumsi bahwa petani mengetahui dengan pasti fungsi produksi yang berlaku (misalnya, berapa jumlah produksi yang akan dihasilkan jika menggunakan sejumlah tertentu pupuk) dan harga input yang akan dibeli maupun harga jual output. Namun di bidang pertanian, asumsi pengetahuan terkait dengan fungsi produksi hampir tidak pernah dijumpai. Cuaca, bencana alam, hama dan penyakit merupakan variabel kunci yang banyak memengaruhi produksi. Akhirnya banyak petani tidak percaya teori ekonomi yang mengasumsikan bahwa fungsi produksi diketahui dengan pasti. Meskipun petani mungkin sepenuhnya mengetahui harga yang harus mereka bayar untuk input seperti pestisida, pupuk, dan benih ketika masing-masing input tersebut dibeli, namun petani hampir tidak pernah mengetahui di awal musim produksi bahwa harga yang akan berlaku adalah harga pada saat hasil panennya dijual. Ketidakpastian harga adalah hasil dari lag biologis yang dihadapi petani hampir semua komoditas pertanian, dan produksi di bidang pertanian membutuhkan waktu dari mulai tanam hingga panen. Para ekonom sering membuat asumsi penyederhanaan bahwa produksi terjadi seketika, seolah-olah dengan teknologi tertentu dan transformasi input akan segera dan secara ajaib berubah menjadi output. Faktanya transformasi tidak seketika terjadi dalam produksi pertanian. Produksi sebagian besar tanaman membutuhkan waktu beberapa bulan atau bahkan tahunan. Oleh karena itu petani harus membuat keputusan produksi dengan minimnya pengetahuan yang sempurna berkaitan dengan harga ketika produknya akan dijual di pasar.

Gambar

Gambar 1  Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993 - 2015
Tabel 1 Rumah tangga pertanian yang melakukan mutasi lahan tahun
Gambar 2  Konsep efisiensi yang berorientasi input
Gambar 3  Konsep efisiensi yang berorientasi output
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran dan multimedia yang akan digunakan dalam pakej parisian Siri lndeks AI-Quran ini, penilaian mengenai salah satu daripada parisian yang sudah

Ansoriyah (2017) Pendapat tersebut sejalan dengan [4], bahwa salah satu faktor kemampuan dalam menulis karya ilmiah adalah motivasi dan disiplin yang tinggi, yang diperlukan

pertemuan yaitu membahas tentang persiapan apa saja yang dilakukan, Standar kompetensi dan kompetensi Dasar yaitu menuliskan tanda waktu dengan menggunakan notasi 24 jam,

Pada segmentasi geografis, pasar dibagi menurut tempat. Teori dalam strategi ini adalah bahwa orang yang tinggal di daerah yang sama memiliki kebutuhan dan keinginan yang serupa,

Setelah melakukan proses pengambilan, kartu kanban harus diletakkan ke papan informasi kanban sebagai sinyal untuk melakukan proses selanjutnya dan proses sebelum agar

Komodifikasi Uis Karo terjadi karena berbagai faktor seperti, perubahan mata pencaharian masyarakat, penenunan tradisional yang mulai meredup, kesenian Karo yang

Sumatera Utara khususnya Kota Medan memiliki jumlah surat kabar lokal yang banyak seperti Harian WASPADA, Tribun Medan, Analisa, Medan Bisnis, Sinar.. Universitas

Dikatakan semakin baik karena lamanya penjualan persediaan barang dagang dapat dijual dalam jangka waktu yang relatif semakin singkat sehingga perusahaan tidak