• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA

A. Analisa konten terhadap Legislasi dan Pengawasan

Jaminan produk halal untuk konsumen muslim Indonesia belum menjadi hal yang wajib (mandatory),walaupun dari segi jumlah penduduk muslim Indonesia merupakan jumlah terbesar di dunia.

Dari segi legislasi regulasi halal, Undang-Undang (UU) Pangan No.18 tahun 2012 telah mengakomodasi kepentingan konsumen muslim terhadap halal. Halal dalam UU Pangan telah dimasukkan ke dalam definisi keamanan pangan, berbeda dengan UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodasi halal secara integral. Halal dalam UU Pangan terdahulu hanya ada pada bagian label dan iklan pangan. Dalam UU Pangan yang baru pernyataan halal secara implisit pada pernyataan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan.

Penyelenggaraan keamanan pangan pada pasal 67 dan 69, untuk menjaga keamanan pangan yang dimaksud salah satunya adalah dengan penerapan jaminan kehalalan. Pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Untuk industri pengolahan pangan menengah besar dan industri rumah tangga, aturan tentang halal pada regulasi di bawah Undang-Undang hampir tidak memuat secara eksplisit tentang halal. Pengawasan halal untuk produk kemasan baik produk lokal dan impor sebatas dengan kesesuaian antara informasi yang diberi pada saat pendaftaran dengan label produk yang beredar.

Untuk pangan segar, selain Undang-Undang No.18 tahun 2012 tentang Pangan, UU No.19 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sangat jelas menyampaikan bahwa hanya hewan yang bersertifikat veteriner dan halal yang boleh masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. Aturan lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.95 tahun 2012 juga gamblang mencantumkan masalah halal sejak dari proses pemotongan,tempat pengumpulan dan penjualan serta transportasi yang harus terpisah antara hewan halal dan non halal. Penjaminan kehalalan produk hewan salah satunya adalah dengan sertifikasi halal oleh institusi yang berwenang.

Untuk produk hewan yang masuk ke dalam wilayah Indonesia Permentan no.50/2011 menyatakan harus disertai dengan sertifikat halal dari LP POM MUI. Pada permentan tersebut pasal 19 ayat 2 menyatakan bahwa karkas, daging, jeroan dan olahannya yang punya sertifikat halal harus terpisah dari wadah dan kontainer karkas, daging ,jeroan dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal. Pasal tersebut masih memberikan peluang untuk produk hewan yang disertifikasi dan tidak disertifikasi halal. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan kehalalan di Indonesia bukan merupakan hal yang wajib. Permentan tersebut bertolak belakang dengan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.

Pengawasan terhadap produk yang beredar untuk produk pangan segar merupakan wilayah otoritas Kementrian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian. Untuk produk kemasan dengan nomor pendaftaran MD atau ML merupakan wilayah otoritas Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) dan pangan siapan saji pengawasannya dilakukan oleh pemda setempat dan dinas kesehatan.

Terhadap pengawasan mutu dan keamanan daging dan produk daging Kementan belum memiliki perangkat seperti halnya BPOM, akibatnya hampir tidak ada pengawasan terhadap peredaran daging dan produk olahannya dimasyarakat kecuali bergantung pada keaktifan pemda setempat untuk melakukan pengawasan.

Pengawasan pangan kemasan dilakukan oleh BPOM berdasarkan data pendaftaran yang disetujui oleh BPOM terhadap informasi yang diberikan oleh produsen. Pengawasan terhadap label halal didasarkan pada aturan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.924 tahun 1996 yang merupakan perubahan dari Permenkes No.82 tahun 1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Pada pasal 8,10,11,12 dan 17 disebutkan antara lain bahwa produsen atau importir yang akan mengajukan tulisan Halal diwajibkan diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari MUI dan Dirjen POM (saat ini menjadi BPOM). Permenkes ini sebenarnya merupakan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal, sebagai penyempurnaan Surat Keputusan (SK)

bersama antara Mentri Kesehatan dan Mentri Agama

No.427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.

Aturan halal yang terkait dengan produk impor selain daging, adalah susu dan produk olahannya. Melalui Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436.a/kpts/PD.670.320/L/11/07 tentang petunjuk pelaksanaan tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Dalam aturan tersebut sertifikat halal merupakan dokumen yang dipersyaratkan dan harus dipenuhi di Pelabuhan/Bandar Udara tempat masuk produk.

Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM terhadap halal dikategorikan dalam TMK ( tidak memenuhi ketentuan). Artinya apakah label halal yang dicantumkan oleh perusahaan sudah memiliki sertifikat halal seperti yang telah ditetapkan. Pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM hanya terbatas pada pangan kemasan baik produk lokal atau pun impor. Sementara untuk produk PIRT yang dikemas diluar lingkup pengawasan BPOM, demikian juga untuk makanan yang tidak dikemas.

46

Ditinjau dari segi legislasi regulasi tentang kehalalan, saat ini Indonesia sudah memiliki perangkat aturan halal, terutama di sektor pangan segar dan pangan kemasan (diluar PIRT). Sementara di sektor lainnya aturan teknis tentang jaminan kehalalan belum muncul secara eksplisit.

