• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

ELVINA AGUSTIN RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Elvina Agustin Rahayu

(4)
(5)

Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara Dibimbing oleh DAHRUL SYAH dan JOKO HERMANIANTO.

Jaminan kehalalan bagi penduduk muslim Indonesia merupakan kewajiban yang harus disediakan pemerintah. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar saat ini yaitu 88 % dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 239 juta penduduk.

Kegiatan sertifikasi halal semata, belum cukup menjadi cara untuk menjamin kehalalan produk bagi konsumen muslim Indonesia. Penelitian LP POM tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 113.515 produk yang beredar sesuai dengan izin BPOM hanya 36,73 persen yang telah memiliki sertifikat halal. Dengan kata lain, 63,27 persen produk sisanya tidak ada jaminan kehalalannya, jika ditinjau dari pola pikir sertifikasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan regulasi halal di Indonesia, melalui 4 kelompok bisnis pangan yang ada. Berdasarkan PP No.28/2004 ada 4 kelompok bisnis yaitu kelompok bisnis pangan segar, industri rumah tangga ,industri pangan dan pangan siap saji.

Selain poin diatas, dilakukan juga identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan di beberapa Negara yaitu : (1) Negara Negara Teluk (dalam penelitian ini Arab Saudi dan Uni Arab Emirat), (2) Singapura, (3) Uni Eropa (Jerman dan Belanda), (4) Australia. Identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan didasarkan pada model kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu ; (1) legislasi/regulasi, (2) Pengendalian, (3) Jasa Laboratorium, (4) Inspeksi dan (5) Pelatihan, publikasi dan sosialisasi.

Identifikasi regulasi secara detail dilakukan hanya untuk Indonesia, sementara untuk 4 negara lain yang ada dalam penelitian ini, identifikasi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dari media public. Keberadaan regulasi halal di Indonesia di identifikasi dengan menelaah 98 regulasi dalam bentuk undang undang termasuk UU Pangan no 18/2012, peraturan pemerintah dan peraturan mentri atau kepala badan di setiap 4 kelompok bisnis yang ada.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan regulasi halal di Indonesia yang paling lengkap ada pada kelompok bisnis pangan segar sedangkan yang paling tidak lengkap ada pada bisnis pangan siap saji. Selain kesenjangan, penelitian ini juga menunjukkan adanya inkonsistensi dalam aturan.

Regulasi terkait dengan peredaran atau masuknya daging ke Indonesia secara implisit menunjukkan bahwa daging halal yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat dapat masuk ke Indonesia. Hal ini terdapat pada PP No.95/2010 pasal 31 dan Permentan No.50 /2011 pasal 19. Dua (2) pasal tersebut pada hakekatnya bertolak belakang dengan aturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Kesehatan Masyarakat Veteriner No.8/2009 pasal 56 ayat 4 yang menyatakan bahwa semua daging hewan yang masuk ke Indonesia harus disertai dengan sertifikat veteriner dan halal.

(6)

hukum Islam sebagai dasar hukum Negara. Jaminan kehalalan menjadi bagian dari tanggungjawab pemerintah, terutama untuk produk impor. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab masuk dalam model kedua dari sistem jaminan kehalalan yang tertangkap dalam penelitian ini. Model ketiga diwakilkan oleh negara Singapura. Jumlah populasi muslim di negara ini memang minoritas yaitu 15 %, tetapi pemerintah menjamin kebutuhan muslim dengan adanya aturan yang tertuang pada AMLA (the Administration of Moslem Law Act). Jaminan kehalalan dilakukan melalui kegiatan sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan bagian dari pemerintah.

Model keempat adalah model yang diwakili oleh negara-negara Uni Eropa. Jaminan kehalalan merupakan upaya mandiri dari organisasi muslim atau komunitas muslim setempat. Awalnya pemerintah tidak ikut campur dalam pengelolaan halal di Uni Eropa ini. Sejak Januari 2013 negara sudah ikut menetapkan standar penyembelihan berdasarkan aturan agama (religious) untuk penduduk muslim dan yahudi. Model kelima adalah negara yang diwakili oleh Australia. Pemerintah bersama dengan organisasi muslim di negara tersebut bekerjasama untuk menyediakan daging halal dalam rangka kebutuhan ekspor ke negara muslim. Sertifikat halal menjadi bagian dari dokumen negara. Pemerintah yang berperan aktif melakukan komunikasi ditingkat negara untuk kemudian di komunikasikan ke lembaga sertifikasi halal yang ada di Australia.

Dari penelitian ini, arsitektur jaminan kehalalan di Indonesia yang diajukan adalah menjadikan UU Pangan No.18/2012 sebagai payung dari pelaksanaan halal di Indonesia, sementara 4 kelompok bisnis pangan yang ada menjadi pilar dari bangunan dan regulasi terkait halal menjadi landasannya. Untuk itu harus terdapat pernyataan eksplisit yang menekankan jaminan kehalalan bagi konsumen muslim disetiap aturan turunan Undang Undang Pangan. Dengan demikian jaminan kehalalan dilakukan dengan mengadopsi model sistem jaminan kehalalan negara negara Teluk (Gulf Cooperation Council). Pada masa transisi prinsip voluntary (jaminan kehalalan melalui sertifikasi) dapat dilakukan untuk membiasakan pola kerja produksi halal. Sertifikat halal sebagai hasil dari proses sertifikasi halal harus menjadi bagian dari dokumen Negara sebagaimana yang diterapkan di Negara Australia.

(7)

The research to identify the existence of halal regulation at different category/type/group of foood business was conducted based on content analysis of availablelasify of food business. Based on Government Regulation (PP) No.28/2004, food business in Indonesia are grouped into 4 category, namely fresh food,home industry product (PIRT), industrial food products as well as fast food and restaurant.

The existence of Halal regulation is identified for each step of business. Started from registration of business, processing and packaging until product distribution.the identification also includes surveillance and follow up of non-complying status based on content analysis. Next, the availability of explicit statement of halal assurance clause(s)l in the current regulation was evaluated.

Besides , this study also identified the Halal Assurance System (HAS) in some countries.The selected countries in this study are Indonesia, Gulf Countries (focus on Saudi Arabia and Uni Emirat Arab), Australian,Singapore, Germany and Netherland. Halal Assurance System of countries are identified based on the infrastructure model of food safety assurance that are as follows : (1) Regulation/Legislation (2) Controlling (3) Inspection (4) Laboratory Service (5) Training,publication and socialization.

In general Indonesia does not have proper halal assurance at any group of food business. The coverage of halal regulation at fresh food group is relatively wider than other categories. Meanwhile fast food and restaurant group has a big lack/gap in halal assurance system. Explicit statement of halal assurance was found only at distribution step. Elimination of this gap could be used to design halal assurance model to cover each steps in all category of food business from fresh food, processed food until fast food/ restaurant.

Based on currently matrice,there are 5 models of Halal Assurance System implemented throughout the world. Implementation of HAS in Indonesia could be done by combining lesson learned drawn from currently experience. It should be carried out, especially to eliminate the gap identified by this study. The HAS that proposed to be run in Indonesia should be developed by combining the activities performed in Gulf countries (full inpection by government) and certification process performed in Australia.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

ELVINA AGUSTIN RAHAYU

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan

pada

Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tugas Akhir : Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara

Nama : Elvina Agustin Rahayu

NIM : F 252100015

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Dahrul Ssyah, MSc Agr Ketua

Dr Ir Joko Hermanianto Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi Dr Ir Dahrul syah, MSc Agr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, atas kehendak dan kemudahanNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Karya ini penulis dedikasikan untuk almarhum kedua orangtua, mama papa tercinta dengan prinsip hidup yang telah ditanamkannya.Penulis berharap karya ini akan menjadi manfaat untuk orang banyak sehingga mengalir penghargaan dari Nya untuk kedua almarhum orangtua tercinta.

