• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI LAJU SEDIMENTASI PADA WADUK JATILUHUR,

KABUPATEN PURWAKARTA, JAWA BARAT

HAFIL GUSNI SANTANA AJI

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

HAFIL GUSNI SANTANA AJI. Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dibimbing oleh NORA H. PANDJAITAN.

Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun menjadi permasalahan dalam penyediaan air bagi penduduk. Masalah ini dapat diselesaikan salah satunya dengan membangun waduk yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan air dan sekaligus sebagai pengendali banjir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis laju erosi dan laju sedimentasi yang terjadi pada sub DAS Waduk Jatiluhur serta umur operasional waduk Jatiluhur. Penelitian dilakukan di Waduk Jatiluhur. Analisis laju erosi dilakukan dengan metoda universal soil loss equation (USLE). Laju sedimentasi dianalisis berdasarkan erosi yang terjadi dengan sedimentation delivery ratio (SDR). Hasil analisis menunjukkan laju erosi 27.032,66 ton/ha/tahun, sehingga sub DAS Waduk Jatiluhur tahun 2013 termasuk dalam kelas V dengan kriteria kondisi “sangat buruk” dan laju sedimentasi sebesar 2.758.922,1 m3/tahun. Dengan asumsi tidak ada perubahan tutupan lahan pada DAS Citarum, maka usia manfaat waduk Jatiluhur terhitung dari tahun 2014 masih dapat mencapai 195 tahun lagi.

Kata kunci: Laju sedimentasi, SDR, USLE, Waduk Jatiluhur

ABSTRACT

HAFIL GUSNI SANTANA AJI. Evaluation of Sedimentation Rate in Jatiluhur Dam, Purwakarta District, West Java. Supervised by NORA H. PANDJAITAN.

The uneven rainfall along year becomes problem in water supply for the habitants. One of the solution was to build a dam as a reservoir and as a flood controller. The purposes of this research were to analyze the erosion and sedimentation rate on Waduk Jatiluhur sub watershed and to predict the operational time of the Jatiluhur dam. The research was conducted at Jatiluhur dam. Erosion analysis was done using universal soil loss equation (USLE) formula. Sedimentation rate was analyzed based on erosion rate using sedimentation delivery ratio (SDR) formula. The result showed that erosion rate on Waduk Jatiluhur sub watershed was 27.032,66 ton/ha/year, so it was classified in class V with criteria

“very bad condition” and the sedimentation rate was 2.758.922,1 m3/year. If it’s assumed there was no land use changes in Citarum watershed, since 2014 Jatiluhur dam could be operated until the next 195 years.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

EVALUASI LAJU SEDIMENTASI PADA WADUK JATILUHUR,

KABUPATEN PURWAKARTA, JAWA BARAT

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

Nama : Hafil Gusni Santana Aji NIM : F44100020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan Juli 2014, dengan judul Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai dosen pembimbing serta kepada Dr. Ir. Roh Santoso B. W, M. T dan Dr. Ir. Erizal, M. Agr sebagai dosen penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta rekan – rekan Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 47 atas segala doa dan kasih sayangnya.

Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

(9)

DAFTAR ISI

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum 5

Erosi dan Sedimentasi 6

Kondisi Umum Sub DAS Waduk Jatiluhur 13

Analisis Curah Hujan 14

Laju Erosi dan Sedimentasi pada Sub DAS 16

Laju Sedimentasi dengan Pendekatan Sistem Kaskade 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 Faktor LS berdasarkan kemiringan lereng 8

2 Faktor CP berdasarkan penggunaan lahan dan pengolahan tanah 8 3 Faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan jenis tanah 8

4 Kriteria erosi 9

5 Nilai sediment delivery ratio (SDR) 9

6 Debit air masuk total (AMT) rata- rata bulanan tahun 2004-2013 14 7 Curah hujan tahunan (mm) pada 3 stasiun cuaca 14 8 Letak koordinat stasiun dan luasan wilayahnya (Gambar 6) 15

9 Rata- rata curah hujan tahunan (mm) 15

10 Tutupan lahan di sub DAS Waduk Jatiluhur 16

11 Luas tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng 16

12 Nilai K dan luas masing- masing jenis tanah 17

13 Luas lahan hutan dan permukiman berdasarkan kemiringan lereng

dan jenis tanah 18

14 Luas lahan persawahan, tegalan dan perkebunan berdasarkan

kemiringan lereng dan jenis tanah 18

15 Laju erosi pada lahan hutan dan permukiman di sub DAS

Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun) 19

16 Laju erosi pada lahan persawahan, tegalan dan perkebunan

di sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun) 19

17 Laju erosi pada sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/tahun) 20

18 Evaluasi laju sedimentasi 21

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi waduk Jatiluhur 3

2 Tampak atas bendungan utama Ir. H. Djuanda 4

3 Pola sedimentasi pada waduk 4

4 Diagram Alir Penelitian 12

5 Batas wilayah sub DAS Waduk Jatiluhur 13

6 Analisis curah hujan dengan metode Poligon Thiessen 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Letak bangunan bendungan di waduk Jatiluhur 24

2 Lokasi DAS Citarum Hulu dan Sub DAS Waduk Jatiluhur 25

3 Penelusuran nilai koefisien 0,33% 26

4 Pembagian Wilayah dengan menggunakan ArcGIS versi 10

dan AutoCAD 2010 27

5 Perhitungan curah hujan dan nilai R 30

6 Proses digitasi 31

7 Peta hasil digitasi 34

(11)

9 Peta kemiringan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur 36

10 Peta jenis tanah sub DAS Waduk Jatiluhur 37

11 Perhitungan laju erosi dengan persamaan USLE 38 12 Perhitungan laju sedimentasi dengan persamaan SDR 41 13 Perhitungan laju sedimentasi dengan pendekatan sistem kaskade 42

14 Peta perkiraan umum konsentrasi sedimen 43

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Curah hujan yang turun secara tidak merata sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia menjadi permasalahan dalam penyediaan air bagi penduduk. Cadangan air menjadi berlimpah pada musim penghujan dan menjadi sangat terbatas saat musim kemarau. Permasalahan diselesaikan salah satunya dengan membangun waduk. Waduk berfungsi sebagai pengendali air yang menyimpan air saat musim hujan dan mendistribusikannya pada musim kemarau.

Berdasarkan fungsi utamanya sebagai tempat penyimpanan air, maka volume tampungan waduk menjadi tolak ukur untuk mengevaluasi umur waduk tersebut dapat beroperasi secara maksimal. Untuk mengetahui umur waduk perlu diketahui laju sedimentasi yang terjadi pada waduk. Besarnya erosi yang terjadi sangatlah dipengaruhi oleh intensitas hujan yang terjadi dan lamanya hujan. Keadaan ini lebih jauh lagi akan berpengaruh pada jumlah angkutan sedimen di sungai. Semakin besar erosi di daerah aliran sungai (DAS), maka semakin besar pula sedimen yang masuk dan mengendap di waduk tersebut. Ketika sedimen yang masuk dan mengendap di waduk tersebut tinggi, maka kapasitas waduk akan cepat menurun dan umur waduk akan menurun.

Waduk Jatiluhur yang merupakan salah satu waduk penting dan terbesar di Indonesia memiliki daerah tangkapan keseluruhan seluas 460.100 hayang berasal dari aliran sungai Citarum-Ciliwung dengan volume tampungan waduk sebesar 2,44 milyar m3. Waduk Jatiluhur berfungsi untuk menyediakan air irigasi bagi lahan pertanian seluas 242.000 ha di kawasan Subang, Karawang dan Bekasi, serta air baku untuk kebutuhan domestik dan industri. Selain itu, waduk ini juga berfungsi menyediakan air bagi pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 187,5 MW, sebagai pengendali banjir di Karawang dan sekitarnya, serta untuk tempat pembudidayaan ikan dan tempat rekreasi. (PPPTSDA, 2000)

Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 284/Kpts-II/1999 tentang penetapan urutan prioritas DAS dari berbagai pulau di Indonesia, DAS Citarum-Ciliwung menempati skala prioritas I bersama 62 DAS lainnya untuk dilakukan kegiatan konservasi tanah dan air. Objektif utama sasaran keputusan tersebut adalah untuk mengendalikan kualitas air dan terjadinya pendangkalan waduk karena terjadi erosi. Melihat pentingnya fungsi dari keberadaan waduk yang secara langsung dipengaruhi oleh daerah aliran sungai pada bagian hulunya, maka perlu dilakukan kajian mengenai laju erosi pada DAS sehingga dapat diketahui kondisi DAS tersebut.