Jaminan kehalalan di Indonesia belum menjadi suatu hal yang wajib sebagaimana di negara Arab Saudi yang penduduknya 100 persen muslim, atau Uni Emirat Arab yang masih membolehkan pangan non halal melalui jalur yang sudah ditetapkan.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab merupakan anggota dari GCC (Gulf Cooperation Council). Regulasi tentang halal di negara-negara GCC mengacu pada standar yang sama yaitu GSO (GCC Standard Organization) No 9/1995

Labelling of prepacking food , GSO N0.993/1995 animal slaughtering according to Islamic Law, GSO No.1931/2009 Halal Food Part (1) General Requirement, GSO No. 2055/2010 Halal Food Part (2) Guideline for Halal Food Certification Bodies and Their Accreditation Requirement. Tidak ada pengembangan standar pada setiap negara, jika kelompok negara Teluk telah mengeluarkan suatu standar yang sama.

Food Law No. 2 tahun 2008 tentang pangan yang dikeluarkan oleh UEA memuat hal tentang halal pada pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa untuk menangani pangan yang mengandung babi dan produk turunannya serta produk yang mengandung alkohol tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jika aturan tersebut dilanggar maka pasal 16 ayat 3 menjelaskan sangsi dan pinaltinya.

Untuk pangan yang masuk ke wilayah GCC selain menggunakan aturan pelabelan GSO 9/2007, UEA juga memiliki aturan Food Importer Guide tentang keharusan menyertakan sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah disetujui untuk daging, unggas dan produk turunannya termasuk susu.

Pada aturan GSO 9/2007 pada pangan yang dikirim ke negara negara Teluk, informasi minimal yang terdapat pada kemasan harus memuat deskripsi produk, komposisi dan asal negara. Jika menggunakan sumber lemak hewan maka harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih secara halal. Untuk yang menggunakan lemak babi hanya boleh dijual di daerah tertentu dan ditandai dengan jelas dengan gambar babi. Aturan tentang penggunaan lemak babi tidak berlaku untuk negara Arab Saudi.

Negara negara Teluk juga melarang untuk menggunakan nama produk yang berasosiasi dengan produk alkohol dan babi, seperti tidak dibolehkan menggunakan nama Turkey Ham, Beef bacon untuk produk yang dikonsumsi konsumen muslim.

Di Indonesia penggunaan gambar babi atau tulisan pada produk yang mengandung babi merupakan suatu aturan yang dikeluarkan oleh Peraturan Kepala BPOM No.HK 03.1.23.06.105166. Namun berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Jurnal halal LP POM MUI pada tahun 2000 an masih ada produk impor yang mengandung babi yang tidak mencantumkan tanda gambar babi atau pun tulisan mengandung babi. Hal ini bisa dapat dikategorikan sebagai produk TMK atau TIE (tanpa izin edar).

Legislasi dan pengawasan produk pangan di Singapura di lakukan oleh AVA (Agri-Food &Veterinary Authority of Singapore). Terhadap produk pangan impor yang masuk, AVA tidak memasukkan halal sebagai syarat impor

produk pangan yang masuk ke wilayah Singapura. AVA hanya menekankan pada persyaratan kesehatan dan keamanan daging dan produk daging yang masuk ke Singapura.

Pengawasan halal yang dilakukan oleh Singapura sepenuhnya ada pada

MUIS. Pelanggaran terhadap aturan halal di Singapura atas produk yang beredar atau pun restauran maka terdapat sangsi sebagaimana yang tercantum pada

AMLA 88 A (5).

Negara Australia memiliki aturan halal resmi hanya untuk kepentingan bisnis ekspor negara tersebut. Dibawah AQIS aturan halal dan pelaksanaannya ada dalam Australian Government Authorised Halal Program (AGAHP). Pelaksanaan halal terhadap rumah potong hewan yang ada di Australia, merupakan kerjasama 3 pihak yaitu Organisasi Islam yang sudah disetujui oleh pemerintah Australia dan negara pengimpor sebagai pihak yang melakukan sertifikasi halal, kemudian dokter hewan dan quality assurance dari pihak pemerintah. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi menjadi bagian dokumen resmi negara. Pemberlakuan halal stamp pada produk dilakukan oleh pemerintah berdasarkan data dari ketiga pihak terkait. Dokumen yang dikirim bersama dengan produk ke negara tujuan adalah dokumen tentang kesehatan hewan dan kebersihan sarana produksi serta sertifikat halal. Ketiga dokumen memiliki keterkaitan .

Negara Uni Eropa per Januari tahun 2013 telah memberlakukan izin untuk memberlakukan pemotongan secara ritual.Aturan pemotongan secara ritual ini bukan saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk agama Yahudi. Aturan Ritual Slaughtering tersebut tidak membolehkan penyembelihan tanpa pemingsanan. Hal yang masih banyak ditentang oleh mayoritas muslim dan semua pengikut yahudi. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada produk hewan dan turunannya yang akan di kirim ke negara-negara Islam. Penyembelihan halal di Uni Eropa boleh dilakukan tetapi wajib dengan pemingsanan, sementara beberapa negara pemingsanan sebelum penyembelihan tidak diperkenankan.

Penetapan atas aturan tersebut bagi komunitas muslim Eropa banyak yang pro kontra. Bagi komunitas muslim yang tidak setuju dengan adanya pemingsanan terutama untuk ternak unggas, maka bagi mereka tidak akan ada daging atau produk olahannya yang berasal dari Eropa yang menjadi halal untuk dikonsumsi. Demikian juga untuk komunitas yahudi di Eropa.