Rasa terimakasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua dosen pembimbing, Bapak Dr.Ir.Dahrulsyah dan Bapak Dr.Ir.Joko Hermanianto yang telah banyak memberikan bimbingan, semangat dan kepercayaannya kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Hanya Allah yang dapat memberikan balasan yang terbaik.

Untuk anak-anak ku tercinta dan terkasih Wadiah, Widad, Muhammad dan Hilmi kalian adalah semangat hidupku. Semoga karya ini bisa menjadi inspirasi dan semangat kalian untuk menjadi orang besar yang bermanfaat.

Untuk mbak-mbak dan mas mas ku, terutama Mbak Min ,Mbak Tuti dan Mas Beny terimakasih atas dukungan kalian yang sangat berarti yang mungkin tidak kalian sadari.

Kesempatan dan pengajaran yang tidak ternilai yang telah diberikan oleh Prof Hj.Aisjah Girindra dan Prof.Tun Tedja kepada penulis tidak akan pernah terlupakan. Hanya balasan terbaik dari Nya yang pantas untuk keduanya..

Sahabat-sahabat dan saudaraku, Mbak Jus dan Mbak Wida terimakasih atas kebersamaan, semangat dan doa yang senantiasa kalian hembuskan. Terimakasih untuk Mbak Muti atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalankan penelitian ini. Untuk Teti terimakasih atas bantuannya untuk mengedit tulisan ini serta teman dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Pembalasan dari Allah yang terbaik untuk semua yang telah kalian berikan.

Akhirnya hanya kepada Allah semua kupersembahkan karyaku…

A miles of journey start from one small step (alm Papa tercinta)

“if you do one thing you will get everything..but if you do everything you

will get nothing (Prof Hj.Aisjah Girindra, 1994)

Bogor, Juli 2013

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dari pasangan Suryo Wiyono (alm) dan Deliana Sagala (alm) di Lhokseumawe, Aceh pada tanggal 23 Agustus 1969. Penulis menamatkan sekolah SD hingga Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Lhokseumawe,Aceh. Kemudian penulis melanjutkan sekolah dan menamatkan sekolah lanjutan atas di SMAN 5 Surabaya pada tahun 1988, untuk selajutnya memulai kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1988 dan memilih jurusan Teknologi Pangan.

Tahun 1993, penulis menyelesaikan kuliah di jurusan Teknologi Pangan dan bergabung dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Setelah hampir setahun di YLKI penulis kemudian bergabung dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) pada tahun 1994 hingga saat ini.

Pada tahun 2001 penulis bergabung sebagai tim eksternal di Laboratorium Terpadu IPB untuk mendirikan lembaga sertifikasi keamanan pangan dalam skema akreditasi KAN. Saat ini penulis sebagai tenaga ahli dan lead auditor

keamanan pangan berbasis ISO 22000 dan HACCP di lembaga tersebut.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 2

B. Tujuan Penelitian 3

C. Ruang Lingkup 3

D. Manfaat Penelitian 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3

A. Regulasi Pangan Halal 3

B. Pengertian Produk Halal 4

C. Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim Dunia 5

D. Potensi Pasar Halal Dunia 7

E. Penerapan Halal di berbagai Negara Mekanisme Jaminan Halal 7 F. Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia 8 G. Jaminan Halal dan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia 10

BAB III. METODOLOGI 10

A. Tahapan Penelitian 10

B. Objek dan Pengumpulan data 11

C. Personal sebagai nara sumber 11

BAB IV. ANALISIS KONTEN TERKAIT ATURAN HALAL 11

A. Aturan Halal di Indonesia 11

1. Pangan Segar 13

2. Produk Industri Rumah Tangga 15

3. Produk Pangan Industri Pengolahan 16

4. Pangan Siap Saji 18

BAB V. KONDISI PENERAPAN HALAL DI BERBAGAI NEGARA 19

A. INDONESIA 20

B.ARAB SAUDI DAN NEGARA TELUK 26

C.AUSTRALIA 30

D.SINGAPURA 34

E.EROPA 37

BAB VI. JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA 44

A. Analisa konten terhadap legislasi dan manajemen pengawasan 44 B. Analisa konten terhadap kegiatan inspeksi dan pelayanan 47 C. Analisa konten terhadap edukasi,komunikasi dan informasi 49

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 50

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 56

(15)

DAFTAR TABEL

1. Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim 6

2. Populasi Muslim per kawasan 7

3. Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan 14

4. Regulasi Halal pada kelompok bisnis Pangan Segar 15

5. Regulasi Halal Pangan PIRT 17

6. Regulasi Halal Pangan Industri Pengolahan 18

7. Regulasi Halal pada produk pangan siap saji 19

8. 9. 10.

Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011

Matriks inspeksi pangan impor berdasarkan kriteria seleksi vs tipe kanal.

19 22 29

11. Pembiayaan Sertifikasi di Singapore (sumber Website MUIS) 37

12. Perbandingan model sistem jaminan kehalalan di beberapa Negara

51

DAFTAR GAMBAR

1. Perkiraan Jumlah Populasi Muslim pada tahun 2030 (Sumber : Pew Research Center’s Forum, 2011)

6

2. Visi 2025 Indonesia. 9

3. Organisasi pelaksana sertifikasi halal 23

4. Proses Sertifikasi Halal 24

5. Proses Sertifikasi Online 25

6. Struktur GCO 27

7. Struktur Organisasi Majelis Ugama Islam Singapura 36

8. Organisasi Yayasan HFF 39

9. Organisasi Lembaga Sertifikasi HFFIA 39

(16)

11. Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Control 40 12. Alat yang digunakan dalam kegiatan halal politie 43

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Penelitian Jaminan kehalalan beberapa negara berdasarkan

poin kerangka infrastruktur regulasi pangan 56

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia memiliki jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Persentase muslim Indonesia diperkirakan 88% dari sekitar 240 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia, karenanya Indonesia termasuk negara berkembang yang menjadi potensi pasar yang cukup menjanjikan.

Kehalalan pangan menjadi salah satu hal penting bagi penduduk Indonesia. Konsumen Muslim yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia, mutlak mendapatkan jaminan kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Mengkonsumsi pangan halal bagi konsumen muslim menjadi bagian dari Ibadah menjalankan ajaran agama. Ketersediaan pangan halal di Indonesia merupakan hak asasi yang harus dipenuhi oleh negara.

Ketersediaan produk halal bagi konsumen muslim dapat berasal dari jaminan yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga ulama atau swadaya komunitas muslim. Sertifikasi halal merupakan salah satu bentuk jaminan terhadap produk yang dihasilkan.

Di Indonesia penetapan fatwa halal untuk suatu produk pangan menjadi wilayah otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Ulama Indonesia membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika (LP POM) sebagai lembaga pemeriksa di lapang dalam rangkaian proses sertifikasi halal.