Penelusuran laju erosi dilakukan menggunakan universal soil loss equation (USLE) kemudian dapat diturunkan menjadi laju sedimentasi dengan sedimentation delivery ratio (SDR). Analisis laju sedimentasi diperlukan untuk memperkirakan usia waduk berdasarkan dead storage sehingga dapat menjadi masukan untuk pengelola waduk dalam mengoperasikan waduk di masa yang akan datang.

Perumusan Masalah

(14)

Kabupaten Purwakarta sampai Provinsi DKI Jakarta seperti untuk keperluan irigasi lahan pertanian, pemasok air baku, dan juga pembangkit tenaga listrik. Namun fungsi waduk tersebut sangatlah erat hubungannya dengan kapasitas penyimpanan waduk itu sendiri. Kapasitas penyimpanan waduk inilah yang kemudian menjadi tolak ukur untuk menentukan lamanya waduk tersebut dapat beroperasi secara maksimal. Oleh karena itu untuk mengetahui umur manfaat waduk, perlu dikaji besarnya laju sedimentasi yang dapat ditelusuri dari laju erosi pada sub DAS Waduk Jatiluhur ditambah dengan jumlah sedimen dari Waduk Saguling dan Cirata.

Secara sederhana laju erosi yang terjadi dari hulu sampai hilir sub DAS dipengaruhi oleh faktor jenis tanah, kemiringan lahan dan tutupan lahan serta curah hujan tahunan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini secara matematis menganalisis laju sedimentasi pada sub DAS waduk Jatiluhur pada tahun 2013 berdasarkan laju erosi yang terjadi sehingga dapat diusahakan langkah- langkah untuk mengurangi laju sedimentasi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menentukan laju erosi di sub DAS Waduk Jatiluhur

2. Memperkirakan jumlah sedimen yang mengalir ke waduk Jatiluhur dari sub DAS Waduk Jatiluhur

3. Menganalisis usia waduk Jatiluhur

4. Menentukan strategi untuk memperpanjang usia waduk Jatiluhur

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu memberikan informasi mengenai kondisi waduk Jatiluhur kepada Perum Jasa Tirta (PJT) II, sebagai pengelola waduk Jatiluhur. Informasi tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi PJT II dalam menyusun rencana pemanfaatan waduk Jatiluhur.

Ruang Lingkup Penelitian

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Waduk Jatiluhur

Waduk menurut Asiyanto (2011) merupakan bangunan yang menutup aliran sungai yang terletak di suatu tempat, sehingga diperoleh suatu tendon air tawar yang cukup besar untuk dipergunakan dalam berbagai keperluan manusia. Waduk yang diteliti untuk dievaluasi pada penelitian ini adalah waduk Jatiluhur yang terletak di Desa Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat.

Secara geografis, Waduk Jatiluhur terletak 8 km dari kota Purwakarta. Bendungan ini terletak pada 5°55’5’LS - 7°42’20’’LS dan 106°54’3’’BT -

108°4’4’’BT. Waduk Jatiluhur dikelola oleh PJT II yaitu perusahaan pelaksana program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya terutama pada bidang pengusahaan dan pengelolaan sumber daya air. Waduk ini memiliki bangunan bendungan utama yang terbentang sepanjang kurang lebih 1.250 m. Bendungan Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum. Dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3 / tahun, Waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia (TETKBKPU, 2007).

Sumber: www.google.com

Gambar 1 Lokasi waduk Jatiluhur U

(16)

Setelah bangunan utama yaitu Bendungan Ir. H. Djuanda, di sebelah hilir terdapat Bendung Curug yang terletak di Sungai Citarum sejauh 10 km. Pada Bendung Curug terdapat mini-hydro yang berkapasitas 3.2 MW dan bendung ini dilengkapi dengan 8 menara dan 7 pintu. Setiap pintunya merupakan pintu ganda sehingga dapat menutup di atas dan di bawah. Pada Bendung Curug aliran Sungai Citarum dibagi menjadi 3 yaitu ke Saluran Tarum Barat (STB), Saluran Tarum Timur (STT), serta ke DAS Citarum dan nantinya akan dibagi lagi sebagian ke Saluran Tarum Utara (STU). Selain Bendung Curug, Waduk Jatiluhur juga memiliki bendungan pelana yang berjumlah 4 buah dengan tipe homogenous earth fill dam dengan penutup menggunakan batu andesit dan chimney drain di beberapa bagian. Elevasi puncak bendungan pelana adalah +114,5 m.

Bendungan pelana terdiri dari Bendung Pasir Gombong yang terdapat pada bagian Utara Waduk Jatiluhur, serta Bendung Ciganea dan Bendung Ubrug yang terdapat pada bagian Tenggara dari bendungan utama Ir. H. Djuanda. Bendung Pasir Gombong terdiri dari dua bagian yaitu Pasir Gombong Barat dan Pasir Gombong Timur yang masing- masing memiliki panjang 1.950 m dan 400 m serta tinggi maksimal 19 m dan 15 m. Bendung Ciganea dan Ubrug memiliki panjang 330 m dan 550 m serta ketinggian maksimal 12,5 m dan 17 m. Letak dari masing- masing bendung dapat dilihat pada Lampiran 1.

Sumber: TETKBKPU 2007

Gambar 2 Tampak atas bendungan utama Ir. H. Djuanda

Sumber: Raharjo 2008

(17)

Menurut Basiran et al. (2014), batas usia umur waduk ditentukan oleh habisnya manfaat waduk untuk bisa diatur penggunaannya bagi kepentingan pengairan atau pembangkit tenaga listrik, dimana air keluaran melalui intake. Volume diatas bidang horizontal melalui intake merupakan volume life storage, sedangkan volume di bawahnya disebut dead storage.

Dead Storage inilah yang menentukan perhitungan umur suatu waduk. Dead storage merupakan ruangan yang khusus disediakan untuk menampung sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara di waduk maupun yang terbawa air hujan sekitar waduk. Jika tingkat sedimentasi sudah mengisi semua bagian dead storage maka pada saat itulah endapan atau sedimentasi mulai mengisi daerah life storage dan endapan perlahan akan sampai pada tingkatan yang mengganggu fungsi intake dalam pengaturan air keluar waduk. Jika fungsi intake sudah terganggu oleh sedimen, pengeluaran air tidak bisa diatur maka waduk tidak bisa berfungsi lagi sebagai pembangkit tenaga listrik.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum

Menurut Manan (1979) dalam Raharjo (2008), definisi dari DAS adalah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau/laut. Ditambahkan oleh Soeryono (1979) dalam Raharjo (2008), DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya. Potensi air dalam satuan wilayah sungai (SWS) Citarum merupakan satu kesatuan dari beberapa DAS di Jawa Barat bagian Utara yang meliputi Sungai Citarum, Cimalaya, Cijengkol, Ciasem, Cigandung, dan Cipunagara. Di samping itu, sejumlah DAS merupakan bagian wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, yaitu Cikarang dan Bekasi, yang tergabung dengan SWS Citarum dalam rangka pembangunan proyek Nasional Serbaguna Jatiluhur, sehingga terbentuklah SWS Citarum-Plus dengan 76 anak sungai.