Prospek pangan halal menjadi suatu hal yang menjanjikan. Ketersediaan pangan halal menjadi kebutuhan setiap muslim tanpa pengecualian. Populasi muslim dunia pada perhitungan tahun 2009 mencapai 1.83 milyar, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1.8 persen pertahunnya sehingga pertambahan penduduk menjadi sekitar 117 juta pertahunnya. Pasar produk halal saat ini mendekati US$ 2.3 triliun. Perspektif pangan halal tidak hanya untuk konsumen muslim , tetapi menjadi perhatian konsumen non muslim.

Saat ini konsumen muslim Indonesia mendapatkan jaminan kehalalan dari proses sertifikasi yang dilakukan oleh LP POM MUI untuk produk pangan kemasan dan pangan siap saji. Sementara untuk produk pangan segar hewan, Kementrian Pertanian (Kementan) merupakan lembaga otoritas yang melaksanakan pengelolaan daging dan produk turunannya agar sesuai aturan kesehatan dan kehalalannya.

Jaminan kehalalan melalui proses sertifikasi masih belum bisa menjangkau semua produk yang beredar di Indonesia. Berdasarkan data LP POM MUI (2010) produk pangan, obat dan kosmetika yang terdaftar di Badan POM, hanya 36.73 % dari 113.515 produk tersebut yang memiliki sertifikat halal.

LP POM MUI dalam melakukan aktifitas sertifikasi bersifat voluntary bukan

mandatory. Disamping itu kondisi demografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan menyebabkan adanya peluang untuk masuknya barang impor illegal yang faktor kehalalannya juga sangat diragukan.

(18)

2

bahan yang dikirim ke dalam wilayah negara Indonesia. Produk yang masuk ke Indonesia umumnya berasal dari negara yang minoritas muslim. Permasalahannya importir tidak jarang membawa sertifikat halal dari lembaga yang tidak diakui oleh MUI. Keadaan ini memberikan sejumlah alasan dan keluhan bagi industri bahwa halal menjadi semacam hambatan.

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis,suku dan budaya, dengan level kehidupan ekonomi yang perbedaannya cukup besar. Sertifikasi terhadap usaha makanan seperti warung nasi atau pun restauran yang dimiliki oleh para pengusaha bermodal kecil menjadi suatu kendala yang cukup signifikan dari segi pelaksanaan dan biaya.

Pangan halal merupakan isu global, tidak lepas dari isu rantai pangan. Saat ini jaminan kehalalan pangan didapat melalui mekanisme sertifikasi halal dan dalam beberapa kasus adanya jaminan pemerintah melalui instansi terkait.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pola jaminan kehalalan yang telah dilaksanakan di Indonesia dan model jaminan kehalalan yang dilakukan pada beberapa negara di dunia. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat pelaksanaan jaminan kehalalan di Indonesia serta pemaparan sistem jaminan kehalalan di beberapa negara. Pembandingan sistem jaminan kehalalan dilakukan dengan menggunakan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu (1) Legislasi, (2) Pengawasan, (3) Inspeksi, (4) Penggunaan Laboratorium, (5) Informasi, edukasi dan pelatihan. Sistem jaminan kehalalan di Indonesia akan dilihat lebih dalam melalui perangkat hukum dan pelaksanaan yang telah dilakukan pada sektor (1) Pangan segar, (2) Industri Rumah Tangga, (3) Industri Pengolahan, (4) Pengolahan Pangan Siap Saji

Pembandingan sistem jaminan kehalalan di berbagai negara serta efektifitas pelaksanaan sistem jaminan kehalalan yang telah ada, akan disarankan untuk perbaikan pengelolaan sistem jaminan kehalalan di Indonesia. Pelaksanaan sistem jaminan kehalalan dari berbagai negara ini akan dipaparkan. Pemaparan ini diharapkan bisa menjadi alat bantu bagi negara negara yang penduduknya mayoritas muslim untuk mengembangkan sistem jaminan kehalalan yang komprehensif. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu persiapan atau proses untuk “satu standar halal global” atau one global halal standard.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini terdiri Tujuan Umum dan Tujuan Spesifik. Tujuan Umum dari penelitian ini adalah telaah efektifitas pengelolaan halal yang telah dilakukan di Indonesia serta membandingkan sistem jaminan kehalalan di beberapa negara melalui pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah :

1. Identifikasi regulasi yang memuat pernyataan halal secara eksplisit di Indonesia berdasarkan jenis usaha (i) Pangan segar, (ii) Industri Rumah Tangga, (iii) Industri Pengolahan, (iv) Pengolahan pangan siap saji.

(19)

keamanan pangan yaitu (i) Legislasi, (ii) Pengawasan, (iii) Inspeksi , (iv) Pengujian Laboratorium, (v) Informasi, edukasi dan pelatihan.

3. Merumuskan dan mengajukan model sistem jaminan kehalalan yang ideal di Indonesia.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah identifikasi terhadap aspek regulasi halal yang telah ada di Indonesia pada 4 sektor yaitu pangan segar, industri rumah tangga, industri pengolahan dan pengolahan pangan siap saji.

Identifikasi model jaminan kehalalan di beberapa negara dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. Negara yang menjadi lingkup dari penelitian ini dikelompokkan pada sistem pelaksanaan halal yang dikelola oleh negara dan organisasi masyarakat atau swasta. Untuk 4 negara selain Indonesia belum dapat dilakukan tahapan identifikasi aspek regulasi halal di kelompok bisnis pangan yang ada di negara negara tersebut karena keterbatasan sumber informasi.

Identifikasi awal dilakukan berdasarkan komunikasi surat elektronik,wawancara dan atau informasi yang terdapat pada website resmi dari negara yang menjadi objek penelitian. Objek dari penelitian ini adalah lembaga sertifikasi halal atau badan otoritas dari negara yang telah ditetapkan pada penelitian ini.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan:

1. Menjadi bahan atau pun informasi yang akurat bagi para pembuat keputusan untuk menetapkan skema jaminan kehalalan yang tepat di Indonesia

2. Memiliki data atau informasi yang transparan tentang pelaksanaan sistem jaminan kehalalan dari masing masing negara.

3. Informasi tentang keberadaan regulasi halal pada 4 kelompok bisnis pangan di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Regulasi Pangan Halal

(20)

4

yang artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”.

Payung hukum tentang pangan halal dalam aspek legal di Indonesia antara lain diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No.8/1999 pasal 8 yaitu : Pengusaha tidak diizinkan untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan proses produksi halal jika perusahaan mencantumkan label halal. Sementara beberapa pasal dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan telah mengakomodasi kepentingan umat Islam terhadap pangan halal. UU Pangan ini juga telah mendefinisikan halal sebagai bagian dari pengertian keamanan pangan.

Pangan Halal juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.69/1999 pada pasal 10 dan 11 tentang kemasan pangan dan yang diproduksi atau di diperdagangkan dan dinyatakan bahwa pangan tersebut halal, maka perusahaan harus bertanggungjawab pada kebenaran label halal dan pangan tersebut serta telah diuji oleh laboratorium uji yang terakreditasi. (Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan No.69/1999).

Regulasi pangan halal lainnya terkait dengan pangan segar yang berasal dari hewan adalah Undang-Undang No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Mentri Pertanian No.13/2010 tentang Persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging , Peraturan Mentri Pertanian No.50/2011 tentang Rekomendasi persetujuan pemasukan karkas,daging,jeroan dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara RI dan Peraturan Pemerintah No 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

B. Pengertian Produk Halal

Produk Halal adalah salah satu terminology dalam aturan Islam. Lawan kata dari halal adalah haram . Terkait dengan produk pangan , maka kehalalan produk ditinjau dari segi bahan dan prosesnya.

Produk Halal adalah produk yang selain dari yang diharamkan oleh Alquran atau berdasarkan hadist . Dalil tentang keharaman suatu produk seperti pada ayat berikut :

(21)

ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang” [QS. Al Baqarah:173].

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi dimana kedua hal tersebut dikuasai oleh non muslim, maka rambu-rambu diatas menjadi tidak sederhana dan terkadang sulit untuk dideteksi dalam bentuk pangan yang beredar di pasaran.

Al Qadarawi (1984) didalam Riaz (2004) menyampaikan ada 11 prinsip yang secara umum diterima terkait dengan kehalalan dan keharaman suatu produk yaitu :

1. Prinsip dasar bahwa semua yang diciptakan oleh Sang Pencipta adalah mubah kecuali yang dilarang.

2. Hanya Sang Pencipta yang memiliki otoritas untuk menyatakan status mubah dan pelarangan atas sesuatu.

3. Melarang sesuatu yang mubah dan membolehkan sesuatu yang diharamkan sama halnya menyamakan posisinya seperti sang Pencipta. 4. Pelarangan atas suatu bahan karena semata untuk kebaikan manusia. 5. Sesuatu yang dibolehkan lebih banyak daripada yang dilarang.

PelaranganNya atas sesuatu karena memang tidak terdapat manfaat untuk manusia justru malah membahayakan.

6. Sesuatu yang memfasilitasi untuk mengarah pada sesuatu yang diharamkan, maka media ata cara tersebut menjadi haram pula.

7. Tidak dibolehkan mengatakan yang haram menjadi halal.

8. Niat yang baik tidak menjadikan sesuatu yang tidak dibolehkan menjadi dapat diterima

9. Hal yang meragukan sangat dianjurkan untuk dihindari dan ditinggalkan 10.Segala sesuatu yang diharamkan tidak ada pengecualian untuk semua

muslim, pengecualian hanya untuk non muslim 11.Persyaratan/ketentuan yang bersifat darurat.

Elemen dasar halal dalam rantai suplai memiliki pengertian ketaatan terhadap hukum syariah, tingkatan produk yang berkualitas tinggi,keamanan produk, kesejahteraan hewan dan perdagangan yang adil (Sungkar, I dan D.Hasim.,2009).

Dalam menjalankan fungsi sertifikasi halal di Indonesia LP POM MUI melakukan audit berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI terkait dengan audit halal yaitu (1) air daur ulang , (2)produk mikrobial, (3) penyembelihan, (4) alkohol, (5) vaksin polio, (6) kepiting, (7) penggunaan organ tubuh untuk obat dan kosmetika, (8) kloning, (9) pemanfaatan cacing dan jangkrik, (10) budidaya kodok, (11) konsumsi daging kelinci, (12) kopi luwak, (13) pencucian alat yang terkena najis dan (14) cara pencucian ekstraks ragi dari hasil pengolahan bir (Indonesia Halal Directory 2011)

C. Product Domestic Bruto dan Jumlah Muslim Dunia

(22)

6

Tabel 1. Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim

No Negara Jumlah Populasi

Muslim*

PDB (milyar)

dalamUS$**

1 Indonesia (88%) 215.998.410 (109) 3.910

2 Arab Saudi (100%) 27.019.713 (29) 25.085

3 Uni Arab Emirat (99%) 2.576.686 (6) 64.840

6 Singapura (20%) 898.430 (10) 51.162

7 Belanda (3 %) 494.744 (14) 46.142

8 Jerman (1.7% ) 1.401.179 (21) 41.513

9 Australia (1.5%) 303.961 (7) 67.723

*data dari www.asoon.org/a-world.htm ** Data IMF, 2012

Indonesia saat ini memiliki jumlah muslim terbesar di dunia. Ditinjau dari urutan nilai PDB (product domestic bruto) terbesar dari negara yang ada dalam penelitian ini adalah Negara Uni Emirat, Australia dan Singapore. Berdasarkan sumber data dari Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, (2011) jumlah penduduk muslim diharapkan meningkat 35 % dalam waktu 20 tahun mendatang yaitu dari 1.6 milyar pada tahun 2010 menjadi 2.2 milyar pada tahun 2030. Diperkirakan populasi muslim akan meningkat dua kali lebih besar dibanding dengan populasi non muslim selama dua dekade. Peningkatan jumlah populasi muslim di dunia dapat dilihat pada grafik yang tersaji pada gambar 1. Sedangkan Populasi Muslim per kawasan dapat dilihat pada tabel 2.

(23)

Tabel 2. Populasi Muslim per kawasan

2010 2030

Estimasi populasi muslim

Estimasi persentase populasi muslim

global

Proyeksi populasi muslim

Proyeksi persentase

populasi muslim global

Dunia 1,619,314,000 100,0% 2,190,154,000 100,0%

Asia-Pacific 1,005,507,000 62,1% 1,295,625,000 59.2%

Sub Saharan Afrika

242,544,000 15,0% 385,939,000 17,6%

Eropa 44,138,000 2,7% 58,209,000 2,7

Amerika 5,256,000 0,3% 10,927,000 0,5%

Sumber : Pew Research Center’s Forum,2011

D. Potensi Pasar Halal Dunia

Pasar halal merupakan pasar yang menjanjikan. Secara global pasar halal diperkirakan bernilai US $ 2.3 triliun (di luar perbankan Islam) dengan rincian

Food &Beverages sekitar 67% , farmasi 22%, kosmetika dan personal care 10 persen. Pertumbuhan pasar halal pun cukup menjanjikan yaitu 1.8 % per tahunnya. (Kassim, AM. 2010).

Jumlah penduduk muslim di wilayah Asia Pacific merupakan penduduk dengan persentase muslim terbesar yaitu 61.9%, Timur Tengah 20.1 %, Sub Sahara 15.3% , Eropa 2.4 % serta Amerika 0.3 % serta sisanya sebesar 22.9 persen (Kassim, AM.2010).

Berdasarkan data dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (2012) diperkirakan potensi ekspor produk Halal dari Indonesia senilai US$ 146.52 milyar dari target ekspor produk Indonesia tahun 2012 senilai US$ 186.10 milyar.

Sedangkan berdasarkan harian Bernama Malaysia (2012) pasar global untuk pangan berada pada nilai US$ 720 miliar berdasarkan harga tahun 2009 , dimana pasar halal untuk Malaysia senilai US$ 12,21 milyar atau 6.3 % dari nominal GDP Malaysia yaitu US$ 192.82 milyar.

E. Penerapan Halal di berbagai negara

Dengan berkembangnya ilmu dan industri yang terkait dengan pangan, penggunaan bahan yang meragukan bagi konsumen muslim menjadi suatu permasalahan yang cukup penting. Karenanya jaminan kehalalan dalam bentuk sertifikasi atau penandaan produk menjadi salah satu bentuk jaminan kehalalan dan ketersediaan produk yang aman bagi konsumen muslim.

(24)

8

Ketersediaan Pangan Halal di Indonesia belum menjadi suatu kewajiban (mandatory). Sertifikasi halal adalah bagian dari jaminan. Di Indonesia peran sertifikasi halal dilakukan oleh LP POM MUI sejak tahun 1988. Persyaratan Halal yang baru saja diluncurkan oleh LP POM MUI adalah HAS (Halal Assurance System ) 23000, berisi 11 kriteria persyaratan sertifikasi halal. HAS 23000 merupakan induk dari 12 persyaratan atau Kriteria lainnya.