Wilayah Kerja PJT II mencakup 74 sungai dan anak-anak sungainya yang menjadi satu kesatuan hidrologis di Jawa Barat bagian Utara. Daerah kerja PJT II berada di Wilayah Sungai Citarum dan sebagian Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane yang meliputi daerah seluas + 1.200.000 ha. Wilayah pelayanan PJT II mencakup dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta yaitu sebagian Kotamadya Jakarta Timur, Kotamadya dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, sebagian Kabupaten Indramayu, sebagian Kabupaten Sumedang, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, sebagian Kabupaten Cianjur dan sebagian Kabupaten Bogor.

(18)

Erosi dan Sedimentasi

Menurut Arsyad (2010), erosi adalah peristiwa berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan ditempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin.

Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Menurut Foster et al (1977) dalam Wikandinata dan Adinugroho (2007), proses erosi tanah meliputi pelepasan butir- butir tanah oleh aliran permukaan atau limpasan permukaan dalam alur dan pengangkutan butir- butir tanah oleh air dalam alur. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa oleh aliran ke hilir dan sedimen ini akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat di dalam sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya (Arsyad, 2010). Sedimen merupakan tanah dan bagian- bagian dari tanah yang terbawa oleh air pada daerah aliran sungai yang terkena erosi. Sedimen terbentuk karena adanya proses sedimentasi yaitu melambat atau berhentinya aliran air yang mengangkut tanah hasil erosi sehingga sedimen pun terendapkan.

Sedimen secara umum dibagi menjadi dua yaitu sedimen melayang (suspended load) dan endapan dasar (bed load). Suspended load adalah sedimen yang masih terbawa di dalam aliran sungai yang bergerak dari hulu menuju ke bagian hilir sungai. Sedimen tersebut secara bertahap dengan waktu tertentu akan mengendap akibat massa butirannya sendiri sehingga menjadi bed load. Bed load adalah gerakan sedimen yang berinteraksi langsung dengan dasar sungai. Menurut Varshney (1979) dalam Setyono (2011), sedimentasi berdampak negatif terhadap pendangkalan dasar sungai sehingga kapasitas tampung air pada sungai menjadi semakin kecil. Pada akhirnya pendangkalan waduk akibat akumulasi sedimentasi menjadi masalah utama karena akan menurunkan umur dari waduk. Umur waduk ditentukan berdasarkan kapasitas tampungan mati (dead storage) yang merupakan tampungan maksimum bagi sedimen.

Erosi dan laju sedimentasi pada dasarnya sangat erat akan faktor- faktor hidrologi. Salah satu faktor hidrologi yang paling berpengaruh adalah curah hujan. Intensitas hujan sebagai produk dari curah hujan akan menentukan besar banjir yang terjadi. Semakin besar curah hujan, maka semakin besar pula banjir yang berimplikasi pada banyaknya jumlah tanah yang hanyut ke dalam aliran air dan nantinya mengalami proses sedimentasi di hilir.

(19)

� = × × × (1) Keterangan:

A = Banyaknya tanah yang tererosi per satuan luas per satuan waktu yang dinyatakan sesuai dengan K dan periode R yang terpilih (ton/ha).

R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan (EI30), yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas maksimum hujan 30 menit (I30) untuk suatu tempat dibagi 100 (N/h).

K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu jenis tanah tertentu dalam kondisi dibajak dan ditanami terus menerus, yang diperoleh dari petak percobaan tanpa tanaman yang dilakukan Wischmeier dan Smith (ton.h/ha.N).

LS = Faktor panjang kemiringan lereng (length of slope factor), yaitu nisbah antara besarnya erosi per indeks erosi dari suatu lahan dengan ukuran serupa dengan percobaan yang dilakukan Wischmeier dan Smith di bawah keadaan yang identik namun tidak berdimensi.

CP = Faktor tanaman penutup lahan dan manajemen tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi lahan dengan penutupan tanaman dan manajemen tanaman tertentu terhadap lahan yang identik tanpa tanaman namun tidak berdimensi. Perhitungan nilai R didapatkan dengan mencari rata- rata curah hujan 10 tahun pada sub DAS Waduk Jatiluhur. Berdasarkan Wilson (1993), setelah mendapatkan luasan setiap darah tangkapan air, maka selanjutnya untuk mencari nilai curah hujan terdistribusi (Y), digunakan metode Poligon Thiessen dengan persamaan (2) bersama data curah hujan rata- rata 10 tahunan yang tercatat di stasiun- stasiun cuaca yang ada di sekitar sub DAS tersebut dengan luasan wilayah. Setelah itu berdasarkan metode matematis yang dikembangkan oleh Utomo dan Mahmud dalam Wikandinata dan Adinugroho (2007), nilai Y dapat dikonversi menjadi nilai erosivitas hujan 10 tahunan (R) dengan persamaan (3).

Yi (2)

Keterangan:

Yi = Curah hujan terdistribusi (mm) Ai = Luasan setiap wilayah (ha)

Ri = Curah hujan tahunan masing- masing stasiun (mm)

(3) Keterangan:

R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan (N/h) Y = Curah hujan tahunan (cm)

(20)

mencocokkan suatu grid terhadap peta tata guna lahan. Nilai faktor CP dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Faktor LS berdasarkan kemiringan lereng

Kemiringan Lereng (%) LS

Tabel 2 Faktor CP berdasarkan penggunaan lahan dan pengolahan tanah

Penggunaan Lahan CP

Tabel 3 Faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan jenis tanah

Jenis Tanah Nilai K

Andaquepts, Tropaquepts 0,30

Dystropepts, Distrandepts, Troposults 0,15 Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults 0,30

Dystropepts, Paleudults 0,30

Dystropepts, Troporthens, Tropodults 0,30 Dystropepts, Tropodults, Humitropepts 0,15 Dystropepts, Tropodults, Troporthens 0,69 Dystropepts, Eutropepts, Tropodults 0,30 Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs 0,30 Humitropepts, Dystrandepts, Hydrandepts 0,05

Sumber: Laporan Tata Guna Lahan RePPProt tahun 1981 dalam Latifah (2010)

(21)

Tabel 4 Kriteria erosi

No Erosi (Ton/ha/tahun) Kelas Kriteria

1 0 – 20 I. Sangat Rendah Sangat Baik

Pendekatan hidrologi dilakukan dengan cara perkiraan akumulasi volume erosi sedimen tahunan yang dihitung dengan metode Universal Soil Loss Equation (USLE), untuk menghitung besarnya erosi yang terjadi dengan parameter kerusakan tanah akibat hujan, sifat tanah dan pengelolaan yang dilakukan terhadap tanah.

Perkiraan nilai erosi bisa dapat menggunakan nisbah pelepasan sedimen yang kemudian dikenal metode Sediment Delivery Ratio (SDR). Nilai SDR tergantung luasan DAS itu sendiri. Nilai SDR dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai sediment delivery ratio (SDR)

Luas DAS (ha) SDR (%)

Sumber: DPMA (1982) dalam Wikandinata dan Adinugroho (2007)

Setelah nilai SDR diketahui, maka laju sedimentasi yang terjadi juga dapat diketahui. Nilai laju sedimentasi dapat ditelusuri menggunakan persamaan (4).

=

× �

(4)

Keterangan:

SR = Laju sedimentasi (ton/tahun) SDR = Sedimentation delivery ratio (%) A = Laju erosi (ton/tahun)

Analisis Umur Manfaat Waduk

(22)

� = � � � � � � �ℎ��� (5) Volume dead storage waduk Jatiluhur didasarkan pada persamaan polynomial dari grafik hubungan antara tinggi dan volume duga muka air (DMA) dengan luas permukaan waduk. Duga muka air adalah istilah yang digunakan oleh Perum Jasa Tirta II untuk tinggi muka air waduk Jatiluhur. Tinggi DMA dapat dibaca dari papan duga yang dipasang di sekitar bendungan utama. Volume DMA ditelusuri dengan echo sounding yaitu suatu metode pendugaan kedalaman suatu perairan baik dangkal maupun dalam dengan alat khusus echo sounder yang dipasang pada kapal. Prinsip echo sounding adalah dengan memantulkan dan menerima gema yang ditembakkan ke dasar perairan sehingga diketahui kontur dasar perairan (bathimetri). Setelah peta kontur dasar perairan diketahui maka dapat diketahui luas daerah dengan kedalaman yang sama. Dengan menggunakan peta bathimetri, dapat diketahui volume waduk dengan mengalikan luas perairan dan kedalamannya. Berdasarkan PPPTSDA tahun 2000, volume waduk Jatiluhur pada kedalaman tertentu dapat diketahui dengan dua persamaan polynomial berikut.