Kriteria Sistem Jaminan kehalalan berdasarkan HAS 23000: 2012 adalah : (1) Kebijakan Halal, (2) Tim Manajemen Halal, (3) Pelatihan dan Pendidikan, (4) Bahan, (5)Produk, (6) Fasilitas produksi, (7) Prosedur tertulis untuk aktifitas kritis, (8) Penanganan produk tidak sesuai, (9) Mampu telusur, (10) Audit Internal dan (11) Tinjauan Manajemen.

Di Malaysia proses sertifikasi dilakukan oleh pemerintah melalui Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) berdasarkan standar MS 15000:2009 Halal Food serta MS 22000:2008 Halal Cosmetic and Personal Care . Sementara Thailand proses sertifikasi berdasarkan TAS :8400: 2007 dan Singapura berdasarkan standar MUIS-HC-S001 - General Guidelines for the Handling & Processing of Halal Food dan MUIS-HC-S002 - General Guidelines for the Development &Implementation of Halal Quality Management.

Bentuk lain jaminan kehalalan yang dikembangkan di Singapura adalah memberikan kesempatan kepada pengusaha muslim untuk “self declaration” terhadap produk yang dijualnya. Pengusaha muslim yang akan melalukan self declaration harus memiliki izin atau licence dari pemerintah terhadap usaha yang dijalankannya.(Salleh,MA, 2012).

F. Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia

Indonesia dikukuhkan sebagai pusat halal dunia oleh Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pada Juni 2011 (Jurnal halal,2012). Indonesia mengukuhkan diri sebagai Pusat halal Dunia dengan beberapa alasan yang dikemukakan oleh Shaberah,Amidhan (2012) yaitu :

1. Penduduk Muslim terbesar di dunia; 210 juta jiwa

2. Indonesia sebagai pasar halal terbesar dengan jumlah penduduk muslim terbesar

3. Indonesia melalui MUI memiliki persyaratan Halal yang akurat yang umumnya diterima diseluruh dunia

4. Memiliki pengalaman dalam melakukan sertifikasi halal dalam dan luar negeri selama 22 tahun

5. Indonesia memiliki system Jaminan kehalalan/ Halal Assurance System (HAS) yang memberikan jaminan untuk konsumen dan produsen 6. Peraturan dan regulasi mendukung halal yaitu Undang-Undang Pangan

dan Undang Undang Perlindungan Konsumen

7. Indonesia memiliki peran penting dalam bisnis halal di seluruh dunia.

(25)

Lembaga Sertifikasi halal harus didirikan oleh organisasi Islam atau pusat Islam yang memiliki tugas utama untuk mendidik dan syiar Islam juga menyediakan fasilitas ibadah dan pendidikan /pengajaran ilmu agama

1. Organisasi Islam tersebut harus memiliki kantor tetap dinegara yang beroperasi dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualifikasi dan kredibel

2. Organisasi Islam tersebut harus memiliki komisi fatwa yang berfungsi memutuskan atau memberi fatwa tentang halal status dan juga memiliki sejumlah auditor yang berkualifikasi. Jumlah minimum aggota komisi fatwa 3 orang sementara auditor minimum 2 orang yang kompeten didalam bidang atau ruang lingkup auditnya.

3. Lembaga Sertifikasi tersebut harus memiliki prosedur operasional yang standar untuk melakukan proses sertifikasi halal termasuk prosedur untuk pelaksanaan fatwa

4. Memiliki system yang baik untuk memantau perusahaan yang telah diberi sertifikat halal

5. Lembaga sertifikasi halal harus memiliki jaringan yang luas terutama dengan World Halal Food Council dan World’s Halal Product Trade

Institution

6. Mampu bekerjasama dengan MUI untuk mengatur pemeliharaan dan aktifitas monitor produk halal di Indonesia. (Sabherah, 2012).

Indonesia memiliki visi pada tahun 2025 untuk menjadi 8 negara terbesar dengan beberapa pertimbangan, seperti yang disampaikan oleh Lukman, A (2012) sebagaimana gambar 2.

Gambar 2. Visi 2025 Indonesia

(26)

10

G. Jaminan Halal dan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia

Penduduk muslim Indonesia menurut data Pew Research (2011) sekitar 88 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Bagi konsumen muslim jaminan kehalalan terhadap produk yang akan dikonsumsi adalah bagian dari kenyamanan bathin yang harus dipenuhi. Menurut Hariyadi (2008) keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan yang bermutu dan bergizi. Keamanan pangan yang dimaksud adalah keamanan pangan rohani (yaitu yang sesuai dengan keyakinan,kehalalan misalnya) juga faktor keamanan jasmani.

Di Inggris 1-2 % populasi dewasa dan 5-7% populasi anak-anak atau sekitar 1.5 juta penduduk Inggris menderita alergi (Hariyadi,2008). Uni Eropa melalui

European Commission menetapkan aturan label pangan yang wajib mencantumkan semua ingredien termasuk bahan yang menyebabkan alergi yang telah diketahui pada Directive 2000/13/EC.

Kasus alergi dapat disetarakan dengan kasus halal. Salah satu amanah yang disampaikan pada konferensi internasional tentang gizi di Roma ,Itali pada tahun 1992 di dalam Hariyadi (2008) yaitu akses untuk mendapatkan kecukupan gizi dan pangan yang aman adalah hak setiap orang. Aman ini kemudian diterangkan lebih lanjut oleh Hariyadi (2008) sebagai keamanan bathin dan jasmani.

BAB III

METODOLOGI

A. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua (2) tahapan utama yaitu : (A) Tahapan analisa jaminan kehalalan pada kelompok bisnis pangan di Indonesia dan (B ) Tahapan pembandingan sistem jaminan kehalalan yang ada pada beberapa negara dan sintesis untuk menggabungkan temuan tahapan A dan B.

Tahapan A terdiri dari beberapa langkah yaitu :

1. Penetapan tahapan dan identifikasi dari masing masing kelompok usaha pangan di Indonesia

2. Melakukan analisa konten regulasi yang ada terhadap keberadaan jaminan kehalalan secara eksplisit. Aturan yang dikaji dalam penelitian ini aturan jaminan kehalalan secara eksplisit pada kelompok bisnis pangan mulai dari Undang undang hingga turunannya.

3. Pemetaan keberadaan regulasi halal secara eksplisit pada setiap tahapan dan menelaah kesenjangan yang ada.

4. Usulan perbaikan bentuk jaminan kehalalan di Indonesia.

Tahapan B terdiri dari beberapa langkah yaitu :

(27)

2. Mengumpulkan data dan informasi dari negara yang sudah ditetapkan berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan.

3. Melakukan analisa konten terhadap informasi yang didapat

4. Menggabungkan hasil pada tahapan A dan B untuk memberikan usulan model sistem jaminan kehalalan untuk negara Indonesia.

B. Objek dan Pengumpulan Data

Regulasi di Indonesia pada setiap aktifitas bisnis di bidang pangan yaitu : Pangan segar, Produk Industri Rumah Tangga, Produk olahan Industri menengah besar dan Pangan Siap Saji. Aktifitas bisnis yang dikaji meliputi (1) perijinan, (2) proses penjaminan kualitas, (3) surveillance/pengawasan, dan (4) tindakan hukum.

Data dan informasi setiap negara yang ada dalam objek penelitian ini berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu : (1) persentase penduduk muslim, (2) PDB (Produk Domestik Bruto), (3) Regulasi dan pengawasan, (4) inspeksi, (5) Pelayanan laboratorium, (6) Informasi,edukasi dan pelatihan. Cara yang digunakan melalui wawancara langsung atau sumber internet. Kuesioner yang diajukan seperti tertera pada Lampiran 2.