= , � − , � + , � < (6) endapan butiran dari tanah tererosi pada daerah aliran sungainya dikurangi volume endapan butiran yang keluar. Namun pada kasus waduk Jatiluhur, perhitungan dipengaruhi oleh inflow waduk Saguling dan Cirata pada DAS Citarum hulu yang bersistem kaskade. Volume endapan total per tahun pada waduk Jatiluhur berdasarkan perhitungan Basiran et al. (2014) dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut.

. = % [ % % , % �. + , % �. + , % �. ] (8) Keterangan:

Qt.c = Volume endapan total waduk Jatiluhur per tahun (m3/tahun) Qi.a = Rata- rata debit inflow waduk Saguling (m3/tahun)

Qi.b = Rata- rata debit inflow waduk Cirata (m3/tahun) Qi.c = Rata- rata debit inflow waduk Jatiluhur (m3/tahun)

(23)

Ketentuan ini akhirnya disamakan untuk waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Nilai 0,33% merupakan nisbah perbandingan jumlah lumpur yang terbawa inflow waduk Jatiluhur sebelum ada waduk Saguling dan Cirata dengan banyaknya lumpur yang terkandung dalam aliran sungai Citarum. Penelusuran nilai koefisien 0,33% dapat dilihat pada Lampiran 3.

Permasalahan sedimentasi ini dapat diatasi dengan tindakan pencegahan maupun perbaikan. Tindakan pencegahan merupakan strategi jangka panjang dengan cara membentuk suatu badan pengelola DAS khusus yang melaksanakan pekerjaan lapangan sesuai rencana dan kriteria yang telah ditetapkan. Keanggotaan badan pengelola DAS ini harus melibatkan pemerintah dan badan- badan usaha serta masyarakat termasuk masyarakat adat, LSM, ormas dan lain-lain (Wahid, 2007). Menurut Anwar et al. (2007), tindakan perbaikan untuk menambah usia waduk dapat dilakukan dengan pengerukan dasar waduk, dengan prioritas pekerjaan pada titik-titik dimana dimungkinkan terganggunya aktivitas operasional waduk. Pengembangan perbaikan tata guna lahan dalam rangka peningkatan kualitas lahan sangat diperlukan, misalnya dengan penghijauan kembali lahan-lahan yang kering.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian “Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat” dilaksanakan selama 5 bulan dari bulan Maret-Juli 2014. Lokasi penelitian ini di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang mencakup data curah hujan bulanan selama 10 tahun yaitu dari tahun 2004-2013, data usia waduk rencana dan aktual beserta volume endapannya. Data inflow rata- rata waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur sampai tahun 2014 dan persamaan polynomial volume waduk berdasarkan hasil echo sounding. Selain itu juga digunakan data endapan sedimen tahunan dan peta batas- batas DAS Citarum. Digunakan juga peta tematik sub DAS Waduk Jatiluhur seperti peta sub DAS, peta jenis tanah, peta tutupan lahan dan digital elevation map (DEM). Alat yang digunakan adalah notebook beserta Microsoft Office, AutoCAD 2010, ArcGIS versi 10, Photoshop, dan Paint.

Metode Analisis

(24)

Pengumpulan data meliputi proses pengumpulan data yang terkait dengan data penelitian yaitu data hidrologis berupa data curah hujan dari stasiun- stasiun cuaca sekitar daerah objek penelitian selama 10 tahun terakhir dan peta batasan sub DAS Citarum serta peta pos dan stasiun cuaca di DAS Citarum. Seluruh data didapatkan dari kantor Divisi Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) dan Divisi Bendungan PJT II, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Peta tematik sub DAS Waduk Jatiluhur yaitu peta tutupan lahan, peta jenis tanah dan peta DEM didapatkan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung (BAPEDAS) Kota Bogor, Jawa Barat. Peta tutupan lahan berasal dari peta tutupan lahan rupa bumi Indonesia skala 1:25.000 tahun 1996 hasil ground check BAPEDAS Citarum-Ciliwung tahun 2013. Peta jenis tanah berasal dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1992 dengan skala 1:250.000, sedangkan peta DEM berasal dari citra SRTM tahun 2013 resolusi (30x30 m).

Pengolahan data diawali dengan penentuan luasan dari masing- masing wilayah yang diwakili oleh stasiun cuaca agar dapat diketahui nilai curah hujan tahunan sub DAS. Setelah itu dihitung nilai R dengan menggunakan persamaan (2) dan (3). Pengolahan data dilanjutkan dengan menganalisa nilai K, LS dan CP dengan menggunakan software. dan kriteria pada Tabel 1, 2 dan 3. Setelah itu nilai R, K, LS dan CP dimasukkan ke persamaan (1).

Dengan menggunakan persamaan (1), maka laju erosi yang terjadi pada waduk Jatiluhur dapat diketahui dan kemudian dihitung laju sedimentasi yang terjadi. Kemudian dengan mencocokkan besar luasan sub DAS dengan Tabel 5, maka nilai SDR dapat diketahui. Dengan menggunakan persamaan (4), maka laju sedimentasi dapat diketahui.

(25)

Laju sedimentasi sub DAS kemudian dimasukkan ke dalam persamaan (8) bersama data rata- rata inflow ketiga waduk untuk mengetahui volume endapan waduk per tahun. Kemudian volume dead storage didapatkan dengan memasukkan nilai H sebesar 75 m sebagai ketinggian dead storage ke dalam persamaan (7). Akhirnya usia manfaat waduk dapat ditelusuri dengan persamaan (5) yang merupakan pembagian nilai dari persamaan (7) dan (8). Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Sub DAS Waduk Jatiluhur

Secara administratif waduk Jatiluhur terletak pada sub DAS Waduk Jatiluhur Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Bendungan Jatiluhur atau disebut juga waduk Ir. H. Djuanda adalah bendungan terbesar di Indonesia. Sub DAS ini memiliki luas 306 km2 dan terletak pada 6̊ 29’ 4“ LS - 6̊

39’ 5 “ LS dan 107˚ 16’ 53“ BT - 107˚ 24’ 41“ BT. Pada bagian Utara, Sub DAS berbatasan dengan Kecamatan Ciampel Kabupaten Bekasi, bagian Selatan berbatasan dengan Bendungan Cirata, bagian Barat berbatasan dengan Gunung Sanggabuana dan bagian Timur berbatasan dengan Kota Purwakarta.

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT II 2014

(26)

Analisis Curah Hujan

Wilayah Sub DAS Waduk Jatiluhur memperoleh aliran air masuk lokal (AML) dari Sungai Cisomang dan Sungai Cilalawi, selain juga dari outlet waduk Cirata (karena bersistem Kaskade). Menurut laporan pemeruman waduk Jatiluhur tahun 2000, AML menyumbangkan 14% dari total sedimentasi dengan kisaran debit sedimen sebesar 634 ton/hari (PPPTSDA, 2000). Debit rata- rata bulanan aliran air masuk total (AMT) selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Debit air masuk total (AMT) rata- rata bulanan tahun 2004-2013

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT II 2014

Untuk mengetahui laju erosi dan sedimentasi pada waduk, langkah pertama yang dilakukan adalah mengetahui data hujan. Data hujan yang digunakan adalah data curah hujan tahunan yang ditangkap sub DAS Waduk Jatiluhur dari tahun 2004-2013. Pada tahun 2006 dan 2007 terdapat banyak data curah hujan yang hilang dan tidak tercatat sehingga data pada dua tahun tersebut tidak dimasukkan. Curah hujan tahunan tersebut terukur oleh 3 stasiun cuaca yang berada di sekitar DAS Waduk Jatiluhur. Stasiun- stasiun cuaca tersebut adalah stasiun cuaca Tegalwaru, Cilentah, dan Karangtoman (Gambar 6).