C. Personal sebagai nara sumber

1. Arab Saudi dan UEA : Mr Saud Al Askar ( Conformity Assessment Director of GSO)

2. Australia ( Dr. M.Lotfi dan Br.Ali Chawk ; Australian Halal Food Services)

3. Singapura (Mohammed Ariff Mohammed Salleh: Senior Executive Halal Certification Strategic Unit; Majelis Ugama Islam )

4. Belanda ( Abdul Qayyum ; Halal Feed and Food Inspection Authorithy ) 5. Jerman ( Mahmoud Tatari, Dipl,Ing : Halal Control , Jerman)

BAB IV

ANALISIS KONTEN TERKAIT ATURAN HALAL

A. Aturan Halal di Indonesia

(28)

12

adalah (1) Undang- Undang No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, (2) Undang Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (3) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (4) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, (5) Permentan 50-tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (6) Permentan No. 13 tahun 2010 tentang persyaratan Rumah Potong Hewan (RPH) Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (7) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (8) Peraturan Mentri Pertanian (Permentan) No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (9) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (10) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (11) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pelaksanaan halal di Indonesia dapat ditinjau secara lebih mendalam dengan melakukan pemetaan regulasi halal pada setiap langkah bisnis di berbagai kelompok bisnis seperti yang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Tabel 3 regulasi halal terlengkap ada pada kelompok pangan segar, sementara regulasi halal yang paling kosong terdapat pada bisnis pangan siap saji.

Proses produksi merupakan tahapan kritis dalam menjamin suatu produk halal. Regulasi yang terkait jaminan kehalalan pada tahapan produksi hanya terdapat pada kelompok bisnis pangan segar, sementara untuk kelompok bisnis pangan PIRT, produk pangan olahan industry menengah besar dan siap saji belum memiliki pernyataan yang secara eksplisit memuat regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan.

(29)

Keberadaan regulasi halal yang dianalisa dilakukan pada setiap tahapan mulai dari perizinan hingga pengawasan serta sanksi yang ada di setiap kelompok bisnis pangan. Secara lebih rinci jaminan kehalalan pada setiap kelompok bisnis pangan dijelaskan sebagai berikut:

1. Pangan segar

Pangan segar yang terkait dengan regulasi halal adalah rumah potong hewan dan produknya serta produk susu dan olahannya. Regulasi halal yang digunakan pada kelompok bisnis pangan segar ini adalah UU No. 18/2009 pasal 58 ayat 1 dan Pasal 62 ayat 1, Permentan No. 13/2010 pasal 38 dan 39 serta Permentan No. 50/2011 pasal 2 ayat 2.

Regulasi tersebut menyampaikan bahwa keberadaan RPH dan Usaha Pemotongan Daging dan atau penanganan daging harus mampu menyediakan produk daging yang memenuhi ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Sementara Permentan No. 50/2011 lebih menekankan pada aspek perizinan pemasukan produk daging dari luar Indonesia berupa rekomendasi persetujuan pemasukan (pasal 2).

Pada tataran produksi dan pelabelan, PP No. 95/2012 pasal 8 menyampaikan cara yang baik (good practices) di RPH. Permentan No. 13/2010 pasal 4, 6, dan 41 menyampaikan bahwa lokasi produksi harus terpisah dengan RPH babi dan harus memiliki juru sembelih halal di RPH. Untuk distribusi dan peredaran, PP No. 95 pasal 18, dan 21 menyampaikan tempat penjualan dan pengumpulan yang harus terpisah antara produk halal dan yang tidak halal. Permentan No. 50/2011 pasal 19 ayat 2 mengatur tentang daging yang bersertifikat halal dan yang tidak halal harus ditempatkan pada kontainer yang berbeda. Tabel 4 menunjukkan regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan yang eksplisit yang ada pada setiap tahapan.

Pengawasan produk pangan segar dapat dilakukan terhadap keberadaan sertifikat veteriner dan sertifikat halal. PP No. 95 pasal 31 dan 54, Permentan No. 50 pasal 15 ayat 3 e dan f serta keputusan kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007 menyampaikan tentang keberadaan sertifikat veteriner dari negara asal dan sertifikat halal untuk yang dipersyaratkan.

(30)
[image:30.842.60.754.91.523.2]

Tabel 3. Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan Aktifitas/Jenis bisnis

pangan

Pangan Segar Produk Industri Rumah Tangga Produk Industri Pengolahan Pangan Pangan Siap Saji

Izin dan pendaftaran (RPH) dan persyaratan (termasuk produk impor)

-PP No.22/1983 pasal 3 ayat 1,2 (izin usaha; tdak terkait tentang halal)

UU No.18/2009 Pasal 58 (1) dan Pasal 62

Permentan No.13/2010 pasal 38 (untuk pendirian RPH) dan pasal 39 (untuk izin usaha pemotongan hewan dan atau Unit penanganan daging)

Permentan No.50/2011 pasal 2

Peraturan KBPOM RI

No.HK.03.1.23.04.12.2205/2012 (materi halal sebagai materi pendukung dalam proses pemberian izin PIRT)

PP No.13/1995 tentang izin industri (tidak ada terkait halal)

Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM

Tidak ada terkait dengan halal dan persyaratannya

Proses Produksi (tempat produksi dan label kemasan)

UU No.18 pasal 58 ayat4

PP No.95/2012 pasal 8 .

924/MENKES/SK/VIII/1996

Permentan no.13/OT.140/2010 pasal 4 (a),6 (2g) dan 41 (11)

Permentan 50/2011 (pasal 15 ayat 2 (b), 3 (d,e,f) dan pasal 17 (3 e,f))

PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal

Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan

PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal

Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan

PMK RI No.1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasa boga-

TIDAK TERKAIT dengan ATURAN /JAMINAN KEHALALAN

Distribusi dan Peredaran

(termasuk peredaran produk impor)

UU No.18/2009 pasal 58 ayat4

PP No.95/2012 pasal 18,21

Permentan No.50/2011 pasal 19

Peraturan KBPOM

No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji

Peraturan KBPOM

No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji

Peraturan KBPOM

No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji

Pengawasan: produk lokal dan impor

PP No.95/2012 pasal 31,54

Permentan No.50/2011 pasal 31-33 pengawasan terhadap persyaratan karantina hewan dan kesehatan masyarakat veteriner

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436/2007

UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h

PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2

UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2

Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM

Tidak ditemukan aturan terkait cara pengawasan untuk pangan siap saji -

(31)

Tabel 4. Regulasi Halal pada kelompok bisnis Pangan Segar

Tahapan Regulasi Halal

Izin/pendaftaran (1)registrasi produk hewan sebagai salah satu menjamin produk hewan yang ASUH (aman sehat utuh dan halal), (2) pemda kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis. (3) izin mendirikan RPH dan izin pemotongan hewan dan atau penanganan daging, (4) izin pemasukan daging dan karkas oleh pelaku usaha

Produksi dan Label kemasan

(1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.(2) Cara yang baik (good practices) di RPH, (3)persyaratan RPH untuk menyediakan daging ASUH. Pasal 6 : pesyaratan lokasi yang terpisah secara fisik dari kompleks RPH babi atau dibatasi dengan tembok min.3 meter. Pasal 41 : juru sembelih harus memenuhi persyaratan minimal memiliki sertifikat sebagai juru sembelih halal, (4) Pemberian label (f) tanda halal bagi yang dipersyaratkan, (5) Instalasi karantina..harus mendapat menjamin produk didalamnya tidak mengalami perubahan fisik,mutu sertta memperhatikan aspek keamanan pangan dan kehalalan

Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor)

(1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal, (2)cara yang baik di tempat pengumpulan dan penjualan, pemisahan produk hewan yang halal dengan produk lain yang tidak halal. (3) karkas,daging ,jeroan dan atau olahannya yang mempunyai sertifikat halal harus terpisah dari wadah atau kontainer karkas,daging,jeroan,dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal

Pengawasan : produk lokal dan impor

(1)pasal 31produk hewan dari negara yang telah disetujui wajib memiliki serrtifikat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan. Pasal 54 : sertifkat produk hewan meliputi sertifikat veteriner dan SH bagi yang dipersyaratkan, (2) persyaratan teknis : juru sembelih halal bagi yang dipersyaratkan, memiliki SJH,supervisi LP POM MUI yang dituangkan dalam bentuk sertifkat dari negara asal, (3) untuk produk susu dan olahannya, dokumen sertifkat halal diperlukan di karantina

Sanski Sanksi administratif dan pidana

Baik pasal yang terdapat pada PP No.95 tahun 2012 atau Permentan No.15 tahun 2011 menunjukkan bahwa jaminan kehalalan tidak wajib di Indonesia. Pasal pasal tersebut keberadaannya bertentangan dengan pasal yang terdapat pada aturan atau regulasi yang hirarkinya lebih tinggi, yaitu UU No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 58 ayat 4.

2. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT)

(32)

16

yang terkait dengan halal pada CPP PIRT (Cara Produksi Pangan PIRT, peraturan KBPOM RI.No.HK.03.1.23.04.12.2206/2012).

Aturan halal terkait dengan pelabelan sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2 terkait dengan aturan halal sebagai bagian dari persyaratan label kemasan

Pada penjelasan pasal 10 PP 69 tahun 1999 dinyatakan bahwa terkait dengan pencantuman tulisan halal, maka kebenarannya tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Sementara CPPB PIRT sama sekali tidak memuat aturan tentang halal, padahal PP No.69/1999 merupakan salah satu konsideran yang terdapat pada CPPB PIRT tersebut. Tabel 5 menunjukkan regulasi halal yang secara eksplisit tersedia pada kelompok bisnis pangan PIRT.

Distribusi dan peredaran pangan PIRT yang terkait dengan jaminan kehalalan menjadi bagian dari pengaturan cara ritel, yang diatur dengan peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Sementara pengawasan terhadap pangan PIRT terkait pencantuman halal dapat merefer pada UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h. Monitoring terhadap izin PIRT dinyatakan oleh regulasi perizinan PIRT dilakukan setahun sekali. Sementara untuk sanksi yang berlaku selain yang terdapat pada UU No. 8/1999 juga dapat dilakukan pencabutan sertifikat PIRT oleh bupati/walikota.

3. Produk Pangan Olahan Industri Menengah Besar

Aturan Halal untuk tahap registrasi produk pangan olahan industri menengah besar dalam negeri, diatur oleh Permenkes No. 924/1996 yaitu tentang pencantuman tulisan halal pada label kemasan. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.

Sama halnya dengan pangan PIRT, pada tahapan produksi tidak ada pernyataan terkait dengan isu halal pada aturan yang dikeluarkan oleh Mentri Perindustrian No.75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. Sementara salah satu konsiderasi dari aturan tersebut adalah PP No.69/1999 yang memuat tata cara produksi yang harus memenuhi persyaratan halal jika produk mencantumkan halal pada kemasannya.

(33)

Tabel 5. Regulasi Halal Pangan PIRT

Tahapan Regulasi

Izin /Pendaftaran Lampiran D.Tata cara pemberian SPP-IRT : Materi Pendukung tentang pencantuman label halal

Produksi dan label

kemasan (1)Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan

menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat

Islam,bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada labelnya.(2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bagian yang tidak terpisahkan dari label

Pasal 3 ayat (2) Dalam hal asal bahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan atau produk yang mengandung asal bahan tertentu telah mendapat sertifikasi dari lembaga yang berwenang,maka keterangan sertfikat yang bersangkutan hrs dicantumkan dalam penandaan/label. (3) dalam hal keterangan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat diatas berupa label halal,maka pencantumannya harus sesuai dengan yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan.

Pasal 4 : yang mengandung babi harus mencantumkan berupa tanda khusus berupa tulisan” mengandung babi”. Atau ayat (3) jika proses pembuatan bersingungan dengan bahan yang berasal dari babi dituliskan : “Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Ayat (5) untuk pangan selain berupa tulisan mengandung babi juga tanda gambar babi

Distribusi dan

peredaran (termasuk

peredaran produk

impor)

Lamp.point 6.5 : Pangan mengandung babi harus terpisah (transportasi,karyawan yang menangani,peralatan,adanya logo dan tulisan mengandung babi pada kemasan)

Point 7.6 penyimpanan pangan mengandung babi harus terpisah dari yang tdk mengandung babi

Point 8.1.5 tidak menggunakan BTP/ingredien yang tidak jelas kehalalannya.

Point 9.2.3. pemajangan pangan mengandung babi dipisah dengan yang tidak mengandung babi dan ada peringatan “PANGAN MENGANDUNG BABI”

Pengawasan : produk

lokal dan impor Pasal memperdagangkan barang dan atau jasa yang (d) tidak sesuai dengan 8 .Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau kondisi,jaminan..sebagaimana dinyatakan dalam label, (h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label

Pasal 10 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label

Sanksi Sanksi administratif dan pidana

Tabel 6 menunjukkan regulasi halal eksplisit pada tahapan kelompok bisnis pangan olahan industri menengah besar.

(34)

18

yang terkait dengan jaminan kehalalan terdapat dalam UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h, PP No. 69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2. Selain dua aturan tersebut, pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM (post surveillance) dilakukan berdasarkan Permenkes No. 924/1996. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dapat dilakukan berdasarkan aturan yang terdapat Permenkes tersebut atau merujuk pada UU No.8 tahun 1999.

Tabel 6. Regulasi Halal Pangan Industri Pengolahan

Tahapan Regulasi

Izin /Pendaftaran

Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM

Produksi dan label kemasan Idem seperti tabel PIRT Distribusi dan peredaran

(termasuk peredaran produk

impor) Idem seperti tabel PIRT

Pengawasan : produk lokal dan impor

UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2

Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM

Sanksi Sanksi administratif dan pidana

4. Pangan Siap Saji

Pada kelompok bisnis pangan siap saji, aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan sangat minim. Pada saat registrasi tidak ada aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan. Registrasi biasanya dilakukan di dinas kesehatan. Untuk tempat/sarana/cara produksi pangan siap saji dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096/MENKES/PER/VI/2010 tentang Higiene sanitasi jasa boga. Aturan ini tidak memuat tentang jaminan kehalalan. Tabel 7 menunjukkan regulasi halal yang eksplisit yang hanya terdapat pada tahap distribusi.

Sementara untuk distribusi dan peredaran produk pangan siap saji yang didaftarkan pada dinas kesehatan, maka jaminan kehalalan pada tahapan ini berlaku sama sebagaimana pangan PIRT, produk pangan olahan industri menengah besar yang memiliki izin MD atau ML yaitu Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik.