Tabel 7 Curah hujan tahunan (mm) pada 3 stasiun cuaca

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT 2014

Data curah hujan harus dapat mewakili keadaan cuaca yang terjadi selama 8 tahun terakhir pada sub DAS tersebut. Oleh karena itu data curah hujan yang terukur di 3 stasiun pengamat hujan tersebut harus diubah menjadi data curah hujan

Tahun Bulan (m

Tahun Tegalwaru Cilentah Karangtoman

(27)

daerah yang mempertimbangkan setiap data curah hujan tahunan pada masing- masing stasiun beserta luasan daerah cakupannya. Curah hujan rata- rata dihitung dengan menggunakan metode Poligon Thiessen. Gambar 6 menunjukkan wilayah pengamatan dari masing- masing stasiun, sedangkan Tabel 8 menunjukkan letak koordinat stasiun dan cakupan luasan setiap stasiun. Pembagian wilayah ini dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS versi 10 dan AutoCAD 2010 ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 8 Letak koordinat stasiun dan luasan wilayahnya (Gambar 6)

Setelah dilakukan perhitungan dengan metode Poligon Thiessen (persamaan 2) diperoleh curah hujan rata- rata tahunan seperti disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata- rata curah hujan tahunan (mm)

No Stasiun Cuaca Letak Luas

(28)

Selanjutnya nilai Y sebesar 2.109,96 mm diubah menjadi nilai faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan (R). Dengan memasukkan nilai Y ke persamaan (3) sehingga didapatkan nilai R sebesar 788,08 N/h. Perhitungan curah hujan dan nilai R dapat dilihat pada Lampiran 5.

Laju Erosi dan Sedimentasi pada Sub DAS

Perhitungan laju erosi dengan persamaan USLE dimulai dengan menentukan variabel- variabel seperti tata guna lahan, kemiringan lereng, dan jenis tanah. Besarnya luasan dari masing- masing variabel tersebut harus dihitung dengan proses digitasi menggunakan software ArcGIS versi 10. Proses digitasi dan peta hasil digitasi secara lengkap dijelaskan pada Lampiran 6 dan 7. Berdasarkan proses digitasi, daerah waduk merupakan tutupan lahan tertinggi dengan persentase sebesar 23,42% total luas sub DAS Waduk Jatiluhur. Berdasarkan Laporan Akhir Pemeruman Waduk Ir. H. Djuanda PPDAA PJT II tahun 2000, perluasan area perkebunan berasal pemilik lahan yang berkebunan pisang di daerah Pasir Gombong (PPPTSDA, 2000). Peta tutupan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur dapat dilihat pada Lampiran 8.

Pada kemiringan lereng 0-5%, lahan didominasi oleh persawahan sebesar 1.832,17 ha dengan lahan terkecil yaitu hutan sebesar 415,06 ha. Pada kemiringan lereng 5-15% lahan didominasi oleh perkebunan sebesar 4.007,02 ha. Pada kemiringan lereng 15-35%, 35-50% dan lebih dari 50%, lahan didominasi oleh hutan sebesar 2.806,40 ha, 149,14 ha dan 41,09 ha. Tutupan lahan paling sedikit yang terdapat di kemiringan lereng 5-15%, 15-35%, dan 35-50% adalah permukiman sebesar 662,75 ha, 52,25 ha dan 2,14 ha. Peta sub DAS berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tabel 10 Tutupan lahan di sub DAS Waduk Jatiluhur

Tabel 11 Luas tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng

No Jenis Tutupan Lahan (CP) Luas (ha) %

Luas berdasarkan jenis tutupan lahan (CP) (ha)

Perkebunan Hutan Tegalan Persawahan Permukiman

(29)

Nilai K didapat dengan mencocokkan 9 jenis kombinasi jenis tanah yang ada pada sub DAS Waduk Jatiluhur dengan Tabel 3. Dari 9 jenis kombinasi tanah tersebut, ada 4 jenis kombinasi tanah yang tidak sesuai seluruhnya dengan data yang ada pada tabel. Jenis- jenis kombinasi tanah tersebut adalah yaitu Eutropepts, Tropaquepts (ET); Eutropepts, Tropodults, Tropodulfs (ETT); Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents (TTF); dan Tropodults, Dystropepts, Haplorthox (TDH).

Kemudian keempat jenis tanah tersebut kembali dicocokkan pada Tabel 3 dengan pertimbangan jenis kombinasi tanah yang paling mendekati seperti Eutropepts, Tropaquepts (ET) yang serupa dengan Tropaquepts, Tropofluvents, Eutropepts yang mempunyai nilai K sebesar 0,3. Lalu ada Eutropepts, Tropodults, Tropodulfs (ETT) yang serupa dengan Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs dan Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs yang masing- masing memiliki nilai K sebesar 0,3. Kemudian ada Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents (TTF) yang serupa dengan Tropaquepts, Tropofluvents, Eutropepts dengan nilai K sebesar 0,3. Terakhir adalah Tropodults, Dystropepts, Haplorthox (TDH) yang serupa dengan Tropodults, Dystropepts dan Tropodults, Dystropepts, Eutropepts yang masing- masing juga memiliki nilai K sebesar 0,3.

Luas total daratan yang merupakan selisih antara luas total sub DAS dan luas kawasan air atau waduk adalah sebesar 23.433,69 ha. Berdasarkan peta jenis tanah yang diolah dengan proses digitasi dari luas daratan tersebut, jenis tanah pada sub DAS Waduk Jatiluhur didominasi oleh kombinasi tanah Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults (DHT) dengan persentase sebesar 37,02% sedangkan jenis tanah yang paling kecil persentasenya adalah Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs (DET) dengan 0,13.Seluruh nilai K jenis- jenis tanah yang ada pada sub DAS Waduk Jatiluhur kemudian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Nilai K dan luas masing- masing jenis tanah

Terdapat total 16 jenis kombinasi tanah yang terklasifikasi nilai K-nya dalam laporan tata guna lahan RePPProt (Regional Physical Planning Programme for Transmigration), tahun 1981 dalam Latifah tahun 2010. Sembilan jenis kombinasi tanah diantaranya terdapat pada sub DAS Waduk Jatiluhur. Jenis- jenis tersebut adalah Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs (DET); Eutropepts, Tropaquepts (ET); Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents (TTF); Dystropepts, Tropodults, Troporthens (DTT); Tropodults, Dystropepts, Haplorthox (TDH); Eutropepts, Tropodults, Tropodulfs (ETT); Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults (DHT);

(30)

Tropodults, Dystropepts, Eutropepts (TDE); dan Eutropepths, Rendolls (ER). Peta jenis tanah sub DAS Waduk Jatiluhur dapat dilihat pada Lampiran 10, sedangkan luas masing- masing tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan jenis tanahnya dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14.

Tabel 13 Luas lahan hutan dan permukiman berdasarkan kemiringan lereng dan jenis tanah

Tabel 14 Luas lahan persawahan, tegalan dan perkebunan berdasarkan kemiringan lereng dan jenis tanah

Setelah nilai R, K LS, dan CP masing- masing sudah didapatkan, kemudian nilai- nilai tersebut dimasukkan ke dalam perhitungan USLE pada persamaan (1) sehingga dapat ditelusuri nilai laju erosi dalam satuan ton/ha/tahun. Perhitungan

(31)

dengan menggunakan persamaan (1) dapat dilihat pada Lampiran 11. Besarnya laju erosi berdasarkan tiap jenis tutupan lahan, kemiringan lereng dan jenis tanahnya dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16.

Tabel 15 Laju erosi pada lahan hutan dan permukiman di sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun)

Tabel 16 Laju erosi pada lahan persawahan, tegalan dan perkebunan di sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun)

(32)

tergolong kriteria “Sangat Buruk” karena masuk dalam kelas V yaitu “Sangat Tinggi” dengan laju erosi lebih dari 1.000 ton/ha/tahun. Kontribusi erosi tertinggi

terdapat pada tegalan dengan laju erosi 13.857,40 ton/ha/tahun, sedangkan laju erosi terendah terdapat pada hutan dengan laju erosi 451,10 ton/ha/tahun. Oleh karena itu, hutan sebagai area konservasi untuk tanah, air dan airtanah harus dijaga karena turut memperlambat laju erosi dan juga sedimentasi. Berdasarkan Tabel 17, laju erosi yang didapatkan adalah sebesar 2.823.638,95 ton/tahun merupakan hasil perkalian laju erosi dalam satuan ton/ha/tahun dengan luasan masing- masing tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan jenis tanahnya. Kontribusi erosi tertinggi dan terendah secara berturut- turut berasal dari kawasan tegalan sebesar 1.385.418,34 ton/tahun dan kawasan hutan sebesar 117.933,85 ton/tahun.

Tabel 17 Laju erosi pada sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/tahun)

CP LS Erosi (ton/tahun) Total

5-15 0,00 2.091,64 0,00 129.711,66 10.317,78 252.878,16 242.911,47 4.676,94 50.527,12 693.114,78

15-35 0,00 0,00 0,00 266.066,55 286,37 121.073,62 222.078,83 0,00 14.288,28 623.793,64

35-50 0,00 0,00 0,00 18.551,90 0,00 6.303,65 2.048,02 0,00 0,00 26.903,57

>50 0,00 0,00 0,00 5.213,15 0,00 361,73 0,00 0,00 0,00 5.574,88

Total 23,49 2.203,80 0,00 423.430,06 12.477,96 390.060,24 477.387,49 6.808,30 73.027,00 1.385.418,34

Perkebunan 0-5 41,14 711,64 1.127,79 3.549,20 8.700,88 5.458,32 3.213,48 0,00 501,22 23.303,65

5-15 662,74 9.416,86 0,00 151.379,07 13.265,09 170.547,57 102.575,48 0,00 6.883,91 454.730,73

15-35 2.829,52 4.726,59 0,00 422.326,32 12.347,01 37.471,08 91.396,79 0,00 0,00 571.097,30

35-50 0,00 0,00 0,00 38.641,14 0,00 1.957,59 297,89 0,00 0,00 40.896,62

>50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Total 3.533,40 14.855,09 1.127,79 615.895,73 34.312,97 215.434,56 197.483,64 0,00 7.385,13 1.090.028,31

(33)

Setelah mendapatkan nilai laju erosi, kemudian laju sedimentasi yang terjadi dapat ditelusuri dengan persamaan SDR. Langkah pertama adalah menentukan nilai dari SDR itu sendiri dengan mencocokkan besar luas sub DAS ke dalam Tabel 5. Dengan luas sub DAS sebesar 30.600 ha, maka luas sub DAS dalam tabel berada di antara luas 20.000 dan 50.000 ha dengan nilai persentase SDR di antara 8,5% dan 11%. Oleh karena itu setelah dilakukan perhitungan dengan metode interpolasi, maka didapatkan nilai persentase SDR sub DAS Waduk Jatiluhur adalah sebesar 10,11%. Langkah selanjutnya adalah memasukkan data nilai laju erosi dan persentase SDR pada persamaan (5) sehingga didapatkan nilai laju sedimentasi sebesar 285.469,89 ton/tahun. Untuk merubah laju sedimen dari satuan ton/tahun menjadi m3/tahun, maka data laju sedimentasi harus dibagi oleh massa jenis tanah sedimen. Berdasarkan Wikandinata dan Adinugroho (2007), tanah yang terdapat dalam sedimen adalah jenis tanah lempung yang memiliki massa jenis sebesar 1,5

ton/m3 sehingga laju sedimentasi yang telah diubah satuannya menjadi 190.313,26 m3/tahun. Perhitungan laju sedimentasi dengan persamaan SDR dapat

dilihat pada Lampiran 12.

Laju Sedimentasi dengan Pendekatan Sistem Kaskade

Berdasarkan Basiran et al. (2014), inflow waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur sampai tahun 2014 ini secara berturut- turut adalah 2.563.000.000 m3/tahun, 2.543.000.000 m3/tahun dan 649.000.000 m3/tahun. Dengan memasukkan data inflow waduk- waduk tersebut ke persamaan (8), maka dapat diketahui volume endapan per tahun yang masuk waduk Jatiluhur dari DAS Citarum hulu adalah sebesar 2.758.922,1 m3/tahun. Perhitungan laju sedimentasi waduk Jatiluhur dengan pendekatan sistem kaskade dapat dilihat pada Lampiran 13. Peta perkiraan umum konsentrasi sedimen pada waduk Jatiluhur dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 18 Evaluasi laju sedimentasi

Laju sedimentasi setiap hektar yang didapat dari dua perhitungan menunjukkan selisih yang relatif kecil yaitu 0,22 m3/tahun/ha. Perbedaan perhitungan hasil antara metode USLE dan pendekatan sistem kaskade dalam mengukur laju sedimentasi pada waduk Jatiluhur adalah sebesar 3,54%.

Usia Manfaat Waduk

Dead storage pada waduk Jatiluhur adalah volume waduk pada elevasi 75 m. Oleh karena itu untuk mengetahui volume tersisa dead storage pada tahun 2000, angka 75 dimasukkan ke persamaan (7) sehingga didapatkan volumenya sebesar 578.900.000 m3. Maka dengan membagi volume dead storage dengan laju sedimentasi oleh pendekatan sistem kaskade dengan persamaan (5), maka usia manfaat waduk Jatiluhur (terhitung dari tahun 2000) adalah 209 tahun. Dengan kata

DAS Luas (ha) Laju sedimentasi

m3/tahun m3/tahun/ha Sub DAS Waduk Jatiluhur 30.600 190.313,26 6,22

(34)

lain bila dihitung mulai tahun 2014 dan dengan asumsi inflow serta tutupan lahan pada sub DAS yang relatif tetap, maka waduk masih mampu beroperasi dengan optimal selama 195 tahun lagi. Perhitungan usia manfaat waduk dapat dilihat pada Lampiran 15.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan laju erosi dan sedimentasi pada sub DAS Waduk Jatiluhur serta usia waduk Jatiluhur :

1. Total laju erosi yang terjadi pada sub DAS waduk Jatiluhur pada tahun 2013 adalah sebesar 27.032,66 ton/ha/tahun, sehingga termasuk dalam kelas V dengan kriteria “Sangat Buruk”, sedangkan laju sedimentasi yang terjadi sebesar 190.313,26 m3/tahun.

2. Dengan volume dead storage 578.900.000 m3 dan laju sedimentasi di DAS Citarum sebesar 2.758.922,1 m3/tahun serta asumsi tidak ada perubahan tutupan lahan pada DAS Citarum, maka usia manfaat waduk Jatiluhur terhitung tahun 2014 masih mencapai 195 tahun lagi.

3. Strategi untuk memperpanjang usia waduk Jatiluhur adalah dengan melakukan konservasi pada daerah Bendung Pasir Gombong dan melakukan pengerukkan secara teratur pada beberapa bagian waduk yang memiliki konsentrasi sedimen cukup tinggi.

Saran

1. Perlu dilakukan upaya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan area konservasi di sekitar waduk Jatiluhur, Saguling dan Cirata seperti wilayah hutan agar tidak dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan. 2. Perlu dilakukan pengukuran sedimentasi dengan echo sounder secara

rutin agar PJT II dapat memonitor laju sedimentasi dan alih fungsi lahan yang terjadi, sehingga dapat ditanggulangi dengan baik.