(35)

Tabel 7. Regulasi Halal pada produk pangan siap saji

Tahapan Regulasi

Izin /Pendaftaran Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Produksi dan label kemasan Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Distribusi dan peredaran

(termasuk peredaran produk impor)

Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji (sama seperti PIRT dan Industri pengolahan)

Pengawasan : produk lokal

dan impor Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan halal

Sanksi Sanksi administratif dan pidana

BAB V

KONDISI PENERAPAN HALAL DI BERBAGAI NEGARA

[image:35.595.107.548.454.698.2]

Tabel hasil penelitian secara lengkap terhadap komponen kerangka infrastuktur tersaji pada Lampiran 1. Penerapan sistem jaminan kehalalan yang dilakukan melalui pendekatan infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan dievaluasi berdasarkan pelakunya. Pada setiap poin dievaluasi apakah pelakunya pemerintah atau lembaga sertifikasi dan organisasi masyarakat muslim. Ringkasan penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara disajikan pada Tabel 8 berikut :

Tabel.8 Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara

Negara/Point Legislasi Halal Manajemen Pengawasan

Inspeksi Layanan

Laboratorium

Edukasi,Informasi, Pelatihan

Indonesia

Ada, tapi tidak lengkap Negara dan lembaga sertifikasi Negara dan lembaga sertifikasi halal Bagian dari sertifikasi Lembaga sertifikasi dan yayasan swadaya masyarakat Singapura Tersedia terbatas

untuk pelaksanaa sertfikasi halal untuk kepentingan muslim Singapura Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara Bagian dari sertifkasi Lembaga sertifikasi Saudi Arabia/UEA

Ada Negara Negara Negara Negara

Uni Eropa Tidak tersedia Lembaga

Sertifikasi

Lembaga Sertifikasi

Tidak tersedia Lembaga Sertifikasi

Australia Tersedia terbatas untuk pelaksana sertifkasi halal untuk kepentingan ekspor Negara dan lembaga sertifikasi halal Negara dan lembaga sertifikasi halal

Tidak tersedia Negara dan lembaga sertifikasi halal

(36)

20

A. INDONESIA

A.1. Legislasi Halal

Di Indonesia aturan Halal ada dalam (1) Undang-Undang Pangan No 18 tahun 2012 tentang Pangan , (2) Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,(3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (4) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (5) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, (6) Permentan No.50 tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,Daging, Jeroan dan /atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (7) Permentan No.13 tahun 2010 tentang persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (8) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (9) Permentan No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (10) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (11) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (12) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya.

Pada regulasi tersebut diatas, aturan halal termuat secara eksplisit. Pada regulasi tersebut aturan halal masih bersifat sukarela di Indonesia. Sekalipun konsumen terbesar di Indonesia adalah konsumen muslim, tetapi hak terhadap ketersediaan pangan halal belum dapat terjamin secara utuh. Saat ini secara umum disepakati bahwa jaminan kehalalan produk yang beredar di Indonesia dengan adanya label halal pada kemasan. Keberadaan label halal bersifat legal ketika produk tersebut memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui proses audit yang dilakukan oleh LP POM MUI.

Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan UU Pangan yang menggantikan UU Pangan No.7 tahun 1996. Dalam UU Pangan No.18/2012 definisi keamanan pangan telah mengakomodasi keamanan pangan dari sudut agama dan keyakinan. Pasal 1 ayat 5 mendefinisikan keamanan pangan sebagai berikut : Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

UU Pangan No.18/2012 telah banyak mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam hal berikut :

(37)

persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

2. Distribusi Pangan. Pasal 48 ayat b menyatakan pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan keamanan,mutu, gizi dan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan dan budaya masyarakat. 3. Penyelenggaraan Keamanan Pangan. Pasal 67 menyatakan bahwa

keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Selanjutnya pasal 69 menyatakan bahwa penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui (g) jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.

4. Jaminan Produk Halal bagi yang dipersyaratkan.Pasal 95 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap pangan. (2) Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Label dan Iklan Pangan. Pasal 101 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya. Pasal 105 ayat 1 setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya

Pengaturan dan peredaran bahan pangan segar di Indonesia menjadi tanggungjawab Kementrian Pertanian (Kementan). Untuk bahan pangan olahan pengaturan dan pengawasannya ada di Badan Pengawasan Pangan dan Obat (BPOM). Untuk produk pangan PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dan Pangan siap saji menjadi tanggungjawab setiap kepala daerah (Gubernur, Bupati/walikota) dan dinas terkait setempat. Pembagian tugas ini berdasarkan amanat PP No.28 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Namun pada Peraturan Pemerintah tersebut belum terakomodasi kepentingan konsumen muslim dalam hal keamanan bathin yaitu kehalalan.Hal ini disebabkan PP No.28 tersebut masih merupakan turunan dari UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodir halal sebagai definisi keamanan pangan sebagaimana yang terdapat pada UU No.18 /2012.

A.2. Manajemen Pengawasan

Dengan berlakunya UU Pangan No.18 tahun 2012, aturan halal sudah menjadi bagian dari definisi keamanan pangan. Artinya aturan halal sama posisinya dengan makna keamanan pangan dalam arti bebas dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologis.

(38)

22

ada pada BPOM dan mengacu pada PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pengawasan produk pangan segar terkait dengan aturan halal adalah produk hewan. Lalu lintas produk hewan dan jaminan kehalalannya di wilayah Republik Indonesia dilakukan berdasarkan Permentan No.50/2011.

Pengawasan produk pangan olahan yang beredar di Indonesia menjadi otoritas dari BPOM, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK 0005231455 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan. Dalam aturan tersebut tidak disebutkan persyaratan tentang halal. Pada pasal 3 ayat 1 aturan tersebut menyatakan bahwa pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundangan tentang pengawasan terhadap pangan yang beredar di Indonesia terkait aturan halal adalah UU Pangan No.18/ 2012, UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 dan PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Disamping itu BPOM juga melakukan post market surveillance. Untuk menguji apakah informasi yang diberikan oleh perusahaan pada saat pendaftaran mengacu pada Peraturan Kepala BPOM No. HK 03/15.121109955 tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan danTata Laksana Pangan Olahan, Peraturan Kepala BPOM No. 03/15.121109956 tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendafataran dan Permenkes No.924/1996 tentang aturan pencantuman tulisan halal pada label makanan. Aturan Permenkes tersebut menyatakan untuk pencantuman label halal pada kemasan maka produsen dan importer wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM. Aturan halal tidak secara ekplisit dikemukan pada kedua Peraturan Kepala BPOM diatas, kecuali pada Permenkes No.924/1996.

[image:38.595.85.483.523.779.2]

Berikut data pengecekan kesesuaian label yang ada di pasaran dengan informasi yang disampaikan saat pendaftaran. Data tersebut merupakan hasil survei oleh BPOM pada periode Januari 2008 hingga Oktober 2011.Kasus penyimpangan terhadap label halal termasuk dalam kategori tidak memenuhi ketentuan (TMK) pada label.

Tabel 9. Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011

Tahun

Temuan Produk Tidak Memenuhi Ketentuan

Produk Rusak (item)

Produk Daluwarsa

(item)

Produk TIE (item)

Produk TMK Label (item)

2008 122 610 616 123

2009 111 905 1996 388

2010 464 1468 2021 270

2011 156 872 1033 76

Total 853 3855 566

Gambar

Tabel 3. Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan
Tabel.8  Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara
Tabel 9. Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011
Gambar 4.  Proses Sertifikasi Halal
+7

Referensi

Dokumen terkait