3. Perlu dipasang alat pengukur laju sedimentasi di outlet waduk Cirata dan juga di sungai Cisomang dan Cilalawi seperti yang telah dipasang pada bendungan Saguling.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar MR, Rahmanto MC, Suroso. 2007. Studi Pengaruh Sedimentasi Kali Brantas terhadap Kapasitas dan Usia Rencana Waduk Sutami Malang. Jurnal Rekayasa Sipil. 1(1):33-42.doi: 1978 – 5658.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Air dan Tanah. Bogor (ID): IPB Press.

Asiyanto. 2011. Metode Konstruksi Bendungan. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia.

(35)

Latifah, S. 2010. Pendugaan erosi dalam Perspektif Sistem Informasi Geografis (SIG).[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

[PPPTSDA] Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Sumber Daya Air. (ID). 2000. Laporan Akhir Pemeruman Waduk Ir. H. Djuanda. Purwakarta (ID): Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Pengembangan Wilayah.

Raharjo, P. 2008. Simulasi Sedimentasi dan Analisis Umur Waduk Studi Kasus Waduk Saguling [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Setyono, E. 2011. Kajian Distribusi Sedimentasi Waduk Wonorejo, Tulungagung,

Jawa Timur. Media Teknik Sipil. 9(2): 132 – 141.

[TETKBKPU] Tim Evaluasi Tingkat Keamanan Bendungan Kementrian Pekerjaan Umum. (ID). 2007. Pengkajian dan Evaluasi Tingkat Keamanan Bendungan di Jawa, Volume III (Jawa Barat, 8 Bendungan). Bandung (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.

Wahid, A. 2007. Analisis Karakteristik Sedimentasi di waduk PLTA Bakaru. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 2(2): 229-236.

Wikandinata, B dan Adinugroho B. 2007. Evaluasi Laju Erosi dan Laju Sedimentasi pada Waduk Cacaban Tegal [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Katolik Soegijapranata.

(36)

Sumber: PPPTSDA 2000

(37)

Sumber: PPPTSDA 2000

Lampiran 2 Lokasi DAS Citarum Hulu dan Sub DAS Waduk Jatiluhur

(38)

1. Menurut Basiran et al (2014), selama 24 tahun (1963-1987) sebelum dibangun waduk Saguling dan Cirata, kandungan lumpur pada waduk Jatiluhur dihitung dari selisih kapasitas air waduk di tahun 1963 dan tahun 1987 dan kemudian dibagi dengan selisih tahunnya. Volume waduk tahun 1963 dan 1987 secara berurutan adalah 2.970.000.000 m3 dan 2.556.000.000 m3

� ℎ = ℎ � �ℎ ℎ− ℎ

� ℎ = . . . − . . . = . .

2. Dengan faktor keamanan 10% maka sedimen per tahun tersebut diperbesar dengan asumsi kondisi sedimentasi terburuk

� ℎ = % −% % . . = . .

3. Banyaknya persentase lumpur setiap m3 aliran inflow didapat dengan membagi sedimentasi per tahun dengan inflow waduk Jatiluhur sebelum dibangun waduk Saguling dan Cirata lalu dikalikan 100%. Debit rata- rata tahunan inflow waduk Jatiluhur selama tahun 1963-1987 adalah sebesar 5.755.000.000 m3

% � � = . . . . . % = , %

(39)

1. Masuk ke dalam ArcGIS versi 10

2. Setelah melihat tampilan seperti gambar di bawah, maka selanjutnya ikuti instruksi.

3. Klik menu file > new > new blank document > pilih folder > OK

4. Lakukan Georeferencing process dengan instruksi berikut: Klik menu view > Data Frame Properties > Tab Coordinate System > Select Coordinate System > Predefined > Project Coordinate System > UTM > WGS 1984 > Southern Hemisphere > Zone 48S

5. Wilayah Southern Hemisphere berarti lokasi berada di selatan garis khatulistiwa dan zona 48S merupakan nomor zona pada sistem WGS 1984 dimana lokasi berada.

6. Munculkan menu editor dan georeferencing dengan klik kanan di toolbar menu 7. Untuk menghitung luas wilayah maka peta yang digunakan adalah peta pos dan stasiun cuaca yang memiliki keterangan garis lintang dan juga bujur dengan lintang di bawah garis khatulistiwa maka harus ditambahkan tanda minus (-) di depan angka. Kemudian lakukan untuk 3 titik lainnya

11.Setelah lengkap maka klik ikon kemudian klik Rectify > save as dengan format .tiff

12.Setelah file menjadi .tiff maka file sudah bukan bersifat gambar biasa melainkan menjadi data yang sudah bisa ditelusuri luas dan jaraknya.

(40)

Lampiran 4 Lanjutan

13.Untuk memulai proses digitasi maka klik jendela catalog > klik kanan di folder tujuan > new shape file > pilih feature type > point > edit > masukkan daftar sistem koordinat > select > Project Coordinate System > UTM > WGS 1984 > Southern Hemisphere > Zone 48S > OK

14.Jika sudah maka file tersebut sudah berformat .shp

15.Klik ikon > Start editing > Pilih file point.shp > klik pos stasiun 16.Input peta batas sub DAS Waduk Jatiluhur dan lakukan georeferencing process

seperti langkah nomor 4

17.Ulang proses digitasi menghitung dan membatasi sub DAS waduk Jatiluhur seluruhnya sehingga menjadi data .tiff

18.Untuk memulai proses digitasi sub DAS waduk Jatiluhur maka klik jendela catalog > klik kanan di folder destinasi > new shape file > pilih feature type > polygon > edit > masukkan daftar sistem koordinat > select > Project Coordinate System > UTM > WGS 1984 > Southern Hemisphere > Zone 48S > OK

(41)

Lampiran 4 Lanjutan

20.Lalu untuk memulai menyambungkan titik- titik stasiun agar bisa dikembangkan dengan metode polygon thiessen adalah dengan melakukan seperti langkah 13.

21.Lakukan proses digitasi maka klik file point.shp yang sebelumnya sudah dibuat 22.Kemudian save as dengan format .DWG dan dibuka di software AutoCAD 2010. Hubungkan titik- titik tersebut dengan command line. Lalu dibuat offset dari setiap garis yang terbentuk. Buat garis pada mid point setiap pasang garis. Lalu pertemuan dari perpotongan 3 garis tengah menjadi pusat. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.

23.Setelah selesai dari AutoCAD, file kemudian di-save dan dibuka ulang di ArcGIS

24.Dari 3 wilayah yang sudah dibatasi lalu kemudian dihitung luasnya dengan cara seperti pada tahap 18

25.Ulangi tahap 19 dan pilih .shp lalu buat poligon dari setiap wilayah yang dibatasi. Lengkapi 2 wilayah lainnya mengikuti batas terluar dari sub DAS Waduk Jatiluhur

26.Masuk ke Table of content lalu klik kanan di file poligon.shp lalu pilih open attribute table

27.Dari attribute table lalu klik kanan di kolom Id > calculate geometry > lalu pilih satuan luasan yang dikehendaki. Misalnya pada kasus ini digunakan satuan m2 sehingga pada Polygon jenis 1 luasannya adalah 143.877 m2 atau 14,38 ha.

(42)

1. Untuk tahun 2004 Masukkan luas dan curah hujan dari stasiun Tegalwaru, Cilentah dan Karangtoman

= , � . + , � + , �

, + , + ,

=

. , + . , + . ,

=

. , = 1.292,82

2. Langkah yang sama juga dilakukan sampai tahun 2013 lalu direkapitulasi seperti Tabel 10

3. Kemudian dicari rata- rata curah hujan 10 tahun (Y) sehingga didapatkan 2.109,96 mm

4. Konversi nilai Y dalam satuan cm menjadi 210,99 cm dan dimasukkan ke dalam persamaan berikut sehingga nilai R nya dapat diketahui:

(43)

1. Langkah- langkah hampir mirip dengan lampiran 2

2. Dengan menggunakan file batas sub DAS Waduk Jatiluhur .shp yang sudah dibuat sebelumnya, maka peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dari DEM dan peta tutupan lahan dipotong berdasarkan luasan sub DAS Waduk Jatiluhur 3. Karena file ketiga peta tersebut sudah berformat .tiff sehingga tidak perlu

dilakukan georeferencing kembali

4. Peta yang harus diolah dulu sebelum proses digitasi luas dimulai adalah peta DEM. Peta DEM bisa diatur kemiringan lerengnya sesuai yang dikehendaki 5. Klik ArcToolbox > Pilih (klik +) 3D Analyst Tools > Pilih (klik +) Raster

Surface > Double klik Slope 6. Muncul Toolbox

7. Pada bagian input raster, ketik atau pilih “file input DEM”

8. Pada bagian output raster, ketik atau pilih alamat dan nama “file hasil”

9. Klik “OK”

10. Setelah file DEM diinput maka selanjutnya peta tersebut tampil pada Tableof Content. Pilih peta DEM tersebut lalu klik kanan > properties

(44)

12.Lalu pada box show pilih > Classified

13.Pada classification pilih manual dan atur menjadi 5 classes

14.Masukan kemiringan lereng yang dikehendaki. 5 kelas ini adalah kemiringan lereng dengan kelas 0-5%, 5-15%, 15-35%, 35-50% dan lebih dari 50% lalu pilih OK maka peta dengan kemiringan lereng yang dikehendaki siap diolah lebih lanjut

(45)

16.Konsep dari digitasi luas pada tahap ini adalah membuat peta- peta tersebut seolah- olah seperti layer- layer yang saling tindih satu sama lain. Layer pertama adalah peta jenis tanah, layer kedua adalah peta tutupan lahan dan layer ketiga adalah peta kemiringan lereng

17.Urutan peta tersebut didasarkan pada tingkatan detail petanya. Peta dengan detail paling banyak dan rumit diolah paling terakhir.

18.Total ada 17 Grid dari seluruh wilayah sub DAS yang diolah. Pemberian Grid dimaksudkan agar pengolahan data dengan proses digitasi ini bisa secara detail dan teliti

19.Dari setiap grid diperiksa ada berapa jenis tanah, ada berapa macam tutupan lahan, dan dari setiap macam tutupan lahan ada berapa kemiringan lereng

(46)

Lampiran 7 Peta hasil digitasi

(47)

Sumber: Peta tutupan lahan rupa bumi Indonesia skala 1:25.000 tahun 1996 hasil ground check BAPEDAS Citarum-Ciliwung tahun 2013

Lampiran 8 Peta tutupan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur

(48)

Sumber: Hasil analisis yang bersumber dari peta DEM citra SRTM tahun 2013 resolusi 30x30 m

(49)

Sumber: Peta jenis tanah berasal dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1992 berskala 1:250.000

(50)
(51)
(52)
(53)

1. Perhitungan dengan metode Interpolasi pada Tabel 5

Xi = Koefisien yang dicari pada luas yang diketahui a = Luas selang bawah

ai = Koefisien pada luas selang bawah b = Luas selang atas

bi = Koefisien pada luas selang atas

Bila luas sub DAS Waduk Jatiluhur sebesar 30.600 ha, maka:

. − .

(54)

Bila: Qi.a = 2.563.000.000 m3/tahun Qi.b = 2.543.000.000 m3/tahun Qi.c = 649.000.000 m3/tahun Maka,

. = % [ % % , % �. + , % �. + , % �. ]

Qt.c = 90% x [ 10% (10% x 0,33% x 2.563.000.000 + 0,33% x 2.543.000.000) + (0,33% x 649.000.000)]

Qt.c = 90% x [ 10% (845.790 + 8.391.900) + (2.141.700)]

Qt.c = 90% x [ 10% (9.237.690) + (2.141.700)]

Qt.c = 90% x [ 923.769 + 2.141.700]

(55)

Sumber: PPPTSDA 2000

(56)

1. Volume dead storage didapatkan dengan memasukkan nilai elevasi dead storage sebesar 75 m ke dalam persamaan (7)

2. Volume dead storage kemudian dibagi dengan laju sedimentasi dengan pendekatan sistem kaskade

= , � − , � + , �

= , − , + ,

= , − , + , = ,

Karena persamaan (7) dalam satuan juta, maka volume dead storage menjadi 578.900.000 m3

� = � � � � � � �ℎ��� = . . . . , = 209,82

Atau dibulatkan menjadi 209 tahun terhitung semenjak tahun 2000. Oleh karena itu sejak tahun 2014, waduk diperkirakan masih dapat beroperasi hingga 195 tahun lagi

209 – ( 2014 - 2000) = 195 tahun

(57)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 9 Juli 1992 dari pasangan Bapak Muhammad Agus dan Ibu Susi Setiowati. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, yaitu kakak dari Aura Izzmi Hafidz dan Riyansyah Ramdhan Pamungkas. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMPN 4 Bogor dan melanjutkan ke SMAN 1 Bogor. Penulis lulus SMA pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum Ilmu Ukur Wilayah pada tahun ajaran 2012/2013. Pada tahun 2011 sampai dengan 2013 penulis aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (HIMATESIL) dan Unit Kegiatan Musik Kampus (MAX). Selain itu penulis aktif pula mengikuti kepanitiaan dalam kegiatan- kegiatan baik dalam tingkat fakultas maupun kampus. Pada tahun 2012 di HIMATESIL, penulis menjadi anggota divisi Hubungan Eksternal dan menjabat sebagai ketua divisi yang sama pada tahun 2013. Pada Oktober tahun 2013, penulis menjadi perwakilan departemen di Komunitas Pejalan Kaki kota Bogor. Penulis juga pernah mewakili departemen untuk acara seminar internasional “The Annual International Scholar

Conference” di Taiwan pada April tahun 2013 dan pertukaran pelajar ke Universitas Tohoku Jepang bersama Japan International Cooperation Center pada April tahun 2014.

Penulis melaksanakan praktik lapang pada bulan Juli – Agustus 2013 di PT.

Indolakto, Kabupaten Sukabumi dengan judul “Pengolahan Air Limbah di PT Indolakto, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.” Pada bulan Juli 2014 penulis

Gambar

Gambar 1  Lokasi waduk Jatiluhur
Gambar 3  Pola sedimentasi pada waduk
Tabel 1  Faktor LS berdasarkan kemiringan lereng
Tabel 4  Kriteria erosi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat melaksanakan pembelaja- ran kimia dengan hasil yang baik, selain kuri- kulumnya yang harus sesuai, Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan

Perusahaan umum pegadaian adalah satu – satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan

Agar suatu aplikasi mudah digunakan, maka diperlukan user interface yang dapat dengan mudah dimengerti oleh pengguna. Maka dari itu diperlukan rancangan layar sebelum

Judul penelitian yang ketiga yaitu “Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Pada Pembelajaran Fiqih Kelas X Madrasah Aliyah Negeri MAN Malang 1” yang ditulis

Dengan inI kami mengundang Saudara untuk mengikuti Pembuktian Kualifikasi Jasa Konsultansi dengan Sistem Seleksi Sederhana untuk :. Perencanaan Teknis Pembangunan Kawasan

Saya yang bertandatangan dibawah ini Pejabat Pengadaan pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten.Lampung Tengah dengan ini menetapkan calon

Pokja ULP pada Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Manggarai, Tahun Anggaran 2016 Pada hari ini Senin tangg al Sebelas Bulan Juli Tahun Dua Ribu Enam Belas

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Belas bulan Juli tahun Dua Ribu Enam Belas, kami Pokja Pengadaan pada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Manggarai